Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER


UNIVERSITAS HASANUDDIN 2020

DEMAM CHIKUNGUNYA

OLEH:
ANDI HUSNUL HANIFAH, S.KED.
C014192034

Residen Pembimbing:
dr.Nur Ramdhani
dr.A.Noor Fadli Idrus

Supervisor Pembimbing:
dr. Ninny Meutia Pelupessy,M.Kes.,Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa
atas berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
PKMRS yang berjudul “Demam Chikungunya” tepat pada waktunya. PKMRS ini
disusun dalam rangka melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Periode 31 Agustus - 04
Oktober 2020.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Nur Ramdhani dan dr. Noor
Fadli Idrus selaku residen pembimbing juga ucapan terima kasih tak terhingga
kepada dr. Ninny Meutia Pelupessy,M.Kes.,Sp.A. selaku supervisor pembimbing
yang telah membimbing penulis dalam melaksanakan kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Anak dalam menyusun PKMRS ini
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dalam penyusunan PKMRS
ini baik isi maupun format PKMRS ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca dalam penyusunan PKMRS selanjutnya.
Akhir kata penulis berharap PKMRS ini dapat berguna bagi rekan-rekan
sejawat serta seluruh pihak yang ingin mengetahui dan mempelajari materi terkait
“Demam Chikungunya”.

Makassar, September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1. Definisi.......................................................................................................3
2.2. Epidemiologi.............................................................................................. 3
2.3. Etiologi ......................................................................................................5
2.4. Patogenesis.................................................................................................6
2.5. Manifestasi Klinis...................................................................................... 8
2.6 Diagnosis.....................................................................................................10
2.7 Diagnosis Laboratorium..............................................................................11
2.8 Penatalaksanaan.......................................................................................... 13
2.9 Komplikasi.................................................................................................. 13
2.10 Prognosis................................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Selama lebih dari satu dekade beberapa penyakit zoonotik dan virus yang
bersifat vector-borne telah muncul menyerang berbagai daerah di Asia Tenggara
dan Pasifik Barat. Di antara penyakit virus tersebut adalah demam Chikungunya
(CHIK) yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi.
CHIK bukan merupakan penyebab penyakit vector-borne utama, namun
kemunculannya di daerah-daerah Asia-Pasifik telah menimbulkan berbagai
masalah di bidang kesehatan masyarakat. CHIK merupakan
penyakit reemerging yaitu penyakit yang keberadaannya sudah ada sejak lama
tetapi sekarang muncul kembali. 1, 2

Demam CHIK yang mula-mula ditemukan di Afrika, relatif umum


dijumpai di bagian tenggara dan selatan benua Asia sekitar tahun 1960-an. Setelah
menimbulkan wabah di berbagai negara di Asia seperti India, Sri Langka,
Myanmar (Burma, waktu itu) dan Thailand, virus ini menghilang dan hanya
menyebabkan kasus-kasus sporadik saja yang berlanjut sampai tahun 1980an.
Namun, wabah CHIK yang terbatas (localized) masih terjadi di negara-negara
tersebut. Penyakit CHIK dilaporkan telah berjangkit di beberapa negara Afrika
misalnya Angola, Botswana, Nigeria, Zimbabwe, dan negara lainnya, dan
virusnya diisolasi pertama kali pada tahun 1952 di Tanzania.3

Di Indonesia sendiri Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya dilaporkan


pertama kali pada tahun 1979 di Bengkulu, dan sejak itu menyebar ke seluruh
daerah baik di Sumatera (Jambi, 1982) maupun di luar Sumatera yaitu pada tahun
1983 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi
Selatan. Pada tahun 1984 terjadi KLB di Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur,
sedangkan pada tahun 1985 di Maluku, Sulawesi Utara dan Irian Jaya. Setelah
hampir 20 tahun tidak ada kejadian maka mulai tahun 2001 mulai dilaporkan
adanya KLB Chikungunya lagi di Indonesia yaitu di Aceh, Sumatera Selatan, dan
Jawa Barat, sedangkan pada tahun 2002 terjadi KLB di Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.4

1
Penyakit CHIK telah menjadi sebuah masalah global berhubung dengan
eskalasi wabah di negara-negara seperti Afrika, India dan Asia Tenggara. Wabah
ini merupakan akibat yang ditimbulkan oleh musim hujan yang memberikan
suasana yang baik untuk nyamuk Aedes berkembang biak di pemukiman urban di
mana manusia merupakan hospes reservoir dari virus CHIK yang dibawa oleh
nyamuk tersebut.3

Sampai saat ini yang telah dikonfirmasi sebagai vektor Chikungunya


adalah nyamuk Aedes Sp, species nyamuk penularnya adalah Aedes aegypti dan
Aedes albopictus dengan Aedes aegypti sebagai vektor utamanya dan Aedes
albopictus sebagai vektor sekunder di wilayah Asia.5

