Anda di halaman 1dari 32

KESEHATAN REPRODUKSI 2

Dosen Pengampu
Dr. Anggorowati, S. Kp, M.Kep, Sp.Mat

Disusun oleh:

Fitri Fauziyah NIM. 22020122183182


Yeni Eka Wahyuni NIM. 22020122183184
Heru Setiawan NIM. 22020122183186
Sakbanita Ari NIM. 22020122183188
Jemy Fitri Yani NIM. 22020122183194
Suherman NIM. 22020122183190
Rusmin Nuryadin Bala NIM. 22020122183192
Aida NIM. 22020122183196
Ade Erfansyah NIM. 22020122183198
Yufrina Mau Saly NIM. 22020122183200
Oktapiadi NIM. 22020122183202

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sehat dan sakit merupakan satu kesatuan yang akan dialami setiap individu
termasuk kesehatan reproduksi secara holistic, namun dengan beriringnya waktu
kesehatan reproduksi menjadi trending topik dimana terjadinya peningkatan kasus
diseluruh dunia. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di
bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker
ovarium di seluruh dunia dan 125.000 meninggal karena penyakit ini. Kanker
ovarium merupakan penyebab utama kematian wanita karena kanker dan merupakan
penyebab kelima kematian karena kanker di Amerika Serikat (AS). Satu diantara 78
wanita di AS (1.3%) diperkirakan akan mengalami kanker ovarium selama
hidupnya. 80% dari 14.000 kasus kanker ovarium di Amerika Serikat yang
terdiagnosis pertahunnya berasal dari sel epitel (Gubbels, 2010)
Menurut data dari Globocan 2020, kanker ovarium menempati urutan ke-5 dari
seluruh jenis kanker yang terjadi pada wanita di Indonesia dengan jumlah kasus
sebanyak 4.376 kasus per tahun. Angka kematian akibat kanker ovarium di
Indonesia juga cukup tinggi, yaitu sekitar 3.100 kasus per tahun.
Keganasan terjadi saat seorang mengalami kanker ovarium barulah terdeteksi saat
sudah memasuki stadium lanjut sehingga saat diketahui sudah parah. Biasanya
orang yang menderita kanker ovarium tampak kurus dan perut asites. Karena proses
perjalanan penyakit yang ditmbulkan dari kanker tersebut, sehingga penderita
mengalami anorexia atau tidak nafsu makan karena mual dan muntah. Sedangkan
asites itu sendiri ditimbulkan akibat dari cairan tumor dan tumor itu sendiri. kanker
ovarium bisa juga mengakibatkan efusi pleura karena perjalanan tumor itu.
Penatalaksanaan pada klien dengan kanker ovarium adalah pembedahan,
pembedahan bisa pembedahan total dengan mengangkat keseluruhan dari rahim,
salping, dan ovarium tapi juga bisa saja hanya pada ovarium atau pada saluran tuba
falopii tergantung keparahan dari kanker itu sendiri. Tanda khas dari kanker
ovarium yang paling banyak adalah Meigg Syndrome, yang merupakan tiga gejala
khas pada orang dengan kanker ovarium. Dari latar belakang diatas penulis tertarik
untuk Menyusun makalah tentang gambarang dari kanker ovarium.

B. RUMUSAN MASALAH
Adanya peningkatan kasus diharapakan mahasiswa mampu mengetahui gambaran
proses terjadinya kanker ovarium serta asuhan keperawatan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien

C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengerti dan memahami keseluruhan isi materi tentang
konsep dasar penyakit maupun konsep dasar asuhan keperawatan pada kanker
ovarium.
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan definisi dan etiologi kanker ovarium
b. Menjelaskan patofisiologis, diagnose, dan pengobatan kanker ovarium
c. Menjelaskan upaya preventif kanker ovarium
d. Menjelaskan deteksi dini keganasan, dampak, serta pengobatan secara
bisopsikososio spiritual kanker ovarium
e. Mengkaji permasalahan keperawatan (asuhan keperawatan) dari kanker
ovarium
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
1. Pengertian Kanker Ovarium
Kanker ovarium adalah kondisi dimana sel-sel abnormal berkembang di dalam
ovarium, yaitu salah satu dari dua organ reproduksi perempuan yang
memproduksi telur dan hormon estrogen. Kanker ovarium dapat berkembang
dari sel-sel epitelial, yaitu lapisan sel-sel pada permukaan ovarium, atau dari sel-
sel stromal, yaitu jaringan ikat di dalam ovarium. Kanker ovarium seringkali
tidak ditemukan pada tahap awal karena gejalanya yang tidak spesifik.
2. Stadium Kanker
Ovarium Stadium kanker ovarium menentukan tingkat keparahan kanker dan
melibatkan pembagian menjadi empat tahap: stadium I, stadium II, stadium III,
dan stadium IV. Tahap awal (stadium I dan II) menunjukkan kanker yang
terbatas pada ovarium, sementara tahap lanjut (stadium III dan IV) menunjukkan
kanker yang sudah menyebar ke luar ovarium dan organ lain dalam tubuh.

B. ETIOLOGI CANCER OVARIUM


1. Klasifikasi
Hampir seluruh jenis tumor ovarium baik jinak maupun ganas berasal dari tiga
tipe sel: sel epitel, sel stroma, dan sel germinal (Reid et al., 2017).
a. Kanker ovarium jenis epitel
Kurman et al (2010) mengkategorikan kanker ovarium jenis epitel menjadi
dua kelompok, yaitu kanker ovarium jenis epitel tipe I dan tipe II. Kanker
ovarium jenis epitel tipe I lebih jinak dan biasanya bermanifestasi pada
stadium awal, sedangkan kanker ovarium jenis epitel tipe II lebih agresif dan
hampir selalu muncul pada stadium lanjut (Kim et al., 2012). Pada stadium
awal penyakit, grading tumor merupakan salah satu faktor prognostik untuk
menentukan pilihan terapi. Secara umum, kanker ovarium jenis epitel
dibagi menjadi tiga grade, yaitu grade 1 berdiferensiasi baik), grade 2
(berdiferensiasi sedang), dan grade 3 (berdiferensiasi buruk) (Hoffman et
al., 2016).
b. Tumor sex cord stromal
Tumor sex cord stromal (SCST) merupakan suatu kelompok keganasan
yang berasal dari matriks ovarium, sehingga 90% kasus SCST merupakan
tumor yang mampu memproduksi hormon (Hoffman et al., 2016).
c. Tumor sel germinal
Tumor sel germinalterdiri atas berbagai jenis tumor yang berasal dari sel-sel
germinal primordial. Terdapat dua kategori utama tumor sel germinal, yaitu
disgerminoma dan teratoma. Selain itu didapatkan jenis tumor yolk sac,
karsinoma embrional, koriokarsinoma non gestasional, serta tumor sel
germinal campuran (Hoffman et al., 2016).
2. Faktor resiko
Insiden usia puncak kanker ovarium epitel invasif adalah sekitar 60 tahun.
Sekitar 30% neoplasma ovarium pada wanita pascamenopause bersifat
malignan, hanya sekitar 7% tumor epitel ovarium pada pasien premenopause
yang malignan. Usia rata-rata saat diagnosis pasien dengan tumor borderline
adalah sekitar 46 tahun. Kanker ovarium dikaitkan dengan paritas dan
infertilitas yang rendah. Karena paritas berbanding terbalik dengan risiko
kanker ovarium, memiliki setidaknya satu anak bersifat protektif dengan
pengurangan risiko 0,3 hingga 0,4. Penggunaan kontrasepsi oral mengurangi
risiko kanker ovarium epithelial, yaitu wanita yang menggunakan kontrasepsi
oral selama 5 tahun atau lebih mengurangi risiko relatif sebesar 0,5
(pengurangan 50% dalam kemungkinan kanker ovarium). Sebagian besar
kanker ovarium epitel bersifat sporadis, tetapi 1/4 kasus terkait dengan mutasi
germline pada gen tertentu dan bersifat turun-temurun. Kanker ovarium
herediter, terutama yang disebabkan oleh mutasi BRCA1 terjadi pada usia
yang lebih muda, biasanya sekitar 10 tahun lebih awal dari kanker ovarium
sporadis. Sebagian besar kanker ovarium herediter dihasilkan dari mutasi
germline pada gen BRCA1 dan BRCA2. Mutasi diwariskan secara autosom
dominan, oleh karena itu analisis silsilah lengkap (sisi ibu dan ayah dari
riwayat keluarga untuk kanker payudara dan ovarium) harus dievaluasi secara
hati-hati pada semua pasien dengan kanker ovarium epitel, kanker tuba
fallopi, dan kanker peritoneum. Penting untuk dicatat bahwa hampir 40%
wanita dengan kanker ovarium terkait BRCA tidak memiliki riwayat keluarga,
oleh karena itu tes genetik harus ditawarkan kepada semua wanita dengan
kanker ovarium.

