Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GLAUKOMA

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 2
Dosen Pengajar : Kusniawati, S.Kep,Ners., M.Kep.

Disusun Oleh :
KELOMPOK 5

Gabrella Ainnun (P27901117056)


Indira Mulya Ranti (P27901117060)
Winda Aulia Rahma Safira (P27901117086)

TINGKAT 3B/ SEMESTER 5

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANTEN


JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik
dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Keperawatan Medikal
Bedah 2 dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GLAUKOMA” dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menuntut
ilmu. Kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Kusniawati, S.Kep,Ners., M.Kep. selaku Dosen Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah 2.
2. Teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga ke
depannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang.Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 29 Juli 2019

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah .............................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 4
2.1 Pengertian Glaukoma ..................................................................... 4
2.2 Etiologi Glaukoma .......................................................................... 5
2.3 Klasifikasi Glaukoma ...................................................................... 5
2.4 Manifestasi Klinis ............................................................................ 8
2.5 Patofisiologi .................................................................................... 9
2.6 Komplikasi Glaukoma .................................................................... 9
2.7 Pemeriksaan Diagnostik ................................................................... 10
2.8 Penatalaksanaan Glaukoma.............................................................. 12
2.9 Perawatan Pre dan Post Operasi Glaukoma ..................................... 15
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN .................................... 17
3.1 Pengkajian ....................................................................................... 17
3.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................... 19
3.3 Intervensi Keperawatan ................................................................... 20
BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 26
4.1 Kesimpulan ..................................................................................... 26
4.2 Saran ................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting untuk kehidupan manusia.
Terlebih dengan kemajuan teknologi, indra penglihatan yang baik merupakan kebutuhan yang
sangat diperlukan. Apalagi dengan sempitnya lapangan pekerjaan, hanya orang-orang
sempurna dengan indranya saja yang mendapat kesempatan kerja termasuk penglihatannya.
Mata merupakan anggota badan yang sangat peka. Trauma seperti debu sekecil apapun yang
masuk kedalam mata, sudah cukup untuk menimbulkangangguan yang hebat, apabila keadaan
ini diabaikan, dapat menimbulkan penyakit yang sangat gawat.
Salah satu penyakitnya yaitu glaukoma. Glaukoma merupakan salah satu penyebab
utama kebutaan di seluruh dunia, khususnya di Asia. Glaukoma dapat merusak penglihatan
dengan perlahan sehingga seringkali penderita tidak menyadari kerusakan tersebut sampai
akhirnya kerusakan yang terjadi sudah pada tahap lanjut. Hal itu tentu sangat meresahkan.
Glaukoma disebut sebagai pencuri penglihatan karena sering berkembang tanpa gejala yang
nyata. Penderita glaukoma sering tidak menyadari adanya gangguan penglihatan sampai terjadi
kerusakan penglihatan yang sudah lanjut. Diperkirakan 50% penderita glaukoma tidak
menyadari mereka menderita penyakit tersebut.
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan yang ketiga di Indonesia. Terdapat
sejumlah 0,40% penderita glaucoma di Indonesia yang mengakibatkan kebutaan pada 0,16
% penduduk. Prevalensi penyakit mata utama di Indonesia adalah kelainan refraksi 24,72%,
pterigium 8,79 %, katarak 7,40%, konjungtivitis 1,74%, parut kornea 0,34%, glaucoma
0,40 %, retinopati 0,17%, strabismus 0,12%. Prevalensi dan penyebab buta kedua mata
adalah lensa 1,02%, glaucoma dan saraf kedua 0,16%, kelainan refraksi 0,11%, retina
0,09%, kornea 0,06%, lain-lain 0,03%, prevalensi total 1,47% (SidhartaIlyas, 2004).
Karena kerusakan yang disebabkan oleh glaukoma tidak dapat diperbaiki, maka deteksi,
diagnosa dan penanganan harus dilakukan sedini mungkin. Maka kami menyarankan untuk
dilakukan check-up rutin pada mata anda sejak usia muda. Skrining glaukoma terutama sangat

1
penting pada pasien dengan riwayat keluarga memiliki glaukoma, berusia diatas 40 tahun
ataupun mengidap penyakit diabetes melitus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Glaukoma ?
2. Bagaimana etiologi dari glaukoma ?
3. Apa saja klasifikasi dari glaukoma ?
4. Apa saja manifestasi klinis yang dapat timbul dari glaukoma ?
5. Bagaimana patofisiologi pada glaukoma ?
6. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi dari glaukoma ?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan glaukoma ?
8. Bagaimana penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan glaukoma ?
9. Bagaimana tindakan perawatan pre operasi dan post operasi pada pasien dengan glaukoma
?
10. Bagaimana asuhan keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien dengan glaukoma ?

1.3 Tujuan Makalah


1. Memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 2.
2. Mengetahui apa pengertian dari Glaukoma.
3. Mengetahui bagaimana etiologi dari glaukoma.
4. Mengetahui apa saja klasifikasi dari glaukoma.
5. Mengetahui apa saja manifestasi klinis yang dapat timbul dari glaukoma.
6. Mengetahui bagaimana patofisiologi pada glaukoma.
7. Mengetahui apa saja komplikasi yang dapat terjadi dari glaukoma.
8. Mengetahui apa saja pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan
glaukoma.
9. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
glaukoma.
10. Mengetahui bagaimana tindakan perawatan pre operasi dan post operasi pada pasien
dengan glaukoma.

