Anda di halaman 1dari 34

PAPER

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGGRAHA HSB


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

PAPER
BINOCULAR VISION

Disusun oleh:
Satria Nugraha HSB
140100029

Pembimbing:
dr. H. Aryani A. Amra, M.Ked (Oph), Sp.M(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan
judul “Visual Development”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada dokter pembimbing penulis dr. H. Aryani A. Amra, M.Ked (Oph),
Sp. M (K), yang telah meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan serta
masukan dalam penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari
kesempurnaan baik isi maupun susunan bahasa, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan paper
selanjutnya.
Paper ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat menjadi
referensi dalam pengembangan wawasan di bidang medis.

Medan, September 2019

Penulis

i
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 3
2.1. Anatomi Mata ............................................................................ 3
2.2 Proses Visual Mata.................................................................... 8
2.3 Penglihatan Binocular ............................................................. 10
2.3.1. Klasifikasi Penglihatan Binocular ................................ 11
2.3.2. Perkembangan Penglihatan Binocular .......................... 13
2.3.3. Pemeriksaan Penglihatan Binocular ............................. 16
BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 28

ii
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi bola mata ...................................................................... 3


Gambar 2.2 Otot penggerak bola mata ........................................................... 4
Gambar 2.3 Tampilan komposit permukaan & lapisan iris ............................ 6
Gambar 2.4 Gambaran fundus ........................................................................ 7
Gambar 2.5 Jaras penglihatan ......................................................................... 9
Gambar 2.6 Tingkatan binocular .................................................................. 11
Gambar 2.7 Titik fiksasi................................................................................ 17
Gambar 2.8 4Δ prism test.............................................................................. 18
Gambar 2.9 Bagolini test .............................................................................. 19
Gambar 2.10 WFDT ....................................................................................... 20
Gambar 2.11 Intertpretasi WFDT ................................................................... 22
Gambar 2.12 TNO test .................................................................................... 22
Gambar 2.13 Titmus test ................................................................................. 23
Gambar 2.14 After image test ......................................................................... 25
Gambar 2.15 Interpretasi After image test ...................................................... 29

iii
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Interpretasi bagolini test ................................................................ 20

iv
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penglihatan binokular normal adalah proses penyatuan bayangan di retina dari


dua mata ke dalam persepsi penglihatan tunggal tiga dimensi. Syarat penglihatan
binokular tunggal adalah memiliki sumbu mata yang tepat sehingga bayangan
yang sama dari masing-masing mata jatuh pada titik di retina yang sefaal, yang
akan diteruskan ke sel-sel binokular korteks yang sama.1
Walaupun tiap-tiap belahan korteks penglihatan menerima informasi secara
simultan dari bagian lapangan pandang yang sama seperti yang diterima kedua
mata, pesan-pesan dari kedua mata tersebut tidak identik. Tiap-tiap mata meihat
suatu benda dari titik pandang yang sedikit berbeda, walaupun terdapat daerah
tumpang tindah yang luas. Daerah tumpang tindih yang dilihat oleh kedua mata
pada saat yang sama dikenal sebagai lapangan pandang binokuler(dua-mata).2
Dengan adanya penglihatan binokular, kita dapat melihat dunia dalam 3
dimensi meskipun bayangan yang jatuh pada kedua retina merupakan bayangan 2
dimensi. Kemampuan visual dasar seperti deteksi, resolusi, dan diskriminasi
sedikit lebih baik jika melihat dengan kedua mata. Banyak kemampuan visual
kompleks seperti membaca, mendeteksi obyek kamuflase, dan koordinasi mata-
tangan juga dilakukan dengan lebih efektif dengan kedua mata dibandingkan
dengan satu mata, meskipun tampilan visual tidak mengandung persepsi
kedalaman.
Perkembangan dari penglihatan binokular telah dimulai sejak usia 3 bulan
setelah lahir dan mencapai puncaknya pada umur sekitar 2 tahun. Rentang waktu
ini disebut sebagai periode sensitif dari perkembangan penglihatan binokular
dimana berbagai penyakit visual yang timbul pada periode ini seperti koordinasi
yang tidak tepat dari kedua mata yang dapat menyebabkan strabismus, dapat
menimbulkan perkembangan penglihatan binokular yang abnormal dengan
masalah sensoris yang ditimbulkannya seperti ambliopia, supresi dan diplopia.3

1
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Penglihatan binokular dibagi dalam tiga tingkat yaitu persepsi simultan, fusi
dan stereopsis. Apabila terjadi deviasi visual aksis, maka bayangan pada bidang
binokular akan bergeser. Pada keadaan ini akan terjadi dua hal, yaitu:
1. Konfusi yaitu suatu keadaan dimana objek yang berbeda akan diproyek-sikan
pada area yang koresponden (dua bayangan yang muncul saling tumpang tindih).
2. Diplopia yaitu objek yang identik (titik fiksasi) akan diproyeksikan di retina
yang berbeda (di fovea pada satu mata dan di retina perifer mata yang lain).
Sehingga untuk mengatasi masalah penglihatan binokular yang abnormal, ada
beberapa mekanisme adaptasi yaitu supresi, ARC.4

2
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Gambar 2.1. Anatomi bola mata5


Bola mata berbentuk bulat dengan diameter aterior posterior 24 mm. Bola
mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam
sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata di
bungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu sklera, jaringan uvea dan retina.

a. Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan erat dengan kornea
dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus sklera berjalan dari papil saraf optik
sampai kornea. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm ia masih tahan terhadap
kontusi trauma tumpul.6