Meskipun penyakit ini tidak sampai menyebabkan kematian, tetapi


penderita dapat merasa sangat cemas oleh gejala-gejala yang terjadi. Infeksi virus
CHIK pada umumnya menimbulkan serangan mendadak dengan demam dan
nyeri sendi yang hebat pada daerah ekstremitas diikuti dengan kesulitan untuk
menggerakkan sendi tersebut sehingga penderita seringkali menafsirkan kelainan
sendi yang dialami itu sebagai kelumpuhan. Adanya manifestasi klinis berupa
perdarahan ringan khususnya pada kasus-kasus di daerah Asia Tenggara dan
subkontinen India di mana penyakit dengue endemis, infeksi CHIK tidak jarang
salah didiagnosis sebagai demam berdarah dengue. Sayangnya, belum didapatkan
vaksin untuk penyakit ini dan pengobatan spesifik juga belum ada sehingga sejauh
ini pengobatan penyakit hanya ditujukan terhadap gejala-gejalanya saja.
Keprihatinan yang muncul berkaitan dengan penyakit ini adalah kecepatan dari
infeksi CHIK ini menyebar dan mengenai banyak tempat di dunia.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara etimologis, Chikungunya berasal dari kata “Kungunyala”, sebuah
kata dari bahasa Makoude Tanzania yang berarti "yang melengkung", yang
tepat menggambarkan seorang pasien yang tampak membungkuk karena
artritis berat. Dalam bahasa Swahili, chikungunya artinya terikat, yang dalam
hal ini berkaitan dengan kejang urat yang merupakan suatu tanda dari
artralgia.6,7
Berdasarkan istilah, maka demam chikungunya adalah suatu penyakit
infeksi virus akut yang ditandai dengan sekumpulan gejala yang mirip dengan
gejala infeksi virus dengue, yaitu demam mendadak, artralgia, ruam
makulopapular dan leukopenia. Istilah lain untuk demam ini adalah: knokket,
koorts, abu rokab, mal de genoux, dengue, dyenga, dan demam tiga hari.
Penyakit ini disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV), suatu arthropoda
borne virus (arbovirus) dari genus Alphaviruses famili Togaviridae, yang
pada umumnya disebarluaskan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopictus.7

2.2 Epidemiologi
Menurut data World Health Organization (WHO) didapatkan hasil KLB
Chikungunya di dunia terjadi pada tahun 2005 yang tersebar di India,
Indonesia, Maladewa, Myanmar, dan Thailand yang melaporkan 3 lebih dari
1,9 juta kasus chikungunya. Pada tahun 2007 terjadi di Eropa dengan 197
kasus. Pada bulan November 2013 terdapat lima kasus chikungunya yang
sudah terbukti dengan adanya ciri-ciri seperti nyeri sendi dan badan terasa
lemah. Pada tanggal 10 desember 2013 terdapat 20 kasus terinfeksi
chikungunya.8
Angka insidensi di Indonesia sangat terbatas. Pertama kali dilaporkan
terjadi demam chikungunya di Samarinda tahun 1973. Pada laporan
selanjutnya terjadi di Kuala Tungkal Jambi tahun 1980, dan Mertapura,

3
Ternate, serta Yogyakarta tahun 1983. Selama hampir 20 tahun (1983-2000)
belum ada laporan berjangkitnya penyakit ini, sampai adanya laporan KLB
demam chikungunya di Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Aceh,
dilanjutkan di Bogor, Bekasi, Purworejo, dan Klaten tahun 2002. Pada tahun
2004, dilaporkan KLB yang menyerang 120 orang di Semarang.9
Kejadian Chikungunya mengalami penurunan kasus yang sangat
signifikan pada tahun 2010-2012, yaitu dari 52.703 kasus menjadi 2.998 kasus,
namun meningkat cukup tinggi pada tahun 2013 sebanyak 15.324 kasus dan
turun kembali cukup signifikan mulai tahun 2014 sebanyak 7.341 kasus
sampai tahun 2018 hanya 97 kasus. Sampai dengan saat ini belum pernah
dilaporkan adanya kematian akibat Chikungunya. Faktor penyebab turunnya
kasus antara lain kondisi cuaca yang relatif kering dengan curah hujan yang
rendah, adanya imunitas pada daerah yang pernah terjangkit, sebagian daerah
tidak melaporkan kasus Chikungunya dan lain-lain.10
Chikungunya dapat menyerang semua usia, baik anak-anak maupun
dewasa, laki-laki dan perempuan terutama di daerah endemis. Penyebaran
penyakit chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis demam berdarah
dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan
peningkatan kejadian penyakit chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi
di Indonesia potensial untuk terjadinya KLB Chikungunya. Demam
Chikungunya dijumpai terutama di daerah tropis/subtropis dan sering
menimbulkan epidemik. Chikungunya tersebar di daerah yang berpenduduk
padat seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara. Di Afrika, virus ini dilaporkan
menyerang di Zimbabwe, Kongo, Angola, Kenya, dan Uganda. Negara
selanjutnya yang terserang adalah Thailand pada tahun 1958, Kamboja,
Vietnam, Sri Lanka, dan India pada tahun 1964. Pada tahun 1973,
chikungunya dilaporkan menyerang di Philiphina dan Indonesia .9,11,12
Pada musim hujan populasi Aedes sp akan meningkat karena telur-telur
yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika habitat
perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai
terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk,

