Anda di halaman 1dari 50

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................


DAFTAR ISI ................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................
DAFTAR TABEL ........................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................
1.1 Latar Belakang ......................................................
1.2 Tujuan ...................................................................
BAB II LAPORAN KASUS .......................................................
2.1 Identifikasi .............................................................
2.2 Anamnesis ............................................................
2.3 Pemeriksaan Fisik .................................................
2.4 Diagnosis ..............................................................
2.5 Penatalaksanaan ..................................................
2.6 Fitting Soft Contact Lens .......................................
2.7 Prognosis ..............................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ...................................................
3.1 Miopia ...................................................................
3.1.1 Definisi .......................................................
3.1.2 Epidemiologi ..............................................
3.1.3 Klasifikasi ...................................................
3.1.4 Manifestasi Klinis .......................................
3.1.5 Tatalaksana ...............................................
3.2 Lensa Kontak ........................................................
3.2.1 Pemeriksaan Pasien dan Pemelihan Jenis
Lensa Kontak .............................................
3.2.2 Bagian-Bagian Soft Contact Lenses ..........
3.2.3 Uji Pasang Soft Contact Lenses ................
3.2.4 Kontraindikasi Soft Contact Lenses ...........
3.3 Anisometropia
3.3.1 Definisi .......................................................
3.3.2 Etiologi .......................................................
3.3.3 Klasifikasi ....................................................
3.3.4 Manifestasi Klinis ........................................
3.3.5 Diagnosis ....................................................
3.3.6 Tatalaksana ................................................
BAB IV DISKUSI .........................................................................
BAB V KESIMPULAN ................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
.....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui
mata manusia menyerap >80% informasi visual yang digunakan untuk
melaksanakan berbagai kegiatan. Namun gangguan terhadap penglihatan
banyak terjadi sehingga perlu mendapatkan perhatian. Sebanyak lebih dari
100 juta jiwa menderita gangguan penglihatan oleh karena kelainan
refraksi yang tidak terkoreksi. Kelainan refraksi terjadi karena adanya
kelainan panjang aksial bola mata, kelainan kurvatura kornea atau lensa,
dan kelainan indeks media refraksi yang kemudian terbagi menjadi miopia,
hipermetropia dan astigmatisme.1
Miopia merupakan suatu kondisi pada mata dimana sinar sejajar
dari jarak tidak terhingga akan jatuh pada bagian anterior dari retina. Miopia
akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebuah studi di
amerika serikat mengungkapkan bahwa prevalensi dari miopia sebesar 3%
pada populasi anak-anak berusia 5-7 tahun, 8% pada usia 8-10 tahun, 14%
pada usia 11-12 tahun dan 25% pada usia remaja 12-17 tahun. Sedangkan
berdasarkan geografisnya, prevalensi miopia pada anak-anak secara
umum lebih banyak di negara-negara asia timur dan banyak mengenai
remaja dan dewasa muda. Sebagai contoh pada populasi anak berusia 12
tahun didapatkan jumlah presentase sebesar 49,7% - 62,0% jika
dibandingkan dengan negara lainnya yang hanya 6,0% - 20,0% pada
populasi yang sama. Dewasa ini, terdapat peningkatan signifikan pada
kondisi miopia di seluruh dunia yaitu diperkirakan sekitar 1.950 juta jiwa
atau sekitar 28,3% dari populasi dunia dan kasus miopia tinggi yang
berkisar 277 juta jiwa atau sekitar 4% dari populasi global dan kondisi ini
mempengaruhi masalah sosioekonomi dan kesehatan masyarakat secara
tidak langsung.2
Anisometropia adalah kelainan refraksi yang disebabkan oleh
adanya perbedaan kekuatan refraksi pada kedua mata, dimana terjadi
gangguan kemampuan pada mata untuk memfokuskan sinar sejajar agar
tepat jatuh di retina pada saat mata tidak berakomodasi. Anisometropia
dapat disebabkan karena perbedaan kelainan refraksi yaitu berupa myopia,
hipermetropia, astigmatisme atau gabungan. Pada beberapa kondisi
anisometropia yang berat, pasien dapat mengalami gangguan dalam
kehidupan sehari-harinya, karena itu pemeriksaan mata yang
komprehensif dan penatalaksanaan sedini mungkin dapat membantu
mengurangi gejala dan resiko yang ditimbulkan.3
Penegakan diagnosis miopia dan anisometropia pada usia muda
sedang berkembang, membuat banyak orang akan bergantung pada
kacamata atau lensa kontak. Pasien dengan kesalahan refraksi yang
rendah mungkin tidak memerlukan koreksi. Pilihan koreksi dapat
digunakan kacamata, lensa kontak, atau operasi. Pemasangan lensa
kontak yang tepat pada mata menjadi pilihan dalam menjamin kualitas
penglihatan, pergerakan lensa saat berkedip, dan kenyamanan. Uji pasang
lensa kontak merupakan interaksi yang kompleks antara berbagai faktor
okular dan tentu saja membutuhkan pemahaman yang baik mengenai
teknik uji pasang lensa kontak.4-5
Sekitar 50% orang dewasa di Amerika Serikat menggunakan
kacamata atau lensa kontak. Seperempat dari mereka menggunakan lensa
kontak; 90% lensa lunak; dan 10%, lensa gas-permeable (RGP) yang kaku.
Penggunaan kacamata dan lensa kontak merupakan pilihan terapi yang
non invasif dan dapat menjadi pilihan bagi pasien yang tidak mau dilakukan
tindakan bedah refraktif. Oleh karena itu menjadi penting untuk
mengetahui b6

1.2 Tujuan

Laporan kasus ini bertujuan untuk melaporkan uji pasang soft


contact lens pada penderita high myopia OD dan moderate myopia OS
dengan anismotropia sehingga tercapai tajam penglihatan yang baik dan
nyaman bagi penderita.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Seorang perempuan, berusia 16 tahun, pekerjaan sebagai
siswa, beralamat di dalam kota, datang ke poli refraksi RSKM,
dikonsulkan dari Puskemas Tegal Binangun Plaju pada 9 Agustus
2022 dengan nomor catatan medis 277861

2.2 Anamnesis
Keluhan utama : pandangan kabur sejak 6 tahun yang lalu, dan
dianjurkan untuk tidak menggunakan kacamata selama proses
magang di tempat kerja.
Riwayat perjalanan penyakit :
Pasien datang ke poli refraksi RSKM dengan keluhan
pandangan kabur terutama ketika melihat benda yang jauh sejak 6
tahun yang lalu. Keluhan ini dirasakan ketika melihat benda yang
jauh pada kedua mata dan semakin memberat secara perlahan.
Keluhan disertai dengan pandangan berbayang ketika melihat
tulisan dan harus memicingkan matanya agar penglihatan lebih
jelas. Karena keluhannya ini ibu pasien membawa pasien ke optik,
dan mendapatkan kacamata spheris -4 pada mata kanan dan -2,5
pada mata kiri, terakhir di cek optik 1 bulan lalu pasien
mendapatkan kacamata spheris pada mata kanan -7 dan -3 pada
mata kiri. Pasien mengaku sejak kecil memang lebih suka bermain
dengan gadget seharian, setiap hari pasien bisa bermain hp selama
6 jam tanpa berhenti dan jarang melakukan aktivitas outdoor. Selain
itu semenjak covid ini pasien lebih sering melakukan aktivitas
pekerjaan jarak dekat, dan penggunaan komputer yang lebih sering,
kurang lebih 3-4 jam setiap harinya tanpa berhenti. Keluhan
pandangan seperti tertutup tirai, kilatan cahaya dan pandangan
ganda disangkal.
Sekarang pasien sedang praktek magang di hotel yang tidak
memperbolehkan pasien untuk menggunakan kacamata, sehingga
pasien dirujuk dari puskesmas untuk dibuatkan lensa kontak .

Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat memakai kacamata sejak smp kelas 1
• Riwayat memakai lensa kontak disangkal.
• Riwayat trauma dan operasi pada mata disangkal.
• Riwayat kelainan pada mata saat kelahiran

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


• Riwayat keluarga dengan penyakit serupa disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1. Status generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 60 X/Menit
Pernafasan : 18x/Menit
Temperatur : 36,7o C
2.3.2. Status Oftalmologikus

Mata kanan Mata kiri

Visus 4/60 ph 6/18 6/30 ph 6/6

Koreksi pre- S-7.00 à 6/6 S-3.00à 6/6


cyclopegic Crowding phenomenon (-) Crowding phenomenon (-)

Koreksi post- S-7.00 à 6/6 S-3.00à 6/6


cyclopegic Crowding phenomenon (-) Crowding phenomenon (-)

Binokular
6/6
Pupillary
59/57
distance
Tekanan
18.6 mmhg 18.3 mmhg
intraokular
Kedudukan bola
Ortoforia
mata

Gerakan bola
mata

Palpebra Tenang Tenang


Konjungtiva Tenang Tenang
Kornea Jernih Jernih
Bilik mata
Sedang Sedang
depan
Iris Gambaran baik Gambaran baik
Bulat, sentral, rc(+), ø 3mm, Bulat, sentral, rc(+), ø 3mm,
Pupil
rapd (-) rapd (-)
Lensa Jernih Jernih
Segmen
RFODS (+)
posterior
Lonjong, batas tegas, myopic Lonjong, batas tegas, myopic
crescent (+), warna merah crescent (-) warna merah
Papil
normal, c/d ratio 0,3, A:V = normal, c/d ratio 0,3, A:V =
2:3 2:3
Makula RF(+) normal RF(+) normal
Kontur pembuluh darah baik, Kontur pembuluh darah baik,
Retina perdarahan (-), tigroid perdarahan (-), tigroid
appearance (+) appearance (-)
2.4 Pemeriksaan penunjang
2.4.1 Autorefraktometer

Pre-Cyclopegic Post-Cyclopegic

OD: S-7.00 C-0.5.00 X2 O OD: S-7.00 C-0.25.00 X2O

OS: S-3.00 C-0.25.00 X8O OS: S-3.00 C-00.00 X7O

PD: 59 PD: 59

Pemeriksaan Keratrometri

OD OS
K1 : 7,58 D : 44.50 K1 : 7.66 D : 45.25
K2 : 7.35 D : 46.00 K2 : 7.37 D : 46.00
AVG : 7.46 D : 45.25 AVG : 7.46 D : 45.25

Pemeriksaan HVID
OD : 11 mm OS : 11 mm

Ukuran Pupil

Saat penerangan redup → ODS : 6 mm Saat penerangan cukup →


ODS : 3 mm

Tonus kelopak mata

OD : Medium OS : Medium

Laju Berkedip

OD : 16 x/menit OS : 16 x/menit
Hasil Schimer’s test

OD : 12 mm OS : 13 mm

Hasil Break Up time

OD : 17” OS : 17”

2.4.2 USG Tanspalpebral

OD OS

Kesan: Kesan:

Vitreous: echofree Vitreous: echofree

Koroid: tidak ada penebalan Koroid: tidak ada penebalan

Retina: retina intak Retina: retina intak

Axial length: 26 mm Axial length: 25 mm

Kesan axial length memanjang Kesan axial length normal


2.4.3 Foto Fundus

OD OS

Kesan: Kesan:

Papil : lonjong, batas tegas, myopic Papil:lonjong, batas tegas, myopic


crescent (+), warna merah normal, crescent (+), warna merah normal

C/D ratio 0,3, A:V = 2:3 C/D ratio 0,3, A:V= 2:3

Makula : RF (+) normal Makula: RF (+) normal

Retina: kontur pembuluh darah baik, Retina: kontur pembuluh darah


perdarahan (-), tigroid appearance (+) baik, perdarahan (-), tigroid
appearance (-)
2.4 Diagnosis kerja
• High Myopia OD
• Moderate Myopia OS
• Anisometropia

2.5 Tatalaksana

Informed consent
Penggunaan soft contact lens
Edukasi higienitas contact lens
Sodium chloride dan potassium chloride 1 gtt/ 4 jam ods

2.6 Perhitungan Base Curve (Bc) Soft Contact Lens

Rumus : K Mean + 1 mm

OD Oculi Dextra Base Curve

OD = K mean + 1 mm = 7,46 + 1 mm 8,46 mm

Oculi Sinistra Base Curve

OS = K mean + 1mm = 7,52 +1 mm 8,52 mm

Perhitungan Diameter (D) Soft Contact Lens

Rumus : Total Diameter (TD) = HVID + 2mm

ODS
11mm + 2mm = 13 mm
Perhitungan Power (P) Soft Contact Lens (Vertex Distance =
12mm )
(Berdasarkan Hasil Konvesi dari Table)
Oculi Dekstra
OD = -7.00 D ∞ -6,48 D
Oculi Sinistra
OS = -3.00D ∞ - 2.89 D

2.8 Uji Pasang Lensa Kontak Lunak


OD
Saat dilakukan uji pasang lensa kontak lunak, base curve yang diuji
pasangkan 8,60 mm pada OD . Pasien nyaman menggunakan ukuran
BC 8,60 mm
Sehingga diresepkan ukuran softlens
OD à S-6.50 BC 8,60 ø 14 mm
OS
Saat dilakukan uji pasang lensa kontak lunak, base curve yang diuji
pasangkan 8,60 mm pada OS. Pasien nyaman menggunakan ukuran
BC 8,60 mm
Sehingga diresepkan ukuran softlens
OS à S-3.00 BC 8,60 ø 14 mm
Proses Fitting Soft Contact Lens (SCL)

Hasil Uji Pasang Soft Contact Lens (SCL)

OD OS

Kesan : Optimum Fit , SCL tampak Kesan : Optimum Fit , SCL tampak
menutupi limbus, sekitar 1-2mm, menutupi limbus, sekitar 1-2mm,
sebelum dan sesudah berkedip sebelum dan sesudah berkedip
Push up Test

Kesan : Optimum Fit , Lensa bergerak kembali ke tempat semula


dengan perlahan

Movement Test

Kesan : Good Fit ( Lensa bergerak < 1mm ketika berkedip, melihat
keatas, bawah, samping kanan dan kiri)
Hasil Evalusi Soft Contact Lens :
1. Pasien merasa lebih nyaman , dan tidak ada sensasi terganjal,
atau ada benda usia sing
2. SCL tampak menutupi limbus, sekitar 1-2mm, sebelum dan
sesudah berkedip
3. Berada di central
4. Good Fit ( Lensa bergerak < 1mm ketika berkedip, melihat keatas,
ataupun ketika diberikan tekanan pada kelopak bawah untuk
menggerakkan lensa
5. Pada push up test, optimum Fit , Lensa dapat kembali ke tempat
semula dengan perlahan

2.9 Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam. : Dubia Ad Bonam
Quo Ad Sanationam : Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Miopia
3.1.1 Definisi
Miopia merupakan salah satu kelainan refraksi dimana
cahaya paralel difokuskan pada bagian anterior retina pada saat tidak
berakomodasi. Miopia merupakan kelainan refraksi yang paling
umum terjadi di seluruh dunia. Bentuk paling banyak dari miopia ialah
miopia aksial kemudian diikuti dengan miopia indeks dan miopia
kurvatura.7

3.1.2 Etiologi
1. Keturunan
Keturunan adalah faktor yang paling signifikan dalam
penyebab dan perkembangan miopia. Studi keterkaitan telah
mengidentifikasi pada lokus genetic 18 genetik loci di 15 kromosom
berbeda yang berhubungan dengan miopia. Itu berarti tidak ada gen
tunggal yang bertanggung jawab atas penyakit ini.8
2. Nutrisi
Pada penderita kekurangan nutrisi diet terkait dengan
penyakit tertentu, dimana miopia juga menjadi salah satu jenis
penyakit yang ditemukan pada tiap penderita. Hal ini terbukti pada
penderita kekurangan konsumsi protein telah terlibat dalam
terjadinya suatu miopia. Hiperinsulinemia, resistensi insulin, faktor
pertumbuhan seperti insulin, gangguan metabolisme karbohidrat,
semuanya ada hipotetis tambahan pada penderita miopia. 8
3. Faktor Lingkungan
Evolusi mata telah berlangsung selama jutaan tahun. Mata
pada manusia seperti yang disebutkan oleh banyak peneliti dimana
mata tidak banyak terprogram untuk melihat jarak dekat. Lingkungan
tempat tumbuh manusia diadaptasi lebih dari jutaan tahun tidak
cocok dengan lingkungan kita saat ini. Dimana fungsinya adalah
untuk melihat pemandangan, gunung, padang rumput, atau melihat
pada jarak jauh. Pada saat ini stres kerja terjadi secara konstan
dimana pandangan lebih sering digunakan untuk jarak dekat
diperburuk oleh penggunaan computer dan gadget lainnya, telah
meningkatkan prevalensi miopia. Kebiasaan membaca pada
pencahayaan buatan, pembalikan jam biologis, semuanya telah
berkontribusi pada peningkatan miopia. Ada bukti bahwa kurangnya
rangsangan normal menyebabkan perkembangan bola mata yang
tidak tepat. 'Rangsangan normal' mengacu pada lingkungan.
Manusia modern, yang menghabiskan sebagian besar waktu
mereka di dalam ruangan dalam cahaya redup, tidak memberikan
rangsangan visual yang sesuai mata mereka dan mungkin
berkontribusi pada miopia. Ras tertentu di wilayah afrika dan arktik
yang sebagian besar menjalani kehidupan berburu dan berkeliaran
di luar ruangan, memiliki tingkat miopia terendah. 8
4. Kecerdasan dan miopia
Sejumlah besar studi telah melaporkan hubungan antara
miopia dan iq tinggi. Penjelasan untuk efek ini mengarah ke intensif
dekat membaca oleh anak-anak yang rajin belajar. Studi lain
menunjukkan hal itu gen 'pleiotropic' mempengaruhi perkembangan
otak dan mata secara bersamaan. Beberapa laporan menyebutkan
bahwa iq tinggi dan miopia hidup berdampingan, terlepas dari
membaca berlebihan atau bekerja dekat. 8
5. Hipotesis Kerja Dekat
Banyak pemikiran telah menjelaskan hubungan kerja dekat
dengan perkembangan miopia. Hipotesis ini juga disebut sebagai
teori 'useabuse', yang mengkorelasikan perkembangan miopia
dengan penggunaan mata kita secara berlebihan untuk pekerjaan
yang dekat. Ada dua poin utama untuk mendukung hipotesis ini.
Pertama, terus menerus pekerjaan dekat menyebabkan
konvergensi konstan, yang pada akhirnya menciptakan stress yang
konstan pada otot ekstraokular. Kedua, terjadinya suatu akomodatif
stres pada otot ciliary secara terus menerus, di bawah fase kontraksi
yang konstan perlahan membangun tekanan di mata, dan mata
anak-anak yang masih berkembang, mungkin tumbuh terlalu besar.8

