Disusun Oleh:
Kobinath A/L Nanda Kumar 100100317
Vanmathi A/P Raju 130100441
Kogilavani AP Mani 130100449
Arvind A/L Chelvaray@Selvaraj 130100463
Gayatthiri Naaidu A/P Muniandy 130100476
Shobaanesh A/L Ramarao 130100478
Siti Nor Fazlina Binti Noorisam 140100240
PEMBIMBING:
dr. Indri Adriztina, M. Ked. (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah berjudul “Anatomi dan Pemeriksaan Fisik Telinga, Hidung, dan
Tenggorokan”. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih dr. Indri Adriztina, M. Ked. (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses
penyusunan makalah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
penulisan makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat,
akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
2.2.2 Embriologi.............................................................................................. 13
ii
2.3.5 Ruang Faringal ....................................................................................... 27
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Fungsi dan Persyarafan otot faring.................................. 24
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otolaringologi adalah cabang ilmu kedokteran yang khusus meneliti diagnosis
dan pengobatan penyakit telinga, hidung, tenggorok serta kepala dan leher. Di
Indonesia cabang kedokteran ini popular dengan nama ilmu telinga hidug tenggorokan
bedah kepala leher atau THT-KL. Sebelum memperdalam ilmu THT-KL ini
diperlukan pengetahuan anatomi dari masing-masing organ tersebut agar dapat dengan
mudah melakukan pemeriksaan fisik THT-KL dan untuk dapat menegakkan diagnosis
suatu penyakit atau kelainan di telinga, hidung dan tenggorok diperlukan kemampuan
melakukan pemeriksaan organ-organ tersebut. Dalam upaya menegakkan diagnosis
pada pasien dengan keluhan pada telinga, hidung dan tenggorok, seorang dokter harus
menguasai keterampilan pemeriksaan fisik dan prosedur diagnostik. Seperti halnya
bidang-bidang ilmu kedokteran yang lain, cara-cara pemeriksaan telinga, hidung,
tenggorok dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meliputi inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi.
Setelah mempelajari materi keterampilan pemeriksaan telinga, hidung dan
tenggorok, diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan bagian-bagian penting dari
telinga, hidung dan tenggorok, menjelaskan keluhan-keluhan yang membawa pasien
datang ke dokter,menjelaskan nama dan kegunaan alat untuk pemeriksaan THT,
mempersiapkan pasien untuk pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorok,
melakukan prosedur keterampilan pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorok,
melakukan prosedur diagnostik pengambilan spesimen untuk keperluan pemeriksaan
laboratorium guna membantu menegakkan diagnosis penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pendengaran
2.1.1 Anatomi Sistem Pendengaran
Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara
kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi impuls pulsa listrik dan diteruskan
ke korteks pendengaran melalui saraf pendengaran. Telinga merupakan organ
pendengaran dan keseimbangan. Telinga manusia menerima dan mentransmisikan
gelombang bunyi ke otak di mana bunyi tersebut akan dianalisa dan diintrepetasikan.
Telinga dibagi menjadi 3 bagian seperti pada gambar 2.1 (Moller, 2007).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga (Moller, 2007)
2
rawan yang banyak mengandung kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua pertiga
bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit serumen (Moller, 2007).
Gambar 2.2 Aurikula dan membrane timpani. (Hansen, J. 2010)
3
Prosessus mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang terletak di
belakang telinga. Ruang udara yang berada pada bagian atasnya disebut antrum
mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah. Infeksi dapat menjalar
dari rongga telinga tengah sampai ke antrum mastoideus yang dapat menyebabkan
mastoiditis (Moller, 2007).
4
dan tiga baris sel rambut luar yang berisi 12.000 sel. Ujung saraf aferen dan eferen
menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat
stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, dikenal
sebagai membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu
panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus (Moller, 2007).