3
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

b. Otot-otot penggerak bola mata

Gambar 2.2 Otot penggerak bola mata5

Fungsi dari otot-otot penggerak bola mata berbeda-beda yaitu :


1) M. Rectus lateralis berfungsi menggerakkan bola mata ke lateral.
2) M. Rectus medialis berfungsi menggerakkan bola mata ke medial.
3) M. Rectus superior berfungsi menggerakkan bola mata ke atas medial,
dikarenakan perbedaan aksis panjang orbita dan bola mata.
4) M. Rectus inferior berfungsi menggerakkan bola mata ke bawah medial,
dengan alasan yang sama.
5) M. Oblikus superior bulbi, berjalan sepanjang dinding medial orbita, berbelok
tajam melalui kerekan fibrosa dan berinsersi pada bagian atas bola mata, di bawah
M. Rektus superior. Menggerakkan bola mata ke bawah lateral. Bila otot ini dan
M. Rektus inferior berkontraksi bersama, mata bergerak lurus ke bawah.
6) M. Oblikus inferior bulbi, keluar dari dasar orbita, berjalan dibawah bola mata
seperti tempat tidur gantung dan berinsersi disisi lateralnya. Fungsinya
menggerakkan bola mata ke atas lateral. Bersama dengan M. Rektus superior otot
ini menggerakkan mata lurus ke atas.7
Otot-otot mata dipersarafi oleh beberapa nervus yaitu nervus oculomotorius
(III) mempersarafi musculus rectus medialis, inferior, dan superior dan musculus
obliquus inferior. Nervus abducens (VI) mempersarafi musculus rectus lateralis;
nervus trochlearis (IV) mempersarafi musculus obliquus superior.8

4
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

c. Kornea
Kornea normal berupa selaput transparan yang terletak di permukaan bola
mata. Kornea di bagian sentral memiliki tebal 0,5 mm. Kornea tidak mempunyai
pembuluh darah, namun kornea sangat kaya akan serabut saraf. Saraf sensorik ini
berasal dari saraf siliar yang merupakan cabang oftalmik saraf trigeminus (saraf
V).

d. Cairan Mata (Humor Aquosus)


Humor aquosus merupakan cairan intraokular yang mengalir bebas yang
berada di depan lensa. Cairan ini dibentuk oleh prosesus siliaris dengan rata-rata
2-3 μL/ menit yang mengalir melalui pupil ke dalam kamera okuli anterior. Dari
sini, cairan mengalir ke bagian depan lensa dan ke dalam sudut antara kornea dan
iris, kemudian melalui retikulum trabekula, dan akhirnya masuk ke dalam kanalis
Schlemm, yang kemudian dialirkan ke dalam vena ekstraokuler.

e. Badan Siliaris
Badan siliaris merupakan jaringan berbentuk segitiga yang terletak melekat
pada sklera. Badan siliaris berfungsi menyokong lensa, mengandung otot yang
memungkinkan lensa untuk berakomodasi dan berfungsi untuk menyekresikan
cairan mata.

f. Iris
Iris merupakan bagian dari uvea anterior dan melekat di bagian perifer dengan
badan siliar. Bagian depan iris tidak memiliki epitel, sedangkan di bagian
belakang terdapat epitel yang berpigmen sehingga memberikan warna pada iris.
Pada iris terdapat celah yang disebut pupil. Pupil berperan dalam mengatur jumlah
sinar yang masuk ke mata. Pupil akan membesar atau midriasis pada saat
pencahayaan kurang, dan mengecil atau miosis pada saat pencahayaan berlebih.

5
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Gambar 2.3 Tampilan komposit dari permukaan dan lapisan iris.5

g. Lensa
Lensa berbentuk bikonvek bening yang tembus cahaya yang terletak di
belakang iris dan di depan korpus vitreosus dengan ketebalan sekitar 5 mm dan
berdiameter 9 mm pada orang dewasa. Permukaan lensa bagian posterior lebih
melengkung dibandingkan bagian anterior.6 Lensa memiliki daya bias total hanya
20 dioptri atau sepertiga dari daya bias total mata. Namun, lensa sangat penting
karena sebagai respon terhadap sinyal saraf dari otak, lengkung permukaannya
dapat mencembung sehingga memungkinkan terjadinya akomodasi.9

h. Badan Kaca (Korpus Vitreosus)


Badan kaca berwarna jernih, konsistensi lunak, avaskuler atau tidak
mempunyai pembuluh darah, dan terdiri atas 99% air dan sisanya berupa
campuran kolagen dan asam hialuronik. Badan kaca memegang peran terutama
dalam mempertahankan bentuk bola mata, hal ini dikarenakan badan kaca mengisi
sebagian besar bola mata yang terletak di antara lensa, retina dan papil saraf optik.

i. Retina
Retina merupakan membran tipis yang terdiri atas saraf sensorik penglihatan
dan serat saraf optik. Retina merupakan jaringan saraf mata yang di bagian
luarnya berhubungan dengan koroid. Koroid memberi nutrisi pada retina luar atau
sel kerucut dan sel batang. Retina bagian dalam mendapat metabolisme dari arteri

6
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

retina sentral. Retina terdiri atas 3 lapis utama yang membuat sinap saraf sensibel
retina, yaitu sel kerucut dan sel batang, sel bipolar, dan sel ganglion.

