Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

KEBUTAAN PADA ANAK

DISUSUN OLEH :
Anildhah Wahab C014181055

PEMBIMBING :
dr. Muhammad Affan Azhari

SUPERVISOR :
dr. Ahmad Ashraf, MPH, Sp.M (K), M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Anildhah Wahab C014181055

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, November 2019

Supervisor Pembimbing

dr. Ahmad Ashraf, MPH, Sp.M (K), M.Kes dr. Muhammad Affan Azhari

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………. 1

1.2 Definisi …………………………………………………..……………. 1

1.3 Epidemiologi ………………………………………………..………... 2

BAB II : PEMERIKSAAN VISUS ………………………………………… 3

2.1 Pemeriksaan Segmen anterior…………………………...…………….. . 5

2.2 Pemeriksaan Refraksi Pada Bayi dan Anak ……………..……...…… 5

BAB III : PENYAKIT KORNEA ………………………………………… 6

3.1 Etiologi dan Pencegahan Kebutaan Kornea pada Anak ………………. 6

3.2 Defisiensi Vitamin A ………………………………………………….. 7

3.3 Oftalmia Neonatorum ………………………………………………….. 12

3.4 Konjungtivitis Klamidia ………………………………………………... 13

3.5 Konjungtivitis Gonokokus …………………………………………… . 14

3.6 Konjungtivitis Alergika Akut …………………………………………. .. 14

3.7 Penyebab lain …………………………………………………………... 15

3.8 Keratitis Herpes Simpleks ……………………………………………... 16

BAB IV : KATARAK KONGENITAL …………………………………….. 18

4.1 Etiologi …………………………………………………………………... 19

3
4.1.1 Sindrom Down ………………………………………………………… 19

4.1.2 Sindrom Lowe ………………………………………………………..... 19

4.1.3 Sindrom Marfan ……………………………………………………….. 19

4.1.4 Sindrom Rubella ……………………………………………………… 20

4.2 Bentuk dan Macam Katarak Kongenital ……………………………….. 21

4.2.1 Katarak Polaris Anterior …………………………………………..….. 21

4.2.2 Katarak Polaris Posterior………………………………………….…… 23

4.2.3 Katarak Zonularis ……………………………………………….……. 23

4.2.4 Katarak Membranasea ……………………………………………..….. 23

4.2.5 Katarak Totalis ……………………………………………………...... 23

4.3 Penanganan …………………………………………………………..... 24

4.4 Koreksi Afakia ………………………………………………………. .. 26

BAB V : RETINOPATHY OF PREMATURITY ………………………… .. 28

5.1 Klasifikasi …………………………………………………………...…... 28

5.3 Penatalaksanaan …………………………………………………….……. 31

5.3 Pencegahan ………………………………………………………..…. 31

BAB VI : KESIMPULAN ……………………………………………..… 32

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mengatasi kebutaan pediatrik dipertimbangkan menjadi prioritas penting oleh

World Health Organization’s (WHO’s) VISION 2020 – The Right to Sight programme.

Terdapat beberapa alasan untuk hal ini. Pertama, anak yang terlahir buta atau menjadi buta

seumur hidup berdampak pada emosional, sosial, dan ekonomi baik terhadap anak itu

sendiri, keluarga, dan lingkungan. Angka kebutaan pediatrik karena semua kasus, hampir

sama dengan angka kebutaan pada dewasa karena katarak. Kedua, kebanyakan penyebab

kebutaan pada anak dapat dicegah atau ditangani. Ketiga, beberapa kondisi yang

berhubungan dengan kebutaan pediatrik juga menyebabkan mortalitas anak (contoh

kelahiran prematur, campak, sindrom rubella kongenital, dan defisiensi vitamin A).1

Tantangan untuk mengurangi kehilangan penglihatan pada anak berbeda dengan

menekan kebutaan pada orang dewasa. Gagal maturasi normal visus (ambliopia) tidak

dapat dikoreksi pada kehidupan dewasa, jadi terdapat keadaan darurat tentang mengatasi

penyakit mata pada anak-anak yang tidak begitu penting jika diaplikasikan pada kondisi

dewasa. Pemeriksaan dan membuat diagnosis tentang penglihatan pada anak memiliki

kesulitan tersendiri, yang membutuhkan waktu dan pengalaman dari pemeriksa. Lebih

jauh lagi, mata anak tidak dapat disamakan dengan versi kecil dari mata orang dewasa,

karena memiliki respon yang berbeda terhadap pengobatan medis dan operasi 2

1
Pada anak, mulai dari baru lahir sampai usia 6 tahun, visusnya sangat tergantung

pada: (1) perkembangan uvea dan fovea centralis, dan (2) lintasan saraf. Karena itu

gangguan penglihatan pada anak harus segera dikoreksi sebelum umur 6 tahun, jika tidak

dikoreksi akan timbul gangguan menetap.

1.2 Definisi

Buta menurut WHO yaitu visus dengan koreksi terbaik pada mata yang lebih baik

adalah 3/60 atau kurang. Sampai saat ini, menurut UNICEF batasan bahwa masih

dianggap anak kalau umurnya kurang dari 16 tahun 3.

1.3 Epidemiologi

Di seluruh dunia, kebutaan pada anak kira-kira 1,5 juta dan di Asia sebanyak 48%.

Lebih dari separuh kebutaan tersebut dapat dihindari. Usaha-usaha untuk menangani

kebutaan pada anak meliputi pencegahan, penanganan faktor penyebab kebutaannya dan

penanganan anak-anak yang sudah tidak dapat diperbaiki secara medis maupun operasi 4

Penyebab kebutaan utama pada anak-anak di negara-negara yang sedang

berkembang adalah: (1) Defisiensi vitamin A yang berhubungan dengan intake gizi,

penyakit-penyakit infeksi, campak, dan sebagainya, (2) Trakoma, (3) Penyakit-penyakit

genetik, (4) Katarak, (5) Oftalmia neonatorum. Sedangkan kebutaan di negara maju adalah

ROP, penyakit-penyakit genetik (katarak dan distrofi kornea), problem saraf sentral dan

kelainan-kelainan kongenital serta nistagmus. Dan pada negara yang sudah cukup

berkembang misalnya India terdapat kelainan-kelainan pada kedua kelompok tersebut 7.

2
Dari prevalensi di atas, dapat dihitung perkiraan jumla penyandang kebutaan dan

severe low vision masing masing provinsi. Karena data jumlah penduduk yang tersedia

adalah kelompok umur 5 tahunan, maka dengan diasumsikan prevalensi pada usia 5 tahun

3
sama diperkirakan jumlah penyandang kebutaan dan severe low vision pada usia 5 tahun

atau lebih adalah sebagai berikut.

