PAPER
BINOCULAR VISION
Disusun oleh:
Satria Nugraha HSB
140100029
Pembimbing:
dr. H. Aryani A. Amra, M.Ked (Oph), Sp.M(K)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan
judul “Visual Development”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada dokter pembimbing penulis dr. H. Aryani A. Amra, M.Ked (Oph),
Sp. M (K), yang telah meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan serta
masukan dalam penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari
kesempurnaan baik isi maupun susunan bahasa, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan paper
selanjutnya.
Paper ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat menjadi
referensi dalam pengembangan wawasan di bidang medis.
Penulis
i
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
DAFTAR ISI
ii
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
DAFTAR GAMBAR
iii
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
DAFTAR TABEL
iv
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
BAB I
PENDAHULUAN
1
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
Penglihatan binokular dibagi dalam tiga tingkat yaitu persepsi simultan, fusi
dan stereopsis. Apabila terjadi deviasi visual aksis, maka bayangan pada bidang
binokular akan bergeser. Pada keadaan ini akan terjadi dua hal, yaitu:
1. Konfusi yaitu suatu keadaan dimana objek yang berbeda akan diproyek-sikan
pada area yang koresponden (dua bayangan yang muncul saling tumpang tindih).
2. Diplopia yaitu objek yang identik (titik fiksasi) akan diproyeksikan di retina
yang berbeda (di fovea pada satu mata dan di retina perifer mata yang lain).
Sehingga untuk mengatasi masalah penglihatan binokular yang abnormal, ada
beberapa mekanisme adaptasi yaitu supresi, ARC.4
2
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan erat dengan kornea
dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus sklera berjalan dari papil saraf optik
sampai kornea. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm ia masih tahan terhadap
kontusi trauma tumpul.6
3
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
4
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
c. Kornea
Kornea normal berupa selaput transparan yang terletak di permukaan bola
mata. Kornea di bagian sentral memiliki tebal 0,5 mm. Kornea tidak mempunyai
pembuluh darah, namun kornea sangat kaya akan serabut saraf. Saraf sensorik ini
berasal dari saraf siliar yang merupakan cabang oftalmik saraf trigeminus (saraf
V).
e. Badan Siliaris
Badan siliaris merupakan jaringan berbentuk segitiga yang terletak melekat
pada sklera. Badan siliaris berfungsi menyokong lensa, mengandung otot yang
memungkinkan lensa untuk berakomodasi dan berfungsi untuk menyekresikan
cairan mata.
f. Iris
Iris merupakan bagian dari uvea anterior dan melekat di bagian perifer dengan
badan siliar. Bagian depan iris tidak memiliki epitel, sedangkan di bagian
belakang terdapat epitel yang berpigmen sehingga memberikan warna pada iris.
Pada iris terdapat celah yang disebut pupil. Pupil berperan dalam mengatur jumlah
sinar yang masuk ke mata. Pupil akan membesar atau midriasis pada saat
pencahayaan kurang, dan mengecil atau miosis pada saat pencahayaan berlebih.
5
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
g. Lensa
Lensa berbentuk bikonvek bening yang tembus cahaya yang terletak di
belakang iris dan di depan korpus vitreosus dengan ketebalan sekitar 5 mm dan
berdiameter 9 mm pada orang dewasa. Permukaan lensa bagian posterior lebih
melengkung dibandingkan bagian anterior.6 Lensa memiliki daya bias total hanya
20 dioptri atau sepertiga dari daya bias total mata. Namun, lensa sangat penting
karena sebagai respon terhadap sinyal saraf dari otak, lengkung permukaannya
dapat mencembung sehingga memungkinkan terjadinya akomodasi.9
i. Retina
Retina merupakan membran tipis yang terdiri atas saraf sensorik penglihatan
dan serat saraf optik. Retina merupakan jaringan saraf mata yang di bagian
luarnya berhubungan dengan koroid. Koroid memberi nutrisi pada retina luar atau
sel kerucut dan sel batang. Retina bagian dalam mendapat metabolisme dari arteri
6
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
retina sentral. Retina terdiri atas 3 lapis utama yang membuat sinap saraf sensibel
retina, yaitu sel kerucut dan sel batang, sel bipolar, dan sel ganglion.
j. Makula Lutea
Merupakan saraf penglihatan sentral dimana ketajaman penglihatan
maksimal. Makula lutea terdapat pada retina.
