OLEH:
HERU RUSSARIANTO
187041050
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2022
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................................4
1.3.1. Tujuan Umum..............................................................................................4
1.3.2. Tujuan Khusus.............................................................................................4
1.4.Manfaat Penelitian...................................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................6
2.1 Definisi....................................................................................................................6
2.2 Epidemiologi Multiple Trauma...............................................................................6
2.3 Mekanisme Trauma...............................................................................................17
2.3.1 Mekanisme Trauma Velocity.......................................................................11
2.4 Patofisiologi Trauma.............................................................................................19
2.4.1 Teori satu hit(one-hit theory).......................................................................20
2.4.2 Teori dua hit(two-hit theory)............................................ ..........................21
2.4.3 Respon metabolik hormonal........................................................................22
2.4.4 Respon hemodinamik..................................................................................24
2.4.5 Respon imunologi........................................................................................25
2.4.6 Ischaemia/reperfusion injury.......................................................................27
2.5 Trauma Scoring System........................................................................................29
2.5.1 Injury Severity Score (ISS)..........................................................................30
2.6 Penatalaksanaan.....................................................................................................45
2.6.1 Triase...........................................................................................................45
2.6.2 Primary Survey............................................................................................46
2.6.3 Secondary Survey........................................................................................52
2.6.4 Pencitraan di Ruang Gawat Darurat............................................................55
2.6.5 Terapi Non Bedah, Early Total Care, dan Damage Control Surgery..........56
2.7 Kerangka Teori...............................................................................................58
i
ii
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
epidemiologi adalah morbiditas dan mortalitas. Saat ini, data mortalitas belum secara
rutin digunakan untuk memantau kinerja atau merencanakan kebijakan dan layanan.
Salah satu data mortalitas yang menyumbang angka terbanyak adalah kasus trauma.
setelah penyakit jantung dan stroke (Jose, Hernandez & Peggy., 2020; Richard, 2007)
Secara global, salah satu penyebab trauma yang paling banyak mengancam
nyawa adalah trauma non penetrasi, yang disebut juga dengan trauma tumpul,
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau akibat jatuh. Sebagai tambahan, kejadian
Trauma dapat terjadi di satu atau lebih bagian tubuh. Trauma yang terjadi
pada minimal 2 bagian tubuh dengan derajat keparahan yang cukup tinggi (ISS > 16)
disebut dengan trauma multiple. Multiple trauma atau sering disebut politrauma
2
adalah kondisi dimana terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau
ataupun berdampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan
Analisis distribusi kematian akibat trauma menjadi hal yang penting agar
dapat mengidentifikasi area yang perlu perbaikan baik di level preklinik maupun di
rumah sakit pelayanan trauma. Distribusi trimodal kematian akibat trauma telah
dideskripsikan sejak tiga dekade lalu dan masih dipertimbangkan sebagai standard di
kematian segera (dalam 60 menit pertama) dan mencakup hingga 45% semua korban
trauma. Penyebab kematian utama adalah cedera besar pada sistem saraf pusat atau
cedera pada sistem kardiovaskular. Puncak kedua adalah termasuk dalam kematian
awal (dalam 1 hingga 4 jam pertama) dan mencakup sekitar 34% kematian. Cedera
ketiga, yang mencakup kematian paling rendah (20%) dan termasuk kematian lambat
seperti sepsis atau multiple organ failure (MOF) (Lamichane, et al., 2013).
Harus dicatat bahwa tatalaksana medis primer setelah kejadian trauma dapat
layak, terorganisir, serta aman untuk pasien trauma membutuhkan ilmu pengetahuan
Sesuai dengan laporan dari Institute for Health Metrics and Evaluation
(IHME), multiple trauma dapat menyebabkan kecacatan akut pada pasien tiap
tahunnya di seluruh dunia (Trunkey et al., 1974). Sama halnya dengan laporan dari
Lendrum et.al yang menyatakan sebanyak 10% mortalitas seluruh dunia adalah akibat
multiple trauma, dengan persentase yang lebih tinggi dari pada HIV/AIDS,
mycobacterium tuberculosis, dan malaria (Verhoeff, et al., 2019). Selain itu, tingkat
mortalitas akibat multiple trauma pada negara maju berada pada angka kurang dari
10%. Sedangkan 90% sisanya terjadi pada negara berkembang (IHME, 2018).
Trauma masih menjadi penyebab utama kematian dan memiliki pengaruh besar pada
sistem kehidupan dan kesehatan pasien (Trunkey, 1974). Berdasarkan WHO Global
Status Report on Road Safety terdapat lebih dari 1,2 juta orang meninggal di jalan
raya setiap tahunnya di seluruh dunia dan sebanyak 50 juta lainnya mengalami
cedera. Khususnya pada negara berkembang, kecelakaan lalu lintas masih menjadi
masalah kesehatan yang serius (Verhoeff, et al., 2019). Data dari penelitian
mengusulkan bahwa identifikasi faktor risiko dan strategi berkaitan dengan luaran
pasien yang lebih baik. Data ini biasanya diambil dari pasien-pasien yang di bawa ke
rumah sakit. Namun begitu, terdapat banyak pasien dengan tingkat cedera fatal (50-
60%) yang tidak sampai ke rumah sakit dan meninggal di perjalanan (Lendrum,
2013).
Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik (RSUP HAM) Medan pada tahun 2015 jumlah penderita pasien trauma kepala
dengan multipel trauma adalah 236 penderita, yang terdiri dari 206 pasien berjenis
kelamin laki-laki dan 30 pasien berjenis kelamin perempuan (Pfeifer, et al., 2009).
4
Berdasarkan latar belakang dan data yang didapatkan, penulis tertarik untuk
membuat karya tulis ilmiah dengan judul “Mortality Rate pada Multiple Trauma di
Medan.
2. Mengetahui durasi out of Hospital pada mortality rate akibat multiple trauma
3. Mengetahui respons time pada mortality rate akibat multiple trauma di RSUP
4. Mengetahui Skor ISS pada mortality rate akibat multiple trauma di RSUP H.
5. Mengetahui mortality rate akibat multiple trauma pada first hits dan seconds.
Data dari penelitian ini dapat menjadi data di RSUP H. Adam Malik terkait
3. Fasilitas kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang benar
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
disebabkan oleh perubahan energi lingkungan yang melebihi ketahanan tubuh yang
diperparah oleh kematian sel akibat iskemia/reperfusi. Cedera apapun yang mengenai
tepat untuk multiple trauma adalah adanya cedera pada lebih dari satu area tubuh atau
lebih dari satu sistem. “Politrauma” didefinisikan sebagai adanya cedera pada rongga
tubuh (kepala, toraks, atau abdomen) yang bersamaan dengan terjadinya satu atau
lebih fraktur mayor tulang panjang atau pelvis atau vertebrae. Definisi ini juga
menyatakan bahwa kerusakan jaringan lunak luas dapat digantik untuk setara dengan
fraktur mayor. Definisi ini terbatas dan mengeksklusikan cedera serius pada dua
rongga tubuh tanpa fraktur atau cedera jaringan lunak luas (Sihotang & Dwi, 2018).
Indeks keparahan cedera yang populer saat ini tidak mendefinisikan multiple
prognosis pasien. Sebagai contoh, keparahan cedera injury severity score (ISS) adalah
berdasarkan fungsi kuadrat dari tiga area tubuh yang paling berat terlibat
2013).