3.1.3 Klasifikasi
Terdapat beberapa sistem pembagian dari miopia yang
telah dikemukakan dalam 150 tahun terakhir. Beberapa sistem
pembagian yang umumnya dipakai yaitu menurut derajat
keparahannya, fisiologikal/ patologikal, struktur anatomi dan
sebagainya. Klasifikasi miopia berdasarkan derajat beratnya dibagi
menjadi tiga:8
- Miopia ringan, derajat miopia kecil antara 1-3 dioptri
- Miopia sedang, derajat miopia antara 3-6 dioptri
- Miopia berat atau tinggi, derajat miopia > 6 dioptri

Kemudian miopia juga dapat dibagi menjadi miopia fisiologis


dan miopia patologis, dimana miopia patologis menurut duke-elder
dan abraham ialah anomali refraksi yang ditandai dengan adanya
sistem optik yang mempunyai elemen-elemen diluar variasi normal
secara biologis. Miopia patologis terkait dengan keadaan patologis
yang disebabkan oleh pemanjangan visual aksis bola mata biasanya
bersifat progresif dan dapat mengakibatkan miopia makulopati
seperti diffuse chorioretinal atrophy, patchy chorioretinal atrophy,
lacquer cracks, myopic choroidal neovascularization dan temuan
stafiloma posterior pada segmen posterior pasien.
Miopia ini dapat juga dikenal dengan miopia pernisiosa,
miopia maligna atau miopia degeneratif.9
Borish juga membagi miopia menurut struktur anatominya menjadi :
- Miopia aksial, dimana sumbu anteroposterior bola mata terlalu
panjang terhadap kekuatan refraksinya
- Miopia kurvatura, dimana terdapat perubahan, biasanya
pengurangan dari radius kurvatura 1 atau lebih permukaan
struktur anatomi refraksi mata sehingga meningkatkan
kekuatan dioptri
- Miopia refraktif, dimana sistem refraksi terlalu kuat terhadap
panjang aksial bola mata seperti keadaan bertambahnya
indeks bias media penglihatan. 3,9

3.1.4 Diagnosis
Evaluasi dari kelainan refraksi membutuhkan penilaian dari
status refraksi pada setiap mata, riwayat pemakaian kacamata,
keluhan saat ini dan juga tujuan penglihatan pasien. Pemeriksaan
refraksi dilakukan sejalan dengan evaluasi medis mata yang
komprehensif.8
I. Anamnesis
Riwayat penyakit diperoleh untuk memastikan kebutuhan
penglihatan pasien dan juga kemungkinan adanya penyakit
mata lain yang mendasari keluhan pasien.8,9
II. Pemeriksaan
a) Pemeriksaan tajam penglihatan
Tajam penglihatan jarak jauh dilakukan pada ruangan
dengan penerangan yang cukup dari jarak 20 feet atau 6
meter dengan bagan karakter yang mempunyai kontras
yang tinggi. Pemeriksaan penglihatan jarak dekat dilakukan
pada jarak 36 cm dan kemudian pasien melihat kartu baca
dengan kontras yang tinggi.8,9
b) Refraksi
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan terpisah pada
kedua mata. Refraksi dapat dilakukan secara objektif
dengan menggunakan retinoskopi dan autorefraktometer
atau secara subjektif.8,9
Pemeriksaan status refraksi jauh sebaiknya dilakukan
dengan kondisi akomodasi yang relaksasi. Dapat diperoleh
dengan teknik fogging atau teknik lainnya pada kondisi non-
siklopegik untuk memperoleh overkoreksi minus pada
pasien. Pada pasien yang lebih muda, refraksi siklopegik
terbukti berguna dalam pemeriksaan status refraksi pasien.
Pemeriksaan status refraksi dekat diperiksakan pada setiap
mata sebelum dilakukan siklopegia pada pasien-pasien
dengan keluhan jarak pandang dekat seperti hiperopia tinggi
dan presbiopia. Perbedaan signifikan antara refraksi
manifes dan siklopegik terlihat paling sering pada anak-
anak. Pada dewasa, perbedaan yang cukup besar pada
refraksi manifes dan siklopegik membutuhkan refraksi post-
siklopegik sebagai panduan dalam peresepan kacamata
pasien. Post-siklopegik dilakukan pada saat akomodasi
berfungsi penuh kembali.9

3.1.5 Penatalaksanaan
Miopia dikoreksi oleh lensa cekung yang tepat baik dalam
bentuk kacamata atau lensa kontak. Lensa kontak secara kosmetik
lebih cocok dengan penyimpangan minimal dan bidang visual
maksimum terutama untuk miopia berat. Namun pasien
membutuhkan motivasi dan perawatan yang lebih baik untuk
menjaga pemakaian lensa kontak. Operasi laser lasik semakin
populer di zaman sekarang. Tetapi memiliki keterbatasan sendiri,
karena miopia sangat tinggi kadang-kadang tidak cocok untuk
operasi karena ketebalan kornea yang buruk atau keratoconus.
Miopia yang sangat tinggi dapat diperbaiki dengan pertukaran lensa
tetapi pasien harus melakukannya menerima lensa bifocal di usia
muda karena akomodasi hilang setelahnya operasi.10
Perkembangan terbaru dalam pengobatan miopia sangat
tinggi dapat ditanamkan lensa kontak. Dalam operasi ini, lensa
normal dibiarkan seperti itu dan melalui limbal lensa kontak implan
dipasang di atas kristal normal lensa. Lensa kontak ini terus
melayang di atas lensa kristal. Ini alternatif pilihan untuk operasi
laser lasik di mana ketebalan kornea adalah faktor utama yang
menjadi keterbatasan operasi. Dengan demikian pasien
menyingkirkan kacamata dan akomodasi juga dipertahankan.
Namun operasi ini cukup mahal. Baru-baru ini jenis lensa kontak
khusus telah diperkenalkan disebut lensa ortho-k yang akan
digunakan oleh pasien dalam semalam dan dihapus pada siang hari.
Ini mengoreksi miopia serta hypermetropia secara reversibel.
Setelah pasien berhenti menggunakannya, bias kesalahan
kembali.10

3.1.6 Komplikasi
Miopia tinggi ditandai dengan pemanjangan panjang
aksial, dan akibatnya peregangan dinding mata posterior
menyebabkan berbagai komplikasi spesifik termasuk katarak, atropi
chorioretinal, dan lubang makula dengan atau tanpa ablasi retina,
foveoschisis miopia, atau perubahan formasi saraf optik.
Kebanyakan dari komplikasi ini adalah penglihatan mengancam dan
sering menyebabkan kerusakan fotoreseptor retina ireversibel, dan
dengan demikian, kehilangan penglihatan sentral.10

3.2 Anisometropia
3.2.1 Definisi

Isometropia merupakan keadaan dimana kedua mata


memiliki kekuatan refraksi yang sama. Anisometropia merupakan
salah satu kelainan refraksi mata, yaitu suatukeadaan dimana kedua
mata terdapat perbedaan kekuatan refraksi. Anisometropia dengan
perbedaan antara kedua mata lebih dari atau sama dengan 1.00 D
akan menyebabkan perbedaan bayangan sebesar 5% atau lebih.
Perbedaan bayangan antara kedua mata sebesar 5% atau lebih
6,10
pada umumnya akan menimbulkan gejala aniseikonia.