7
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai
ametropia yang dapat berupa myopia, hipermetropia, atau astigmatisma.5
8
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
lapisan bersatu. Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan sel bipolar dan
ganglionik sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan sel
bipolar dan ganglionic. Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina,
impuls yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, akan melewati khiasma
optikum yang merupakan persilangan yang berada pada sirkulus wilisi pada otak.
Sebagian impuls dari saraf optik masing-masing bola mata akan bersilangan di
khiasma optikum. Kemudian impuls akan menuju korpus genikulatum lateral
yang berada pada ujung optic tract. Setelah itu, impuls kemudian dilanjutkan
geniculocalcarine tract. Geniculocalcarine tract ini juga disebut sebagai radiasio
optik karena fungsinya sebagai penyebar impuls ke bagian dari white matter pada
otak. Terakhir, impuls tersebut akan sampai pada primary visual cortex (striate
cortex) pada area 17 Broadmann.
9
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
10
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
11
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
suatu elemen retina perifer pada mata yang deviasi. Persepsi simultan
hanya menunjukkan terdapat atau tidaknya suatu supresi.14,16
2. Fusi. Fusi adalah pertumbuhan bayangan menjadi satu atau persatuan,
peleburan, dan penggabungan di otak yang berasal dari 2 bayangan mata
sehingga secara mental berdasarkan kemampuan otak didapatkan suatu
penglihatan tunggal, yang berasal dari sensasi (penghayatan) masing-
masing mata.6
Fusi terjadi hanya ketika kedua retina menyampaikan gambaran visual
yang sama, yaitu mentransmisikan bayangan yang identik ke otak, maka
kedua bayangan retina tersebut akan tergabung membentuk suatu persepsi
tunggal. Fusi yang terganggu dapat mengakibatkan penglihatan ganda
(horror fusionis atau diplopia).17
Fusi mempunyai 2 komponen yaitu:
a) Fusi sensoris, adalah suatu proses kortikal penyatuan bayangan dari tiap
mata ke dalam gambaran stereopsis binokular tunggal. Fusi ini terjadi
ketika serabut saraf optik dari retina nasal menyilang di khiasma untuk
menyatu dengan serabut saraf retina temporal yang tak menyilang dari
mata lainnya. Bersama, serabut temporal ipsilateral dan serabut nasal
kontralateral menuju ke nukleus genikulatum lateral dan selanjutnya ke
korteks striata. Sel-sel kortikal binokular, bersama dengan neuron-neuron
di area asosiasi visual pada otak, menghasilkan penglihatan binokular
tunggal dengan penglihatan stereopsis.
b) Fusi motoris, adalah suatu mekanisme yang memungkinkan pengaturan
halus dari posisi mata untuk mempertahankan kesejajaran bola mata
sehinga fusi sensoris dapat dipertahankan. Fusi motoris ini distimulasi oleh
disparitas retina di luar area Panum dan beraksi sebagai suatu mekanisme
pengunci untuk menjaga mata sejajar pada target visual ketika target
tersebut bergerak dalam ruang. Fusi motoris merupakan fungsi khusus dari
retina perifer ekstrafovea. Tidak terdapat stimulus untuk fusi motoris
ketika bayangan dari suatu obyek visual yang difiksasi jatuh pada fovea
tiap-tiap mata.16
12
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
13
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
14
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
15
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
16
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
2. Cover Test
Pada pasien dengan ortoforia, masing-masing mata menyesuaikan diri dengan
objek fiksasi. Oleh sebab itu menutup salah satu mata tidak me-nimbulkan
gerakan fiksasi pada mata sebelahnya. Pada pasien mikrotropia, hasil pemeriksaan
dengan cover test tergantung dari pola fiksasinya. Apabila belum terjadi fiksasi
eksentrik, akan terjadi gerakan yang halus/ se-dikit pada pemeriksaan cover test.
