Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia hinggasaat ini.
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek pada paru-paru, kelenjar
getah bening, tulang dan persendian, kulit, ususdan organ lainnya. Salah satu dari jenis
tuberkulosis ini adalah tuberkulosis kutis. Tuberkulosis kutis adalah tuberkulosis pada
kulit yangdisebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan mikobakteria atipikal.
1,2
Kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG).

Skrofuloderma merupakan bentuk Tuberkulosis Kutis yang tersering di indonesia.


Sekitar 84% menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), disusul
Tuberkulosis Kutis Verukosa yaitu 13%, sedangkan bentuk tuberkulosis kutis lainnya
1,2,3
jarang ditemukan. Lupus Vulgaris merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.

Meskipun tuberkulosis kutis merupakan bagian kecil dari tuberkulosis


ekstrapulmoner, namun di negara berkembang termasuk Indonesia masih sering
dijumpai, seperti halnya tuberkulosis paru. Manifestasi klinisnya beragam, bergantung
2
pada cara inokulasinya di kulit yang dapat bersifat internal maupun eksternal.

Selanjutnya dalam refarat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai skrofuloderma.
Skrofuloderma yang juga dikenal dengan istilah tuberculosis colliquativa cutis
merupakan tuberkulosis reaktif, berasal dari proses tuberculous pada jaringan subkutan
yang membentuk suatu abses dingin (cold abscess) dan kemudian pecah sehingga
mengakibatkan kerusakan struktur kulit di atasnya. Selain manifestasi klinis,
pemeriksaan histopatologi yaitu FNAB dan biopsi eksisional pada limfadenitis TB
2
memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis penyakit ini.
BAB II
SKROFULODERMA

2.1 DEFINISI

Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan perluasan langsung dari
tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang kemudian membentuk abses dingin yang
5
makin lama makin membesar dan pecah pada kulit diatasnya.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Insidens tuberkulosis kutis yang tercatat masih rendah. Di negara seperti Cina atau
India di mana prevalen tuberkulosis tercatat masih tinggi, manifestasi tuberkulosis pada
kulit kurang dari 0,1% individu yang berkunjung ke klinik-klinik
dermatologi.Skrofuloderma biasanya mengenai anak-anak dan dewasa muda terutama
pada pria.Sumber lain menyebutkan bahwa dapat terjadi pada semua umur dan
8
perbedaan banyaknya insidens pada pria dan wanita tidak bermakna.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering terkait dengan


faktor lingkungannya ataupun pekerjaannya. Biasanya penyakit ini sering ditemukan
pada pekerjaan seperti ahli patologi, ahli bedah, orang-orang yang melakukan autopsi,
peternak, juru masak, anatomis, dan pekerja lain yang mungkin berkontak langsung
dengan M. tuberculosis ini, seperti contohnya pekerja laboraturium. Pada negara-negara
yang belum berkembang, daerah dengan sanitasi yang kurang baik dan gizi kurang,
penyakit lebih mudah meluas dan lebih berat. Penyebaran lebih mudah terjadi pada
9
musim penghujan.

2.3 ETIOLOGI

Penyebab utama TBC kutis adalah Mycobacterium tuberculosis yaitu 91,5%


menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sisanya (8,5%)
disebabkan oleh mikobakteria atipikal. M.Bovis dan M. Avium belum pernah
ditemukan, demikian pula mikobakteria golongan lain. Skrofuloderma disebabkan oleh
1
Mycobacterium tuberculosis.

M. Tuberculosis merupakan kuman aerob yang patogen pada manusia.


Mempunyai sifat sebagai berikut : berbentuk batang, panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/m ,
tahan asam dan hidupnya intraseluler fakultatif, tidak bergerak, tidak membentuk spora
0 1,3
dan suhu optimal pertumbuhan pada 37 C.

