MIOPIA
Oleh:
Anugra Tenri JagerTolande’
C014192097
Residen Pembimbing:
Supervisor Pembimbing :
dr. Adelina Titirina Poli, Sp. M, M.Kes
Mengetahui,
Residen Pembimbing
Supervisor Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
Contents
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
2.5 PATOGENESIS................................................................................................................5
2.10 PENCEGAHAN...............................................................................................................16
2.11 PROGNOSIS..................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World
Health Organization (WHO) menyatakan 45 juta orang menjadi buta di seluruh dunia dan
135 juta dengan penurunan penglihatan (low vision). Diperkirakan gangguan refraksi
menyebabkan 8 juta orang (18% dari penyebab kebutaaan global) mengalami kebutaan1,2.
Prevalensi miopia pada orang dewasa di Amerika sekitar 20-50% dan di beberapa
negara Asia prevalensinya sekitar 85-90%. Prevalensi miopia pada anakanak di negara
barat sangat kecil (kurang dari 5%), sedangkan anakanak di Asia memiliki prevalensi
yang tinggi sekitar 29%. Prevalensi miopia sendiri diperkirakan akan meningkat pada
populasi global di tahun 20503 .
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam penelitian yang
dilakukan di 8 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat) tahun 1996
ditemukan kelainan refraksi sebesar 24,71% dan menempati urutan pertama dalam 10
penyakit mata terbesar di Indonesia2.
Gambar 1. Grafik jumlah kasus dan prevalensi miopia di dunia dari tahun 2000-2050 4
Dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) sekitar 10% menderita kelainan
refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kaca mata koreksi masih sangat rendah sekitar
12,5% dari prevalensi tersebut. Beberapa faktor risiko penyebab kelainan refraksi adalah
faktor genetik dan faktor lingkungan. Miopia bisa terjadi pada saat usia anak anak (5-7
tahun), usia muda (7- 16 tahun) dan dewasa ( >16 tahun). Beberapa faktor lingkungan
yang mempengaruhi progresivitas miopia adalah aktivitas dekat seperti membaca,
menulis, melihat TV, komputer, game dan aktivitas dekat lainnya. Riwayat keluarga
orang tua ataupun saudara kandung dengan miopia juga merupakan faktor predisposisi
terjadinya miopia.Pada beberapa literatur didapatkan bahwa progresivitas miopia terjadi
pada usia 6 sampai 15 tahun.Semakin meningkatnya pemakaian alat canggih pada anak-
anak sangat memungkinkan terjadinya peningkatan kejadian gangguan refraksi pada anak
sehingga diperlukan pemeriksaan secara dini pada anak sekolah dasar. Penemuan kasus
dengan lebih cepat memungkinkan penanganan yang lebih segera sehingga kualitas
penglihatan baik dan diharapkan prestasi belajar meningkat1.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFENISI MIOPIA
Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar aksis visual tanpa
akomodasi difokuskan pada satu titik di depan retina. Cahaya yang tidak difokuskan dengan baik
pada retina membuat objek tampak buram6
2050 separuh populasi global (5 miliar orang) akan rabun jauh, dan seperlima dari mereka (1
miliar) akan dianggap sangat rabun (>5 D)
Prevalensi miopia pada anak bervariasi di berbagai wilayah dan negara. Onset miopia
selama masa kanak-kanak dapat dihitung secara kasar dari prevalensi populasi usia yang
berbeda. Onset dini miopia adalah prediktor terpenting dari miopia yang tinggi di kemudian
hari. Prevalensi yang lebih tinggi dari kelompok usia yang lebih muda akan menyebabkan
beban yang lebih besar dan keparahan miopia di masa dewasa karena perkembangan miopia
di masa kanak-kanak menyebabkan miopia. Di Indonesia angka kejadian miopia adalah 48,1
% pada orang dewasa yang lebih dari 21 tahun8
3
1. Berdasarkan beratnya miopia terbagi menjadi :10
- Miopia ringan/ Miop Levior : < 3.00 dioptri
- Miopia sedang / Miop Moderate : 3.00 – 6.00 dioptri
- Miopia berat / Miop Gravior : > 6.00 dioptri
4
- Index Myopia, disebabkan karena pertambahan indeks refraksi pada lensa yang
disebabkan salah satunya oleh proses sclerosis dari nucleus
- Myopia due to excessive accommodation, terjadi pada pasien dengan spasme
akomodasi.
