Anda di halaman 1dari 16

Mini Referat

ASPEK LABORATORIUM PADA PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

This Photo by Unknown Author is licensed under CC BY-SA

DISUSUN OLEH:
ANDI HUSNUL HANIFAH C014192034
MUH. SYARIF ADNAN C014192168

PENDAMPING:
dr. DEISY CHRISANTY BETAH

PEMBIMBING:
Dr. dr. TENRI ESA, Msi., Sp.PK

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2020
BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit Jantung Reumatik (PJR) masih merupakan masalah utama di negara sedang
berkembang yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada usia muda. Penyakit ini
terjadi sebagai akibat respons autoimun yang abnormal pada pasien yang rentan secara
genetik. Walaupun di negara maju sudah hampir hilang dengan penggunaan antibiotik
profilaksis pada pasien dengan demam reumatik (DR), penyakit ini masih merupakan
masalah yang utama di negara berkembang.1
PJR merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat DR akut sebelumnya.
Penyakit ini terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup
trikuspid dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. DR ditandai dengan adanya respons
inflamasi akibat infeksi Streptococcus β hemolitikus grup A (SGA) dan dapat menyebabkan
manifestasi klinis pada jantung, sendi, kulit, dan otak. Penyakit ini pada umumnya terjadi
sekitar tiga minggu setelah faringitis, dan ditandai dengan gejala klinis berupa demam, nyeri
pada beberapa sendi, adanya gerakan tanpa disadari dari otot, dan erythema marginatum.2,3
Penelitian menunjukkan 39% dari pasien DR akan mengalami pancarditis atau
inflamasi pada seluruh bagian jantung (endokardium, miokardium, epikardium, dan
perikardium) yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada katup jantung atau dikenal
dengan PJR. Adanya manifestasi klinis hingga ke jantung disebabkan reaksi autoimun akibat
kemiripan epitop protein M pada SGA dan protein pada jaringan tubuh manusia, terutama
yang terdapat di jantung.4,5
Kriteria diagnosis PJR berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium sesuai
dengan kriteria Jones yang telah direvisi. Gejala klinis yang dianggap sebagai kriteria mayor
untuk diagnosis adalah adanya poliartritis akibat inflamasi sendi seperti pada reumatik,
karditis, dan perikarditis dengan inflamasi pada otot jantung, nodul subkutan akibat inflamasi
pada kolagen, eritema marginatum, serta Sydenham’s chorea yang merupakan pertanda
adanya inflamasi di susunan saraf. Pada kriteria minor dijumpai adanya febris yang
menandakan adanya inflamasi, infeksi, atralgia yang menandakan inflamasi sendi, serta
parameter laboratorium yaitu peningkatan LED, CRP, adanya leukositosis yang menandakan
infeksi disertai kelainan EKG, dan riwayat penyakit DR atau jantung.6,7

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 2


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
PJR merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat DR akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup
trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit ini disebabkan oleh
autoimun pada katup jantung yang diawali dari riwayat infeksi SGA di faring.2
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi PJR mengalami tren penurunan dari 463.000 kematian pada tahun
1990 menjadi 345.000 kematian pada tahun 2010. Tren tersebut hanya berlaku di negara
maju yang sudah mengalami kemajuan cukup pesat di bidang kesehatan, pendekatan dan
penanganan infeksi SGA sedini mungkin, serta kesadaran akan pola hidup bersih dan
sehat yang baik.8
Salah satu penelitian memprediksi sebanyak 33.194.900 kasus PJR terjadi
dinegara endemik pada tahun 2015, dengan prevalensi 444 kasus per 100,000 penduduk.
Sedangkan pada negara nonendemik prevalensi PJR yaitu 3,4 kasus per 100.000
penduduk, dengan total 221.000 kasus. Negara dengan perkiraan jumlah kasus terbesar
adalah India (13,17 juta), Cina (7,07 juta), Pakistan (2,25 juta), Indonesia (1,18 juta) dan
Republik Demokratik Kongo (805.000). Keseluruhan kasus tersebut menyumbang
sekitar 73% dari kasus global. Ini menunjukkan, bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara endemik dengan jumlah kasus yang besar dibanding negara lainnya.9
Penyakit ini merupakan masalah kesehatan utama yang didapat pada anak hingga
remaja di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena 5-30 juta anak-anak dan remaja
terkena penyakit ini, dan 90.000 lainnya meninggal setiap tahunnya dengan tingkat
mortalitas sebesar 1-10%. Di Indonesia, prevalensi PJR sebesar 0,3-0,8 per 1.000 anak
usia sekolah dengan rentang umur 5-15 tahun. Rendahnya pemahaman kesehatan,
kondisi sosioekonomi, pencegahan, dan pengobatan terhadap etiologi dari penyakit ini
menyebabkan tingkat mortalitas di Indonesia 10x lebih tinggi dibandingkan negara
berkembang lainnya.3,10

