Anda di halaman 1dari 28

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI MASSA UROGENITALIA WANITA PADA


ULTRASONOGRAFI DAN CT SCAN

PENYUSUN :
Ahmad Fajar Setiawan D, S.Ked J501225011
Vira Alifta, S.Ked J501225117

PEMBIMBING

dr. Ika Safitri, Sp.Rad, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik FK UMS


REFERAT

Prodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammadiyah Surakarta

Judul : Gambaran Radiologi Massa Urogenitalia Wanita Pada Ultrasonografi


Dan CT Scan

Penyusun : Ahmad Fajar Setiawan D, S.Ked J501225011


Vira Alifta, S.Ked J501225117

Pembimbing : dr. Ika Safitri, Sp. Rad, M.Sc

Karanganyar, 23 November 2023

Menyetujui,
Pembimbing

dr. Ika Safitri, Sp. Rad, M.Sc

Mengetahui,

Kepala Program Studi Profesi


Dokter Fakultas Kedokteran
UMS

dr. Sulistyani, Sp .N
GAMBARAN RADIOLOGI MASSA UROGENITALIA WANITA PADA
ULTRASONOGRAFI DAN CT SCAN

Ahmad Fajar Setiawan Djody, Vira Alifta*, Ika Safitri**


* Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta
** Bagian Ilmu Radiologi RSUD Karanganyar

Abstrak
Wanita mempunyai peranan sentral dalam menentukan kualitas generasi penerus dan kualitas keluarga. Wanita
yang sehat mempunyai kesempatan untuk memenuhi semua potensi yang ada dalam dirinya. Disamping itu, ia
akan mempunyai bayi yang sehat, mampu merawat keluarga dengan lebih baik, mendidik anak anaknya. Sistem
reproduksi wanita dirancang untuk dapat melaksanakan beberapa fungsi, Rancangan tersebut sangat sempurna
sehingga memungkinkan sebuah kehidupan baru terbentuk secara normal. Beberapa gangguan kesehatan
reproduksi wanita ialah siklus menstruasi tidak teratur, gangguan endometriosis, kanker pada system reproduksi
dan infeksi pada bagian vagina. Selama ini etiologi kanker sistem reproduksi wanita terutama disebabkan oleh
faktor gaya hidup, sehinga menyebabkan munculnya berbagai variasi bentuk keganasan pada wanita,
Kata kunci: computed tomography, magnetic resonance imaging, ultrasonography, leimyoma, endometriosis,
kista ovarium, adenokarsinoma ovarium, karsinoma endometrium

PENDAHULUAN

Wanita mempunyai peranan sentral dalam menentukan kualitas generasi penerus dan
kualitas keluarga. Wanita yang sehat mempunyai kesempatan untuk memenuhi semua potensi
yang ada dalam dirinya. Disamping itu, ia akan mempunyai bayi yang sehat, mampu merawat
keluarga dengan lebih baik, mendidik anak anaknya. Sistem reproduksi wanita dirancang untuk
dapat melaksanakan beberapa fungsi, Rancangan tersebut sangat sempurna sehingga
memungkinkan sebuah kehidupan baru terbentuk secara normal. Sistem reproduksi wanita dan
bagian-bagiannya terdiri atas vagina dan leher Rahim berfungsi sebagai tempat masuknya
sperma untuk mencari dan membuahi sel telur. Ovarium menghasilkan sel telur dan hormon.
Saluran tuba menyediakan tempat untuk terjadinya pembuahan dan pertumbuhan embrio di
minggu pertama. Rahim adalah tempat embrio tertanam selama Sembilan bulan pertumbuhan
janin. Dan payudara berfungsi untuk memberi nutrisi dan antibody bagi bayi yang baru lahir.
(Bray et al., 2019).
Berbagai gangguan yang mengancam kesehatan reproduksi bisa juga disebabkan oleh
perilaku dan kebiasaan yang buruk. gangguan reproduksi bisa dimulai dari infeksi bagian luar
hingga kebagian dalam atau karena kebiasaan yang kurang sehat menjadikan masalah yang
membuat sistem reproduksi menjadi terganggu. (Curry et al., 2019). Beberapa gangguan
kesehatan reproduksi wanita ialah siklus menstruasi tidak teratur, gangguan endometriosis,
kanker pada system reproduksi dan infeksi pada bagian vagina (Zermeño-Nava et al., 2019).
Selama ini etiologi kanker sistem reproduksi wanita terutama disebabkan oleh faktor gaya
hidup, sehinga menyebabkan munculnya berbagai variasi bentuk keganasan pada wanita,
penting untuk mempelajari macam macam gambaran radiologi baik dari USG, Ct-scan dan
MRI untuk mengetahui macam macam jenis keganasan yang sering terjadi pada sistem
urogenitalia wanita.

