Dosen Pengampu
Dr. Anggorowati, S. Kp, M.Kep, Sp.Mat
Disusun oleh:
A. LATAR BELAKANG
Sehat dan sakit merupakan satu kesatuan yang akan dialami setiap individu
termasuk kesehatan reproduksi secara holistic, namun dengan beriringnya waktu
kesehatan reproduksi menjadi trending topik dimana terjadinya peningkatan kasus
diseluruh dunia. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di
bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker
ovarium di seluruh dunia dan 125.000 meninggal karena penyakit ini. Kanker
ovarium merupakan penyebab utama kematian wanita karena kanker dan merupakan
penyebab kelima kematian karena kanker di Amerika Serikat (AS). Satu diantara 78
wanita di AS (1.3%) diperkirakan akan mengalami kanker ovarium selama
hidupnya. 80% dari 14.000 kasus kanker ovarium di Amerika Serikat yang
terdiagnosis pertahunnya berasal dari sel epitel (Gubbels, 2010)
Menurut data dari Globocan 2020, kanker ovarium menempati urutan ke-5 dari
seluruh jenis kanker yang terjadi pada wanita di Indonesia dengan jumlah kasus
sebanyak 4.376 kasus per tahun. Angka kematian akibat kanker ovarium di
Indonesia juga cukup tinggi, yaitu sekitar 3.100 kasus per tahun.
Keganasan terjadi saat seorang mengalami kanker ovarium barulah terdeteksi saat
sudah memasuki stadium lanjut sehingga saat diketahui sudah parah. Biasanya
orang yang menderita kanker ovarium tampak kurus dan perut asites. Karena proses
perjalanan penyakit yang ditmbulkan dari kanker tersebut, sehingga penderita
mengalami anorexia atau tidak nafsu makan karena mual dan muntah. Sedangkan
asites itu sendiri ditimbulkan akibat dari cairan tumor dan tumor itu sendiri. kanker
ovarium bisa juga mengakibatkan efusi pleura karena perjalanan tumor itu.
Penatalaksanaan pada klien dengan kanker ovarium adalah pembedahan,
pembedahan bisa pembedahan total dengan mengangkat keseluruhan dari rahim,
salping, dan ovarium tapi juga bisa saja hanya pada ovarium atau pada saluran tuba
falopii tergantung keparahan dari kanker itu sendiri. Tanda khas dari kanker
ovarium yang paling banyak adalah Meigg Syndrome, yang merupakan tiga gejala
khas pada orang dengan kanker ovarium. Dari latar belakang diatas penulis tertarik
untuk Menyusun makalah tentang gambarang dari kanker ovarium.
B. RUMUSAN MASALAH
Adanya peningkatan kasus diharapakan mahasiswa mampu mengetahui gambaran
proses terjadinya kanker ovarium serta asuhan keperawatan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengerti dan memahami keseluruhan isi materi tentang
konsep dasar penyakit maupun konsep dasar asuhan keperawatan pada kanker
ovarium.
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan definisi dan etiologi kanker ovarium
b. Menjelaskan patofisiologis, diagnose, dan pengobatan kanker ovarium
c. Menjelaskan upaya preventif kanker ovarium
d. Menjelaskan deteksi dini keganasan, dampak, serta pengobatan secara
bisopsikososio spiritual kanker ovarium
e. Mengkaji permasalahan keperawatan (asuhan keperawatan) dari kanker
ovarium
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
1. Pengertian Kanker Ovarium
Kanker ovarium adalah kondisi dimana sel-sel abnormal berkembang di dalam
ovarium, yaitu salah satu dari dua organ reproduksi perempuan yang
memproduksi telur dan hormon estrogen. Kanker ovarium dapat berkembang
dari sel-sel epitelial, yaitu lapisan sel-sel pada permukaan ovarium, atau dari sel-
sel stromal, yaitu jaringan ikat di dalam ovarium. Kanker ovarium seringkali
tidak ditemukan pada tahap awal karena gejalanya yang tidak spesifik.
