EPIDURAL HEMATOMA
Disusun Oleh:
Ananda Listiarini 140100018
Astriyani Br Kemit 120100318
Derissa Khairina Khaidirman 140100129
Dia Asri 140100003
Pembimbing:
dr. Wulan Fadinie, M. Ked (An), Sp.An
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Epidural
Hematoma”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Wulan Fadinie, M. Ked (An), Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
3.6.1. Laboratorium ........................................................................32
3.6.2. MSCT Head Tanpa Kontras .................................................33
3.7 Diagnosis ......................................................................................... 34
3.8 Tatalaksana IGD .............................................................................. 34
BAB IV FOLLOW UP ......................................................................................... 35
BAB V DISKUSI .................................................................................................. 38
BAB VI KESIMPULAN ...................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 44
iv
DAFTAR GAMBAR
epidural .............................................................................................18
v
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Angka mortalitas yang terkait dengan EDH diestimasikan 5-50% yang
dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan dan lokasi. Pada pasien
dengan kesadaran penuh angka mortalitas 0%, pada penurunan kesadaran ringan
sampai sedang 9% dan pada pasien koma 20%. Angka mortalitas pada EDH
intrakranial mencapai 15-20% dan EDH di fossa posterior mencapai 26%.1
EDH intrakranial maupun spinal banyak terjadi pada laki-laki dengan rasio
4:1 namun tidak terkait dengan ras tertentu. EDH intrakranial jarang terjadi pada
usia di bawah 2 tahun dan juga di atas 60 tahun karena pada usia lanjut duramater
lebih melekat pada kalvaria. Insiden EDH spinal mencapai puncak pada usia
anak-anak dan antara usia 50-60 tahun sehingga pada usia tersebut cenderung
memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi EDH setelah menjalani operasi di
daerah spinal. 4
1.2. Tujuan
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Mengetahui alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya epidural hematoma.
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di
bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior
Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan ini adalah meningkatkan
pemahaman terhadap kasus epidural hematom serta penanganan kegawatdaruratan
sesuai kompetensi pada tingkat pelayanan primer.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di perbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan di temukan
secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang
menimbulkan gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.5
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan
trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan
lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluih besar. Bila
robek pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.6
Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung
vena emisaria dan diploika.Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari
kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa
pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea
terkoyak.Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan intracranial. Cedera kepala dapat melibatkan setiap
komponen yang ada, mulai dari bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam
(intrakranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan
mekanisme yang terjadi.6
3
Secara umum otak dilindungi oleh:5
1. Kulit kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan
bergerak sebagai satu unit. Kulit kepala terdiri dari:
Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar
sebacea.3
Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan
lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari m.
occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh darah
besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang supratrokhlear dan
supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari
karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital
disebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat erat dengan
septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar berkontraksi atau
mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar
mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah
yang bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan fibrosa,
padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap
kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot frontalis dan otot
occipitalis.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, menghubungkan
aponeurosis galea dengan periosteum cranium (pericranium).
Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v. emmisaria yang
menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus
intracranial. Pembuluhpembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit
kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan dan
debridement kulit kepala harus dilakukan secara seksama bila galea
terkoyak.
4
Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan tulang
tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
periosteum akan langsung berhubungan dengan endosteum (yang
melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).
2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi. 4 Pada orang
dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
terjadinya perluasan isi intracranial.
Tulang tengkorak terdapat tiga lapisan, yaitu tabula eksterna, diploe, dan
tabula interna. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam
disebut tabula interna. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisi arteria
meningea anterior, media dan posterior. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3
fossa yaitu fosa anterior yang merupakan tempat lobus frontalis, fosa media yang
merupakan tempat lobus temporalis, fosa posterior yang merupakan tempat bagian
bawah batang otak dan cerebellum.