Adapun beberapa faktor resiko yang berperan terhadap kejadian dan progresi dari
miopia adalah sebagai berikut :15,16
- Faktor genetik (keturunan) dimana orang tua secara genetik dapat menurunkan
sifat kelainan refraksi baik secara autosomal dominan maupun autosomal
resesif yang berpengaruh pada variasi pertumbuhan bola mata.
- Faktor lingkungan dimana prevalensi tertinggi ditemukan pada orang dengan
white collar occupation, yang sering menghabiskan waktu pada aktivitas jarak
dekat (nearwork activity) seperti belajar, membaca, menggunakan computer.
Bahkan pada anak misalnya seperti bermain game, komputer ataupun menonton
televisi.
- Seang et al pada penelitiannya juga mengemukakan beberapa faktor resiko lain
seperti prematuritas dan bayi berat lahir rendah, dimana bayi dengan Retinopathy
of Prematurity (ROP) cenderung menderita miopia, karena adanya paparan
oksigen yang berlebihan pada tahap awal kehidupan. Selain itu faktor tinggi badan
dan malnutrisi juga ikut berperan dalam progresivitas miopia.
-
2.5 PATOGENESIS
a. Menurut Duke Elder S
Berbagai teori ditemukan mengenai terjadinya miopia, tetapi ada dua teori pokok
yang saling bertentangan, yaitu11:
1. Teori Mekanik
Timbul pada abad ke 19, yang mengatakan bahwa terjadinya miopia tinggi
disebabkan karena peregangan sklera. Peregangan ini dapat terjadi pada sklera yang
normal maupun yang sudah lemah. Adanya konvergensi yang berlebihan, akomodasi
yang terus-menerus dan kontraksi muskulus orbicularis okuli akan mengakibatkan
tekanan intra okuler meningkat dan selanjutnya menimbulkan peregangan sklera. Selain
itu pada akomodasi dimana terjadi kontraksi muskulus siliaris akan menarik koroid,
sehingga menyebabkan atropi. Konvergensi dan posisi bola mata kearah inferior pada
5
waktu membaca menyebabkan pole posterior tertarik oleh nervus opikus. Perlemahan
sklera di duga menjadi penyebab membesarnya bola mata. Perlemahan ini dapat
disebabkan oleh beberapafaktor,yaitu: Kongesti sclera,inflamasi sklera, malnutrisi,
endokrin, keadaan umum, skleromalasia . Jadi menurut teori ini terdapat kelainan antara
timbulnya dan progresinya miopia dengan kebiasaan melihat dekat dan keadaan umum
seseorang.
2. Teori Biologi
Teori ini timbul setelah pengamatan bahwa miopia aksial adalah herediter,
penipisan bola mata hanya di daerah pole posterior, degenerasi retina terjadi sekunder
setelah atrofi koroid dan adanya perubahan-perubahan atrofi yang tidak sesuai dengan
besarnya pemanjangan bola mata. Vogt mengatakan bahwa faktor timbulnya miopia
terdapat pada jaringan ektodermal yaitu retina, sedangkan jaringan mesodermal di
sekitarnya tetap normal. Retina tumbuh lebih menonjol dibanding dengan koroid dan
sklera. Pertumbuhan retina yang abnormal ini diikuti dengan penipisan sklera dan
peregangan koroid. Koroid yang peka terhadap regangan akan menjadi atrofi. Seperti
diketahui pertumbuhan sklera berhenti pada janin berumur 5 bulan sedangkan bagian
posterior retina masih tumbuh terus sehingga bagian posterio sklera menjadi paling tipis
.
b. Menurut David A. Goss
Faktor utama dari miopia patologi ini adalah peningkatan panjang aksial bola
mata, yang disebabkan oleh penurunan kuantitas dan perubahan karakteristik anatomi
dari jaringan kolagen sklera. Sklera merupakan jaringan penyokong utama dari segmen
posterior. Dalam keadaan normal tersususun dari ikatan serabut kolagen yang padat.