Gambar 2.4 Gambaran Fundus5

j. Makula Lutea
Merupakan saraf penglihatan sentral dimana ketajaman penglihatan
maksimal. Makula lutea terdapat pada retina.

k. Bintik Kuning (Fovea)


Merupakan bagian retina yang mengandung sel kerucut yang sangat
sensitif dan akan menghasilkan ketajaman penglihatan maksimal atau 6/6. Bila
terjadi kerusakan pada fovea sentral ini maka ketajaman penglihatan akan
menurun.

l. Bintik Buta (Optic disc)


Merupakan daerah saraf optik yang meninggalkan bagian dalam bola
mata.

m. Panjang Bola Mata


Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Bila
terdapat kelainan pembiasan sinar oleh karena kornea (mendatar atau cembung)
atau adanya perubahan panjang bola mata (lebih panjang atau lebih pendek), maka

7
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai
ametropia yang dapat berupa myopia, hipermetropia, atau astigmatisma.5

2.2. PROSES VISUAL MATA 2,10


Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan
menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi maksimal,
pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak dibandingkan ketika
sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur oleh dua elemen
kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri dari otot-otot sirkuler
dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epitelial kontraktil yang telah
termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai myoepithelial cells.
Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan melebarkan
pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi dan dilatasi
pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah dan ketika kita
memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat atau jauh.
Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan bayangan
pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata.
Beberapa media refraksi mata yaitu kornea, aqueous humour, dan lensa.
Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa. Lensa hanya
berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata terfokus pada
benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati pupil
dan mencapai retina, tahap terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi
cahaya menjadi aksi potensial yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses
perubahan ini terjadi pada retina.
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan sensory
retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen melanin
yang bersama-sama dengan pigmen pada koroid membentuk suatu matriks hitam
yang mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran cahaya dan
mengisolasi fotoreseptor-fotoreseptor yang ada. Pada sensory retina, terdapat tiga
lapis neuron yaitu lapisan fotoreseptor, bipolar dan ganglionik. Badan sel dari
setiap neuron ini dipisahkan oleh pleksiform layer dimana neuron dari berbagai

8
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

lapisan bersatu. Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan sel bipolar dan
ganglionik sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan sel
bipolar dan ganglionic. Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina,
impuls yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, akan melewati khiasma
optikum yang merupakan persilangan yang berada pada sirkulus wilisi pada otak.
Sebagian impuls dari saraf optik masing-masing bola mata akan bersilangan di
khiasma optikum. Kemudian impuls akan menuju korpus genikulatum lateral
yang berada pada ujung optic tract. Setelah itu, impuls kemudian dilanjutkan
geniculocalcarine tract. Geniculocalcarine tract ini juga disebut sebagai radiasio
optik karena fungsinya sebagai penyebar impuls ke bagian dari white matter pada
otak. Terakhir, impuls tersebut akan sampai pada primary visual cortex (striate
cortex) pada area 17 Broadmann.

Gambar 2.5 Jaras penglihatan11

9
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

2.3. PENGLIHATAN BINOCULAR


Penglihatan binocular secara harfiah berarti penglihatan dengan 2 mata, dan
merujuk kepada karakteristik khusus dari penglihatan dengan kedua mata terbuka,
dari pada hanya satu mata. Persepsi kita mengenai kondisi binokular menyatakan
suatu koordinasi kompleks yang sangat tinggi dari proses-proses sensoris dan
motoris dan secara signifikan berbeda dan lebih canggih dari pada penglihatan
dengan satu mata saja.12
Ketika seorang individu yang normal memperhatikan suatu objek. , gambar
akan terbentuk pada fovea kedua mata secara terpisah; tetapi individu tersebut
akan tetap merasakan satu gambar. Keadaan ini disebut dengan penglihatan
binokular. Dengan kata lain, penglihatan binokular adalah penggunaan kedua
mata yang terkoordinasi untuk menghasilkan suatu gambaran tunggal.13
Kemampuan melihat dengan kedua mata serentak untuk memfokuskan sebuah
benda dan terjadinya fusi dari kedua bayangan yang menjadi bentuknya di dalam
ruang.6
Penglihatan binokular normal memerlukan beberapa syarat
(1) aksis visual yang jernih sehingga menghasilkan penglihatan yang jelas pada
kedua mata.
(2) kemampuan elemen - elemen retinokortikal untuk berfungsi dalam
hubungannya dengan satu sama lain untuk mendorong fusi dari dua bayangan
yang sedikit berbeda, disebut fusi sensoris.
(3) koordinasi yang tepat dari kedua mata untuk semua arah pandangan, sehingga
elemen retinokortikal yang berkorespondensi terletak pada suatu posisi untuk
mengatur dua bayangan, disebut fusi motoris.14

10
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

2.3.1 Tingkatan Penglihatan Binokular

Gambar 2.6. Tingkatan Binocular.12


Penglihatan binokular dibagi ke dalam 3 tingkat menurut klasifikasi Worth
yang berguna dalam mengidentifikasi derajat penglihatan binokular yang terdapat
yaitu tingkat pertama adalah persepsi simultan, tingkat kedua adalah fusi, dan
tingkat ketiga adalah penglihatan stereopsis (Gambar 2).15
1. Persepsi simultan. Kemampuan retina dari kedua mata untuk menerima 2
bayangan yang berbeda secara simultan. Pada penglihatan binokular
normal, kedua mata mempunyai titik fiksasi yang sama, yang terletak pada
fovea sentralis di tiap-tiap mata. Bayangan dari suatu obyek selalu terletak
pada area retina yang identik, disebut sebagai titik-titik yang
berkorespondensi pada retina. Obyek yang terletak pada suatu lingkaran
imajiner yang disebut horopter geometrik diproyeksikan ke titik-titik ini
pada retina. Bayangan dari kedua retina oleh karena itu akan identik pada
penglihatan binokular normal.16,17,18
Istilah persepsi simultan juga terjadi pada mata dengan retina yang tidak
berkorespondensi secara normal yaitu suatu keadaan dimana fovea mata
yang fiksasi memperoleh suatu arah visual bersama yang abnormal dengan