C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi kanker ovarium masih belum diketahui secara pasti. Meski
demikian, terdapat beberapa teori yang diduga berperan dalam terjadinya kanker
ovarium, yakni teori ovulasi incessant, teori two-pathways, dan teori tuba falopi.
1. Teori Ovulasi Incessant
Kanker ovarium pada mulanya selalu berasal dari lapisan epitel dari
permukaan sel-sel ovarium. Selama proses ovulasi, permukan sel epitel
mengalami trauma, yang nantinya akan diperbaiki dengan cepat dan secara
otomatis. Selama siklus hidup wanita, ovulasi terjadi berulang kali yang
menyebabkan trauma berulang pada epitel, sehingga menyebabkan terjadinya
kerusakan seluler DNA.
Sel-sel epitel yang mengalami kerusakan DNA sangat rentan terhadap
perubahan yang dapat memfasilitasi terjadinya invaginasi pada stroma
kortikal. Invaginasi ini pada akhirnya akan terjebak dan membentuk bola sel
epitel di dalam stroma yang disebut dengan kista inklusi kortikal. Sementara
itu, di dalam ovarium sel epitel terpapar dengan hormon ovarium yang
menstimulasi terjadinya proliferasi sel, sehingga terbentuklah sel kanker.
Kelemahan dari teori ini adalah tidak dapat menjelaskan beberapa tipe
histologik lain dari kanker ovarium. Selain itu, teori ini kontradiktif pada
pasien dengan kondisi sindrom ovarium polikistik (PCOS), yang memiliki
siklus ovulasi lebih sedikit tapi memiliki risiko tinggi untuk mengalami
kanker ovarium.
2. Teori Tuba Falopi
Berdasarkan teori ini, diduga lesi prekursor dari kanker ovarium berasal dari
tuba falopi. Pada 50% tuba falopi wanita yang memiliki mutasi pada gen
BRCA 1/2 mengalami displasia epitelial. Displasia epitelial atau disebut
dengan Karsinoma Intraepitelial Tubal (TIC) ini memiliki karakteristik
histologik yang serupa dengan karsinoma ovarium tipe serosa derajat tinggi
(high grade serous ovarian carcinoma) dan kanker peritoneum tipe serosa
derajat tinggi.
Pada pasien dengan kanker ovarium yang disertai dengan displasia epitelial
pada tuba falopi, ditemukan bahwa pada ovarium yang sehat (kontralateral)
tidak ditemukan adanya kelainan histologik ataupun morfologik, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tuba falopi merupakan lesi prekursor kanker yang
kemudian menyebar ke ovarium. Selain adanya keterlibatan dari mutasi gen
BRCA, mutasi gen TP53 juga diduga berperan dalam terjadinya TIC. Ekspresi
dari TP53 merupakan respon dari kerusakan DNA pada sel epitelial pada tuba
akibat paparan dari sitokin dan oksidan.
3. Teori Two-Pathways
Berdasarkan teori ini, kanker ovarium terbagi menjadi 2 tipe, yakni tipe I dan
tipe II. Kanker ovarium tipe I terdiri dari serosa derajat rendah, musinosa,
endometrioid, clear cell, dan tipe histologik transisional. Kanker ovarium tipe
II terdiri dari serosa derajat tinggi, undifferentiated, dan tipe histologik
karsinosarkoma.
Pada kanker ovarium tipe I, lesi prekursor diduga berasal dari ovarium,
bersifat jinak, secara genetik stabil, dan pertumbuhan kanker sifatnya lambat.
Patogenesisnya pun bersifat tradisional, permukaan ovarium menerima
stimulasi proliferasi dari lingkungan, dan terjadi perubahan menjadi sel
kanker. Mutasi genetik yang paling sering ditemukan pada tipe I yakni mutasi
KRAS dan BRAF, keduanya mengaktivasi jalur onkogenik MAPK.
Pada kanker ovarium tipe II, lesi prekursor berasal dari luar ovarium, salah
satunya yakni tuba falopi. Kanker umumnya bersifat ganas, secara genetik
tidak stabil, dan pertumbuhan kanker sifatnya cepat. Biasanya kanker ovarium
tipe II baru terdiagnosis pada stadium lanjut. Mutasi gen yang paling sering
ditemukan pada kanker ovarium tipe II yakni mutasi gen BRCA1/2, gen TP53,
HER2/neu, dan gen AKT.