4
sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit demam
Chikungunya. Laju penyebaran penyakit akan ditentukan oleh jenis populasi
nyamuk. Semakin banyak jenis nyamuk dan semakin tinggi populasinya,
penyebaran penyakit ini akan semakin cepat. Wabah penyakit chikungunya
lebih mudah menyebar daripada demam berdarah, dan gampang berkembang
di satu daerah dengan cakupan luas, baik daerah perkotaan maupun pedesaan.
KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan.12,13

2.3 Etiologi
2.3.1 Virus
Chikungunya adalah salah satu spesies dari genus Alphavirus
famili Togaviridae. Virus ini pertama kali diisolasi di Tanzania oleh
Ross dan kolega pada tahun 1952-1953. Virus chikungunya merupakan
partikel berbentuk sferis berdiameter ±42 nm. Virus ini memiliki
pembungkus yang mengandung lipid dengan tonjolan halus. Intinya
berdiameter ±25-30 nm yang pada potongan melintang berbentuk
heksagonal dan mengandung nukleokapsid yang tidak simetris.
Bersama-sama dengan alphavirus lainnya, virus ini memiliki genom
single strained RNA. Mereka mempunyai koefisien sedimentasi 46
dan mempunyai berat molekul ±4,2 x 106 dalton. Ekstrak fenol dari
virus chikungunya memiliki material yang infeksius. Bentuk prekursor
virus dalam matriks sitoplasma menjadi lurus dalam daerah membran
sel atau berlawanan dengan membrab vakuola. Gabungan dari partikel
virus pada permukaan sel menyebabkan proses budding yang
melibatkan inti prekursor virus menjadi partikel virus. Membran sel
pejamu dimodifikasi selama infeksi dan mengandung antigen virus
ketika bergabung ke dalam pembungkus virus.14, 15
2.3.2 Pejamu (Host)
Virus Chikungunya (CHIKV) diyakini memiliki siklus sylvatic dan
terdapat pada monyet vervet, babon, monyet macaque, lemur dan tikus.
Pada manusia, virus ini tidak memiliki pengaruh khusus terhadap usia

5
atau jenis kelamin tetapi tampak bahwa anak-anak, orang tua dan
keadaan immunocompromise merupakan yang paling mudah
terpengaruh.14
2.3.3 Vektor
Vektor yang paling efektif pada penularan terhadap manusia adalah
nyamuk Aedes aegypti. Aedes furcifor-taylori merupakan spesies
dominan pada penularan terhadap hewan. Penelitian terhadap
penularan virus Chikungunya oleh nyamuk spesies lain menunjukkan
bahwa, meskipun Aedes albopictus mudah terinfeksi, kemampuan
penularannya rendah. Namun, pada wabah tahun 2007 di Kerala India,
terlihat bahwa Aedes albopictus berperan penting. Hal ini disebabkan
oleh mutasi pada genom virus (mutasi A226V pada selubung
glikoprotein CHIKV) yang bertanggung jawab atas meningkatnya
kemampuan infeksi dari Aedes albopictus.14
Terlepas dari faktor gigitan vektor, penularan secara mekanik juga
berperan. Kemungkinan penularan ibu ke anak pada masa perinatal
telah diteliti baru-baru ini. Sebuah penelitian dilakukan di pulau-pulau
La Reunion terhadap 38 neonatus yang terkena Chikungunya dari ibu
(yang dibuktikan dengan uji serologi positif atau PCR reverse
transcriptase). Gambaran klinis infeksi terlihat pada semua neonatus
ini pada hari ke tiga dan dari tujuh yang hidup menunjukkan bahwa
penularan virus dari ibu ke anak pada periode perinatal dapat terjadi.14

2.4 Patogenesis
Infeksi virus Chikungunya memiliki presentasi klinis yang tumpang tindih
dengan infeksi Ross river virus (demam, ruam, poliartritis) dan virus demam
berdarah yang ditularkan oleh nyamuk yang sama. Evaluasi imunitas yang
diperantarai sel-T dan sel-B telah menjelaskan beberapa mekanisme yang
mungkin. Menggunakan model murine, Lum et al telah menunjukkan bahwa
antibodi virus anti-Chikungunya muncul pada awal perjalanan penyakit dan
diarahkan terhadap terminal-C dari glikoprotein virus E2. Mereka