4
BAB II

PEMERIKSAAN VISUS

Kelainan refraksi dapat dicurigai misalnya berdasarkan kebiasaan cara menonton

TV, posisi duduk saat belajar di kelas, dan membaca terlalu dekat. Apabila disertai posisi

miring, maka kemungkinan ada kelainan makula atau ada strabismus. Apabila anak sudah

bisa diperiksa dengan kacamata maka pemeriksaan akan lebih mudah dengan

menggunakan metode coba-coba, secara subjektif. Untuk mengetahui secara pasti refraksi

pada anak sebaiknya dilakukan pemeriksaan dengan streak retinoscopy. Dalam

pemeriksaan ini mata anak atau bayi sebelumnya ditetesi midriatika untuk melebarkan

pupil dan melumpuhkan otot silier sehingga tidak dipengaruhi faktor akomodasi.

4 bulan 6/600 = ½ / 60

6 bulan 6/300 = 1/60

9 bulan 6/72 = 1 ½ / 60

3 tahun 6/9

5 tahun 6/6

Tabel 2.1 Visus bayi dan anak

Pemeriksaan refraksi menjadi sangat penting apabila ternyata bayi atau anak

mengalami strabismus, dengan demikian bayi akan sulit diperiksa. Untuk pemeriksaan

seperti ini sebaiknya dilakukan anestesia umum, sehingga pemeriksaan fundus,

retinoskopi, serta tonometri bisa sekaligus dilakukan.

Metode kuantitatif untuk menguji ketajaman visual mencakup pengukuran

ketajaman deteksi, ketajaman resolusi, dan ketajaman pengenalan. Semua pemeriksaan

dilakukan pada mata kanan terlebih dahulu. Ketajaman deteksi mendeteksi adanya

5
stimulus terhadap latar belakang standar (uji Bock Candy Bead), sedangkan ketajaman

resolusi mengukur kemampuan membedakan pola hitam dan putih secara tipikal 4.

Tiga metode dasar untuk menguji ketajaman resolusi pada bayi adalah sebagai

berikut. Pertama, melihat mana yang lebih disukai tergantung kebiasaan melihat saat

mengenali stimulus berpola. Kedua, bangkitan nistagmus optokinetik. Saat bayi melihat

drum bergaris berputar dari kiri ke kanan, matanya mengikuti putaran drum bergaris

tersebut secara lambat dari kiri ke kanan juga. Ketika garis menjadi objek fiksasinya yang

tadi di kiri sekarang menjadi di kanan lalu “hilang”, matanya bergerak secara cepat

kembali ke kiri untuk memfiksasi objek garis yang baru. Ketiga adalah dengan mengukur

visual evoked potential (VEP) yang merupakan suatu sinyal listrik yang dibangkitkan oleh

korteks visual sebagai respon terhadap stimulasi retina baik dengan cahaya senter atau

pola papan catur. Respon terhadap stimulus tersebut direkam. VEP terutama sebagai

metode menilai fungsi makula karena korteks visual menggambarkan penglihatan area

makula. VEP juga menggambarkan proses akhir penglihatan, sehingga bisa merefleksikan

abnormalitas dimanapun pada retina sampai ke korteks ,5.

Penggunaan klinis VEP antara lain untuk konfirmasi diagnosis neuropati dan

penyakit demyelinisasi, menilai kesalahan proyeksi serabut N II seperti pada albinisme,

menilai ketajaman penglihatan pada bayi dan anak yang belum bisa membaca dengan

memakai stimulus pola garis yang makin halus, mendeteksi lokasi defek lapang pandang

dengan membandingkan respon terhadap stimuli dengan lokasi yang berbeda,

mengevaluasi potensial ketajaman penglihatan pada subjek dengan opasitas lensa, dan
6
untuk mendeteksi “kepura-puraan” atau malingering .

6
2.1 Pemeriksaan Segmen anterior

Pemeriksaan segmen anterior meliputi pemeriksaan kelopak mata, bulu mata,

kornea, bilik mata depan, iris dan pupil, dan lensa. Alat-alat yang bisa digunakan antara

lain senter, kaca pembesar. Untuk mengetahui secara lebih rinci dapat menggunakan slit

lamp. Slit lamp yang dipakai bisa yang tegak apabila anak sudah kooperatif atau dengan

flying baby (anak diangkat ibunya). Bisa juga dengan menggunakan hand slit lamp.

2.2 Pemeriksaan Refraksi Pada Bayi dan Anak

Kelainan refraksi dapat dicurigai dari kebiasaan cara melihat televisi (suka nonton

dalam jarak dekat), saat belajar di sekolah (biasanya anak suka duduk di depan, karena

tidak jelas kalau duduk di belakang), membaca terlalu dekat, dan posisi agak miring

(kelainan makula atau strabismus). Anak yang mempunyai pusat fiksasi penglihatan di

luar fovea sentralis akan selalu berusaha mensejajarkan posisi aksis visual atau

menjatuhkan fokus sinar di bagian retina yang berfungsi sebagai fovea dengan cara

memiringkan kepalanya. Fiksasi eksentrik timbul karena mata secara terus-menerus

menggunakan area ekstrafovea untuk memfiksasi suatu objek. Fiksasi jenis ini dapat

diperiksa dengan visuskop atau refleks pada kornea.

Pemeriksaan tajam penglihatan dengan metode lubang jarum (pinhole) cukup

sederhana dan bermanfaat. Bila ditemukan perbaikan dengan pemeriksaan ini, berarti ada

kelainan refraksi. Untuk mengetahui status refraksi secara pasti bisa dilakukan dengan

pemeriksaan streak retinoscopy.

7
BAB III

PENYAKIT KORNEA

Penyakit kornea menjadi penyebab utama kebutaan pada anak-anak. Di Afrika dan

Asia, hampir 70% anak buta karena penyakit kornea. Skar kornea yang berhubungan

dengan defisiensi vitamin A menjadi penyebab terbesar kebutaan pada anak.

3.1 Etiologi dan Pencegahan Kebutaan Kornea pada Anak

Beberapa penyebab dari kebutaan kornea dapat dicegah.

Penyebab Utama Pencegahan Primer Pencegahan Sekunder

Defisiensi Vitamin A Imunisasi Campak Penanganan xeroftalmia

dengan vitamin A
Suplemen vitamin A

Edukasi gizi

Campak Imunisasi campak Pemberian vitamin A untuk

anak dengan campak

Pemeriksaan mata untuk

semua anak dengan campak

Penanganan ulkus kornea pada

semua anak dengan campak

Praktisi tradisional Edukasi praktisi tradisional Penanganan dengan terapi

antimikroba intensif terhadap


Pusat kesehatan mata yang
ulkus kornea yang
mudah dijangkau
berhubungan dengan praktisi

tradisional

8
Oftalmia Neonatorum Membersihkan mata bayi baru Penangangan intensif, tepat,

lahir dan cepat pada neonatus

dengan konjungtivitis
Profilaksis povidone iodone

Keratitis Herpes Simpleks Profilaksis malaria Diagnosis segera dan tangani

dengan antiviral

Infeksi kornea lainnya Cegah trauma Penanganan cepat dan tepat

Tabel 3.1 Etiologi dan pencegahan kebutaan kornea pada anak7

Pencegahan tersier membutuhkan transplantasi kornea (keratoplasti penetrasi). Hal

ini berhasil pada anak yang lebih besar dengan distrofi kornea dan skar kornea non-

vaskularisasi. Namun, kebanyakan anak yang buta karena skar kornea bukan merupakan

kandidat untuk transplantasi kornea, dengan prognosis yang tidak baik pada anak yang

masih sangat kecil dan pada mata dengan skar vaskular, sinekia anterior, dan kelainan lain.