2.1.5 Innervasi
Nervus auditorius atau saraf pendengaran terdiri dari dua bagian, yaitu: nervus
vestibular (keseimbangan) dan nervus kokhlear (pendengaran). Serabut-serabut saraf
vestibular bergerak menuju nukleus vestibularis yang berada pada titik pertemuan
antara pons dan medula oblongata, kemudian menuju cerebelum. Sedangkan, serabut
saraf nervus kokhlear mula-mula dipancarkan kepada sebuah nukleus khusus yang
berada tepat di belakang thalamus, kemudian dipancarkan lagi menuju pusat penerima
akhir dalam korteks otak yang terletak pada bagian bawah lobus temporalis (Bhatt,
2016).
Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris
anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke
meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A.
Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A.
Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus
dan sebagian duktus semisirkularis. A. Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah
putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang
5
kohlear. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis
semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlear memperdarahi ganglion
spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. Kohlearis berjalan
mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan didalam kohlea mengitari
modiolus. Vena dialirkan ke V. Labirintin yang diteruskanke sinus petrosus inferior
atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan
kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior (Bhatt, 2016).
Persarafan telinga dalam melalui N. Vestibulokohlearis (N. akustikus) yang
dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, didalam meatus akustikus internus
bersatu pada sisi lateral akar N. Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan
medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N. Kohlearis dengan ganglion
vestibularis(scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris
pendengaran dipersarafi N. Kohlearis dengan ganglion spiralis corti terletak di
modiolus (Bhatt, 2016).
6
2.2.1 Struktur dan Fungsi
Rongga hidung adalah bagian saluran pernapasan yang paling cephalic. Ini
berkomunikasi dengan lingkungan eksternal melalui lubang anterior, nares, dan
nasofaring melalui lubang posterior, choanae. Rongga ini dibagi menjadi dua rongga
yang terpisah oleh septum dan dipatenkan oleh kerangka tulang dan tulang rawan.
Setiap rongga terdiri dari atap, lantai, dinding medial, dan dinding lateral. Dalam setiap
rongga ada tiga wilayah; ruang depan hidung, daerah pernapasan, dan daerah
penciuman.
Di sekitar rongga hidung terdapat sinus mukosa yang mengandung udara, yang
meliputi sinus frontal (superior anterior), sinus ethmoid (superior), sinus maxillary
berpasangan (lateral), dan sinus sphenoid (posterior). Semua sinus paranasal ini,
kecuali sfenoid, berkomunikasi dengan rongga hidung melalui saluran yang mengalir
melalui ostia, yang kosong ke ruang-ruang yang terletak di dinding lateral. Sinus
sphenoid bermuara di atap posterior. Memiliki pengetahuan mendasar tentang anatomi
rongga hidung sangat penting dalam memahami fungsinya.
Pernafasan
7
partikel pada kecepatan satu sentimeter per menit ke dalam nasofaring untuk
pengusiran lebih lanjut.
Penciuman
Ruang depan hidung adalah area pertama yang ditemui ketika Anda bergerak
ke belakang melalui nares anterior, juga dikenal sebagai lubang hidung atau katup
hidung eksternal. Paruh pertama ruang depan memiliki penutup epitel skuamosa
berlapis bertingkat yang mengandung rambut kasar yang disebut vibrissae. Rambut-
rambut ini menyaring partikel yang dihirup. Penutupan dari bagian kedua ruang
depan adalah epitel pernapasan, epitel kolumnar bersilia pseudostratifikasi. (Oneal
RM,1999, Patel RG,2017 & Lafci FS, 2018)
Lateral: crus lateral dari kartilago lateral bawah (LLC) dan jaringan alar
fibrofatty
8
Atap rongga hidung
Anterior: tulang belakang hidung dari tulang frontal dan tulang hidung
Kanal ini terletak di dasar rongga hidung, posterior ke insisivus sentral, dan
lateral ke septum hidung. Struktur ini mentransmisikan saraf nasopalatine ke dalam
rongga mulut dan arteri palatine yang lebih besar ke dalam rongga hidung. (Oneal
RM, 1999)
Nasal Septum
Tulang rawan segi empat (septal):Ini adalah bagian paling depan dari septum. Ini
berisi pleksus Kiesselbach (lihat suplai darah). (Converse JM 1955)
9
Lampiran:
Lempeng Ethmoid yang tegak lurus:Ini adalah proyeksi vertikal dari cribriform
plate dari ethmoid inferior ke kartilago septum. (AlJulaih GH,2019)
Vomer:Terletak lebih rendah dan sedikit posterior dari lempeng ethmoid tegak lurus.