D. PENEGAK DIAGNOSA
Kanker ovarium merupakan pertumbuhan sel-sel yang terbentuk di ovarium. Sel-
sel berkembang biak dengan cepat dan dapat menyerang atau menghancurkan
jaringan tubuh yang sehat. Sistem reproduksi wanita mengandung 2 (dua)
ovarium, dengan satu di setiap sisi rahim. Masing-masing ovarium seukuran
almond, yang menghasilkan sel telur (ovum), hormon estrogen, dan hormon
prosgesteron. Adapun pengobatan dari penyakit ini biasanya dilakukan
pembedahan dan kemoterapi. Kanker indung telur atau kanker ovarium adalah
tumor ganas pada ovarium (indung telur). Kanker ini paling sering ditemukan
pada wanita 50-70 tahun. Kanker ovarium bisa menyebar ke bagian lain, seperti
panggul dan perut melalui sistem bening dan melalui sistem pembuluh darah
menyebar ke hati dan paru-paru.
1. Gejala umum
Gejala yang biasanya muncul pada penderita kanker ovarium seperti haid
tidak teratur, metrorargia (perdarahan uterus yang terjadi di luar siklus
menstruasi), nyeri tekan pada payudara, menopause dini, rasa tidak nyaman /
nyeri pada perut, dyspepsia (nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian
atas), sering berkemih, lingkar abdomen yang terus meningkat, serta perut
kembung, dan mual. Kanker ovarium yang terdeteksi pada stadium awal lebih
mudah untuk diatasi daripada kanker ovarium yang baru terdeteksi pada
stadium lanjut.
2. Gejala Kanker Ovarium
Kanker ovarium jarang menimbulkan gejala pada stadium awal. Gejala kanker
ovarium stadium lanjut juga tidak terlalu spesifik dan bisa mirip dengan gejala
penyakit lain. Beberapa gejalanya adalah :
a. Perut kembung
b. Cepat kenyang
c. Sakit perut
d. Mual
e. Konstipasi (sembelit)
f. Perut membengkak
g. Berat badan menurun
h. Sering buang air kecil
i. Sakit di punggung bagian bawah
j. Nyeri saat berhubungan seksual
k. Keluar darah dari vagina
l. Perubahan siklus menstruasi, pada penderita yang masih mengalami
menstruasi
3. Pemeriksaan Kanker Ovarium
Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, terutama pada area panggul dan
organ kelamin. Jika pasien diduga menderita kanker ovarium, dokter akan
menjalankan pemeriksaan lanjutan berupa:
a. Tes darah
Tes darah bertujuan untuk mendeteksi protein CA-125, yang merupakan
penanda adanya kanker
b. Pemindaian 
Metode awal yang dilakukan untuk mendeteksi kanker ovarium adalah USG
perut. Setelah itu, dokter dapat melakukan CT scan atau MRI.
c. Biopsi
Pada pemeriksaan ini, dokter akan mengambil sampel jaringan ovarium
untuk diteliti di laboratorium. Pemeriksaan ini dapat menentukan apakah
pasien menderita kanker ovarium atau tidak.
4. Stadium Kanker Ovarium
Berdasarkan tingkat keparahannya, kanker ovarium dibedakan menjadi 4
(empat) stadium , yaitu :
a. Stadium 1
Kanker terdapat di salah satu atau kedua ovarium dan belum menyebar ke
organ lain.
b. Stadium 2
Kanker sudah menyebar ke jaringan dalam rongga panggul atau rahim.
c. Stadium 3
Kanker telah menyebar ke selaput perut (peritoneum), permukaan usus, dan
kelenjar getah bening di panggul atau perut.
d. Stadium 4
Kanker sudah menyebar ke organ lain yang letaknya jauh, seperti ginjal, hati,
atau paru-paru
Stadium kanker ovarium menurut Figo (Federation International of Gynecology
and Obstetrics) 1987 dalam (Nurarif & Kusuma, 2015) adalah:
a. Stadium I : Pertumbuhan terbatas pada ovarium
Stadium IA : Pertumbuhan terbatas pada suatu ovarium, tidak ada batas yang
berisi sel ganas, tidak ada pertumbuhan di permukaan luar, kapsul utuh.
b. Stadium IB : Pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, tidak asietas, berisi
sel ganas, tidak ada tumor di permukaan luar, kapsul intak
c. Stadium IC : Tumor dengan stadium Ia dan Ib tetapi ada tumor di
permukaan luar atau kedua ovarium atau kapsul pecah atau dengan berisi sel
ganas atau dengan bilasan peritonium positif.
d. Stadium II : Pertumbuhan pada satu atau dua ovarium dengan perluasan ke
panggul.
e. Stadium IIA : Perluasan atau metastasis ke uterus dan atau tuba.
f. Stadium IIB : Perluasan jaringan pelvis lainnya
g. Stadium IIC : Tumor stadium 2A dan 2B tetapi pada tumor dengan
permukaan satu atau kedua ovarium, kapsul pecah atau dengan aktivitas
yang mengandung sel ganas dengan bilasan peritoneum positif.
h. Stadium III : Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implant di
peritonium di luar pelvis dan atau retroperitoneal positif.
i. Stadium IIIA : Tumor terbatas di pelvis kecil dengan kelenjar getah bening
negative tetapi secara histologi dan dikonfirmasi secara mikroskopis terdapat
adanya pertumbuhan di permukaan peritonium abdominal.
j. Stadium IIIB : Tumor mengenai 1/2 kedua ovarium dengan implan di
permukaan peritonium dan terbukti secara mikroskopis,diameter melebihi 2
cm, dan kelenjar getah bening negatif.
k. Stadium IIIC : Implan di abdomen dengan diameter lebih dari 2 cm dan atau
kelenjar getah bening retroperitoneal atau inguinal positif.
l. Stadium IV : Pertumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dengan
metastasis jauh.
Menurut (Prawirohardjo, 2014) manifetasi klinis dari kanker ovarium:
a. Stadium awal : gangguan haid, konstipasi, sering berkemih, nyeri spontan
panggul, nyeri saat bersenggama.
b. Stadium lanjut : asites, penyebaran ke omentum (lemak perut), perut
c.
membuncit, kembung dan mual, gangguan nafsu makan,gangguan BAB dan
BAK, sesak nafas, dyspepsia.
Menurut (Salani Ritu, 2011) yang harus dilakukan pada pasien kanker ovarium
yaitu :
a. Uji asam deoksiribonukleat mengindikasikan mutasi gen yang abnormal
b. Pencitraan USG abdomen, CT scan, atau ronsen menunjukkan ukuran tumor.
Pada stadium awal tumor berada di ovarium, stadium II sudah menyebar ke
rongga panggul, stadium III sudah menyebar ke abdomen, dan stadium IV
sudah menyebar ke organ lain seperti hati, paru-paru, dan gastrointestinal
c. Prosedur diagnostik Aspirasi cairan asites dapat menunjukkan sel yang tidak
khas. Pada stadium III kanker ovarium cairan asites positif sel kanker.
d. Pemeriksaan lain Laparatomi eksplorasi, termasuk evaluasi nodus limfe dan
reseksi tumor, dibutuhkan untuk diagnosis yang akurat dan penetapan
stadium berapa kanker ovarium tersebut.