Skar kornea sangat rentan pada masyarakat sosioekonomik rendah. Pemenuhan

kebutuhan dasar seperti:

 Makanan adekuat

 Suplai air bersih

 Primary health care, termasuk imunisasi

 Edukasi

Akan mengurangi insiden penyakit kebutaan kornea.

Penanganan penyakit kornea aktif idealnya harus termasuk dalam program primary

health care, sehingga skar kornea berat dapat dihindari.

9
3.2 Defisiensi Vitamin A

Kata lain dari defisiensi vitamin A adalah xeroftalmia. Disebabkan oleh karena

pemasukan vitamin A yang kurang (malnutrisi kronis), gangguan absorpsi (seperti pada

penyakit obstruksi bilier, fibrosis kistik, dan pada pembedahan pankreas atau usus), dan

pemakaian yang berlebihan (seperti pada penyakit morbili). Defisiensi vitamin A akan

menyebabkan perubahan sistem imun meliputi fungsi barier sehingga terjadi perubahan

metaplasi skuamosa dan keratinasi dan perubahan membran mukosa yang normal pada

konjungtiva maupun saluran napas dan saluran urogenital.

Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan tetapi kekurangan yang

disertai kelainan pada mata umumnya terdapat pada anak berusia 6 bulan sampai 4 tahun.

Gejala awal defisiensi vitamin A adalah buta pada malam hari (niktalopia), mata

kering, sensasi benda asing, dan hilangnya penglihatan secara perlahan. Defisiensi vitamin

A dalam jangka waktu yang lama terdapat atrofi serta keratinisasi jaringan epitel dan

mukosa yang memberikan gambaran (1) xerosis konjungtiva dan kornea, (2) keratinisasi

konjungtiva, (3) ulkus kornea steril dan parut kornea, dan (4) nekrosis kornea

(keratomalasia). Pada keadaan ini akan terlihat ketidakmampuan air mata membasahi

mata, walaupun pada pemeriksaan Schirmer terlihat jumlah air mata cukup. Hal ini

mungkin disebabkan kerusakan sel Goblet sehingga hasil musin kurang. Fundus

xeroftalmia merupakan keadaan yang jarang, gambaran berupa bercak putih kekuningan

pada retina perifer. Kriteria WHO tentang defisiensi vitamin A adalah:

 Rabun senja/Night blindness/(Xn)

 Manifestasi konjungtiva (X1a/tanpa bercak Bitot, X1b/dengan bercak bitot)

1
0
 Manifestasi kornea (X2/xerosis kornea, X3a/ulkus kornea dengan

keratomalasia < 1/3 permukaan kornea, X3b/ulkus kornea dengan

keratomalasia > 1/3 permukaan kornea)

 Gejala sisa dari lesi kornea yang aktif dan sikatriks kornea (Xs)9

Berikut ini beberapa penjelasan kriteria defisiensi akibat kekurangan vitamin A.

Rabun senja (niktalopia) yaitu keterbatasan sensitivitas di ruang gelap. Penderita merasa

gelap pada sore hari menjelang malam. Konjungtiva xerosis (X1a) yaitu keriputnya

lapisan air mata dan kering yang berisi keratinisasi lapisan superfisial epitelium tanpa sel

goblet. Xerosis yang terjadi pada defisiensi vitamin A merupakan xerosis epitel. Xerosis

pada hipovitaminosis A berupa kekeringan khas pada konjungtiva bulbi yang terdapat

celah kelopak mata. Xerosis disertai dengan pergeseran dan penebalan epitel. Letak

xerosis ini biasanya pada konjungtiva bulbi di daerah celah kelopak kantus eksternus. Bila

mata digerakkan maka akan terlihat lipatan yang timbul pada konjungtiva bulbi.

Konjungtiva xerosis (X1b/bercak Bitot) yaitu lesi xerosis konjungtiva yang dilapisi lapisan

putih suatu material seperti sabun yang berisi deskuamasi epitel yang mengalami

keratinisasi dan bakteri. Konjungtiva di daerah ini terlihat kurang mengkilat atau terlihat

sedikit kurang. Bila kekeringan ini menggambarkan bercak Bitot maka bercak ini akan

berwarna seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus.

Bercak Bitot seperti terdapat busa di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan

akan terbentuk kembali bila dilakukan debridemen. Xerosis kornea (X2) yaitu adanya

keratopati pungtata superfisial dimulai dari bagian bawah dan jika penyakitnya berjalan

terus maka akan melibatkan sebagian besar proporsi permukaan kornea. Ulserasi kornea

kurang dari 1/3 luas permukaan (X3a/keratomalasia) yaitu adanya satu atau lebih ulkus

1
1
dengan kedalaman yang bervariasi. Biasanya terletak di perifer 1-2 ml dari limbus. Ulkus

bisa melanjut menjadi perforasi total atau pembentukan descemetokel dan ulkus yang

perforasi akan menjadi sikatriks yang luas dengan iris yang terjepit pada tepi luka.

Ulserasi kornea melebihi 1/3 luas permukaan kornea (X3b atau keratomalasia) yaitu

ulserasi yang melebihi stadium sebelumnya dan sering menimbulkan nekrosis dan bisa

terjadi kornea luluh dengan komplit dan seluruh ketebalan kornea dan berakhir dengan

stafiloma kornea atau ptisis. Skar kornea (Xs) yaitu timbulnya jaringan parut yang

mungkin tipis hanya di tepi saja tanpa mengganggu visus ataupun di sentral yang dapat

mengganggu visus, bisa juga melibatkan seluruh ketebalan kornea. Fundus xeroftalmi (Xf)

pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning di dalam retina yang kecil dan tersebar yang

umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular temporal.