3. Meningens
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu:
Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara durameter dan arakhnoid yang kaya
akan pembuluh vena, sehingga apabila terjadi robekan pada dura, terjadi
perdarahan yang akan menumpuk pada ruangan ini yang dikenal sebagai
perdarahan subdural.
5
Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus
pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai
subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan
korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan
merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua
sulkus dan membungkus semua girus.
6
Gambar 2.2. Lapisan-lapisan Meningen
2.1.1. Durameter
Secara konvensional, durameter diuraikan sebagai dua lapisan, lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih dari suatu
periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang – tulang cranium. Pada
foramen magnumlapisan endosteal tidak berlanjut dengan durameter medulla
spinalis. Pada sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura.
Lapisan endosteal paling kuat melekat pada tulang diatas dasar cranium.6
Lapisan meningeal merupakan durameter yang sebenarnya. Lapisan meningeal
merupakan membrane fibrosa kuat, padat menutupi otak, dan melalui foramen
magnum berlanjut dengan durameter medulla spinalis. Lapisan meningeal ini
memberikan sarung tubuler untuk saraf – saraf kranial pada saat melintas melalui
lubang – lubang cranium. Kedalam lapisan meningeal membentuk empat septa,
yang membagi rongga cranium menjadi ruang – ruang yang berhubungan dengan
bebas dan merupakan tempat bagian –bagian otak.7
a. Persarafan Durameter
Persarafan ini terutama berasal dari cabang n. Trigeminus, tiga saraf
servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.Vagus. Reseptor –
reseptor nyeri dalam durameter diatas tentorium mengirimkan impuls melalui
7
n.Trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri
yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui
tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan
leher.
b. Perdarahan Durameter
Banyak arteri mensuplai durameter, yaitu: arteri karotis interna, arteri
maxilaris, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari
segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningea media, yang umumnya
mengalami kerusakan cedera kepala.
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa
temporalis, memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemusian
terletak antara lapisan meningeal dan endosteal durameter. Arteri ini kemudian
terletak antara lapisan meningeal dan endosteal durameter.
Vena- vena meningea media terletak dalam lapisan endosteal durameter.
Vena meningea media mengikuti cabang - cabang arteri meningea media dan
mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena
terletak dilateral arteri.
d. Fisiologi Durameter
Durameter mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai
peiosteum tulang – tulang cranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan
meningeal yang berfungsi melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf –
saraf kranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus
8
venosusterletak dalam durameter yang mengalirkan darah venosa dari otak dan
meningen ke vena jugularis interna dileher.
Pemisah durameter berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak
vertical antara hemisfer serebri dan lembaran horizontal, taitu tentorium serebelli,
yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebelli yang berfungsi untuk
membatasi gerakan berlebihan otak dalam cranium.
9
Doktrin Monro-Kelle menyatakan bahwa volume total isi intrakranial
(jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal (CSF) tetap konstan selama
ditampung oleh kompartmen yang rigid (skull), sebagai berikut:8
10
dengan konstriksi arteriol serebral dinamakan cerebral resistance vessels.
Pembuluh darah berespon pada perubahan tekanan darah sistemik (autoregulasi
tekanan), viskositas darah (autoregulasi viskositas), dan kebutuhan metabolik
yang menjaga level CBF dalam batas yang tepat untuk memenuhi kebutuhan
metabolik. Autoregulasi tekanan ditunjukkan pada gambar.8
Reaktivitas CO2 merujuk pada respon pembuluh darah serebral dan akibat
CBF terhadap perubahan PCO2. Peningkatan tekanan CO2 merilekskan arteri
serebral in vitro. In vivo, perubahan perivaskuler PaCO2 atau pH yang sangat
terlokalisir bisa merubah diameter vaskuler, mengindikasikan bahwa elemen
vaskuler bertanggung jawab untuk mempengaruhi perubahan pada diameter
pembuluh darah. Kedua sel vaskuler (endotelium dan sel otot polos) dan sel
ekstravaskuler (sel nervus perivaskuler, neuron, dan glia) mungkin juga terlibat.