2. Stadium Kanker
Ovarium Stadium kanker ovarium menentukan tingkat keparahan kanker dan
melibatkan pembagian menjadi empat tahap: stadium I, stadium II, stadium III,
dan stadium IV. Tahap awal (stadium I dan II) menunjukkan kanker yang
terbatas pada ovarium, sementara tahap lanjut (stadium III dan IV) menunjukkan
kanker yang sudah menyebar ke luar ovarium dan organ lain dalam tubuh.
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi kanker ovarium masih belum diketahui secara pasti. Meski
demikian, terdapat beberapa teori yang diduga berperan dalam terjadinya kanker
ovarium, yakni teori ovulasi incessant, teori two-pathways, dan teori tuba falopi.
1. Teori Ovulasi Incessant
Kanker ovarium pada mulanya selalu berasal dari lapisan epitel dari
permukaan sel-sel ovarium. Selama proses ovulasi, permukan sel epitel
mengalami trauma, yang nantinya akan diperbaiki dengan cepat dan secara
otomatis. Selama siklus hidup wanita, ovulasi terjadi berulang kali yang
menyebabkan trauma berulang pada epitel, sehingga menyebabkan terjadinya
kerusakan seluler DNA.
Sel-sel epitel yang mengalami kerusakan DNA sangat rentan terhadap
perubahan yang dapat memfasilitasi terjadinya invaginasi pada stroma
kortikal. Invaginasi ini pada akhirnya akan terjebak dan membentuk bola sel
epitel di dalam stroma yang disebut dengan kista inklusi kortikal. Sementara
itu, di dalam ovarium sel epitel terpapar dengan hormon ovarium yang
menstimulasi terjadinya proliferasi sel, sehingga terbentuklah sel kanker.
Kelemahan dari teori ini adalah tidak dapat menjelaskan beberapa tipe
histologik lain dari kanker ovarium. Selain itu, teori ini kontradiktif pada
pasien dengan kondisi sindrom ovarium polikistik (PCOS), yang memiliki
siklus ovulasi lebih sedikit tapi memiliki risiko tinggi untuk mengalami
kanker ovarium.
2. Teori Tuba Falopi
Berdasarkan teori ini, diduga lesi prekursor dari kanker ovarium berasal dari
tuba falopi. Pada 50% tuba falopi wanita yang memiliki mutasi pada gen
BRCA 1/2 mengalami displasia epitelial. Displasia epitelial atau disebut
dengan Karsinoma Intraepitelial Tubal (TIC) ini memiliki karakteristik
histologik yang serupa dengan karsinoma ovarium tipe serosa derajat tinggi
(high grade serous ovarian carcinoma) dan kanker peritoneum tipe serosa
derajat tinggi.
Pada pasien dengan kanker ovarium yang disertai dengan displasia epitelial
pada tuba falopi, ditemukan bahwa pada ovarium yang sehat (kontralateral)
tidak ditemukan adanya kelainan histologik ataupun morfologik, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tuba falopi merupakan lesi prekursor kanker yang
kemudian menyebar ke ovarium. Selain adanya keterlibatan dari mutasi gen
BRCA, mutasi gen TP53 juga diduga berperan dalam terjadinya TIC. Ekspresi
dari TP53 merupakan respon dari kerusakan DNA pada sel epitelial pada tuba
akibat paparan dari sitokin dan oksidan.
3. Teori Two-Pathways
Berdasarkan teori ini, kanker ovarium terbagi menjadi 2 tipe, yakni tipe I dan
tipe II. Kanker ovarium tipe I terdiri dari serosa derajat rendah, musinosa,
endometrioid, clear cell, dan tipe histologik transisional. Kanker ovarium tipe
II terdiri dari serosa derajat tinggi, undifferentiated, dan tipe histologik
karsinosarkoma.