6
7
85% di dunia, 11% kecacatan seumur hidup adalah disebabkan oleh trauma. Pada
negara-negara ini, mortalitas terkait trauma sebelum usia 70 tahun lebih tinggi
ekspektasi usia juga sangat rendah pada negara berpenghasilan rendah dan menengah
Adanya trauma sistem saraf pusat (SSP) dan cedera pada sistem lain
cedera dada dan abdomen atau pelvis adalah 36%. Untuk cedera SSP dan dada,
tingkat mortalitasnya adalah 50%, dan untuk cedera SSP dan abdomen atau pelvis
mortality. Lebih dari 50% pasien meninggal akibat cedera otak primer. Yang lain
meninggal dikarenakan perdarahan akibat cedera jantung, vaskular, atau hepar yang
besar. Multiple injury merupakan karakteristik dari cedera yang didapat oleh korban-
menemukan rasio cedera terhadap pasien adalah 1,55. Di Vietnam, rasio ini adalah
trauma yang berhasil bertahan hidup di fase-fase awal paska kejadian trauma
demikian, multiple organ failure (MOF) masih menjadi penyebab utama mortalitas
lambat paska cedera dan rawat inap intesive care unit (ICU), seperti yang
digambarkan pada beberapa penelitian (Baker, et al., 1974). Ciesla et.al melaporkan
overall incidence MOF adalah 25% pada pasien politrauma risiko tinggi yang diteliti
dalam 12 tahun studi prospektif. Selain itu, MOF paska cedera menyebabkan
peningkatan lama rawatan ICU dan mengakibatkan sekitar 51% kematian lambat
Penelitian oleh Byun et.al yang menyertakan sebanyak 17.007 pasien trauma
mengungkapkan data bahwa rerata pasien yang mengalami trauma adalah berusia
berdasarkan usia berada paling tinggi pada kelompok anak di bawah 10 tahun, yang
kemudian rendah hingga usia 20 tahun. Dari penelitian tersebut juga diungkapkan,
cedera yang terjadi akibat tergelincir dan jatuh adalah penyebab trauma paling
bermotor, dengan 15,4% sebagai penumpang, 4,6% sebagai pejalan kaki, 4,1%
mengendarai sepeda motor, dan 1,9% mengendarai sepeda. Sisanya 0,4% mengalami
cedera dari kecelakaan kendaraan bermotor lain. Tambahan 33,3% pasien trauma
berasal dari trauma tumpul, seperti kontusio akibat objek, dipukul, cedera terkait
olahraga, serta cedera akibat mesin. Sebanyak 9,2% mengalami trauma akibat benda
Trauma terjadi dimulai dengan adanya perpindahan energi yang berasal dari
luar ke dalam tubuh. Perpindahan energi kinetik dapat terjadi secara tumpul atau
tajam. Selain itu dua mekanisme tersebut, terdapat juga situasi dimana energi termal
dalam bentuk panas, dingin, atau agen kimiawi (Ciesla, et al., 2005).
Sedangkan pada individu lebih dari 65 tahun, terjatuh merupakan penyebab kematian
utama. Penyebab paling umum cedera tidak fatal yang dilaporkan oleh Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) adalah sebagai berikut (Byun, et al., 2015):
tahun
24 tahun
Trauma tumpul
Secara umum, lebih banyak energi ditransfer ke area yang lebih luas selama
tumpul berkaitan dengan cedera multipel yang terdistribusi luas, sedangkan trauma
kemungkinan mengalami cedera paling sering adalah organ-organ padat (hati, limpa,
mereka untuk multiple injuries : yaitu yang mengalami cedera energi tinggi dan
cedera energi rendah. Cedera yang melibatkan transfer energi tinggi yaitu kecelakaan
melebihi 20mph atau yang mana pasien terlempar keluar, kecelakaan sepeda motor,
dan jatuh dari ketinggian >20 kaki. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, variabel
cedera berhubungan erat dengan cedera yang mengancam nyawa, dan besarnya
kendaraan, dengan lama waktu pelepasan >20 menit, ΔV >20 mph, tidak adanya
Pada trauma energi rendah, seperti dipukul pentungan atau jatuh dari sepeda,
biasanya tidak menyebabkan cedera yang terdistribusi luas. Meski demikian, laserasi
organ dalam dapat berpotensi mematikan, karena kuatnya total energi keseluruhan
frontal, kepala yang menghantam kaca depan, dada dan abdomen atas menghantam
gagang stir, dan kaki atau lutut yang menghantam dashboard. Cedera seperti ini dapat
mengakibatkan fraktur fasial, fraktur tulang servikal, laserasi aorta torakal, kontusio
miokardium, cedera limpa dan hati, serta fraktur pelvis dan ekstremitas bawah.
11
Ketika pasien seperti ini dievaluasi, temuan satu dari cedera-cedera ini harus
dilanjutkan dengan pencarian cedera lain. Hantaman dari sisi samping juga membawa
risiko trauma servikal dan torakal, ruptur diafragma, dan crush injury cincin pelvis,
namun cedera organ padat baisanya terbatas pada hati atau limpa berdasarkan arah
hantaman. Tidak mengherankan jika walaupun pasien terlempar dari kendaraan atau
terlempar dengan kecepatan signifikan dari sepeda motor, pasien ini bisa juga
kecelakaan ini biasanya terjadi tanpa diduga, tidak jarang penumpang mengambil
napas dan menahan napasnya saat kejadian. Hantaman ke dada menekan paru yang
sabuk memiliki risiko lebih tinggi terlempar dari kursinya melalui mekanisme “up
and over” atau terperangkap di bawah dashboard melalui jalur “down and under”
(Dewar, 2009).
Pemakaian sabuk yang tepat (melingkupi bahu dan paha) menjaga penumpang
tetap di tempatnya dengan pergerakan dan cedera minimal. Kantung udara punya
ruang untuk mengembang (dengan kecepatan 20mph) tanpa memberi cedera berat
pada penumpang. Namun jika sabuk hanya melingkupi paha, hal ini dapat
kantung udara) dan sabuk yang hanya melingkupi bahu dapat menyebabkan pelvis
tergelincir ke bawah dan leher terperangkap pada sabuk bahu. Tabel di bawah ini
Tabel 2.1 Mekanisme Cedera terkait Kecelakaan Kendaraan Bermotor (Dewar, 2009)
belakang di L1-L2.
Cedera kantung udara - Kantung udara membutuhkan
tabrakan >35mph agar dapat
mengembang.
- Cedera ekstremitas atas, wajah, leher,
abrasio kornea, dada.
- Luka bakar atau abrasi dapat terjadi.
- Duduk terlalu dekat (<10-14 in)
menyebabkan cedera hiperfleksi
servikal.
- Kantung udara saja – 54%
meningkatkan cedera spinal cord
servikal pada pengendara.
Terjatuh menjadi salah satu mekanisme trauma paling umum terjadi di seluruh
kelompok umur, dengan angka tertinggi di kelompok anak-anak dan lansia. Jatuh
pada permukaan lantai/tanah (ground level falls/ GLF) dapat terjadi pada semua
kelompok umur, namun cedera paling sering terjadi pada lansia dikarenakan tulang
yang lebih rapuh (fraktur panggul yang dapat menyebabkan kematian). Cedera
vertebrae lumbar dan cedera spinal cord sering terjadi akibat hiperfleksi leher.
permukaan tajam atau tumpul yang dihantam oleh tubuh. Tidak jarang pada lansia
ditemukan subdural hematoma yang berprogres lambat. Pada jatuh tipe aksial, jatuh
Misal, mendarat dengan kaki dapat menyebabkan fraktur kalkaneus dan tulang
15
panjang, serta fraktur vertebrae lumbar dan thorakal akibat energi yang naik ke atas
tubuh. Terkadang korban terserempet sesuatu saat jatuh sehingga melukai bagian
tubuh lain. Aorta thorakal akibat perlekatannya ke ligamen biasanya rentan cedera.
Organ padat juga tidak dapat mentolerir stres beban aksial dan biasanya akan cedera.
Besarnya energi dampak harus dipahami, misal, jatuh dari ketinggian 10 kaki sama
seperti menangkap 200 pounds karung semen yang dilemparkan dari jendela dengan
langsung. Mekanisme langsung terjadi ketika cedera berada pada lokasi atau dekat
dengan lokasi terjadinya trauma. Mekanisme tidak langsung adalah ketika cedera
terjadi di lokasi yang jauh setelah adanya transmisi energi. Contohnya, terdapat dua
mekanisme berbeda yang dapat menyebabkan fraktur ulna. Ketika terdapat seorang
penyerang yang menggunakan tongkat kuat, korban biasanya akan melindungi kepala
dengan mengangkat tangan. Hantaman kemudian akan mengenai ulna. Hal ini dapat
menyebabkan fraktur terisolasi yang disebut fraktur nightstick. Hal seperti ini
energi; jaringan lunak dapat memar, kontusio atau laserasi di lokasi tersebut
(Brunicardi, 2014).