2
11. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien dengan
glaukoma.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Memahami Konsep tentang penyakit Glaukoma.
2. Memahami pengertian dari Glaukoma.
3. Memahami etiologi dari glaukoma.
4. Memahami klasifikasi dari glaukoma.
5. Memahami manifestasi klinis yang dapat timbul dari glaukoma.
6. Memahami patofisiologi pada glaukoma.
7. Memahami komplikasi yang dapat terjadi dari glaukoma.
8. Memahami pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan glaukoma.
9. Memahami penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan glaukoma.
10. Memahami tindakan perawatan pre operasi dan post operasi pada pasien dengan glaukoma.
11. Memahami asuhan keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien dengan glaukoma.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Glaucoma


Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Kelainan mata glaukoma
ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi saraf optikus, dan menciutnya
tekanan di dalam bola mata meningkat, sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus dan
menyebabkan penurunan fungsi pengelihatan (Mayenru Dwindra, 2009)
Glaukoma adalah gangguan okular yang ditandai dengan perubahan pada pusat saraf
optik (lempeng optik) dan kehilangan sensitivitas visual dan jarak pandang. (Elin, 2009.
Dalam buku Nanda Nic-Noc 2015).
Glaukoma adalah gangguan penglihatan yang disebabkan oleh meningkatnya
tekanan bola mata. Meningkatnya tekanan bola mata ini disebabkan oleh ketidak seimbangan
antara produksi cairan dan pembuangan cairan dalam bola mata dan tekanan yang tinggi dalam
bola mata bisa merusak jaringan-jaringan syaraf halus yang ada di retina dan dibelakang bola
mata.
Glaukoma adalah sekelompok gangguan yang melibatkan beberapa perubahan atau
gejala patologis yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) dengan segala
akibatnya. Saat peningkatan TIO lebih besar daripada toleransi jaringan, kerusakan terjadi
pada sel ganglion retina, merusak diskus optikus, menyebabkan atrofi syaraf optik dan
hilangnya pandangan perifer. Glaukoma dapat timbul secara perlahan dan menyebabkan
hilangnya pandangan ireversibel tanpa timbulnya gejala lain yang nyata atau dapat timbul
secara tiba-tiba dan menyebabkan kebutaan dalam beberapa jam.

2.2 Etiologi Glaukoma


Penyebab dari glaukoma adalah sebagai berikut (Sidharta Ilyas, 2004)
a. Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan cilliary.
b. Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau dicelah pupil.

4
Faktor-faktor resiko dari glaukoma adalah (Bahtiar Latif, 2009)
a. Umur
Resiko glaukoma bertambah tinggi dengan bertambahnya usia. Terdapat 2% dari populasi
usia 40 tahun yang terkena glaukoma. Angka ini akan bertambah dengan bertambahnya
usia.
b. Riwayat anggota keluarga yang terkena glaukoma
Untuk glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita glaukoma mempunyai resiko
6 kali lebih besar untuk terkena glaukoma. Resiko terbesar adalah kakak adik kemudian
hubungan orang tua dan anak-anak.
c. Tekanan bola mata
Tekanan bola mata diatas 21 mmHg beresiko tinggi terkena glaukoma. Meskipun untuk
sebagian individu, tekanan bola mata yang lebih rendah sudah dapat merusak saraf optik.
Untuk mengukur tekanan bola mata dapat dilakukan dirumah sakit mata atau pada dokter
spesialis mata.
d. Obat-obatan
Pemakai steroid secara rutin misalnya pemakai obat tetes mata yang mengandung steroid
yang tidak dikontrol oleh dokter, obat inhaler untuk penderita asthma, obat steroid untuk
radang sendi, dan pemakai obat secara rutin lainnya.

2.3 Klasifikasi Glaukoma


Klasifikasi dari Glaukoma dapat terbagi menjadi tipe primer, sekunder dan kongenital (sidarta
ilias,2003):
1. Glaukoma Primer
Glaukoma jenis ini merupakan bentuk yang paling sering terjadi, struktur yang terlibat
dalam sirkulasi dan/atau reabsorpsi aqueous humor mengalami perubahan patologi
langsung. Glaukoma ini terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:
a. Glaukoma sudut terbuka (Glaukoma kronik/galukoma simpleks/open angle
glaucoma)
Merupakan sebagian besar dari glaukoma (90-95%), yang meliputi kedua mata.
Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara lambat. Disebut sudut terbuka
karena humor aqueous mempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran

5
dihambat oleh perubahan degeneratif jaringan trabekular, saluran schleem, dan
saluran yang berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal
biasanya tidak ada, kelainan diagnosa dengan peningkatan TIO dan sudut ruang
anterior normal. Peningkatan tekanan dapat di hubungkan dengan nyeri mata yang
timbul.
Seringkali merupakan gangguan herediter yang menyebabkan perubahan
degeneratif. Bentuk ini terjadi pada individu yang memiliki sudut ruang (sudut antara
iris dan kornea) terbuka normal tetapi terdapat hambatan pada aliran keluar aqueous
humor melalui sudut ruangan. Hambatan dapat terjadi di jaringan trabekular, kanal
schlemn atau vena-vena aqueous.
Keadaan ini terjadi pada klien usia lanjut (>40 tahun) dan perubahan karena usia
lanjut memegang peranan penting dalam proses sklerosa badan silier dan jaringan
trabekel. Karena aqueous humor tidak dapat meninggalkan mata pada kecepatan
yang sama dengan produksinya, TIO meningkat secara bertahap. Bentuk ini biasanya
bilateral dan dapat berkembang menjadi kebutaan komplet tanpa adanya serangan
akut.
Gejalanya relatif ringan dan banyak klien tidak menyadarinya hingga terjadi
kerusakan visus yang serius. Tanda klasik bersifat bilateral, herediter, TIO meninggi,
sudut COA terbuka, bolamata yang tenang, lapangan pandang mengecil dengan
macam-macam skotoma yang khas, perjalanan penyakit progresif lambat.
b. Glaukoma sudut tertutup (sudut sempit/angle-closure glaucoma/close-angle
glaucoma/ narrow-angle glaucoma/acute glaucoma)
Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit hingga iris
terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular dan menghambat humor
aqueous mengalir ke saluran schleem. Pergerakan iris kedepan dapat karena
peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan di ruang posterior atau lensa yang
mengeras karena usia tua.
Mekanisme dasar yang terlibat dalam patofisiologi glaukoma ini adalah
menyempitnya sudut dan perubahan letak iris yang terlalu kedepan. Perubahan letak
iris menyebabkan kornea menyempit atau menutup sudut ruangan, yang akan
menghalangi aliran keluar aqueous humor. Pargerakan iris ke depan dapat karena