11
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

suatu elemen retina perifer pada mata yang deviasi. Persepsi simultan
hanya menunjukkan terdapat atau tidaknya suatu supresi.14,16
2. Fusi. Fusi adalah pertumbuhan bayangan menjadi satu atau persatuan,
peleburan, dan penggabungan di otak yang berasal dari 2 bayangan mata
sehingga secara mental berdasarkan kemampuan otak didapatkan suatu
penglihatan tunggal, yang berasal dari sensasi (penghayatan) masing-
masing mata.6
Fusi terjadi hanya ketika kedua retina menyampaikan gambaran visual
yang sama, yaitu mentransmisikan bayangan yang identik ke otak, maka
kedua bayangan retina tersebut akan tergabung membentuk suatu persepsi
tunggal. Fusi yang terganggu dapat mengakibatkan penglihatan ganda
(horror fusionis atau diplopia).17
Fusi mempunyai 2 komponen yaitu:
a) Fusi sensoris, adalah suatu proses kortikal penyatuan bayangan dari tiap
mata ke dalam gambaran stereopsis binokular tunggal. Fusi ini terjadi
ketika serabut saraf optik dari retina nasal menyilang di khiasma untuk
menyatu dengan serabut saraf retina temporal yang tak menyilang dari
mata lainnya. Bersama, serabut temporal ipsilateral dan serabut nasal
kontralateral menuju ke nukleus genikulatum lateral dan selanjutnya ke
korteks striata. Sel-sel kortikal binokular, bersama dengan neuron-neuron
di area asosiasi visual pada otak, menghasilkan penglihatan binokular
tunggal dengan penglihatan stereopsis.
b) Fusi motoris, adalah suatu mekanisme yang memungkinkan pengaturan
halus dari posisi mata untuk mempertahankan kesejajaran bola mata
sehinga fusi sensoris dapat dipertahankan. Fusi motoris ini distimulasi oleh
disparitas retina di luar area Panum dan beraksi sebagai suatu mekanisme
pengunci untuk menjaga mata sejajar pada target visual ketika target
tersebut bergerak dalam ruang. Fusi motoris merupakan fungsi khusus dari
retina perifer ekstrafovea. Tidak terdapat stimulus untuk fusi motoris
ketika bayangan dari suatu obyek visual yang difiksasi jatuh pada fovea
tiap-tiap mata.16

12
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

3. Penglihatan stereopsis. Stereoskopis atau penglihatan tiga dimensi


merupakan tingkatan tertinggi dari suatu penglihatan binokuler yang
berfungsi untuk membedakan kedalaman suatu persepsi secara tiga
dimensi. Penglihatan stereoskopis harus menggunakan kedua mata dan
dapat dicapai apabila fungsi dasar dari penglihatan dalam keadaan baik.
Stereoskopis yang baik dapat tercapai apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu;
(1) Adanya disparitas retina, yaitu perbedaan tipis yang ditangkap oleh
kedua retina akan suatu obyek yang sama, (2) Terjadi proses
penggabungan kedua bayangan retina (fusi) yang mengalami disparitas,
(3) bayangan terletak di daerah yang disebut “ area fusional Panum”.
Area Panum merupakan area penglihatan stereoskopis yaitu suatu daerah
dimana objek yang diproyeksikan ke titik-titik yang sama pada retina dan
terletak pada horopter geometri yang sama dan akan difusikan menjadi
bayangan tunggal yang tiga dimensi. Dimana objek yang berada di luar
lingkaran horopter akan terkesan jauh dan objek yang berada pada
lingkaran horopter akan terkesan dekat.19

2.3.2. PERKEMBANGAN PENGLIHATAN BINOCULAR


Penglihatan binokular tunggal adalah suatu refleks bersyarat yang tidak
terdapat sejak lahir tapi diperoleh selama 6 bulan pertama kehidupan dan telah
sempurna selama beberapa tahun pertama kehidupan. Sistem visual membutuhkan
kira-kira 6 minggu untuk menjadi sensitif terhadap deprivasi stimulus visual, dan
penglihatan binokular pertama muncul pada usia sekitar 3 bulan. Meskipun tidak
pernah secara gradual berkurang seluruhnya, pengalaman visual mempunyai efek
terbesarnya pada saat usia 6 bulan, dengan efek tersebut berkurang secara cepat
hingga usia sekitar 6 tahun. Selama periode kritis dari perubahan visual yang
cepat di antara usia 6 minggu dan 3 bulan setelah kelahiran, bayi dalam resiko
yang lebih besar untuk berkembangnya kelainan visual daripada saat fase
kehidupan yang lain. Oleh karena itu, bayi teramat rentan terhadap gangguan
visual yang berat timbul dari pengalaman visual yang tidak adekuat selama
periode kritis.12,20