6
menunjukkan bahwa baik antibodi spesifik yang disebabkan oleh infeksi
virus alami maupun Chikungunya sangat penting untuk mengendalikan
infeksi virus Chikungunya.16
Waquier et al melakukan studi multipleks ex vivo besar terhadap imunitas
sel T dan 50 sitokin, kemokin, dan profil faktor pertumbuhan plasma pada 69
pasien yang terinfeksi akut dari wabah Gabon pada 2007. Mereka
menyimpulkan bahwa infeksi virus Chikungunya memunculkan kekebalan
bawaan yang kuat dengan produksi penanda proinflamasi dan sitokin yang
melimpah, termasuk interferon alfa tingkat tinggi, interleukin (IL) –4, IL10,
dan gamma interferon. Dengan analisis aliran cytometric, penulis juga
menunjukkan bahwa manusia menunjukkan tanggapan limfositik CD8+ pada
tahap awal dan tanggapan dominan CD4 pada tahap selanjutnya. Yang paling
penting, penulis menggambarkan apoptosis limfosit CD4+ yang berbasis
CD95 yang dapat menjelaskan sebagian limfopenia pada pasien ini. Oleh
karena itu, infeksi parah atau kronis dapat dikaitkan dengan tidak adanya atau
deregulasi salah satu jalur ini.17
Mekanisme pasti masuknya virus ke dalam sel mamalia sedang
diselidiki.18,19 Bernard et al mengevaluasi mekanisme ini dan menemukan
bahwa virus Chikungunya memasuki sel epitel mamalia melalui jalur yang
bergantung pada clathrin, tergantung Esp-15, bergantung pada dinamin 2 dan
membutuhkan jalur endositik dalam kombinasi dengan jalur yang tidak
diketahui lainnya. Para penulis berspekulasi bahwa virus Chikungunya
mampu mengalami pergeseran genetik dan dapat memperoleh mekanisme
entri alternatif.20
Beberapa model murine dengan penyakit sendi dan neurologis terkait virus
Chikungunya sedang diselidiki. Teknik imaging in vivo canggih lainnya yang
menggunakan bioluminescence imaging dengan luciferase-tagged patogens
dan sistem 2-photon imaging intravital sedang dievaluasi untuk studi fase
kronis infeksi Chikungunya.21,22,23,24 Sekarang telah ditunjukkan bahwa
penginderaan interferon tipe 1 oleh sel-sel nonmyeloid memainkan peran
penting dalam memerangi infeksi Chikungunya.25

7
Aedes aegypti dikenal sebagai vektor utama untuk infeksi Chikungunya di
India dan negara-negara lain selama epidemi 2006-2010. Analisis wabah 2016
di Brasil mengungkapkan dua mutasi baru dalam virus (K211T di E1 dan
V156A di E2). Mutasi ini meningkatkan kebugaran virus, karena mereka
dapat menginfeksi sel inang yang tidak tergantung kolesterol, menyebabkan
wabah menjadi epidemi.26

2.5 Manifestasi Klinis


Sampai saat ini, beberapa studi observasi telah merinci gambaran klinis
dari Chikungunya pada anak-anak. Namun, yang menjadi sorotan ialah fakta
bahwa anak-anak mungkin memiliki manifestasi klinis yang berbeda dari
orang dewasa. Besarnya gejala dan keragamannya tampaknya
menggambarkan kurva berbentuk U, dengan maksimum terjadi pada bayi dan
orang tua dan minimum pada anak yang lebih tua. Lebih lanjut, tingkat
infeksi tanpa gejala di antara anak-anak bervariasi menurut laporan wabah
yang berbeda (kisaran 35-40%).27
 Demam
Setelah masa inkubasi 2-4 hari (kisaran 1-12 hari), orang dewasa
biasanya datang dengan demam yang tiba-tiba, artralgia parah, sakit kepala,
fotofobia dan ruam kulit. Tipe Demam biasanya demam tinggi baik pada
anak-anak maupun orang dewasa. Pada anak-anak, kejang demam sering
digambarkan dan umumnya terjadi di luar rentang usia 6 bulan hingga 6
tahun. Biasanya, kejang ini berlangsung selama 3–5 hari, dengan maksimal
10 hari. 27
 Manifestasi Kulit dan Hemoragik
Lesi kulit dilaporkan pada sekitar 50% orang dewasa. Namun, pada
anak-anak, penelitian dari India dan La Réunion menunjukkan bahwa hal
ini jarang terjadi, terutama pada mereka yang usianya kurang dari 2 tahun.
Lesi kulit yang paling sering dilaporkan adalah perubahan pigmen di
daerah sentrofasial, ruam makulopapular dan ulkus seperti aphthous
intertriginosa. Ruam biasanya muncul selama 5 hari, dengan