3.2.2 Etiologi
Penyebab anisometropia dapat dikarenakan kongenital, dan
didapat, yaitu:
1. Kongenital dan anisometropia karena pertumbuhan, yaitu
muncul disebabkan oleh perbedaan pertumbuhan dari kedua
bola mata
2. Anisometropia didapat, yaitu mungkin disebabkan oleh
aphakia uniokular setelah pengangkatan lensa pada katarak
atau disebabkan oleh implantasi lensa intra okuler dengan
kekuatan yang salah. Dapat terjadi juga karena trauma
6,10
intraokuler pada mata.
6,10
Anisometropia dapat terjadi apabila:
1. Mata yang satu hipermetropia sedangkan yang lain
miopia (antimetropia)
2. Mata yang satu hipermetropia atau miopia atau astigmatisme
sedangkan yang lain emetropia
3. Mata yang satu hipermetropia dan yang lain juga
hipermetropia,dengan derajat refraksi yang tidak sama
4. Mata yang satu miopia dan yang lain juga miopia dengan
derajatrefraksi yang tidak sama

5. Mata yang satu astigmatisme dan yang lain juga astigmatisme


dengan derajat yang tidak sama

3.2.3 Klasifikasi Anisometropia


1. Simple anisometropia: dimana refraksi satu mata adalah
normal (emetropia) dan mata yang lainnya miopia (simple
miopia anisometropia) atau hipermetropia (simple miopia
anisometropia).
2. Coumpound anisometropia: dimana pada kedua mata
hipermetropia (coumpound hipermetropic anisometropia) atau
miopia (coumpoundmiopia anisometropia), tetapi sebelah mata
memiliki gangguan refraksi lebih tinggi dari pada mata yang
satunya lagi.
3. Mixed anisometropia: dimana satu mata adalah miopia dan
yang satu lagi hipermetropia, ini juga disebut antimetropia.
4. Simple astigmatic anisometropia: dimana satu mata normal dan
yang lainnya baik simple miopia atau hipermetropi
astigamatisme.
5. Coumpound astigmatismatic anisometropia: dimana kedua
mata merupakan astigmatisme tetapi berbeda derajatnya.
6,10
Sloane membagi anisometropia menjadi 3 tingkat yaitu:
1. Anisometropia ringan , beda refraksi lebih kecil dari 1,5 D
2. Anisometropia sedang, beda refraksi antara 1,5-2,5 D
3. Anisometropia besar, beda refraksi lebih besar dari 2,5 D

3.2.4 Gejala anisometropia


Menurut friedenwald gejala anisometropia muncul bila
terdapat perbedaan bayangan yang diterima pada kedua retina.
Adapun gejala anisometropia pada umumnya sebagai berikut :
1. Sakit kepala.
2. Rasa tidak enak pada kedua matanya.
3. Rasa panas pada kedua mata.
6,10
4. Rasa tegang pada kedua mata.

3.2.5 Kelainan Klinis Akibat Anisometropia


1) Akibat Perbedaan Visus
Adanya perbedaan visus kedua mata berakibat gangguan
fusi, sehingga orang tersebut akan menggunakan mata yang
lebih baik, sedangkan mata yang kurang visusnya akan
disupresi. Apabila keadaan ini dibiarkan maka akan dapat
terjadi strabismus, dan apabila terjadi pada anak-anak yang
masih mengalami perkembangan visus binokular, dapat
mengakibatkan ambliopia.

2) Akibat Perbedaan Bayangan


Perbedaan bayangan meliputi perbedaan ukuran dan
bentuk. Adanya perbedaan bayangan disebut aniseikonia.
Pada aniseikonia selalu terjadi gangguan penglihatan
binokular. Gangguan penglihatan binokular ini diakibatkan
oleh ketidaksamaan rangsangan untuk penglihatan
stereoskopik.

Secara klinik praktis aniseikonia yang terjadi akibat


anisometropia ambliopia dapat diketahui dari kelainan distorsi
dan kelainan stereoskopik yang muncul.11

3.2.6 Diagnosis Anisometropia


Diagnosis anisometropia ambliopia dapat dibuat setelah
pemeriksaan retinoskopi pada pasien yang penglihatannya
berkurang. Pada pemeriksaan retinoskopi dinilai refleks fundus dan
dengan ini bisa diketahui apakah seseorang menderita
hipermetropia, miopia atau astigmatisma. Kemudian baru ditentukan
berapakah perbedaan kekuatan refraksi antara kedua bola mata dan
ditentukan besar kecilnya derajat anisometropia.
11,12
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan pada anisometropia:
a. Pemeriksaan Visus
Pada penderita ini diperiksa visusnya tanpa lensa koreksi.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui visus penderita dan
apakah sudah terjadi ambliopia sebelumnya.
b. Pemeriksaan Status Refraksi Penderita
Pada penderita myopia dengan anisometropia dapat
diperiksa dengan refraktometer otomatis atau dengan
menggunakan bingkai kacamata coba (trial frame) dan lensa coba
(trial lens). Pemeriksaan dilakukan dengan refraksi
subjektif monokuler sampai mendapatkan visus yang
terbaik. Pada penderita dengan perbedaan status refraksi yang
tinggi dapat mengakibatkan supresi pada penderita yang sudah
dewasa dan dapat mengakibatkan ambliopia bila kelainan ini
terjadi pada anak-anak yang perkembangan penglihatan
binokulernyabelum sempurna.
c. Pergerakan Bola Mata
Pada penderita anisometropia yang terlalu lama tidak
dilakukan koreksi akan mengakibatkan strabismus. Strabismus ini
terjadi pada mata yang lebih jelek visusnya. Hal ini disebabkan
karena adanya supresi pada mata tersebut. Pada keadaan ini
penderita sudah terjadi gangguan penglihatan binokulernya.
d. Penglihatan Binokuler
Tujuan dari pengelolaan anisometropia adalah memberikan
penglihatan binokuler terbaik bagi penderita. Syarat penglihatan
binokuler yang normal adalah :
• Visus kedua mata sesudah dikoreksi refraksi anomalinya tidak
terlalu berbeda dan tidak terdapat aniseikonia.
• Otot ekstrinsik kedua bola mata seluruhnya dapat bekerja
sama dengan baik, yakni dapat menggulirkan kedua mata
sehingga kedua sumbu penglihatan menuju pada benda yang
menjadi pusat perhatiannya.
• Susunan saraf pusatnya baik, yakni sanggup mernfusi dua
bayangan yang datang dari kedua retina menjadi satu
bayangan tunggal. Untuk mengetahui adanya supresi atau fusi
pada mata dapat dilakukan dengan pemeriksaan tes worth four
11,12
dot.
3.2.7 Penatalaksanaan
Anisometropia merupakan salah satu gangguan
penglihatan, yaitu suatu keadaan dimana kedua mata terdapat
perbedaan kekuatan refraksi, sehingga penatalaksanaan
anisometropia adalah memperbaiki kekuatan refraksi kedua mata.
Adapun beberapa penatalaksanan baik menggunakan alat maupun
11,12
tindakan, yaitu:
1. Kacamata koreksi bisa mentoleransi sampai maksimum
perbedaan refraksi kedua mata 4d. Lebih dari 4d koreksi
dengan menggunakan kacamata dapat menyebabkan
munculnya diplopia.
2. Lensa kontak disarankan untuk digunakan untuk anisometropia
yangtingkatnya lebih berat.
3. Kacamata aniseikonia, walaupun hasil kliniknya sering
mengecewakan.
Modalitas lainnya dari pengobatan, termasuk diantaranya :
a) Implantasi lensa intraokuler untuk aphakia uniokuler
b) Refractive cornea surgery untuk miopia unilateral yangtinggi,
astigmata, dan hipermetropia
c) Pengangkatan dari lensa kristal jernih untuk miopia unilateral
yang sangat tinggi (operasi fucala)

3.2.8 Komplikasi

Komplikasi pertama yang muncul akibat anisometropia


adalah diplopia, ambliopia dan strabismus sebagai kompensasi
mata terhadap Perbedaan kekuatan refraksi kedua mata dan yang
paling ditakuti adalah kebutaan monokular.
Anisometropia dilaporkan sebagai faktor resiko utama
terjadinya ambliopia. De vries memeriksa 32 pasien anisometropia
tanpa strabismus atau kelainan okular lainnya didapatkan 53%
pasien juga menderita ambliopia. Semua anisometropia harus
dikoreksi, dan ambliopia harus ditatalaksana. Tatalaksana
anisometropia ambliopia dapat meningkatkan fungsi visual baik
11,12
pada anak-anak dan dewasa.