13
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Penglihatan binokular memerlukan beberapa kondisi untuk mencapai


perkembangan yang normal yaitu:
1) Mata yang lurus mulai dari periode neonatus dengan koordinasi yang tepat
pada semua arah pandangan (mekanisme motoris),
2) Penglihatan yang jelas pada kedua mata sehingga bayangan yang serupa
dipresentasikan ke tiap-tiap retina dari kedua mata (mekanisme sensoris) dan,
3) Kemampuan dari korteks visual untuk menghasilkan penglihatan binokular
tunggal (proses mental).13,14
Oleh karena itu, kondisi patologis yang mengganggu salah satu mekanisme di
atas sewaktu beberapa tahun pertama kehidupan akan menghambat perkembangan
penglihatan binokular tunggal dan dapat menyebabkan strabismus. Susunan
organisasi normal dari penglihatan binokular dapat diubah pada strabismus
infantil dengan supresi atau korespondensi retina yang abnormal. Oleh karena itu,
kebanyakan pasien strabismus tidak mengalami diplopia dan kebingungan visual.
Penglihatan tunggal dicapai dengan supresi, yang menyebabkan peniadaan
persepsi obyek-obyek yang normalnya terlihat pada mata yang deviasi sewaktu
melihat binokular secara simultan.12,13
Kondisi anatomis dan fisiologis tertentu turut berperan dalam perkembangan
penglihatan binokular pada beberapa tahun pertama kehidupan. Faktor-faktor
yang berperan dalam perkembangan penglihatan binokular dan yang
memungkinkan kedua mata untuk berfungsi dalam suatu cara yang terkoordinasi
adalah :
1. Faktor anatomis: kedua mata terletak di dalam orbita pada suatu posisi tertentu
sehingga aksis visual terarah dalam arah yang sama. Hal ini disebabkan oleh
bentuk dari orbita dan keberadaan dari ligamen-ligamen disekitar bola mata, otot-
otot dan jaringan-jaringan ikat.
2. Faktor fisiologis: perkembangan penglihatan binokular bergantung pada
refleks-refleks binokular fisiologis normal tertentu. Refleks-refleks tersebut dapat
berupa bawaan atau didapat sebagai hasil dari stimulasi yang tepat. Berbagai
refleks-refleks binokular adalah :
a. Refleks fiksasi

14
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Refleks fiksasi kompensasi (refleks gravitasional). Fungsi dari refleks ini


adalah untuk mempertahankan mata dalam suatu posisi tertentu yaitu melihat
dalam arah yang diperlukan sebagai kompensasi bagi pergerakan dari tubuh,
kepala, tungkai, dan sebagainya.
Refleks fiksasi orientasi. Dapat ditunjukkan dengan mata yang mengikuti suatu
obyek atau panorama yang bergerak. Refleks ini berhubungan dengan aksis
horizontal.
Reflek konvergensi akomodasi. Bertujuan agar mata tetap sejajar secara tepat
dan menjaganya agar tetap fokus pada obyek.
b. Refleks refiksasi. Berfungsi untuk mengembalikan mata ke titik orientasi awal
atau ke titik orientasi baru.
Penelitian elektrofisiologis telah menunjukkan bahwa bayi dapat mendeteksi
disparitas retina di antara usia 2-5 bulan tapi sedikit yang diketahui mengenai
perkembangan ketajaman stereoskopis di antara usia 6 bulan hingga 3 tahun,
ketika anak telah mampu secara adekuat untuk memahami tes-tes subyektif.
Bagaimanapun, secara umum telah disepakati bahwa terdapat suatu peningkatan
gradual dalam ketajaman stereoskopis hingga usia 9 tahun.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada manusia periode sensitif dari
perkembangan penglihatan binokular dimulai pada usia sekitar 3 bulan, mencapai
puncaknya pada usia 1 hingga 3 tahun, telah berkembang sempurna pada usia 4
tahun dan secara perlahan menurun hingga berhenti pada usia 9 tahun. Berbagai
hambatan dalam jalur refleks sangat mungkin akan menghambat perkembangan
dari penglihatan binokular terutama pada periode sensitif sewaktu 2 tahun pertama
kehidupan. Hambatan-hambatan tersebut dapat berupa :
a. Hambatan sensoris
Hambatan dioptris seperti kekeruhan media, kelainan refraksi yang tidak
dikoreksi.
Aktivitis uniokular yang lama seperti ptosis berat, anisometropia.
Hambatan retinoneural seperti lesi pada retina atau nervus optik.
Hambatan proprioseptif.
b. Hambatan motoris

15
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Malformasi kraniofasial kongenital.


Kondisi-kondisi yang mempengaruhi otot-otot ekstraokular.
Lesi pada sistem saraf pusat termasuk batang saraf dan akar nukleus.
c. Hambatan sentral, terdapatnya hambatan ini menimbulkan berbagai adaptasi
sensoris terhadap disfungsi binokular terutama jika faktor disruptif terdapat dalam
periode sensitif. Hal ini dapat dalam bentuk :
Korespondensi retina abnormal yaitu suatu kedaan dimana titik fovea pada
mata yang normal dengan titik ekstrafovea pada mata yang strabismus
mendapatkan arah visual yang sama (menjadi titik-titik yang berkorespondensi).
Supresi merupakan inhibisi kortikal aktif yang temporer dari bayangan suatu
obyek yang terbentuk pada retina mata yang strabismus. Fenomena ini hanya
terjadi sewaktu penglihatan binokular (dengan kedua mata terbuka).
Ambliopia adalah suatu reduksi unilateral atau, lebih jarang, bilateral dari
ketajaman visual dengan koreksi terbaik yang tidak dapat dianggap disebabkan
secara langsung oleh suatu abnormalitas struktural dari mata atau dari jalur visual
posterior.3,14