TINJAUAN PUSTAKA

1. MIOMA UTERI
Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat kenyal,
batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel. Tumor ini juga
dikenal dengan istilah fibromioma uteri, leiomioma uteri, atau uterine fibroid. Mioma uteri
bukanlah suatu keganasan dan tidak juga berhubungan dengan keganasan. Uterus
miomatosus adalah uterus yang ukurannya lebih besar daripada ukuran uterus yang normal
yaitu antara 9-12 cm, dan dalam uterus itu sudah ada mioma uteri yang masih kecil.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa 70% kasus mioma uteri terjadi pada usia 50
tahun, di mana 30-40% kasus pada masa perimenopause dan 20-25% kasus pada wanita usia
reproduksi. Data epidemiologi global menjelaskan bahwa kasus mioma uteri dapat
mengenai semua ras, paling banyak pada ras kulit hitam (18%), 10% pada wanita Hispanik,
8% menyerang wanita kulit putih, dan paling jarang mengenai wanita Asia (Wojtowicz,
2022). Sebagian besar kasus tidak bergejala sama sekali, hanya 30% kasus yang
simptomatis. Sejumlah 80% mioma uteri multipel dan sekitar 10,7% terjadi pada wanita
hamil Indonesia. Sampai saat ini data statistik nasional mioma uteri belum tersedia.
Penelitian retrospektif di Manado mendapatkan bahwa persentase terbanyak pada rentang
usia 36-45 tahun dengan status dominan nulipara (Hana, 2019). Mortalitas kasus mioma
uteri umumnya karena anemia berat akibat perdarahan hebat. Mortalitas akibat komplikasi
pembedahan 0,4-1,1 per 1000 operasi (Lubis, 2020).
Etiologi pasti penyebab mioma uteri masih belum diketahui, dan diduga merupakan
penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal
yang dihasilkan dari mutasi somatik sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor
mempunyai abormalitas kromosom 12q13-15 (Wojtowicz, 2022). Ada beberapa faktor yang
diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjafinya mioma uteri, yaitu :
a. Hormonal
Mutasi genetik menyebabkan produksi reseptor estrogen di bagian dalam
miometrium bertambah signifikan. Sebagai kompensasi, kadar estrogen menjadi
meningkat akibat aktivitas aromatase yang tinggi. Enzim ini membantu proses
aromatisasi androgen menjadi estrogen.
Estrogen akan meningkatkan proliferasi sel dengan cara menghambat jalur
apoptosis, serta merangsang produksi sitokin dan platelet derived growth factor (PDGF)
dan epidermal growth factor (EGF). Estrogen juga akan merangsang terbentuknya
reseptor progesteron terutama di bagian luar miometrium.
Progesteron, mendasari terbentuknya tumor melalui perangsangan insulin like
growth factor (IGF-1), transforming growth factor (TGF), dan EGF. Maruo, dkk.
meneliti peranan progesteron yang merangsang proto-onkogen, Bcl-2 (beta cell
lymphoma-2), suatu inhibitor apoptosis dan menemukan bukti bahwa gen ini lebih
banyak diproduksi saat fase sekretori siklus menstruasi. Siklus hormonal inilah yang
melatarbelakangi berkurangnya volume tumor pada saat menopause.
b. Proses inflamasi
Masa menstruasi merupakan proses inflamasi ringan yang ditandai dengan hipoksia
dan kerusakan pembuluh darah yang dikompensasi tubuh berupa pelepasan zat
vasokonstriksi. Proses peradangan yang berulang kali setiap siklus haid akan memicu
percepatan terbentuknya matriks ekstraseluler yang merangsang proliferasi sel. Obesitas
yang merupakan faktor risiko mioma ternyata juga merupakan proses inflamasi kronis.
Pada penelitian in vitro, pada obesitas terjadi peningkatan TNF-a. Selain TNF-a,
sejumlah sitokin lain juga memiliki peranan dalam terjadinya tumor antara lain IL1, IL-
6, dan eritropoietin.
c. Growth fraktor
Beberapa growth factor yang melandasi tumorigenesis adalah epidermal growth
factor (EGF), insulin like growth factor (IGF 1-Il), transforming growth factor-B, platelet
derived growth factor, acidic fibroblast growth factor penumpukan lemak.€ Studi klinis
mengaitkan pertumbuhan sel tumor dengan konsumsi kafein dan alkohol, karena kedua
zat akan mempengaruhi kadar hormon namun perlu pembuktian lebih lanjut dengan
variasi demografi. aFGF), basic fibroblast growth factor (bFGF). heparin-binding
epidermal growth factor (HBGF), dan vascular endothelial growth factor (VEG-F).'
Mekanisme kerjanya adalah dengan mencetak DNA-DNA baru, induksi proses mitosis
sel dan berperan dalam angiogenesis tumor. Matriks ekstraseluler sebagai tempat
penyimpanan growth factor juga menjadi faktor pemicu mioma uteri karena dapat
mempengaruhi proliferasi sel.
d. Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu
mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun. Sedangkan
pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. Pada usia sebelum menarche kadar
estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi, serta akan turun pada usia
menopause. Pada wanita menopause mioma uteri ditemukan sebesar 10%.
e. Riwayat keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri
mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan wanita
tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.
f. Paritas
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadinya
perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil atau satu kali
hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tidak
pernah hamil atau hanya hamil satu kali.
g. Kehamilan
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan
ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi
mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya
vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat mempercepat
pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko mioma karena pada
kehamilan hormon progesteron lebih dominan.
Mioma di uterus dapat berasal dari servik uteri (1-3%) dan selebihnya adalah dari
korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma
uteri dibagi 4 jenis (Wojtowicz, 2022) antara lain:

Gambar lokasi mioma uteri


a. Mioma sub mukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini
dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan
perdarahan. Mioma jenis lain meskipun dengan ukuran besar mungkin belum
memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa meski berukuran kecil sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan.
Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dengan tindakan kuretase, ditemukan
benjolan (currete bump) dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi
tangkai tumor. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma
submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa
yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal
dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami torsi,
nekrosis, infeksi, ulserasi, dan infark. Pada beberapa kasus penderita akan mengalami
anemia dan sepsis karena proses tersebut.
b. Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan
tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang mengelilingi
tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan
mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang
terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan
mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.
c. Mioma subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan
uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan
ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
d. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut
wondering/ parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu
uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium
uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka akan tampak bahwa
mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun sebagai kumparan
(whorle like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang
terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.
Pemeriksaan ultrasound (USG) secara akurat digunakan untuk menilai dimensi uterus,
lokasi mioma, interval pertumbuhan, dan anatomi adneksa. Namun USG rutin tidak
meningkatkan luaran dibandingkan dengan hanya pemeriksaan fisik saja. USG pelvik
dilakukan pada situasi ketika pengambilan kesimpulan dengan pemeriksaan fisik sulit atau
kurang pasti; bila pemeriksaan fisik suboptimal seperti dalam kasus obesitas atau adneksa
patologi, tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan fisik saja. USG transvaginal (TVS)
dapat membantu membedakan mioma uteri dengan masalah pelvik lainnya, namun
terkadang mioma kecil atau tipe subserosal bisa tidak terdeteksi. Mioma yang ukurannya
cukup besar dapat menggunakan kombinasi TVS dan USG transabdominal. Tampilan USG
mioma dapat bervariasi, biasanya tampak sebagai lesi bulat, padat, berbatas jelas dengan
ekogenisitas lebih rendah dibandingkan dengan miometrium sekitarnya (hipoekoik) yang
kadang dijumpai shadowing disebabkan oleh kepadatan jaringan pada tumor tersebut. Pada
USG dopler mioma memiliki tampilan vaskularisasi melingkar pada tepi lesi, sedangkan
bagian tengah cenderung avaskular (Wilde, 2019)..