1. Pencegahan

a. Pemberian vitamin A dosis tinggi secara berkala. Pemberian vitamin A

200000 IU dalam bentuk kapsul berbasis minyak diberikan tiap 4-6 bulan

kepada anak-anak umur lebih 12 bulan dan dosis setengahnya untuk umur 6-

12 bulan.

b. Meningkatkan asupan makanan yang mengandung vitamin A ( preretinol atau

beta karoten) misalnya pada wortel, tomat, hati, minyak ikan

10
10
2. Pengobatan

Pengobatan xeroftalmia berdasarkan vitamin A yang dilarutkan dalam

minyak diberikan secara oral, tidak diberikan secara injeksi. Vitamin A yang

dilarutkan dalam air bisa dalam bentuk injeksi tetapi tidak lebih baik daripada oral

dan harganya mahal. WHO merekomendasikan pengobatan sebagai berikut:

a. Untuk anak yang secara klinis ada xeroftalmia

Anak umur kurang dari 12 bulan disarankan pemberian 100000 IU vitamin

A segera kemudian diulang hari berikutnya dan diulang 2-4 minggu

berikutnya. Anak umur lebih dari 12 bulan diberikan 200000 IU vitamin A

secara langsung, diulang pada hari berikutnya kemudian diulang lagi 2-4

minggu berikutnya.

b. Untuk wanita hamil yang hanya menderita rabun senja sebaiknyua diobati

dengan dosis 10000 IU vitamin A setiap hari selama 2 minggu atau dosis

mingguan 25000 IU setidaknya selama 4 minggu. Pemberian dosis yang

kecil dikawatirkan dapat memberikan efek teratogenik pada trimester I,

namun apabila ibu tersebut menderita lesi kornea terpaksa diberikan

pengobatan yang penuh (200000 IU dalam 3 dosis), secara langsung,

diulang hari berikutnya kemudian diulang 2-4 minggu berikutnya. Pada

stadium ulkus atau keratomalasia maka perlu dilakukan pengobatan seperti

pengobatan pada ulkus kornea yaitu pemberian antibiotik secara topikal

baik dalam bentuk tetes atau salep. Selain hal tersebut di atas perlu juga

menangani penyakit-penyakit yang mendasari terjadinya defisiensi vitamin

A, seperti malabsorbsi, penyakit tuberkulosis, morbili, dan sebagainya.8

11
11
3.3 Oftalmia Neonatorum

Pengertian oftalmia neonatorum adalah konjungtivitis yang terjadi pada bulan

pertama kehidupan yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan zat kimia. Bentuk yang paling

berbahaya dari oftalmia neonatorum adalah yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae.

Penyakit ini terjadi pada hari ke 3-4 kehidupan, tetapi bisa juga muncul lambat sampai 3

minggu. Organisme ini biasanya mengkontaminasi bayi melalui kontak langsung jalan

lahir ibu yang terinfeksi. Gejala klinis oftalmia neonatorum adalah konjungtiva hiperemis

ringan sampai kemosis, sekret purulen yang berlimpah, yang mungkin dengan cepat

menyebabkan ulkus kornea sampai perforasi. Infeksi sistemik bisa menyebabkan sepsis,

meningitis dan artritis.

Diagnosis berdasarkan pada gambaran klinik, usia bayi, dan pemeriksaan Gram

dari sekret konjungtiva. Suatu gambaran Gram negatif berbentuk diplokokus intraseluler.

Pengobatan oftalmia neonatorum karena Neisseria gonorrhoeae: irigasi pada mata

sangat berguna untuk menghilangkan sekret yang banyak minimal 2 kali sehari dengan

larutan garam fisiologis, antibiotik topikal dalam bentuk tetes misalnya penisilin 15000-

150000 IU/ml tiap 15 menit. Gentamisin salep dapat ditambahkan juga 4 kali/hari. Bagi

yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan obat lain misalnya ofloksasin tetes mata

sesering mungkin. Ceftriaxon dan penisilin dalam bentuk injeksi dapat diberikan pada

kasus yang berat.9

12
12
Gambar 3.1 Oftalmia neonatorum

3.4 Konjungtivitis Klamidia

Terjadi dalam 5-14 hari setelah dilahirkan. Penularannya melalui jalan lahir.

Gambaran klinisnya antara lain: reaksi papilar, akut, dan sekret mukopurulen. Gambaran

badan inklusi di sel epitel pada apusan konjungtiva merupakan tanda diagnosis.

Pengelolaannya dengan tetrasiklin topikal dan eritromisin secara oral. Selain itu

diperlukan pengobatan kedua orangtua, karena kondisi ini terkait dengan penyakit menular

seksual.

Gambar 3.2 Konjungtivitis folikular dari trakoma. Folikel terdapat pada konjungtiva palpebra superior.

Terdapat Herbert’s pits pada limbus.

3.5 Konjungtivitis Gonokokus

Terjadinya 1-3 hari setelah dilahirkan, juga melalui jalan lahir, biasanya ibu

tertular pada trimester terakhir dari suaminya yang menderita gonore. Bakteri infeksius

13
13
pada kornea biasanya baru bisa menginfeksi kalau korneanya tidak utuh, tapi gonokokus

bisa menginfeksi kornea yang intak karena bakteri ini punya suatu enzim yang bisa

merusak kornea. Konjungtivitis gonokokus bisa menyebabkan kebutaan. Gambaran

klinisnya antara lain bersifat hiperakut, sekret purulen, kemosis dan dapat terjadi membran

atau pseudomembran. Pengelolaannya dengan penisilin topikal dan sistemik dan

pengobatan kedua orang tuanya.

3.6 Konjungtivitis Alergi Akut

Gambaran klinisnya: akut, gatal, lakrimasi, hiperemia, kemosis ringan, dan reaksi

papilar yang difus. Pada kasus yang berat terdapat edema palpebra. Kornea tidak terkena.

Keadaan ini dikelola dengan pemberian stabilisator sel mast topikal yaitu sodium

kromoglikat 2% dan iodoxamin 0,1%.

Gambar 3.3 Konjungtivitis folikular karena alergi. Folikel terutama pada konjungtiva palpebra inferior.

3.6 Keratokonjungtivitis Vernalis

Kondisi ini bersifat rekuren, bilateral, mengenai anak-anak serta dewasa muda, dan

lebih sering pada laki-laki. Individu dengan keadaan ini memiliki riwayat atopi positif.

Gambaran klinisnya: gatal, lakrimasi, fotofobia, sensasi benda asing, rasa terbakar, sekret

mukus yang tebal, dan ptosis (palpebra jatuh dan bisa menutup pupil). Palpebra terasa

berat bila diangkat dan di bagian konjungtiva palpebra superior ada reaksi papilar raksasa.

Oleh karena itu lebih tepat disebut pseudoptosis karena bukan masalah otot. Penyakit ini

14
14
bisa diikuti keratitis dan infeksi palpebra superior. Terdapat 3 bentuk: palpebral, limbal,

dan campuran. Bisa ada gambaran arkus senilis. Kondisi ini dikelola dengan steroid

topikal. Steroid topikal ini tidak boleh untuk pemakaian jangka panjang, karena walaupun

efek obatnya cepat, tapi bisa menimbulkan efek samping berupa glaukoma dan katarak.

Selain steroid, bisa dipakai stabilisator sel mast topikal.