Pada kanker ovarium tipe I, lesi prekursor diduga berasal dari ovarium,
bersifat jinak, secara genetik stabil, dan pertumbuhan kanker sifatnya lambat.
Patogenesisnya pun bersifat tradisional, permukaan ovarium menerima
stimulasi proliferasi dari lingkungan, dan terjadi perubahan menjadi sel
kanker. Mutasi genetik yang paling sering ditemukan pada tipe I yakni mutasi
KRAS dan BRAF, keduanya mengaktivasi jalur onkogenik MAPK.
Pada kanker ovarium tipe II, lesi prekursor berasal dari luar ovarium, salah
satunya yakni tuba falopi. Kanker umumnya bersifat ganas, secara genetik
tidak stabil, dan pertumbuhan kanker sifatnya cepat. Biasanya kanker ovarium
tipe II baru terdiagnosis pada stadium lanjut. Mutasi gen yang paling sering
ditemukan pada kanker ovarium tipe II yakni mutasi gen BRCA1/2, gen TP53,
HER2/neu, dan gen AKT.
D. PENEGAK DIAGNOSA
Kanker ovarium merupakan pertumbuhan sel-sel yang terbentuk di ovarium. Sel-
sel berkembang biak dengan cepat dan dapat menyerang atau menghancurkan
jaringan tubuh yang sehat. Sistem reproduksi wanita mengandung 2 (dua)
ovarium, dengan satu di setiap sisi rahim. Masing-masing ovarium seukuran
almond, yang menghasilkan sel telur (ovum), hormon estrogen, dan hormon
prosgesteron. Adapun pengobatan dari penyakit ini biasanya dilakukan
pembedahan dan kemoterapi. Kanker indung telur atau kanker ovarium adalah
tumor ganas pada ovarium (indung telur). Kanker ini paling sering ditemukan
pada wanita 50-70 tahun. Kanker ovarium bisa menyebar ke bagian lain, seperti
panggul dan perut melalui sistem bening dan melalui sistem pembuluh darah
menyebar ke hati dan paru-paru.
1. Gejala umum
Gejala yang biasanya muncul pada penderita kanker ovarium seperti haid
tidak teratur, metrorargia (perdarahan uterus yang terjadi di luar siklus
menstruasi), nyeri tekan pada payudara, menopause dini, rasa tidak nyaman /
nyeri pada perut, dyspepsia (nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian
atas), sering berkemih, lingkar abdomen yang terus meningkat, serta perut
kembung, dan mual. Kanker ovarium yang terdeteksi pada stadium awal lebih
mudah untuk diatasi daripada kanker ovarium yang baru terdeteksi pada
stadium lanjut.
2. Gejala Kanker Ovarium
Kanker ovarium jarang menimbulkan gejala pada stadium awal. Gejala kanker
ovarium stadium lanjut juga tidak terlalu spesifik dan bisa mirip dengan gejala
penyakit lain. Beberapa gejalanya adalah :
a. Perut kembung
b. Cepat kenyang
c. Sakit perut
d. Mual
e. Konstipasi (sembelit)
f. Perut membengkak
g. Berat badan menurun
h. Sering buang air kecil
i. Sakit di punggung bagian bawah
j. Nyeri saat berhubungan seksual
k. Keluar darah dari vagina
l. Perubahan siklus menstruasi, pada penderita yang masih mengalami
menstruasi
3. Pemeriksaan Kanker Ovarium
Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, terutama pada area panggul dan
organ kelamin. Jika pasien diduga menderita kanker ovarium, dokter akan
menjalankan pemeriksaan lanjutan berupa:
a. Tes darah
Tes darah bertujuan untuk mendeteksi protein CA-125, yang merupakan
penanda adanya kanker
b. Pemindaian
Metode awal yang dilakukan untuk mendeteksi kanker ovarium adalah USG
perut. Setelah itu, dokter dapat melakukan CT scan atau MRI.
c. Biopsi
Pada pemeriksaan ini, dokter akan mengambil sampel jaringan ovarium
untuk diteliti di laboratorium. Pemeriksaan ini dapat menentukan apakah
pasien menderita kanker ovarium atau tidak.