Gambar USG transabdominal leiomyoma intramural


Gambar USG transabdominal leiomyoma submucosal

Gambar USG dopler transabdominal


CT scan bukanlah pemeriksaan pilihan untuk karakterisasi massa panggul. Mioma uteri
sering terlihat secara kebetulan pada pemeriksaan CT scan, temuan khasnya adalah rahim
yang besar dan tidak teratur atau suatu massa yang terdapat pada uterus. Mioma uteri yang
mengalami degenerasi mungkin tampak kompleks dan mengandung area fluid attenuation.
Kalsifikasi terlihat pada sekitar 4% mioma dan biasanya padat dan amorf. Namun,
kalsifikasi juga dapat terbatas pada pinggiran mioma (Wilde, 2019).

Gambar Ct scan non kontras : terdapat kalsifikasi amorf pada struktur uterus

Gambar Ct scan non kontas ; terdapat beberapa mioma dengan kalsifikasi perifer

2. ENDOMETRIOSIS
Endometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih
berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma
yang terdapat di dalam miometrium ataupun di luar uterus, bila jaringan endometrium
terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis. Endometriosis disebut sebagai estrogen
dependent disease karena pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan endometrium
ektopik tersebut dibutuhkan stimulasi dari hormon estrogen (Liu, 2019).