Gambar 3.4 Konjungtivitis Vernal dengan hipertrofi papil besar datar pada konjungtiva palpebra superior,

terkadang terkecoh dengan folikel trakoma.10

3.7 Penyebab lain

 Konjungtivitis kimia seperti nitras argenti, terjadi dalam 24 jam sesudah penetesan

nitras argenti profilaktik untuk gonore. Pengobatan dengan pembilasan sisa obat dan

bahan penyokong.

 Konjungtivitis stafilokok, masa inkubasi lebih dari 5 hari. Diobati dengan antibiotika

topikal. Tobramisin untuk pseudomonas.

 Konjungtivitis virus, dapat dibawa langsung setelah lahir, atau dengan masa inkubasi

1-2 minggu setelah lahir. Diobati dengan trifluorotimidin.

 Konjungtivitis jamur. Diobati dengan obat anti jamur.

15
15
3.8 Keratitis Herpes Simpleks

Keratitis ini dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal. Hal yang murni

epitelial adalah dendritik dan stromal adalah diskiformis. Biasanya infeksi herpes simpleks

ini berupa campuran epitel dan stroma. Perbedaan ini akibat mekanisme kerusakannya

berbeda. Pada yang epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di dalm sel epitel,

yang akan mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea superfisial. Stromal

diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien sendiri terhadap virus yang menyerang.

Antigen (virus) dan antibodi (pasien) bereaksi di dalam stroma kornea dan menarik sel

leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak

antigen (virus) yang juga akan merusak jaringan stromal di sekitarnya. Hal ini sangat

berkaitan dengan pengobatan dimana pada yang epitelial dilakukan terhadap virus dan

pembelahan dirinya sedang pada keratitis stromal dilakukan pengobatan menyerang virus

dan reaksi radangnya.

Keratitis epitelialis (keratitis dendritika, keratitis geografika), dimana virus

menyerang epitel basal. Keratitis meta herpetik atau pasca infeksi, bentuk linear tidak

teratur sehingga hampir sama dengan keratitis geografika, kesembuhan sangat lambat (8-

12 minggu). Keratitis interstitialis virus, putih seperti keju (nekrosis), ada radang limbus,

harus dibedakan dengan keratitis karena infeksi sekunder atau jamur. Keratitis diskiformis,

kekeruhan bentuk cakram di parenkim kornea yang edema tanpa nekrosis.

16
16
Gambar 3.5 Ulkus dendritik akibat virus herpes simpleks. Ulkus paling baik dilihat dengan fluorescein.

Gambar 3.6 Opasitas kornea akibat infeksi herpes simpleks (keratitis diskiformis).11

Pengobatan dengan IDU yang merupakan obat antiviral yang murah, bersifat tidak

stabil. Bekerja dengan menghambat sintesis DNA virus dan manusia, sehingga bersifat

toksik untuk epitel normal dan tidak boleh dipergunakan lebih dari 2 minggu. Terdapat

dalam larutan 1% dan diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vibrabin

sama dengan IDU, akan tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep. Trifluorotimidin (TFT)

sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam.

Acyclovir, bersifat selektif terhadap sintesis DNA virus. Dalam bentuk salep 3%

yang diberikan setiap 4 jam. Sama efektif dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek

samping yang kurang.

17
17
BAB IV

KATARAK KONGENITAL

Katarak kongenital adalah kekeruhan lensa yang mulai ada sejak lahir atau bayi

dalam kandungan dan segera dapat dilihat setelah lahir atau kurang dari 3 bulan, katarak

bisa bilateral atau unilateral. Tanda-tandanya adalah kekeruhan lensa, dan sering disertai

adanya strabismus, nistagmus, dan refleks fundus suram. Pasien dengan katarak

monokular sering menutup sedikit matanya, sehingga tampak bola mata lebih kecil. Pada

pupil mata bayi yang menderita katarak kongenital akan terlihat bercak putih atau suatu

leukokoria. Tipe-tipenya antara lain polaris anterior, zonularis, (lamelaris, keruh sekeliling

nukleus), polaris posterior, membranasea, nuklearis, dan totalis.

Bahaya katarak kongenital adalah ambliopia dan strabismus. Karena makula lutea

yang tidak cukup mendapat rangsangan. Makula ini tidak akan berkembang sempurna

hingga walaupun dilakukan ekstraksi katarak maka visusnya biasanya tidak akan

mencapai 5/5. Hal ini disebut ambliopia sensoris (ambliopia ex anopsia). Mata tak mampu

mencapai suatu penglihatan binokular tunggal; dan karena penglihatan kabur, mata

berusaha mencari-cari objek, lama kelamaan bola mata goyang dan timbul strabismus.

Penyebab katarak kongenital bisa bermacam-macam. Sebagian katarak bersifat

idiopatik atau herediter. Dalam hal ini bisa dikaitkan dengan kelainan genetik maupun

kromosom, misalnya sindrom Down, sindrom Lowe, dan sindrom Marfan.

Penyebab lainnya adalah infeksi, misalnya infeksi toksoplasma dan rubella (paling

sering). Virus rubella bisa menembus kapsul lensa pada usia 6 minggu kehamilan.

Terdapat opasitas saat lahir tapi baru berkembang setelah beberapa minggu bahkan bulan

18
18
kemudian. Seluruh lensa bisa menjadi opaq. Virus bisa tetap ada dalam lensa hingga usia 3

tahun.

Kelainan metabolik seperti galaktosemia, hipoglikemi, dan kondisi anoksi juga

bisa menimbulkan katarak kongenital. Galaktosemia terjadi karena defisiensi enzim

galaktose-1-phosphate uridil transferase (GUPT) yang diwariskan autosom resesif.

Katarak pada galaktosemia ditandai dengan adanya suatu opasitas tetesan minyak sentral.

Berkembang dalam hari-hari atau minggu-minggu pertama kelahiran.

4.1 Etiologi

4.1.1 Sindrom Down

Kelainan ini merupakan kelainan kromosom, yaitu kelebihan satu kromosom 21.

Kelainan pada mata yang bisa ditemukan antara lain hiperplasia iris, celah palpebra sempit

(sipit), kemiringan oriental, sering terjadi strabismus, epikantus, sering terdapat katarak,

miopia tinggi (33%), dan bercak Brusfield (abu-abu perak pada iris).

4.1.2 Sindrom Lowe

Sindrom yang langka ini terdiri dari defek serebral, retardasi mental, dan kelainan

okular yang berkaitan dengan bentuk tubuh yang kerdil karena disfungsi ginjal. Gambaran

di mata berupa katarak kongenital, glaukoma infantil, dan nistagmus. Kelainan ini lebih

banyak pada pria karena pewarisannya yang terkait X.