Pada situasi klinis, perubahan CBF kira-kira 3% untuk setiap milimeter perubahan
raksa pada PaCO2 diatas kisaran 20 sampai 60 mmHg yang secara klinis penting
pada pasien dangan trauma cedera kepala. Hipoventilasi yang menghasilkan
11
hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah serebral,
sedangkan hiperventilasi menghasilkan vasokonstriksi dan menurunkan aliran
darah serebral.8
12
2.3. Definisi Epidural Hematom
Perdarahan epidural adalah adanya darah di ruang epidural, pada
perdarahan epidural intrakranial didapatkan perdarahan antara tabula interna
tulang tengkorak dan duramater. Perdarahan epidural 90% terjadi karena fraktur
kranium di regio temporal dan parietal. Perdarahan epidural atau epidural
hematom (EDH) biasanya disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media, vena
atau sinus dural.10,11
2.4. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH
dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian
EDH hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang
beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan
dan sering jatuh. 60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan
jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka
kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih
dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan
perbandingan 4:1.12
EDH terjadi pada 1-2% dari seluruh kasus trauma kepala dan di sekitar
10% dari pasien yang hadir dengan koma traumatis.13
Tingkat kematian dilaporkan berkisar 5-43%.
Tingkat yang lebih tinggi berhubungan dengan berikut:
Intradural lesi
Lokasi temporal
Peningkatan volume hematoma
Cepat klinis perkembangan
Kelainan pupil
Peningkatan tekanan intrakranial (ICP)
Penurunan skala koma Glasgow (GCS)
13
2.5. Etiologi
Penyebab EDH baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi menjadi
trauma dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan tumpul pada
kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi
dan gaya melintang. Selain itu perdarahan epidural intrakranial pada bayi baru
lahir dapat terjadi akibat distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium
berlebihan pada jalan lahir. 7
Penyebab non trauma perdarahan epidural diantaranya adalah obat
antikoagulan, agen trombolisis, lumbal pungsi, anesthesia epidural, koagulopati,
penyakit hepar dengan hipertensi portal, kanker, alkholisme kronik malformasi
vascular, herniasi diskus, penyakit paget pada tulang, valsava manuever.
Gangguan sinus venosus dura (sinus transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat
menyebabkan EDH di fossa posterior sedangkan gangguan sinus sagitalis superior
dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber perdarahan
epidural yang non arterial diantaranya adalah venous lakes, dipoic veins,
granulatio arachnoid dan sinus petrosus. 14
14
kronis atau tertunda dapat terjadi bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan
perdarahan atau hematom tidak melewati suture line karena duramater melekat
ketat, hanya pada sebagian kecil kasus yang sedikit melewati suture line. 4
Sumber perdarahan EDH yaitu arteri meningea (lucid interval : 2 – 3 jam),
sinus duramatis dan diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.
diploica dan vena diploica. EDH sebagian besar berasal dari rupturnya arteri
meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa terlibat
dalam cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus sigmoid pada
cedera oksipital, dan sinus sagital superior pada trauma verteks. EDH bilateral
terjadi 2-10% dari semua kasus EDH akut pada orang dewasa tetapi sangat jarang
terjadi pada anak-anak. EDH pada fossa posterior mencapai 5% dari semua kasus
perdarahan epidural. 15
EDH spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor, seperti pungsi
lumbal atau anestesi epidural. EDH spinal dapat berhubungan dengan
antikoagulan, trombolisis, diskrasia darah, koagulopati, trombositopenia,
neoplasma, atau malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural biasanya terlibat,
meskipun perdarahan dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di daerah thorakal atau
lumbal yang paling umum terkena, dengan ekspansi terbatas pada beberapa
tingkat vertebra. 14
15
2.7. Diagnosis
Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan anamnesa,
gambaran klinis, pemeriksaan fisik, imaging dan data laboratorium.