Gambar lokasi endometriosis


Angka kejadian endometriosis sulit diketahui karena penundaan diagnosis sampai
sekitar 10 tahun akibat tidak terdeteksi pada pelayanan primer. Namun beberapa studi
menyatakan sekitar 6-10% wanita usia produktif mengalami endometriosis (Liu, 2019).
Endometriosis paling sering ditemukan pada wanita yang melahirkan di atas usia 30 tahun
disertai dengan gejala menoragia dan dismenore yang progresif. Pada studi yang dilakukan
RSUD dr. Soetomo Surabaya didapatkan bahwa rentang usia wanita yang terbanyak
menderita endometriosis yaitu usia 30-39 tahun (39,2%). sedangkan penelitian yang
dilakukan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado rentang usia 36-45 tahun adalah yang
terbanyak yaitu 50%.2 Endometriosis paling banyak ditemukan pada wanita nulipara
dibandingkan dengan primipara dan multipara. Beberapa keadaan lain yang menyertai
endometriosis antara lain subfertilitas sekitar 21-47% dan nyeri pelvik kronis sekitar 71-
80% (Setya, 2019).
Mekanisme terjadinya endometriosis masih belum jelas. Namun terdapat beberapa teori
yang diyakini terjadi pada proses pertumbuhan endometriosis:
a. Teori sampson (implantasi langsung sel endometrium, biasanya dengan cara menstruasi
retrograde). Pada mekanisme ini digambarkan bahwa terdapat aliran balik darah haid
yang berisi jaringan endometrium melalui saluran tuba falopi kemudian tumpah keluar
dan melakukan implantasi di rongga peritoneum. Mekanisme ini sering dengan
terjadinya endometriosis pelvis dan kecenderungannya pada ovarium dan peritoneum
pelvis, serta pada beberapa tempat seperti bekas luka insisi atau bekas luka episiotomi
(Liu, 2019).
b. Teori halban (Penyebaran sel endometrium melalui pembuluh darah dan limfatik). Pada
teori ini mengatakan bahwa jaringan endometrium menyebar melalui saluran limfatik
yang terdapat di uterus kemudian dibawa ke tempat-tempat di pelvis yang akan menjadi
tempat pertumbuhan dari jaringan endometrium secara ektopik. Endometriosis yang jauh
dapat dijelaskan dengan mekanisme ini (misalnya, Endometriosis di lokasi seperti
kelenjar getah bening, rongga pleura, dan ginjal) (Liu, 2019).
c. Teori meyer (metaplasia coelomic dari sel-sel multipotensial di rongga peritoneum).
Teori ini mengemukakan bahwa endometriosis berasal dari sel ekstra uteri yang secara
abnormal melakukan transdiferensiasi atau transformasi menjadi sel endometriosis yang
dalam kondisi tertentu, sel-sel ini dapat berkembang menjadi jaringan endometrium yang
fungsional (Liu, 2019).
d. Teori hormon. Endometriosis dikenal sebagai estrogen dependent disease. Kejadian
endometriosis sebagian besar didapatkan pada perempuan usia reproduksi dan tidak
terjadi pada perempuan usia pascamenopause yang sudah tidak memproduksi hormon.
Hormon estrogen berperan pada proliferasi endometrium saat terjadinya proses
menstruasi yang normal, keadaan ini sama dengan endometriosis dimana hormon
estrogen menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan meningkatkan respon
jaringan endometriosis terhadap estrogen. Perubahan hormon yang terjadi memengaruhi
proliferasi sel endometrium ektopik, penempelan pada mesotelium dan penghindaran
dari clearance sistem imun tubuh (Liu, 2019).
e. Teori inflamasi dan stres oksidatif. Terjadi peningkatan mediator inflamasi pada serum
dan cairan peritoneum perempuan penderita endometriosis. Selain itu, keluhan nyeri
pada penderita endometriosis dapat berkurang dengan pemberian obat nonsteroid
antiinflamasi. Selain itu, endometriosis juga dikaitkan dengan Reactive Oxygen Species
(ROS). ROS akan menyebabkan terjadi pelepasan produk pro inflamasi dan stres
oksidatif sehingga menimbulkan reaksi inflamasi (Liu, 2019).
f. Teori defek sistem imun. Kemampuan jaringan endometrium untuk mampu bertahan
hidup di lokasi ektopik diduga berhubungan dengan respons imun penderita yang
abnormal. Belum diketahui secara pasti apakah imunitas abnormal ini sebagai sebab atau
akibat kejadian endometriosis. Namun telah diketahui bahwa terjadi perubahan imunitas
seluler maupun humoral pada penderita endometriosis sehingga respons imun yang
abnormal ini akan menghasilkan eleminasi yang tidak efektif terhadap debris-debris
aliran balik darah haid. Kondisi ini menjadi faktor penyebab perkembangan penyakit
endometriosis (Liu, 2019).
g. Teori genetik. Terdapat laporan terkait agregasi famili dan risiko tinggi pada first degree
relative serta kejadian endometriosis pada saudara kembar. Endometriosis merupakan
penyakit yang tergantung hormon estrogen. Sehingga memungkinkan terjadinya variasi
genetik yang menghasilkan peningkatan pengaruh estrogen pada lesi endometriosis yang
nantinya akan memengaruhi perkembangan pada endometriosis (Liu, 2019).
Terdapat dua gejala klinis yang paling sering menjadi keluhan pada wanita dengan
endometriosis yaitu nyeri dan infertilitas. Nyeri yang terjadi dapat berupa nyeri panggul
kronis, dysmenorrhea, dyspareunia, dan dyschezia. Infertilitas yang terjadi pada penderita
endometriosis disebabkan karena terjadinya gangguan pada lingkungan uterus sehingga
perlekatan sel telur yang sudah dibuahi pada dinding uterus menjadi terganggu. Pada
endometriosis yang sudah parah, terjadi perlekatan pada rongga panggul, saluran tuba, atau
indung telur yang dapat menggangu transportasi embrio (Gonzales, 2021).
Untuk menegakkan diagnosis dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditemukan adanya nyeri di daerah pelvis
yang berlangsung cukup lama dan mengganggu dalam aktivitas sehari harinya. Gejala lain
yang dikeluhkan pasien yaitu infertilitas. Endometriosis sedang atau berat yang mengenai
ovarium akan mengganggu motilitas ovum di dalam tuba uterina yang akhirnya
menyebabkan infertilitas. Pada penderita endometriosis kemungkinan untuk melahirkan
bayi hidup menurun dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita endometriosis.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Pada pemeriksaan ginekologi biasanya pada
kavum douglas akan ditemukan nodul nodul yang sangat nyeri. Selain itu juga ditemukan
uterus yang membesar secara merata. Uterus biasanya terdapat nyeri tekan dan sedikit lunak
bila dilakukan pemeriksaan bimanual pada saat prahaid (Liu, 2019).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan ultrasonografi.
Pada USG dapat dilihat adanya uterus yang membesar secara difus dan gambaran penebalan
dinding uterus terutama pada bagian posterior dengan fokus-fokus ekogenik, rongga
endometriosis eksentrik, adanya penebalan dengan gambaran hiperekoik, kantung-kantung
kistik 5-7 mm yang menyebar menyerupai gambaran sarang lebah..
Gambar USG transvaginal dan suprapubik