2.3.3. PEMERIKSAAN PENGLIHATAN BINOCULAR


Semua pemeriksaan ditujukan untuk menilai ada tidaknya: Korespondensi
retina normal atau abnormal, Supresi, Persepsi simultan, Fusi dengan beberapa
amplitudo, Stereopsis.14
Pemeriksaan penglihatan binocular yang bisa dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart.
Snellen chart adalah kumpulan huruf dengan ukuran panjang dan lebar tertentu
yang digunakan untuk mengukur ketajaman penglihatan hanya diambil level huruf
6/6 atau 20/20 yaitu level huruf yang wajib dibaca oleh orang normal pada jarak 6
meter atau 20 kaki. Diambil level huruf 20/20 karena pada level ini adalah level
standar dimana orang normal masih bisa membaca huruf ini dengan dengan jelas.
Apabila pasien hanya bisa membaca level20/20 seperti level 20/25, 20/30, 20/40
dan seterusnya, maka pasien tersebut mempunyai kelainan mata.21

16
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

2. Cover Test
Pada pasien dengan ortoforia, masing-masing mata menyesuaikan diri dengan
objek fiksasi. Oleh sebab itu menutup salah satu mata tidak me-nimbulkan
gerakan fiksasi pada mata sebelahnya. Pada pasien mikrotropia, hasil pemeriksaan
dengan cover test tergantung dari pola fiksasinya. Apabila belum terjadi fiksasi
eksentrik, akan terjadi gerakan yang halus/ se-dikit pada pemeriksaan cover test.
Cover test bisa mengungkap ada atau tidak adanya deviasi laten, yaitu pada pasien
dengan microtropia with identity atau pada microtropia without identity dengan
deviasi manifest kecil (<5˚). Deviasi manifest kecil biasanya terlihat, kecuali pada
microtropia with identity.

3. Fiksasi
Saat mata normal berfiksasi, baya-ngan akan jatuh di foveola yang terletak di
pusat dalam fovea. Titik fiksasi bisa diklasifikasikan menjadi fiksasi sentral
(foveolar) dan eksentrik. Pada fiksasi eksentrik, area retina yang digunakan untuk
fiksasi adalah di parafoveolar atau di parafovea atau bisa juga di perifer (di luar
fovea) (gambar 2.7.). Fiksasi parafovea sering terlihat pada banyak kasus
mikrotropia. Pemeriksaan fiksasi dengan oftalmoskop yang dikenal dengan
visuskop yang berguna untuk mendiagnosa bentuk fiksasi.

Gambar 2.7. Titik fiksasi. (1) parafoveolar, (2) parafovea, (3dan4) perifer.

17
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

4. 4Δ Base Out Prism Test


Skotoma sangat mudah di deteksi dengan 4Δ base out prism test. Pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan objektif yang berguna untuk memperlihatkan adanya
skotoma pa-da mikrotropia atau bisa digunakan untuk membedakan antara
bifoveal fiksasi dengan skotoma supresi sentral.Bila prisma diletakkan pada mata
yang mikrotropia (OS), maka tak ada gerakan pada mata kanan. Bila diletakkan
pada mata yang normal (OD) maka akan terlihat gerakan kedua mata ke kiri
(gambar 2.8.).

Gambar 2.8. 4Δ prism test pada mikrotropia mata kiri dengan skotoma supresi
sentral. (A) Tidak ada pergerakan pada kedua mata, (B) Kedua mata bergerak ke
kiri tapi tidak ada refiksasi.

5. Bagolini striated glasses


Pemeriksaan ini merupakan tes yang cepat, sederhana dan informatif untuk ARC
pada pasien strabismus. Lensa Bagolini terdiri dari lensa-lensa optik plano dengan
alur-alur halus yang sama sekali hampir tidak membuat kabur penglihatan
sekelilingnya, tetapi bila kaca ini untuk melihat titik sumber cahaya maka akan
tampak sebagai garis terang. Lensa dengan strip-strip ini ditem-patkan demikian
rupa sehingga strip itu pada posisi 45 derajat pada mata kiri dan 135 derajat pada

18
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

mata ka-nan, sehingga saat cahaya melewati lensa menghasilkan garis yang
membentuk sudut 90 derajat pada satu dengan yang lainnya (gambar 2.9.). Pasien
kemudian diarahkan ke sumber cahaya pada jarak 1/3 dan 6 meter dan diminta
untuk menggam-barkan pada selembar kertas apa yang dilihat oleh pasien (jumlah
garis serta posisi garis yang terlihat). Apabila pasien melihat dua garis, maka
ditanya apakah garis tersebut bersilangan atau terpisah, terlihat menetap atau
kadang-kadang menghilang. Jika kedua garis tadi terlihat bersilangan, tanyakan
juga apakah terdapat celah atau gap pada salah satu garis. Hal ini disebabkan
karena adanya ARC dengan adanya titik fiksasi di skotoma pasien yang menderita
mikrotropia (tabel 2.1.).

Gambar 2.9. Lensa Bagolini yang di letakkan pada trial frame dengan the axis
dari striation pada sudut 135°pada mata kanan dan 45° pada mata kiri.

19
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Tabel 2.1. Interpretasi pemeriksaan Bagolini striated glass

6. Worth Four Dot Test (WFDT)


WFDT merupakan untuk menilai fusi dan supresi pada jarak dekat dan jauh.
Pemeriksaan ini terdiri dari susunan empat buah titik yang disusun sedemikian
rupa, yang biasanya berupa titik merah, putih dan dua titik hijau (gambar 2.10.).
Pasien memakai kacamata red filter terletak didepan satu mata dan green filter
pada mata yang lain. Cahaya merah dapat dilihat oleh mata yang tertetak
dibelakang lensa merah, tetapi cahaya hijau tidak tampak karena lensa merah
menyerap panjang gelombang cahaya hijau. sebaliknya pada lensa hijau dapat
melihat cahaya hijau, tetapi tidak cahaya merah.