16
anti hipertensi selama ini mungkin menyebabkan iskemia serebral akut dan
kematian sel. Evakuasi lesi massa mengurangi respon Cushing.10,16,17
Penilaian neurologis sangat penting terutama pada tingkat kesadaran,
aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil,
parese nervus kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau
hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini karena berhubungan
dengan keluaran klinis akhir. Pada pasien yang sadar dengan lesi massa,
fenomena pronator drift mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah
ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar dengan
kedua telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek massa.16,17
Pada perdarahan epidural di spinal dapat ditemukan berbagai gambaran
klinis pada pemeriksaan fisik neurologis yang tergantung pada segmen spinal
yang terlibat. Beberapa gambaran klinis yang dapat dijumpai yaitu: kelemahan
ekstrimitas (unilateral atau bilateral), defisit sensoris dengan paresthesia radikular
(unilateral atau bilateral), gangguan refleks tendon dalam, gangguan tonus sfingter
kandung kemih atau anal. 16,17
2.7.2. Pencitraan
Foto polos kepala, CT-scan dan kepala MRI penting untuk memberikan
penilaian perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
17
Gambar 2.6. Fraktur temporoparietal (panah) yang berakibat perdarahan
epidural
18
Gambar 2.7. Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital sinistra
(A,B), terlihat garis fraktur (C, anak panah)
19
Gambar 2.9. T2 MRI kepala potongan sagittal, nampak perdarahan epidural pada
region parietoccipital dekstra (kanan)
2.7.3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya:10,17,18
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit terkait
perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi untuk
menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan koagulopati
20
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah juga
perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik perdarahan
epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait
penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif
darurat.
2.9. Tatalaksana
Tatalaksana perdarahan epidural mencakup tatalaksana umum dan
tatalaksana khusus. Tatalaksana khusus mencakup terapi medikamentosa dan
terapi operatif. 18.19
21
2.9.1. Tatalaksana Umum
Resusitasi pasien trauma kepala bervariasi karena heterogenitas dari
penyakit itu sendiri. Tujuan dari semua upaya resusitasi awal yang baik adalah
untuk memulai sedini mungkin berbagai upaya penanganan pra-rumah sakit,
dengan perhatian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Sejak pasien datang ke
ruang gawat darurat pasien segera dipersiapkan evaluasi trauma menyeluruh,
dimulai dengam inspeksi fraktur, evaluasi mekanisme cidera untuk menilai daya
benturan baik pada kranium maupun daerah spinal, imobilisasi spinal khususnya
servikal, dan evaluasi defisit neurologis. 18,19
Tiga penanda prediktor keluaran klinis yang buruk saat penanganan di
departemen gawat darurat adalah hipotermia, hipoksia, dan hipotensi. Hipotermia
saat awal menjadi penanda resusitasi yang jelek, dan sebaiknya suhu tubuh inti
harus dihangatkan secara pasif selama fase awal resusitasi. Resusitasi volume
agresif untuk hipotensi dan ventilasi yang memadai adalah fokus utama dalam
upaya resusitasi awal. Resusitasi pra-rumah sakit dengan hipertonik salin pada
trauma kepala gagal menunjukkan manfaat jangka panjang, Pada sebuah analisis
post-hoc cairan “Saline vs Albumin” , resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan
tingkat kematian lebih tinggi daripada yang resusitasi dengan garam. Oleh karena
itu, administrasi kristaloid isotonik adalah metode yang disukai untuk resusitasi
volume. 18,19
Semua pasien dengan trauma kepala harus memiliki ventilasi yang baik
dan menjaga PO2 dan PCO2. Suplementasi oksigen diberikan untuk
mendapatkan SpO2 > 90%. Selama fase resusitasi awal sangat penting untuk
menyadari langkah-langkah yang sederhana seperti elevasi kepala tidur (30
derajat), posisi kepala yang tepat untuk mencegah penekanan vena jugularis dan
kontrol nyeri yang memadai dan sedasi merupakan metode yang sangat sederhana
dan efektif untuk mengurangi tekanan intrakranial (ICP). 18,19
22
Primary survey dan resusitasi18,19
a. Airway
Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lender, atau
darah.Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan dapat
mengakibatkan gangguan sekunder.Intubasi endotrakeal dini harus segera
dilakukan pada penderita koma.