Ikatan-ikatan serabut kolagen yang padat. Ikatan-ikatan tersebut terdiri dari pita-pita lebar
dan teranyam. Nikolaev mengatakan bahwa pada miopia yang tinggi diameter serabut
kolagen sklera mengalami penurunan. Curtin menyebutkan bahwa pada orang degan
derajat miopia tinggi akan mengalami penurunan kuantitas dan kualitas dari serabut
kolagen sklera yang berupa sudut ikatan antara serabut kolagen sklera melebar
anyamannya kurang terpola. Perubahan-perubahan ini dijumpai pada kutub posterior
sehingga akan menyebabkan regangan dan penipisan pada skelra yang akhirnya
menambah panjang aksial bola mata11.
6
2.6 GEJALA KLINIS MIOPIA
Pada pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila melihat dekat,
sedangkan melihat jauh buram atau disebut pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan
miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan
celah kelopak yang sempit. Seorang penderita miopia mempunyai kebiasaan
menyempitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek
pinhole (lubang kecil). Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat
sehingga mata selalu melihat dalam posisi konvergensi, dan hal ini menimbulkan
(astenopia konvengersi). Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan
terlihat juling kedalam yang disebut strabismus konvergen (esoptropia). Apabila
terdapat miopia pada satu mata jauh lebih tinggi dari mata yang lain, dapat terjadi
ambliopia pada mata yang miopianya lebih tinggi. Mata ambliopia akan menggulir
ke temporal yang disebut strabismus difergen (eksotropia) . 11
Adapun riwayat penyakit mata yang lain harus ditanyakan seperti riwayat
penggunaan kacamata sebelumnya, riwayat keluarga (genetik), riwayat
penggunaan obat-obatan sistemik dan topikal, riwayat penyakit sistemik seperti
7
diabetes mellitus, hipertensi, riwayat alergi misalnya asma dan termasuk hobi
dan pekerjaan dari pasien untuk mencari beberapa faktor lingkungan yang
terlibat. 12
8
Gambar 6. Trial Frame and Trial Lens
Pemeriksaan ini dilakukan dalam jarak 5 atau 6 meter, karena pada jarak ini
mata akan melihat benda dalam keadaan tanpa akomodasi (istirahat).
9
dengan pemeriksaan penilaian refraksi, untuk menentukan kelainan refraksi yang terjadi
serta derajat refraksi dengan cara yang sama namun menggunakan trial frame dan trial
lens.
Gambar 7. Retinoskop
10
terdiri atas 2 kata yaitu refracto dan keratometer. Pengukuran dilakukan oleh
alat untuk menentukan kelainan refraksi, kekuatan lensa koreksi , serta
kelengkungan kornea penderita.13
Adapun hasil koreksi kacamata dapat kita pastikan dengan menggunakan tes
duokrom.
Tes duokrom digunakan untuk meninjau kembali hasil koreksi klinisi, dimana
koreksi lensa sferis yang optimal akan menunjukkan huruf pada bagian merah dan hijau
akan tampak sama hitam. Pada miopia jika tidak terkoreksi dengan benar, maka tulisan
pada warna merah akan tampak lebih jelas sehingga membutuhkan tambahan sferis,
begitupun sebaliknya ketika terkoreksi berlebihan tulisan pada sisi hijau akan tampak
lebih hitam, jelas dan lebih tajam.14
11
6/6 atau 20/20 dengan menggunakan kacamata dengan dioptri terendah. Sebagai
contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.00 dan -3,25 dioptri sama-sama
memberikan tajam penglihatan 6/6, maka sebaiknya dikoreksi dengan -3,00
dioptri agar memberikan istirahat mata lebih baik setelah dikoreksi. Penggunaan
kacamata relatif nyaman dan mudah, bersifat protektif, dan dapat mengoreksi
perbedaan refraksi yang berbeda pada kedua mata. Namun jika keadaan refraksi
semakin berat, kekuatan lensa juga akan bertambah berat sehingga menyebabkan
pula kacamata semakin berat dan tebal yang nantinya akan mengganggu
kosmetik.6,10
- Lensa Kontak
Penggunaan lensa kontak merupakan pilihan terapi kedua pada terapi non operatif
pada miopia. Diindikasikan pada pasien dengan miop yang tinggi, atau pada
miopia yang unilateral. Adapun keuntungan yang lebih baik dimana pada
penggunakan kontak lensa bergerak mengikuti gerakan pada bola mata sehingga
koreksi optikal tetap terfokus pada semua sisi pandangan. Selain itu dapat pula
karena alasan kosmetik. Namun penggunaan lensa kontak harus berhati-hati sebab
memudahkan masuknya kuman pada bola mata dan menyebabkan infeksi pada
mata, ataupun jika telah terdapat infeksi pada mata maka pemakaian lensa kontak
menjadi kontraindikasi absolut.6
Adapun penatalaksanaan secara operatif terbagi menjadi dua yaitu cornea based
procedure dan lens based procedure.
Tatalaksana operatif cornea based procedure antara lain :
1. Keratotomi radial
Pada keratotomi radial pada prinsipnya membuat insisi kurang lebih 90%
dari ketebalan kornea di bagian perifer dan meninggalkan zona sentral kurang
lebih 4 mm. Bagian kornea yang disayat akan menonjol sehingga bagian tengah
kornea akan menjadi rata dengan demikan akan mengurangi kekuatan refraksi.
Prosedur ini memberikan koreksi yang baik pada miopia rendah dan sedang
sekitar -2 sampai -6 dioptri. Namun prosedur ini dianggap kurang aman karena
dapat menyebabkan kelemahan dari kornea yang memudahkan terjadinya ruptur
ketika terjadi trauma, penglihatan yang tidak stabil juga umumnya terjadi.6
12
Gambar 9. Keratotomi Radial. A) Insisi Radial. B) Kedalaman insisi6
13
dioptri. Pada LASIK digunakan laser dan alat pemotong dinamakan
microkeratome untuk memotong flap secara sirkular pada kornea dengan
ketebalan kurang lebih 130-160 mikron, setelah itu dengan menggunakan sinar
excimer akan mengubah bentuk kornea menjadi lebih datar, setelah itu flap
ditutup kembali. Keuntungan dari LASIK yaitu memberikan rasa sakit minimal
pasca operasi dan kembalinya penglihatan segera setelah operasi dilakukan,
selain itu resiko ruptur tidak ada.6
14
Gambar 12. SMILE. A) Insisi dengan bantuan laser. B)
Pengangkatan lentikula stroma kornea6
15
meningkatkan resiko terjadinya robekan retina yang dikenal sebagai ablasio
retina.15
b. Katarak. Biasanya pada miopia patologis yang terjadi karena adanya proses
degeneratif, yang dihubungkan karena adanya sklerosis nucleus ataupun
subkapsuler.16
c. Perdarahan Vitreous dan Choroid. Saat kutub posterior memanjang, selain
penipisan pada daerah retina, koroid sebagai salah satu struktur penyusun bola
mata juga ikut meregang dan menipis menyebabkan hilangnya stroma koroid dan
menurunnya sirkulasi pembuluh darah koroid, termasuk koriokapiler. Saat proses
pemanjangan tersebut berlanjut, terjadi rupture pada epitel pigmen retina,
membrana Bruch dan koriokapiler, yang bermanifestasi sebagai perdarahan.
Selain itu perdarahan ini akan merangsang terbentuknya neovaskularisasi. 16
d. Strabismus konvergen. Dimana komplikasi ini disebabkan karena pada pasien
miopia memiliki punctum remotum yang dekat dengan mata sehingga mata selalu
berada dalam atau kedudukan kovergen, dan bila keluhan ini menetap maka
penderita akan terlihat julit kedalam/strabismus konvergen/esotropia.6
e. Glaukoma. Sebenarnya bukan merupakan suatu komplikasi namun, dilaporkan
adanya beberapa hubungan.6
2.10 PENCEGAHAN
16
2.11 PROGNOSIS
Prognosis untuk koreksi miopia sederhana sangat baik. Pasien memiliki lapangan
pandang yang lebih jauh dengan dilakukannya koreksi. Anak-anak dengan miopia
sederhana harus diperiksa secara berkala. Anak-anak dengan derajat perkembangan
miopia yang tinggi harus diperiksa 6 bulan sekali. Orang dewasa yang memiliki miopia
harus diperiksa setidaknya setiap 2 tahun sekali. Kontrol harus dilakukan lebih sering
apabila pasien memiliki faktor risiko yang lebih besar.18
17
meningkat, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh adanya faktor genetik dan faktor
lingkungan. Adapun diagnosis miopia ditentukan berdasarkan anamnesis, dimana pasien
mengeluhkan penglihatan kabur yang dirasakan secara progresif terutama pada saat
melihat jauh. Selain anamnesis, pemeriksaan ketajaman penglihatan juga dilakukan baik
subjektif (optotype Snellen) dan objektif (retinoskopi dan autorefraksi). Penatalaksanaan
miopia terdiri atas tatalaksana non operatif yaitu penggunaan kacamata atau lensa kontak,
dan secara operatif. Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan meliputi ablasio retina,
perdarahan koroid dan vitreous, katarak, strabismus konvergen, glaukoma, dimana dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan secara permanen. Prognosis pasien dengan miopia
umumnya memiliki prognosis yang baik dengan deteksi dini sebagai suatu upaya
pencegahan dan tatalaksana yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nintyastuti IK, Geriputri NN, Prihatina LM, Syari MK, Wilmayani NK. Prevalensi
Gangguan Refraksi pada Mahasiswa Baru Universitas Mataram Angkatan 2014.