6
peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan diruang posterior atau lensa yang
mengeras karena usia tua. Tindakan pada situasi ini harus cepat dan tepat atau
kerusakan syaraf optik akan menyebabkan kebutaan pada mata yang terserang.
Tanda dan gejala meliputi nyeri hebat didalam dan sekitar mata, timbulnya halo
disekitar cahaya, pandangan kabur. Klien kadang mengeluhkan keluhan umum
seperti sakit kepala, mual, muntah, kedinginan, demam bahkan perasaan takut mati
mirip serangan angina, yang dapat semedikian kuatnya sehingga keluhan mata
(gangguan penglihatan, fotofobia dan lakrimasi) tidak begitu dirasakan oleh klien.
Peningkatan TIO menyebabkan nyeri yang melalui syaraf kornea menjalar ke pelipis,
oksiput dan rahang melalui cabang-cabang nervous trigeminus. Iritasi syaraf vagal
dapat mengakibatkan mual dan sakit perut. Penempelan iris menyebabkan dilatasi
pupil, bila tidak sgera di tangani akan terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat.
2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata lain yang
menyebabkan penyempitan sudut atau peningkatan volume cairan di dalam mata. Kondisi
ini secara tidak langsung mengganggu aktivitas struktur yang terlibat dalam sirkulasi dan
atau reabsorbsi aqueos humor. Dapat terjadi dari peradangan mata, perubahan pembuluh
darah dan trauma.
Gangguan ini terjadi akibat:
 Perubahan lensa, dislokasi lensa, intumesensi lensa yang katarak, terlepasnya
kapsul lensa pada katarak.
 Perubahan uvea, uveitis anterior, neovaskularisasi di iris, melanoma dari jaringan
uvea.
 Trauma, hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea/limbus disertai prolaps iris.
 Operasi, pertumbuhan epitel yang masuk cameri oculi anterior (COA), gagalnya
pembentukan COA setelah operasi katarak, uveitis pasca ekstraksi katarak yang
menyebabkan perlengketan iris.
3. Glaukoma kongenital
Glaukoma ini terjadi akibat kegagalan jaringan mesodermal memfungsikan trabekular.
Kondisi ini disebabkan oleh ciri autosom resesif dan biasanya bilateral. Glaukoma ini
ditemukan pada saat kelahiran atau segera setelah kelahiran, biasanya disebabkan oleh

7
sistem saluran pembuangan cairan di dalam mata tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya
tekanan bola mata meningkat terus dan menyebabkan pembesaran mata bayi, bagian
depan mata berair, berkabut dan peka terhadap cahaya. Glaukoma Kongenital merupakan
perkembangan abnormal dari sudut filtrasi dapat terjadi sekunder terhadap kelainan mata
sistemik jarang (0,05%) manifestasi klinik biasanya adanya pembesaran mata, lakrimasi,
fotofobia blepharospme.
Biasanya disebabkan oleh :
a. Primer atau infatil
b. Menyertai kelainan kongenital lainnya
4. Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir dari glaukoma (sempit/terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan
total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma
absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan eksvasi
glaukomatosa, mata keras seperti batu dengan rasa sakit. Sering mata dengan buta ini
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa
neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakiy sekali akibat timbulnya
glaukoma hemoragik.
Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta pada badan silier,
alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah tidak
berfungsi dan memberikan rasa sakit.

2.4 Manifestasi Klinis


Umumnya dari riwayat keluarga di temukan anggota keluarga dalam garis vertikal atau
horizontal memiliki penyakit serupa, penyakit ini berkembang secara perlahan tapi pasti,
penampilan bola mata seperti normal dan sebagian besar tidak menampakkan kelainan selama
stadium dini. Pada stadium lanjut keluhsn klien yang muncul adalah sering menabrak akibat
pandangan yang menjadi jelek atau lebih kabur, lapangan pandangan menjadi lebih sempit
hingga kebutaan secara permanen. Gejala yang lain adalah (Harnawartiaj, 2008) :
1. Mata merasa dan sakit tanpa kotoran
2. Kornea suram
3. Disertai sakit kepala hebat terkadang sampai muntah

8
4. Kemunduran penglihatan yang berkurang cepat
5. Nyeri di mata dan sekitarnya
6. Udema kornea
7. Pupil lebar dan refleks berkurang sampai hilang
8. Lensa keruh
Selain itu glaukoma akan memperlihatkan gejala sebagai berikut ( sidharta ilyas,2004):
1. Tekanan bola mata yang tidak normal
2. Rusaknya selaput jala
3. Menciutnya lapang penglihatan akibat rusaknya selaput jala yang dapat berakhir kebutaan

2.5 Patofisiologi Glaukoma


TIO di tentukan oleh kecepatan produksi humor aqueous dan aliran keluar humor aqueous
dari mata. TIO normal adalah 10-21 mmHg dan di pertahankan selama terdapat keseimbangan
antara produksi dan aliran keluar humor aqueous. Humor aqueous di produksi di dalam badan
siler dan mengalir keluar melalui kanal schleem ke dalam sistem vena. Ketidakseimbangan
dapat terjadi akibat produksi berlebih badan silier atau oleh peningkatan hambatan abnormal
terhadap aliran keluar aqueous melalui camera oculi anterior ( COA) peningkatan tekanan
intraokuler > 23 mmHg memerlukan evaluasi yang seksama. Peningkatan TIO mengurangi
aliran darah ke saraf optik dan retina. Iskemia menyebabkan struktur ini kehilangan fungsi
nya secara bertahap. Kerusakan jaringan biasanya di mulai dari perifer dan bergerak menuju
fovea sentralis. Kerusakan visus dan kerusakan saraf optik dan retina adalah ireversible dan
hal ini bersifat permanen. Tanpa penanganan, glaukoma dapat menyebabkan kebutaan.
Hilangnya penglihatan di tandai dengan adanya titik buta pada lapang pandang.