b. Breathing
Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%.Tindakan hiperventilasi
harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang
menunjukkan perburukan neurologis akut.
c. Circulation
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada
stadium ter syok hemoragik.Hipotensi menunjukkan adanya kehilangan darah
yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.
23
Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2
diantara 25-30 mmHg. 19
b. Cairan hiperosmoler.
Cairan hiperosmoler diberikan untuk “menarik” air secara osmotik dari
jaringan otak (intrasel dan interstitial) ke dalam ruang intra-vaskular lalu melalui
diuresis. Cairan yang umum digunakan adalah Manitol 10-15% 0,25-1g/KgBB
diberikan per infus selama 10-15 menit. Efek ini dapat berhasil dengan baik jika
sawar darah otak dalam keadaan normal. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek
rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam
atau keesokan harinya. Hati-hati dengan kontraindikasi pemberian manitol seperti
gagal jantung, gagal ginjal akut (AKI), hiperkalemia dan hipotensi. 19
Selain manitol dapat diberikan hipertonik salin. Hipertonik salin
merupakan agen osmotik yang telah lama digunakan sebagai tambahan terapi
manitol atau pada individu yang telah menjadi toleran terhadap manitol. Namun
pada studi terbaru ternyata hipertonik salin merupakan sebagai pengukur utama
untuk mengontrol tekanan intrakranial. Hipertonik saline bertujuan untuk
meningkatkan natrium serum dan osmolalitas, sehingga membentuk gradien
osmotik. Air dapat berdifusi secara pasif dari ruang intraseluler dan interstitial
otak ke kapiler sehingga menurunkan tekanan intrakranial. Meskipun cara kerja
mirip dengan manitol, natrium klorida memiliki koefisien refleksi yang lebih baik
(1.0) dibandingkan manitol (0,9) dan membuatnya menjadi zat osmotik yang lebih
baik selain itu juga dapat menormalkan potensial istirahat pada membrane dan
volume sel dengan mengembalikan keseimbangan elektrolit intraseluler pada sel
yang rusak. Dosis hipertonik salin dan administrasinya sangat bervariasi, bolus
berkisar antara 30 mL 23,4% NaCl dan 150 mL 3% NaCl, sedangkan yang lain
telah menganjurkan penggunaan infus kontinu baik 2% atau 3% NaCl hingga
mencapai tujuan Na serum 150 mmol / L. 19
24
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa
waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti
dengan 4x4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis
6x15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6x10 mg. 19
d. Barbiturat.