8
hiperpigmentasi terkadang mengikuti ruam. Bayi yang berusia kurang dari
6 bulan dapat menunjukkan lesi kulit bulosa yang luas dengan lepuh
menutupi hingga 35% dari luas permukaan tubuh. Manifestasi hemoragik
termasuk epistaksis, perdarahan gingiva dan purpura juga diamati pada
sekitar 10% kasus anak.27
 Manifestasi Muskuloskeletal
Mialgia, artralgia dan artritis sering ditemukan pada orang dewasa
dengan Chikungunya tetapi biasanya lebih jarang pada anak-anak (antara
30% dan 50% dari anak-anak yang terkena).27
 Manifestasi Neurologis
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) berpotensi lebih signifikan
daripada yang didokumentasikan sebelumnya, terutama pada anakanak.
Selama wabah Chikungunya di La Réunion, 25% anak-anak
mengembangkan gejala neurologis, sedangkan di India 14% dari semua
anak dengan dugaan infeksi SSP mengalami chikungunya. Di antaranya,
sekitar 40–50% memiliki manifestasi yang parah, termasuk status
epileptikus, kejang kompleks, dan ensefalitis.27
 Manifestasi Lain
Limfadenopati, injeksi konjungtiva, pembengkakan kelopak mata dan
faringitis sering terjadi. Sakit kepala dan mialgia adalah gejala yang sering
terjadi. Buang air besar cair (watery stool) dapat terjadi pada bayi.2
Sebuah penelitian yang dilakukan selama wabah Chikungunya di
Karnataka baru-baru ini terlihat bahwa manifestasi dermatologi yang
paling umum adalah perubahan pigmen (42%) dalam bentuk pigmentasi
coklat kehitaman yang mengenai daerah sentrofasial. Selain itu, perubahan
pigmen lainnya yang tercatat termasuk bintik seperti makula, pigmentasi
seperti batu tulis abu-abu pada pinna, wajah, dan ekstremitas. Gambaran-
gambaran tersebut kemudian diikuti dengan sejumlah gambaran lainnya
seperti ruam makulopapular seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
(33%) dan ulkus seperti intertriginosa aphthous (21,37%). Eksaserbasi dari
dermatosis yang sebelumnya sudah ada seperti psoriasis dan penyakit

9
Hansen juga telah diamati. Erupsi Vesiculo-bulosa terlihat hanya pada
bayi dan menyebabkan morbiditas yang signifikan. Pada anak-anak yang
terkena Chikungunya di pulau Reunion, epidermolysis bullosa juga telah
terlihat. Anak-anak mungkin pada suatu saat mengalami ruam pada hari
pertama sakit dan meskipun umumnya pada daerah leher namun bisa juga
mengenai wajah. Tidak ada gambaran enanthem.2

2.6 Diagnosis
Definisi kasus demam Chikungunya seperti yang diusulkan oleh Kantor
Regional World Health Organization (WHO) untuk Asia Tenggara sebagai
berikut28 :
a. Kasus yang dicurigai (Suspected Case)
Kasus yang dicurigai melibatkan pasien dengan onset akut demam,
biasanya dengan menggigil/tinggi, yang berlangsung selama 3-5 hari
dengan nyeri pada beberapa sendi/pembengkakan ekstremitas yang dapat
berlanjut selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
b. Kemungkinan kasus (Probable Case)
Kemungkinan kasus (Probable Case) dicirikan dengan kondisi
yang mendukung kasus yang dicurigai (lihat di atas) bersama dengan
salah satu dari kondisi berikut:
 Sejarah perjalanan atau tempat tinggal di daerah yang melaporkan
wabah.
 Kemampuan untuk menyingkirkan malaria, demam berdarah, dan
penyebab demam lainnya yang diketahui nyeri sendi
c. Kasus yang dikonfirmasi (Confirmed Case)
Demam chikungunya dikonfirmasi pada pasien yang memenuhi
satu atau lebih dari temuan berikut terlepas dari presentasi klinis:
 Isolasi virus dalam kultur sel atau inokulasi hewan dari sera fase akut
 Adanya virus ribonucleic acid (RNA) dalam serum fase akut
sebagaimana ditentukan dengan RT-PCR

10
 Adanya antibodi IgM spesifik virus dalam sampel serum tunggal
dalam fase akut atau peningkatan 4 kali lipat titer antibodi IgG
spesifik virus dalam sampel yang dikumpulkan setidaknya 3 minggu
terpisah