Situasi yang berbeda pada orang jatuh dengan tangan yang tertarik. Hal ini
dapat menyebabkan fraktur ulna namun dengan mekanisme tidak langsung. Energi
ditransmisikan melalui jaringan lunak di lokasi yang jauh dari pengaplikasian energi
awal. Pada keadaan ini, cedera terkait yang sering terjadi adalah dislokasi kepala
Trauma Tajam
tusuk, gunshot wound, shotgun wound). Luka tusuk dapat disebabkan oleh objek
tajam yang berbeda seperti pisau, belati, pecahan kaca atau logam lain. Bentuk luka
tidak khusus, dikarenakan elastisitas kulit yang biasanya mengecilkan bentuk luka
masuk. Keparahan cedera tergantung titik masuknya luka (luka di bawah puting di
thorakoabdominal), organ mana yang cedera (pembuluh darah dada, paru, jantung,
aorta thorakal, pelura viseral, esofagus, diafragma), bentuk dan ketajaman benda
tajam dan terakhir apakah senjata tajam masih berada di tubuh atau sudah ditarik
keluar. Pada kebanyakan kasus di daerah dada, senjata tajam penetrasi ke dinding
dada mengenai pembuluh darah interkostal, dan ujungnya mengenai pleura viseral
Kufera, 2007).
Trauma tajam oleh senjata api diklasifikasikan menjadi kecepatan tinggi dan
kecepatan rendah. Peluru kecepatan rendah bertindak kurang lebih sama seperti
cedera tusuk. Meski demikian, apabila kecepatan bertambah maka energi meningkat,
maka harus terdapat sistem tubuh untuk menghilangkan energi secara sederhana.
jalurnya dan menghasilkan akselerasi lateral yang menjauhi titik dampak. Gerakan
17
partikel jaringan ini menjauhi posisi asalnya menghasilkan sebuah kavitas. Terdapat 2
jenis kavitas: (1) kavitas permanen- yang menetap setelah dampak awal; (2) kavitas
sementara – yang berlangsung dalam milidetik, dan bisa saja tidak terlihat selama
pemeriksaan fisik luka. Kavitas sementara dapat meluas melebihi batas cedera yang
dan pola cedera lebih heterogen. Sebagian besar kasus disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas jalan, tabrakan, jatuh dari ketinggian dan serangan senjata, penyerangan
dengan trauma karena kecepatan tinggi secara langsung dikaitkan dengan transmisi
energi.
Energi kinetik berlaku untuk energi yang bergerak. Cedera berlipat ganda saat
berat badan berlipat ganda tetapi empat kali lipat saat kecepatan berlipat ganda. Saat
energi dipindahkan ke benda lain, maka akan dipercepat. Jika transfer energi ini ke
tubuh manusia dan berada di atas tingkat yang dapat ditoleransi tubuh, kerusakan
jaringan akan terjadi. Trauma kecepatan tinggi mengakibatkan fraktur, laserasi, dan
Curigai adanya kontusio paru dan patah tulang rusuk dengan kerusakan
ujung depan atau dekat benturan samping. Fraktur tulang rusuk cenderung
Berat badan pasien dan indeks massa tubuh (IMT) memiliki korelasi positif
Sabuk pengaman yang dipakai dengan tidak benar atau orang yang tidak
dan perut.
Benturan T-Bone atau lateral yang terkait dengan cedera aorta atau organ,
serta patah tulang panggul, leher, klavikula, dan tengkorak di sisi benturan.
bahwa ''kecepatan benda, lebih dari massanya, yang menentukan tingkat kerusakan ".
Dapat dipahami cedera tembus yang disebabkan oleh benda berkecepatan rendah,
pisau, atau proyektil senjata api kecepatan rendah (<1000 kaki/detik) umumnya
19
menyebabkan cedera minimal atau tidak ada cedera sekunder akibat kavitasi
sementara.
serangan ekstrim), organ dengan lokasi fiksasi anatomis dapat robek karena gaya
geser pada titik-titik tetap ini. Contoh yang jelas dari ini adalah pseudoa-neurysms
aorta di tingkat arteriosus ligamentum dan pulmonal hila. Namun, organ padat juga
kepadatan yang berbeda; di sini kita dapat menemukan laserasi intraserebral pada
tingkat pantulan dural, dan kerusakan intra-hepatik, akibat perpindahan dan gaya
geser dari substansi hepatik di atas pohon vaskulobilier yang kaku. Jenis trauma ini
harus selalu dipertimbangkan saat menilai pasien yang mengalami perlambatan hebat.
Respon inflamasi lokal selalu terjadi terkait dengan trauma. Cedera berat atau
sistemik terhadap trauma mayor ini berasal dari respon hormonal, metabolik, dan
dibutuhkan agar jaringan dapat diperbaiki dan telah berevolusi pada seluruh mamalia
komplikasi, respon inflamasi sistemik ini bersifat sementara, dapat diprediksi dan
seimbang antara mediator pro-dan anti inflamatori. Jika pasien terpapar trauma mayor
20
yang berat, terdapat respon pro inflamatori awal yang berlebihan (Williams, et al.,
2013).
“kejadian” atau “hit”. Hit pertama adalah trauma itu sendiri dan hit kedua adalah
hit ini, sistem imun bisa mengalami kelelahan akibat peningkatan risiko infeksi dan
sepsis. Pembedahan rekonstruksi akhir sering ditunda untuk mencegah trias kematian
yaitu hipotermi, asidosis dan koagulopati, namun juga menghindari hit lain terhadap
seperti trauma langsung atau insiden hemoragik, iskemik atau infeksi langsung.
pembedahan fraktur, infeksi via kateter). Mekanisme di balik ini semua adalah first-
hit berperan sebagai kejadian primer yang memperantarai pasien menuju kondisi
SIRS. Setelah cedera primer, sistem imun akan teraktivasi dimana sel inflammatorik
akan menjadi lebih mudah peka dan dikerahkan menuju area cedera, baik secara regio
lokal maupun jauh. Respons imun yang diinduksi oleh first-hit dapat berupa
traumatik atau sebatas monotrauma lokal atau politrauma yang mengaktivasi sistem
imun masif. Sel inflammatorik terkait berbagai jenis trauma menjadi kunci penting
mediator dari sistem komplemen. Ketika sistem komplemen teraktivasi melalui salah
21
satu dari tiga jalurnya, sel imun akan berupaya eliminasi patogen asing melalui
opsonisasi/fagositosis (C3b, C4b) dan kemotaksis leukosit (C3a, C5a), dan juga
teraktivasi baik lokal maupun sistematik. Kerusakan jaringan dan sel menyebabkan
mampu mengaktivasi respons sistem imun alami. Perlu dipahami pula bahwa cedera
necrosis factor (TNF), interleukin (IL-1β, IL-6, IL-8, IL-12, IL-15, dan IL-18).
endotel dan hubungannya dengan sel imun juga menjadi proses penting. Sel endotel
respons inflammatorik intrasellular melalui mediator MAPK dan NF-κB yang mampu
primer dan sekunder (teori 2 hit). Trauma yang terjadi menentukan cedera organ atau
jaringan lunak primer serta fraktur (hit pertama: beban trauma) dengan kerusakan
jaringan lokal dan aktivasi respon inflamasi sistemik. Selain itu, faktor endogen dan
22
eksogen sekunder juga berperan penting dalam inisiasi dan keparahan komplikasi
pascatrauma (Kuhadja, et al., 2014). Endogen tipikal (beban antigenik) hit kedua
asidosis metabolik, injuri iskemia/reperfusi, jaringan mati, kateter atau selang yang
terkontaminasi, dan infeksi. Intevensi bedah dengan kerusakan jaringan yang berat,
hipotermia atau kehilangan darah, pembedahan atau perawatan intensif yang tidak
adekuat atau terlambat, serta transfusi masif, menggambarkan hit eksogen kedua
Salah satu contoh dari model teori dua hit ini adalah peningkatan rekrutmen
neutrofil ketika syok hemoragik terjadi (first hit), kemudian diikuti LPS (second hit)
rekrutmen PMN signifikan pada paru-paru ketika subjek terekspos second hit dengan
cedera patu langsung dari LPS dan kompleks imun ketika sepsis terjadi pada tahap
pertama. Studi dari Amerika Serikat tahun 2000, subyek yang diberikan injeksi asam
intratrakeal dengan atau tanpa induksi sepsis sebelumnya melalui CLP (cecal ligation
and puncture) tidak mampu membuktikan efek sinergistik atau addiktif pada respons
kompleks, dan hingga saat ini, belum tersedia alur definitif dari insiden-insiden yang
teridentifikasi.