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 3


2.3 Etiologi
Etiologi terpenting dari PJR yaitu SGA dengan spesies Streptococcus pyogenes
merupakan patogen terbanyak yang menyebabkan infeksi pada individu dengan faktor
predisposisi. Proses autoimmune yang menyebabkan timbulnya manifestasi klinis berupa
kerusakan jaringan pada penyakit ini.1,7
2.4 Patogenesis
Patofisiologi dari PJR belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa
penelitian yang menyimpulkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh DR yang terjadi
akibat sensitasi antigen SGA sesudah 2-6 minggu infeksi faring SGA yang tidak
tertangani dengan baik.11,12
Awalnya SGA melekat dan menginvasi melaui epitel faring, kemudian imunitas
innate seperti neutrofil, makrofag dan sel dendritik memfagositosis bakteri. Antigen
dipresentasikan oleh major histocompatibility complex (MHC) II ke sel limfosit T yang
diterima oleh T cell receptor (TCR). Interaksi ini memicu pembentukan sel T cross-
reactive terhadap antigen SGA. Selain itu, terbentuk juga antibodi monoklonal cross-
reactive dan sel B cross-reactive spesifik terhadap SGA dari jalur aktivasi sel B yang
dimediasi oleh B cell receptor (BCR) untuk menagkap antigen SGA. Hasil imun adaptif
yang terbentuk akan memicu autoimun yang bereaksi silang dengan antigen jaringan
dalam tubuh manusia sebab kemiripannya dengan antigen SGA, ini dikenal sebagai
mimikri molekuler. 13
Mimikri molekuler terjadi akibat mutasi dari struktur α-helical coiled-coil dalam
protein M SGA, sehingga strukturnya hampir mirip dengan protein γ-helical coiled-coil
pada protein jantung manusia seperti, myosin, tropomyosin, keratin, laminin dan
vimentin. Salah satu studi juga menjelaskan bahwa epitop N-asetil-β-D-glukosamin
karbohidrat grup A mirip dengan epitop glikoprotein pada katup jantung. Kedua faktor
inilah yang memicu terjadinya reaksi silang antibodi pada jantung khususnya di endotel
katup jantung. 7,13
Reaksi silang antara antibodi cross-reactive (antibody karbohidrat grup A)
dengan antigen laminin yang terdapat pada endotel katup jantung akan memicu regulasi
vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM1). Proses tersebut membuat VCAM1
diekpresikan ke permukaan endotel katup jantung. Peningkatan konsentrasi VCAM1
pada permukaan endotel memicu aktivasi dan infiltrasi sel T (CD4+ dan CD8+) cross-
reactive termediasi oleh integrin α4β1 dan makrofag masuk kedalam jaringan. Didalam
jaringan (terutama pada endokardium) sel dan makrofag akan membentuk lesi

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 4


granulomatous badan Aschoff. Selain itu sel T yang teraktivasi akan terus memproduksi
sitokin inflamasi sehingga memicu siklus setan. Dimana terjadi inflamasi,
neovaskularisasi, proses penyembuhan (fibrosis) dan kerusakan lebih lanjut
menyebabkan PJR kronis. Stage akhir dari PJR secara patologi anatomi terlihat dari
katup yang kaku dan fibrosis. Kekakuan katup terjadi akibat penebalan, jaringan parut
dan perlekatan katup serta pemendekan kommissura dan corda jantung. Kelainan ini
akhirnya menghasilkan stenosis atau regurgitasi katup, kebanyakan kasus terjadi pada
katup mitral. Kelainan katup yang kronis dan penanganan yang tidak baik akan
menyebabkan komplikasi gagal jantung. 7,13,14

Gambar 1. Respon Imun Reaksi Silang SGA di Faring


Keterangan: BCR, B Cell Receptor; TCR, T Cell Receptor; MHC, major histocompatibility complex.
Sumber : Carapetis. 2016

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 5


Gambar 2. Respon Imun Reaksi Silang SGA di Jantung
Keterangan: Grup A Streptococcus (GAS) artinya Streptokokus Grup A (SGA).
Sumber : Carapetis. 2016

2.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 2-
6 minggu sebelum muncul DR dan sekitar 20% anak-anak menyatakan pernah
mengalami sakit tenggorokan (faringitis SGA). Keluhan mungkin tidak spesifik,
seperti demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis,
kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri
dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah. Gejala spesifik yang kemudian muncul
adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi,

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 6


perubahan kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan
infeksi SGA, difungsi motorik, dan riwayat DR sebelumnya.4
b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis DR dan PJR digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria
Jones yang telah direvisi tahun 1992 menetapkan pedoman untuk diagnosis DR dan
PJR dengan membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu gejala mayor dan gejala
minor.6

Tabel 1. Revisi Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis DR dan PJR.15

Gejala Mayor Gejala Minor


Pasienrisikorendah: Pasienrisikorendah:
1. Karditis 1. Poliatralgia
2. Poliartritis 2. Demam (≥38,5°C)
3. Chorea 3. LED ≥60 mm pada satu jam pertama
4. Eritema marginatum dan/atau CRP ≥3,0 mg/dl
5. Nodul subkutan 4. Pemanjangan interval PR pada EKG,
setelah menghitung varibilitas usia
Pasienrisikosedang-tinggi: Pasienrisikosedang-tinggi:
1. Karditis 1. Monoatralgia
2. Monoatritis atau poliatritis atau 2. Demam (≥38,5°C)
poliatralgia 3. LED ≥30 mm pada satu jam pertama
3. Chorea dan/atau CRP ≥3,0 mg/dl
4. Eritema marginatum 4. Pemanjangan interval PR pada EKG,
5. Nodul subkutan setelah menghitung varibilitas usia
Keterangan: Initial, bukti adanya infeksi SGA dan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala
minor; Recurrent, bukti adanya infeksi SGA dan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 atau 3
gejala minor; LED, laju endap darah; CRP, C-reactive protein.
Sumber: Gewitz. 2015

c. Pemeriksaan Penunjang

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 7


Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari DR dan PJR adalah:
1. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan usap tenggorok pada
penderita yang dicurigai terinfeksi antigen SGA pada fase akut. Sebaiknya
diperhatikan persiapan pra-analitik penderita diminta berkumur dengan air
bersih matang sebelum diambil usap tenggorok, dan sebaiknya dilakukan
sebelum diberikan antibiotika. Pada pemeriksaan ini diharapkan untuk
menemukan kuman SGA (Streptococcus pyogenes). Untuk mendapatkan hasil,
diperlukan minimal 48 jam untuk mengetahui hasilnya. Pemeriksaan dapat
dilengkapi dengan pemeriksaan resistensi antibiotik.16,17,18
 Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi untuk membantu menegakkan diagnosis pada PJR
meliputi pemeriksaan rapid test antigen, ASTO, dan anti-DNAse B.
1. Rapid Test Antigen
Pemeriksaan rapid test antigen dapat mendeteksi adannya
antigen SGA dengan spesifitas 95% dan sensitifitas 60-90%.Temuan
Rapid Slide Agglutination Test yang positif berguna dalam menegakkan
diagnosis faringitis SGA.6,16
2. ASTO (Anti Streptolisin O)
ASTO merupakan pemeriksaan yang paling paling sering
digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi SGA. Pemeriksaan ini
ditujukan untuk mencari antibodi terhadap infeksi Streptococcus β
hemolitikus grup A (SGA). Antibodi ASTO akan terdapat dalam darah
setelah satu minggu sampai 3 bulan setelah awitan infeksi. Titer antibodi
mencapai puncaknya pada minggu ke 3-4 pasca infeksi akut, bertahan 2-
3 bulan kemudian menurun. Titer ASTO yang tinggi tidak spesifik
terhadap setiap penyakit infeksi SGA, tetapi mengindikasikan ada atau
pernah terinfeksi SGA. Diagnosis adanya infeksi SGA sebelumnya
diketahui dengan peningkatan titer ASTO secara serial setiap minggu
dan kemudian turun perlahan-lahan. Peningkatan lemak lipoprotein β
darah dapat menetralisir streptolisin O dan menyebabkan positif palsu
pada pemeriksaan ASTO. Antibiotik dan steroid dapat menekan

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 8


produksi ASTO. Nilai normal ASTO pada anak 6 bulan – 2 tahun adalah
50 Todd unit/ml, 2-4 tahun 160 Todd unit/ml, 5-12 tahun 170-330 Todd
unit/ml, dan dewasa 160 Todd unit/ml. 6,16,18
3. Anti-DNAse-B (ADB)
Pemeriksaan imunoserologi lainnya bila diperlukan yaitu ADB.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi antigen SGA. Tes ADB
dapat digunakan bila hasil tes ASTO negatif. Jika terjadi peningkatan
ASTO dalam darah, tes ADB tidak perlu dilanjutkan. Namun,
pemeriksaan ADB sering dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
ASTO dan dapat mendeteksi 95% infeksi SGA. Jika keduanya diulang
dengan hasil yang negatif, dapat disimpulkan bahwa penyakit tersebut
tidak disebabkan infeksi pasca SGA. Pemeriksaan ASTO lebih
direkomendasikan daripada ADB tetapi kombinasi ASTO dan ADB
lebih baik daripada ASTO sendiri atau ADB. Bila dalam periode tertentu
pemeriksaan kedua ADB titernya meningkat 4 kali atau lebih
dibandingkan pemeriksaan pertama, menunjukkan adanya infeksi SGA.
Namun, perlu diketahui bahwa antibiotik dapat menurunkan kadar ADB.
Nilai normal ADB pada anak prasekolah 60 unit, usia sekolah 170 unit,
dan dewasa 80 unit.6,19
 Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap terutama hemoglobin, leukosit, nilai eritrosit
rerata (NER), trombosit, hitung jenis leukosit, dan LED sangat membantu
karena dapat dilakukan dengan segera. Dari pemeriksaan hemoglobin dan NER
dapat diperkirakan status nutrisi penederita. Pemeriksaan leukosit dan hitung
jenis leukosit dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi, peningkatan leukosit,
serta peningkatan neutrofil (batang, segmen, serta imatur) akan menandakan
adanya infeksi. Peningkatannya sebanding dengan derajat infeksinya, bila telah
dilakukan pengobatan maka parameter ini dapat digunakan untuk pemantauan
efektivitas antibiotika yang diberikan. Pemeriksaan LED digunakan untuk
mengetahui adanya infeksi dan inflamasi, nilainya meningkat pada keadaan
tersebut. Pemeriksaan LED yang terbaik adalah cara Westergreen konvensional
karena cara ini lebih sensitif dibandingkan cara yang lain. Pada cara ini
diperlukan waktu inkubasi selama satu jam. Nilai LED dipengaruhi oleh nilai
albumin, fibrinogen, globulin plasma, juga oleh keadaan eritrosit. Kadarnya

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 9


dapat meningkat palsu pada hipergammaglobulinemia dan anemia tanpa adanya
inflamasi atau infeksi sehingga lebih dianjurkan untuk menggunakan
pemeriksaan CRP. Pemeriksaan LED lebih baik digunakan untuk memantau
penderita pasca terapi serta mendeteksi perburukan.6,16,17
 Pemeriksaan C-Reactive Protein (CRP)
CRP merupakan suatu kompleks glikoprotein termasuk dalam kelompok
protein fase akut yang akan meningkat konsentrasinya di dalam darah setelah
terdapat infeksi, peradangan atau kerusakan jaringan dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan ini dianggap lebih sensitif untuk mendeteksi adanya infeksi atau
inflamasi serta lebih tidak dipengaruhi oleh keadaan yang mempengaruhi LED.
Peningkatan CRP dijumpai 4-6 jam setelah adanya inflamasi atau kerusakan
jaringan serta infeksi. Pemeriksaan ini selain digunakan untuk deteksi awal juga
dianggap baik untuk pemantauan pascaterapi dan terjadinya perburukan.
Kelebihan utama penentuan CRP dibandingkan peningkatan laju endap darah
dan leukosit yaitu keduanya terjadi juga pada keadaan bukan peradangan. Selain
itu keberhasilan pengobatan suatu infeksi bakteri akan mengakibatkan kadar
CRP dalam serum kembali normal lebih cepat. CRP sama seperti LED dapat
meningkat pada inflamasi, infeksi, dan artritis. Biasanya kadar CRP sebanding
dengan LED kecuali terdapat keadaan lain, misalnya anemia. Bila kadar CRP
tiba-tiba meningkat maka harus dicurigai adanya infeksi baru.6,17
 Pemeriksaan BNP/NT-proBNP
Brain natriuretic peptide (BNP) disekresikan sebagai pre-proBNP yang
disirkulasi dipecah menjadi BNP dan proBNP. Peningkatan kadar BNP atau
NT-proBNP dianggap sebagai penanda gagal jantung. Pemeriksaan kadar BNP
dan NT-proBNP diindikasikan untuk membantu menegakkan diagnosis,
pemantauan, serta prognosis pada gagal jantung. Dalam mendiagnosis gagal
jantung akut digunakan cut off 300 pg/mL untuk NT-proBNP dan cut off 100
pg/mL untuk BNP sedangkan dalam mendiagnosis gagal jantung kronis
digunakan cut off 125 pg/mL untuk NT-proBNP dan 35 pg/mL untuk BNP.20

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 10


Demam + Sakit
Tenggorokan
Swab Darah
Tenggorakan Lengkap CRP

Positif Eritrosit, Hb,


Negatif CRP ≥3,0 mg/dl
morfologi leukosit,
morfologi
streptokokus, trombosit, jenis
bakteri
gram + leukosit, dan LED

Rapid ASTO + ADB


Test LED ≥30 LED ≥60
Antigen mm satu mm satu
SGA jam jam
-: tidak ada pertama pertama
antibody
SGA, curiga
-: Tidak virus
ada
antigen
SGA +: Ada
antibody
BNP/NT-proBNP
SGA
+: Ada
antigen
SGA

Bukan untuk diagnosis PJR,tetapi untuk


monitoring perburukan penyakit PJR

Gambar 3. Alogaritma Pemeriksaan Laboratorium PJR

Sumber: WHO. 2004; Kumar. 2013; Magrey, 2011; Fitriany. 2019; Scott. 2017; Mc Murray. 2012.

2. Pemeriksaan Radiologi dan Elektrokardiografi

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 11


Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan
kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR
yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas atas interval PR untuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik, dan > 17 tahun = 0,20 detik.21
3. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien PJR, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi atau stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien DR dengan karditis ringan,
regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada DR dengan
karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi mitral atau aorta yang menetap.
Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae
mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero-lateral.7,21
2.6 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan untuk Pasien PJR.4,7
a. Pasien kardiris parah yang terkait dengan DR dapat diberikan aspirin atau
glukokortikoid seperti prednisone, 1-2 mg/kg/hari dengan dosis maksimum 80
mh/hari.
b. Pasien dengan gagal jantung karena DR akut harus dirawat dengan tepat. Termasuk
penggunaan digoxin dan diuretik, pengurangan afterload, oksigen tambahan, tirah
baring, dan pembatasan natrium dan cairan.
c. Loop diuretics (furosemide) adalah diuretik yang paling umum digunakan pada
anak-anak. Diuretik tiazid seperti klorotiazid dapat digunakan bersamaan dengan
loop diuretik. Spironolakton (antagonis reseptor mineralokortikoid) juga dapat
ditambahkan untuk diuresis lebih lanjut, khususnya pada pasien dengan
hipokalemia.
d. Pengurangan afterload dengan agen seperti angiotensin-converting enzyme (ACE)-
inhibitor efektif dalam meningkatkan curah jantung. Gunakan dosis awal yang
kecil dan berikan setelah memperbaiki hipovolemia. Angiotensin-receptor blocker
(ARBs) adalah alternatif untuk ACE-inhibitor.
e. Pada pasien dengan stenosis kritis, valvulotomi mitral, valvuloplasti balon
perkutan, atau penggantian katup mitral dapat diindikasikan.

2.7 Prognosis

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 12


Prognosis jangka panjang pada pasien PJR sedang-berat maupun serangan
rekuren adalah buruk. Studi kohort terhadap 591 pasien PJR menunjukan tingkat
keparahan PJR saat awal terdiagnosa mempengaruhi prognosis. Pasien dengan diagnosis
awal PJR ringan dalam jangka 10 tahun 64% pasien tetap PJR ringan, hanya sedikit yang
berkembang menjadi PJR berat (11,4%) dan hanya setengah yang membutuhkan operasi.
Sedangkan pasien dengan diagnosa awal PJR berat dalam 2 tahun 50% menjalani operasi
katup dan dalam 6 tahun 10% pasien meninggal.22,23

BAB 3

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 13


PENUTUP

PJR merupakan penyakit yang masih cukup banyak dijumpai dan masih merupakan
masalah kesehatan di banyak negara, terutama di Negara berkembang. Penyakit ini umumnya
di dahului dengan infeksi SGA terutama di daerah faring. Adanya manifestasi klinis hingga
ke jantung disebabkan reaksi autoimun akibat kemiripan epitop protein M pada SGA dan
protein pada jaringan tubuh manusia, terutama yang terdapat di jantung.13
Kriteria diagnosis PJR berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium sesuai
dengan kriteria Jones yang telah direvisi. Gejala klinis yang dianggap sebagai kriteria mayor
untuk diagnosis adalah adanya poli arthritis akibat inflamasi sendi seperti reumatik, karditis,
dan perikarditis dengan inflamasi pada otot jantung, nodul subkutan akibat inflamsi pada
kolagen, erythema marginatum, serta Sydenham’s chorea yang merupakan pertanda adanya
inflamasi di susunan saraf.15
Pemeriksaan laboratorium pada PJR merupakan penunjang dalam membantu
penegakan diagnosis sebagai salah satu kriteria minor dan kriteria Jones. Pemeriksaan
dilakukan untuk mencari kuman penyebab, baik secara biakan langsung atau melalui deteksi
antibodi terhadap antistreptolisin O (ASTO), mengetahui derajat inflamasi infeksi melalui
pemeriksaan leukosit, LED, dan CRP. Di seluruh dunia penyakit ini merupakan penyebab
utama gagal jantung pada anak dan dewasa muda sehingga menyebabkan disabilitas dan
kematian dini. Untuk menunjang diagnosis dan prognosis gagal jantung dapat dilakukan
pemeriksaan BNP/NT-proBNP.6,13