E. PENGOBATAN
Pengobatan kanker ovarium dapat melibatkan berbagai metode, tergantung pada
jenis kanker, stadium kanker, kesehatan umum pasien, dan preferensi pasien.
Beberapa metode pengobatan yang umum digunakan untuk kanker ovarium
adalah sebagai berikut:
1. Operasi: Ini melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh ovarium dan
jaringan terdekat yang terinfeksi kanker. Jika kanker telah menyebar ke bagian
lain dari tubuh, dokter juga dapat mengangkat kelenjar getah bening atau organ
lain yang terinfeksi kanker.
2. Kemoterapi: Ini adalah pengobatan yang melibatkan penggunaan obat-obatan
untuk membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi dapat diberikan sebelum atau
setelah operasi. Kemoterapi dapat diberikan melalui infus intravena atau melalui
tablet.
3. Radioterapi: Ini melibatkan penggunaan sinar-X atau sinar gamma untuk
membunuh sel-sel kanker. Radioterapi dapat diberikan sebelum atau setelah
operasi.
4. Terapi target: Ini melibatkan penggunaan obat-obatan yang menargetkan protein
atau enzim yang mempromosikan pertumbuhan sel kanker. Terapi target dapat
digunakan bersamaan dengan kemoterapi atau sebagai pengobatan tunggal.
5. Imunoterapi: Ini adalah pengobatan yang melibatkan penggunaan obat-obatan
untuk merangsang sistem kekebalan tubuh untuk melawan sel kanker.
Imunoterapi dapat digunakan bersamaan dengan kemoterapi atau sebagai
pengobatan tunggal.
6. Terapi hormonal: Ini adalah pengobatan yang melibatkan penggunaan obat-
obatan untuk menghentikan produksi hormon yang mempromosikan
pertumbuhan sel kanker. Terapi hormonal digunakan terutama pada jenis kanker
ovarium tertentu yang dikenal sebagai kanker ovarium epitel.
7. Pilihan pengobatan terbaik untuk kanker ovarium harus dibuat bersama dengan
dokter dan tim perawatan kesehatan Anda, berdasarkan jenis kanker, stadium
kanker, dan faktor-faktor kesehatan lainnya.

F. UPAYA PREVENTIF/PENCEGAHAN
Hingga saat ini, penyebab terjadinya mutasi genetik tersebut belum diketahui
dengan pasti. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
seseorang mengalaminya, yaitu :
1. Berusia di atas 50 tahun.
2. Merokok.
3. Menjalani terapi penggantian hormon saat menopause.
4. Memiliki anggota keluarga yang menderita kanker ovarium atau kanker
payudara.
5. Menderita obesitas
6. Pernah menjalani radioterapi.
7. Pernah menderita endometriosis atau kista ovarium jenis tertentu
8. Menderita sindrom Lynch.
Pencegahan penyakit kanker dapat dilakukan dengan menurunkan berbagai
risikonya. Berikut ini cara untuk mencegah kanker ovarium adalah:
1. Mengonsumsi pil KB kombinasi
2. Tidak menggunakan terapi penggantian hormone (Hormone Replacemen
Theraphy) pada saat menopause
3. Tidak merokok
4. Menerapkan pola hidup sehat
5. Menjaga berat badan ideal
6. Mengenali gejala kanker ovarium
7. Menghindari berbagai hal yang meningkatkan resiko kanker ovarium
8. Cek kesehatan rutin
9. Pertimbangkan operasi Ginekologi pada wanita yang beresiko tinggi
a. Melahirkan
b. Menyusui

G. DETEKSI DINI
Beberapa pilihan pemeriksaan untuk mendeteksi kanker ovarium, antara lain:
1. Cancer Antigen 125 (CA125)
CA 125, suatu glikoprotein yang dikodekan oleh MUC16, disekresikan dari
epitel coelomic dan mül lerian ke dalam aliran darah. CA125 diekspresikan
secara berlebihan pada lebih dari 80% pasien kanker ovarium dan dapat
dideteksi dalam serum, menciptakan peluang untuk membedakan tumor ganas
ovarium dari populasi norma. Pada tahun 2011, CA125 direkomendasikan oleh
National Institute for Health and Care Excellence (NICE) Inggris sebagai tes
skrining untuk wanita dengan gejala kemungkinan kanker ovarium. Wanita
pascamenopause dengan kadar CA125 lebih tinggi dari 35 U/mL dianggap
memiliki risiko tinggi keganasan. Sebagai biomarker serum yang paling banyak
dipelajari dan paling umum digunakan untuk diagnosis kanker ovarium, CA125
saat ini merupakan biomarker terbaik. Mukama et al. mengevaluasi kinerja 92
protein terpilih dalam sampel darah yang dikumpulkan.
Akurasi CA125 untuk mendeteksi kanker ovarium stadium awal terbatas; hanya
50% pasien stadium awal yang mengalami peningkatan kadar CA125, yang
menyebabkan sensitivitas rendah (50-62%) untuk mendeteksi kanker ovarium
stadium awal. Kadar serum CA125 hanya mampu membedakan pasien stadium
lanjut dari kontrol yang sehat.

2. Human Epididymis Secretory Protein 4 (HE4)


HE4 adalah anggota keluarga protein whey acid four-disulfide core (WFDC)
yang awalnya diidentifikasi pada epitel epididimis distal. Ini adalah inhibitor
protease peptida yang terlibat dalam respon imun bawaan dari jaringan epitel.
HE4 tidak ditemukan pada epitel permukaan ovarium; Namun, itu diekspresikan
secara berlebihan dalam jaringan kanker ovarium, di mana ia disekresikan ke
dalam lingkungan ekstraseluler dan dapat dideteksi dalam aliran darah. Oleh
karena itu, deteksi HE4 serum merupakan biomarker potensial lain untuk
diagnosis dan pemantauan kanker ovarium.
Studi telah melaporkan bahwa mengukur kadar HE4 memberikan kemampuan
untuk mendeteksi kanker ovarium dengan spesifisitas 96% dan sensitivitas 67%.
3. OVA1 Assay
OVA1 adalah uji indeks multivariat yang disetujui FDA yang menggabungkan
biomarker serum CA125, transthyretin, transferin, mikroglobulin beta-2, dan
apolipoprotein A-1, yang bertujuan untuk menghitung skor indeks risiko
keganasan ovarium. Performa OVA1 lebih baik daripada deteksi CA125 saja
sehubungan dengan sensitivitas (masing-masing 92% vs 79%) dan nilai prediksi
negatif (NPV) (masing-masing 97% vs 93%). OVA1 mampu mengidentifikasi
pasien kanker ovarium yang mungkin terlewatkan oleh skrining CA125,
sehingga mengarah ke deteksi dini dan prognosis yang lebih baik.
4. Risk of Ovarian Malignancy Algorithm (ROMA) Assay
Moore dkk. menetapkan ROMA indeks multivariat dengan menggabungkan
tingkat serum CA125, HE4, dan status menopause menggunakan model regresi
logistik. Estimasi gabungan untuk indeks ROMA menunjukkan sensitivitas
90%, menunjukkan bahwa indeks ROMA memberikan dasar yang dapat
diandalkan untuk pemeriksaan klinis.
5. IOTA Simple Rules and the ADNEX Model
Aturan sederhana International Ovarian Tumor Analysis (IOTA) dikembangkan
berdasarkan pemeriksaan USG dengan sensitivitas 92% dan spesifisitas 96%.
Kelompok IOTA juga mengembangkan Assessment of Different Neoplasias in
the Iexa (ADNEX) model dengan menggabungkan enam fitur ultrasound dan
tiga fitur klinis (usia, level serum CA125, dan tipe pusat). Model ini dapat
digunakan untuk menunjukkan subtipe keganasan tertentu. Sebuah studi kohort
17 pusat menunjukkan bahwa model IOTA ADNEX mengungguli dua model
pertama dari enam model (RMI, model regresi logistik 2, Aturan Sederhana,
model risiko Aturan Sederhana, dan model ADNEX dengan atau tanpa CA125),
dengan sensitivitas 86,5 % pada spesifisitas 90% dan spesifisitas 86,6% pada
sensitivitas 90% untuk menilai massa panggul berdasarkan hasil untuk 4905
pasien.
6. Potential Protein Biomarkers for Ovarian Cancer Detection
Biomarker molekuler lain untuk mendeteksi kanker ovarium dini masih dalam
penelitian, termasuk CA15-3, glikodelin, dan kallikrein 11. Meskipun
identifikasi berbagai biomarker potensial baru, tidak satupun dari mereka
mengungguli CA125. Namun, biomarker baru dapat digunakan dalam
kombinasi dengan CA125 untuk mencapai kinerja diagnostik yang lebih baik.
7. Potential Multivariate Index Assays for Ovarian Cancer Detection
Karlsen et al. menetapkan Indeks Kopenhagen (CPH-I) pada tahun 2015
berdasarkan usia bersama dengan kadar serum HE4 dan CA125. Model ini telah
diuji memiliki sensitivitas 69% dan spesifisitas 85% untuk membedakan tumor
ganas dan tumor borderline.
Menggabungkan anti-BRCA1-associated RING domain 1 (BARD1) AABs dan
level serum CA125 menunjukkan sensitivitas 91% dan spesifisitas 95% di antara
741 sampel. Terakhir, menggabungkan anti-PDZ dan LIM domain 1 (PDLIM1)
AAB dan level CA125 meningkatkan AUC menjadi 0,846, sehingga sekitar
80% pasien dapat dideteksi
8. Potential Role of Autoantibodies (AABs) in the Early Detection of Ovarian
Cancer
Perubahan genetik sel-sel kanker mengarah pada ekspresi yang menyimpang
dari tumorassociated antigens (TAA) yang dapat dikenali oleh sistem kekebalan
tubuh, menghasilkan generasi AABs yang sesuai. AAB adalah protein stabil
yang dapat dideteksi dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama dan
biasanya memiliki konsentrasi yang lebih tinggi karena amplifikasi yang
diinduksi oleh sistem kekebalan, sehingga dapat mendeteksi antigen yang
menyimpang pada konsentrasi rendah.
9. Potential Role of Circulating Tumor DNA (ctDNA) in the Early Detection of
Ovarian Cancer
Fragmen DNA yang dilepaskan dari jaringan kanker ke dalam sirkulasi cairan
tubuh seperti darah, urin, dan asites melalui apoptosis, nekrosis, lisis, dan sekresi
aktif. DNA dapat dideteksi dan diukur menggunakan PCR, teknologi BEAMing,
dan pengurutan. Jaringan kanker dicirikan oleh perubahan genetik spesifik
seperti mutasi titik, perubahan jumlah salinan, penghapusan, dan perubahan
epigenetik.
Heterogenitas kanker ovarium dapat menimbulkan tantangan lain untuk
menggunakan ctDNA sebagai biomarker untuk diagnosis kanker ovarium.
ctDNA yang bersirkulasi menunjukkan kinerja yang sebanding dengan
biomarker CA125 dan HE4, dengan AUC 0,8958, 0,883, dan 0,899,
10. Potential Role of Methylation in the Early Detection of Ovarian Cancer
Selama perkembangan dan progresi kanker, hipermetilasi pulau-pulau CpG
dalam promotor gen adalah peristiwa yang sering terjadi yang mengarah pada
represi transkripsi, pembungkaman gen penekan tumor, dan aktivasi onkogen,
yang pada akhirnya mendorong transformasi kanker. Uji metilasi menunjukkan
kinerja yang lebih baik daripada uji konsentrasi ctDNA sehubungan dengan
AUC (0,93 vs 0,9) untuk prediksi kanker ovarium.
11. Potential Role of microRNA (miRNA) in the Early Detection of Ovarian Cancer
MiRNA adalah RNA non-coding pendek beruntai tunggal dengan panjang
antara 19 dan 25 nukleotida yang berikatan dengan mRNA target untuk
mengatur ekspresinya. miRNAs telah terbukti mengatur ekspresi banyak gen,