Trauma mayor akan diikuti oleh respon metabolik hormonal. Respon ini
ditandai dengan peningkatan sekresi berbagai hormon stres seperti adrenalin dan
23
kortisol, namun juga glukagon, hormon pertumbuhan, aldosteron, dan hormon anti
diuretik. Impuls aferen dari lokasi cedera menstimulasi sekresi sekresi hormon
stimulasi hormonal pada korteks adrenal sedangkan adrenalin disekresi oleh medua
plasma dari ujung saraf simpatis. Jumlah dan durasi respon hormonal terhadap stres
untuk beberapa saat, dari beberapa jam hingga 24 jam. Hal ini diikuti dengan fase
Berbeda dengan trauma mayor tanpa komplikasi, fase hipermetabolik ini biasanya
penyakit paru obstruktif kronis dan penyakit jantug mengalami penurunan cadangan
fisiologis, sehingga dapat kesulitan menghadapi peningkatan beban oksigen. Hal ini
yang menjelaskan peningkatan mortalitas pada pasien lansia setelah trauma mayor,
selain respon imun yang berkurang (Williams et al., 2013; Keel, 2005).
response/SIRS) dan infeksi yang mendasari serta adanya sepsis harus dicurigai
terhadap trauma mayor bersifat bifasik. Fase shok awal pada trauma dimana terjadi
retensi sodium klorida dan air, serta translokasi darah dari perifer ke organ vital
vasokonstriksi perifer, dimana proses ini penting pada fase syok awal (Williams, et
al., 2013).
berubah ditandai dengan vasodilatasi dan peningkatan aliran tidak hanya ke organ
vital namun juga ke otot dan jaringan yang cedera. Selama flow phase ini, atau fase
selama flow phase agar menjaga volume intravaskuler tetap cukup dengan cara
Pada pasien trauma tanpa komplikasi, gejala flow phase ini berlangsung hanya
peningkatan temperatur akibat trauma tidak berubah normal dalam 4-5 hari,
yang cedera tergantung dari gradien konsentrasi yang diciptakan oleh hiperglikemia.
Selain vasodilatasi regional, kebocoran kapiler dengan edema lokal juga berkembang.
Revaskularisasi muncul pada jaringan cedera dalam 3-7 hari. Sehingga dalam satu
minggu, kebocoran plasma, hiperglikemia, dan edema akan kembali normal dalam
genetik (polimorfisme gen), kondisi umum pejamu dan tipe antigen (beban
antigenik), baik pelepasan sitokin proinflamatori lokal dan sistemik serta fosfolipid.
makrofag alveolar), limfosit, sel natural killer, dan sel parenkim terlibat dalam
a), atau interleukin-1b (IL-1b) yang memiliki efek setelah 1-2 jam, terdapat juga
sitokin subakut (sekunder) seperti IL-6, IL-8 (neutrophil activating peptide (NAF)),
26
macrophage migratory factor (MMF), high motility group protein -1 (HMG-1), IL-
Sel TH-11 mensekresi IL-2, interferon-g dan TNF-b; sedangkan sel TH-2
fagositosis PMNL (priming), sel-sel imun dalam beberapa jam pertama (lini
atau granulositopoiesis, dan juga menurunkan apoptosis PMNL selama SIRS atau
intrasel lebih lanjut dengan aktivasi fosfolipase A2 (PLA2) dan fosfolipase C (PLC).
Enzim ini mengkatalisis pelepasan asam arakidonat dari membran fosfolipid. Melalui
platelet activating factor (PAF). Hal ini mendukung aktivasi makrofag, dan
interaksinya dengan sel endotel serta aktivasi dan agregasi trombosit (Brochner,
2019).
27
Bergantung dari keparahan cedera dan perjalanan paska trauma, mediator anti
inflamasi juga diproduksi. Sel TH2 dan monosit/makrofag melepaskan IL-4, IL-10,
IL-13 atau TGF-b). Selain itu, sitokin berbeda (misal IL-6) memiliki dual efek
aktivitas pro dan antiinflamasi. Kadar serum IL-10 berkorelasi dengan ISS dan
komplikasi paska trauma, seperti MODS, ARDS, atau sepsis. Selain itu, reseptor
inhibitor natural, seperti TNF-receptors (TNF-RI (55 kD) dan TNF-RII (75 kD)), atau
IL-1 receptor antagonist (IL-1ra) berhubungan dengan ISS dan insidensi komplikasi
terhadap infeksi dan komplikasi sepsis. Status imunologi ini disebut compensatory
serta hipoperfusi lokal akiibat kontusio, laserasi, cedera vaskular, atau sindrom
kompeten imun, yang secara parsial berkompensasi terhadap degradasi intrasel ATP
menjadi ADP dan AMP. Sebagai akibat konsumsi ATP, gangguan permeabiltias
peningkatan Na+ intrasel dan pembengkakan sel. Akhirnya terbentuk hipoxantin yang
Yang lebih penting lagi pada kerusakan jaringan sekunder dan disfungsi organ
sekunder adalah fase reperfusi. Selama fase post iskaemik, hipoxantin terdegradasi
menjadi xantin dan menjadi asam urat, dengan pembentukan anion superoksida yang
direduksi menjadi hidorgen peroksida dan ion hidroksil. Radikal oksigen bebas ini
disintegrasi membran dan kerusakan DNA, melalui apoptosis dan mekrosis endotel,
penatalaksanaan yang cepat dan efektif untuk menghidari komplikasi sistemik berat
yaitu syok hemoragik yang lama, systemic inflammatory response syndrome (SIRS),
parameter klinis harus dipenuhi untuk diagnosis SIRS. SIRS ditandai dengan adanya
proinflamatori, faktor komplemen, protein fase kontak dan sistem koagulasi, protein
fase akut, mediator neuroendokrin dan akumulasi sel imunokompeten pada jaringan
< 32 mmHg
29
neutrofil juvenil
prognosis pasien (yang berkorelasi dengan keparahan cedera) dalam satu nilai
numerik. Deskripsi satu dimensional ini terpaksa harus mengabaikan detail sehingga
terkadang tipe cedera yang sangat berbeda memberikan hasil skor yang sama. Tujuan
trauma. Skoring ini juga diperlukan seorang dokter yang akan melaporkan beberapa
pasien dengan berbagai cedera, sehingga dengan memberikan rerata keparahan cedera
melalui skor akan sangat membantu. Skoring trauma juga menjadi bahasa umum
pengambilan keputusan pada individu pasien. Sistem seperti ini yang disebut sebagai
Skoring triase seperti ini juga dapat digunakan untuk menentukan pedoman dan
peraturan mana dalam penatalaksanaan pasie n salah satu skoring yang digunakan
Untuk mendapatkan angka Injury Severity Score (ISS), gunakan kamus AIS
2008 untuk mengetahui skor di tiap-tiap cedera. Kemudian identifikasi skor AIS
(ii) Wajah
NO Nilai Deskripsi
2 1 Cedera minor
3 2 Cedera sedang
4 3 Cedera serius
5 4 Cedera berat
6 5 Cedera kritis
7 6 Cedera fatal
31
Tabel 2.4 Nilai AIS pada ISS Chest Wall Injury Scale
Grade Injury Description AIS
† Type -90
I Contusion Any size 1
Laceration Skin and subcutaneous 1
Fracture <3 ribs, closed; nondisplaced clavicle closed 1-2