Jurnal Kedokteran; 2016. 5(4) : 1-3.
2. Fauzi L, Anggorowati L, Heriana C. Skrining Kelainan Refraksi Mata pada Siswa
Sekolah Dasar Menurut Tanda dan Gejala. Journal of Health Education; 2016. 1(1)
; 78-84.
18
3. Sukamto NDA, Himayani R, Imanto M, Yusran M. Hubungan Faktor Keturunan ,
Aktivitas Jarak Dekat , dan Aktivitas di Luar Ruangan dengan Kejadian Miopia pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Angkatan 2014. Majority.
2019;8(2):155–60.
4. World Health Organization. The Impact of Myopia and High Myopia: report of the
joint World Health Organisation-Brian Holden Vision Institute Global Scientific
Meeting on Myopia [Internet]. World Health Organization–Brien Holden Vision
Institute. 2015. 1–40 p. Available from:
https://www.who.int/blindness/causes/MyopiaReportforWeb.pdf
5. Matsumura S, Ching-Yu C, Saw SM. Global Epidemiology of Myopia : Updates on
Myopia. Springer : Singapore; 2020. Pp. 27-51.
6. Khurana AK. Comprehensive Opthalmology. 6th Ed. New Delhi : Jaypee Brothers
Medial Publishers; 2015. Pp. 38-42, 50-54.
7. WHO.int. 2012, Vision impairment and blindness. [Online], accessed 5 May 2018.
Available at: http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/blindness-and-visual-
impairment
8. Wu, P., Huang, H., Yu, H., Fang, P. & Chen, C. 2016, ‘Epidemiology of Myopia’,
APJO, vol. 5, no. 6, pp. 386-393
9. Musiana, Nurhayati, Sunarsih. Faktor Resiko yang berhubungan dengan kejadian
Myopia pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai Betik; 2019. 15(1):
71-77
10. Saw S, Katz J, Schein OD, Chew SJ, Chan TK. Epidemiology of Myopia. USA : The
John Hopkins University School of Hygiene and Public Health; 1996.
11. Hasan Lubis H. Faktor faktor yang mempengaruhi krjadian miopia pada pelajar smp
di perkotaan dan pedesaan. 2018. Skrispi. Kota Medan. Universitas Sumatra Utara.
12. Michelle L Hennelly.How to detect myopia in the eye clinic.Community Eye Health
Journal. 2019. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6688402/
13. Ismael C. Understanding and looking after a retinoscope and trial lens
set.Community Eye Health. 2017.
14. Gantz L, Schrader S, Ruber R, Zivotofsky AZ. Can the Red-Green Duochrome Test
Be Used Prior to Correcting the Refractive Cylinder Component?. PLos ONE ;
2015. 10(3) : 1-10.
19
15. Williams K, Hammod C. High Myopia and Its Risks. Community Eye Health; 2019.
32(105) : 5-6.
16. Widodo A. Prilia T. Miopia Patologi. Jurnal Oftalmologi Indonesia ; 2007. 5(1) : 19-
26.
17. Willoughby, C. E., Ponzin, D., Ferrari, S., Lobo, A., Landau, K., & Omidi,Y.
Anatomy and physiology of the human eye: effects of mucopolysaccharidoses disease
on structure and function - a review. Clinical & Experimental Ophthalmology. 2010.
18. American Optometric Association (AOA). Myopia (Nearshgtedness). 2012.
20