1
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 (lima) macam, yaitu :

1.Sediaan Mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan
kelenjar getah bening. Pada pewarnaan dengan
Ziehl-Neelsen atau modifikasinya, jika positif
kuman akan tampak berwarna merah pada dasar
yang biru.
2.Kultur
Kultur dilakukan pada media Lowenstein-
0
Jensen, pengeraman pada suhu 37 C. Jika positif
koloni akan tumbuh dalam waktu 8 minggu.
3. Binatang Percobaan
Memakai binatang marmot. Percobaan ini membutuhkan waktu 8 minggu.
4. Tes biokimia
Ada beberapa macam, contohnya tes niasin yang dipakai untuk membedakan jenis
human dengan yang lain.
5. Percobaan Resistensi

2.4 PATOGENESIS

Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ dibawah


kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari KGB.,juga
dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-
tempat yang banyak didapati KGB Superfisialis, yang tersering ialah pada leher,
1,2,3,5
kemudian disusul ketiak dan yang terjarang pada lipat paha.
Port d’entrée skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di
ketiak, kemungkinan port d’entrée pada apex pleura, bila dilipat paha pada ekstremitas
bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada
1,2
leher, ketiak dan lipat paha, kemungkinan besar terjadi penyebaran hematogen.

2.5 GAMBARAN KLINIS

Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis tuberkulosis, berupa


pembesaran kelenjar getah bening, tanpa tanda-tanda radang akut, selain tumor. Mula-
mula hanya beberapa KGB yang diserang, lalu makin banyak dan sebagian
berkonfluensi. Selain limfadenitis juga terdapat periadenitis yang menyebabkan
perlekatan KGB tersebut dengan jaringan sekitar.
Kemudian kelenjar-kelenjar tersebut mengalami perlunakan tidak serentak,
menyebabkan konsistensinya menjadi bermacam – macam, yaitu didapati kelenjar getah
bening melunak dan membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila tidak
disayat dan dikeluarkan nanahnya. Abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut
tidak panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan,
menandakan bahwa isinya cair).
Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, pecah dan mencari
jalan keluar dengan menembus kulit di atasnya dengan demikian membentuk fistel.
muara fistel kemudian meluas hingga menjadi ulkus yang mempunyai sifat khas, yakni
bentuk memanjang dan tidak teratur, disekitarnya berwarna merah kebiru-biruan (livid),
dinding bergaung; jaringan granulasinya tertutup oleh pus seropurulen, jika mengering
menjadi krusta berwarna kuning. Ulkus-ulkus tersebut dapat sembuh spontan
membentuk sikatriks yang memanjang dan tidak teratur dan diatasnya kadang-kadang
terdapat jembatan kulit (skin bridge). Basil tahan asam banyak dijumpai pada
1,2
lesi/jaringan. Tes tuberkulin biasanya positif.
11
Gambar 1.Scrofuloderma. http://www.dermis.net/dermisroot/tr/10554/image.htm

12
Gambar 2.Scrofuloderma. http://www.dermis.net/bilder/CD021/550px/img0098.jpg

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan


diagnosis skrofuloderma adalah :
1. Tes Tuberkulin

Tes ini bergantung dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap


tuberculoproteins, yang diperantarai oleh sel limfosit yang tersensitisasi. Bahan tes
tuberkulin juga dapat diperoleh dari ekstrak protein yang mengandung basil
tuberkel. Purified Protein Derivative (PPD) merupakan campuran protein,
karbohidrat dan lemak yang diperoleh dari presipitasi culture supernatant dari M.
2
tuberculosis yang sudah mengalami proses autolisis akibat pemanasan.
Sensitivitas terhadap tes ini mulai tampak dalam beberapa minggu sejak onset
infeksi M.tuberculosis, dan biasanya bertahan seumur hidup. Jika reaksi yang
2,5
terjadi sangat kuat, mengindikasikan telah terjadi tuberkulosis yang aktif.

Teknik tes kulit ini ada 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Tes Mantoux
PPD diinjeksikan secara intradermal pada bagian volar lengan bawah.
Tes ini dibaca setelah 48-72 jam dan diperhitungkan diameter area indurasi
2
yang terbentuk, bukan area eritemanya.
Jika indurasi yang terjadi berdiameter lebih dari 10 mm maka
2
interpretasinya adalah telah atau sedang terjadi infeksi TB.