4.1.3 Sindrom Marfan

Pada sindrom ini tulang-tulang bertambah panjang (jari tangan dan jari kaki),

ligamen kendor, terdapat penyakit jantung bawaan, serta ada kelainan tulang belakang dan

sendi-sendi. Gambaran pada mata berupa dislokasi lensa ke arah superior dan nasal,

19
19
kelainan refraksi berat, megalokornea, katarak, koloboma uvea, dan glaukoma sekunder.

Mungkin juga diperlukan ekstraksi lensa yang mengalami dislokasi.

Gambar 4.1 Araknodaktili pada sindrom Marfan.

Gambar 4.2 Dislokasi lensa superior pada sindrom Marfan.

4.1.4 Sindrom Rubella

Sindrom rubella yang dibicarakan disini merupakan kelainan kongenital akibat

infeksi rubella pada bayi sewaktu masih dalam kandungan. Apabila ibu yang tengah

mengandung terkena infeksi rubella, maka virus akan menyebar ke dalam peredaran darah,

masuk ke plasenta, dan menginfeksi janin. Ibu yang sakit memberi gejala yang tidak jelas

dan sering diabaikan, misalnya makula merah pada wajah, yang menyebar ke bahu dan

badan selama 2 hari. Terjadi juga limfadenitis retroaurikular dan suboksipital dengan

gejala nyeri waktu menyisir rambut.

Sel-sel bayi yang terinfeksi virus akan mengalami gangguan pertumbuhan,

sehingga pada waktu lahir akan mengandung banyak jaringan yang tidak sempurna

20
20
pertumbuhannya. Tanda-tanda sindrom rubella kongenital bisa digolongkan menjadi

tanda-tanda yang terdapat di mata dan yang teradapat di luar mata. Tanda-tanda yang

terdapat di mata antara lain katarak (unilateral atau bilateral), mikroftalmus, hipoplasi iris,

beberapa area nekrotik pada badan silier, koloboma pada uvea, strabismus, glaukoma

kongenital, korioretinitis dengan kadang-kadang terjadi atrofi optik, dan kekeruhan

kornea.

Tanda-tanda di luar mata antara lain ditemukannya kelainan pada jantung

(misalnya duktus arteriosus persisten, stenosis arteri pulmonalis, defek septum atrium dan

defek septum ventrikel), cacat pada otak dan terjadi retardasi mental dengan mikrosefali,

dan cacat pada pendengaran berupa tuli neurosensoris.

Virus rubella bisa ditemukan di nasofaring, tenggorok, darah, cairan serebrospinal,

dan air kemih. Virus ini ditularkan lewat percikan ludah. Selama 1-2 hari sebelum dan

sesudah adanya makula kemerahan virus rubella mudah menular. Namun demikian, bayi

dengan sindrom rubella kongenital masih bisa menularkan virus tersebut hingga bayi

berusia 18 bulan, apabila di tenggorokannya masih ditemukan virus rubella.

4.2 Bentuk dan Macam Katarak Kongenital

4.2.1 Katarak Polaris Anterior

Kekeruhan terdapat di bagian depan lensa persis di tengah-tengah. Katarak ini

terjadi karena tidak sempurnanya pelepasan kornea terhadap lensa. Bentuk kekeruhannya

seperti piramid dengan tepi yang masih jernih, sehingga apabila pupilnya midriasis maka

visus akan lebih baik. Tipe ini umumnya tidak progresif.

21
21
Gambar 4.3 Katarak polaris anterior. Penglihatan memburuk pada cahaya terang atau ketika membaca saat

pupil konstriksi

4.2.2 Katarak Polaris Posterior

Karena selubung vaskular tak teresorbsi dengan sempurna, maka akan timbul

kekeruhan di bagian belakang lensa. Keadaan ini diturunkan secara autosom dominan,

tidak progresif, dan visus membaik dengan penetesan midriatika.

4.2.3 Katarak Zonularis

Kekeruhan terdapat pada zona atau area tertentu. Kekeruhan pada nukleus disebut

sebagai katarak nuklearis. Pada umumnya visus buruk. Katarak ini diduga diturunkan

secara autosomal dominan atau resesif atau mungkin terangkai gonosom (sex-linked).

Kekeruhan yang terdapat pada lamela mengelilingi area calon nukleus yang masih jernih

(saat itu nukleus belum terbentuk) disebut katarak lamelaris. Bagian di luar kekeruhan ini

juga masih jernih. Gambarannya seperti cakram dengan jari-jari radial. Faktor

penyebabnya diduga karena faktor herediter, dengan sifat pewarisan autosomal dominan.

Namun mungkin juga terkait dengan infeksi rubella, hipoglikemia, hipokalsemia, dan

karena paparan radiasi. Sedangkan kekeruhan yang terdapat pada sutura Y disebut dengan

katarak stelata.

22
22
Gambar 4.4 Katarak kongenital nuklearis.

Gambar 4.5 Katarak lamelaris

4.2.4 Katarak Membranasea

Lensa yang keruh menjadi sangat tipis seperti membran, dan sering berisi jaringan

ikat. Pada umumnya disertai bermacam kelainan lainnya.

4.2.5 Katarak Totalis

Seluruh lensa menjadi keruh, hal ini sering terdapat pada galaktosemia.

Gambar 4.6 Katarak totalis dimana seluruh lensa menjadi opaq.12

23
23
4.3 Penanganan

Anak dengan katarak tidak akan mengeluh, maka pertama kali disadari oleh orang

lain, biasanya keluarga, kadang oleh guru.

Katarak pada anak sangat berbeda dengan katarak pada orang dewasa. Operasi

lebih kompleks, dan membutuhkan postoperative follow-up yang lebih intensif.

Anak-anak tidak lahir dengan penglihatan yang normal, mereka harus belajar untuk

melihat dengan menggunakan mata mereka secara menetap selama beberapa bulan awal.

Untuk melakukan hal ini harus terdapat gambar yang jelas terfokus pada makula pada

retina anak. Jika tidak terjadi keadaan ini, penglihatan anak tidak akan berkembang secara

normal. Pada orang dewasa, operasi katarak tidak darurat, dan koreksi afakia dapat

dilakukan kapan saja. Pada anak-anak, operasi dan rehabilitasi penglihatan penuh adalah

keadaan darurat.

Mata anak-anak berbeda dengan mata orang dewasa. Inflamasi intraokular berat

lebih sering terjadi. Jika kapsul posterior tidak intak, akan menjadi opaq. Mata akan

tumbuh sampai anak berusia 2 tahun, yang akan menyebabkan perubahan refraksi anak.

Pertama kali harus ditentukan dulu penyebabnya, jadi perlu konsultasi dengan

bagian anak, THT, dan saraf. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain

pemeriksaan darah, gula darah, kalsium, dan kadar fosfor. Urine diperiksa untuk mencari

jumlah asam amino (Lowe). Pemeriksaan mata yang diperlukan antara lain visus dan

anatomi mata. Pemeriksaan yang dimaksud adalah ada tidaknya glaukoma, diameter

kornea, pemeriksaan fundus dengan pupil midriasis. Mungkin diperlukan pemeriksaan

dengan ultra sonography (USG).