3.3. Lensa kontak


3.3.1. Pemeriksaan pasien dan pemilihan jenis lensa kontak
Informasi spesifik pasien diperlukan untuk menggunakan dan
memilih jenis lensa kontak. Informasi tersebut meliputi: aktivitas sehari-
hari pasien, alasan ingin menggunakan lensa kontak, dan riwayat
penyakit dahulu yang dapat meningkatkan risiko komplikasi
penggunaan lensa kontak. Sebelum pemakaian lensa kontak ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: produksi air mata yang
cukup, refleks mengedip yang normal, epitel kornea yang sehat, tidak
ada radang/infeksi pada segmen anterior mata dan penderita harus
kooperatif.14,15
Materi lensa kontak yang ideal adalah yang memenuhi
kondisi berikut ini:
• Memberikan oksigen yang cukup untuk kornea untuk memenuhi
kebutuhannya
• Transparan secara optik
• Memiliki dimensi yang stabil
• Memiliki wettability (kemampuan membentuk lapisan film air
mata yang utuh pada permukaan lensa) yang baik pada mata
• Memerlukan perawatan yang minimal
• Mudah diproduksi
Lensa kontak ada dua macam yaitu lensa kontak lunak (soft
lens) serta lensa kontak keras (hard lens) yang terdiri atas non gas-
permeable dan rigid gas permeable (RGP). Pengelompokan ini
didasarkan pada bahan penyusunnya. Lensa kontak lunak dapt
disusun oleh silicone hydrogels, hema (hydroksimethylmetacrylate)
dan vinylcopolymer sedangkan lensa kontak keras yang non gas-
permeable disusun dari pmma (polymethylmetacrylate). Lensa kontak
keras sekarang ini terbuat dari bahan gas permeabel seperti siloxane
methacrylate, fluorosiloxane methacrylate, cellulose acetate butyrate
(cab), fluoropolymers, dan alkyl styrene.15
Pemilihan jenis lensa kontak bergantung pada kebutuhan.
Sebagai contoh penderita yang menggunakan lensa kontak hanya untuk
berolah raga lebih baik menggunakan lensa kontak lunak karena
adaptasi lebih cepat. 14,15
3.3.2 Bagian-Bagian Lensa Kontak
Bagian-Bagian Dari Lensa Kontak, yaitu:
• Base Curve (Bc)
Merupakan kurva belakang lensa kontak yang berada pada
bagian depan permukaan mata. Untuk mencapai posisi yang tepat
kurva ini harus sejajar dengan kurva kornea. Dinyatakan dalam
milimeter atau diopter.
• Power
Power lensa berada di depan permukaan lensa. Lensa plus lebih
tebal pada sentral dan lensa minus lebih tebal pada perifer.
• Diameter Lensa Kontak
Panjang lensa yang melalui diameter terluas disebut diameter
lensa. Diameter lensa kontak lunak biasanya 12-15 mm dan lensa
kontak RGP 8-10 mm.
• Kurva Perifer
Merupakan kurva di sekeliling base curve pada permukaan
posterior lensa. Kurva perifer memiliki lebar yang tetap 0.3-0.5 mm,
tergantung dari diameter zona optik dan diameter lensa.
• Zona Optik
Bagian optik sentral yang terdapat pada base curve lensa
dikenal sebagai zona optik. Berada di bagian sentral lensa dimana
terdapat power lensa. Diameter rata-rata zona optik adalah 7-8.5
mm pada lensa kontak rgp dan 7-12 mm pada lensa kontak lunak.
Zona optik harus tepat menutupi pupil untuk menghindari silau.
Diameter zona optik lebih lebar 2 mm dari diameter pupil di
penerangan redup.
• Ketebalan Sentral
Merupakan jarak antara permukaan anterior dan posterior dari
pusat geometrik lensa, biasanya dinyatakan dalam milimeter.
Ketebalan lensa berpengaruh pada transmisi oksigen. 14,15

Gambar 1. Bagian-bagian lensa kontak


Dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology.
Clinical Optics. Section 3. AAO. 2014-2015

Dibandingkan dengan lensa rigid, soft lens diindikasikan pada


beberapa kondisi yang dibutuhkan oleh pasien antara lain:
• Kenyamanan adalah hal yang terpenting pada pasien pengguna lensa
kontak maka lensa kontak lunak menjadi pilihan utama dibandingkan
lensa rgp.
• Ketika pasien menginginkan adaptasi segera dan tidak ingin menunggu
lama untuk proses adaptasi maka kontak lensa lunak menjadi piluhan
utama.
• Saat pasien ingin menggunakan lensa sesekali. Lensa rgp harus
dipakai secara teratur. Jika pasien berhenti pakai selama satu atau dua
minggu dengan lensa rgp. Maka sensasi awal akan muncul kembali dan
pasien perlu memulai kembali adaptasi.
• Pasien yang memiliki kesalahan refraktif yang rendah akan merasa sulit
untuk melakukan penyesuaian dengan lensa rgp.
• Olahragawan yang ingin stabilitas lensa lebih besar seharusnya lensa
lunak yang disarankan.
• Pasien dalam kondisi cuaca yang berdebu dan berangin akan sedikit
memiliki masalah dengan lensa kontak lunak dibandingkan rgp.
• Jika warna mata harus diubah atau opasitas harus disembunyikan
maka pilihan yang dipakai adalah jenis lensa kontak lunak. 14,15