Barbiturat digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara
ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat. 19
e. Hipotermia
Terapi hipotermia masih menjadi pilihan untuk mengatasi peningkatan
tekanan intrakranial. Biasanya terapi hipotermia diberikan pada pasien yang
inteloran terhadap terapi hipertonik. Adanya perangkat modern untuk memodulasi
suhu tubuh memungkinkan terapi ini akan makin rutin digunakan. Karena tekanan
intrakranial sangat tergantung pada suhu tubuh inti, setiap penurunan suhu kurang
dari 37 ° C akan menurunkan tekanan intrakranial mengakibatkan pengurangan
ICP namun terapi ini umumnya ditargetkan untuk mendapatkan suhu inti tubuh
yang lebih rendah yaitu 32oC sampai 34°C. Risiko komplikasi infeksi karena
terapi hipotermia tergantung durasi terapi, tingkat komplikasi infeksi meningkat
tajam pada terapi lebih dari 72 jam. Hipotermia juga dapat memicu koagulopati
dan peningkatan risiko pendarahan tapi saat ini belum ada peningkatan yang
signifikan kejadian perdarahan intrakranial karena hipotermia pada banyak
Randomized Controlled Trial (RCT). 19
25
3. Terapi tambahan lain
Pasien dengan trauma kepala pasti mengalami nyeri kepala baik oleh
karena trauma jaringan peka nyeri maupun karena peningkatan tekanan
intrakranial. Nyeri harus segera diatasi karena menahan rasa nyeri dapat memberat
peningkatan tekanan intrakranial. Transfusi dapat dikerjakan pada anemia karena
kehilangan darah akibat trauma dengan target Hb 10g/dL. Antikonvulsan dapat
diberikan bila ada gejala klinis kejang, tidak diberikan sebagai profilaksis. 19
Pemakaian ventilator ditujukan untuk pengaturan kadar CO2 yang
memiliki dampak signifikan pada aliran darah otak (CBF) dan mengontrol volume
intrakranial dan tekanan intrakranial. Pada hiperventilasi ringan, peningkatan
ekstrasi oksigen19
ekstraksi dapat mengkompensasi penurunan aliran darah dan volume,
sehingga metabolisme sel yang normal dapat tetap berlangsung. Namun,
hiperventilasi berkepanjangan dapat meningkatkan asidosis metabolik sedangkan
pada hiperventilasi jangka pendek dapat menurunkan kadar CO2 di pembuluh
darah otak yang menyebabkan peningkatan pH sehingga mengurangi efek
merugikan dari asidosis. Proses ini tergantung pada ketersediaan bikarbonat dalam
cairan serebrospinal. Hiperventilasi berkepanjangan dapat menguras kadar
bikarbonat yang dapat menyebabkan iskemia dan memperburuk keluaran klinis. 19
26
tindakan operatif. Sedangkan Sullivan dkk melaporkan serial kasus 252 pasien
dengan perdarahan epidural akut, 160 diantaranya mendapat terapi konservatif
dan hasilnya cukup memuaskan. Offner dkk dalam studinya pada 84 pasien
dengan perdarahan epidural di Rumah Sakit Trauma Saint antony didapatkan
bahwa 87% dari 64% pasien yang mendapat terapi nonoperatif memiliki
keluaran klinis yang memuaskan dan dianggap sukses.20,21
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang
disarankan Bullock dkk tahun 2006 yaitu :20,21
-Volume hematom > 30 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan
kedalaman >1 cm
- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang
- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
27
2.10. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan epidural intrakranial
adalah defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena kerusakan
kortikal (biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed effect termasuk
postconccusion syndrome seperti nyeri kepala, dizziness, vertigo, restlessness,
emosi yang labil dan kertidakmampuan untuk berkonsentrasi dan kelelahan.
Sedangkan komplikasi pada perdarahan epidural di spinal umumnya adalah
spastisitas, nyeri neuropatik dan komplikasi pada sistem berkemih.10
Prognosis pasien dengan perdarahan epidural tergantung pada usia,
kesadaran awal masuk (GCS), perberatan klinis, perberatan yang tertunda antara
saat trauma dan intervensi bedah. Pada perdarahan epidural di spinal prognosis
tergantung pada keterlibatan medulla spinalis.10
28
BAB III
STATUS ORANG SAKIT
3.2 Alloanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut kiri bawah
Telaah :
Hal ini dialami pasien sejak + 1 minggu ini. Nyeri bersifat hilang dan timbul.
Saat ini os sedang hamil ketiga. Riwayat keluar darah dari kemaluan tidak ada,
mual (-), muntah (-) BAK (+) N, BAB (+) N. Pasien merupakan rujukan dari
rumah sakit di Sibolga.
RPT : HIV
HPHT : 2/11/2019
TTP : 9/8/2020
RIWAYAT PERSALINAN
29
3.3 Time Sequences
30
3.4 Primary Survey (Tanggal 13 Jan 2020)
A (Airway)
- Clear
- Snoring (-), gurgling (-), crowing (-).