Cover test bisa mengungkap ada atau tidak adanya deviasi laten, yaitu pada pasien
dengan microtropia with identity atau pada microtropia without identity dengan
deviasi manifest kecil (<5˚). Deviasi manifest kecil biasanya terlihat, kecuali pada
microtropia with identity.
3. Fiksasi
Saat mata normal berfiksasi, baya-ngan akan jatuh di foveola yang terletak di
pusat dalam fovea. Titik fiksasi bisa diklasifikasikan menjadi fiksasi sentral
(foveolar) dan eksentrik. Pada fiksasi eksentrik, area retina yang digunakan untuk
fiksasi adalah di parafoveolar atau di parafovea atau bisa juga di perifer (di luar
fovea) (gambar 2.7.). Fiksasi parafovea sering terlihat pada banyak kasus
mikrotropia. Pemeriksaan fiksasi dengan oftalmoskop yang dikenal dengan
visuskop yang berguna untuk mendiagnosa bentuk fiksasi.
Gambar 2.7. Titik fiksasi. (1) parafoveolar, (2) parafovea, (3dan4) perifer.
17
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
Gambar 2.8. 4Δ prism test pada mikrotropia mata kiri dengan skotoma supresi
sentral. (A) Tidak ada pergerakan pada kedua mata, (B) Kedua mata bergerak ke
kiri tapi tidak ada refiksasi.
18
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
mata ka-nan, sehingga saat cahaya melewati lensa menghasilkan garis yang
membentuk sudut 90 derajat pada satu dengan yang lainnya (gambar 2.9.). Pasien
kemudian diarahkan ke sumber cahaya pada jarak 1/3 dan 6 meter dan diminta
untuk menggam-barkan pada selembar kertas apa yang dilihat oleh pasien (jumlah
garis serta posisi garis yang terlihat). Apabila pasien melihat dua garis, maka
ditanya apakah garis tersebut bersilangan atau terpisah, terlihat menetap atau
kadang-kadang menghilang. Jika kedua garis tadi terlihat bersilangan, tanyakan
juga apakah terdapat celah atau gap pada salah satu garis. Hal ini disebabkan
karena adanya ARC dengan adanya titik fiksasi di skotoma pasien yang menderita
mikrotropia (tabel 2.1.).
Gambar 2.9. Lensa Bagolini yang di letakkan pada trial frame dengan the axis
dari striation pada sudut 135°pada mata kanan dan 45° pada mata kiri.
19
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
20
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
Pasien melihat pada sebuah target yang terdiri dari empat titik cahaya, yaitu satu
merah, dua hijau, dan satu putih. Saat melihat target tersebut pada jarak jauh (6
meter), akan menstimulasi primary central vision. Ketika pasien melihat keempat
titik cahaya tersebut pada jarak 33cm, peripheral fusion yang akan terstimulasi1.
Prosedur pemeriksaan WFDT:
a. Pasien harus menggunakan kedua matanya untuk melihat 4-dot pada waktu
yang bersamaan.
b. Jangan izinkan pasien melihat 4-dot sebelum pasien menggunakan kacamata
red-green.
c. Perintahkan pasien menggunakan kacamata red-green. Mata yang memakai
filter merah akan melihat cahaya merah, sebaliknya mata yang menggunakan filter
hijau akan melihat cahaya hijau.
d. Pastikan pasien berada di jarak 6 meter untuk pemeriksaan jarak jauh dan 33
cm atau posisi baca untuk pemeriksaan dekat. Dan pastikan ruangan pemeriksaan
dalam keadaan terang. Membandingkan bayangan hasil WFDT pada jarak 6 meter
dengan 0,33 meter merupakan salah satu cara yang terbaik untuk menegakkan
mikrotropia atau sindroma monofiksasi. Pada jarak 0,33 meter (near WFDT) ke-4
titik akan terlihat secara jelas karena ke empat titik ini difusikan pada 6 derajat
sehingga semua titik terdapat di luar skotoma. Sedangkan pada jarak 6 meter
(distant WFDT), pasien akan melihat 2 titik karena titik difusikan pada 1.25
derajat sehingga terdapat di area skotoma (gambar 2.11.).