Itu melekat inferior ke puncak hidung dari tulang maksila dan palatina. (AlJulaih
GH,2019)
Tulang Hidung Anterior Maxilla:Ini adalah proyeksi tulang yang dibentuk oleh
tulang-tulang rahang atas yang berpasangan. Ini terletak di depan aperture piriform
dan teraba di bagian superior dari philtrum bibir atas. (AlJulaih GH,2019)
Dinding lateral rongga hidung memiliki tiga tulang melengkung inferior yang
disebut medial conchae. Koncha tengah dan superior adalah bagian dari tulang
ethmoid, sedangkan concha inferior adalah tulang yang terpisah sama sekali. Ada
varian normal yang disebut conchae tertinggi. Koncha ini, ketika ditutupi oleh
mukosa, disebut turbinat. Turbinat menambah area permukaan rongga hidung untuk
membantu fungsinya melembabkan, menghangatkan, dan melembabkan udara.
Turbinat membuat empat saluran. Tiga dari saluran ini disebut meatus, dan yang
keempat adalah reses sphenoethmoidal. (Oneal, 1999, AlJulaih GH, 2019, Capello
ZJ, 2018 & Galarza-Paez L 2018)
10
Tulang dinding lateral:
Tulang ethmoid
Concha inferior
Meatuses:
Superior Meatus: terletak lebih rendah dari turbinate superior dan superior to
turbinate menengah; ini adalah situs drainase dari sinus ethmoid posterior.
Middle Meatus: terletak lebih rendah dari turbinate menengah dan superior ke
inferior turbinate - ada beberapa struktur dalam meatus ini. Ini adalah tempat
pembuangan sinus frontal, anterior ethmoid, dan sinus maksilaris.
Inferior Meatus: Terletak lebih rendah dari turbinate inferior dan superior ke
dasar rongga hidung. Saluran nasolacrimal mengalirkan air mata dari kantung
lacrimal pada aspek medial mata ke bagian anterior meatus ini melalui katup
Hasner. (Oneal, 1999, AlJulaih GH, 2019, Capello ZJ, 2018 & Galarza-Paez L
2018)
Agger Nasi Cells:Sel-sel ini adalah bagian paling anterior dari sel udara ethmoid
anterior. Mereka terletak anterior dan superior dari lamella basal, perlekatan paling
anterior ke dinding lateral, dari turbinasi tengah untuk menciptakan aspek anterior
dari reses frontal.
11
Reses Frontal:Terletak di antara dinding posterior sel nasi agger dan turbin tengah.
Proses Ethmoid:Ini adalah tulang tipis berbentuk bulan sabit yang merupakan
bagian dari tulang ethmoid. Ia melekat pada tulang lakrimal di bagian anterior, turbin
inferior, inferior, dan superior pada lamina papyracea. Struktur ini melindungi sinus
infundibulum dari partikel asing yang dihirup.
Lamina Papyracea:Tulang tipis ini adalah pemisahan antara orbit dan sel-sel udara
ethmoid.
Ethmoid Bulla:Terletak tepat di depan hiatus semilunar dan lebih unggul dari
infundibulum ethmoid, yang merupakan tempat sel udara ethmoidal tengah
membuka ke rongga hidung.
Ostiomeatal Complex (OMC):Ini adalah area yang terletak lateral ke turbin tengah
yang menampung ostia sinus dinding lateral; sinus ethmoid frontal, maksila, dan
anterior / tengah.