2.7 Diagnosis Laboratorium


Untuk memastikan diagnosis perlu pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan dengan beberapa metode yaitu isolasi virus inokulasi serum fase
akut, pemeriksaan serologis dengan cara ELISA, pemeriksaan IgG dan IgM
dengan metode Immuno Fluorescent Assay (IFA), pemeriksaan materi
genetik dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), pemeriksaan antibodi
dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (H.I Test) menggunakan serum diambil
pada masa akut (hari ke 5 mulai demam) dan serum konvalesen pada minggu
kedua sesudah demam serta sequencing.
a. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah pada demam Chikungunya tidak khas.
Penelitian yang ada menunjukkan bahwa jumlah leukosit dan trombosit
dalam batas normal. Leukopenia dengan limfositosis relatif dapat terjadi
pada hari ke 3- 6 sejak demam. Kenaikan Hct terjadi namun secara statistik
tidak bermakna.29
b. Isolasi Virus
Virus chikungunya dapat diisolasi dalam kultur dalam 3 hari
pertama sakit selama periode viremia aktif dengan inokulasi darah ke tikus
atau nyamuk. Deteksi berbasis kultur juga tersedia melalui Centers for
Disease Control and Prevention (CDC).30
Isolasi virus chikungunya didasarkan pada inokulasi spesimen
biologis dari nyamuk atau dari manusia (serum) secara invitro dengan
menggunakan kultur jaringan sel vero, BHK-21, HeLa sel, dan sel C6/36.
Jenis untuk isolasi virus chikungunya adalah serum pada masa akut 0-6
hari. Spesimen yang berasal dari nyamuk juga dapat digunakan untuk
bahan isolasi virus. Semua spesimen biologis untuk isolasi virus harus

11
diproses secepatnya, bila memang perlu ditunda maksimal penundaan
adalah 48 jam dengan disimpan pada suhu 2-8 0 C.12
c. Serologi (Deteksi IgM IgG)
Infeksi chikungunya juga dapat dideteksi secara serologi dengan
mendeteksi anti-chik berupa IgM atau IgG. Sampai saat ini telah banyak
dikembangkan teknik diagnostik untuk mendeteksi chikungunya secara
serologi, diantaranya haemaglutination, Complement Fixation Test (CFT),
Immuno Flourescent Assay (IFA), dan Plaque Reduction Neutralization
Testing (PRNT).
Antibodi IgM dapat dideteksi dari hari ke 4 infeksi sampai
beberapa minggu waktu lamanya. Antibodi IgG dapat dideteksi hari ke 15
sampai beberapa tahun lamanya. Spesimen yang digunakan adalah serum
atau plasma penderita pada masa akut. Jumlah spesimen yang dibutuhkan
untuk konfirmasi KLB chikungunya adalah 5-10 spesimen dari setiap
satuan KLB (per kecamatan/per puskesmas), jika jumlah penderita ≥ 10,
namun jika jumlah penderita < 10 maka untuk konfirmasi jumlah spesimen
yang diperiksa jumlah penderita.12
d. Deteksi Viral
Deteksi viral RNA virus chikungunya dapat dilakukan pada saat
akut penderita <8 hari. Deteksi viral RNA juga dapat menggunakan
spesimen biologis dan nyamuk (vektor). Deteksi viral RNA didasarkan
pada gen NSP1 atau E16 saat ini telah dikembangkan berbagai macam
teknik deteksi viral RNA virus chikungunya yaitu secara RT-PCR
(Reverse Transcripatase-Polymerase Chain Reaction) dan Real Time
PCR.12
RT-PCR telah distandarisasi menggunakan domain struktural dan
nonstruktural dari genom virus Chikungunya dan tersedia melalui CDC.
Pengujian genotip juga telah dikembangkan yang akan membantu dalam
pengaturan wabah. Uji molekuler dapat mendeteksi RNA virus selama 7-8
hari pertama penyakit.30,31

12
2.8 Penatalaksanaan
Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini penyakit ini
belum ada obat ataupun vaksinnya, pengobatan hanya bersifat simptomatis
(antipiretik dan analgetik) serta suportif yaitu tirah baring (bedrest), batasi
pergerakan, minum banyak untuk mengganti kehilangan cairan tubuh akibat
muntah, keringat dan lain-lain, serta fisioterapi. Beberapa ahli
merekomendasikan untuk tidak memakai salisilat dan obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), karena dapat memicu manifestasi perdarahan. Meskipun
gejala pasien dengan nyeri sendi persisten mungkin sulit untuk ditangani,
NSAID bersama dengan kortikosteroid atau metotreksat berhasil digunakan
pada orang dewasa. Ribavirin juga telah terbukti memperbaiki artralgia /
artritis kronis pada beberapa pasien dewasa, tetapi manfaatnya pada infeksi
anak akut masih belum diketahui.27
Untuk memperbaiki keadaan umum penderita dianjurkan makan makanan
yang bergizi, cukup karbohidrat dan terutama protein serta minum sebanyak
mungkin. Perbanyak mengonsumsi buah-buahan segar atau minum jus buah
segar. Pemberian vitamin peningkat daya tahan tubuh mungkin bermanfaat
untuk penanganan penyakit. Selain vitamin, makanan yang mengandung
cukup banyak protein dan karbohidrat juga meningkatkan daya tahan tubuh.
Daya tahan tubuh yang bagus dan istirahat cukup bisa mempercepat
penyembuhan penyakit. Minum banyak juga disarankan untuk mengatasi
kebutuhan cairan yang meningkat saat terjadi demam.9