B (Breathing)
- RR: 16 x/menit.
- SaO2: 99 %
C (Circulation)
- Tekanan darah: 110/70 mmHg
- Nadi: 74 x/menit, reguler, T/V cukup
- Akral : H/M/K
- CRT < 2”
- Terpasang IV line di tangan kiri
D (Disability)
- Sensorium: Sopor, GCS 6 E1V4M1
- Pupil isokor, refleks cahaya +/+, diameter 3mm/3mm
E (Exposure)
- Temp: 37,8oC
31
B5 (Bowel) : Abdomen: soepel; peristaltik (+) normal
32
IMMUNOSEROLOGI
- HbsAg Non-reaktif
- HIV Reaktif
Hasil
- Kandung kemih tidak terisi
- Uterus antefleksi > BB
- Tampak kantong gestasi dengan 2 janin di dalamnya, FH (+/+)
- CSLA : 2,5 cm CRLB : 2,7 cm
Kesimpulan : Kehamilan Ektopik (Cornukiri) + Gemelli + AH+ AH
3.7. Diagnosis
Pasien didiagnosis dengan Kehamilan Ektopik Terganggu + Gemelli + AH +
AH.
33
BAB IV
FOLLOW UP
13 Januari 2020
S -
O - Airway : clear S/G/K -/-/- , Sp: vesikuler ka=ki, St (-)
- Respiratory rate : 18x/I, Sp O2 : 99%
- Akral : H/M/K , Tekanan darah : 110/70 mmHg,
- Heart rate: 97x/I
- Sensorium : Compos mentis
- Urine Output : (+)
- Abdomen : Soepel, edema (-), Fraktur (-)
- Ekstremitas: akral hangat, perfusi baik
A Ket + Gemelli+ AH + HIV po laparotomi
P F : Diet SV 1800 kkal + 60 gr protein
A : Inj. Ketorolac 30mg/8jam
S : Inj. Fentanyl 300mcg dalam 50cc NaCl 0,9% → 4cc/jam
T : Inj. Heparin 5000 IU/12jam
H : Bed rest + head up 30o
U : Inj. Omeprazole 40mg/12jam
G : Cek kadar gula darah sewaktu berkala
34
13 Januari 2020
S - Post op laparotomi
O - Airway: clear
- Breathing: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Sens: compos mentis, GCS: E4M6V5, Pupil: bulat isokor ᴓ
3mm/3mm, RC +/+
- TD: 120/70 mmHg, HR: 102x/i, SpO2: 98% tanpa suplementasi O2,
RR: 20x/i
- UOP: Kateter (+), kuning jernih
- Abdomen: soepel, peristaltik (n)
- Ekstremitas: akral hangat, perfusi baik
A - Post op laparotomi a/i KET
P Terima kasih atas konsulnya.
35
BAB V
DISKUSI
Teori Kasus
Anamnesis pada kebanyakan pasien dengan Pasien datang dengan keluhan
cedera kepala harus sesuai dengan klinis. utama penurunan kesadaran
Namun, anggap telah terjadi trauma dengan sejak ± 8 jam sebelum masuk
patologi intraserebral pada setiap pasien rumah sakit.
dengan koma tanpa etiologi yang diketahui.
Pada kejadian akut, pasien dapat koma
atau bingung, dan saksi kejadian
memiliki peranan yang sangat penting.
Pastikan apakah telah terjadi penurunan
kesadaran. Bahkan penurunan kesadaran
yang tidak jelas dapat menjadi tanda dari
cedera neurologi yang parah.
Terdapatnya kejadian cedera kepala
sebelumnya, dapat mengindikasikan
potensi akibat jangka panjang yang lebih
parah.
Penggunaan obat-obatan atau alkohol
dapat meningkatkan resiko dari
pendarahan intrakranial dan
mengaburkan pemeriksaan status mental.