2.6 Komplikasi Glaukoma


Komplikasi yang dapat terjadi akibat glaukoma
1. Glaukoma Kronis
Penatalaksanaan yang tidak adekuat dapat menyebabkan perjalanan progresif dari
glaukoma yang lebih parah.

9
2. Sinekia anterior
Apabila terapi tertunda, iris perifer dapat melekat ke jalinan trabekular (sinekia anterior),
sehingga menimbulkan sumbatan ireversel sudut kamera anterior dan menghambat aliran
aqueous humor keluar.
3. Katarak
Glaukoma, pada tekanan bola mata yang sangat tinggi maka akan terjadi gangguan
permeabilitas kapsul lensa sehingga terjadi kekeruhan lensa.
4. Keruakan saraf optikus
Kerusakan saraf pada glaukoma uumumnya terjadi karena peningkatan tekanan dalam
bola mata. Bola mata normal memiliki kisaran tekanan antara 10-20 mmHg sedangkan
penderita glaukoma memiliki tekanan bola mata yang lebih dari normal bahkan terkadang
dapat mencapai 50-60 mmHg pada keadaan akut. Tekanan mata yang tinggi akan
menyebabkan kerusakan saraf, semakin tinggi tekanan mata akan semakin berat
kerusakan saraf yang terjadi.
5. Kebutaan
Kontrol tekanan intraokular yyang jelek akan menyebabkan semakin rusaknya nervus
optik dan semakin menurunnya visus sampai terjadi kebutaan.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik yang dapat di lakukan adaalah sebagai berikut (Harnawartiaj,2008):
1. Oftalmoskopi: untuk melihat fundus bagian mata dalam yaitu retina, discus optikus
macula dan pembuluh darah retina.
2. Tonometri: adalah alat untuk mengukur tekanan intra okuler, nilai mencurigakan apabila
berkisar antara 21-25 mmHg dan di anggap patologi melebihi 25 mmHg. Tonometri
dibedakan menjadi dua antara lain (sidharta ilyas, 2004) :
A. Tonometri Schiotz
Pemakaian tonometri schiotz untuk mengukur tekanan bola mata dengan cara
sebagai berikut :
1) Penderita diminta telentang
2) Mata diteteskan tetrakain
3) Ditunggu sampai penderita tidak merasa pedas

10
4) Kelopak mata penderita di buka dengan telunjuk dan ibu jari (jangan menekan
bola mata penderita)
5) Telapak tonometer akan menunjukan angka pada skala tonometer
Pembacaan skala dikonversi pada tabel untuk mengetahui bola mata dalam
milimeterair raksa.
6) Pada tekanan lebih tinggi 20 mmHg di curigai adanya glaukoma.
7) Bila tekanan lebih dari 25 mmHg pasien menderita glaukoma.
B. Tonometri Aplanasi
Dengan tonometer aplanasi diabaikantekanan bola mata yang di pengaruhi
kekakuan sklera (selaput putih mata). Teknik melakukan tonometri aplanasi
adalah:
1) Diberi anestesi lokal tertrakain pada mata yang akan diperiksa
2) Kertas fluorosein diletakkan pada selaput lendir
3) Didekatkan alat tonometer pada selaput bening maka tekanan dinaikkan
sehingga ingkaran tersebut mendekat sehingga bagian dalam terimpit.
4) Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang memberi
gambaran setengah lingkaran berimpiit. Tekanan tersebut merupakan tekanan
bola mata.
5) Dengan tonometer aplanasi bila tekanan bola mata lebih dari 20 mmHg
dianggap sudah menderita glaukoma.
3. Pemeriksaan Lampu-Slit
Lampu-slit digunakan untuk mengevaluasi oftalmik yaitu memperbesar kornea, sklera
dan kornea inferior sehingga memberikan pandangan oblik ke dalam tuberkulum
dengan lensa khusus.
4. Perimetri
Kerusakan nervus optikus memberikan gangguan lapang pandangan yang khas pada
glaukoma. Secara sederhana, lapang pandangan dapat diperiksa dengan tes konfrontasi.
5. Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi dalam gelombang suara yang dapat digunakan untuk mengukur mata
dimensi dan struktur okuler. Ada dua tipe ultrasonografi yaitu:

11
A. A-Scan-Ultrasan
Berguna untuk membedakan tumor maligna dan benigna, mengukur mata untuk
pemasangan implant lensa okuler dan memantau adanya glaukoma kongenital.
B. B-Scan-Ultrasan
Berguna untuk mendeteksi dan mencari bagian struktur dalam mata yang kurang
jelas akibat adanya katarak dan abnormalitas lain.

2.8 Penatalaksanaan Glaukoma


1. Terapi Medikamentosa (David AL)
a) Agen Osmotik
Agen ini lebih efektif untuk menurunkan tekanan intraokular. Agen osmotik oral pada
penggunaannya tidak boleh diencerkan dengan cairan atau es agar osmolaritas dan
efisiennya tidak menurun. Beberapa contoh agen osmotik antara lain:
 Gliserin oral; dosis efektif 1-1,5 g/kgBB dalam 50% cairan. Dapat menurunkan
tekanan intra okular dalam waktu 30-90 menit setelah pemberian dan bekerja
selama 5-6 jam.
 Manitol oral; dosis yang dianjurkan adalah 1-2 g/kgBB dalam 50% cairan. Puncak
efek hipotensif okular terlihat dalam 1-3 jam dan berakhir 3-5 jam.
 Manitol intravena; dosis 2g/kgBB dalam 20% cairan selama 30 menit. Maksimal
penurunan tekanan intraokular dijumpai setelah 1 jam pemberian.
 Ureum intravena; agen ini merupakan alternatif karena kerjanya tidak seefektif
manitol. Penggunaannya harus di awasi dengan ketat karena memiliki efek
kardiovaskuler.
b) Karbonik Anhidrase Inhibitor
Digunakan untuk menurunkan tekanan intraokular yang tinggi, dengan menggunakan
dosis maksimal dalam bentuk intravena, oral atau topikal. Contoh obat golongan ini
yang sering digunakan adalah asetazolamide. Efeknya dapat menurunkan tekanan
dengan menghambat produksi humour aquous sehingga dapat menurunkan tekanan
dengan cepat. Dosis inisial 2x250ml oral. Dosis alternatif intravena 500mg bolus.
Penambahan dosis maksimal dapat diberikan setelah 4-6 jam.