Choanae
Choanae juga dikenal sebagai lubang hidung posterior. Ini adalah batas posterior
rongga hidung yang tepat. Ini membuka ke dalam nasofaring. (Oneal, 1999, AlJulaih
GH, 2019, Capello ZJ, 2018 & Galarza-Paez L 2018)
12
Unggul: tubuh tulang sphenoid
Medial: vomer
INV adalah bagian tersempit dari rongga hidung dan merupakan area dengan
resistensi tertinggi terhadap aliran udara, yang menyebabkan peningkatan percepatan
aliran udara. Tanpa dukungan yang tepat, peningkatan aliran udara ini menyebabkan
penurunan tekanan intraluminal, yang pada akhirnya menyebabkan INV runtuh; ini
adalah prinsip aliran Bernoulli. Rata-rata luas penampang INV pada orang dewasa
adalah sekitar 0,73 sentimeter persegi. Pada puncak katup ULC dan, septum hidung
bersatu pada sudut 10 hingga 15 derajat. (Haight JS, 1983)
2.2.2 Embriologi
13
LNP pada alur nasolacrimal. Selama minggu keenam hingga kedelapan, rongga
hidung dan rongga mulut mulai berkomunikasi melalui choanae. Karena ini terjadi,
dinding lateral rongga hidung mulai membentuk lima ethmoturbinals. Ethmoturbinals
akhirnya membentuk turbinat dan struktur lain yang ditemukan dalam setiap meatus
rongga hidung. (Ferrario VF, 1997, Warbrick JG, 1960 & Asaumi R, 2019))
14
Gambar 2.6 Embriologi fungsional (Dikutip dari Rohen J.W. & Lütjen-
Drecoll E. 2012.)
Pasokan Arteri
15
Arteri Karotid Internal (ICA)
Cabang utama dari ICA yang memasok rongga hidung adalah arteri oftalmik.
Keluar dari arteri oftalmikus adalah arteri ethmoid anterior dan posterior, serta arteri
nasal dorsal. Arteri ethmoid anterior memasok dinding lateral nasal dan septum nasal.
Arteri ethmoid posterior memasok turbinate superior dan septum hidung. Arteri dorsal
nasal memasok aspek dorsal hidung eksternal. (Oneal RM,1999 & Patel RG, 2017)
ECA memunculkan arteri maksila dan arteri wajah. Dua arteri penting ini
kemudian bercabang menjadi pembuluh yang lebih kecil.
Arteri Maksila
Arteri Wajah
Arteri wajah memunculkan arteri labial superior, arteri nasal lateral, dan arteri
sudut. Arteri labial superior mengeluarkan cabang alar dan cabang septum yang
memasok struktur yang sama dengan namanya. Arteri hidung lateral memasok tulang
16
rawan alar pada hidung eksternal dan juga memasok ruang depan hidung. Arteri sudut
menyuplai ujung hidung eksternal, dorsum, dan dinding lateral. (Oneal RM,1999,
Patel RG, 2017 & MacArthur FJ, 2017)
Plexus Woodruff
Drainase Vena
Nama-nama vena yang mengalirkan hidung dan rongga hidung mengikuti dari
arteri yang dipasangkan. Cabang maxillary mengalir ke sinus kavernosa atau pleksus
pterigoid yang terletak di fossa infratemporal. Vena rongga hidung anterior mengalir
ke vena wajah. Dari catatan, infeksi yang terletak di antara commissure oral dan
jembatan hidung, berpotensi menjadi infeksi intrakranial. Ini harus segera diobati
untuk mencegah perluasan infeksi.
Limfatik
17
Gambar 2.7 Suplai darah di hidung (Dikutip dari Christy Krames 2005)
2.2.4 Saraf
18
Cabang Kedokteran (V1):Ketika saraf oftalmikus mulai bercabang, ia
mengeluarkan cabang nasosiliar, yang kemudian memberikan saraf ethmoid
anterior dan posterior. Ethmoid anterior mengeluarkan cabang eksternal yang
memasok ujung hidung, cabang internal yang memasok rongga hidung
anterosuperior dan cabang septum yang memasok septum hidung superior anterior.
Ethmoid posterior memasok rongga hidung posterosuperior. Dua cabang lain dari
cabang opthalmikus dari saraf trigeminal adalah saraf supratrochlear dan
infratrochlear yang memasok dorsum hidung.
19
Gambar 2.8 Saraf Hidung (Dikutip dari www.news.labsatu.com)
2.2.5 Otot
Nasalis
Bagian melintang: Berasal dari rahang atas lateral ke hidung dan menyisipkan
pada dorsum hidung. Bagian ini menekan lubang hidung.
Bagian alar: Berasal di atas gigi seri lateral dan menyisipkan tulang rawan alar.
Fungsi dari bagian ini adalah untuk membuka lubang hidung dengan menarik
tulang rawan alar ke bawah dan lateral.