2. Tes Heaf
PPD dipenetrasikan sedalam 1,2 mm pada permukaan kulit lengan
bawah bagian fleksor. Interpretasinya adalah sebagai berikut :
Grade I: muncul 4-6 papul di kulit
Grade II: timbul indurasi berbentuk bulat penuh
Grade III : terbentuk plak dengan ukuran 12 mm
Grade IV:bila muncul tanda-tanda grade III ditambah
adanya vesikulasi dan ulserasi.
Grade I dan II dihubungkan dengan adanya riwayat vaksinasi BCG
sebelumnya atau ada infeksi mikobakteria jenis lain. Sedangkan Grade III dan
2
IV dihubungkan dengan adanya infeksi TB saat ini atau yang telah lampau.

2. Pemeriksaan Laboratorium Dasar

Hasil pemeriksaan laboratorium dasar mungkin menunjukan hasil yang tidak


spesifik, dengan hasil hitung darah (blood count) yang normal. Hanya saja pada
sebagian besar penderita TB kutis termasuk skrofuloderma terjadi peningkatan laju
2
endap darah (LED) sampai mencapai >100 mm/jam.
7
3. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan ini diakukan dengan excision biopsy pada limfonodi yang


mengalami pembesaran. Gambaran yang tampak adalah jaringan granulasi, yaitu
akumulasi histiosit yang menyerupai epitel (epiteliod) dan sel-sel raksasa
Langerhans diantaranya, tampak pula infiltrat sel-sel mononuklear
mengelilinginya. Pada bagian tengahnya dapat dijumpai nekrosis caseosa.
Gambaran ini biasanya tampak pada dermis yang lebih dalam.

Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen (ZN) dapat dijumpai basil tahan asam.
Namun karena pada sediaan biopsi kulit, jumlah basil relatif sedikit kadang sulit
untuk menentukan basil tahan asan meskipun dengan pewarnaan ZN. Kelemahan
2
lain prosedur ini adalah tindakan yang dilakukan bersifat invasif.

4. Pemeriksaan Sitologi

Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC) merupakan salah satu teknik


diagnostik yang telah diterima dengan baik dalam rangka penatalaksanaan
penderita dengan pembesaran kelenjar limfe, seperti halnya pada penderita
2,5
skrofuloderma.

Prosedur pengerjaannya lebih sederhana dan relatif tidak menimbulkan rasa


sakit sehingga FNAC dapat menggantikan metode excision biopsy yang lebih
traumatik dan invasif. Pewarnaannya adalah dengan Haematoxylin and Eosin
2,5
(H&E) dan /atau ZN.

Gambaran yang tampak adalah lesi granulomatous, terdiri dari sel-sel


epiteloid dengan atau tanpa nekrosis kaseosa. Sel-sel epiteloid tampak sebagai sel
yang memanjang atau semilunar dengan inti kromatin halus atau granuler. Dapat
pula dijumpai sel-sel raksasa Langhans bersama sel epiteloid atau yang berdiri
2
sendiri.

5. Kultur Jaringan

Kultur jaringan untuk melihat pertunbuhan M. tuberculosis. Media yang


digunakan adalah Lowenstein-Jensen. Pertumbuhan M. tuberculosis membutuhkan
waktu sekitar 2 sampai 8 minggu karena pertumbuhannya memang lambat pada
2,5
media laboratoris.
6. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode PCR yang dikenal adalah Lymph Node PCR (LN-PCR), dimana
spesimen diambil dari sisa spesimen yang masih ada dalam syringe pada saat
dilakukan tindakan FNAC atau dari jaringan hasil biopsi kelenjar getah bening
2,5
yang kemudian dihomogenisasikn.

Keunggulan metode ini adalah sensitivitas dan spesivisitasnya tinggi,


hasilnya dapat diperoleh dalam waktu relatif singkat yaitu sekitar 8 jam, dapat
membedakan mikroorganisme penyebab yaitu M.tuberculosis dengan mikobakteria
lainnya, dan dapat mengetahui adanya mutasi gen M tuberculosis yang dikaitkan
2
dengan resistensi terhadap pengobatan.