3.3.3. Uji pasang lensa kontak lunak (scl/soft contact lens)


Pada sebagian besar pasien berpikir bahwa pemasangan lensa
kontak lunak tidak memerlukan keterampilan yang tepat. Padahal sangat
dibutuhkan suatu pengetahuan untuk mempelajari karakteristik lensa dan
teknik pemasangan agar komplikasi karena pemasangan yang tidak tepat
dapat dihindari. Tujuan uji pasang lensa kontak adalah untuk kepuasan
pasien, mencapai tajam penglihatan baik, yang tidak fluktuasi dengan
kedipan atau gerakan mata. Uji pasang lensa kontak dikatakan baik jika
posisi lensa di sentral dan bergerak sedikit saat berkedip.
Untuk memulai pemakaian lensa kontak lunak harus memahami
faktor-faktor dasar, yang mana mempengaruhi kecocokan lensa pada
mata.
1. Lensa lunak memiliki modulus elastisitas yang sangat rendah dan
sebagainya tirai kornea, karena yang umumnya terlihat itu kurva dasar
universal cocok untuk sebagian besar kornea. Lensa tipis adalah juga
lebih fleksibel, sehingga mereka bergerak lebih minimal dibandingkan
dari lensa yang lebih tebal.
2. Metode manufaktur menciptakan perbedaan dalam pemasangan jenis
lensa kontak. Kelengkungan identik tetapi metode yang berbeda akan
menyebabkan perbedaan tingkat pergerakan.
3. Pemasangan juga tergantung pada kadar air. Kadar air yang lebih tinggi
pada komponen lensa akan membuat lensa lebih fleksibel sehingga
membuat pergerakan lensa lebih minimal dibandingkan lensa dengan
kadar air rendah.
4. Pembacaan keratometri tidak pernah menjadi alat prediksi yang
sebenarnya pada bentuk kornea dan nilai-nilai sag dari kornea.
Demikian pasien dengan pembacaan k yang sama dapat memiliki
parameter lensa yang berbeda.
5. Gerakan pemasangan lensa juga tergantung pada kekuatan dan posisi
kelopak mata.
6. Lapisan air mata juga dapat mengubah karakteristik pemasangan.
Lensa cenderung mengalami dehidrasi pada mata yang kering
sehingga akan sedikit bergerak. Ionisitas juga mengubah pemasangan,
air mata hipertonik menyebabkan lensa dehidrasi dan karenanya
bergerak lebih sedikit.
Mempertimbangkan semua faktor di atas, maka penggunaan lensa
kontak dapat digunakan oleh pasien dengan optimal.16
Prosedur pada uji pasang lensa kontak lunak:
1. Lakukan pemeriksaan awal mata pada slit lamp biomicrosope
2. Tentukan pasien cocok atau tidak untuk soft lens
3. Lakukan refraksi yang akurat. Penambahan silinder seharusnya
tidak lebih dari 0,75 dioptri atau dalam rasio 4: 1 (bulat daya: daya
silinder)
4. Ukur kelengkungan kornea dengan keratometer. Meskipun
keratometer bukanlah prediktor sejati dari basis kurva lensa lunak
5. Ukur hvid. Lensa yang dipilih harus lebih besar dari hvid.
6. Lakukan pemeriksaan rutin lainnya seperti lapisan air mata
7. Pilih jenis lensa untuk mata, kadar air, bahan, ketebalan, modalitas,
dan lainnya.
8. Pemilihan lensa uji coba.
Lensa kontak lunak memiliki parameter dasar. Parameter lensa
uji coba, dipilih pada kriteria berikut :
a. Kurva dasar
b. Kekuatan
c. Diameter
d. Jenis lensa.
Adapun beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum
melakukan uji coba pemakaian kontak lensa lunak
a. Pengukuran topografi kornea
Hasil pemeriksaan menunjukkan gambaran kelengkungan dan
ketinggian kornea.15,16
b. Pengukuran diameter kornea
Diameter kornea diperoleh dengan mengukur jarak dari limbus ke
limbus pada posisi vertikal /vertical visible iris diameter(vvid) dan
horizontal / horizontal visible iris diameter (hvid) yang dinyatakan dalam
milimeter. Hvid penting untuk menentukan diameter total lensa kontak
lunak. Diameter lensa yang dipilih adalah diameternya 2 mm lebih
besar dari ukuran hvid.16
c. Pengukuran ukuran pupil
Ukuran pupil penting untuk menentukan ukuran zona optik lensa
kontak pengukuran pupil dilakukan pada rata-rata pencahayaan
rendah. Ukuran zona optik harus lebih besar dibandingkan ukuran pupil.
d. Penilaian tonus kelopak mata
Tidak ada instrumen khusus untuk mengukur tonus kelopak mata.
Metode subjektif untuk mengukur tonus kelopak mata adalah dengan
meminta pasien melihat ke bawah dan membalik kelopak matanya.
Penilaian didefinisikan sebagai kaku, medium, dan kendur.
e. Penilaian laju berkedip
Penilaian normal laju berkedip (15 kali permenit) adalah penting
untuk keamanan pemakai lensa kontak. Selain itu kualitas kedipan
apakah komplit atau sebagian perlu dicatat. Kedipan yang tidak komplit
menyebabkan gangguan lapisan air mata dan dapat mengeringkan
kornea.16
f. Penilaian lapisan air mata
Lapisan air mata penting untuk memperkirakan kecocokan
pemakai lensa kontak. Pemeriksaan lapisan air mata yang dilakukan:
• Tes schirmer
Tes ini berguna untuk menentukan apakah produksi air
mata cukup untuk membasahi mata. Pemeriksaan dengan
menggunakan kertas filter whatman 41. Pasien diminta menutup
mata untuk mengurangi efek berkedip. Area yang basah diukur
setelah 5 menit. Apabila filter basah 10 – 25 mm maka sekresi
lakrimal dinilai normal.16
• Tes break up time
Tes break up time merupakan suatu pemeriksaan untuk
menilai kestabilan film air mata yang melindungi kornea, dimana
diukur kekeringan kornea sesudah kedipan pada suatu waktu
tertentu. Dengan meneteskan fluoresein kemudian disinari
dengan filter kobalt biru pada slitlamp dan diukur timbulnya bercak
kering dalam detik. Bercak kering yang timbul kurang dari 10 detik
dianggap abnormal. 16
g. Penilaian dan pengukuran parameter lensa kontak lunak
Dilakukan penilaian base curve dan power lensa kontak.
Pengukuran base curve didasarkan dari hasil keratometri. Power
lensa kontak harus disesuaikan dengan vertex distance jika saat
koreksi didapatkan >4 D.16
Tabel 1. Tabel vertex distance
h. Dilakukan overrefraksi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk penilaian subjektif pasien terkait
hasil koreksi dengan lensa kontak lunak yang telah dilakukan.17,18
pengukuran parameter lensa kontak lunak
• Base curve
Kurva dasar dipilih berdasarkan keratometri. Itu desain modern
mungkin belum benar-benar memprediksi kurva dasar ini adalah
satu - satunya cara logis untuk memilih lensa uji coba pertama untuk
mata. Kurva dasar berkisar dari 8,1 hingga 9,1 mm diamana
langkah-langkah untuk perhitungan adalah18
1. Ukur kelengkungan kornea = konversi dalam milimeter (lihat
grafik konversi)
2. Tambahkan 1 mm ke rata-rata k
Misalnya, km = 43.0 @ 180 /43.50 @ 90
= 7.85 / 7.76
= 7.80
Tambahkan 1 hingga 7,80 = 8,80 mm. Ini adalah kurva dasar dari
lensa percobaan yang diperlukan untuk memulai.
3. Selain membaca k. Bergantung pada pedoman pabrik dalam
pemasangan memandu dalam pemilihan lensa uji coba.
4. Pilih lensa yang paling dekat dengan bc yang diperlukan.

• Power
Lensa yang dipilih harus memiliki kekuatan sedekat mungkin
dengan kekuatan kacamata, ada beberapa langkah dasar untuk
menghitung daya yang diharapkan dari lensa kontak lunak.
Kekuatan lensa kacamata harus diatas 4d karena jika dibawah ini
maka selisih power lensa kontak dengan kacamata terlalu kecil jadi
dapat diabaikan. Pengkonversian power dapat dilihat dari tabel jaraj
vertex. 19
• Water content (kadar air)
Kadar air pada lensa lunak diklasifikasi dalam beberapa jenis
yaitu kadar air rendah (38% atau kurang), sedang (38% hingga
45%), atau tinggi (55% atau lebih besar). Kadar air adalah faktor
dalam kualifikasi lensa untuk pemakaian sehari-hari atau
penggunaan dalam jangka panjang. Kadar air juga merupakan faktor
penting dalam keluhan pasien yang berkaitan dengan “kering gejala
mata. Lensa kontak lunak telah terbukti kehilangan sekitar 6%
hingga 10% dari kadar airnya dalam enam jam pertama dipakai.
Saat lensa mengalami dehidrasi, lensa akan cenderung menajam
dan mungkin menjadi lebih kencang di mata. Ketat mungkin terkait
dengan keluhan pasien tambahan pelepasan lensa yang sulit,
penglihatan kabur, dan mata merah. Sehingga kebutuhan air pada
jenis lensa kontak lunak mengambil asupan air dari lapisan air
mata.19
Kalsifikasi fda dari material hydrogel terbagi dalam 4 grup
yaitu:
1. Grup 1: kadar air rendah (<50%) non ionic
2. Grup 2: kadar air rendah (<50%) ionic
3. Grup 3: kadar air tinggi (>50%) non ionic
4. Grup 4: kadar air tinggi (>50%) ionic

• DK (Diffusion Coefisien)
Karena kornea menerima sebagian besar oksigen dari
atmosfer, maka transmisibilitas oksigen sesuai dengan lensa kontak
satu sifat yang paling penting. Permeabilitas oksigen adalah
kemampuan suatu material lensa kontak untuk oksigen menembus
material dimana digambarkan sebagai dk, di mana d adalah
kemampuan material menembus lensa kontak dan k adalah
kelarutan oksigen pada bahan material. Tingkat sensitivitas adalah
ukuran seberapa cepat oksigen dapat bergerak melalui material,
sedangkan kelarutan adalah ukuran berapa banyak oksigen yang
bisa ditampung material. Permeabilitas oksigen permeabilitas
oksigen diatur oleh ewc dalam hidrogel. Hubungan ini didasarkan
pada kemampuan oksigen untuk lewat melalui air ketimbang melalui
materialnya sendiri. Telah terbukti terdapat hubungan antara ewc
dan permeabilitas oksigen. Untuk menghitung jumlah oksigen yang
akan bergerak dari anterior ke posterior lensa, maka ditentukan oleh
oksigen permeabilitas (dk) dibagi dengan ketebalan lensa (t).20
• Penilaian Pemasangan Lensa Kontak
Penggunaan flourescein sangat penting dalam fitting lensa
kontak lunak. Dasar dari penilaian pada gambaran fluorescein
adalah bila tidak ada warna hijau dalam pewarnaan flourescein
daerah yang diwarnai akan tampak berwarna hitam. Reflek hitam
ini diindikasikan bahwa daerah tersebut tidak ada lapisan air mata
yang mengandung fluorescein berarti pada tempat lensa kontak
menempel langsung pada kornea. Sebaliknya tempat lensa kontak
tidak menempel pada kornea ruang ini akan teisi oleh flourescein.
Pola flourescein yang ideal cendrung untuk sejajar dimana kurva
posterior lensa paralel dengan kurvatura kornea.19,20
• Pergerakan
Pergerakan lensa penting pada uji pasang kontak lensa lunak
karena memfasilitasi perubahan air mata, mengangkat debris di
bawah lensa, dan pertukaran oksigen selama berkedip. Posisi ideal
saat bergerak adalah 0.2 – 0.4 mm saat berkedip. Pergerakan yang
halus menandakan posisi yang bagus. Lensa posisi ketat akan
bergerak sedikit, menyebabkan stagnasi debris di bawah lensa dan
mata merah. Lensa yang bergerak berlebihan berada pada posisi
longgar dan menyebabkan ketidaknyamanan pemakai. 19,20
• Sentrasi
Lensa pada posisi sentral berada pada kornea pada semua
posisi gerakan. Zona optik menutupi aksis visual atau seluruh
bagian pupil. Lensa yang tidak sentral akan menyentuh konjungtiva
dan menyebabkan rasa tidak nyaman.19
3.3.4 Kontra Indikasi
1. Inflamasi Segmen Anterior yang Aktif
Inflamasi pada kelopak mata, konjungtiva, kornea atau traktus
uvea anterior.
• Kondisi kelopak mata seperti skuomosa atau blefaritis
rosasea, kalazion dan penyakit ini harus diatasi dulu
sebelum pemberian lensa kontak
• Konjungtiva bulbi seperti adanya folikel atau papil pada
konjungtiva tarsal. Adanya pterigium, namun untuk
ptrerigium yang kecil tidak melewati limbus dapat
dipertimbangkan untuk pemakaian lensa kontak.
2. Riwayat Baru atau Terjadinya Erosi Kornea atau Rekuren
• Parut dari trakoma kornea, keratitis intersisial lama
3. Distrofi Membran Dasar Anterior
4. Dry Eye
• Sekresi air mata yang kurang pada keratokonjungtifitis sicca
dapat menyebabkan BUT yang cepat
5. Bleb Setelah Operasi Glaukoma.
• Gerakan lensa kontak dapat terjadi saat pasien mengedip
sehingga dapat megenai blep sehingga blep dapat pecah.
Glaukoma sendiri bukan bukan suatu pertimbangan yang
penting untuk pemakaian lensa kontak teknik khusus dapat
diambil apabila adanya drainase blep.21
BAB IV