II Laceration Skin, subcutaneous and muscle 1
Fracture ≥3 adjacent ribs, closed 2-3
Open or displaced clavicle 2
Nondisplaced sternum, closed 2
Scapular body, open or closed 2
III Laceration Full thickness including pleural penetration 2
Fracture Open or displaced sternum, flail sternum 2
Unilateral flail segment (<3 ribs) 3-4
Avulsion of chest wall tissues with underlying
rib
IV Laceration Fractures 4
Fracture Unilateral flail chest (≥3 ribs) 3-4
V Fracture Bilateral flail chest (≥3 ribs on both sides) 5
AIS
Grade Injury Descrition -90
32
* Type
I Contusion Unilateral, <1 lobe 3
II Contusion Unilateral, single lobe 3
Laceration Simple pneumothorax 3
III Contusion Unilateral, >1 lobe 3
Laceration Persistent (>72 hrs), air leak from distal airway 3-4
Tabel 2.6 Nilai AIS pada ISS Thoracic Vascular Injury Scale
AIS-
Grade* Description 90
I Intercostal artery/vein 2-3
Internal mammary artery/vein 2-3
Bronchial artery/vein 2-3
Esophageal artery/vein 2-3
Hemiazygos vein 2-3
Unnamed artery/vein 2-3
II Azygos vein 2-3
Internal jugular vein 2-3
33
Tabel 2.10 Nilai AIS pada ISS Small Bowel Injury Scale
AIS-
Grade* Description 90
I Hematoma Contusion or hematoma without devascularization 2
Laceration Partial thickness, no perforation 2
II Laceration Laceration <50% of circumference 3
Laceration >50% of circumference without
III Laceration transaction 3
IV Laceration Transection of small bowel 4
V Laceration Transection of small bowel with segmental tissue loss 4
Vascular Devascularized segment 4
37
AIS-
Grade* Description 90
I Hematoma Involving single portion of duodenum 2
Laceration Partial thickness, no perforation 3
II Hematoma Involving more than one portion 2
Laceration Disruption <50% circumference 4
III Laceration Disruption 50-75% circumference of 2nd portion 4
Disruption 50-100% circumference of 1st, 3rd, 4th
portion 4
IV Laceration Disruption >75% circumference of 2nd portion 5
Involving ampulla or distal common bile duct 5
V Laceration Massive disruption of duodenopancreatic complex 5
Vascular Devascularization of duodenum 5
devascularization
site
without contrast visualization in the bladder; <2
Disruption cm
of urethral separation
Tabel 2.20 Nilai AIS pada ISS Abdominal Vascular Injury Scale
Tabel 2.21 Nilai AIS pada ISS Extrahepatic Biliary Tree Injury Scale
AIS
Grade* Description
-90
I Gallbladder contusion/hematoma 2
Portal triad contusion/hematoma 2
II Partial gallbladder avulsion from liver bed; cystic duct intact 2
Laceration or perforation of the gallbladder 2
III Complete gallbladder avulsion from liver bed 3
Cystic duct laceration 2-3
IV Partial or complete right hepatic duct laceration 2-3
Partial or complete left hepatic duct laceration 2-3
Partial common hepatic duct laceration (<50%) 3
Partial common bile duct laceration (<50%) 3
43
Factor Score
Skeletal/soft tissue injury
Low energy (stab, simple fracture, low-energy gunshot wound) 1
Medium energy (open or multiple fractures, dislocation) 2
High energy (close-range shotgun or ‘‘military’’ gunshot wound, crush) 3
Very high energy (above conditions plus contamination, avulsion) 4
Limb ischemia (score doubles for ischemia >6 h)
Pulse reduced but perfusion normal 1
Pulseless, paresthesias, decreased capillary refill 2
Cool, paralyzed, insensate, numbness 3
Shock
Systolic BP >90 mmHg 0
Transient hypotension 1
Persistent hypotension 2
Age (years)
<30 0
30-50 1
>50 2
TBSA%
1st degree, superficial if >1 yo Any 1
<1 yo <50% 1
<1 yo <50% 2
2nd degree; partial thickness <10% 1
3rd degree; full thickness <100 cm2 (face 1
<25 cm2) 2
>100 cm2 <10%
(face >25 cm2)
2nd or 3rd degree, partial or full thickness 10-19% 2
<5 yo 3
2nd or 3rd degree, partial or full thickness 20-29% 3
<5 yo 4
2nd or 3rd degree, partial or full thickness 30-39% 4
<5 yo 5
2nd or 3rd degree, partial or full thickness 40-89% 5
2nd or 3rd degree, partial or full thickness including incineration >90% 6
ISS = a2 + b2 + c2
Skor ISS memiliki rentang 0 sampai 75. Jika sebanyak 3 cedera memiliki skor
AIS 6, maka skor ISS otomatis 75. Skor ISS merupakan sistem skoring anatomi yang
secara virtual sebanding dengan mortalitas, morbiditias, lama rawatan dan ukuran
keparahan lainnya pada trauma. Trauma mayor ditegakkan jika skor ISS>15.
Interpretasi skor ISS setelah diklasifikasi adalah sebagai berikut (AMAC, 1971):
<9 = Ringan
45
9 – 15 = Sedang
16–24 = Berat
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Triase
Triase adalah konsep penting dalam sistem pelayanan kesehatan modern, dan
penatalaksanaan kasus urgensi dan memproritaskan kelompok kasus ini sebagai stabil
secara klinis namun cedera berat, identifikasi urutan evakuasi dan mengidentifikasi
Pada trauma, terdapat 2 situasi triase yang biasanya muncul (Brunicardi, et al., 2014):
2. Mass Causality – dimana jumlah dan keparahan cedera melebihi kapasitas dan
fasilitas yang tersedia untuk staf. Pada situasi ini, kasus yang memiliki
tahun 1970 berdasarkan pengetahuan bahwa pelayanan yang tepat dan cepat dapat
Tabel 2.4 Cedera Mengancam Nyawa Segera yang Harus Diidentifikasi saat Primary
Airway
Obstruksi saluran napas
Cedera saluran napas
Breathing
Tension pneumothorax
Open pneumothorax
Massive air leak
Flail chest dengan kontusio pulmoner
47
Circulation
Syok hemoragik
Hemotoraks masif
Hemoperitoneum masif
Fraktur pelvis tidak stabil secara mekanik dengan
perdarahan
Perdarahan esktrim
Syok kardiogenik
Tamponade jantung
Syok neurogenik
Disability
Perdarahan intrakranial
Cedera tulang servikal
Airway harus yang paling pertama dievaluasi. Jika terdapat respon vokal
pasien, maka airway pasien tidak mengalami risiko segera, namun harus dilakukan
pemeriksaan ulang. Jika tidak terdapat atau hanya ada respon yang terbatas,
investigasi dan penilaian segera tanda-tanda obstruksi saluran napas harus dilakukan.
Hal ini termasuk inspeksi benda asing, fraktur maksilofasial atau mandibular, cedera
atau perubahan status kesadaran harus dievaluasi lebih lanjut. Darah, muntahan,
obstruksi saluran napas; suction dapat segera memberi bantuan dalam banyak kasus.