Gambar 2.10. Near and distance WFDT

20
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Pasien melihat pada sebuah target yang terdiri dari empat titik cahaya, yaitu satu
merah, dua hijau, dan satu putih. Saat melihat target tersebut pada jarak jauh (6
meter), akan menstimulasi primary central vision. Ketika pasien melihat keempat
titik cahaya tersebut pada jarak 33cm, peripheral fusion yang akan terstimulasi1.
Prosedur pemeriksaan WFDT:
a. Pasien harus menggunakan kedua matanya untuk melihat 4-dot pada waktu
yang bersamaan.
b. Jangan izinkan pasien melihat 4-dot sebelum pasien menggunakan kacamata
red-green.
c. Perintahkan pasien menggunakan kacamata red-green. Mata yang memakai
filter merah akan melihat cahaya merah, sebaliknya mata yang menggunakan filter
hijau akan melihat cahaya hijau.
d. Pastikan pasien berada di jarak 6 meter untuk pemeriksaan jarak jauh dan 33
cm atau posisi baca untuk pemeriksaan dekat. Dan pastikan ruangan pemeriksaan
dalam keadaan terang. Membandingkan bayangan hasil WFDT pada jarak 6 meter
dengan 0,33 meter merupakan salah satu cara yang terbaik untuk menegakkan
mikrotropia atau sindroma monofiksasi. Pada jarak 0,33 meter (near WFDT) ke-4
titik akan terlihat secara jelas karena ke empat titik ini difusikan pada 6 derajat
sehingga semua titik terdapat di luar skotoma. Sedangkan pada jarak 6 meter
(distant WFDT), pasien akan melihat 2 titik karena titik difusikan pada 1.25
derajat sehingga terdapat di area skotoma (gambar 2.11.).

21
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Gambar 2.11. Hasil pemeriksaan pada pasien dengan esotropia dengan ARC dan
supresi dan dengan monofixation syndrome (mikrotropia)

7. Stereoacuity test adalah pengung-kapan kuantitatif stereopsis yang di-rancang


untuk mengukur kemam-puan seseorang dalam mendeteksi jumlah disparitas
image retina dalam konteks pandangan binokular. Ste-reoacuity ini dinyatakan
dalam detik busur. Tajam penglihatan stereos-kopis seseorang bisa ditentukan
dengan pemeriksaan TNO test serta Titmus stereofly plate test (yang
ketajamannya 3000 detik busur) (gambar 12 dan 13).

Gambar 2.12. TNO test

22
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Gambar 2.13. Titmus test


Pada pemeriksaan TNO, diguna-kan sebuah buku yang tiap lembarnya ada
gambar yang dibentuk oleh titik-titik merah dan hijau yang tersusun sede-mikian
rupa yang memberikan kesan tiga dimensi, bila dilihat dengan kacamata merah
hijau. Pada lembaran pertama terdapat gambar kupu-kupu yang merupakan objek
dengan stereoskopik kasar (2000 detik busur) yang bisa dilihat dengan satu mata
(tanpa kesan ruang atau tiga dimensi), dan lembar selanjut-nya terdapat gambar
yang hanya dapat dilihat dengan tiga dimensi yang mem-punyai ketajaman
stereoskopik.
Tiap lembar mempunyai tajam penglihatan stereoskopik dengan dispari-tas yang
berbeda-beda mulai dari yang halus (15 derajat busur) sampai yang kasar (480
derajat busur). Pemeriksaan dilakukan dengan memakai kaca mata merah dan
hijau (hijau pada mata kanan) pada jarak 40 cm dari mata pasien. Normalnya akan
dapat melihat gambar dengan ketajaman stereoskopik 68 detik busur atau lebih
baik, sedangkan pada tajam penglihatan stereoskopik lebih jelek dari 40 detik
busur bisa saja dise-babkan oleh kelainan refraksi, strabismus, deprivasi atau
terdapat kelainan organik.

23
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Pada mikrotropia terdapat stereo-sis derajat rendah, dimana pada seba-gian besar
pasien didapatkan ukuran 200-3000 detik busur.

8. Afterimage test
Suatu kesatuan dari arah respon sensori pada setiap mata dapat diarti-kan sebagai
afterimage. Afterimage memiliki kekhasan objek nyata dan berlangsung lama
setelah stimulus asli berhenti4,7. Pemeriksaan ini sangat penting untuk
mendiagnosis suatu ARC yang menggunakan camera flash untuk memproduksi
afterimage vertikal pada satu mata dan afterimage horizontal pada mata lainnya.
Bagian sentral dari flash ditutup dengan penanda hitam (digunakan sebagai titik
fiksasi dan proteksi fovea). Pemeriksaan ini meli-batkan stimulus dari makula
pada masing-masing mata dengan garis afterimage yang berbeda, satu horizontal
dan satu vertikal. Afterimage vertikal diletakkan pada mata yang deviasi dan
horizontal pada mata yang berfiksasi. Pasien menunjukkan posisi relatif dua
bagian yang terputus (two gaps) di tengah masing-masing afteri-mage.
Interpretasi dengan fiksasi sentral adalah (gambar 2.15.):
- Persilangan yang simetris dengan adanya gap sentral yang berimpit
mengindikasikan NRC.
- Pasien dengan esotropia kiri melihat afterimage vertikal terletak di kanan dan
pada kasus eksotropia kiri pasien melihat afterimage vertikal berada di kiri.