4. Stadium Kanker Ovarium
Berdasarkan tingkat keparahannya, kanker ovarium dibedakan menjadi 4
(empat) stadium , yaitu :
a. Stadium 1
Kanker terdapat di salah satu atau kedua ovarium dan belum menyebar ke
organ lain.
b. Stadium 2
Kanker sudah menyebar ke jaringan dalam rongga panggul atau rahim.
c. Stadium 3
Kanker telah menyebar ke selaput perut (peritoneum), permukaan usus, dan
kelenjar getah bening di panggul atau perut.
d. Stadium 4
Kanker sudah menyebar ke organ lain yang letaknya jauh, seperti ginjal, hati,
atau paru-paru
Stadium kanker ovarium menurut Figo (Federation International of Gynecology
and Obstetrics) 1987 dalam (Nurarif & Kusuma, 2015) adalah:
a. Stadium I : Pertumbuhan terbatas pada ovarium
Stadium IA : Pertumbuhan terbatas pada suatu ovarium, tidak ada batas yang
berisi sel ganas, tidak ada pertumbuhan di permukaan luar, kapsul utuh.
b. Stadium IB : Pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, tidak asietas, berisi
sel ganas, tidak ada tumor di permukaan luar, kapsul intak
c. Stadium IC : Tumor dengan stadium Ia dan Ib tetapi ada tumor di
permukaan luar atau kedua ovarium atau kapsul pecah atau dengan berisi sel
ganas atau dengan bilasan peritonium positif.
d. Stadium II : Pertumbuhan pada satu atau dua ovarium dengan perluasan ke
panggul.
e. Stadium IIA : Perluasan atau metastasis ke uterus dan atau tuba.
f. Stadium IIB : Perluasan jaringan pelvis lainnya
g. Stadium IIC : Tumor stadium 2A dan 2B tetapi pada tumor dengan
permukaan satu atau kedua ovarium, kapsul pecah atau dengan aktivitas
yang mengandung sel ganas dengan bilasan peritoneum positif.
h. Stadium III : Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implant di
peritonium di luar pelvis dan atau retroperitoneal positif.
i. Stadium IIIA : Tumor terbatas di pelvis kecil dengan kelenjar getah bening
negative tetapi secara histologi dan dikonfirmasi secara mikroskopis terdapat
adanya pertumbuhan di permukaan peritonium abdominal.
j. Stadium IIIB : Tumor mengenai 1/2 kedua ovarium dengan implan di
permukaan peritonium dan terbukti secara mikroskopis,diameter melebihi 2
cm, dan kelenjar getah bening negatif.
k. Stadium IIIC : Implan di abdomen dengan diameter lebih dari 2 cm dan atau
kelenjar getah bening retroperitoneal atau inguinal positif.
l. Stadium IV : Pertumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dengan
metastasis jauh.
Menurut (Prawirohardjo, 2014) manifetasi klinis dari kanker ovarium:
a. Stadium awal : gangguan haid, konstipasi, sering berkemih, nyeri spontan
panggul, nyeri saat bersenggama.
b. Stadium lanjut : asites, penyebaran ke omentum (lemak perut), perut
c.
membuncit, kembung dan mual, gangguan nafsu makan,gangguan BAB dan
BAK, sesak nafas, dyspepsia.
Menurut (Salani Ritu, 2011) yang harus dilakukan pada pasien kanker ovarium
yaitu :
a. Uji asam deoksiribonukleat mengindikasikan mutasi gen yang abnormal
b. Pencitraan USG abdomen, CT scan, atau ronsen menunjukkan ukuran tumor.