48
Pada pasien koma, lidah dapat jatuh ke belakang dan mengobstruksi hipofaring; chin
pada pasien dengan apneu; ketidakmampuan proteksi airway akibat perubahan status
perdarahan daerah wajah, pembengkakan jaringan lunak, atau aspirasi; dan tidak
orotrackeal, atau jalur operatif. Intubasi nasotrakeal hanya dapat diberikan apabila
pasien bernapas spontan. Intubasi orotrakeal merupakan teknik yang lebih disukai
Ketika airway sudah teratasi, oksigenasi dan ventilasi yang adekuat harus
dipastikan. Semua pasien cedera harus menerima suplementasi oksigen dan dimonitor
dengan pulse oximetry. Tension pneumothorax akut, flail chest dengan kontusio,
hemotoraks masif dan open pneumothorax adalah contoh cedera mengancam nyawa
yang harus diidentifikasi saat primary survey. Temuan klinis termasuk tidak adanya
suara napas, suara napas asimetri, deviasi trakea, hiperresonans (konsisten dengan
memasukkan jarum ke dalam rongga pleura pada garis mid klavikula dua jari di
bawah klavikula, diikuti dengan insersi chest drain. Open chest wound (‘sucking’)
harus ditatalaksana dengan kasa tiga sisi diikuti dengan pemasnagan intercostal drain
49
melalui insisi yang terpisah. Jika ada bukti hemotoraks masif (>1,5 liter darah), maka
paru; pada situasi seperti ini, operasi kontrol perdarahan harus dilakukan segera
syok. Penting untuk segera mengenali pasien yang curiga mengalami syok sebelum
merupakan akibat dari perdarahan di sebagian besar kasus. Selebihnya, cedera spinal
cord (syok neurogenik), atau gagal jantung pretrauma atau sepsis dapat menjadi
penyebab syok. Setelah mengenali tanda syok, harus dilakukan resusitasi segera yang
dimulai dari 1-2 L cairan kristaloid hangat dengan dua jarum besar IV (Champion,
1989).
mempalpasi pulsasi perifer. Secara umum, tekanan darah sistolik (SBP) harus lebih
besar dari 60 mmHg agar dapat terapa pulsasi karotid, 70mmHg agar dapat teraba
pulsasi femoral, dan 80mmHg agar dapat teraba pulsasi radialis. Episode hipotensi
lain. Pasien dengan perdarahan masif akut dapat mengalami bradikardi paradoksikal.
Tekanan darah dan pulsasi harus diukur setiap minimal 5 menit sampai tanda-tanda
dapat dilakukan adalah mengenali lima lokasi utama perdarahan besar; dada,
multipel, dan sumber eksternal. Xray dada dapat mengevaluasi kehilangan darah di
Setelah pemberian 1-2 liter bolus kristaloid, perlu dilakukan penilaian ulang
respon pasien terhadap tanda-tanda syok. Pasien yang berespon dengan baik dapat
darah tidak ditutupi oleh infus cairan terus menerus. Jika pasien gagal respon dengan
Perdarhaan eksternal harus diterapi dan fraktur harus segera dilakukan splinting. Tube
d) Disability
cepat, reaksi dan ukuran pupil, fungsi motorik, tingkat cedera dan juga indikator
51
al., 2014).
awal peningkatan tekanan intrakranial. Perburukan kesadaran dapat tidak terlihat dan
dapat memburuk tanpa dapat diprediksi. Misalnya pasien yang awalnya kooperatif
dapat tiba-tiba menjadi cemas dan melawan saat mengalami hipoksia. Namun
demikian, pasien yang agitasi dan agresif akibat obat-obatan atau alkohol dapat
mnejadi somnolen jika syok hipovolemi terjadi. Pasien dengan syok neurogenik
memiliki ciri-ciri hipotensi dengan bradikardi relatif, dan sering pertama kali ditandai
dengan paralisis, penurunan tonus rektum atau priapismus. Pasien dengan gangguan
spinal cord adalah yang paling berisiko mengalami syok neurogenik akibat gangguan
fisiologi serabut simpatis; terapi terdiri dari loading cairan dan infus dopamin yang
e) Exposure
Pasien harus terekspos secara keseluruhan dan harus diperiksa bagian depan
dan belakang tubuhnya secara hati-hati dengan teknik log roll. Hipotermia dapat
segera terjadi setelah trauma, dan pemberian selimut hangat penting dalam fase
Evaluasi menyeluruh dari kepala hingga kaki dilakukan saat pasien telah
stabil setelah primary survey. Semua regio tubuh diperiksa untuk mengidentifikasi
cedera atau menilai perlunya evaluasi lebih lanjut. Jika mungkin, riwayat pasien
diulas kembali. Singkatan yang digunakan pada ATLS adalah AMPLE, terdiri dari
A: Allergy
L: Last meal
okular, cedera kepala terbuka, dan bukti perdarahan atau discharge dari telinga yang
sugestif terhadap fraktur basis kranii. Inspeksi mulut, mandibula, zygoma, telinga dan
b) Leher
Inspeksi dan palpasi tulang servikal anterior dan posterior untuk kemungkinan
hematoma, krepitasi, nyeri tekan, dan bukti-bukti lain dengna cara palpasi. Pada
trauma, ketika penyebab dan energi cedera belum jelas dan dimana tidak terdapat
cedera maksilofasial dan cedera kepala yang signifikan, asumsikan cedera servikal
53
terjadi sampai terbukti tidak melalui radiologi dan evaluasi klinis. Tulang belakang
c) Dada
Ulang kembali survey awal dan lakukan palpasi serta auskultasi penyeluruh
pada dinding depan dada dan punggung belakang (dengan log roll sekali lagi).
Palpasi dinding dada secara keseluruhan termasuk klavikula, tulang dada dan tulang
bawahnya, dan monitoring harus dilakukan selama 24-48 jam setelah cedera.
Pelebaran vena leher, suara jantung yang menjauh, serta tekanan pulsasi yang sempit
d) Neurologis
bukti gangguan sensoris dan motoris membutuhkan imbolisasi spinal penuh dan
diperlukan review segera oleh bedah saraf atau bedah ortopedik spine dengan
Inspeksi untuk melihat distensi, eksplorasi luka lokal kecepatan rendah untuk
menilai kedalaman keterlibatan luka; cedera kecepatan tinggi harus segera dievaluasi
Pemeriksaan rektal diperlukan untuk menilai tonus, letak prostat dan untuk melihat
54
adanya perdarahan. Indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan jika terdapat cedera
abdomen, sehingga sering diperlukan reevaluasi cedera yang mungkin tidak tampak
f) Ekstremitas
Sering kali perhatian segera teralihkan pada anggota gerak yang cedera secara
dramatis. Penting diketahui bahwa, kecuali jika tidak terdapat perdarahan hebat,
cedera pada ekstremitas bukanlah sesuatu yang mengancam nyawa dan fokus pada
primary survey tidak harus selalu pada cedera esktermitas. Namun jelas bahwa,
sedekat mungkin dengan anatominya, dan harus mengingat untuk mencatat status
neurovaskular sebelum dan setelah intervensi. Palpasi pada seluruh ekstermitas atas
dan bawah secara menyeluruh dan mencatat semua temuan. Ingat juga untuk
g) Log Roll
Ketika pasien telah dievaluasi pada bagian anterior, sangat penting untuk
melakukan log roll untuk inspeksi bagian belakang. Satu anggota tim bertanggung
jawab untuk stabilisasi tulang belakang, dan satu anggota lagi melakukan log roll
secara lembut. Ingat bahwa minimal harus ada 4 orang untuk melakukan log roll yang
aman, satu untuk traksi spinal, satu untuk bagian torso, satu untuk pelvis, dan satu
lagi untuk ekstremitas bawah (yang idealnya harus diikat). Orang ke empat
55
melepaskan papan spinal dan melakukan penilaian mendetail pada bagian belakang.