Terdapatnya penggunaan antikoagulan
saat itu juga mencemaskan.
Periksa kembali penyakit psikiatri
terdahulu dan riwayat sakit kepala
premorbid.2
36
Penyebab cedera kepala yang paling sering Awalnya pasien sedang
dialami di seluruh dunia adalah akibat mengendarai sepeda motor
kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus kemudian kepala pasien di
cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian hantam dengan batu oleh orang
dalam berlalu lintas, 20 sampai 30% kasus tak dikenal dari arah kiri
disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh sehingga pasien tak sadarkan
kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh diri.
perlukaan yang terjadi di rumah maupun
tempat kerja.
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua
faktor, yaitu :
1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada
kepala secara langsung maupun tidak
langsung (akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma
saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intracranial, hipoksia,
hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
37
Pastikan apakah telah terjadi penurunan Pasien pingsan selama 15
kesadaran. Bahkan penurunan kesadaran yang menit kemudian sadar.
tidak jelas dapat menjadi tanda dari cedera
neurologi yang parah.
38
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi
distensi lambung dan mengurangi
kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat
mengakibatkan NGT tidak berfungsi, lagipula
pemasangannya sendiri dapat mengakibatkan
muntah. Darah dalam lambung dapat
disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT
yang traumatik atau perlukaan lambung. Bila
lamina kribosa pada rongga hidung patah atau
diduga patah, kateter lambung harus dipasang
melalui mulut untuk mencegah masuknya
NGT dalam rongga otak. Dalam keadaan ini
semua pipa jangan di masukkan lewat jalur
naso-faringeal.
Kateter uretra
Produksi urin merupakan indikator yang peka
untuk menilai keadaan perfusi ginjal dan
hemodinamik penderita. Kateter urin jangan
dipasang jika dicurigai ada ruptur uretra yang
ditandai dengan
39
- GCS <13 pada penilaian awal di IGD. rebreathing mask
- GCS <15 pada 2 jam setelah penilaian - Pasang NGT
awal di IGD. - Pasang kateter urin
- Kecurigaan fraktur tengkorak terbuka atau - IVFD R-Sol 20 gtt/i
depresi. - Inj. Ketorolac 30 mg
- Terdapat tanda-tanda fraktur basis kranii - Inj. Ranitidine 50 mg
(hemotimpanum, mata ‘panda’ atau ‘rakun’, - Inj. Ceftriaxone 1 gr
bocornya cairan serebrospinal dari telinga - CT scan Kepala
atau hidung, tanda Battle).
- Kejang post-trauma.
- Defisit neurologis fokal.
- Lebih dari satu episode muntah
-
Komplikasi Riwayat kejang tidak dijumpai
Kejang pasca trauma terjadi secara klinis pada
sekitar 4% pasien dengan cedera kepala
dalam minggu pertama cedera. Pemantauan
EEG berkelanjutan dapat mengungkapkan
insiden yang lebih tinggi (22%). Kejang
setelah minggu pertama terjadi pada 4-30%
pasien.
40
BAB VI
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
42
13. Epidural Hematoma [online]. Avaible from: URL:
http://emedicine.medscape.com
14. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving
understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013.
15. Langlois DA, Brown WR, Thomas KE. Traumatic Brain Injury in the United
States:Emergency Department Visits Hospitalization, and Deaths. CDC. 2011.
16. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving
understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013
17. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma:
Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011
18. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head
Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013
19. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section :
Neurotrauma, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012
20. Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of
Post- Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–
817: 2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231
21. Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute Epidural
Hematome : 2006, http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8
22. Lo, C., Chen dkk, Spontaneous Spinal Epidural Hematoma : A Case Report
and Review of the Literatures, 21(386), 31–34: 2012
23. Yi, K., Paeng dkk, Spontaneous Resolution of a Traumatic Lumbar Epidural
Hematoma with Transient Paraparesis, 2(October), 71–73: 2016
43