DISKUSI

Seorang perempuan, berusia 16 tahun, pekerjaan sebagai siswa,


beralamat di dalam kota, datang berobat ke poli refraksi RSKM, dengan
keluhan pandangan kabur sejak 6 tahun yang lalu, Keluhan ini dirasakan
ketika melihat benda yang jauh pada kedua mata dan semakin memberat
secara perlahan. Keluhan disertai dengan pandangan berbayang ketika
melihat tulisan dan harus memicingkan matanya agar penglihatan lebih
jelas. Sekarang pasien sedang praktek magang di hotel yang tidak
memperbolehkan pasien untuk menggunakan kacamata, sehingga pasien
dirujuk dari puskesmas untuk dibuatkan kontak lensa. Riwayat
menggunakan kaca mata sejak SMP kelas 1.
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan visus dasar mata kanan
4/60 PH 6/18 dan visus dasar mata kiri 6/60 PH 6/12 dan kedudukan bola
mata didapatkan hasil ortoforia. Pada pemeriksaan segmen posterior mata
kanan didapatkan gambaran papil yang lonjong, batas tegas, myopic
crescent (+), warna merah normal, C/D ratio 0,4, A:V= 2:3 sedangkan pada
mata kiri gambaran papil yang lonjong, batas tegas, tidak terdapat myopic
crescent ,warna merah normal, C/D ratio 0,3, A:V= 2:3 , gambaran retina
didapatkan kontur pembuluh darah relatif baik dan didapatkan gambaran
tigroid terutama pada mata kanan, tidak ditemukan perdarahan pada retina.
Pada pemeriksaan refraksi objektif dengan menggunakan
autorefraktometer didapatkan hasil mata kanan S-7.00 C-0.5 X20 dan hasil
pada mata kiri S-3.00 C-0.25.00 X80 tanpa agen siklopegik. Kemudian
pada pemeriksaan refraksi subjektif didapatkan status refraksi mata kanan
S-7.00 dengan BCVA 6/6 dan mata kiri S- S-3.00 dengan BCVA 6/6