Pada stadium awal tumor berada di ovarium, stadium II sudah menyebar ke
rongga panggul, stadium III sudah menyebar ke abdomen, dan stadium IV
sudah menyebar ke organ lain seperti hati, paru-paru, dan gastrointestinal
c. Prosedur diagnostik Aspirasi cairan asites dapat menunjukkan sel yang tidak
khas. Pada stadium III kanker ovarium cairan asites positif sel kanker.
d. Pemeriksaan lain Laparatomi eksplorasi, termasuk evaluasi nodus limfe dan
reseksi tumor, dibutuhkan untuk diagnosis yang akurat dan penetapan
stadium berapa kanker ovarium tersebut.
E. PENGOBATAN
Pengobatan kanker ovarium dapat melibatkan berbagai metode, tergantung pada
jenis kanker, stadium kanker, kesehatan umum pasien, dan preferensi pasien.
Beberapa metode pengobatan yang umum digunakan untuk kanker ovarium
adalah sebagai berikut:
1. Operasi: Ini melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh ovarium dan
jaringan terdekat yang terinfeksi kanker. Jika kanker telah menyebar ke bagian
lain dari tubuh, dokter juga dapat mengangkat kelenjar getah bening atau organ
lain yang terinfeksi kanker.
2. Kemoterapi: Ini adalah pengobatan yang melibatkan penggunaan obat-obatan
untuk membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau
setelah operasi. Kemoterapi dapat diberikan melalui infus intravena atau melalui
tablet.
3. Radioterapi: Ini melibatkan penggunaan sinar-X atau sinar gamma untuk
membunuh sel-sel kanker. Radioterapi dapat diberikan sebelum atau setelah
operasi.
4. Terapi target: Ini melibatkan penggunaan obat-obatan yang menargetkan protein
atau enzim yang mempromosikan pertumbuhan sel kanker. Terapi target dapat
digunakan bersamaan dengan kemoterapi atau sebagai pengobatan tunggal.
5. Imunoterapi: Ini adalah pengobatan yang melibatkan penggunaan obat-obatan
untuk merangsang sistem kekebalan tubuh untuk melawan sel kanker.
Imunoterapi dapat digunakan bersamaan dengan kemoterapi atau sebagai
pengobatan tunggal.
6. Terapi hormonal: Ini adalah pengobatan yang melibatkan penggunaan obat-
obatan untuk menghentikan produksi hormon yang mempromosikan
pertumbuhan sel kanker. Terapi hormonal digunakan terutama pada jenis kanker
ovarium tertentu yang dikenal sebagai kanker ovarium epitel.
7. Pilihan pengobatan terbaik untuk kanker ovarium harus dibuat bersama dengan
dokter dan tim perawatan kesehatan Anda, berdasarkan jenis kanker, stadium
kanker, dan faktor-faktor kesehatan lainnya.
F. UPAYA PREVENTIF/PENCEGAHAN
Hingga saat ini, penyebab terjadinya mutasi genetik tersebut belum diketahui
dengan pasti. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
seseorang mengalaminya, yaitu :
1. Berusia di atas 50 tahun.
2. Merokok.
3. Menjalani terapi penggantian hormon saat menopause.
4. Memiliki anggota keluarga yang menderita kanker ovarium atau kanker
payudara.