7. Pemeriksaan Lain
Yang termasuk disini adalah pemeriksaan radiologi (foto thoraks
posteroanterior) dan pemeriksaan bakteriologi dari spesimen sputum pagi hari
2
sebanyak 3 hari berturut-turut.

2.7 DIAGNOSA BANDING

Skrofuloderma didaerah leher biasanya memiliki gambaran klinis yang khas,


sehingga tidak perlu membuat diagnosis banding. Walaupun demikian aktinomikosis
sering dijadikan diagnosis banding terhadap skrofuloderma di leher.

1.Aktinomikosis biasanya menimbulkan deformitas atau benjolan dengan


beberapa muara fistel produktif. Selain itu skrofuloderma di daerah leher juga harus
dibedakan dengan Limfadenitis Bakterial Non Tuberkulosis, limfosarkoma dan limfoma
maligna.
Gambar3.Actinomycosis.http://history.amedd.army.mil/booksdocs/wwii/communicabl
ediseasesV5/chapter1.htm

Gambar4.Actinomycosis.http://dermatology.cdlib.org/123/case_presentations/lym
phoma/2.jpg
2. Lesi pada daerah axilla dibedakan dengan Hidradenitis supurativa, yaitu infeksi
bakteri piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut bersifat akut disertai tanda-tanda
radang akut yang jelas, dengan gejala konstitusi dan leukositosis.Hidradenitis supurativa
biasanya menimbulkan sikatriks sehingga terjadi tarikan – tarikan yang mengakibatkan
1,2
retraksi ketiak.

(1) (2)

Gambar 5.Hidraadenitis Supurative.


13
(1) http://www.ohiohealth.com/mayo/images/image_popup/ans7_hidradenitis.jpg
(2)http://www.google.co.id/imglanding?q=hidradenitis%20supurativa&imgurl=http://20
14
8.96.47.3/images/community/dermatlas/Hidradenitis_suppurativa_1_071126.

3.Lesi di daerah lipat paha kadang mirip seperti limfogranuloma venereum (LGV).
Perbedaan yang paling penting di antara keduanya adalah pada LGV terdapat riwayat
coitus suspectus, gejala konstitusi (demam, malaise dan artralgia) dan kelima tanda
radang akut. Stadium lanjut dari LGV dijumpai bubo yang bertingkat yang berarti terjadi
pembesaran kelenjar getah bening inguinal medial dan fossa iliaka, sedang pada
skrofuloderma kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar getah bening inguinal lateral
1,2
dan femoral. Pada LGV tes frei positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.
Gambar6.Limfogranuloma.http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/08/09/limfogra
15
nuloma-venerium-penyakit-menular-seksual/

Lesi Skrofuloderma yang supuratif juga harus dibedakan dengan supurative


lymphadenitis dengan adanya sinus track misalnya Blastomycosis dan Coccidiomycosis.
M. avium- intracellulare lymphadenitis dan M. scrofulaceum lymphadenitis dapat
2
dibedakan dengan limfadenitis skrofuloderma melalui kultur bakteri.

Gambar 7.Blastomycosis. http://images.picturesdepot.com/photo/b/blastomycosis-


16
12692.jpg
2.8 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan skrofuloderma adalah sama seperti pengoobatan TB paru


yaitu harus secara teratur, menggunakan kombinasi dengan minimal 3 (tiga) macam
8
obat anti-TB dan perbaikan keadaan umum.

2,5,8
Obat-obat anti-TB yang antara lain:
1. Isoniazid
Merupakan anti-TB yang bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosidal.
Dosis : 5- 10 mg/kg BB/ hari, dosis maksimal 400 mg.
Efek samping : demam, erupsi kulit, neuritis perifer, hepatotoksik dan
komplikasi hematologi ( agranulositosis, eosinofilia, anemia dan
trombositopenia).
2. Rifampisin
Merupakan salah satu obat anti-TB yang paling efektif namun cepat mengalami
resistensi.
Dosis : 10 mg/ kg BB, dosis maksimal 600 mg/hari.
Efek samping : ekskresi saliva dan urin akan berwarna jingga sampai
kemerahan, gangguan hepar (hepatotoksik).