Dari riwayat anamnesis dan pemeriksaan tersebut, didapatkan


informasi yang mendukung diagnosa high myopian OD + Moderate myopia
OS disertai dengan anisometropia. Pada anamnesis diketahui bahwa
pasien kesusahan ketika melihat jauh dan harus memicingkan matanya
agar menjadi sedikit lebih jelas, pasien mengaku sejak kecil memang lebih
suka bermain dengan gadget seharian dengan durasi > 6jam per hari dan
jarang melakukan aktivitas outdoor. Selain itu akibat dampak pandemi
pasien banyak melakukan aktivitas near working dalam jangka waktu yang
cukup lama, seperti penggunaan laptop. Hal ini didukung dengan
pemeriksaan refraksi objektif dan subjektif yang didapatkan pada pasien ini
yang merupakan salah satu faktor resiko terjadinya myopia. Berdasarkan
karakteristik kelainan refraksi miopia pasien dan usia pasien yang tergolong
anak-anak ini selaras dengan pendapat Ang, Marcus dan Wong, Tien Y.
yang menyebutkan bahwa prevalensi kelainan miopia dan miopia tinggi
pada anak-anak cukup tinggi pada negara-negara berkembang di Asia.1,2
Temuan lain yang mendukung kelainan refraksi miopia tinggi pada
diagnosis pasien ini diidentifikasi dengan menggunakan pemeriksaan
penunjang tambahan ultrasonografi (USG). Pada pemeriksaan
ultrasonografi transpalpebral didapatkan data panjang aksis visual bola
mata pada kedua mata pasien ini tergolong tinggi. Pada pemeriksaan USG
tersebut didapatkan panjang aksis visual OD pasien sebesar 26,70 mm dan
aksis visual OS sebesar 25 mm. Menurut literatur, panjang aksis visual bola
mata rata-rata orang normal adalah sekitar 23-25 mm sehingga pada aksis
visual bola mata pasien ini tergolong memanjang terutama mata kanan.
Berdasarkan hal tersebut miopia pada pasien ini digolongkan sebagai
miopia aksial dan tipe miopia lainnya seperti miopia kurvatura dan miopia
refraktif dapat disingkirkan. 2,3
Kondisi kelainan refraksi miopia tinggi ini dapat berdampak pada
berbagai struktur bola mata pasien. Perubahan-perubahan yang terjadi
tergantung pada jenis miopianya, seperti pada kornea dapat ditemukan
peningkatan kekuatan kornea oleh karena semakin curamnya radius dari
kurvatura kornea, penipisan lensa yang relatif sehingga menyebabkan bilik
mata depan yang menjadi semakin dalam, perubahan bentuk dari
kedalaman ruang vitreus yang mengikuti pemanjangan dari aksis visual dari
bola mata, penipisan lapisan koroid pada mata yang juga terjadi pada
sklera. Penipisan peri-papiler sklera ini berdampak pada penipisan
distribusi jaringan sklera di sekitar temporal dari diskus optikus, sehingga
pada pasien dapat ditemukan gambaran diskus yang lonjong dan juga
myopic crescent dimana pada area tersebut dapat terlihat sklera secara
langsung. Selanjutnya pasien dengan miopia yang tinggi lebih rentan terjadi
kerusakan glaukomatosa pada struktur tersebut. Kondisi-kondisi tersebut
bila terdapat progresifitas lebih lanjut dapat meningkatkan risiko ke arah
miopia patologis.4,5
7
Pilihan terapi miopia beragam mulai non-operatif hingga operatif.
Prinsip terkait perkembangan miopia adalah mencegah perkembangan
miopia hingga mengurangi progresivitasnya. Hal tersebut dicapai oleh
beberapa pilihan seperti gaya hidup, pendekatan farmakologis,penggunaan
alat optik hingga pembedahan. Gaya hidup seperti memperbanyak waktu
dengan melakukan akvitas di luar ruangan yang disugestikan sebagai faktor
protektif. Selain itu faktor lain seperti rendahnya konsentrasi 25-
hydroxyvitamin D juga dikaitkan dengan pemanjangan aksial bola mata dan
meningkatkan risiko miopia. Pencahayaan yang cukup juga bisa membantu
mengurangi progresivitas miopia. Penggunaan kacamata dengan
undercorrection tidak dianjurkan karena sedikit meningkatkan
perkembangan miopia dan tidak memperlambat perkembangan miopia
seperti yang diperkirakan sebelumnya. Kacamata bifokal atau lensa
tambahan progresif versus lensa penglihatan tunggal (SVL) menghasilkan
efek kecil dalam memperlambat perkembangan miopia. Studi yang
mengevaluasi lensa koreksi defokus perifer yang berbeda versus SVL
melaporkan hasil yang tidak konsisten untuk kesalahan bias dan hasil
panjang aksial meskipun hasil untuk kacamata DIMS menjanjikan. Terkait
penggunaan agen farmakologi, antimuskarinik seperti tetes mata atropin
atau gel mata pirenzepin dapat memperlambat perkembangan miopia.
Pemanjangan aksial lebih rendah untuk anak-anak yang diobati dengan
atropin daripada mereka yang diobati dengan plasebo. Pada kasus Miopia
tinggi juga dapat dilakukan koreksi dengan LASEK (Laser Epithelial
Keratomileusis), dimana dilakukan untuk koreksi miopia -6.00 dioptri,
umumnya sampai -8.00 dioptri. Kekurangan dari prosedur ini adalah nyeri
paska operasi. Selain itu dapat dilakukan LASIK (Laser In Situ
Keratomileusis) dimana dilakukan untuk koreksi miopia -8.00 dioptri,
umumnya sampai -10.0 dioptri. Komplikasi post operasi adalah dry eye,
sebab banyak saraf kornea yang terpotong. Kasus miopi yang berat bisa
dilakukan tindakan operasi berupa Clear Lens Extraction (CLE) yang diikuti
penanaman lensa intraokuler.8,9
Anisometropia merupakan faktor resiko yang penting dalam
menyebabkan ambliopia. Anisometropia dapat menyebabkan aniseikonia
yang ditandai dengan perbedaan ukuran bayangan pada kedua mata. Salah
satu cara untuk mengurangi aniseikonia dilakukan dengan cara mengurangi
vertex distance. Penggunaan kacamata merupakan alternatif yang mudah
tapi memiliki beberapa kerugian untuk pasien anisometropia diantaranya
adalah menginduksi terjadinya efek prisma saat pergerakan bola mata,
memberikan efek kecilnya mata dan kecilnya bayangan yang jatuh di
retina, mencegah terjadinya fusi dan mengakibatkan terjadinya
supresi.10,11
Penggunaan lensa kontak dapat mengurangi kerugian
penggunaan kacamata, tapi compliance dan parameter lensa yang
tersedia kadang menjadi kendala. Untuk menghindari terjadinya aniseikonia
dapat menggunakan lensa kontak, dimana pasien dengan astigmatisme
dapat digunakan lensa kontak torik.10,11
Dibandingkan dengan lensa Rigid, lensa kontak lunak diindikasikan
pada beberapa kondisi yang dibutuhkan oleh pasien antara lain
kenyamanan adalah hal yang terpenting pada pasien pengguna lensa
kontak maka lensa kontak lunak menjadi pilihan utama dibandingkan lensa
RGP, ketika pasien menginginkan adaptasi segera dan tidak ingin
menunggu lama untuk proses adaptasi maka kontak lensa lunak menjadi
pilihan utama, saat pasien ingin menggunakan lensa sesekali, terutama
ketika pasien sedang magang , karena tidak diperbolehkan menggunakan
kacamata. Apabila lensa RGP harus dipakai secara teratur. Jika pasien
berhenti pakai selama satu atau dua minggu dengan lensa RGP. Maka
sensasi awal akan muncul kembali dan pasien perlu memulai kembali
adaptasi, pasien yang memiliki kesalahan refraktif yang rendah akan
merasa sulit untuk melakukan penyesuaian dengan lensa RGP,
olahragawan yang ingin stabilitas lensa lebih besar seharusnya lensa lunak
yang disarankan pasien dalam kondisi cuaca yang berdebu dan berangin
akan sedikit memiliki masalah dengan lensa kontak lunak dibandingkan
RGP. Jika warna mata harus diubah atau opasitas harus disembunyikan
maka pilihan yang dipakai adalah jenis lensa kontak lunak. Terdapat
beberapa kriteria yang terpenuhi dan diinginkan oleh pasien sesuai dengan
indikasi penggunaan lensa kontak lunak, sehingga terapi yang kita gunakan
adalah jenis lensa kontak lunak.15,16
Terdapat beberapa prosedur sebelum dilakukan uji pasang lensa
kotak lunak. Pada pemeriksaan tambahan didapatkan hasil pengukuran
horizontal visible iris diameter (HVID) normal yaitu 11 mm, ukuran pupil
kedua mata dalam batas normal, saat penerangan redup sebesar 6 mm
dan saat penerangan cukup 3 mm. Ukuran pupil diperiksa dua kali, pertama
dalam kamar dengan penerangan redup dan kedua di kamar dengan
penerangan cukup. Ukuran pupil pada penerangan redup adalah penting
ketika memilih zona optik lensa kontak. Jika zona optik terlalu kecil akan
ada masalah dengan ketajaman penglihatan. Untuk menjamin ketajaman
penglihatan yang baik, zona optik harus cukup besar untuk menutupi pupil
pada pencahayaan yang cukup maupun kurang. Zona optik biasanya lebih
besar 2 mm daripada ukuran pupil pada kondisi penerangan redup. Tonus
kelopak mata diukur dengan membalikan dan kemudian didefinisikan
sebagai kendur, medium, atau kaku. Pada pasien ini tonus kelopak mata
kanan dan kiri medium.19,21
Untuk menentukan keadaan air mata pada penderita ini dilakukan
pemeriksaan schirmer’s test dan break up time. Schirmer’s test merupakan
suatu pemeriksaan fungsi sekresi sistem lakrimal untuk menentukan
apakah produksi air mata cukup untuk membasahi mata. Break Up Time
merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai kestabilan air mata yang
melindungi kornea, dimana diukur kekeringan kornea sesudah suatu
kedipan pada suatu waktu tertentu. Dengan meneteskan fluoresein
kemudian disinari dengan filter kobalt biru pada slitlamp dan diukur dalam
detik.15,19 Pada pasien ini didapatkan laju berkedip normal yaitu 20 x/menit
pada mata kanan. Hasil tes schirmer’s mata kanan 13 mm dan mata kiri 12
mm dengan hasil break up time kedua mata 12 detik. Diperlukan teknik
khusus dalam menentukan jenis lensa kontak yang digunakan mulai dari
kriteria material, water content yang rendah dengan nilai DK yang tinggi
sehingga tetap dapat menjaga kestabilan kornea. 19,21

Pemeriksaan keratometri
OD OS
K1 : 7,58 D : 44.50 K1 : 7.66 D : 45.25
K2 : 7.35 D : 46.00 K2 : 7.37 D : 46.00
AVG : 7.46 D : 45.25 AVG : 7.46 D : 45.25

Berdasarkan hasil keratometri, didapatkan pada mata kanan K1:


44,50 D (7,58 mm) dan K2 : 46,00 D (7,35mm). Pada mata kiri K1: 45,25 D
(7,66 mm) dan K2: 46.00 D (7,37mm) Pemeriksaan keratometri penting
untuk pemilihan base curve pada lensa kontak. Set uji pasang lensa kontak
lunak yang tersedia dengan Ø 14 mm dengan ukuran base curve 8.60 mm.
Base curve mata kanan yang digunakan pada pasien ini adalah 8,46 mm.
Setelah uji pasang lensa kontak digunakan ukuran base curve 8,60 mm
didapatkan hasil yang masih ideal fit. Pada mata kiri base curve yang
digunakan pada pasien ini adalah 8,52 Setelah uji pasang lensa kontak
digunakan ukuran base curve 8,60 mm didapatkan hasil yang ideal fit.
Dikarenakan pada pasien tidak diperbolehkan menggunakan
kacamata, maka dipesankan lensa kontak yang sesuai dengan koreksi
mata pasien. Sehingga dibuatkan resep kontak lensa lunak mata kanan
dengan pengukuran S -6.50.00 D BC 8,60 mm Ø 14 mm dan mata kiri
dengan pengukuran S-3.00 BC 8,60 mm Ø 14 . Ketika di koreksi kembali
dengan menggunakan lensa kontak lunak dengan ukuran yang diresepkan
didapatkan visus pada mata kanan 6/6 , sedangkan pada visus pada mata
kiri 6/6.
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini bonam karena tidak
mengancam nyawa, quo ad fungsionam dan sanationam pada pasien ini
adalah bonam selama pemakaian lensa kontak lunak sesuai maka dapat
menekan progresivitas myopia pada pasien ini.
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan suatu kasus high myopia OD moderate myopia OS +


Anisometropia pada seorang pasien Perempuan yang datang berobat ke RSKM
dengan keluhan pandangan kedua mata kabur. Keluhan sudah dirasakan sejak 6 tahun
lalu, dibawakan berobat sekarang dikarenakan pasien tidak diperbolekan
menggunakan kacamata pada saat magang, sehingga pasien meminta untuk
dibuatkan lensa kontak. Dari pemeriksaan didapatkan high myopia pada mata kanan
dan moderate myopia kiri dimana disertai dengan anisometropia
Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu dapat berupa tindakan non invasif
maupun dilakukan bedah refraktif. Atas pertimbangan pasien memilih tindakan non
invasif yaitu dengan menggunakan lensa kontak lunak. Prognosis quo ad vitam,
fungsionam, dan sanationam pada pasien ini adalah bonam.

Anda mungkin juga menyukai