12
c) Miotik Kuat
Sebagai inisial terapi, pilokartin 2% atau 4% setiap 15 menit sampai 4 kali pemberian
diindikasikan untuk mencob menghambat serangan awal glaukoma. Penggunaan tidak
efektif pada serangan yang sudah lebih dari 1-2 jam. Pilokartin diberikan 1 tetes setiap
30 menit selama 1-2 jam.
d) Beta Bloker
Merupakan terapi tambahan yang efektif untuk menangani glaukoma sudut tertutup.
Timolol merupakan beta bloker non selektif dengan aktivitas dan konsentrasi tertinggi
di bilik mata belakang yang dicapai dalam waktu 30-60 menit setelah pemberian
topikal. Sebagai inisial terapi dapat diberikan 2 kali dengan interval setiap 20 menit
dan dapat diulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian.
e) Apraklonidin
Merupakan agen agonis alfa-2 yang efektif untuk hipertesi okular. Apraklonidin 0,5%
dan 1% menunjukan efektifitas yang sama dalam menurunkan tekanan okular 34%
setelah 5 jam pemakaian topikal.
2. Observasi Respon Terapi
Merupakan periode peting untuk melihat respon terapi yang harus dilakukan minimal 2
jam setelah terapi medikamentosa secara intensif. Meliputi:
a. Monitor ketajaman visus, edema koenea dan ukuran pupil.
b. Ukur tekanan intraokular setiap 15 menit.
c. Periksa sudut dengan gonioskopi, terutama bila tekanan intraokular sudah turun dan
kornea jernih.
Respon terapi:
a. Baik; ada perbaikan visus, kornea jernih, pupil kontriksi, tekanan intraokular menurun
dan sudutnya terbuka kembali. Dapat dilakukan tindakan selanjutnya dengan laser
iridektomi.
b. Sedang; visus sedikirt membaik, kornea agak jernih, pupil tetap dilatasi, tekanan
intraokular tetap tinggi (sekitar 30mmHg), sudut sedikit terbuka. Dilakukan
pengulangan indentasi gonioskopi untuk membuka sudut, bila berhasil dilanjutkan
dengan laser iridektomi atau laser iridoplasti. Sebelumnya diberikan tetesan gliserin
untuk mengurangi edema kornea.

13
c. Jelek; visus tetap jelek, edema kornea, pupil dilatasi dan terfiksir, tekanan intraokular
tinggi dan sudutnya tetap tertutup. Tindakan selanjutnya adalah laser iridoplasti.
3. Parasintesis
Merupakan teknik untuk menurunkan tekanan intraokular secara cepat dengan cara
mengeluarkan cairan aquous sebanyak 0,05 ml maka akan menurunkan tekanan setelah 15-
30 menit pemberian. Teknik ini masih belum banyak digunakan dan masih dalam
penelitian. (David AL)
4. Bedah Laser
a. Laser iridektomi
Diindikasikan pada keadaan glaukoma sudut tertutup dengan blok pupil, juga
dilakukan untuk mencegah terjadinya blok pupil pada mata yang berisiko yang
ditetapkan melalui evaluasi gonioskopi. Ini juga dilakukan pada serangan glaukoma
akut dan pada mata kontra lateral dengan potensial glaukoma akut.
b. Laser iridoplasti
Pengaturan laser iridoplasti berbeda dengan laser iridektomi di sini pengaturannya
dibuat untuk membakar iris agar otot sfingter iris berkontraksi, sehingga iris bergeser
kemudian sudut terbuka. Agar hasil iridoplasti behasil maka titik tembakan harus besar,
powernya rendah dan waktunya lama. Aturan yang digunakan ukurannya 500μm (200-
500 μm) dengan power 500 mW (400-500 mW), waktunya 0,5 detik (0,3-0,5 detik).
(American Academy of Ophthalmology)
5. Bedah Insisi
a) Iridektomi Bedah Insisi
Pupil dibuat miosis total menggunakan miotik tetes. Kemudian dilakukan insisi 3 mm
pada kornea-sklera 1 mm dibelakan limbus. Insisi dilakukan agar iris prolaps. Bibir
insisi bagian posterior ditekan sehingga iris perifer hampir selalu prolaps lewat insisi
dan kemudian dilakukan iridektomi. Luka insisi kornea ditutup dengan jahitan dan bilik
mata depan dibentuk kembali dg NaCl 0,9 %.
b) Trabekulektomi
Indikasi tindakan ini dilakukan pada keadaan glaukoma akut yang berat atau setelah
kegagalan tindakan iridektomi perifer, glaukoma primer sudah tertutup, juga pada

14
penderita dengan iris berwarna cokelat gelap (ras asia atau cina). Jika mungkin,
tindakan ini akan dikombinasikan dengan ekstraksi lensa.
(American Academy of Ophthalmology)
6. Ekstraksi Lensa
Apabila blok pupil jelas terlihat berhubungan dengan katarak, ektraksi lensa dapat
dipertimbangkan sebagai prosedur utama. (American Academy of Ophthalmology).
7. Tindakan Profilaksis
Tindakan ini terhadap mata normal konta-lateral dilakukan iridektomi laser profilaksis. Ini
lebih disukai daripada perifer iridektomi bedah. Dilakukan pada kontra mata lateral yang
tidak ada gejala. (American Academy of Ophthalmology).