5. Menderita obesitas
6. Pernah menjalani radioterapi.
7. Pernah menderita endometriosis atau kista ovarium jenis tertentu
8. Menderita sindrom Lynch.
Pencegahan penyakit kanker dapat dilakukan dengan menurunkan berbagai
risikonya. Berikut ini cara untuk mencegah kanker ovarium adalah:
1. Mengonsumsi pil KB kombinasi
2. Tidak menggunakan terapi penggantian hormone (Hormone Replacemen
Theraphy) pada saat menopause
3. Tidak merokok
4. Menerapkan pola hidup sehat
5. Menjaga berat badan ideal
6. Mengenali gejala kanker ovarium
7. Menghindari berbagai hal yang meningkatkan resiko kanker ovarium
8. Cek kesehatan rutin
9. Pertimbangkan operasi Ginekologi pada wanita yang beresiko tinggi
a. Melahirkan
b. Menyusui
G. DETEKSI DINI
Beberapa pilihan pemeriksaan untuk mendeteksi kanker ovarium, antara lain:
1. Cancer Antigen 125 (CA125)
CA 125, suatu glikoprotein yang dikodekan oleh MUC16, disekresikan dari
epitel coelomic dan mül lerian ke dalam aliran darah. CA125 diekspresikan
secara berlebihan pada lebih dari 80% pasien kanker ovarium dan dapat
dideteksi dalam serum, menciptakan peluang untuk membedakan tumor ganas
ovarium dari populasi norma. Pada tahun 2011, CA125 direkomendasikan oleh
National Institute for Health and Care Excellence (NICE) Inggris sebagai tes
skrining untuk wanita dengan gejala kemungkinan kanker ovarium. Wanita
pascamenopause dengan kadar CA125 lebih tinggi dari 35 U/mL dianggap
memiliki risiko tinggi keganasan. Sebagai biomarker serum yang paling banyak
dipelajari dan paling umum digunakan untuk diagnosis kanker ovarium, CA125
saat ini merupakan biomarker terbaik. Mukama et al. mengevaluasi kinerja 92
protein terpilih dalam sampel darah yang dikumpulkan.
Akurasi CA125 untuk mendeteksi kanker ovarium stadium awal terbatas; hanya
50% pasien stadium awal yang mengalami peningkatan kadar CA125, yang
menyebabkan sensitivitas rendah (50-62%) untuk mendeteksi kanker ovarium
stadium awal. Kadar serum CA125 hanya mampu membedakan pasien stadium
lanjut dari kontrol yang sehat.
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
1. Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan SIKI 1.01011 hal 186-187
(SDKI D.0005 Hal. 26). keperawatan, maka pola napas Observasi
membaik, dengan kriteria hasil : 1. Monitor pona napas.
1. Dispnea 2. Monitor bunyi napas tambahan.
menurun.
3. Monitor sputum.
2. Penggunaan otot bantu
napas menurun. Terapeutik
3. Pernapasan cuping 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt, chin lift.
hidung menurun. 2. Posisikan semi fowler atau fowler.
4. Frekuensi napas 3. Berikan minuman hangat.
membaik. 4. Lakukan fisioterapi dada.
5. Kedalaman napas 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik.
membaik. 6. Berikan oksigenasi.
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari.
2. Anjurkan Teknik batuk efektif.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mokolitik.
2 Resiko infeksi (SDKI SLKI: L.14137 hal 139 SIKI: 1.14539 hal 278
D.0142 Hal. 304). Setelah dilakukan asuhan Observasi:
keperawatan, maka tingkat 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal.
infeksi menurun, dengan
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
kriteria hasil : Terapeutik:
1. Demam menurun. 1. Batasi jumlah pengunjung.
2. Kemerahan 2. Berikan perawatan kulit pada area edema.
menurun. 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
3. Nyeri menurun. lingkungan pasien.
4. Bengkak menurun. 4. Pertahankan Teknik aseptik.
5. Kadar sel darah putih Edukasi:
membaik. 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
6. Kultur darah membaik.
3. Ajarkan etika batuk.
7. Kultur urine membaik.
8. Kultur feses membaik. 4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka.
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu.
3. Defisit Nutrisi (SDKI SLKI: L.03030 hal. 121 SIKI: 1.03119 ha1 200
D.0019 Hal. 56). Setelah dilakukan asuhan Observasi :
keperawatan, maka status 1. Identifikasi status nutrisi.
nutrisi membaik, dengan 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan.
kriteria hasil: 3. Identifikasi makanan yang disukai.
1. Porsi makan yang 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient.
dihabiskan meningkat. 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric.
