Anda di halaman 1dari 23

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA SEPTEMBER 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDIN

MIOPIA

Oleh:
Anugra Tenri JagerTolande’

C014192097

Residen Pembimbing:

dr. Nabita Aulia

Supervisor Pembimbing :
dr. Adelina Titirina Poli, Sp. M, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN IlMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Berikut nama dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Anugra Tenri Jager Tolande’
NIM : C014192097
Judul Referat : Miopia
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2021

Mengetahui,
Residen Pembimbing

dr. Nabita Aulia

Supervisor Pembimbing

dr. Adelina Titirina Poli, Sp.M, M.Kes

ii
DAFTAR ISI

Contents
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3

2.1 DEFENISI MIOPIA..........................................................................................................3

2.2 EPIDEMIOLOGI MIOPIA...............................................................................................3

2.3 KLASIFIKASI MIOPIA...................................................................................................3

2.4 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO..............................................................................4

2.5 PATOGENESIS................................................................................................................5

2.6 GEJALA KLINIS MIOPIA.............................................................................................7

2.7 DIAGNOSIS MIOPIA......................................................................................................7

2.8 PENATALAKSANAAN MIOPIA.................................................................................11

2.9 KOMPLIKASI MIOPIA.................................................................................................16

2.10 PENCEGAHAN...............................................................................................................16

2.11 PROGNOSIS..................................................................................................................17

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World
Health Organization (WHO) menyatakan 45 juta orang menjadi buta di seluruh dunia dan
135 juta dengan penurunan penglihatan (low vision). Diperkirakan gangguan refraksi
menyebabkan 8 juta orang (18% dari penyebab kebutaaan global) mengalami kebutaan1,2.
Prevalensi miopia pada orang dewasa di Amerika sekitar 20-50% dan di beberapa
negara Asia prevalensinya sekitar 85-90%. Prevalensi miopia pada anakanak di negara
barat sangat kecil (kurang dari 5%), sedangkan anakanak di Asia memiliki prevalensi
yang tinggi sekitar 29%. Prevalensi miopia sendiri diperkirakan akan meningkat pada
populasi global di tahun 20503 .
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam penelitian yang
dilakukan di 8 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat) tahun 1996
ditemukan kelainan refraksi sebesar 24,71% dan menempati urutan pertama dalam 10
penyakit mata terbesar di Indonesia2.

Gambar 1. Grafik jumlah kasus dan prevalensi miopia di dunia dari tahun 2000-2050 4

Dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) sekitar 10% menderita kelainan
refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kaca mata koreksi masih sangat rendah sekitar
12,5% dari prevalensi tersebut. Beberapa faktor risiko penyebab kelainan refraksi adalah
faktor genetik dan faktor lingkungan. Miopia bisa terjadi pada saat usia anak anak (5-7
tahun), usia muda (7- 16 tahun) dan dewasa ( >16 tahun). Beberapa faktor lingkungan
yang mempengaruhi progresivitas miopia adalah aktivitas dekat seperti membaca,
menulis, melihat TV, komputer, game dan aktivitas dekat lainnya. Riwayat keluarga
orang tua ataupun saudara kandung dengan miopia juga merupakan faktor predisposisi
terjadinya miopia.Pada beberapa literatur didapatkan bahwa progresivitas miopia terjadi
pada usia 6 sampai 15 tahun.Semakin meningkatnya pemakaian alat canggih pada anak-
anak sangat memungkinkan terjadinya peningkatan kejadian gangguan refraksi pada anak
sehingga diperlukan pemeriksaan secara dini pada anak sekolah dasar. Penemuan kasus
dengan lebih cepat memungkinkan penanganan yang lebih segera sehingga kualitas
penglihatan baik dan diharapkan prestasi belajar meningkat1.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFENISI MIOPIA
Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar aksis visual tanpa
akomodasi difokuskan pada satu titik di depan retina. Cahaya yang tidak difokuskan dengan baik
pada retina membuat objek tampak buram6