2.9 Komplikasi
Dalam literatur ilmiah belum pernah dilaporkan kematian, kasus
neuroinvasif atau kasus perdarahan yang berhubungan dengan infeksi virus
Chikungunya. Pada kasus anak komplikasi dapat terjadi dalam bentuk kolaps
pembuluh darah, renjatan, miokarditis, ensefalopati dan sebagainya, tapi
jarang ditemukan.32
Sejauh ini, infeksi Chikungunya pada wanita hamil belum secara langsung
dikaitkan dengan kelainan bawaan. Namun, transmisi vertikal pada saat

13
persalinan telah dijelaskan pada neonatus, mengakibatkan komplikasi
neurologis dan keterlambatan perkembangan kognitif.33

2.10 Prognosis
Prognosis penderita Chikungunya cukup baik, sebab penyakit ini tidak
menimbulkan kematian. Walaupun tidak menimbulkan kematian, penyakit ini
sangat mengganggu aktivitas karena mengakibatkan ketidakmampuan
menggerakkan anggota tubuh dari rasa nyeri sendi dan otot yang masih
dirasakan selama beberapa pekan. Hal ini berdampak pada produktivitas
anak. Belum ada penelitian yang secara jelas memperlihatkan bahwa
Chikungunya dapat menyebabkan secara langsung menyebabkan kematian.
Brighton meneliti pada 107 kasus infeksi Chikungunya 87,9% sembuh
sempurna, 3,75% mengalami kekakuan sendi atau mild discomfort, 2,8%
mempunyai Ipersistent residual joint stiffness, tapi tidak nyeri dan 5,6%
mempunyai keluhan sendi yang persistent, kaku dan sering mengalami efusi
sendi.32

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari genus
Alphavirus, famili Togaviridae, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi oleh virus tersebut. Penyakit ini
pertama kalinya dilaporkan oleh Robinson dan Lumsden setelah terjadinya
wabah di lembah Makonde tahun 1952. Seperti halnya dengan malaria dan
dengue, penyakit ini telah menjadi endemis di negara-negara di Afrika dan
Asia. dan telah menimbulkan wabah di tempat-tempat tersebut. CHIK ditandai
oleh adanya tiga gejala khas (trias) yaitu demam, nyeri sendi (arthralgia) dan
ruam kulit (rash). CHIK adalah penyakit yang bersifat dapat sembuh sendiri
(self-limiting) dan tidak ada pengobatan yang spesifik untuk demam CHIK.
Upaya pengobatan hanya bersifat simtomatis, oleh karena itu pengendalian
vektor merupakan usaha yang tepat pada pencegahan penyakit.3

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Mackenzie JS, Chua KB, Daniels PW, Eaton BT, Field HE, Hall RA, et al.
Emerging viral diseases of Southeast Asia and the Western Pacific. Emerg
Infect Dis 2001; 7(suppl): s497-s504.
2. Sebastian MR, Lodha R, Kabra SK. Chikungunya Infection in Children. Indian
Journal of Pediatrics, Volume 76—February 2009. Diunduh dari:
www.springerlink.com pada 22 Oktober 2010.
3. Suriptiastuti.2007.Re-emergensi Chikungunya: epidemiologi dan peran vektor
pada penyebaran penyakit. Universa Medicina: Bagian Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti. Vol.26-No.2. 10 September 2020.
4. Laras K, Sukri N, Larasati R, et al. Tracking The Re-emergence of Epidemic
Chikungunya Virus in Indonesia. Transactions of the royal Society of Tropical
Medicine and Hygiene, volume 99—2005. Diunduh dari:
www.elsevierhealth.com/journals/trst pada 10 September 2020.
5. Thavara U, Apiwat Tawatsin, Theerakamol Pengsakul,et all.(2009) Outbreak of
Chikungunya Fever in Thailand and Virus Detection in Field Population of
Vector Mosquitoes, Aedea aegypti(L), and Aedes albopictus Skuse 9Diptera :
culicidae). Southeast Asian J Trop Med Public Health. Vol 4 No. 5 September
2009. Diakses dari www.google.com tanggal 10 September 2020.
6. Valamparampil JJ, Chirakkarot S, Letha S, et al. Clinical Profile of
Chikungunya in Infants. Indian Journal of Pediatrics, Volume 76—February
2009. Diunduh dari: www.springerlink.com pada 22 Oktober 2010.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar Penyakit Infeksi Tropis. Jakarta:
IDAI, 2007.
8. World Health Organization, 2013, Guidelines on Clinical Management of
Chikungunya fever, pdf.
9. Widoyono, 2008, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya, Erlangga, Jakarta.
10. Kementrian Kesehatan RI, Profil Kesehatan Indonesia 2018, Jakarta :
Kemenkes RI.