2. Beban indeks masa tubuh 6. Monitor asupan makanan.
(IMT) membaik. 7. Monitor berat badan.
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
3. Frekuensi makan 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium.
membaik. Terapeutik
4. Nafsu makan 1. Lakukan oral hygiene sebelum makan.
membaik. 2. Fasilitasi menentukan pedoman diet.
5. Bising usus membaik. 3. Sajikan makanan scara menarik dan suhu sesuai.
4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
6. Berikan suplemen makanan.
7. Hentikan pemberian makan melalui selang apabila nasogastric jika
asupan oral dapat ditoleransi.
Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
2. Ajarkan diet yang diprogramkan.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan.
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
4. Nyeri akut (D.0077 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
Hal.172) keperawatan, diharapkan Observasi
kontrol nyeri meningkat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
dengan Kriteria Hasil : intensitas nyeri
1. Melaporkan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
terkontrol meningkat 3. Identifikasi respon non verbal
2. Dukungan orang terdekat 4. Identifikasi faktor yang memperkuat dan memperingan nyeri
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
meningkat 5. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
3. Kemampuan menggunakan Terapeutik
teknik non-farmakologi 1. Berikan tekik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
meningkat 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
4. Keluhan nyeri menurun 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan yaitu jenis dan juga sumber nyeri didalam
pemilihan strategi dalam meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan tanda penyebab, periode, juga dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik
5. Gangguan eliminasi urin Setelah dilakukan asuhan Manajemen eliminasi urine Observasi
(D.0040 Hal. 96). keperawatan, diharapkan 1. Identifikasi tanda gejala retensi atau inkontinensia urine
eliminasi urine membaik 2. Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau inkontinensia
dengan kriteria hasil: urine
1. Sensasi berkemih 3. Monitor eliminasi urine
meningkat Terapeutik
2. Desakan berkemih menurun 1. Catat waktu dan haluaran berkemih
3. Distensi kandung kemih 2. Batasi asupan cairan, jika perlu
menurun 3. Ambil sampel urine tengah atau kultur
Edukasi
1. Ajarkan tanda gejala infeksi saluran kemih
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
2. Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu
6. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan asuhan Dukungan mobilisasi
fisik (D.0054 Hal.124). keperawatan, diharapkan Observasi :
mobilitas fisik meningkat 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
1. Pergerakan ekstreminas 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
meningkat mobilisasi.
2. Kekuatan otot meningkat 4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi.
3. Rentang gerak meningkat Terapeutik
4. Kelemahan fisik menurun 1. Fasilitas aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
2. Fasilitasi melakukan pergerakan jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi diri
3. Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
7. Ansietas (D.0080 Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas
Hal.180) keperawatan diharapkan tingkat Observasi
ansietas menurun. Kriteria hasil 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
: 2. Monitor tanda-tanda ansietas
1. Verbalisasi kebingungan Terapeutik
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
menurun 1. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
2. Verbalisasi khawatir akibat 2. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
kondisi yang dihadapi 3. Pahami situasi yang membuat ansietas dengarkan dengan penuh
menurun perhatian
3. Perilaku gelisah menurun 4. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
4. Perilaku tegang menurun 5. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
Edukasi
1. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
2. Informasikan secara faktal mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
4. Latih kegiatan pengalihan
5. Latih teknik relaksasi
6. Implementasi
Pelaksanaan rencana keperawatan kegiatan atau tindakan yang diberikan kepada
pasien sesuai dengan rencana keperawatan yang telah ditetapkan, tetapi menutup
kemungkinan akan menyimpang dari rencana yang ditetapkan tergantung pada
situasi dan kondisi pasien.
7. Evaluasi
Dilaksanakan suatu penilaian terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan
atau dilaksanakan dengan berpegang teguh pada tujuan yang ingin dicapai. Pada
bagian ini ditentukan apakah perencanaan sudah tercapai atau belum, dapat juga
tercapai sebagaian atau timbul masalah baru.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA