Anda di halaman 1dari 31

Case Report

Myopia Simpleks Oculli Sinistra

Oleh:
Ajeng Yuswanita

233600087

Leona Ferda F.
23360106

Pembimbing:

dr. Melsa Ester Letareni Situmeang, Sp.M

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RSUD JENDRAL AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus:

Myopia Simpleks Oculli Sinistra

Dokter Muda

Ajeng Yuswanita

23360087

Leona Ferda F.

22360106

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian

kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Malahayati Periode 2023.

Metro, Oktober 2023

dr. Melsa Ester Letareni Situmeang, Sp.M

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa

karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan

laporan kasus yang berjudul, “Myopia Simpleks Oculli Sinistra”.

Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di

Bagian/Departemen bagian Ilmu Penyakit Mata dalam RSUD Jend. Ahmad

Yani.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Melsa Ester Letareni

Situmeang, Sp. M selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan

masukan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini. Penulis

menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. Oleh

karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga

laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Metro, Oktober 2023

ii
Penulis

iii
DAFTAR ISI

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Status Oftalmologi.........................................................................................................

v
BAB I
PENDAHULUAN

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata

sehingga sinar tidak dapat difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi Mata merupakan

salah satu organ tubuh manusia yang sangat penting. Organ ini digolongkan ke dalam

kelompok sistem indera yang memiliki fungsi dalam pemglihatan. Di dalam mata, terdapat

berbagai bagian-bagian yang secara bersamaan bekerja untuk membantu mata menjalankan

fungsinya. Kelainan yang terjadi pada mata dapat mengakibatkan gangguan dari fungsi

penglihatan. Salah satunya adalah saat mata mengalami kelainan refraksi

dapat di belakang atau di depan bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik

yang fokus (Komariah dan Wahyu, 2014). Berdasarkan laporan World Health Organization

(WHO, 2020) diketahui bahwa penyebab gangguan penglihatan terbanyak di seluruh dunia

adalah refraksi yang tidak terkoreksi sebesar 53%, katarak yang tidak dioperasi sebesar 25%,

dan degenerasi macular sebesar 4%. (Husna dkk., 2019). Secara umum penyebab kelainan

refraksi yang tidak dapat dikoreksi (rabun jauh, rabun dekat, dan astigmatisme) merupakan

penyebab utama gangguan penglihatan, sedangkan katarak merupakan penyebab utama

kebutaan.

Miopia merupakan kelainan refraksi dengan bayangan sinar dari suatu objek yang jauh

difokuskan di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi, yang terjadi akibat

ketidaksesuaian antara kekuatan optic (optical power) dengan panjang sumbu bola mata (axial

length) (Basri, 2014). Mata minus (miopia) atau rabun jauh adalah sebuah kelainan refraksi

pada mata yang dapat disebabkan oleh sumbu bola mata yang terlalu panjang atau pembiasan

cahaya pada mata yang terlalu kuat sehingga objek yang jauh akan terlihat buram karena sinar

yang masuk ke mata jatuh didepan kornea. Kasus mata minus ini sering terjadi pada anak usia
sekolah hingga dewasa, diakibatkan adanya peningkatan aktifitas dalam jarak dekat dan dalam

jangka waktu yang lama pada penggunaan teknologi elektronik (Agus & Bahri, 2017).

Angka kejadian mata minus di dunia terjadi peningkatan setiap tahunnya, tercatat mata

minus sebagai kondisi ophtalmic yang paling umum dengan perkiraan 22,9% dari populasi

dunia atau 1.406 miliar orang, tambahan ,7% orang atau 163 juta orang memiliki mata minus

yang tinggi (Modjtahedi et al., 2018). Di Asia Tenggara terdapat sekitar 80% orang dewasa

yang mengalami mata minus dan 20% terjadi pada anak-anak. Prevalensi kelainan refraksi

(mata minus) di Indonesia mendapat peringkat satu yaitu pada orang dewasa sekitar 25% atau

sekitar 55 juta jiwa dan pada anak–anak sekitar 10- 12% (Permana et al., 2020). Indonesia

sendiri juga masih mengalami peningkatan prevalensi dalam kasus ini yaitu peningkatan sekitar

1,5%.

Derajat miopia berdasarkan dioptrinya dibagi menjadi 3 yaitu miopia ringan (<-3

Dioptri), miopia sedang (-3 sampai dengan -6 Dioptri), dan miopia tinggi atau berat (>-6

Dioptri). Miopia dikatakan progresif apabila dalam jangka waktu 6 bulan terjadi penurunan

kekuatan lensa lebih dari atau sama dengan 0,5 Dioptri (Flitcroft, et al., 2007).

Berbagai faktor yang berperan dalam perkembangan miopia telah dapat diidentifikasi

melalui beberapa penelitian. Anak-anak yang memiliki orang tua miopia cenderung

mempunyai panjang aksial bola mata lebih panjang dibanding dengan anak dengan orang tua

tanpa miopia. Sehingga, anak dengan orang tua menderita miopia cenderung menjadi miopia

dikemudian hari. Disamping faktor keturunan, faktor lingkungan juga sangat berperngaruh

terhadap perkembangan miopia pada anak. Kemajuan teknologi merupakan faktor yang ikut

pula mengambil andil dalam perkembangan miopia pada anak, contohnya seperti televisi,

komputer, video game, dan lain- lain, secara langsung akan meningkatkan aktivitas melihat

jarak dekat, terutama bagi anak-anak daerah perkotaan yang mau tidak mau bersinggungan
dengan keadaan tersebut. Hal ini sangat kontras dengan keadaan anak usia sekolah di pedesaan

dimana kemajuan teknologi belum sederas di daerah perkotaan (Imam, dkk., 2008).

Umumnya koreksi terhadap myopia adalah dengan menggunakan kacamata minus atau

lensa kontak, tetapi keduanya bukanlah penyelesaian bagi kasus ini, karena kacamata maupun

lensa kontak tidak dapat memperbaiki kerusakan mata itu sendiri akan tetapi hanya membantu

untuk memperjelas penglihatan dengan cara mengubah arah cahaya agar dibiaskan jatuh tepat

di retina (Zulkarnain,2007).

Penggunaan kacamata dapat menjadi alternatif untuk membantu menormalkan dan

mempertajam penglihatan mata. Kacamata adalah lensa tipis yang dihubungkan dengan dua

buah tangkai untuk dikaitkan di telinga penggunanya. Selain untuk menormalkan dan

mempertajam mata, kacamata juga berguna sebagai bagian dari pelengkap gaya. Kacamata

yang baik adalah kacamata yang harus dapat memberikan rasa nyaman bagi pemakainya.

Keamanan dan kenyamanan kacamata meliputi ketepatan refraksi dan kenyamanan karena

ketepatan penyetelan (Yusriani, 2019).


BAB II
LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk RS : 6 Oktober, Pukul 10.00 WIB

No. Rekam Medis : 152073

2.1 Anamnesis

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. N

Usia : 45 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Hindu

Pendidikan terakhir : S1

Pernikahan : Menikah

Alamat : Seputih Raman

Suku Bangsa : Bali

Tanggal Pemeriksaan : 6 Oktober 2023

2. Keluhan Utama

Penglihatan buram pada mata sebelah kiri sejak 1 bulan yang lalu

3. Keluhan Tambahan

Rasa sesak di mata, panas yang sudah terjadi 1 minggu, nyeri, dan rasa pasir di mata

Riwayat Perjalanan Penyakit (Kronologi)

Pasien perempuan usia 45 tahun datang ke Poliklinik Mata RSUD Jend. Ahmad Yani

Kota Metro dengan keluhan penglihatan buram pada mata sebelah kiri sejak 1 bulan yang
lalu. Keluhan ini disertai dengan rasa sesak di mata, panas yang sudah terjadi 1 minggu,

nyeri, dan rasa pasir di mata. Dari riwayat anamnesis, pasien telah menggunakan alat

bantu penglihatan berupa kacamata selama 1 bulan, namun tidak cocok. Di tahun 2005,

mata pasien pernah terkena pecahan kaca.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Sakit Mata : Penglihatan buram pada mata sebelah kiri

Riwayat DM : Disangkal

Riwayat HT : Disangkal

Riwayat Jantung : Disangkal

Riwayat Alergi Obat :Disangkal

Riwayat Trauma :

Disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat sakit mata : Disangkal

Riwayat DM : Disangkal

Riwayat Hipertensi : Disangkal

Riwayat Alergi : Disangkal

5. Riwayat Sosial / Ekonomi:

Pasien merupakan seorang buruh

6. Riwayat Alergi

Tidak memiliki riwayat alergi

7. Riwayat Kebiasaan

Merokok(-) alkohol(-)
2.2 Pemeriksaan Fisik

1. Vital Sign

a. Keadaan Umum : Baik

b. Kesadaran : Compos Mentis

c. Tanda – Tanda Vital

- TD : 118/76 mmHg

- Nadi : 95 x/menit

- RR : 20 x/menit

- Suhu : 36, 4℃

- SP02 : 98%

2. Status Generalis

a. Kepala : Normocephal

b. Mata : Status Oftamologi

c. THT : Sekret (-), polip hidung (-), hiperemis (-)

d. Leher : Pembesaran KGB (-), Peteki (-)

e. Thoraks :

1) Pulmo

I : Bentuk dada normal, Simetris (Statis dan dinamis ), retraksi (-)

P : Takil fremitus normal

P : Sonor | Sonor

A : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)


2) COR

I : Ictus cordis tidak terlihat

P : Ictus cordis tidak teraba, Thrill (-)

P : Batas atas jantung ICS 2 sinistra

: Batas kanan jantung parasternal line dekstra

: Batas Kiri jantung midclavicular line sinistra ICS 5

A : S1S2 tunggal regular murmur (-)

3) Abdomen

A : Bising Usus (+) Normal

P : Timpani (+) shifting dullness (-)

P : Nyeri tekan (-), nyeri ketok CVA (-), hepar dan lien tidak teraba

4) Ekstremitas

Superior : edema (-/-), akral hangat (+/+)

Inferior : edema (-/-), akral hangat (+/+)


2.3 Status Oftalmologi

Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)


Visus 6/7,5 6/7,5
Visus 6/7,5 -> S-0,50 -> 6/6 6/7,5 -> S-0,50 -> 6/6
Kacamata Add + 1,50 J1 PD 63
TIO T=N+0 T=N+0
Kedudukan Orthoporia Orthoporia
Bola Mata
Gerakan Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Bola Mata
Gambar
Mata

Segmen Anterior
Palpebra Hiperemis (-), edema (-), nyeri tekan(-) Hiperemis (-), edema (-), nyeri tekan(-)

Konjungtiva Hiperemis (-), kemosis (-), injeksi (-) Hiperemis (-), kemosis (-), injeksi (-)
Kornea Jernih Jernih
COA Sedang Sedang
Iris Baik, batas tegas, sinekia (-) Baik, batas tegas, sinekia (-)
Pupil Bulat, sentral, RC(+), D:3mm Bulat, sentral, RC(+), D:3mm
Lensa Jernih Jernih

2.4 Diagnosis Kerja


Myopia Simpleks OS

2.5 Diagnosis Banding


Hipermetropi OS

2.6 Tatalaksana
Non Medikamentosa
- Kacamata
- Menjaga hygene mata
2.7 Prognosis

1. Quo ad vitam : ad bonam


2. Qua ad functionam : ad bonam
3. Qua ad sanam : ad bonam

2.8 Resume
Pasien perempuan usia 45 tahun datang ke Poliklinik Mata RSUD Jend. Ahmad

Yani Kota Metro dengan keluhan penglihatan buram pada mata sebelah kiri sejak 1

bulan yang lalu. Keluhan ini disertai dengan rasa sesak di mata, panas yang sudah

terjadi 1 minggu, nyeri, dan rasa pasir di mata. Dari riwayat anamnesis, pasien telah

menggunakan alat bantu penglihatan berupa kacamata selama 1 bulan, namun tidak

cocok. Di tahun 2005, mata pasien pernah terkena pecahan kaca.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos

mentis, tekanan darah 118/76 mmHg, Nadi 95x / menit, RR 20x/menit, Suhu : 36,4℃,

SpO2 : 98%.

Pada status oftalmologis, mula-mula didapatkan VOD dan VOS adalah 6/7,5.

Kemudian dikoreksi dengan pemeriksaan refraksi, sehingga diperoleh untuk OD S-0,50

-> 6/6 dan OS S-0,50 -> 6/6 Add + 1,50 J1 RD 63. Tekanan Intra Okular untuk kedua

mata yaitu T=N+0. Kedudukan kedua bola mata orthoporia. Gerakan bola mata baik ke

segala arah untuk kedua mata. Pada palpebra superior serta inferior sinistra dan dextra

tidak ditemukan hiperemis (-), edema (-), dan nyeri tekan dan nyeri tekan(-).

Konjungtiva ODS tidak ditemukan adanya hiperemis (-), kemosis (-) dan injeksi (-).

Kornea ODS jernih. COA ODS sedang. Iris ODS dinilai dalam keadaan baik, memiliki

batas tegas dan sinekia (-). Pupil ODS bulat, sentral, RC(+), D:3mm. Terakhir, lensa

ODS jernih.
2.9 Dokumentasi

Gambar 2.1 Dokumentasi Pasien


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Refraksi

3.1.1 Media refraksi

Refraksi mata adalah perubahan jalannya cahaya yang diakibatkan oleh media

refrakta mata. Alat-alat refraksi mata terdiri dari permukaan kornea, humor aqueous

(cairan bilik mata), permukaan anterior dan posterior lensa, badan kaca (corpus

vitreum).

A. Kornea

Kornea adalah jaringan transparan dengan kekuatan refraksi sebesar 40

dioptri yang ukuran dan strukturnya sebanding dengan kristal sebuah jam tangan

kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lekuk melingkar pada

persambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai

tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi, dan diameternya sekitar 11,5

mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-

beda:

1) lapisan epitel, lapisan yang memiliki lima atau enam lapisan sel ini

bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris

2) lapisan Bowman, lapisan jernih aseluler yang merupakan bagian stroma

yang berubah

3) stroma

Stroma kornea mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Bagian ini

tersusun dari lamella fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 µm yang

saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea. Lamella


ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea. Karena ukuran dan

periodisitasnya secara optik permukaan kornea menjadi jernih.

4) membran Descemet

membran elastik yang jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan

mikroskopi elektron dan merupakan membran basalis dari endotel kornea

5) lapisan endotel.

Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah

limbus, humor aqueous, dan air mata. Kornea superfisialis juga mendapatkan

oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari

percabangan pertama dari nervus cranialis V (trigeminus).5,15

B. Humor Aqueous

Humor aqueous diproduksi oleh badan siliaris. Setelah memasuki camera

oculi posterior, humor aqueous melalui pupil dan masuk ke camera oculi

anterior dan kemudian ke perifer menuju ke sudut camera oculi anterior. 5,15

Humor aqueous difiltrasi dari darah, dimodifikasi komposisinya, baru

disekresikan oleh badan siliaris di camera oculi posterior. Humor aqueous

diproduksi dengan kecepatan 2-3 μL/menit dan mengisi kamera okuli anterior

sebanyak 250 μL serta camera oculi posterior sebanyak 60 μL.

Humor aqueous mengalir di sekitar lensa dan melewati pupil ke ruang

anterior. Sebagian air keluar mata melalui lorong-lorong dari trabecular

meshwork. Trabecular meshwork adalah saluran seperti saringan yang

mengelilingi tepi luar dari iris dalam sudut ruang anterior, dibentuk di mana

menyisipkan iris ke dalam badan siliaris. Jumlah yang lebih sedikit masuk ke

dalam badan siliaris yang terbuka dan ke iris, di mana ia akhirnya berdifusi ke
dalam pembuluh darah di sekitar bola mata.

C. Lensa

Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir

transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa

digantung di belakang iris oleh zonula yang menghubungkannya dengan badan

siliare. Di anterior lensa terdapat humor aqueous, di sebelah posteriornya

terdapat vitreus. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermeabel

(sedikit lebih permeabel daripada dinding kapiler) yang akan memungkinkan air

dan elektrolit masuk.5

Selapis epitel subskapular terdapat di depan. Nukleus lensa lebih keras

daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar

subepitel terus diproduksi, sehingga lensa semakin lama menjadi lebih besar dan

kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamellae kosentris yang

panjang. Garis-garis persambungan yang terbentuk dengan persambungan

lamella ini ujung-ke-ujung berbentuk {Y} bila dilihat dengan slitlamp. Bentuk

{Y} ini tegak di anterior dan terbalik di posterior. Masing-masing serat lamellar

mengandung sebuah inti gepeng. Pada pemeriksaan mikroskopik, inti ini jelas

dibagian perifer lensa didekat ekuator dan bersambung dengan lapisan epitel

subkapsul.5

Lensa difiksasi oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula (zonula

Zinnii), yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan badan siliaris dan

menyisip kedalam ekuator lensa. 65% lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein,

dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan

kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam


askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi.

Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau saraf di lensa.5 Lensa memiliki

kekuatan refraksi 15-10D.14

D. Corpus vitreus

Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang

membentuk dua pertiga dari volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan

yang dibatasi oleh lensa, retina dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus

membran hialois-normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: kapsula

lensa posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina dan caput

nervi optici. Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat sepanjang

hidup ke lapisan epitel pars plana dan retina tepat di belakang ora serrata.

Perlekatan ke kapsul lensa dan nervus optikus kuat pada awal kehidupan tetapi

segera hilang.5

Vitreus berisi air sekitar 99%. Sisanya 1% meliputi dua komponen, kolagen

dan asam hialuronat, yang memberikan bentuk dan konsistensi mirip gel pada

vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air. 5,15

3.1.1 Kelainan refraksi

Kelainan refraksi mata atau ametropia adalah suatu keadaan dimana bayangan

tegas tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning

dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Bentuk kelaina refraksi atau ametropia

ialah

A. Hipermetropia merupakan kelainan refraksi, dimana sinar yang sejajar yang

datang dari jarak tak terhingga, oleh mata yang dalam keadaan istirahat
dibiaskan dibelakang retina

B. Miopia merupakan kelainan refraksi, dimana sinar sejajar yang datang dari jarak

tak terhingga, oleh mata dalam keadaan istirahat dibiaskan di depan retina

C. Astigmatisma merupakan kelainan refraksi dimana terdapat perbedaan derajat

refraksi pada meridian yang berbeda.. 16

3.2 Miopia

3.2.1 Definisi miopia

Miopia adalah kelainan refraksi mata, di mana mata mempunyai kekuatan

pembiasan berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga

difokuskan di depan retina oleh mata dalam keadaan tanpa akomodasi, sehingga pada

retina didapatkan lingkaran difus dan bayangan kabur

3.2.2 Etiologi dan faktor resiko miopia

Miopia disebabkan karena terlalu kuatnya pembiasan sinar di dalam mata

sehingga mempengaruhi panjangnya bola mata akibat dari beberapa hal yaitu :

A. Genetik

Anak dengan orangtua miopia memiliki prevalensi miopia lebih tinggi. Faktor

genetik memiliki peran dalam bentuk dan pemanjangan bola mata. Pola genetik

yang diturunkan bervariasi: autosomal resesif, autosomal dominan, dan sex

linked, baik terkait sindrom maupun berdiri sendiri.Makin banyaknya kasus

miopia tanpa kluster keluarga menandakan genetik tidak berdiri sendiri serta

adanya pengaruh faktor lingkungan.

B. Pekerjaan dengan Jarak Pandang Dekat

Pekerjaan dengan jarak kurang dari 25-30 cm, dalam jangka waktu lama dikaitkan

dengan tidak optimalnya akomodasi. Hal ini akan menciptakan kondisi bayangan
difokuskan di belakang retina (hyperopic defocus), yang menyebabkan

pemanjangan bola mata. Hubungan kejadian miopia dengan pekerjaan dengan

jarak pandang dekat cenderung lebih besar pada anak anak

C. Aktivitas diluar ruangan

Aktivitas di luar ruangan dinilai sebagai faktor terkuat yang dapat menunda

mulainya miopia pada anak. Hal ini diduga terkait dengan beberapa mekanisme

berikut. Pertama, stimulus cahaya saat aktivitas luar ruangan memicu keluarnya

dopamin retina, yang menghambat proses pertumbuhan dan perubahan bentuk

sklera. Kedua, hipotesis bahwa stimulus cahaya mengaktifkan kaskade sinyal

retina ke sklera yang akan memengaruhi proses perubahan sklera. Ketiga,

memberi kesempatan melihat jarak jauh tanpa akomodasi, menyeimbangkan

hyperopic defocus berkepanjangan yang kerap terjadi di dalam ruangan.

D. Jenis kelamin

Kejadian miopia pada anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki.

Perempuan memiliki risiko 1,21 kali lebih tinggi untuk mengidap miopia daripada

laki-laki.Anak perempuan cenderung memiliki aktivitas luar ruangan yang lebih

singkat dan lebih lama bekerja dengan jarak pandang dekat

E. Lama waktu tidur

Hubungan antara waktu tidur dan miopia belum sepenuhnya dipahami. Anak yang

tidur selama 9 jam atau lebih dalam sehari memiliki risiko lebih rendah daripada

yang tidur kurang dari 7 jam sehari.Terdapat dua hipotesis, pertama yaitu tidur

mengistirahatkan otot siliar dan menghambat progresi miopia. Kedua, tidur

memberi kesempatan bagi sel batang mata untuk terpajan suasana gelap

(skotopik).Berbagai penelitian pada hewan menunjukkan bahwa penglihatan


perifer yang didominasi peran sel batang memberikan input visual yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan normal refraksi mata.

F. Digital screen time

Pemakaian perangkat dengan layar digital, misalnya tablet, smartphone, televisi,

dan komputer, dalam jangka lama dapat menyebabkan serangkaian gejala yang

disebut digital eye strain (DES) atau ketegangan mata digital, berupa mata lelah,

mata kering, nyeri kepala, mata kabur, dan nyeri kepala hingga leher. Namun,

bukti hubungan antara pemakaian perangkat dengan layar digital dan kejadian

miopia masih kontradiktif. Sebuah studi menyarankan batas pemakaian perangkat

digital tidak lebih dari 2 jam per hari pada anak dan remaja untuk mencegah

perkembangan miopia. Penggunaan tablet memiliki risiko miopia lebih rendah

daripada smartphone, karena tablet cenderung diposisikan lebih jauh dari mata

pengguna sehingga beban konvergensi mata lebih rendah.

G. Kepadatan penduduk

Hidup di lingkungan padat penduduk, perkotaan dan ukuran rumah sempit

memiliki risiko bola mata lebih panjang, atau miopia lebih tinggi.7 Hal ini

dikaitkan dengan area bermain luar ruangan yang terbatas, sehingga makin

banyak porsi waktu untuk pekerjaan dengan jarak pandang dekat.

H. Status ekonomi

Penelitian di India menunjukkan status ekonomi tinggi dihubungkan dengan

kejadian miopia yang lebih tinggi, namun penelitian di Rotterdam, Belanda,

menunjukkan miopia lebih tinggi pada kelompok status ekonomi lebih

rendah.Penelitian lain tidak menemukan hubungan signifikan antara miopia dan

status ekonomi. Status ekonomi dihubungkan dengan motivasi belajar yang


menyebabkan lebih banyaknya pekerjaan dengan jarak pandang dekat.

3.2.3 klasifikasi miopia

A. Berdasarkan beratnya miopia (tingginya dioptri), miopia dibagi dalam kelompok,

sebagai berikut.25

1) Miopia sangat ringan : ≤ 1 dioptri

2) Miopia ringan : < 3.00 dioptri

3) Miopia sedang : 3.00 – 6.00 dioptri

4) Miopia berat : > 6.00 – 9.00 dioptri

5) Miopia sangat berat : > 9.00 dioptri Miopia

B. Klasifikasi miopia berdasarkan penyebabnya 32 :

1) Miopia aksial, yaitu sumbu aksial mata lebih panjang dari normal

(diameter antero-posterior lebih panjang, bola mata lebih panjang). Untuk

setiap millimeter tambahan panjang sumbu, mata kira-kira lebih mioptik 3

dioptri.24

2) Miopia kurvatura, yaitu kurvatura kornea atau lensa lebih kuat / lebih

reraktif dari normal (kornea terlalu cembung atau lensa mempunyai

kecembungan yang lebih kuat).

3) Miopia indeks, di mana indeks bias mata lebih tinggi dari normal,

misalnya pada diabetes mellitus.

C. Miopia berdasarkan perjalanan penyakitnya39:

1) Miopia stasioner yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.

2) Miopia progresif yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa

akibat bertambah panjangnya bola mata.


3) Miopia maligna yaitu keadaan yang lebih berat dari miopia progresif, yang

dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan.

3.2.4 Patofisiologi miopia

Penelitian dari ahli mengemukakan bahwa miopia dapat terjadi akibat

adanya pemanjangan sumbu bola mata. Terdapat dua teori utama tentang

terjadinya pemanjangan sumbu bola mata pada miopia. Yang pertama adalah teori

biologik, menganggap bahwa pemanjangan sumbu bola mata sebagai akibat dari

kelainan pertumbuhan retina (overgrowth) sedangkan teori yang kedua adalah

teori mekanik yang mengemukakan adanya penekanan (stres) sklera sebagai

penyebab pemanjangan tersebut.

Salah satu mekanisme pemanjangan sumbu bola mata yang diajukan pada

teori mekanik adalah penekanan bola mata oleh muskulus rektus medial dan obliq

superior. Seperti diketahui, penderita miopia selalu menggunakan konvergensi

berlebihan. Von Graefe mengatakan bahwa otot ekstraokular terutama rektus

medial bersifat miopiagenik karena kompresinya terhadap bola mata pada saat

konvergensi. Jakson menganggap bahwa konvergensi merupakan faktor etiologik

yang penting dalam perkembangan miopia. Dikemukakan juga bahwa muskulus

oblik superior juga menekan bola mata pada waktu melihat atau bekerja terlalu

lama.33

Konvergensi berlebihan disebabkan oleh karena penderita miopia

memiliki jarak pupil yang lebar.42 Di samping lebar, orbita juga lebih rendah

sehingga porsi muskulus oblik superior yang menekan bola mata lebih besar. Jadi

di sini ada pengaruh dari anatomi mata terhadap terjadinya miopia. Kebenaran
akan hal ini telah dikonfirmasi oleh beberapa ahli lain.26

Possey dan Vandergift mengemukakan bahwa anatomi merupakan faktor

yang terpenting dalam terjadinya miopia. Fox mengidentifikasikan orbita bagian

dalam akan lebih memungkinkan untuk terjadinya pemanjangan sumbu bola mata.

3.2.5 Manifestasi klinis miopia

A. Penderita miopia akan mengatakan melihat jelas dalam jarak dekat atau pada jarak

tertentu dan melihat kabur jika pandangan jauh.

B. Penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan mata untuk mencegah

aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).

C. Timbulnya keluhan yang disebut astenopia konvergensi karena pungtum remotum

(titik terjauh yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam

keadaan konvergensi. Bila hal di atas menetap, maka penderita akan terlihat juling

ke dalam atau esotropia

3.2.6 Penatalaksanaan klinis miopia

A. Terapi optikal

Terapi dilakukan dengan pemberian lensa kontak atau kacamata spheris

negatif sehingga cahaya yang sebelumnya difokuskan di depan retina dapat jatuh

tepat di retina. Kacamata spheris negatif dapat memberikan ketajaman

penglihatan yang optimal

B. Terapi bedah

Seiring dengan berkembangnya teknik operasi, sehingga banyak prosedur

yang dapat dilakukan untuk mengkoreksi kelainan refraksi seperti miopia secara
permanen. Setelah operasi penderita dapat memiliki ketajaman penglihatan

hingga 20/40 bahkan 20/20.

Beberapa teknik operasi yang dapat digunakan ialah epikeratophakia,

radial kerartotomy, photo-refractive keratotomy, laser insitu keratomileusis

(LASIK), clear lens extraction in unilateral high myopia, dan phakic IOL.

3.2.7 Komplikasi klinis miopia

A. Ablasio retina

Merupakan komplikasi tersering. Biasanya didahului dengan timbulnya

hole pada daerah perifer retina akibat proses-proses degenerasi dari daerah ini.

B. Vitreal Liquefaction dan Detachment

Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air

dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara

perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi.

Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal,

penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut,

dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina.

Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan

menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi

karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata.

C. Glaukoma

Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia

sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi

dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat

penyambung pada trabekula.


D. Trombosis dan perdarahan koroid

Sering terjadi pada obliterasi dini pembuluh darah kecil. Biasanya terjadi

di daerah sentral, sehingga timbul jaringan parut yang mengakibatkan tajam

penglihatan.

E. Katarak

Transparansi lensa berkurang. Dilaporkan bahwa pada orang dengan

miopia, onset katarak muncul lebih cepat.

3.2.8 Prognosis miopia

Miopia yang tidak dikoreksi mengakibatkan penglihatan kabur secara

permanen dan kesulitan dalam tugas-tugas visual seperti membaca rambu jalan

atau menonton televisi. Selain itu, pada kondisi tertentu perkembangan myopia

dapat sangat progresif yaitu myopia patologis dengan kecepatan hingga 4 dioptri

per tahunnya. Umumnya keadaan ini disertai dengan kondisi patologis lain pada

bola mata seperti kekeruhan pada bagian vitreus atau perubahan pada korioretina.

Efek negatif pada penderita yang memiliki miopia biasanya memiliki

kecepercayaan diri yang kurang, jenjang karir, dan kondisi kesehatan mata lainnya

seperti beberapa kelainan okular glaucoma, katarak subcapsular posterior, ablasi

retina dan sebagainya. Namun, dibandingkan dengan penyakit mata lainnya,

miopia yang tidak menimbulkan komplikasi memiliki prognosis yang lebih baik

dengan melakukan intervensi optik dan bedah.


BAB IV
KESIMPULAN

Miopia, sebagai masalah kesehatan dan kualitas hidup global, bukan hanya

berkenaan dengan gangguan penglihatan dan dampak akibat kesalahan refraksi

pada kehidupan sehari-hari, tetapi juga karena morbiditas yang terkait dengan

ametropia ini. Miopia adalah faktor risiko untuk terjadinya masalah penglihatan

hingga kebutaan permanen. Rabun jauh, atau miopia, menjadi lebih lazim di

seluruh dunia. Mata mengalami pertumbuhan yang dinamis sepanjang masa

remaja, tetapi etiopatogenesis dari perkembangan miopia tidak sepenuhnya

dipahami

Penderita miopia akan mengatakan melihat jelas dalam jarak dekat atau

pada jarak tertentu dan melihat kabur jika pandangan jauh. Penderita miopia juga

mempunyai kebiasaan mengernyitkan mata untuk mencegah aberasi sferis atau

untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Selain itu, dapat pula timbul

keluhan yang disebut astenopia konvergensi karena pungtum remotum (titik

terjauh yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam keadaan

konvergensi. Bila hal di atas menetap, maka penderita akan terlihat juling ke

dalam atau esotropia.

Miopia disebabkan karena terlalu kuatnya pembiasan sinar di dalam mata

untuk panjangnya bola mata akibat dari jarak yang terlalu dekat pada waktu

membaca buku, menonton televisi, bermain video games, bermain komputer,

bermain telepon selular/ponsel, dan sebagainya. Mata yang dipaksakan dapat

merusak mata itu sendiri, genetik atau keturunan, terlalu lama beraktivitas pada
jarak pandang yang sama seperti bekerja di depan komputer, di depan layar

monitor, di depan berkas, dan lain-lain. Mata membutuhkan istirahat yang teratur

dan cukup agar tidak terus berkontraksi secara monoton, kebiasaan buruk yang

dapat mengganggu kesehatan mata kita seperti membaca sambil tidur-tiduran,

membaca di tempat yang gelap, membaca di bawah matahari langsung yang silau,

menatap sumber terang langsung, dan lain sebagainya. Koreksi miopia dengan

kacamata juga telah menjadi praktik umum selama bertahun- tahun. Tujuannya

adalah untuk mengurangi perkembangan miopia dengan mengurangi kebutuhan

akomodasi selama melakukan aktivitas melihat dari jarak dekat.

Anda mungkin juga menyukai