24
24
Terapi non-operatif yang mungkin diberikan ialah dengan midriatikum. Sedangkan

terapi operatif yang diperlukan antara lain lensektomi, kombinasi dengan kapsulektomi

posterior dan vitrektomi anterior. Ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK) akan

menyebabkan intak kapsul posterior dan hampir seluruhnya membutuhkan kapsulotomi

sekunder. Apabila sudah diketemukan nistagmus pada penderita katarak sebaiknya segera

dilakukan operasi, sebab keadaan tersebut menunjukkan adanya ambliopia. Apabila tidak

diketemukan nistagmus, pastikan dulu apakah anak sangat terganggu oleh penglihatannya

atau tidak. Apabila kataraknya total, maka operasi sebaiknya segera dikerjakan.

Operasi katarak kongenital sebaiknya dilakukan dengan anestesia umum, sehingga

dapat dikerjakan dengan tenang dan tidak menimbulkan banyak kerusakan pada jaringan

lainnya.

Jika ditemukan sindrom rubella, segera konsultasikan dengan bagian pediatri,

THT, saraf. Jika memungkinkan lakukan kultur virus di bagian mikrobiologi. Beberapa

ahli kebidanan di Eropa dan Amerika menginduksi aborsi pada kehamilan yang diduga

positif terinfeksi rubella. Untuk katarak kongenital, operasi sebaiknya ditunda sampai bayi

berusia 3 tahun agar tidak ada lagi virus pada lensanya. Operasi yang dikerjakan sebelum

usia ini sering menimbulkan komplikasi pasca bedah akibat reaktivasi virus. Apabila

ditemukan kekeruhan cukup padat bilateral maka bisa dilakukan operasi pada satu mata

dahulu. Baru setelah usia 3 tahun dilakukan operasi pada mata satunya lagi.

Beberapa kasus katarak kongenital dapat dicegah dengan konsultasi genetik.

Namun, tergantung dari budaya komunitas itu sendiri.

25
25
4.4 Koreksi Afakia

Karena gambar yang terfokus pada retina penting untuk perkembangan penglihatan

anak, jika hanya dengan operasi katarak tidak akan mengembalikan penglihatan. Koreksi

penuh terhadap afakia, dilakukan secepatnya setelah operasi sangatlah penting. Sekarang

ini terdapat 3 metode yang digunakan untuk koreksi afakia pada anak-anak:

1. Kacamata

Aman dan tidak mahal. Mudah untuk merubah kekuatannya. Namun, dapat

hilang atau rusak. Anak-anak mungkin tidak menggunakannya untuk alasan

budaya dan kosmetik.

2. Lensa kontak

Mahal. Menghasilkan penglihatan yang baik. Mudah untuk merubah

kekuatannya. Namun, membutuhkan follow-up intensif dan perhatian khusus

untuk mencegah infeksi kornea. Dapat hilang.

3. Lensa intraokular

Tidak mahal. Tidak dapat hilang ataupun rusak. Tidak mungkin untuk merubah

kekuatannya. Penggunaan pada anak-anak dibawah usia 2 tahun masih menjadi

kontroversi. Membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Untuk memasang LIO dalam

kantong maka pembukaan kapsul anterior seharusnya dengan teknik contineous

curvalinier capsulorrhexis (CCC).

26
26
Gambar 4.7 Lensa intraokular dalam kantong kapsul.13

27
BAB V

RETINOPATHY OF PREMATURITY

Retinopathy of prematurity terjadi pada bayi prematur dengan berat badan lahir

rendah yang ditangani dengan pemberian oksigen di inkubator. Pada bayi prematur proses

normal vaskularisasi pada retina perifer tidak lengkap saat lahir. Perkembangan pembuluh

darah sensitif terhadap perubahan biokimia (seperti nilai gas darah) yang akan

menyebabkan formasi abnormal dari pembuluh darah di belakang mata. Level oksigen

tinggi menstimulasi pertumbuhan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada

pembentukan retina yang inkomplit pada bayi prematur. Pembuluh darah ini dapat pecah

dan berdarah, serta membentuk jaringan parut abnormal. Akibatnya, dengan berjalannya

waktu, terjadi retinopati proliferatif dan ablasio retina yang menyebabkan kebutaan. Setiap

bayi prematur yang menerima suplemen oksigen harus dilakukan pemeriksaan fundus

okular. Pemeriksaan harus dimulai 2-4 minggu setelah kelahiran dan dilanjutkan sampai

retina vaskularisasi penuh, sampai mengalami regresi spontan atau sampai penanganan

yang tepat diberikan.

5.1 Klasifikasi

Vaskularisasi retina terbentuk sentrifugal dari saraf optik, dimulai dari gestasi

bulan ke-4. Pembuluh darah retina normalnya akan menuju ora serrata nasal pada bulan

ke-8 dan ora serrata temporal pada bulan ke-9. Retinopathy of prematurity berkembang

jika proses ini terganggu. Biasanya bilateral tapi sering asimetrik.

ROP dapat diklasifikasikan sesuai dengan daerah retina yang terkena (Zona 1, 2,

dan 3) dan stadium penyakit (Stadium I-IV).

28
28
Klasifikasi berdasarkan lokasi yaitu zona 1, 2, dan 3. Zona 1 adalah zona yang

dibatasi oleh garis imajiner berbentuk lingkaran yang radiusnya 2 kali jarak diskus optikus

ke makula. Zona 2 yaitu dari tepi garis zona 1 sampai titik tangensial ora serata bagian

nasal dan melingkar ke area dekat ekuator temporal. Zona 3 adalah dari garis tepi zona 2

sampai area yang tersisa (membentuk bulan sabit). Klasifikasi berdasarkan stadium yaitu

stadium I sampai V. Stadium I adalah apabila terdapat garis demarkasi. Stadium II, Pada

garis demarkasi tersebut terbentuk rigi (ridge). Stadium III, rigi dengan proliferasi

fibrovaskular ekstraretina. Stadium IV bila terjadi ablasi retina subtotal. Stadium V adalah

bila terjadi ablasi retina total. Klasifikasi berdasarkan luas, ditentukan dengan angka jam

(1 sampai 12) retina yang terlibat.

Ketiga klasifikasi ini mempengaruhi apa yang disebut penyakit ambang (threshold

disease). Jika keadaan ini tidak ditangani dalam waktu 72 jam, maka akan timbul

komplikasi seperti neovaskularisasi atau ablasi retina. Pada penyakit plus (Plus Disease)

pembuluh darah fundus posterior melebar dan berkelok-kelok. Pencatatan kondisi ini

dengan menambah “+” pada stadium, misalnya stadium 3+.