2.2 EPIDEMIOLOGI MIOPIA


Salah satu faktor penyebab menurunnya kualitas hidup seseorang yaitu gangguan
penglihatan. Berdasarkan data WHO terdapat 285 juta orang di dunia yang mengalami
gangguan penglihatan, di mana 39 juta orang mengalami kebutaan dan 246 juta orang
mengalami berpenglihatan kurang (low vision). Secara global, gangguan penglihatan tersebut
disebabkan oleh 43% kelainan refraksi, 33% katarak dan 2% glaukoma. Kelainan refraksi
dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma Dari semua kelainan refraksi
yang ada, miopia menduduki peringkat pertama sebagai kelainan refraksi yang paling banyak
diderita oleh penduduk dunia7
Kejadian miopia yang terus meningkat dalam 50 tahun terakhir diperkirakan sudah
mengenai 1,6 miliar penduduk di seluruh dunia. Sebuah tinjauan memperkirakan bahwa pada

2050 separuh populasi global (5 miliar orang) akan rabun jauh, dan seperlima dari mereka (1
miliar) akan dianggap sangat rabun (>5 D)
Prevalensi miopia pada anak bervariasi di berbagai wilayah dan negara. Onset miopia
selama masa kanak-kanak dapat dihitung secara kasar dari prevalensi populasi usia yang
berbeda. Onset dini miopia adalah prediktor terpenting dari miopia yang tinggi di kemudian
hari. Prevalensi yang lebih tinggi dari kelompok usia yang lebih muda akan menyebabkan
beban yang lebih besar dan keparahan miopia di masa dewasa karena perkembangan miopia
di masa kanak-kanak menyebabkan miopia. Di Indonesia angka kejadian miopia adalah 48,1
% pada orang dewasa yang lebih dari 21 tahun8

2.3 KLASIFIKASI MIOPIA

Berdasarkan beratnya miopia (tingginya dioptri), miopia dibagi dalam kelompok


sebagai berikut :

3
1. Berdasarkan beratnya miopia terbagi menjadi :10
- Miopia ringan/ Miop Levior : < 3.00 dioptri
- Miopia sedang / Miop Moderate : 3.00 – 6.00 dioptri
- Miopia berat / Miop Gravior : > 6.00 dioptri

2. Berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi :10


- Miopia aksial, dimana diameter antero-posterior bola mata melebihi normal,
sehingga bertambah jarak antara kornea dan fokus bayangan di retina. Biasanya
terdapat pada pasien dengan makroftalmi, stafiloma polus posterior.
- Miopia Kurvatura, dimana kelengkungan kornea/lensa berubah. Terdapat pada
keratoglobus, keratoconus.
- Miopia indeks, dimana indeks bias lebih tinggi dari normal, terdapat pada
sklerosis nucleus dari lensa, Diabetes Melitus yang tidak terkontrol.

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, terbagi menjadi :10


- Miopia stasioner/miopia simpleks, cenderung menetap/ bertambah sedikit setelah
dewasa dan jarang melebihi 6 dioptri.
- Miopia progresif yaitu miopia yang bertambah terus dengan cepat pada usia
dewasa akibat bertambahnya panjang bola mata.
- Miopia maligna yaitu keadaan yang lebih berat dan dapat menimbulkan ablasi
retina dan kebutaan.

2.4 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Miopia disebabkan oleh hal-hal yang mempengaruhi kelainan refraksi secara


umum, dimana klasifikasi etiologi miopia dapat dibagi sebagai berikut :6
- Axial Myopia, disebabkan karena panjang diameter antero-posterior bola mata
melebihi normal, sehingga cahaya cenderung jatuh pada titik fokus di depan
retina
- Curvatural Myopia, disebabkan karena perningkatan kelengkungan kornea, lensa
ataupun keduanya, sehingga kekuatan refraksi bertambah
- Positional Myopia, disebabkan karena adanya perubahan posisi dari lensa
kristalina pada mata

4
- Index Myopia, disebabkan karena pertambahan indeks refraksi pada lensa yang
disebabkan salah satunya oleh proses sclerosis dari nucleus
- Myopia due to excessive accommodation, terjadi pada pasien dengan spasme
akomodasi.
Adapun beberapa faktor resiko yang berperan terhadap kejadian dan progresi dari
miopia adalah sebagai berikut :15,16
- Faktor genetik (keturunan) dimana orang tua secara genetik dapat menurunkan
sifat kelainan refraksi baik secara autosomal dominan maupun autosomal
resesif yang berpengaruh pada variasi pertumbuhan bola mata.
- Faktor lingkungan dimana prevalensi tertinggi ditemukan pada orang dengan
white collar occupation, yang sering menghabiskan waktu pada aktivitas jarak
dekat (nearwork activity) seperti belajar, membaca, menggunakan computer.
Bahkan pada anak misalnya seperti bermain game, komputer ataupun menonton
televisi.
- Seang et al pada penelitiannya juga mengemukakan beberapa faktor resiko lain
seperti prematuritas dan bayi berat lahir rendah, dimana bayi dengan Retinopathy
of Prematurity (ROP) cenderung menderita miopia, karena adanya paparan
oksigen yang berlebihan pada tahap awal kehidupan. Selain itu faktor tinggi badan
dan malnutrisi juga ikut berperan dalam progresivitas miopia.
-
2.5 PATOGENESIS
a. Menurut Duke Elder S
Berbagai teori ditemukan mengenai terjadinya miopia, tetapi ada dua teori pokok
yang saling bertentangan, yaitu11:
1. Teori Mekanik
Timbul pada abad ke 19, yang mengatakan bahwa terjadinya miopia tinggi
disebabkan karena peregangan sklera. Peregangan ini dapat terjadi pada sklera yang
normal maupun yang sudah lemah. Adanya konvergensi yang berlebihan, akomodasi
yang terus-menerus dan kontraksi muskulus orbicularis okuli akan mengakibatkan
tekanan intra okuler meningkat dan selanjutnya menimbulkan peregangan sklera. Selain
itu pada akomodasi dimana terjadi kontraksi muskulus siliaris akan menarik koroid,
sehingga menyebabkan atropi. Konvergensi dan posisi bola mata kearah inferior pada

5
waktu membaca menyebabkan pole posterior tertarik oleh nervus opikus. Perlemahan
sklera di duga menjadi penyebab membesarnya bola mata. Perlemahan ini dapat
disebabkan oleh beberapafaktor,yaitu: Kongesti sclera,inflamasi sklera, malnutrisi,
endokrin, keadaan umum, skleromalasia . Jadi menurut teori ini terdapat kelainan antara
timbulnya dan progresinya miopia dengan kebiasaan melihat dekat dan keadaan umum
seseorang.

2. Teori Biologi
Teori ini timbul setelah pengamatan bahwa miopia aksial adalah herediter,
penipisan bola mata hanya di daerah pole posterior, degenerasi retina terjadi sekunder
setelah atrofi koroid dan adanya perubahan-perubahan atrofi yang tidak sesuai dengan
besarnya pemanjangan bola mata. Vogt mengatakan bahwa faktor timbulnya miopia
terdapat pada jaringan ektodermal yaitu retina, sedangkan jaringan mesodermal di
sekitarnya tetap normal. Retina tumbuh lebih menonjol dibanding dengan koroid dan
sklera. Pertumbuhan retina yang abnormal ini diikuti dengan penipisan sklera dan
peregangan koroid. Koroid yang peka terhadap regangan akan menjadi atrofi. Seperti
diketahui pertumbuhan sklera berhenti pada janin berumur 5 bulan sedangkan bagian
posterior retina masih tumbuh terus sehingga bagian posterio sklera menjadi paling tipis
.
b. Menurut David A. Goss
Faktor utama dari miopia patologi ini adalah peningkatan panjang aksial bola
mata, yang disebabkan oleh penurunan kuantitas dan perubahan karakteristik anatomi
dari jaringan kolagen sklera. Sklera merupakan jaringan penyokong utama dari segmen
posterior. Dalam keadaan normal tersususun dari ikatan serabut kolagen yang padat.
Ikatan-ikatan serabut kolagen yang padat. Ikatan-ikatan tersebut terdiri dari pita-pita lebar
dan teranyam. Nikolaev mengatakan bahwa pada miopia yang tinggi diameter serabut
kolagen sklera mengalami penurunan. Curtin menyebutkan bahwa pada orang degan
derajat miopia tinggi akan mengalami penurunan kuantitas dan kualitas dari serabut
kolagen sklera yang berupa sudut ikatan antara serabut kolagen sklera melebar
anyamannya kurang terpola. Perubahan-perubahan ini dijumpai pada kutub posterior
sehingga akan menyebabkan regangan dan penipisan pada skelra yang akhirnya
menambah panjang aksial bola mata11.

6
2.6 GEJALA KLINIS MIOPIA
Pada pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila melihat dekat,
sedangkan melihat jauh buram atau disebut pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan
miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan
celah kelopak yang sempit. Seorang penderita miopia mempunyai kebiasaan
menyempitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek
pinhole (lubang kecil). Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat
sehingga mata selalu melihat dalam posisi konvergensi, dan hal ini menimbulkan
(astenopia konvengersi). Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan
terlihat juling kedalam yang disebut strabismus konvergen (esoptropia). Apabila
terdapat miopia pada satu mata jauh lebih tinggi dari mata yang lain, dapat terjadi
ambliopia pada mata yang miopianya lebih tinggi. Mata ambliopia akan menggulir
ke temporal yang disebut strabismus difergen (eksotropia) . 11

2.7 DIAGNOSIS MIOPIA

Diagnosis miopia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


oftalmologis baik secara subjektif maupun objektif.
a. Anamnesis
Keluhan utama pada pasien dengan gejala miopia adalah penurunan ketajaman
penglihatan yang dirasakan semakin progresif terutama apabila melihat objek
yang jauh. Pasien lebih nyaman jika melihat objek dalam jarak yang dekat. Jika
pasien melihat jauh pasien cenderung akan memicingkan mata seperti mekanisme
“pinhole” untuk memfokuskan objek agar dapat melihat dengan lebih jelas.
Keluhan lain yang biasanya didapatkan juga adalah keluhan nyeri kepala /
ketidaknyamanan yang dikaitkan dengan penggunaan mata dan membaik ketika
mata tersebut diistirahatkan. Sedangkan pada anak dapat ditemukan kesulitan
berkonsentrasi di sekolah.12

Adapun riwayat penyakit mata yang lain harus ditanyakan seperti riwayat
penggunaan kacamata sebelumnya, riwayat keluarga (genetik), riwayat
penggunaan obat-obatan sistemik dan topikal, riwayat penyakit sistemik seperti

7
diabetes mellitus, hipertensi, riwayat alergi misalnya asma dan termasuk hobi
dan pekerjaan dari pasien untuk mencari beberapa faktor lingkungan yang
terlibat. 12

b. Pemeriksaan Oftalmologis secara subjektif


Pada pemeriksaan oftalmologis secara subjektif dilakukan dengan adanya kerja
sama antara pemeriksa dan pasien. Dalam hal ini pemeriksaan ketajaman
penglihatan satu mata dilakukan dengan menggunakan optoptipe Straub atau
Snellen dengan trial frame dan trial lens set.12

Gambar 5. Snellen Chart17

8
Gambar 6. Trial Frame and Trial Lens
Pemeriksaan ini dilakukan dalam jarak 5 atau 6 meter, karena pada jarak ini
mata akan melihat benda dalam keadaan tanpa akomodasi (istirahat).

Adapun cara pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :12


a. Meposisikan Snellen Chart, kurang lebih 6 meter (20 kaki) dari pasien
b. Pada pasien yang lebih muda dan tidak/belum bisa membaca dapat diberikan E-
Chart
c. Menjelaskan prosedur pemeriksaan kepada pasien, serta tujuan pemeriksaan
d. Bersihkan dan keringkan occluder. Jika terdapat nyeri atau mata merah, gunakan
kartu / tissue / tangan untuk menutup mata tanpa menekan mata. Hal ini dilakukan
untuk mencegah penyebaran infeksi.
e. Tes dilakukan pada masing-masing mata.
f. Meminta penderita untuk menyebutkan huruf, angka atau simbol yang ditunjuk
mulai dari baris paling atas dari optotip Snellen ke bawah.
g. Tentukan visus penderita sesuai dengan hasil pemeriksaan. Visus penderita
ditunjukkan oleh angka disamping baris huruf terakhir yang dapat terbaca oleh
penderita.
Jika pasien tidak dapat membaca huruf terbesar pada optotipe Snellen maka
dilakukan hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.
Jika tidak bisa, dilakukan ke uji lambai tangan, yang seharusnya orang normal dapat
melihat pada jarak 300 meter. Jika penderita belum melihat, maka dilakukan dengan
menggunakan cahaya, dimana orang normal dapat melihat sinar / cahaya pada jarak tak
terhingga. Bila penglihatan pasien sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka
dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total.
Ketika visus pasien tidak mencapai 20/20 atau 6/6 maka akan dilanjutkan

9
dengan pemeriksaan penilaian refraksi, untuk menentukan kelainan refraksi yang terjadi
serta derajat refraksi dengan cara yang sama namun menggunakan trial frame dan trial
lens.

c. Pemeriksaan Oftalmologis secara objektif


Selain pemeriksaan secara subjektif, pemeriksaan dapat juga dilakukan secara
objektif dimana dapat menentukan keadaan refraksi tanpa adanya input dari
pasien. Adapun pemeriksaan refraksi secara objektif yang tersering dilakukan
adalah pemeriksaan retinoskopi dan autorefraksi.7

Gambar 7. Retinoskop

- Pemeriksaan retinoskopi, merupakan suatu metode objektif untuk dapat


mengetahui kelainan refraksi dengan metode netralisasi. Alat ini terdiri dari
lensa, sumber cahaya dan cermin, dimana dengan mengarahkan cahaya pada
pupil, kita dapat menilai pantulan cahaya pada retina yang disebut sebagai
retinoscopic reflex (ret reflex), dan kemudian status refraksi dapat diukur
dengan menggunakan lensa yang diletakkan di depan mata pasien hingga
cahaya dapat tepat fokus pada retina dengan pantulan netral yang dapat kita
lihat pada pupil. Jika bayangan jatuh di belakang retina maka arah cahaya
akan searah dengan “ret reflex”, sebaliknya jika bayangan jatuh di depan
retina maka arah cahaya dan arah pantulan “ret reflex” saling berlawanan.19
- Semakin maju zaman dengan alat elektronik, salah satu pemeriksaan objektis
yang sering dilakukan adalah autorefractometer. Dimana autorefrakotometer

10
terdiri atas 2 kata yaitu refracto dan keratometer. Pengukuran dilakukan oleh
alat untuk menentukan kelainan refraksi, kekuatan lensa koreksi , serta
kelengkungan kornea penderita.13

Adapun hasil koreksi kacamata dapat kita pastikan dengan menggunakan tes
duokrom.

Gambar 8. Tes duokrom14

Tes duokrom digunakan untuk meninjau kembali hasil koreksi klinisi, dimana
koreksi lensa sferis yang optimal akan menunjukkan huruf pada bagian merah dan hijau
akan tampak sama hitam. Pada miopia jika tidak terkoreksi dengan benar, maka tulisan
pada warna merah akan tampak lebih jelas sehingga membutuhkan tambahan sferis,
begitupun sebaliknya ketika terkoreksi berlebihan tulisan pada sisi hijau akan tampak
lebih hitam, jelas dan lebih tajam.14

2.8 PENATALAKSANAAN MIOPIA

Penatalaksanaan terhadap miopia terbagi menjadi 2 yaitu penatalaksanaan non-


operatif dan penatalaksanaan operatif.
Penatalaksanaan secara non operatif meliputi :
- Kacamata
Tatalaksana pada miopia berkebalikan dengan tatalaksana pada
hipermetrop, dimana pada miopia diberikan penggunaan lensa cekung/konkaf
untuk mengurangi kekuatan refraksi sehingga objek tepat di fokuskan pada retina,
dengan aturan dasar dalam mengoreksi miopia adalah mengoreksi sehingga visus

11
6/6 atau 20/20 dengan menggunakan kacamata dengan dioptri terendah. Sebagai
contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.00 dan -3,25 dioptri sama-sama
memberikan tajam penglihatan 6/6, maka sebaiknya dikoreksi dengan -3,00
dioptri agar memberikan istirahat mata lebih baik setelah dikoreksi. Penggunaan
kacamata relatif nyaman dan mudah, bersifat protektif, dan dapat mengoreksi
perbedaan refraksi yang berbeda pada kedua mata. Namun jika keadaan refraksi
semakin berat, kekuatan lensa juga akan bertambah berat sehingga menyebabkan
pula kacamata semakin berat dan tebal yang nantinya akan mengganggu
kosmetik.6,10

- Lensa Kontak
Penggunaan lensa kontak merupakan pilihan terapi kedua pada terapi non operatif
pada miopia. Diindikasikan pada pasien dengan miop yang tinggi, atau pada
miopia yang unilateral. Adapun keuntungan yang lebih baik dimana pada
penggunakan kontak lensa bergerak mengikuti gerakan pada bola mata sehingga
koreksi optikal tetap terfokus pada semua sisi pandangan. Selain itu dapat pula
karena alasan kosmetik. Namun penggunaan lensa kontak harus berhati-hati sebab
memudahkan masuknya kuman pada bola mata dan menyebabkan infeksi pada
mata, ataupun jika telah terdapat infeksi pada mata maka pemakaian lensa kontak
menjadi kontraindikasi absolut.6
Adapun penatalaksanaan secara operatif terbagi menjadi dua yaitu cornea based
procedure dan lens based procedure.
Tatalaksana operatif cornea based procedure antara lain :
1. Keratotomi radial
Pada keratotomi radial pada prinsipnya membuat insisi kurang lebih 90%
dari ketebalan kornea di bagian perifer dan meninggalkan zona sentral kurang
lebih 4 mm. Bagian kornea yang disayat akan menonjol sehingga bagian tengah
kornea akan menjadi rata dengan demikan akan mengurangi kekuatan refraksi.
Prosedur ini memberikan koreksi yang baik pada miopia rendah dan sedang
sekitar -2 sampai -6 dioptri. Namun prosedur ini dianggap kurang aman karena
dapat menyebabkan kelemahan dari kornea yang memudahkan terjadinya ruptur
ketika terjadi trauma, penglihatan yang tidak stabil juga umumnya terjadi.6

12
Gambar 9. Keratotomi Radial. A) Insisi Radial. B) Kedalaman insisi6

2. Laser Ablation Corneal Procedure


Keratotektomi Fotorefraktif. Pada teknik ini, dilakukan koreksi miopia dengan
melakukan fotoablasi menggunakan laser/ sinar excimer (193-nm UV Flash) ,
dimana sinar ini akan memecah molekul sel kornea dan menyebabkan
permukaan sel kornea menjadi lebih rata dan mengurangi kekuatan refraksi.
Seperti pada keratotomy radial, prosedur ini memberikan koreksi terbaik pada
miopia rendah dan sedang sekitar -2 sampai 06 dioptri.

Gambar 10. Keratektomi Fotorefraktif. A) Tampakan depan. B)


Permukaan Insisi6

Laser In-Situ Keratomileusis (LASIK). Teknik lasik merupakan metode terbaru


di dalam operasi mata. LASIK direkomendasikan untuk miopia derajat sedang
sampai berat biasanya direkomendasikan pada miopia dengan derajat diatas -8

13
dioptri. Pada LASIK digunakan laser dan alat pemotong dinamakan
microkeratome untuk memotong flap secara sirkular pada kornea dengan
ketebalan kurang lebih 130-160 mikron, setelah itu dengan menggunakan sinar
excimer akan mengubah bentuk kornea menjadi lebih datar, setelah itu flap
ditutup kembali. Keuntungan dari LASIK yaitu memberikan rasa sakit minimal
pasca operasi dan kembalinya penglihatan segera setelah operasi dilakukan,
selain itu resiko ruptur tidak ada.6

Gambar 11. Laser in-Situ Keratomileusis 6

3. Refractive Lenticule Extraction (ReLEx)


Teknik ini disebut juga sebagai SMILE (Small Insicion Lenticule
Extraction) dimana dengan menggunakan laser femtosecond akan menembus
lapisan kornea tanpa membuat sayatan dan fokus pada lenticule. Sementara insisi
akan dibuat kurang lebih 2-4 mm pada ujung kornea, kemudian dilakukan
ekstraksi manual dari lentikula stroma kornea. Prosedur ini berguna dalam koreksi
miopia dengan atau tanpa astigmat, bahkan yang diatas 10 dioptri.6

14
Gambar 12. SMILE. A) Insisi dengan bantuan laser. B)
Pengangkatan lentikula stroma kornea6

4. Implantasi Cincin Intrakornea


Prosedur ini dilakukan dengan memasang implan pada kornea bagian perifer
kurang lebih 2/3 kedalaman dari stroma kornea sehingga menyebabkan
pendataran dari kornea bagian sentral sehingga menyebabkan kekuatan refraksi
menurun, dan dapat memperbaiki miopia.6

Adapun teknik operasi dengan menggunakan lens based procedure terdiri


atas Refractive lens Exhange (Fucala’s Operation) dimana dilakukan ekstraksi
dari lensa kemudian dilakukan implantasi lensa yang baru, dan prosedur ini
disarankan pada kelainan miopia lebih dari 12 dioptri. Selain itu, prosedur kedua
yang dapat dilakukan adalah Phakic Refractive Lens (PRL), dimana dilakukan
pemasangan lensa khusus pada bilik mata depan atau belakang dari lensa
kristalina, disarankan pada miopia lebih dari 8 dioptri.6

2.9 KOMPLIKASI MIOPIA

Adapun beberapa komplikasi dari miopia yang dapat ditemukan adalah :


a. Ablasio retina. Menurut penelitian, komplikasi ablasio retina merupakan
komplikasi tersering dan terjadi 5-6 kali pada pasien dengan miopia tinggi jika
dibandingkan dengan miopia rendah. Ablasio retina terjadi karena adanya
perpanjangan aksial diameter anterior posterior bola mata sehingga menyebabkan
perengangan dari struktur retina yang sewaktu-waktu akan menyebabkan robekan.
Selain itu seiring dengan proses degenerasi dari vitrous yang cenderung kolaps
karena mengalami proses pencairan akan terpisah dari retina yang juga

15
meningkatkan resiko terjadinya robekan retina yang dikenal sebagai ablasio
retina.15

b. Katarak. Biasanya pada miopia patologis yang terjadi karena adanya proses
degeneratif, yang dihubungkan karena adanya sklerosis nucleus ataupun
subkapsuler.16
c. Perdarahan Vitreous dan Choroid. Saat kutub posterior memanjang, selain
penipisan pada daerah retina, koroid sebagai salah satu struktur penyusun bola
mata juga ikut meregang dan menipis menyebabkan hilangnya stroma koroid dan
menurunnya sirkulasi pembuluh darah koroid, termasuk koriokapiler. Saat proses
pemanjangan tersebut berlanjut, terjadi rupture pada epitel pigmen retina,
membrana Bruch dan koriokapiler, yang bermanifestasi sebagai perdarahan.
Selain itu perdarahan ini akan merangsang terbentuknya neovaskularisasi. 16
d. Strabismus konvergen. Dimana komplikasi ini disebabkan karena pada pasien
miopia memiliki punctum remotum yang dekat dengan mata sehingga mata selalu
berada dalam atau kedudukan kovergen, dan bila keluhan ini menetap maka
penderita akan terlihat julit kedalam/strabismus konvergen/esotropia.6
e. Glaukoma. Sebenarnya bukan merupakan suatu komplikasi namun, dilaporkan
adanya beberapa hubungan.6

2.10 PENCEGAHAN

Pencegahan terhadap kejadian miopia yaitu mendeteksi secara dini kelainan


refraksi yang terjadi misalnya dengan melakukan skrining awal pada bayi baru lahir
terutama prematur dan pada usia anak sekolah, dengan demikian dapat dilakukan
koreksi yang lebih cepat dan menurunkan morbiditas. Adapun jika pasien sudah
menderita miopia , maka yang dapat dilakukan pencegahan agar tidak memberat.
Pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah dengan visual hygiene yaitu mencegah
terjadinya kebiasaan buruk (misalnya jarak membaca, jam membaca, dan sebagainya),
melatih pandangan jauh atau dekat secara bergantian yang dapat mencegah miopia, dan
pentingnya edukasi memeriksakan mata anak sedini mungkin jika ada keluarga yang
memakai kacamata.17

16
2.11 PROGNOSIS

Prognosis untuk koreksi miopia sederhana sangat baik. Pasien memiliki lapangan
pandang yang lebih jauh dengan dilakukannya koreksi. Anak-anak dengan miopia
sederhana harus diperiksa secara berkala. Anak-anak dengan derajat perkembangan
miopia yang tinggi harus diperiksa 6 bulan sekali. Orang dewasa yang memiliki miopia
harus diperiksa setidaknya setiap 2 tahun sekali. Kontrol harus dilakukan lebih sering
apabila pasien memiliki faktor risiko yang lebih besar.18

BAB III KESIMPULAN

Ganggun refraksi yang tersering menyebabkan gangguan penglihatan adalah


miopia, yaitu suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar aksis visual tanpa
akomodasi difokuskan pada satu titik di depan retina. Miopia dapat terjadi karena
panjangnya diameter aksial antero-posterior bola mata, kurvatura lensa dan kornea yang
lebih melengkung, perubahan posisi dari media refrakta, ataupun indeks refraksi yang