20
Procerus
Procerus berasal dari tulang hidung dan tulang rawan lateral atas sambil
memasukkan pada kulit di atasnya glabella. Fungsi procerus adalah untuk
mengerutkan kulit di atas jembatan hidung dengan menarik sudut medial alis ke
bawah. (Hur MS, 2017 & Kuramoto E, 2019)
Depressor Septi
Septi depressor berasal dari rahang atas di atas gigi seri sentral dan
menyisipkan septum anterior. Fungsi utama otot ini adalah menggambar hidung
dengan inferior. (Hur MS, 2017 & Kuramoto E, 2019)
LLSAN berasal dari proses frontal rahang atas dan memasukkan tulang rawan
alar dan bibir atas. Fungsi otot ini adalah untuk membuka lubang hidung dan
mengangkat bibir atas. (Hur MS, 2017 & Kuramoto E, 2019)
21
2.3 Anatomi Tenggorokan
2.3.1 Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung
ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring
dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada
orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. (Efiaty, Nurbaiti,
dkk, 2007)
22
Gambar 2.10 Anatomi Faring (Netter 7thEdition, 2019)
Otot-otot pada faring dibagi menjadi tiga bagian yaitu m. constrictor pharyngis
superior, medius, dan inferior. Serabut dari ketiga bagian tersebut berjalan hampir
melingkar. M. stylopharingeus dan m. salphingo pharyngeus serabutnya berjalan
dengan arah hampir longitudinal. Kontraksi otot- otot ini dapat mendorong bolus
kedalam esofagus. Serabut paling bawah disebut m. cricopharyngeus. Otot ini
melakukan efek sfingter pada ujung bawah faring sehingga dapat mencegah masuknya
udara ke dalam esofagus saat gerakan menelan. (Diktat anatomi thoracis, 2011, Netter
7th Edition, 2019)
23
Gambar 2.11 Otot-otot faring (Netter 7th Edition, 2019)
24
M. Stylopharyngeus Mengangkat laring selama proses menelan N.Glossopharyngeus
M.Salphingopharyn Mengangkat faring Plexus Pharyngeus
geus
M. Mengangkat dinding faring, menarik
Palatopharyngeus plicapalatopharyngeal ke medial
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). (Efiaty,
Nurbaiti, dkk, 2007)
2.3.2 Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah basis sfenoid, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah choanae, pallatum molle sedangkan ke belakang adalah
cervicalis I-II, basis sfenoid. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid
pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller,
kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus
tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
25
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius
spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen
laserum dan muara tuba Eustachius. (Efiaty, Nurbaiti, dkk, 2007, Diktat anatomi
thoracis, 2011)
2.3.3 Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. (Efiaty, Nurbaiti, dkk, 2007, Diktat
anatomi thoracis, 2011)
26
2.3.5 Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai
arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofiring
(Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring
yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot – otot faring. Ruang ini
berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar
tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat – serat
jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra di sebelah lateral ruang ini
berbatasan dengan fosa faringomaksila. (Efiaty, Nurbaiti, dkk, 2007)
Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut
dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan
puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.
konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang
melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini
dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang
melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat
mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian
posterior (post stiloid) berisi a. karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang
dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian
ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis. (Efiaty,
Nurbaiti dkk,2007)
27
Gambar 2.13 Bagian Anterior Posterior Faring (Netter 7th Edition, 2019)
Gambar 2.14 Anatomi Faring Bagian Posterior (Netter 7th Edition, 2019)
2.3.6 Anatomi Laring
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas yang bagian atas.