Inspeksi keseluruhan tulang belakang mulai dari oksiput hingga sakrum. Identifikasi
trauma tajam atau luka keluar dari cedera senjata api. Perkusi, palpasi, dan auskultasi
untuk dilakukan hemostasis segera dengan laparotomi emergensi; pada kasus FAST
dengan kontrast intravena untuk pasien hemodinamik stabil saat ini merupakan
2.6.5 Terapi non bedah, early total care, dan damage control surgery
bedah saat ini menjadi standard penatalaksanaan pasien hemodinamik stabil tanpa
diagnostik masih menjadi prosedur pilihan untuk cedera perforasi pada abdomen dan
pada pasien dengan tanda klinis peritonitis. Saat ini tidak ada konsensus yang
dengan trama berat. Laparotomi emergensi masih menjadi terapi bedah pilihan pada
56
pasien hemodinamik tidak stabil atau apabila terdapat tanda-tanda perforasi organ
Tergantung dari luasnya trauma lokal dan sistemik, dokter harus menentukan
apakah pasien akan mendapatkan Early Total Care (ETC) atau Damage Control
Surgery (DCS). ETC memiliki tujuan sebagai tatalaksana definitif primer trauma
dengan mengembalikan segera fungsi dan struktur organ yang mengalami cedera,
sedangkan strategi DCS digunakan pada fase akut hanya untuk melakukan hemostasis
dan waktu operasi. Tatalaksana cedera definitif akan dilakukan dalam masa “window
of opportunity” sekitar 5 hari setelah DCS, setelah pasien stabil dan inflamasi paska
trauma mereda. Contoh dari penatalaksanaan primer berdasarkan prinsip DCS adalah
Studi komparatif menunjukkan manfaat terapi dengan prinsip DCS baik untuk
cedera muskuloskeletal maupun cedera abdomen. Namun, manfaat ini terbatas untuk
pasien bedah dengan faktor risiko syok hemoragik, perdarahan menetap, trauma
Respon Metabolik
Respon Imunologi
Ischaemia/Reperfusion
Injury
TATALAKSANA
Triage
Primary Survey
Secondary Survey
multipel trauma. Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, maka kerangka
1. Angka mortalitas
Multiple Trauma 2. Jam kejadian
3. Jam datang
4. Respon time
5. Skor ISS
6. First hits
7. Seconds hits
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif.
Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah pendekatan retrospektif
dimana data yang diambil merupakan data-data yang telah ada sebelumnya.
Data penelitian ini berasal dari data rekam medis yang didapatkan yaitu dari
data, pengelohan data dan penelitian hasil dengan mengambil waktu dari bulan
Populasi penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis dengan multipel trauma
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dan meninggal sepanjang tahun 2019.
59
60
multipel trauma Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2019
Rekam medis dari pasien multiple trauma yang dirawat dibawah 1 bulan pada
tahun 2019.
Pasien yang pulang atas permintaan sendiri dan menolak di terapi serta pasien
3.5.1 Metode
sampling. Sampel dari penelitian ini adalah semua pasien yang mengalami multiple
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
tersebut diperoleh peneliti dengan melihat isi rekam medis di RSUP Haji Adam
Malik Medan.
dengan menggunakan program komputer yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu
untuk mengetahui angka kematian akibat multiple trauma di di RSUP Haji Adam
Alat
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Skala Ukur
Ukur
Frekuensi relatif
Mortality kematian dalam Rekam
Observasi Rasio
Rate populasi tertentu Medis
selama waktu tertentu.
Multiple Kejadian trauma Observasi Rekam Ordinal
trauma apabila terdapat 2 atau Medis
lebih cedera secara
fisikal pada regio
atau organ tertentu,
dimana salah satunya
bisa menyebabkan
kematian dan
62
memberikan skor
secara keseluruhan
untuk pasien dengan
cedera multiple.
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini adalah studi deskriptif dimana pendekatan yang digunakan pada
desain penelitian ini adalah pendekatan retrospektif dengan data yang diambil
merupakan data-data yang telah ada sebelumnya. Data penelitian ini berasal dari data
rekam medis yang didapatkan yaitu dari Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik, Kota Medan, dimana penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data
pasien yang mengalami multiple trauma Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan Tahun 2019 dari pusat data rekam medis sebanyak 109 sampel.
Mortalitas
Variabel Meninggal Pulang P-Value
(n, %) (n, %)
Jenis Kelamin
Laki-laki 19 (23.2%) 63 (67.8%) 0,50
Perempuan 8 (29.6%) 19 (70.4%)
Usia
0-9 tahun 1 (12.5%) 7 (87.5%)
10-19 tahun 3 (10.7%) 25 (89.3%)
20-29 tahun 8 (32%) 17 (68%)
30-39 tahun 5 (29.4%) 12 (70.6%) 0,064
40-49 tahun 3 (23.1%) 10 (76.9%)
50-59 tahun 3 (50%) 3 (50%)
60-69 tahun 4 (36.4%) 7 (63.6%)
>70 tahun 0 (0%) 1 (100%)
Total 27 (24.8%) 82 (75.2%)
65
Dari tabel 4.1 dengan uji Mann-Whitney dapat dilihat bahwa pada variabel
jenis kelamin, pada kategori meninggal dijumpai laki-laki sebanyak 19 orang (23.2%)
dan pulang sebanyak 63 orang (67.8%). Sedangkan pada jenis kelamin perempuan,
dengan kategori meninggal dijumpai sebanyak 8 orang (29.6%) dan pulang sebanyak
19 orang (70.4%). Untuk usia, dengan usia 0-9 tahun dan meninggal dijumpai
sebanyak 1 orang (12.5%) dan pulang sebanyak 7 orang (87.5%). Usia 10-19 tahun
yang meninggal sebanyak 3 orang (10.7%) dan pulang sebanyak 25 orang (89.3%).
Untuk usia 20-29 tahun, meninggal sebanyak 8 orang (32%) dan pulang sebanyak 17
orang (68%). Usia 30-39 tahun, meninggal sebanyak. 5 orang (29.4%) dan pulang
sebanyak 12 orang (70.6%). Pada usia 40-49 tahun, meninggal sebanyak 3 orang
(23.1%) dan pulang sebanyak 10 orang (76.9%). Pada usia 50-59 tahun, 3 orang
(50%) meninggal dan pulang pada proporsi yang sama. Untuk usia 60-69 tahun, 4
orang (36.4%) meninggal dan 7 orang (63.6%) pulang. Untuk usia >70 thaun, 1 orang
multiple trauma tidak terdapat perbedaan yang signifikan,dan pada usia juga tidak
Pada tabel 4.2, terlihat bahwa dari seluruh responden dengan multiple trauma
sebanyak 27 orang meninggal (24.8%) dan 82 orang pulang (75.2%). Mortality rate
Pulang menit
14.28+7.35 (1.17-24.49)
menit
Total 100%
Pada tabel 4.3 dengan uji chi-square, durasi out of hospital yang diakibatkan
multiple trauma berdasarkan jam kejadian dan meninggal adalah 6.4+4.9 (0.5-24)
jam, sedangkan pulang adalah 4.9+4.5 (0.5-24) jam. Untuk variabel Respond Time
Duration yang meninggal adalah 15.36+6.74 (1.20-24.55) menit dan pulang adalah
14.28+7.35 (1.17-24.49) menit. Jam kejadian trauma pada penelitian ini tidak
terdapat perbedaan yang signifikan dengan kematian dan pasien pulang pada
multiple trauma, begitupun halnya dengan respond time juga tidak terdapat perbedaan
Tabel 4.4 Skor ISS pada Mortality Rate akibat Multiple Trauma
Pada tabel 4.4 dengan uji chi-square, terkait skor ISS pada Mortality Rate
akibat Multiple Trauma dijumpai sebesar 64+10 (42-75) pada kategori meninggal dan
18+10 (8-52) pada kategori pulang. Pada skore ISS 64+10 (42-75) dan 18+10 (8-52)
terdapat perbedaan yang signifikan pada pasien yang meninggal dan pulang.