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 14


DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjidi K. Penyakit Jantung Reumatik. In: Wijaya IP, RanityaR, Ginanjar E, Salim S,
editors. 12th Holistic approaches in cardiovascular disease. Jakarta: PB PAPDI;
2013:349-60.
2. Kliegman RM, Stanton B, Joseph SG, Schor N, Behrman RE. Rheumatic Heart Disease.
Dalam: Kliegman RM, Stanton B, Joseph SG, Schor N, Behrman RE. Nelson textbook of
pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011:1961-63.
3. Carapetis JR. Acute rheumatic fever, In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS,
Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 th edition.
New York: McGraw-Hill; 2012:2752-7.
4. Chin, T., K. Rheumatic heart disease: eMedicine Pediatrics: Cardiac Disease and
Critical Care Medicine. 2019.
5. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins basic pathology. 9 th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2013:391-2.
6. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease; Report of a
WHO Expert Consultation, Geneva , 29 October-1 November 2001. WHO Technical
Report Series; 923. Geneva: WHO; 2004.
7. Yanagawa, B., Butany, J., & Verma, S. Update on rheumatic heart disease. Current
Opinion in Cardiology, 2016;31(2):162–168.
8. Madiyono B, Sastroasmoro S, Subandrio A. Inhibiting ability of benzathine penicillin G
towards Group A Streptococcus β-hemolyticus in 21 and 28 days after a single
intramuscular injection. Pediatrica Indonesia. 2013;43 (7-8):136-139.
9. Watkins, D. A., Johnson, C. O., Colquhoun, S. M., Karthikeyan, G., Beaton, A.,
Bukhman, G., … Roth, G. A. Global, Regional, and National Burden of Rheumatic
Heart Disease, 1990–2015. New England Journal of Medicine.2017;377(8):713–722.
10. Turi BSRZG. Rheumatic fever. Dalam: Braunwald E, Bonow RO, editors. Braunwald’s
heart disease a textbook of cardiovascular medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2007.
11. Leman S. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: InternaPublishing. 2015;6(1):1164-1171.

12. Nulu, S., Bukhman, G., & Kwan, G. F. (2017). Rheumatic Heart Disease. Cardiology
Clinics. 2017;35(1):165–180. 

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 15


13. Carapetis, J. R., Beaton, A., Cunningham, M. W., Guilherme, L., Karthikeyan, G.,
Mayosi, B. M., … Zühlke, L. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease.Nature
Reviews Disease Primers. 2016:15084.
14. Marijon, E., Mirabel, M., Celermajer, D. S., & Jouven, X. Rheumatic heart disease. The
Lancet. 2012;379(9819):953–964.
15. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, et al. Revision of the Jones Criteria for the
diagnosis of acute rheumatic fever in the era of Doppler echocardiography: a scientific
statement from the American Heart Association. Circulation. 2015; 131:1806–1818.
16. Kumar RK, Tandon R. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: the last 50 years.
Indian J Med Res. 2013;137-643-58.
17. Magrey M, Abelson A. Laboratory evaluation of rheumatic diseases. The Cleveland
clinic foundation;2011:1-11.
18. Firtriany J, Anisa I. Demam Reumatik Akut. Aceh: Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Malikussaleh. 2019;6(2):11-25
19. Scott, et al. Rheumatic heart disease screening. Current conceps and challenges. NCBI.
2017;10(1).
20. Mc Murray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Aurrihio A, Bohm M, Dickstein K, et al.
ESC Guidlines ESC for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2012: The task force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2012 of the European society of cardiology developed in collaboration with the heart
failure association (HFA) of the ESC.
21. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universi.
Pediatric Rheumatic Heart Disease Treatment & Management. Emedicine Medscape, 1-
2.
22. RHD Australia (ARF/RHD writing group), National Heart Foundation of Australia and
the Cardiac Society of Australia and New Zealand. Australian guideline for prevention,
diagnosis and management of acute rheumatic fever and rheumatic heart disease (2nd
edition). 2012.
23. Cannon J, Roberts K, Milne K, Carapetis JR. Rheumatic eart disease severity,
progression and outcomes: A multi-state model. J Am Heart Assoc. 2017.

Aspek Laboratorium Pada Penyakit Jantung Reumatik 16

Anda mungkin juga menyukai