24
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

Gambar 2.14. Cara pemeriksaan after image

Gambar 2.15. After image test. A. Normal (cross) pada NRC. B. Anomalous
crossed localization pada esotropia. C. Anomalous uncrossed localization pada
eksotropia.

25
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

9. Bruckner test
Pemeriksaan ini biasanya digu-nakan sebagai screening. Pemerik-saan dilakukan
dengan melihat reflek fundus memakai oftalmoskop pada jarak 75 cm untuk
mencari kelainan refraksi, strabismus de-ngan 4 atau lebih prisma dioptri,
anisometropia dengan 1 atau lebih prisma dioptri. Reflek fundus pada mata yang
deviasi terlihat lebih terang dari mata yang fiksasi.4

26
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

BAB III
KESIMPULAN

Penglihatan binokular secara harfiah berarti penglihatan dengan 2 mata


dan dengan adanya penglihatan binokular, kita dapat melihat dunia dalam 3
dimensi meskipun bayangan yang jatuh pada kedua retina merupakan bayangan 2
dimensi. Penglihatan binokular juga memberikan beberapa keuntungan berupa
ketajaman visual, kontras sensitivitas, dan lapangan pandang penglihatan yang
lebih baik dibandingkan dengan penglihatan monokular. Penglihatan binokular
normal memerlukan aksis visual yang jernih, fusi sensoris, dan fusi motoris. Pada
manusia, periode sensitif dari perkembangan penglihatan binokular dimulai pada
usia sekitar 3 bulan, mencapai puncaknya pada usia 1 hingga 3 tahun, telah
berkembang sempurna pada usia 4 tahun dan secara perlahan menurun hingga
berhenti pada usia 9 tahun. Berbagai hambatan, berupa hambatan sensoris,
motoris,dan sentral, dalam jalur refleks sangat mungkin akan menghambat
perkembangan dari penglihatan binokular terutama pada periode sensitif sewaktu
2 tahun pertama kehidupan.

27
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan, W. 2007. Gangguan Penglihatan Pada Anak Karena Ambliopia


dan Penanganannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Available
from: http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1079_pp0911248.pdf

2. Sherwood L. Human Physiology:from cells to system. 9th Ed. Canada:


Cengage Learning,2014.
3. Syauqie M., Putri SHM. Development of Binocular Vision. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2014;3(1) p. 8-13
4. Diolanda L., Putri SHM. Teknik Pemeriksaan Pada Mikrotropia. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2014;3(37) p. 226-35
5. Bjorn, VS, Irsch K, Guyton D. L, Burrows AM, Cohn, JF. Anatomy of
Eyes. Encyclopedia of Biometrics, 11–16. 2009.
6. Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2014;1-12
7. Faiz O,Moffat D. At a Glance Anatomi. Jakarta : Erlangga, 2002; 150-1
8. Riordan-eva P, Whitcher J P. Vaughan & Asburry Ofthalmologi Umum.
Edisi 17. Jakarta : EGC, 2007; 1-27
9. Guyton, A. C., Hall, J. E . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 2014;641-53
10. Barrett KE, William FG. Ganong's Review of Medical Physiology. New
York: McGraw-Hill Medical, 2012.
11. Biswell R, Vaughan DG, Asbury T. Anatomi dan Embriologi Mata.
Dalam: Oftalmologi Umum Ed. 17. Jakarta: EGC;2010.
12. Asakawa K, Ishikawa H. Binocular Vision and Depth Perception:
Development and Disorders. In: Binocular Vision: Development, Depth
Perception and Disorders. New York: Nova Science Publishers, Inc.;
2010. p. 139-54.
13. Khurana AK. Anatomy and Development of Eye. In: Comprehensive
Ophthalmology 6th Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publisher; 2015.

28
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029

14. Bhola R. Binocular Vision. EyeRounds.org. Jan 23, 2006; Available from
http://eyerounds.org/tutorials/Bhola-BinocularVision.htm
15. Ansons AM, Davis H. Binocular Function. In: Diagnosis and Management
of Ocular Motility Disorders. Oxford: Blackwell Science Ltd.; 2001. p.
144-69
16. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Sensory Physiology and Pathology. In:
Pediatric Ophthalmology and Strabismus. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology; 2011. p. 39-46
17. Recker D, Lang GK. Ocular Motility and Strabismus. In: Ophthalmology
A Pocket Textbook Atlas. New York: Thieme; 2006. p. 473- 7.
18. Goodman RL. Pediatrics and Strabismus. In: Ophtho Notes The Essential
Guide. New York: Thieme; 2003. p. 341-4.
19. Saputra D. Hubungan Derajat Miopia dengan Penglihatan Stereoskopis
pada Anak Sekolah Menengah Pertama. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Medan. 2018. Available from:
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/10456/147041182.p
df?sequence=1&isAllowed=y
20. Howard IP, Rogers BJ. Introduction. In: Binocular Vision and Stereopsis.
New York: Oxford University Press; 1995. p. 1-30.
21. Priambodo WW., Rizal A., Halomoa J. Perangkat Pengukur Rabun Jauh
dan Rabun Dekat pada Mata Berbasis Mikrokontroler.2012;5(2) p. 90-7
1.

29

Anda mungkin juga menyukai