21
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
Gambar 2.11. Hasil pemeriksaan pada pasien dengan esotropia dengan ARC dan
supresi dan dengan monofixation syndrome (mikrotropia)
22
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
23
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
Pada mikrotropia terdapat stereo-sis derajat rendah, dimana pada seba-gian besar
pasien didapatkan ukuran 200-3000 detik busur.
8. Afterimage test
Suatu kesatuan dari arah respon sensori pada setiap mata dapat diarti-kan sebagai
afterimage. Afterimage memiliki kekhasan objek nyata dan berlangsung lama
setelah stimulus asli berhenti4,7. Pemeriksaan ini sangat penting untuk
mendiagnosis suatu ARC yang menggunakan camera flash untuk memproduksi
afterimage vertikal pada satu mata dan afterimage horizontal pada mata lainnya.
Bagian sentral dari flash ditutup dengan penanda hitam (digunakan sebagai titik
fiksasi dan proteksi fovea). Pemeriksaan ini meli-batkan stimulus dari makula
pada masing-masing mata dengan garis afterimage yang berbeda, satu horizontal
dan satu vertikal. Afterimage vertikal diletakkan pada mata yang deviasi dan
horizontal pada mata yang berfiksasi. Pasien menunjukkan posisi relatif dua
bagian yang terputus (two gaps) di tengah masing-masing afteri-mage.
Interpretasi dengan fiksasi sentral adalah (gambar 2.15.):
- Persilangan yang simetris dengan adanya gap sentral yang berimpit
mengindikasikan NRC.
- Pasien dengan esotropia kiri melihat afterimage vertikal terletak di kanan dan
pada kasus eksotropia kiri pasien melihat afterimage vertikal berada di kiri.
24
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
Gambar 2.15. After image test. A. Normal (cross) pada NRC. B. Anomalous
crossed localization pada esotropia. C. Anomalous uncrossed localization pada
eksotropia.
25
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
9. Bruckner test
Pemeriksaan ini biasanya digu-nakan sebagai screening. Pemerik-saan dilakukan
dengan melihat reflek fundus memakai oftalmoskop pada jarak 75 cm untuk
mencari kelainan refraksi, strabismus de-ngan 4 atau lebih prisma dioptri,
anisometropia dengan 1 atau lebih prisma dioptri. Reflek fundus pada mata yang
deviasi terlihat lebih terang dari mata yang fiksasi.4
26
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
BAB III
KESIMPULAN
27
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
DAFTAR PUSTAKA
28
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : SATRIA NUGRAHA HSB
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100029
14. Bhola R. Binocular Vision. EyeRounds.org. Jan 23, 2006; Available from
http://eyerounds.org/tutorials/Bhola-BinocularVision.htm
15. Ansons AM, Davis H. Binocular Function. In: Diagnosis and Management
of Ocular Motility Disorders. Oxford: Blackwell Science Ltd.; 2001. p.
144-69
16. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Sensory Physiology and Pathology. In:
Pediatric Ophthalmology and Strabismus. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology; 2011. p. 39-46
17. Recker D, Lang GK. Ocular Motility and Strabismus. In: Ophthalmology
A Pocket Textbook Atlas. New York: Thieme; 2006. p. 473- 7.
18. Goodman RL. Pediatrics and Strabismus. In: Ophtho Notes The Essential
Guide. New York: Thieme; 2003. p. 341-4.
19. Saputra D. Hubungan Derajat Miopia dengan Penglihatan Stereoskopis
pada Anak Sekolah Menengah Pertama. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Medan. 2018. Available from:
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/10456/147041182.p
df?sequence=1&isAllowed=y
20. Howard IP, Rogers BJ. Introduction. In: Binocular Vision and Stereopsis.
New York: Oxford University Press; 1995. p. 1-30.
21. Priambodo WW., Rizal A., Halomoa J. Perangkat Pengukur Rabun Jauh
dan Rabun Dekat pada Mata Berbasis Mikrokontroler.2012;5(2) p. 90-7
1.
29