3. Pyrazinamid
Dosis : 20-35 mg/kg BB, dosis maksimal 2 gram/ hari
1
Efek samping : gangguan hepar (hepatotoksik).
4. Ethambutol
Merupakan anti-TB yang bersifat bakteriostatik dan paling sering dikombinasi
dengan rifampisin dan isoniazid.
Dosis : 15-25 mg/kg BB
Efek samping : gangguan nervus II.
Sebaiknya tidak diberikan pada penderita berusia dibawah 13 tahun.
5. Streptomycin
Merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal.
Dosis : 25 mg / kg BB, intramuskular. Dikombinasi dengan 2 (dua) obat anti-TB
lainnya.
Tidak dapat digunakan dalam jangka panjang oleh karena efek sampingnya
yaitu : gangguan vestibular dan gangguan pendengaran, disfingsi nervus
optikus, dermatitis eksfoliatif dan diskrasia darah.

Saat ini telah ditetapkan regimen pengobatan tuberkulosis kutis oleh The
American Thoracic Society dan Center for Disease Control and Prevention. Regimen ini
terdiri dari fase inisial, fase intensif dan fase lanjutan. Pemberian fase inisial dan fase
intensif bertujuan untuk membunuh dengan cepat populasi mikobakteria yang sangat
besar, terdiri dari isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambutol atau streptomycin
(diberikan setiap hari dalam jangka waktu 8 minggu). Pemberian fase lanjutan bertujuan
untuk membunuh sisa-sisa mikobakteria yang mungkin dorman dalam tubuh, dengan
obat rifampisin dan isoniazid baik setiap hari, tiga kali seminggu atau dua kali seminggu
2
selama 16 minggu.

2.9 PROGNOSA

9
Prognosa skrofuloderma secara umum adalah baik. Lesi skrofuloderma dapat
sembuh secara spontan, namun memakan waktu yang sangat lama, sebelum lesi
inflamasi dan ulserasi secara lengkap dapat digantikan dengan jaringan parut. Lupus
2
vulgaris dapat muncul pada bekas lesi skrofuloderma.

2.10 Profesional

Bila penyakit tidak kunjung sembuh di anjurkan segerakan pasien untuk berobat
ke Rumah Sakit Umum yang ada dokter spesialis.
BAB IV
KESIMPULAN

Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan perluasan langsung dari tuberkulosis
pada jaringan dibawah kulit yang kemudian membentuk abses dingin yang makin lama makin
membesar dan pecah pada kulit diatasnya. Tempat predileksinya pada tempat-tempat yang
banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering ialah pada leher, kemudian
disusul ketiak dan yang terjarang pada lipat paha. Biasanya mengenai anak-anak dan dewasa
muda terutama pada pria. Sumber lain menyebutkan bahwa dapat terjadi pada semua umur
dan perbedaan banyaknya insidens pada pria dan wanita tidak bermakna. Pada negara-negara
yang belum berkembang, daerah dengan sanitasi yang kurang baik dan gizi kurang akan
menyebabkan penyakit lebih mudah meluas dan lebih berat.
Biasanya dimulai sebagai limfadenitis tuberkulosis, berupa pembesaran beberapa
kelenjar getah bening, tanpa tanda-tanda radang akut, lalu makin banyak dan sebagian
berkonfluensi. Terdapat juga periadenitis yang menyebabkan perlekatan kelenjar getah bening
dengan jaringan sekitar. Kelenjar-kelenjar tersebut kemudian mengalami perlunakan tidak
serentak, dan membentuk abses (abses dingin) yang akan menembus kulit, pecah dan
membentuk fistel. Muara fistel meluas hingga menjadi ulkus dengan sifat khas. Ulkus-ulkus
tersebut dapat sembuh spontan membentuk sikatriks dan diatasnya kadang-kadang terdapat
jembatan kulit (skin bridge). Basil tahan asam banyak dijumpai pada lesi/jaringan dan tes
tuberkulin biasanya positif.
Skrofuloderma merupakan salah satu manifestasi klinis dari infeksi oportunistik yang
disebabkan M. tuberculosis pada penderita HIV/AIDS. Gambaran klinis hampir sama dengan
pevderita skrofuloderma non HIV, tetapi karena sistem imun yang terganggu maka episode
penyakit menjadi lebih lama.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untk membantu menegakkan diagnosis
skrofuloderma adalah :
1. Tes Tuberkulin
2. Pemeriksaan laboratorium dasar
3. Pemeriksaan serologi
4. Kultur jaringan
5. Polymerase Chain Reaction (PCR)
6. Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan radiologi dan bekteriologi.
Prinsip penatalaksanaan skrofuloderma adalah sama seperti pengoobatan TB paru yaitu
harus secara teratur, menggunakan kombinasi dengan minimal 3 (tiga) macam obat
antituberkulosis dan perbaikan keadaan umum. Untuk penderita skrofuloderma pada
HIV/AIDS Oral Antituberkulosa (OAT) diberikan dahulu sebelum ARV untuk menghindari
respon imun paradoks yang dapat memperburuk infeksi oportunistik, dan kadar CD4
digunakan sebagai patokan memulai pemberian ARV. Prognosa skrofuloderma secara umum
adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Editor:
Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Edisi V. cetakan V. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 64-72.
2. Jawas FA, Martodihadjo Soenarko, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol. . Surabaya : Airlangga University Press, 2007. Hal
56-60.
3. Soebono, Hardyanto. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit. Editor :
Marwali Harahap. Cetakan I. Jakarta : Hipokrates, 2000. Hal 27-29.
4. Fitzpatrick JE, Morelli JG. Mycobacterial Infections. In : Dermatology Secrets in
th
Color. 3 Edition. USA : Elsevier Inc., 2007. Chapter 30.
5. James WD, Berger TG, Elston DM. Mycobacterial Disease. In : Andrews’ Diseases of
th
The Skin Clinical Dermatology. 10 Edition. USA : Elsevier Inc., 2006. Chapter 16.
6. Graham-Brown R, Bourke J. Bacterial Infection. In : Mosby’s Color Atlas and Text of
th
Dermatology. 2 Edition. UK : Elsevier Limited, 2007.
7. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolf K, Suurmond D. Color Atlas and Synopsis of
th
Clinical Dermatology : Common and Serious Disease. 4 Edition. USA : The
McGraw-Hill Companies, 2001. Chapter 664.
8. Barakbah J, Pohan SS, Sukonto H, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Atlas Penyakit Kulit
dan Kelamin. Cetakan V. Surabaya : Airlangga University Press, 2007. Hal 23-24.
9. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC, 2003. Hal 148-
149.
10. Kurniati, Murtiastutik Dwi, Lumintang Hans. Skrofuloderma Pada Penderita AIDS.
Dalam : Makalah Lengkap II PIT X PERDOSKI. Benten, 2009. Hal 208-210.
11. http://www.dermis.net/dermisroot/tr/10554/image.htm
12. http://www.dermis.net/bilder/CD021/550px/img0098.jpg
13. http://www.ohiohealth.com/mayo/images/image_popup/ans7_hidradenitis.jpg
14. http://www.google.co.id/imglanding?q=hidradenitis%20supurativa&imgurl=http://208
.96.47.3/images/community/dermatlas/Hidradenitis_suppurativa_1_071126.
15. http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/08/09/limfogranuloma-venerium-penyakit-
menular-seksual/
16. http://images.picturesdepot.com/photo/b/blastomycosis-12692.jpg
17. http://www.ijdvl.com/viewimage.asp?img=ijdvl_2008_74_6_700_45143_f1.jpg
18. http://md4arab.com/album/data/media/32/Scrofuloderma.jpg
19. http://www.scielo.br/img/revistas/abd/v82n4/a07fig01.gif
20. http://www.ispub.com/ispub/ijs/volume_14_number_1/isolated_primary_tuberculosis_
of_inguinal_lymph_nodes_an_acute_presentation/inguinal-fig1.jpg
21. http://www.dermnetnz.org/bacterial/img/scrofuloderma2-s.jpg
22. http://adv.medicaljournals.se/files/pdf/87/1/2546.pdf

Anda mungkin juga menyukai