4.1.5 Karakteristik Mortality Rate akibat Multiple Trauma pada First Hits dan
Second Hits
Tabel 4.5 Karakteristik Mortality Rate akibat Multiple Trauma pada First Hits
dan Second Hits
Mortalitas
Variabel
Meninggal
First Hits 20 (74.1%)
Second Hits 7 (25.9%)
Total 27 (24.8%)
68
Pada tabel 4.5 terkait karakteristik Mortality Rate akibat Multiple Trauma
pada First Hits dan meninggal dijumpai sebanyak 20 orang (74.1%), sedangkan
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa angka kematian pada multiple trauma
pada variabel jenis kelamin, didominasi oleh laki-laki sebanyak 82 orang (75.2%) dan
yang meninggal 8 orang (29,6). Terdapat beberapa literatur yang sejalan diantaranya
studi oleh patil et al.di India yang mendata 200 pasien multiple trauma. Hal yang
sama juga didapatkan dari studi yang dilakukan oleh wui et.al pada tahun 2014 di
69,19% dibandingkan wanita 30.18%. (wui et al, 2014). Mustang dan et al juga
kejadian multipel trauma didominasi oleh laki-laki 882 meninggal 74 dan perempuan
Untuk kategori usia, didominasi oleh kategori usia 10-19 tahun sebanyak 28
orang (25.6%), kemudian berusia 20-29 tahun sebanyak 25 orang (22.9%), 30-39
tahun sebanyak 17 orang (15.6%), 40-49 tahun sebanyak 13 orang (11.9%), 60-69
tahun sebanyak 11 (10.1%), 0-9 tahun sebanyak 8 orang (7.4%), 50-59 tahun
sebanyak 6 orang (5.5%), dan >70 tahun sebanyak 1 orang (0.9%). Hal ini sejalan
dengan penelitian Chiang pada tahun 2021, yang menemukan bahwa usia rata-rata
adalah 53,7 tahun, dengan dominasi laki-laki. Dimana kecelakaan lalu lintas paling
70
banyak ditemukan pada usia produktif dan mobilitas yang tinggi. (Chiang et
al,2021)
Pada penelitian ini sebanyak 27 orang meninggal (24.8%) dan 82 orang pulang
(75.2%). Mortality rate pada kasus ini adalah 24.8%. durasi out of hospital yang
diakibatkan multiple trauma berdasarkan jam kejadian dan meninggal adalah 6.4+4.9
(0.5-24) jam, sedangkan pulang adalah 4.9+4.5 (0.5-24) jam. Untuk variabel Respond
Time Duration yang meninggal adalah 15.36+6.74 (1.20-24.55) menit dan pulang
adalah 14.28+7.35 (1.17-24.49) menit. Pada studi yang dilakukan oleh Khan
Afrasyab juga ditemukan pada 180 orang yang mengalami trauma dan 18 orang yang
mengalami kematian pada jam kejadian lebih dari 6 jam (Khan, et al 2018).
Penelitian Chen et al, juga mengatakan bahwa golden hour pada pasien trauma harus
Mohammed et al juga menilai respon time pada trauma juga didapatkan hasil dimana
terdapat perbedaan antara tingkat kematian pada respon time lebih dari 17 menit
dalam penelitian ini dijelaskan juga bahwa 10 menit pertama merupakan platinum
pada penelitiannya bahwa pada satu studi mengatakan respond time hanya
meningkatkan survival rate jika respond time dibawah dari 5 menit. Dan pada
71
penelitian ini juga mengatakan bahwa 1 menit terlambat dalam respond time
Skor ISS pada Mortality Rate akibat Multiple Trauma penelitian ini dijumpai
sebesar 64+10 (42-75) pada kategori meninggal dan 18+10 (8-52) pada kategori
pulang. Studi yang dilakukan Chiang et al dimana diadapatkan bahwa nilai yang
berhubungan erat dengan mortalitas adalah score ISS >15 dan yang paling banyak
meninggal pada ISS score >24. Stefanie et al, mengatakan ada penelitiannya semakin
tinggi Score ISS semakin lama dirawat pada rumah sakit dan semakin tinggi untuk
mempengaruhi penilaian ISS dan sangat berdampak pada nilai score trauma ISS pada
5.1.4 Karakteristik Mortality Rate akibat Multiple Trauma pada First Hits dan
Second Hits
Pada penelitian ini Mortality Rate akibat Multiple Trauma pada First Hits
dan meninggal dijumpai sebanyak 20 orang (74.1%), sedangkan Second Hits dan
meninggal sebanyak 7 orang (25.9%). Pada trauma kematian bisa terjadi dikarenakan
trauma itu sendiri dan efek trauma itu sendiri yang menyebakan infalamasi sistemik
et al, Seperti pada penelitiannya menunjukkan kejadian first hit dan meninggal
sebanyak 73,2 % dan kejadian second hits dan meninggal sebanyak 27,8%
mengatakan bahwa kejadian first hit lebih tinggi mortalitasnya karena pada first hit
respon imun pertama kali teraktivasi seperti SIRS yang mana akan mempengaruhi
terjadi nya masif aktivasi sistem imun yang mengakibatkan terjadinya kegagalan
fungsi organ. Sedangkan pada second hits efeknya terjadi setelah first hit. (Carlos et
al, 2015)
73
BAB VI
6.1 Kesimpulan
(24.8%) dan 82 orang pulang (75.2%). Mortality rate pada kasus ini
adalah 24.8%.
4. Skor ISS pada Mortality Rate akibat Multiple Trauma dijumpai sebesar
64+10 (42-75) pada kategori meninggal dan 18+10 (8-52) pada kategori
pulang.
5. Mortality Rate akibat Multiple Trauma pada First Hits dan meninggal
6.2 Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah subjek penelitian yang lebih
intubasi, pasien dalam pengaruh alkohol dan lain-lain sehingga mengurangi bias dan
74
mampu mendapatkan penjelasan lebih lanjut antara respons time pada mortality rate
DAFTAR PUSTAKA
American Medical Association Committee on the Medical Aspects of Automotive
Safety: Rating the severity of tissue damage: The abbreviated scale. 1971.
JAMA. 215:277
Baker, S. P., o'Neill, B., Haddon Jr, W., & Long, W. B. 1974. The injury severity
score: a method for describing patients with multiple injuries and evaluating
emergency care. Journal of Trauma and Acute Care Surgery. 14(3), 187-196.
Bolorunduro, O.B. and Villegas, C. 2011. Validating the Injury Severity Score (ISS)
in different populations: ISS predicts mortality better among Hispanics and
females. J Surg Res. 166(1):40-–44.
Boyd, C.R., Tolson, M.A., Copes, W.S. 1987. Evaluating trauma care: the TRISS
method. Trauma Score and the Injury Severity Score. J Trauma. 27(4):370—8.
Brøchner, A.C. and Toft, P. 2019. Pathophysiology of the systemic inflammatory
response after major accidental trauma. Scand J Trauma Resusc Emerg Med.
17-43.
Brunicardi, F. Andersen D.K., Billar T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Matthews, J.B.,
et al. 2014. Trauma in Schwartz’s Principles of Surgery. 161, 173-174. 10th
Edition, McGraw-Hill Education, New York.
Byun, C. S., Park, I. H., Oh, J. H., Bae, K. S., Lee, K. H., & Lee, E. 2015.
Epidemiology of trauma patients and analysis of 268 mortality cases: trends of
a single center in Korea. Yonsei Medical Journal. 56(1), 220–226.
Carlos, F.M. Morris, Tahir, M., Arshid, S., Castro, M.S., Fontes, W. Reconciling the
IPC and Two Hit Models: Dissecting the Underlyng Cellular and Molecular
Mechanisms of Two Seemingly Opposing Frameworks, Hindawi Publishing
Corporation
CDC. Injury prevention. www.cdc.gov/ncipc/osp/data.htm/. Diakses April 13, 2020.
Champion, H.R., Sacco, W.J., Copes, W.S., Gann, D.S., Gennarelli, T.A., Flanagan,
M.E. 1989. A revision of the trauma score. J Trauma. 29:623–629.
Chawda, M. N., Hildebrand, F., Pape, H. C., Giannoudis, P. V. 2004. Predicting
outcome after multiple trauma: which scoring system? Injury. 35(4), 347-358.
Chiang, Y.T., Lin, T.H., Lee, P.C., Shih, H. (2021a). Predicting factors for major
trauma patient mortality analyzed from trauma registry system. Asian Journal
of Surgery, 44(1), pp. 262–268.
Chiang, Y.T. (2021b). Predicting factors for major trauma patient mortality analyzed
from trauma registry system. Asian Journal of Surgery, 44(1), pp. 262–268.
Ciesla, D. J., Moore, E. E., Johnson, J. L., Burch, J. M., Cothren, C. C., Sauaia, A.
2005. A 12-year prospective study of postinjury multiple organ failure: has
anything changed? Archives of surgery. 140(5), 432-440.
Collighan, N., Giannoudis, P.V., Kourgeraki, O., Perry, S.L., Bellamy, G.M.C. 2004.
Interleukin 13 and inflammatory markers in human sepsis. Br J Surg. 91:762-8.
76