16
11. Amirullah, Endang Puji Astuti, 2011, Chikungunya Transmisi dan
Permasalahannya, Aspirator Vol 3 No 2 Tahun 2011, hlm : 105
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Pedoman Pengendalian
Penyakit Chikungunya 2012 : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
13. Dantje T Sembel, 2009, Entomologi Kedokteran, Yogjakarta : C.V Andi
Offset
14. Sebastian MR, Lodha R, Kabra SK. Chikungunya Infection in Children.
Indian Journal of Pediatrics, Volume 76—February 2009. Diunduh dari:
www.springerlink.com pada 10 September 2020.
15. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar Penyakit Infeksi Tropis. Jakarta:
IDAI, 2007.
16. Lum FM, Teo TH, Lee WW, Kam YW, Renia L, Ng LF. An essential role of
antibodies in the control of Chikungunya virus infection. J Immunol. 2013 Jun
15. 190(12):6295-302. [Medline]. [Full Text].
17. Wauquier N, Becquart P, Nkoghe D, Padilla C, Ndjoyi-Mbiguino A, Leroy
EM. The acute phase of Chikungunya virus infection in humans is associated
with strong innate immunity and T CD8 cell activation. J Infect Dis. 2011 Jul 1.
204(1):115-23. [Medline]. [Full Text].
18. Wauquier N, Becquart P, Nkoghe D, Padilla C, Ndjoyi-Mbiguino A, Leroy
EM. The acute phase of Chikungunya virus infection in humans is associated
with strong innate immunity and T CD8 cell activation. J Infect Dis. 2011 Jul 1.
204(1):115-23. [Medline]. [Full Text].
19. Teo TH, Lum FM, Lee WW, Ng LF. Mouse models for Chikungunya virus:
deciphering immune mechanisms responsible for disease and pathology.
Immunol Res. 2012 Sep. 53(1-3):136-47. [Medline]
20. Bernard E, Solignat M, Gay B, Chazal N, Higgs S, Devaux C. Endocytosis of
chikungunya virus into mammalian cells: role of clathrin and early endosomal
compartments. PLoS One. 2010. 5(7):e11479. [Medline].

17
21. Rulli NE, Suhrbier A, Hueston L, et al. Ross River virus: molecular and
cellular aspects of disease pathogenesis. Pharmacol Ther. 2005 Sep.
107(3):329-42. [Medline].
22. Ziegler SA, Nuckols J, McGee CE, Huang YJ, Vanlandingham DL, Tesh RB.
In vivo imaging of chikungunya virus in mice and Aedes mosquitoes using a
Renilla luciferase clone. Vector Borne Zoonotic Dis. 2011 Nov. 11(11):1471-7.
[Medline].
23. Chaaitanya IK, Muruganandam N, Sundaram SG, Kawalekar O, Sugunan AP,
Manimunda SP. Role of proinflammatory cytokines and chemokines in
chronic arthropathy in CHIKV infection. Viral Immunol. 2011 Aug. 24(4):265-
71. [Medline].
24. Briant L, Despres P, Choumet V, Misse D. Role of skin immune cells on the
host susceptibility to mosquito-borne viruses. Virology. 2014 Jul 17. 464-
465C:26-32. [Medline].
25. Couderc T, Lecuit M. Chikungunya virus pathogenesis: From bedside to
bench. Antiviral Res. 2015 Sep. 121:120-31. [Medline].
26. Agarwal A, Sharma AK, Sukumaran D, Parida M, Dash PK. Two novel
epistatic mutations (E1:K211E and E2:V264A) in structural proteins of
Chikungunya virus enhance fitness in Aedes aegypti. Virology. 2016 Oct.
497:59-68. [Medline].
27. Ritz, Nicole MD PhD, Hufnagel, et al. Chikungunya In Children. The
Pediatrics Infectious Disease Journal. Vol 35. July 2015. P 789-791.
28. Pastorino B, Bessaud M, Grandadam M, Murri S, Tolou HJ, Peyrefitte CN.
Development of a TaqMan RT-PCR assay without RNA extraction step for
the detection and quantification of African Chikungunya viruses. J Virol
Methods. 2005 Mar. 124(1-2):65-71. [Medline]
29. Kamath S, Das AK, Parikh FS. Chikungunya. J Assoc Physicians India 2006;
54: 725-6.
30. Lakshmi V, Neeraja M, Subbalaxmi MV, Parida MM, Dash PK, Santhosh SR.
Clinical features and molecular diagnosis of Chikungunya fever from South
India. Clin Infect Dis. 2008 May 1. 46(9):1436-42. [Medline].

18
31. Grivard P, Le Roux K, Laurent P, et al. Molecular and serological diagnosis of
Chikungunya virus infection. Pathol Biol (Paris). 2007 Dec. 55(10):490- 4.
[Medline].
32. Depkes RI. (2005). Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di
Indonesia Tahun 2001-2003. Cermin Dunia Kedokteran, Volume, No.148, hlm
37-39.
33. Suganthini Krishnan Natesan, MD. Chikungunya Virus Treatment &
Management: Approach Considerations, Prevention, Future Perspectives
[Internet]. Medscape. 2019 [cited 1 august 2019]. Available
from:https://emedicine.medscape.com/article/2225687-
treatment?src=soc_tw_share.

19
20

Anda mungkin juga menyukai