Pada stadium awal ROP (Stadium I dan II) biasanya tidak terlihat sampai minggu

ke 6-7 setelah kelahiran. Regresi spontan terjadi pada mayoritas bayi, tetapi beberapa

penyakit meningkat menjadi stadium III. Jika ditambah dengan penyakit plus yang dapat

melemahkan perlindungan retina, 50% dari bayi berubah menjadi Stadium IV (ablasio

retina subtotal) atau Stadium V (ablasio retina total).

Bayi dengan risiko retinopati prematuritas ialah bayi yang berat lahirnya kurang

dari 1500 gram, masa kehamilan kurang dari 28 minggu, atau berat lahir antara 1500

sampai 2000 gram dengan perjalanan klinis yang tidak stabil atau berisiko tinggi.

29
29
Pemeriksaan pertama dilakukan pada umur 4-6 minggu pasca kelahiran atau antara 31-33

minggu setelah konsepsi atau hari pertama menstruasi terakhir. Pemeriksaan dilakukan

dengan oftalmoskop indirek dengan pupil lebar, minimal dua kali atau sampai

vaskularisasi retina sudah lengkap. Apabila pada pemeriksaan ditemukan kelainan

penyakit ambang (threshold disease), maka dilakukan fotokoagulasi laser atau aplikasi

krio dalam waktu paling lambat 72 jam, setelah diagnosis ditegakkan. ROP stadium IV

dan V memerlukan tindakan bedah skleral buckle atau vitrektomi.

Gambar 5.2 Retinopathy of prematurity stadium lanjut (dengan mikrokornea pada mata kiri).

Gambar 5.3 Retinopathy of prematurity dengan dragging of optic disc.14

30
30
5.2 Penatalaksanaan

Cryoterapi atau dengan laser pada oftalmoskop indirek binokular untuk ablasio

retina perifer efektif untuk mencegah hasil yang tidak diinginkan. Operasi vitreoretinal

kompleks dilakukan pada Stadium IV atau V, tetapi hasilnya tidak memuaskan.

5.3 Pencegahan

Sebagaimana diketahui ROP stadium lanjut tidak memberikan hasil yang

memuaskan dengan operasi, jadi yang dapat dilakukan adalah mencegah sebelum hal

tersebut terjadi. Pencegahan primer adalah dengan mencegah kelahiran prematur dan

penanganan baik dari bayi prematur, BBLR, termasuk monitor dan kontrok gas darah.

Pencegahan sekunder membutuhkan program skrining untuk mengidentifikasikan

bayi dengan ablasio retina perifer (Stadium III plus). Pemeriksaan retina perifer pada bayi

yang sangat kecil adalah kemampuan khusus dan harus dilakukan oleh oftalmologis yang

terlatih untuk melakukan prosedur tersebut.

Semua bayi yang masuk dalam program skrining ROP harus di follow-up untuk

identifikasi dan mengatur masalah okular ini karena penelitian memperlihatkan bayi

prematur meningkatkan risiko kelainan refraksi, ambliopia, dan strabismus.

31
31
BAB VI

KESIMPULAN

Terdapat 1,4 juta anak buta di dunia. Penyebab Kebutaan pediatrik bervariasi

menurut daerah dan perkembangan sosioekonomi. Namun sekitar 40% kebutaan pediatrik

dapat dihindari.

Skar kornea masih menjadi penyebab utama dari kebutaan pada anak. Penyebab

penting dari skar kornea terdiri dari defisiensi vitamin A, campak, oftalmia neonatorum,

praktik tradisional berbahaya, dan infeksi kornea lainnya. Keadaan ini dapat dieliminasi

oleh primary health care, seperti program imunisasi campak, suplementasi vitamin A,

posyandu, dll.

Sebagian kasus dari katarak kongenital adalah sindrom rubela. Keadaan ini dapat

dicegah dengan imunisasi rubela. Kebanyakan kongenital katarak tidak dapat dicegah.

Namun dengan penanganan cepat dan tepat, penglihatan dapat kembali sempurna.

Retinopathy of prematurity adalah avoidable cause dari kebutaan pediatrik yang

penting yang akan meningkat pada negara sedang berkembang. Pada beberapa negara,

kasus ini menjadi penyebab utama kebutaan pediatrik. Retinopathy of prematurity

sepertinya akan menjadi masalah pada negara kurang berkembang dengan dikenalkannya

perawatan intensif bagi neonatus. Skrining bayi dengan risiko membutuhkan koordinasi

dokter spesialis mata dan spesialis anak.

32
32
DAFTAR PUSTAKA

1. "VISION 2020". IAPB. Retrieved 12 October 2014

2. "WHO | Priority eye diseases". www.who.int. Retrieved 2015-07-17.

3. WHO. 2010. Action Plan For The Prevention Of Avoidable Blindness And
Visual Impairment 2009-2013. WHO Library Catalouging.

4. DATA GLOBAL PADA VISUAL IMPAIRMENTS 2010

5. WHO. 2012. Visual Impairment and Blindness 2010. BR J Opthalmol.

6. Wilhelm H, Schabet M: The diagnosis and treatment of optic neuritis. Dtsch


Arztebl Int 2015; 112: 616–26

7. Gogate, Parikshit; Gilbert, Clare; Zin, Andrea (2011). "Severe Visual


Impairment and Blindness in Infants: Causes and Opportunities for
Control". Middle East African Journal of Ophthalmology. 109–114.

8. Bello, Segun; Meremikwu, Martin M.; Ejemot-Nwadiaro, Regina I.; Oduwole,


Olabisi (2016-08-31). "Routine vitamin A supplementation for the prevention
of blindness due to measles infection in children". The Cochrane Database of
Systematic Reviews

9. "NCBI - WWW Error Blocked Diagnostic". www.ncbi.nlm.nih.gov.


Retrieved 2015-07-15.
10. Pinto RDP, Lira RPC, Abe RY, Zacchia RS, Felix JPF, Pereira AVF, et al.
Dexamethasone/povidone eye drops versus artificial tears for treatment of
presumed viral conjunctivitis: a randomized clinical trial. Current Eye Research.
2014;40(9):870-7
11. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis and treatment.
JAMA.2013;310(6):1721-9.
12. Casaer P, Casteels I, a Bulletin de la Societe Belge d'Ophtalmologie. 2005; 297: 47-57
nd Foets B. Surgical Treatment Outcomes of Congenital and Juvenile Cataracts
13. Iqbal M, Jan S, Khan MN, Iqbal A, and Mohammod S. Cataract Blindness in the
Developing World: Surgical Pediatri c s Intraocular Lens Implantation Techniques and
Intraocular Lenses in The New Complications and Visual Outcome. Pakistan Journal
Millennium. The British Journal of Ophthalmology. of Medical Research. 2004; 43 (3):
108-112.
14. Phelps DL. Retinopathy of prematurity : An estimate of vision loss in the United
States 1979. Pediatric. 1981. 98 : 1628-40

33
33
34

Anda mungkin juga menyukai