2.9 Perawatan Pre Operasi Dan Post Operasi Glaukoma


a. Perawatan Pre Operasi
Lakukan perawatan pre operasi rutin meliputi mencukur bulu mata, pemeriksaan TIO,
keramas,. Medikasi untuk menurunkan TIO sesuai program yang meliputi :
 Gliserin per oral 1 ml/kg berat badan ditambah dengan air/ air jeruk nipis dengan
volume yang sama untuk mengurangi bau.
 Pilokarpin atau KSR tetes mata.
 Asetazolamid tablet.
 Infus manitol 20% jika diperlukan
 Berikan antibiotik topikal sesuai advice dokter.
b. Perawatan Post Operasi
 Lakukan perawatan pasca operasi rutin.
 Tingkatkan pemberian antibiotik subkonjungtiva oleh ahli oftalmologis.
 Tinggikan bagian kepala tempat tidur 15-200 untuk menurunkan tekanan dalam
mata selama tidur.
 Laporkan drainase pada dokter segera, tetapi jangan mengangkat balutan sampai
ada instruksi.
 Klien mungkin mengalami sakit kepala ringan dan pandangan kabur dalam 24 jam
pertama. Ada kemungkinan TIO meningkat karena respon inflamasi, oleh karena
itu, instruksikan klien untuk mencegah meningkatnya tekanan vena pada kepala,

15
leher dan mata dengan menghindari manuver valsalva, tidak membungkuk,
mempertahankan kepala di atas dan tidak melakukan gerakan mendadak.
 Instruksikan klien untuk tidak berbaring pada sisi operatif.
 Observasi dan laporkan komplikasi pembedahan.

16
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GLAUKOMA

3.1 Pengkajian
a. Identitas Klien berupa : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan
 Umur, glaukoma primer terjadi pada individu berumur >40 tahun.
 Pekerjaan, terutama yang berisko mengalami trauma mata.
b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi, imunisasi,
kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan seperti antihistamin yang dapat
menyebabkan dilatasi pupil yang akhirnya dapat menyebabkan angle-closure glaucoma,
c. Riwayat penyakit saat ini : dapat berupa penyakit lain yaitu diabetes melitus,
arteriosklerosis, dan miopia tinggi.
d. Riwayat penyakit dahulu : adanya riwayat trauma terutama yang mengenai mata.
e. Riwayat penyakit keluarga : riwayat penyakit keluarga denganglaukoma.
f. Genogram
g. Pengkajian Keperawatan:
 Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan :Persepsi kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan berbeda pada setiap klien.
 Pola nutrisi/metabolik :Tidak ada gangguan terkait pola nutrisi dan metabolic klien.
 Pola eliminasi : Tidak ada gangguan pada pola eliminasi klien.
 Pola aktivitas & latihan : Perubahan aktivitas biasanya/ hobi sehubungan dengan
gangguan penglihatan.
 Pola tidur & istirahat : Tidak ada gangguan pola tidur dan istirahat yang disebabkan
oleh katarak.
 Pola kognitif & perceptual :
 Pola persepsi diri : Klien berisiko mengalami harga diri rendah karena kondisi yang

17
dialaminya.
 Pola seksualitas & reproduksi
 Pola peran & hubungaan
 Pola manajemen & koping stress
 Sistem nilai dan keyakinan
 Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko:
1) Riwayat keluarga positif (diyakini berhubungan dengan glaucoma sudut terbuka
primer)
2) Tumor mata
3) Hemoragi intraokuler
4) Inflamasi intraokuler uveiti
5) Kontusio mata dari trauma.
 Kaji pemahaman klien tentang kondisi dan respons emosional terhadap kondisi dan
rencana tindakan.
h. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop untuk mengetahui
adanya supping dan atrofi diskus optikus. Diskus optikus menjadi lebih luas dan lebih
dala. Pada glaukoma akut primer, kamera anterior dangkal, akueus humor keruh dan
pembuluh darah menjalar keluar dari iris.
2. Pemeriksaan lapang pandang perifer, pada keadaan akut lapang pandang cepat
menurun secara signifikan dan keadaan kronik akan menurun secara bertahap.
3. Pemeriksaan fisik melalui inspeksi untuk mengetahui adanya inflamasi mata, sklera
kemerahan, kornea keruh, dilatasi pupil, sedang yang gagal bereaksi terhadap cahaya.
Sedangkan dengan palpasi untuk memeriksa mata yang mengalami peningkatan TIO,
terasa lebih keras dibandingkan mata yang lain.
4. Uji diagnostik menggunakan tonometri, pada keadaan kronik atau open angle di
dapat nilai 22-32 mmHg, sedangkan keadaan akut atau angle closure >30 mmHg. Uji
dengan menggunakan gonioskopi akan didapat sudut normal pada glaukoma kronik.
Pada stadium lanjut, jika telah timbul goniosikenia (perlengketan pinggir iris pada
kornea/trabekula) maka sudut dapat tertutup. Pada glaukoma akut ketika TIO
meningkat, sudt COA tertutup, sedangkan pada waktu TIO normal sudutnya sempit.

18
Berdasarkan pengkajian umum pada mata dapat menunjukkan:
1) Untuk sudut terbuka primer
Melaporkan kehilangan penglihatan perifer lambat (melihat terowongan)
2) Untuk sudut tertutup primer
a) Kejadian tiba-tiba dari nyeri berat pada mata sering disertai dengan sakit kepala,
mual dan muntah.
b) Keluhan-keluhan sinar halo, penglihatan kabur, dan enurunan persepsi sinar.
c) Pupil terfiksasi secara sedang dengan sclera kemerahan karena radang dan
kornea tampak berawan.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan persepsi sensori : penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan.
2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIO.
3. Ansietas berhubungan dengan penurunan penglihatan aktual.
4. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan lapang pandang.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan hilangnya penglihatan.
6. Ketidakmampuan dalam perawatan diri berhubungan dengan penurunan penglihatan.
7. Isolasi sosial berhubungan dengan penurunan pandangan perifer, takut cedera atau
respons negatif lingkungan terhadap ketidakmampuan visual.
8. Risiko gangguan pola nutrisi berhubungan dengan mual, muntah sekunder akibat
peningkatan TIO
9. Resiko tinggi terhadap kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah berhubungan
dengan kurang pengetahuan tentang perawatan diri pada saat pulang, kurang system
pendukung adekuat.
10. Kurang pengetahuan: tentang proses penyakit, status klinik saat ini berhubungan dengan
kurang informasi tentang penyakit glaukoma.