termasuk yang diekspresikan secara menyimpang dalam sel kanker serta yang
dikenal untuk mendorong proses karsinogenik seperti proliferasi sel,
diferensiasi, dan apoptosis. MiRNA memiliki sensitivitas yang relatif tinggi
84%, menunjukkan kemanjuran diagnostik yang relatif tinggi untuk kanker
ovarium.
Mengidentifikasi biomarker molekuler yang lebih akurat untuk deteksi dini kanker
ovarium tetap merupakan kebutuhan medis penting yang belum terpenuhi. CA125
masih merupakan biomarker terbaik dan paling banyak digunakan untuk deteksi dini
kanker ovarium di klinik, tetapi dibatasi oleh spesifisitas yang rendah. Panel multivariat
yang menggunakan biomarker lain untuk melengkapi CA125 telah terbukti memiliki
kinerja diagnostik yang lebih baik dibandingkan dengan CA125 saja dan panel indeks
multivariat dengan RMI, OVA1, dan ROMA telah disetujui oleh FDA untuk digunakan
di klinik. Selain itu, banyak penelitian telah mengidentifikasi potensi biomarker
molekuler lain untuk mendeteksi kanker ovarium pada tahap awal, termasuk AAB,
ctDNA, metilasi, dan miRNA (Zhang et al., 2022).
H. DAMPAK (PENGOBATAN TERHADAP DIOPSIKO SOSIO SPRITUAL)
Kanker ovarium merupakan ancaman penyakit yang menakutkan bagi wanita.
Jenis kanker ini merupakan jenis kanker yang sering ditemukan diantara penyakit
ginekologi dan menjadi penyebab kematian utama bagi wanita. Kondisi dan
penanganan (pengobatan) pada penderita kanker akan dapat menimbulkan
berbagai macam dampak baik secara fisik mauun psikoligis pasien. Dampak
secara fisik yang langsung dapat dilihat adalah adanya penurunan berat badan,
kerontokan rambut akibat kemoterapi, perut terasa sesak dan teradinya nyeri hebat
diarea panggul pasien. Sedangkan dampak secara psikologis yang dapat muncul
disaat seseorang mengetahui bahwa dirinya didiagnosis kanker maka akan
menampilkan reaksi taut akan kematian, ketidakmampuan, kehilangan
kemandirian, ketergantungan, merasa ditelantarkan, diputuskan dari hubungan
fungsi perna dan bahkan penipisan finasial.
Berikut beberapa dampak dari kanker ovarium dan pengobatannya :
1. Dampak Fisik
Dampak secara fisik yang langsung dapat dilihat adalah adanya penurunan berat
badan, kerontokan rambut akibat kemoterapi, perut terasa sesak dan teradinya
nyeri hebat diarea panggul asien. Hal ini dapat muncul dikarenakan proses dari
pengobatan yang dilakukan pada pasien kanker.Kemoterapi yang dilakukan
dapat memiliki efek terhadap fisik dari pendrita kanker. Selain itu kemoterapi
dapat menyebabkan penurunan nafsu makankarena adanya perubahan rasa di
mulut seperti makanan menjadi tidak enak, anoreksia dan mulut terasa pahit.
Beberapa penderita kanker juga mengalami mual dan muntah pasca kemoterpi,
hal ini dapat menyebabkan kurangnya asupan makanan pada penderita kanker
sehingga membuat penderita kanker mengalami penurunan berat badan. (Farid,
dkk, 2006).
2. Dampak Psikologis
Dampak psikologis nampak jelas dari dampak terjadinya kanker ovarium beserta
dengan pengobatannya. Beberapa pasien dapat mengalami perubahan suasana
hati, stres, kecemasan bahkan menjadi depresi akibat diagnosis kanker. Dapat
diketahui bahwa butuh waktu dalam penerimaan terhadap diagnosis kanker yang
merupakn penyakit pembunuh. (Lauren Z, 2018)
Mayoritas penanganan yang dilakukan pada penderta kanker hanya terokus pada
kesehatan fisik saja, sedangkan kesehatan psikologis terkadang menjadi
terabaikan, namun pada kenyataannya oenanganan psikologis dapat menunjang
dalam proses pengoabtan penderita kanker (Saniatuzzulfa, dkk, 2015). Para
penderita kanker memperlihatkan adanya stres dan depresi dengan perasaan
sedih, putus asa, pesimis, merasa bahwa dirinya gagal, tidak uas dalam hidup,
merasa lebih buruk dibandingkan oranglain, dan merasa tidak berdaya. Jika
perasaaan tersebut dirasakan dalam waktu yang lama dan tidak segera ditangani,
maka dapat menyebabkan depresi. (Sunaryo, 2004) Dalam hal ini, dukungan
keluarga dan orang sekitar mempunyai peran penting dalam mencegah
terjadinya depresi pada penderita kanker. Dukungan baik secara sosial maupun
spiritual terhadap penderita kanker dapat memberikan keyakinan besar pada
penderita untuk bisa menjalani pengobatan (Grene, et all, 2002)
3. Dampak Sosial
Dampak sosial yang mungkin dirasakan oleh pendrita kanker adalah bagaimana
penderita kanker dapat melakukan penyesuaian sosial terhadap permasalahan
kesehatn yang terjadi. Penyesuaian sosial ini dapat berhasil tumbuh di
lingkungan yang baik dimana lingkungan tersebut dapat menerima kondisi
mereka yang baru. Peubahan-perubahan yang terjadi pada penderita kanker
membutuhkan dukungan baik dari keluarga maupun lingkungan sosial. Adaptasi
seorang pendrita terhadap diagnosis kanker tidaklah mudah, rangkaian
pengobatan yang harus dilakukan dapat menyebabkan penderita mengalami
minder dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial yang ada. (Nurdin,
2009)
Mendapatkan dukungan keluarga akan menjadikan enderita kanker lebiah aman,
nyaman, perasaan dihargai, diperhatikan dan dicintai sehingga penderita kanker
dapat lebih siap dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial dan dapat
mengurangi atau menghilangkan kecemasan-kecemasan yang ada dalam
menghadapi lingkungan sosial dan pengobatan (Smeltzer, Bare, 2002)
4. Dampak Spiritual
Beberpa penelitian telah menilai dari perubahan spiritual terhadap penderita
kanker ovarium. Spiritualitas seorang penderita kanker dapat menurun akibat
trauma pengobatan dan beberapa mengatakan merasa kehilangan secara spiritual
dan iman mereka terguncang. Kegiatan spiritual tidak dapat berjalan semestinya
karena pengobatan yang dilakukan. Dukungan sosial dapat bermanfaat untuk
peningkatan iman. (Lauren Z, 2018)

I. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNCUL


1. Konsep Asuhan Keperawatan Ca Ovariu
Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan pada praktek
keperawatan yang diberikan secara langsung kepada pasien diberbagai
layanan kesehatan yang berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat
humanistik, dan berdasarkan pada kebutuhan objektif pasien untuk mengatasi
masalah yang dihadapi pasien.
Proses keperawatan adalah suatu mode yang sistematis dan terorganisasi
dalam pemberian asuhan keperawatan, hal ini difokuskan pada reaksi dan
respon individu terhadap gangguan kesehatan yang dialami, baik aktual
maupun potensial sehingga kebutuhan dasar klien dapat terpenuhi.
2. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan dengan
mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga diketahui
permasalahan yang dialami oleh klien.
a. Identitas Pasien
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal lahir, umur,
asal suku bangsa, tempat lahir, nama orang tua, pekerjaan orang tua.
Keganasan Ca Ovarium sering ditemui pada usia sebelum menarche atau
diatas 45 tahun (Chandranita, 2013).
b. Keluhan Utama
Biasanya mengalami perdarahan yang abnormal atau menorrhagia pada
wanita usia subur atau wanita diatas usia 50 tahun atau menopause untuk
stadium awal. Pada stadium lanjutakan mengalami pembesaran massa
yang disertai asites (Reeder, 2013). Penderita Ca Ovarium post
kemoterapi alasan masuk rumah sakit dengan stadium lanjut, perut sudah
membesar, kanker sudah bermetastase ke organ tubuh lainnya, tindakan
pengobatan untuk Ca Ovarium stadium lanjut salah satunya adalah
kemoterapi, keluhan lainnya yaitu untuk melakukuan atau melanjutkan ke
kemoterapi berikutnya (Ningrum, 2020).
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Gejala kembung, nyeri pada abdomen atau pelvis, kesulitan makan
atau merasa cepat kenyang, dan gejala perkemihan kemungkinan
menetap pada stadium lanjut, sering berkemih, konstipasi,
ketidaknyamanan pelvis, distensi abdomen, penurunan berat badan,
dan nyeri pada abdomen (Reeder, 2013).
Pasien Ca Ovarium yang telah menjani kemoterapi biasanya keadaan
umum pasien lemah, mengeluh mengalami gangguan eliminasi BAB,
supresi sumsum tulang (anemia, leucopenia, trombositopenia)
alopecia, mual dan muntah. Keadaan fisik klien biasanya rambut
mengalami kerontokan dan kulit mengaami kerusakan (Ningrum,
2020).
2) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat kesehatan dahulu pernah memiliki kanker kolon, kanker
payudara, dan kanker endometrium (Reeder, 2013). Pasien dengan Ca
Ovarium post kemoterapi memiliki riwayat penyakit kanker payudara,
kanker kolon, kanker endometrium, menstruasi dini <12 tahun,
infertilitas, tidak pernah melahirkan, melahirkan anak pertama pada
usia >35 tahun (Ningrum, 2020).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga yang pernah mengalami kanker payudara
dan kanker ovarium yang beresiko 50% (Reeder, 2013).
4) Riwayat haid
Pasien dengan Ca Ovarium mengalami menstruasi dini, siklus haid
tidak teratur ataupun keterlambatan dalam menstruasi (Reeder, 2013)
5) Riwayat obstetric
Pasien dengan Ca Ovarium pernah mengalami infertilitas dan nulipara
(Reeder, 2013).
6) Data keluarga berencana
Pasien penderita Ca Ovarium umumnya mengguanakan alat
kontrasepsi (Reeder, 2013).
7) Data spiritual
Pasien dengan Ca Ovarium post kemoterapi tidak yakin dan percaya
akan kesembuhannya, sering menyangkal dan berputus asa. Biasanya
pasien sulit menjalani ibadah karena kelemahan dan kelelahan
(Reeder, 2013).
8) Data psiko-sosial-ekonomi dan budaya
Ca Ovarium sering ditemukan pada kelompok sosial ekonomi yang
rendah, berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas makanan atau gizi
yang dapat mempengaruhi imunitas tubuh, serta tingkat personal
hygiene (Reeder, 2013).
d. Pemeriksaan Fisik
1) Breathing
 Inspeksi : Pernapasan dyspnea, tidak ada tarikan dinding dada.
 Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama.
 Perkusi : Suara ketok sonor, suara tambahan tidak ada.
 Auskultasi : Vesikuler.
2) Blood
Pada pasien kanker ovarium biasanya tidak ada mengalami masalah
pada saat pemeriksaan di jantung.
 Inspeksi : Umumnya pada saat inspeksi, Ictus cordis tidak terlihat.
 Palpasi : Pada pemeriksaan palpasi Ictus cordis teraba.
 Perkusi : Pekak.
 Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 normal. Bunyi jantung S1
adalah penutupan bersamaan katup mitral dan trikuspidalis. Bunyi
jantung S2 adalah penutupan katup aorta dan pulmanalis secara
bersamaan.
3) Brain
Kesadaran pasien tergantung kepada keadaan pasien, biasanya pasien
sadar, tekanan darah meningkat dan nadi meningkat dan pernafasan
dyspnea. Kepala tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada benjolan,
tidak ada hematoma dan rambut tidak rontok.
4) Bladder
Pada stadium lanjut, kanker ovarium telah bermetastase ke organ lain
salah satunya ke saluran perkemihan. Pembesaran massa terjadi
penekanan pada pelvis sehingga terjadi gangguan pada perkemihan
seperti susah buang air kecil atau urgensi kemih.
5) Bowel
 Inspeksi : mulut simetris, mukosa lembab, bentuk bibir simetris,
gigi bersih, tidak ada pembesaran pada kelenjar tiroid. Pada
stadium awal kanker ovarium, belum adanya perbesaran massa,
sedangkan pada stadium lanjut kanker ovarium, akan terlihat
adanya asites dan perbesaran massa di abdome.
 Palpasi : Pada stadium awal kanker ovarium, belum adanya
perbesaran massa, sedangkan pada stadium lanjut kanker ovarium,
di raba akan terasa seperti karet atau batu massa di abdomen.
 Perkusi : Hasilnya suara hipertympani karena adanya massa atau
asites yang telah bermetastase ke organ lain.
Auskultasi : Bising usus normal yaitu 5- 30 kali/menit.
6) Bone
Pada stadium lanjut timbul kesulitan untuk beraktivitas karena
kelemahan serta ditandai edema pada bagian ekstermitas bawah.
7) Genitalia
Pada beberapa kasus akan mengalami perdarahan abnormal akibat
hiperplasia dan hormon siklus menstruasi yang terganggu. Pada stadium
lanjut akan dijumpai tidak ada haid lagi.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu klien,
keluarga, dan komunitas terhadap maslaah kesehatan atau proses kehidupan
yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2016)
a. Pola napas tidak efektif (D.0005 Hal.26)
b. Resiko infeksi (D.0142 Hal.304)
c. Defisit nutrisi (D.0019 Hal.56)
d. Nyeri akut (D.0077 Hal.172)
e. Gangguan eliminasi urin (D.0040 Hal.96)
f. Gangguan mobilitas fisik (D.0054 Hal.124)
g. Ansietas (D.0080 Hal.180)
4. Rencana Keperawatan

NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
1. Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan SIKI 1.01011 hal 186-187
(SDKI D.0005 Hal. 26). keperawatan, maka pola napas Observasi
membaik, dengan kriteria hasil : 1. Monitor pona napas.
1. Dispnea 2. Monitor bunyi napas tambahan.
menurun.
3. Monitor sputum.
2. Penggunaan otot bantu
napas menurun. Terapeutik
3. Pernapasan cuping 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt, chin lift.
hidung menurun. 2. Posisikan semi fowler atau fowler.
4. Frekuensi napas 3. Berikan minuman hangat.
membaik. 4. Lakukan fisioterapi dada.
5. Kedalaman napas 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik.
membaik. 6. Berikan oksigenasi.
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari.
2. Anjurkan Teknik batuk efektif.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mokolitik.
2 Resiko infeksi (SDKI SLKI: L.14137 hal 139 SIKI: 1.14539 hal 278
D.0142 Hal. 304). Setelah dilakukan asuhan Observasi:
keperawatan, maka tingkat 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal.
infeksi menurun, dengan
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
kriteria hasil : Terapeutik:
1. Demam menurun. 1. Batasi jumlah pengunjung.
2. Kemerahan 2. Berikan perawatan kulit pada area edema.
menurun. 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
3. Nyeri menurun. lingkungan pasien.
4. Bengkak menurun. 4. Pertahankan Teknik aseptik.
5. Kadar sel darah putih Edukasi:
membaik. 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
6. Kultur darah membaik.
3. Ajarkan etika batuk.
7. Kultur urine membaik.
8. Kultur feses membaik. 4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka.
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu.
3. Defisit Nutrisi (SDKI SLKI: L.03030 hal. 121 SIKI: 1.03119 ha1 200
D.0019 Hal. 56). Setelah dilakukan asuhan Observasi :
keperawatan, maka status 1. Identifikasi status nutrisi.
nutrisi membaik, dengan 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan.
kriteria hasil: 3. Identifikasi makanan yang disukai.
1. Porsi makan yang 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient.
dihabiskan meningkat. 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric.
2. Beban indeks masa tubuh 6. Monitor asupan makanan.
(IMT) membaik. 7. Monitor berat badan.
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
3. Frekuensi makan 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium.
membaik. Terapeutik
4. Nafsu makan 1. Lakukan oral hygiene sebelum makan.
membaik. 2. Fasilitasi menentukan pedoman diet.
5. Bising usus membaik. 3. Sajikan makanan scara menarik dan suhu sesuai.
4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
6. Berikan suplemen makanan.
7. Hentikan pemberian makan melalui selang apabila nasogastric jika
asupan oral dapat ditoleransi.
Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
2. Ajarkan diet yang diprogramkan.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan.
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
4. Nyeri akut (D.0077 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
Hal.172) keperawatan, diharapkan Observasi
kontrol nyeri meningkat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
dengan Kriteria Hasil : intensitas nyeri
1. Melaporkan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
terkontrol meningkat 3. Identifikasi respon non verbal
2. Dukungan orang terdekat 4. Identifikasi faktor yang memperkuat dan memperingan nyeri
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
meningkat 5. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
3. Kemampuan menggunakan Terapeutik
teknik non-farmakologi 1. Berikan tekik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
meningkat 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
4. Keluhan nyeri menurun 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan yaitu jenis dan juga sumber nyeri didalam
pemilihan strategi dalam meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan tanda penyebab, periode, juga dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik
5. Gangguan eliminasi urin Setelah dilakukan asuhan Manajemen eliminasi urine Observasi
(D.0040 Hal. 96). keperawatan, diharapkan 1. Identifikasi tanda gejala retensi atau inkontinensia urine
eliminasi urine membaik 2. Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau inkontinensia
dengan kriteria hasil: urine
1. Sensasi berkemih 3. Monitor eliminasi urine
meningkat Terapeutik
2. Desakan berkemih menurun 1. Catat waktu dan haluaran berkemih
3. Distensi kandung kemih 2. Batasi asupan cairan, jika perlu
menurun 3. Ambil sampel urine tengah atau kultur
Edukasi
1. Ajarkan tanda gejala infeksi saluran kemih
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
2. Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu
6. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan asuhan Dukungan mobilisasi
fisik (D.0054 Hal.124). keperawatan, diharapkan Observasi :
mobilitas fisik meningkat 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
1. Pergerakan ekstreminas 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
meningkat mobilisasi.
2. Kekuatan otot meningkat 4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi.
3. Rentang gerak meningkat Terapeutik
4. Kelemahan fisik menurun 1. Fasilitas aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
2. Fasilitasi melakukan pergerakan jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi diri
3. Anjurkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
7. Ansietas (D.0080 Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas
Hal.180) keperawatan diharapkan tingkat Observasi
ansietas menurun. Kriteria hasil 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
: 2. Monitor tanda-tanda ansietas
1. Verbalisasi kebingungan Terapeutik
NO SDKI (Standar Diagnosis SLKI (Standar Luaran SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Keperawatan Indonesia) Keperawatan Indonesia)
menurun 1. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
2. Verbalisasi khawatir akibat 2. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
kondisi yang dihadapi 3. Pahami situasi yang membuat ansietas dengarkan dengan penuh
menurun perhatian
3. Perilaku gelisah menurun 4. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
4. Perilaku tegang menurun 5. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
Edukasi
1. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
2. Informasikan secara faktal mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
4. Latih kegiatan pengalihan
5. Latih teknik relaksasi
6. Implementasi
Pelaksanaan rencana keperawatan kegiatan atau tindakan yang diberikan kepada
pasien sesuai dengan rencana keperawatan yang telah ditetapkan, tetapi menutup
kemungkinan akan menyimpang dari rencana yang ditetapkan tergantung pada
situasi dan kondisi pasien.
7. Evaluasi
Dilaksanakan suatu penilaian terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan
atau dilaksanakan dengan berpegang teguh pada tujuan yang ingin dicapai. Pada
bagian ini ditentukan apakah perencanaan sudah tercapai atau belum, dapat juga
tercapai sebagaian atau timbul masalah baru.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Arora T, Mullangi S, Lekkala MR. Ovarian Cancer. NCBI. StatPearls. 2022


American Cancer Society. (2021). Ovarian Cancer. Diakses pada tanggal 27 Maret 2023
dari https://www.cancer.org/cancer/ovarian-cancer.html
Bose, C. K. (2005). Does hormone replacement therapy prevent epithelial ovarian
cancer? Reproductive Bio Medicine Online, 11(1), 86-92.
https://doi.org/10.1016/S1472-6483(10)61303-X KANKER OVARIUM. (n.d.).
Retrieved March 29, 2023, from https://hellosehat.com/kanker/kanker-
ovarium/pencegahan-kanker-ovariumx
Budiana ING, Angelina M, Pemayun TGA. Ovarian cancer: Pathogenesis and current
recommendations for prophylactic surgery. J Turk Ger Gynecol Assoc. 2019;
20(1):47-54.
Byungkyu, Kim, Lijuan, Wang, John McDonald, et al. Published: October 4, 2012.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0046609. Cell Stiffness Is a Biomarker of the
Metastatic Potential of Ovarian Cancer Cells
Harsono, Ali Budi. Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Indonesian
Journal of Obstetrics & Gynecology Science eISSN 2615-496X
International Agency for Research on Cancer. Globocan 2020: Indonesia. Available at:
https://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-fact-sheets.pdf
Farid, Aziz, dkk, 2006, Onkologi Genikologi, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiro Harjo
Grene, et all, 2002, Psikologi Abnormal, Jakarta : Erlangga
Hoffman, Douglas, Hoover, Jeffrey et al. Nucleic Acids Research, Volume 44, Issue
D1, 4 January 2016, Pages D862–D868. ClinVar: public archive of interpretations
of clinically relevant variants.
Lauzren Z. Davis. MA, Michaela Cuneo.MA, Susan Lutgendorf.Ph.D, 2018. Changes
in Spiritual well-being and psychological outcomes in ovarian cancer survivors.
Vol 27 (2) Februari
Momenimovahed Z, Tiznobaik A, Taheri S, Salehiniya H. Ovarian cancer in the world:
epidemiology and risk factors. Int J Womens Health. 2019; 30(11):287-299.
Mayo Clinic. (2021). Ovarian Cancer. Diakses pada tanggal 27 Maret 2023 dari
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/ovarian-cancer/symptoms-
causes/syc-20375941
National Cancer Institute. (2021). Ovarian Cancer. Diakses pada tanggal 27 Maret 2023
dari https://www.cancer.gov/types/ovarian
Nurdin. 2009. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Penyesuaian Sosisl.. Jurnal
Pendidikan Vol IX No 1 April
Reid, Brett M, Permuth, Jennifer B. , and  A. Sellers, Thomas. Cancer Biol Med. 2017
Feb; 14(1): 9–32. doi: 10.20892/j.issn.2095-3941.2016.0084. Epidemiology of
ovarian cancer: a review
Saniatuzzilfa, Rahmah, Retnowati, Sofia. 2015. Program “Pasien Pandai’ untuk
meningkatkan Optimisme Pasien Kanker. Gajah Mada Journal of Profesional
Psycology
Smeltzer,C. Suzanne, Bare G. Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Alih Bahasa : dr. H. Y. Kuncara. Jakarta :EGC
Sunaryo, 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGCTim Pokja SDKI DPP
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator
Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Winda Amiar, E, 2020. Indonesian Journal of Nursing Science and Practice.
Indonesian Journal of Nursing Science and Practice, 3 no.1(1). Zhang, R., Siu,
M. K. Y., Ngan, H. Y. S., & Chan, K. K. L. (2022). Molecular Biomarkers for the
Early Detection of Ovarian Cancer. In International Journal of Molecular
Sciences (Vol. 23, Issue 19). MDPI. https://doi.org/10.3390/ijms231912041

Anda mungkin juga menyukai