Gambar Ct scan
selain itu bisa dilakukan MRI. pada pemeriksaan MRI akan terlihat adanya penebalan
dinding miometrium yang difus.
3. KISTA OVARIUM
Definisi dari kista ovarium adalah pertumbuhan jaringan abnormal berbentuk kantung
yang berisi air pada sekitar ovarium (Suryoadji,2022). Kista ovarium memiliki beragam
etiologi mulai dari fisiologis (follicular/luteal cyst) hingga keganasan ovarium dan lebih
banyak terjadi pada wanita dalam usia reproduktif.
Prevalensi sebenarnya dari penderita kista ovarium masih belum diketahui. Hal ini
banyaknya pasien tanpa gejala, yang menyebabkan kesulitan dalam diagnosis. Sebuah studi
menyebutkan sekitar 4% wanita 65 tahun yang berobat ke rumah sakit memiliki kista
ovarium. Studi lain menemukan sekitar 2,5% wanita post-menopausal memiliki kista
ovarium. Sebuah survey pada 33.739 pre menopause dan post menopause menunjukkan
prevalensi kista ovarium sebesar 46.7% dengan metode USG transvaginal (Hara, 2021).
Pasien dengan terapi gonadotropin atau penggunaan agen-agen stimulan lain seperti
dalam pengobatan infertilitas dapat menyebabkan sindroma hiperstimulasi. Kondisi lain
seperti penggunaan tamoxifen, kehamilan, hipotiroid, merokok, dan ligase tuba juga
menjadi faktor risiko kista ovarium (Hara, 2021).
Terdapat dua klasifikasi kista ovarium dan masing-masing memiliki patofisiologinya
tersendiri. Klasifikasi tersebut adalah neoplasma ovarium dan kista ovarium fungsional.
Kista ovarium fungsional terdiri dari kista folikuler dan luteal yang terjadi akibat adanya
distrupsi dari siklus normal ovulasi.
a. Kista folikular
Kista folikuler berawal dari folikel yang gagal pecah saat terjadinya ovulasi terutama
pada fase folikuler. Jika terjadi kelebihan FSH atau kekurangan LH pada fase puncak
LH, ovum dapat tidak dilepas saat proses ovulasi (hara, 2021).
b. Kista luteal
Pada kista korpus luteum, terjadi kegagalan degradasi pada korpus luteum. Kista
lutein memiliki 2 jenis, kista granulosa dan kista teka. Kista granulosa merupakan
perbesaran nonneoplastik dari ovarium disebabkan oleh luteinisasi dinding sel granulosa
pasca ovulasi. Setelah ovulasi terjadi, akan terbentuk korpus hemorarhikum akibat
terbentuknya vaskularisasi baru dan terkumpulnya darah di tengah. Adanya resorpsi
darah di ruangan ini menyebabkan terbentuknya kista korpus luteum. Sebaliknya, hingga
saat ini belum ditemukan mekanisme terbentuknya kista teka secara pasti. Umumnya
kista teka ditemukan bersamaan dengan PCOS, mola hidatidosa, dan korio karsinoma
(hara, 2021)..
Kejadian kista pada ovarium umumnya ditemukan secara tidak sengaja saat pasien
sedang melakukan pemeriksaan rutin atau pemeriksaan ginekologi lainnya. Hal ini
disebabkan oleh kista ovarium yang dapat bersifat asimtomatis terutama saat ukurannya
kecil. Kista ovarium dengan ukuran besar umumnya dapat menyebabkan gejala seperti
terjadi perasaan begah, mudah kenyang, keinginan untuk berkemih, dan rasa nyeri pada
perut. Pada Kista ovarium yang sudah berubah menjadi ganas, gejalanya dapat lebih
beragam akibat kemungkinan terjadinya metastasis, baik di daerah sekitar abdomen bahkan
dapat mencapai payudara. Gejala yang dapat ditemukan pada kista ovarium ganas berupa
malaise, penurunan berat badan, nyeri pada daerah yang terdampak (nyeri abdomen atau
nyeri dada), dan kesulitan untuk bernapas (Suryoadji, 2022). Dikarenakan kista ovarium
yang jinak umumnya bersifat asimtomatis, maka diperlukan pendekatan klinis yang baik
mengenai keluhan yang dimiliki pasien. Pemahaman mengenai onset, durasi, pemicu, dan
karakteristik perlu didalami dengan baik untuk dapat menentukan derajat keparahan dari
kista ovarium. Selain anamnesis berdasarkan keluhan dan temuan fisik, riwayat keluarga
dan faktor risiko juga penting untuk ditanyakan. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa
atau riwayat ditemukannya kista ovarium perlu ditelusuri. Riwayat menstruasi, ada atau
tidaknya rasa nyeri saat haid, peningkatan volume darah haid, serta pemendekan siklus haid
juga perlu ditanyakan pada kasus suspek kista ovarium. Riwayat obstetri juga perlu
dieksplorasi mengingat adanya hubungan kehamilan dengan kista ovarium. Riwayat operasi
serta penggunaan kontrasepsi juga perlu untuk ditanyakan. Apabila ditemukan kecurigaan
adanya kista ovarium atau ada temuan massa, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
Dalam hal ini, pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah TTV, pemeriksaan abdomen,
dan pemeriksaan dalam. Jika kista sudah membesar, dapat dirasakan adanya masa atau
benjolan pada pemeriksaan abdomen. Deskripsi masa yang perlu diberikan adalah lokasi,
ukuran, batas, kepadatan, mobilitas, dan ada atau tidaknya nyeri. Pada pemeriksaan dalam
dilakukan pemeriksaan inspeksi, inspekulo, VT atau RT untuk menentukan massa pada
adneksa. (hara, 2021).
USG transvaginal menjadi modalitas pilihan awal pada pemeriksaan ginekologi
massa adnexa. Akan tetapi pada kasus dimana USG transvaginal tidak dapat dilakukan,
USG transabdominal dapat dijadikan alternatif. Ukuran USG ovarium normal adalah 20
cm3 pada wanita usia subur dan 10 cm3 pada wanita menopause. Selain ukuran, USG dapat
melihat komposisi massa, bentuk papiler, ada tidak cairan di pelvis, dan lateralisasi. Hasil
temuan USG dapat dikategorikan sesuai IOTA. (Suryoadji, 2022) Pemeriksaan CT scan
berguna untuk melihat apakah adanya metastasis, asites, ataupun tumor primer pada organ
lainnya sedangkan pemeriksaan MRI dapat memberikan gambaran yang lebih tajam untuk
penentuan diagnosis. Meski demikian, pertimbangan mengenai biaya dan ketersediaan alat
perlu diperhatikan. Staging dari kanker ovarium berdasarkan International Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO).
Pemahaman yang baik mengenai anatomi normal dari ovarium beserta organ
disekitarnya menjadi dasar interpretasi gambaran USG massa ovarium. Ovarium merupakan
organ reproduksi wanita yang berjumlah sepasang dan berbentuk seperti kacang almond.
Ovarium terletak bebas pada rongga perut dan tidak dilapisi oleh peritoneum. Ovarium
terdiri atas 2 struktur bernama korteks, bagian luar yang melapisi kelenjar eksternal dan
memiliki folikel, serta medulla yang tersusun atas jaringan ikat, otot polos, ataupun
pembuluh darah dan berada di bagian lapisan yang lebih dalam. Bentuk dan ukuran ovarium
tidak selalu sama pada setiap wanita. Pada anak-anak yang berusia <5 tahun, volume
ovarium sebesar <1 cc. Sementara untuk wanita dalam usia reproduktif dapat mencapai
ukuran 6 – 10 cc dengan volume maksimum 14 – 16 cc dan dimensi sebesar 3 x 2 x 2 cm.
Ukuran ini akan menyusut saat seorang wanita menginjak masa menopause menjadi sekitar
3 – 6 cc dengan volume maksimum sebesar <7 cc dan dimensi 2 x 1,5 x 1,5 cm. Pada wanita
postmenopause ovarium telah atrofi. Gambaran USG normal umumnya berbentuk oval
hipoekogenik dan ekotekstur homogen. Pada wanita usia reproduktif, dapat terlihat folikel
yang mudah diidentifikasi akibat besarnya volume ovarium. Sebaliknya pada usia non-
reproduktif seperti menopause, folikel akan semakin sulit terlihat karena volume yang
menyusui (Suryoadji, 2022).