19
3.3 Intervensi Keperawatan
a. Gangguan persepsi sensori : penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan;
gangguan status organ ditandai dengan kehilangan lapang pandang progresif.
 Tujuan : Penggunaan penglihatan yang optimal.
 Intervensi :
1) Pasti derajat atau tipe penglihatan.
R: Mempengaruhi harapan masa depan pasien.
2) Dorong pasien mengekspresikan parasaan tentang kehilangan penglihatan.
R: Pasien menghadapi kemungkinan atau mengalami pengalaman kehilangan
penglihatan sebagian atau total
3) Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, mengikuti jadwal,
tidak salah dosis.
R: Mengontrol TIO, mencegah kehilangan penglihatan lanjut
4) Lakukan untuk membantu pasien menangani keterbatasan penglihatan, contoh:
atur perabot, kurangi kekacauan, perbaiki sinar suram, dan masalah penglihatan
malam.
R: Menurunkan bahaya keamanan sehubungan dengan perubahan lapang
pandang
5) Kolaborasi pemberian asetazolamid (diamox)
R: Menurunkan laju produksi akueus humor

b. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIO


 Tujuan: Nyeri hilang atau berkurang.
 Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri.
R : Mengetahui tingkat nyeri untuk memudahkan intervensi selanjutnya.
2) Pantau derajat nyeri mata setiap 30 menit selama fase akut.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan
3) Siapkan pasien untuk pembedahan sesuai peranan.

20
R: Setelah TIO terkontrol pada glukoma sudut terbuka, pembedahan harus
dilakukan untuk secara permanent menghilangkan blok pupil.
4) Pertahankan tirah baring ketat pada posisi semi fowler.
R: Tekanan pada mata ditingkatkan bila tubuh datar.
5) Berikan lingkungan gelap dan terang.
R: Stress dan sinar menimbulkan TIO yang mencetuskan nyeri.
6) Berikan analgesic narkotik yng di resepkan peran dan evaluasi keefektifanya.
R: Untuk mengontrol nyeri, nyeri berat menentukan menuver valasava,
menimbulkan TIO

c. Ansietas berhubungan dengan penurunan pengelihatan aktual.


 Tujuan: Cemas hilang atau berkurang.
 Intervensi:
1) Kaji tingkat ansietas.
R: Factor ini mempengaruhi persepsi pasien terhadap ancaman diri.
2) Beri informasi yang akurat dan jujur.
R: Menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan / harapan yang akan
datang.
3) Dorong pasien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan.
R: Memberikan kesempatan untuk pasien menerima situasi nyata.
4) Dorong partisipasi keluarga atau orang yang berarti dalam perawatan pasien.
R: Membantu pasien dalam menurunkan kecemasan.
5) Identifikasi sumber atau orang yang menolong.
R: Memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri.

d. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan lapang pandang.


 Tujuan: Cedera tidak terjadi.
 Intervensi:
1) Orientasikan lingkungan dan situasi lain.
R : Menurunkan resiko jatuh (cedera), Untuk meningkatkan pengenalan tempat
sekitar.

21
2) Anjurkan klien untuk mempelajari kembali ADL.
R: Meningkatkan respon stimulus dan semua ketergantungannya.
3) Atur lingkungan sekitar pasien, jauhkan benda-benda yang dapat menimbulkan
kecelakaan.
R : Mencegah cedera, meningkatkan kemandirian.
4) Awasi / temani pasien saat melakukan aktivitas.
R: Meminimalkan resiko cedera, memberikan perasaan aman bagi pasien.
5) Dorong pasien untuk melakukan aktivitas sederhana.
R: Mengontrol kegiatan pasien dan menurunkan bahaya keamanan.

e. Gangguan citra tubuh berhungan dengan hilangnya penglihatan.


 Tujuan: Menyatakan dan menunjukkan penerimaan atas penampilan tentang
penilaian diri.
 Intervensi:
1) Berikan pemahaman tentang kehilangan untuk individu dan orang dekat,
sehubungan dengan terlihatnya kehilangan, kehilangan fungsi, dan emosi yang
terpendam.
R: Dengan kehilangan bagian atau fungsi tubuh bisa menyebabkan individu
melakukan penolakan, syok, marah, dan tertekan.
2) Dorong individu tersebut dalam merespon terhadap kekurangannya itu tidak
dengan penolakan, syok, marah,dan tertekan.
R: Supaya pasien dapat menerima kekurangannya dengan lebih ikhlas
3) Sadari pengaruh reaksi-reaksi dari orang lain atas kekurangannya itu dan dorong
membagi perasaan dengan orang lain.
R: Bila reaksi keluarga bagus dapat meningkatkan rasa percaya diri individu dan
dapat membagi perasaan kepada orang lain.
4) Ajarkan individu memantau kemajuannya sendiri.
R: Mengetahui seberapa jauh kemampuan individu dengan kekurangan yang
dimiliki.

f. Ketidakmampuan dalam perawatan diri berhubungan dengan penurunan penglihatan.