17
meningkat, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh adanya faktor genetik dan faktor
lingkungan. Adapun diagnosis miopia ditentukan berdasarkan anamnesis, dimana pasien
mengeluhkan penglihatan kabur yang dirasakan secara progresif terutama pada saat
melihat jauh. Selain anamnesis, pemeriksaan ketajaman penglihatan juga dilakukan baik
subjektif (optotype Snellen) dan objektif (retinoskopi dan autorefraksi). Penatalaksanaan
miopia terdiri atas tatalaksana non operatif yaitu penggunaan kacamata atau lensa kontak,
dan secara operatif. Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan meliputi ablasio retina,
perdarahan koroid dan vitreous, katarak, strabismus konvergen, glaukoma, dimana dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan secara permanen. Prognosis pasien dengan miopia
umumnya memiliki prognosis yang baik dengan deteksi dini sebagai suatu upaya
pencegahan dan tatalaksana yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nintyastuti IK, Geriputri NN, Prihatina LM, Syari MK, Wilmayani NK. Prevalensi
Gangguan Refraksi pada Mahasiswa Baru Universitas Mataram Angkatan 2014.
Jurnal Kedokteran; 2016. 5(4) : 1-3.
2. Fauzi L, Anggorowati L, Heriana C. Skrining Kelainan Refraksi Mata pada Siswa
Sekolah Dasar Menurut Tanda dan Gejala. Journal of Health Education; 2016. 1(1)
; 78-84.

18
3. Sukamto NDA, Himayani R, Imanto M, Yusran M. Hubungan Faktor Keturunan ,
Aktivitas Jarak Dekat , dan Aktivitas di Luar Ruangan dengan Kejadian Miopia pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Angkatan 2014. Majority.
2019;8(2):155–60.
4. World Health Organization. The Impact of Myopia and High Myopia: report of the
joint World Health Organisation-Brian Holden Vision Institute Global Scientific
Meeting on Myopia [Internet]. World Health Organization–Brien Holden Vision
Institute. 2015. 1–40 p. Available from:
https://www.who.int/blindness/causes/MyopiaReportforWeb.pdf
5. Matsumura S, Ching-Yu C, Saw SM. Global Epidemiology of Myopia : Updates on
Myopia. Springer : Singapore; 2020. Pp. 27-51.
6. Khurana AK. Comprehensive Opthalmology. 6th Ed. New Delhi : Jaypee Brothers
Medial Publishers; 2015. Pp. 38-42, 50-54.
7. WHO.int. 2012, Vision impairment and blindness. [Online], accessed 5 May 2018.
Available at: http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/blindness-and-visual-
impairment
8. Wu, P., Huang, H., Yu, H., Fang, P. & Chen, C. 2016, ‘Epidemiology of Myopia’,
APJO, vol. 5, no. 6, pp. 386-393
9. Musiana, Nurhayati, Sunarsih. Faktor Resiko yang berhubungan dengan kejadian
Myopia pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai Betik; 2019. 15(1):
71-77
10. Saw S, Katz J, Schein OD, Chew SJ, Chan TK. Epidemiology of Myopia. USA : The
John Hopkins University School of Hygiene and Public Health; 1996.
11. Hasan Lubis H. Faktor faktor yang mempengaruhi krjadian miopia pada pelajar smp
di perkotaan dan pedesaan. 2018. Skrispi. Kota Medan. Universitas Sumatra Utara.
12. Michelle L Hennelly.How to detect myopia in the eye clinic.Community Eye Health
Journal. 2019. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6688402/
13. Ismael C. Understanding and looking after a retinoscope and trial lens
set.Community Eye Health. 2017.
14. Gantz L, Schrader S, Ruber R, Zivotofsky AZ. Can the Red-Green Duochrome Test
Be Used Prior to Correcting the Refractive Cylinder Component?. PLos ONE ;
2015. 10(3) : 1-10.

19
15. Williams K, Hammod C. High Myopia and Its Risks. Community Eye Health; 2019.
32(105) : 5-6.
16. Widodo A. Prilia T. Miopia Patologi. Jurnal Oftalmologi Indonesia ; 2007. 5(1) : 19-
26.
17. Willoughby, C. E., Ponzin, D., Ferrari, S., Lobo, A., Landau, K., & Omidi,Y.
Anatomy and physiology of the human eye: effects of mucopolysaccharidoses disease
on structure and function - a review. Clinical & Experimental Ophthalmology. 2010.
18. American Optometric Association (AOA). Myopia (Nearshgtedness). 2012.

20

Anda mungkin juga menyukai