Gambar USG transvaginal axial : ovarium normal


Gambaran USG dengan massa ovarium jinak umumnya merupakan kista fungsional
(fisiologis). Terdapat 2 fase kista fungsional yaitu kista folikel atau kista folikular simpleks
yang timbul saat tidak adanya ovulasi dan kista korpus luteum yang timbul pasca-ovulasi
atau setelah pecahnya folikel Graff. Gambaran kista folikel pada USG adalah massa anekoik
berbentuk bulat/oval, berbatas tegas, dan berdinding tipis.

Gambar USG dopler transvaginal axial : kista folicular ovarium


sedangkan kista korpus luteum memiliki gambaran seperti jaring laba-laba yang berada
dalam suatu ruang (kista). Kista korpus luteum umumnya bersifat unilateral, berbatas tegas,
serta memiliki bayangan hipoekoik, gema, dan tampak jaring-jaring. Kista ovarium
umumnya berukuran 1,5 hingga 2,5 cm. Kista dapat berkembang hingga ukuran 6 cm saat
terjadi ovulasi atau mengalami remisi spontan.

Gambar USG dopler transvaginal axial : kista teca luteal ovarium


Jenis kista ovarium jinak lainnya adalah kista dermoid. Kista ini dapat berukuran
sebesar 15 cm. Kista dermoid memiliki gambaran USG yang tidak homogen dengan
beberapa komponen kistik serta kombinasi daerah hiperekoik. Kombinasi ini tercipta akibat
jaringan kitsa yang berasal dari berbagai lapisan ektoderm seperti rambut, tulang, gigi,
ataupun lemak (Williams, 2019).

Gambar USG transvaginal axial : kista dermoid


Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) merupakan suatu bentuk kista ovarium akibat
gangguan hormonal yang terjadi pada siklus ovarium. Gangguan ini terjadi akibat sedikit
atau bahkan tidak adanya lonjakan hormon estrogen dan LH dalam siklus ovulasi seorang
wanita sehingga menyebabkan anovulasi. PCOS memiliki umum seperti hirsutisme, tidak
menstruasi (amenorea), infertilitas, dan obesitas. PCOS memiliki gambaran USG seperti
ovarium yang berisi banyak kista (polikistik) dengan folikel kistik multipel berjumlah
minimal 12 buah dan berukuran 2 – 6 mm serta volume ovarium yang membesar menjadi
sebesar >10 cc. Gambaran hiperekoik pada bagian tengan dengan pembesaran stroma juga
ditemukan pada PCOS (Carmina, 2022).

Gambar USG transvaginal axial : PCOS


Computer Tomography scan (CT scan) merupakan salah satu dari modalitas
pencitraan yang dapat digunakan dalam memeriksa massa di ovarum. CT scan
menggunakan sinar- X untuk mendapatkan gambaran potong lintang tubuh. CT scan
umumnya digunakan pada evaluasi preoperatif pada suspek keganasan ovarium. Bentuk dari
kista ovarium dapat menyerupai keganasan, namun beberapa gambaran seperti adanya kista
berdinding tebal, bersepta dan adanya papillary projection yang dapat lebih jelas terlihat jika
menggunakan kontras.

Gambar Ct scan abdomen non kontras axial : kista ovarium kiri

4. KISTADENOMA OVARIUM
Kistadenoma ovarium merupakan tumor epitelial ovarium jinak yang umumnya
memiliki prognosis baik. Beberapa jenis kistadenoma ovarium di antaranya adalah
kistadenoma ovarii serosum, kistadenoma ovarii musinosum, kistadenoma endometrioid,
kistadenoma clear cell dan kistadenoma seromusinosum (Limaiem et al., 2023).
Prevalensi kistadenoma serosa ovarium jinak mewakili 16% dari seluruh neoplasma
epitel ovarium dan merupakan dua pertiga dari tumor epitel ovarium jinak dan sebagian
besar tumor ovarium serosa. Terjadi pada orang dewasa segala usia, dengan usia rata-rata
yang dilaporkan bervariasi antara 40 hingga 60 tahun. Bentuknya bilateral pada 10 hingga
20% kasus. Sedangkan kistadenoma musinosa pada ovarium terjadi terutama pada dekade
ketiga hingga keenam, namun dapat juga terjadi pada wanita yang lebih muda dan bersifat
unilateral pada 95% kasus (Limaiem et al., 2023).
Faktor risiko yang diduga mendasari terjadinya kista ovarium di antaranya adalah
riwayat keluarga, paparan radikal bebas, nuliparitas, pengobatan infertilitas dengan obat
penginduksi ovulasi, konsumsi obat tamoxifen, kehamilan, hipotiroidisme, kebiasaan
merokok, dan riwayat ligasi tuba uterine (Stany et al., 2018).
Kista ovarium dengan ukuran 1-3 cm umumnya tidak menimbulkan gejala dan
ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan ultrasonografi. Kista dengan ukuran yang
lebih besar dapat menimbulkan gejala yang kurang spesifik seperti nyeri pelvis, perut terasa
penuh atau kembung, rasa tidak nyaman atau pegal di punggung dan perut bagian bawah,
serta rasa tidak nyaman saat berhubungan seksual (Limaiem et al., 2023).
Gambaran USG pada kistadenoma ovarium serosa maupun musinous

Gambar 1. Kistadenoma serosa unilokular

Gambar 2. Kistadenoma serosa multiokular


→ Ini tampak sebagai struktur halus, berdinding tipis, anechoic, dan berisi cairan.

Bentuknya bilateral pada 15% kasus dan ukuran rata-ratanya adalah 5–8 cm Beberapa

diantaranya mempunyai septasi yang halus sementara yang lain memiliki area

perdarahan yang tampak sebagai area ekogenik kecil (Sayasneh et al., 2018).

→ Temuan makroskopis :Kistadenoma serosa berukuran berkisar dari 1 hingga lebih dari
30 cm dalam dimensi terbesar (rata-rata = 10 cm). Permukaan luarnya halus dan
mengandung satu atau lebih kista berdinding tipis berisi cairan bening dan encer.
Kistadenoma serosa biasanya unilokular namun bisa juga multilokular (Limaiem et al.,
2023).
Gambar 3. Kistadenoma musinous unilokular

Gambar 4. Kistadenoma musinous multiokular

→ Kista musinous secara klasik berdinding tipis, besar dan unilateral. Mereka terdiri dari

lokus internal berdinding tipis yang mengandung musin yang tampak sebagai cairan

dengan tingkat ekogenisitas rendah (Sayasneh et al., 2018).

→ Temuan makroskopis : kistadenoma musinosa memiliki permukaan halus dan biasanya


multilokular dan terkadang unilokular. Ukurannya berkisar dari beberapa sentimeter
hingga lebih dari 30 cm; dengan rata-rata 10 cm (Limaiem et al., 2023).

Gambaran CT-scan kistadenoma ovarium serosa


Gambar 6. CT Scan kistadenoma serosa
→ Tampak massa kistik unilokular (biasanya) atau multilokular dengan atenuasi CT
homogen, dengan dinding atau septum tipis teratur, dan biasanya tidak ada vegetasi
endokistik atau eksokistik. Kista bisa berukuran cukup besar dan berpotensi terlihat
memenuhi sebagian besar panggul bagian bawah hingga meluas ke perut bagian atas.

Gambar 7. CT Scan kistadenoma musinous


→ Menunjukkan massa kistik unilokular yang besar, berbatas tegas, berukuran 25 × 25 cm
(Somagutta et al., 2020)
5. KANKER ENDOMETRIUM
Kanker endometrium merupakan tumor ganas primer yang berasal dari endometrium
dan miometrium. Sebagian besar merupakan adenokarsinoma (90%). Karsinoma
endometrium terutama adalah penyakit pada wanita pascamenopause, walaupun 25%
kasus terdapat pada wanita yang berusia kurang dari 50 tahun dan 5% kasus terdapat pada
usia dibawah 40 tahun. Kanker endometrium mempunyai 2 tipe yang berbeda pada
masing-masing tipenya. Tipe pertama adalah endometrioid adenocarcinoma dengan
insidensi 75% dari seluruh total kasus kanker endometrium. Tipe pertama ini adalah
estrogen dependent, dan berasal dari atypical endometrial hyperplasia. Sedangkan tipe
kedua biasanya mempunyai karakter clear cell, tidak ada lesi prekursor, dan lebih agresif
(Faria et al., 2019)
Kanker endometrium merupakan keganasan ginekologi yang paling umum, dengan
puncak insidensi terjadi pada sekitar dekade ke- 6 , meskipun 12% kasus terjadi pada
wanita premenopause. Faktor risiko karsinoma endometrium adalah terapi penggantian
estrogen, sindrom ovarium polikistik dan siklus anovulasi, tamoxifen, obesitas, menarche
dini atau menopause terlambat, nuliparitas, tumor ovarium penghasil estrogen , misalnya
kanker sel granulosa dan penyakit diabetes mellitus (Faria et al., 2019).
Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah perdarahan abnormal pasca menopause
dan yang belum menopause. Keluhan keputihan paling banyak menyertai keluhan utama,
keluhan lain ada nyeri perut bagian bawah, kesulitan berkemih dan nyeri saat melakukan
hubungan seksual (Bosch V, et al., 2020).

Gambaran USG pada kanker endometrium

Gambar 8. USG Endometrium


→ Adanya penebalan rongga endometrium dan menebal karena adanya cairan (Becker, 2023)
Gambaran CT Scan pada kanker endometrium

Gambar 9. CT Scan Ca endometrium

→ Massa yang relatif hipoatenuasi di daerah rongga endometrium. Terlihat jelas adanya
penipisan miometrium difus, bertangkai berukuran sekitar 4,0 cm (Becker, 2023)
Pada pemeriksaan CT Scan mempunyai peran dalam menilai metastasis jauh. Meskipun
umumnya tidak digunakan untuk diagnosis awal atau penentuan stadium lokal, kanker
endometrium dapat ditemukan pada CT:
- CT non-kontras: sulit dibedakan dari rahim normal (terutama pada penyakit lokal)
- CT pasca kontras : mungkin menunjukkan penebalan atau massa yang menyebar di
dalam rongga endometrium juga dapat memiliki penampakan massa yang hipo
peningkatan dan hipoatenuasi di dalam rongga endometrium (Bosch et al., 2019)

KESIMPULAN
Massa urogenitalia wanita memiliki spektrum histopatologis dan radiologis yang luas.
USG, CT-scan dan MRI adalah alat yang paling penting dalam evaluasi massa urogenitalia
wanita. Hal tersebut dapat memperkuat diagnosis dan mempersempit diagnosis banding,
Tindakan biopsi juga dapat di lakukan untuk memastikan secara histopatologi pada tumor
urogenitalia wanita.