22
 Tujuan: Meningkatkan aktivitas perawatan diri.
 Intervensi:
1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R: Dapat mengetahui kemampuan klien dan memudahkan intervensi
selanjutnya.
2) Bantu klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
R: Pemenuhan kebutuhan perawatan diri klien.
3) Libatkan keluarga dalam aktivitas perawatan diri klien.
R: Keluarga merupakan orang terdekat dalam pemenuhan kebutuhan perawatan
diri klien.
4) Rencanakan aktivitas dan latihan klien.
R: Istirahat klien tidak terganggu dengan adanya aktivitas dan latihan yang
terencana.
5) Berikan dorongan untuk melakukan perawatan diri kepada klien dan atur
aktivitasnya.
R: Dapat mencegah komplikasi imobilitas.

g. Isolasi sosial berhubungan dengan penurunan pandangan perifer, takut cedera atau
respons negatif lingkungan terhadap ketidakmampuan visual.
 Tujuan: Mendorong sosialisasi dan ketrampilan koping.
 Intervensi:
1) Jalin hubungan baik dengan klien.
R: Agar klien tidak merasa asing.
2) Jelaskan kondisi/gangguan yang terjadi pada matanya.
R: Klien akan menerima keadaannya.
3) Libatkan keluarga dalam berinteraksi dengan pasien.
R: Membantu pasien berinterksi dengan orang lain.
4) Libatkan dengan kegiatan lingkungan.
R: Klien akan merasa punya teman dalam lingkungan.
5) Dorong pasien untuk menerima pengunjung dan bersosialisasi.

23
R: Agar pasien dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan dapat menerima
kondisi penyakitnya.
6) Mengetahui tingkat koping klien dan berguna dalam intervensi selanjutnya.
R: Untuk mengetahui sejauh mana koping klien.

h. Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan mual, muntah


sekunder akibat peningkatan TIO.
 Tujuan: Nutrisi dapat terpenuhi dengan baik.
 Intervensi:
1) Motivasi klien untuk menghabiskan makanannya.
R: Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
2) Tanyakan atau diskusikan pada klien makanan yang disukai dan tidak disukai.
R: Agar klien suka terhadap makanan yang dihidangkan sehingga klien mau
makan.
3) Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering.
R: Agar terpenuhi kebutuhan nutrisi klien.
4) Berikan makanan cair yang mengandung nutrien dan elektrolit.
R: Kebutuhan nutrisi terpenuhi dan elektrolit yang terbuang dapat tergantikan.

i. Resiko tinggi terhadap kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah berhubungan


dengan kurang pengetahuan tentang perawatan diri pada saat pulang, kurang system
pendukung adekuat.
 Tujuan: Mampu untuk melakukan aktifitas perawatan di rumah dengan aman.
 Intervensi:
1) Berikan informasi tentang kondisi, tekankan bahwa glaucoma memerlukan
pengobatan sepanjang hidup.
R: Untuk meningkatkan kerja sama pasien.
2) Ajarkan dan biarkan pasien memperhatikan pemberian sendiri tetes mata bila
pembedahan tidak di lakukan.

24
R: Penyuluhan kesehatan esensial untuk keamanan dalam perawatan diri.
Biasanya, pemberian tetes mata anti glaucoma setiap hari untuk mengontrol TIO,
adalah tujuan terapi jika tidak dilakukan pembedahan.
3) Jamin semua intruksi dan informasi tentang obat yang di resepkan tertulis.
R: Instruksi verbal dapat dengan mudah dilupakan.
4) Tinjau ulang praktik-praktik umum untuk keamanan mata (contoh: hindari
penyemprotan insektisida, zat lain dan zat kimia).
R: Untuk melindungi terhadap cidera mata.

j. Kurang pengetahuan: tentang proses penyakit, status klinik saat ini berhubungan dengan
kurang informasi tentang penyakit glaukoma.
 Tujuan: Klien mengetahui tentang kondisi, prognosis dan pengobatannya.
 Intervensi:
1) Diskusikan perlunya menggunakan identifikasi.
R: Untuk memberikan informasi pada perawat dengan kasus darurat.
2) Tunjukan tehnik yang benar untuk pemberian tetes mata.
R: Meningkatkan keefektifan penglihatan.
3) Kaji pentingnya mempertahankan jadwal obat.
R: Mempertahankan konsistensi program obat.
4) Identifikasi efek samping atau reaksi merugikan dari pengobatan.
R: Efek samping obat atau merugikan mempengaruhi rentan dari tak nyaman
sampai ancaman kesehatan berat.
5) Dorong pasien membuata perubahan yang perlu untuk pola hidup.
R: Pola hidup tenang menurunkan respon emosi terhadap stress.

25
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Glaukoma adalah suatu keadaan dimana di tandai dengan peningkatan tekanan intra
okuler yang dapat merusak saraf mata sehingga mengakibatkan kebutaan. Glaukoma
diklasifikasikan antara lain glaukoma primer, glaukoma sekunder, glaukoma kongenital dan
glaukoma absolut. Penyebabnya tergantung dari klasifikasi glaukoma itu sendiri tetapi pada
umumnya disebabkan karena aliran aquos humor terhambat yang bisa meningkatkan TIO.
Tanda dan gejalanya kornea suram, sakit kepala, nyeri, lapang pandang menurun, dll.
Komplikasi dari glaukoma adalah kebutaan. Penatalaksanaannya dapat dilakukan pembedahan
dan obat-obatan.

4.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga kami memerlukan saran agar dapat
memberikan asuhan keperawatan dengan lebih baik lagi pada pasien dengan Glaukoma

26
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc: Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta: Mediaction Publishing.

Utomo Wasis Joko Budi. 2010. Asuhan Keperawatan Glaukoma. Hal. 3-10. Pada tanggal 27
Juli.

https://jec.co.id/id/service/page/25/50/glaukoma. Diakses pada tanggal 25/07/2019 pukul 12:30


WIB

http://eprints.undip.ac.id/44546/3/Dina_Ameliana-22010110120122-BAB_2_KTI.pdf. Diakses
pada tanggal 25/07/2019 pukul 12:40 WIB

Doenges, E Marlynndkk. 2000. RencanaAsuhanKeperawatan. Jakarta : EGC

Ilyas, Sidharta. 2004. IlmuPerawatan Mata. Jakarta :BalaiPenerbit FKUI

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar KeperawatanMedikal Bedah :
Brunner &Suddart Ed. 8 Vol 1. Jakarta : EGC

iii

Anda mungkin juga menyukai