SARAN

Perlu adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi para dokter umum
berkaitan dengan tanda klinis dan penunjang seperti ultrasonografi dan CT scan untuk
mnegetahui kecurigaan awal massa tumor urohenitalia wanita. Hal ini dimaksudkan untuk
mendeteksi sedini mungkin massa urogenitalia wanita baik yang jinak maupun keganasan
sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas serta meningkatkan angka
harapan hidup pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Bray, F., Ferlay, J., Soerjomataram, I., Siegel, R. L., Torre, L. A., & Jemal, A. (2019). Global
cancer statistics 2018: GLOBOCAN estimates of incidence and mortality worldwide for
36 cancers in 185 countries. CA: A Cancer Journal for Clinicians.
https://doi.org/10.3322/caac.21492

Bosch, T. Van Den. (2019). Ultrasound in the diagnosis of endometrial and intracavitary
pathology : an update. Australasian Journal of Ultrasound in Medicine, 15(1), 1–5.

Carmina, E., Dreno, B., Lucky, W. A., Agak, W. G., Dokras, A., Kim, J. J., ... & Dumesic, D.
(2022). Female adult acne and androgen excess: A report from the multidisciplinary
Androgen Excess and PCOS committee. Journal of the Endocrine Society, 6(3), bvac003
Curry, S. J., Krist, A. H., Owens, D. K., Barry, M. J., Caughey, A. B., 'DYLGVRQ . : ´ :RQJ -
% (2019). Screening for cervical cancer us preventive services task force recommendation
statement. JAMA - Journal of the American Medical Association.
https://doi.org/10.1001/jama.2018.108 97
Gonzalez, R. H., Singh, M. S., & Hamza, S. A. (2021). Cutaneous endometriosis: a case report
and review of the literature. The American Journal of Case Reports, 22, e932493-1..
Hana A, Freddy WW. (2019). Hermine MMT. Karakteristik penderita mioma uteri di RSUP
Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Jurnal Medik dan Rehabilitasi; 1(3):1-6.
Hara, T., Mimura, K., Endo, M., Fujii, M., Matsuyama, T., Yagi, K., ... & Kimura, T. (2021).
Diagnosis, management, and therapy of fetal ovarian cysts detected by prenatal
ultrasonography: a report of 36 cases and literature review. Diagnostics, 11(12), 2224.
Lubis, P. N. (2020). Diagnosis dan Tatalaksana Mioma Uteri. Cermin Dunia Kedokteran,
47(3), 196-200.
Lupean, R. A., Ștefan, P. A., Oancea, M. D., Măluțan, A. M., Lebovici, A., Pușcaș, M. E.,
Csutak, C., & Mihu, C. M. (2020). Computer tomography in the diagnosis of ovarian
cysts: The role of fluid attenuation values. Healthcare (Switzerland), 8(4), 1–15.
https://doi.org/10.3390/healthcare8040398
Liu, S., Kohlmeier, A., Yin, P., Milad, M., & Wei, J. (2019). Serdar E. Bulun, Bahar D. Yilmaz,
Christia Sison, Kaoru Miyazaki, Lia Bernardi.
Sayasneh, A., Ekechi, C., Ferrara, L., Kaijser, J., Stalder, C., Sur, S., Timmerman, D., &
Bourne, T. (2019). The characteristic ultrasound features of specific types of ovarian
pathology (Review). International Journal of Oncology, 46(2), 445–458.
https://doi.org/10.3892/ijo.2014.2764
Suryoadji, K. A., Ridwan, A. S., Fauzi, A., & Kusuma, F. (2022). Diagnosis dan Tatalaksana
pada Kista Ovarium: Literature Review. Khazanah: Jurnal Mahasiswa, 14(1).
Setya LK, Wardhani T, Annas JY (2019). Profil Pasien Endometriosis dengan Riwayat
Dysmenorrhea di Poli Infertilitas-Endokrin RSUD dr. Soetomo Surabaya
Somagutta, M. R., Luvsannyam, E., Jain, M. S., Elliott-Theberge, K., Grewal, A. S., Pendyala,
S. K., & Edwards, C. (2020). A Rare Case of Massive Ovarian Mucinous Cystadenoma
With Postmenopausal Bleeding. Cureus, 12(9). https://doi.org/10.7759/cureus.10198
Valentini, A. L., Gui, B., Miccò, M., Mingote, M. C., De Gaetano, A. M., Ninivaggi, V., &
Bonomo, L. (2018). Benign and suspicious ovarian masses-MR imaging criteria for
characterization: Pictorial review. Journal of Oncology, 2012.
https://doi.org/10.1155/2012/481806
Wilde, S., & Scott-Barrett, S. (2019). Radiological appearances of uterine fibroids. Indian
Journal of Radiology and Imaging, 19(03), 222-231.
Williams, P. L., Dubbins, P. A., & Defriend, D. E. (2019). Ultrasound in the diagnosis of
ovarian dermoid cysts: a pictorial review of the characteristic sonographic signs.
Ultrasound, 19(2), 85-90.
Wojtowicz, K., Góra, T., Guzik, P., Harpula, M., Chechliński, P., Wolak, E., & Stryjkowska-
Góra, A. (2022). Uterine myomas and sarcomas–clinical and ultrasound characteristics
and differential diagnosis using pulsed and color Doppler techniques. Journal of
Ultrasonography, 22(89), 100-108.
Zermeño-Nava, J. D. J., Martínez-Martínez, M. U., Rámirez-De-Ávila, A. L., Hernández-
Arteaga, A. C., GarcíaValdivieso, M. G., Hernández-Cedillo, $ ´ 1DYDUUR-Contreras,
H. R. (2019). Determination of sialic acid in saliva by means of surface-enhanced Raman
spectroscopy as a marker in adnexal mass patients: Ovarian cancer vs benign cases.

Anda mungkin juga menyukai