Bentuk laring seperti limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar dari
bagian bawah. Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana
mukosa. Terletak di sebelah ventral faring. Berada di sebelah kaudal dari os hyoideum
dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh kulit
28
dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. (Efiaty,
Nurbaiti, dkk,2007) Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan
subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika
vestibular (pita suara n vg [; k.0=o; lp. palsu) dan ventrikel laringeal. Glotis kgvn
bcyt6= [;09oterdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik memanjang dari
permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi, konfigurasi, dan
konsistensi struktur laringea, unik pada neonatus. (Efiaty, Nurbaiti, dkk,2007)
Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya adalah batas
kaudal kartilago krikoid. Laring membentang dari laryngoesophageal junction dan
menghubungkan faring (pharynx) dengan trachea. Laring terletak setinggi Vertebrae
Cervical IV–VI. Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan
orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh
tekanan jalan nafas. Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada
orang dewasa hingga C6. Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan
membuka sekitar 4 mm ke arah lateral. (Efiaty, Nurbaiti, dkk,2007)
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang yaitu tulang hyoid dan
beberapa tulang rawan:
a) Tulang hyoid
29
Gambar 2.15 Tulang hyoid Laring (Netter 7th Edition, 2019)
30
Struktur Otot Laring
1. Otot-otot Ekstrinsik
Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hioid (suprahioid),
seperti musculus digastrikus, musculus geniohioid, musculus stilohioid dan musculus
milohioid. Sedangkan otot- otot ekstrinsik laring yang terletak di bawah tulang hioid
(infrahioid) ialah musculus sternohioid, musculus omohoid. (Efiaty, Nurbaiti, dkk,
2007, Diktat anatomi thoracis, 2011)
a) Musculus digastrikus
Inervasi: Pada Venter anterior oleh Nervus mandibularis sedangkan pada
Venter posterior oleh Nervus facialis
Origo: Os. Temporale
Insertio: Os. Mandibula
Fungsi: Untuk elevasi tulang hyoid dan depresi mandibula sehingga dapat
mengangkat dasar atau lantai mulut saat menelan atau berfungsi menarik laring
ke bawah (elevator) (Efiaty, Nurbaiti, dkk, 2007, Diktat anatomi thoracis,
2011)
b) Musculus geniohioid
Inervasi: oleh serat dari lalui C1 pada saraf kranial XII (n. hypoglossus)
Origo: bagian dalam mandibular
Insersio: Permukaan anterior tulang Hyoid
Fungsi: elevasi hyoid dan memperlebar laring (Efiaty, Nurbaiti, dkk, 2007,
Diktat anatomi thoracis, 2011)
c) Musculus stilohioid
Origo: proc. Styloideusos temporalis
Insersio: basis cornu os hyoid
Innervasi N VII facialis
Fungsi: Untuk menarik laring kebawah (elevator) dan merupakan bagian dasar
mulut saat menelan (Efiaty, Nurbaiti, dkk, 2007, Diktat anatomi thoracis, 2011)
d) Musculus milohioid
Inervasi: Nervus mandibularis cabang N.V
Origo: Os. Mandibula
15
31
Insertio: Os. Hyoidea
Fungsi: Otot-otot ini berfungsi menarik laring ke bawah (elevator) dengan cara
menggerakkan lidah saat deglutasi dan elevasi os. hyoid (Efiaty, Nurbaiti, dkk,
2007, Diktat anatomi thoracis, 2011)
e) Musculus sternohioid
Inervasi: Plexus cervicalis
Origo: Os. sternum
Insertio: Os. hyoidea
Fungsi: menarik Os. hyoidea ke caudal dan depresor laring atau menarik laring
ke atas (Efiaty, Nurbaiti, dkk, 2007, Diktat anatomi thoracis, 2011)
f) Musculus omohoid
Inervasi: Plexus cervicalis
Origo: Os. scapula
Insertio: Os. hyoidea
Fungsi: meregangkan fascia cervicalis, mencegah kolapsnya Vena jugularis
dan sebagai depressor laring atau menarik laring ke atas. (Efiaty, Nurbaiti, dkk,
2007, Diktat anatomi thoracis, 2011)
g) Musculus tirohioid
Inervasi: oleh serat dari lalui C1 pada saraf kranial XII (n. hypoglossus)
Origo: kartilago thyroid
Insertio: Os. hyoidea
Fungsi: menarik atau depressi Os. hyoidea ke caudal dan depresor laring atau
menarik laring ke atas (Efiaty, Nurbaiti, dkk, 2007, Diktat anatomi thoracis,
2011)
32
Gambar 2.17 Otot ekstrinsik Laring (Netter 7th Edition, 2019)
2. Otot-otot Intrinsik
Otot-otot instrinsik yang terletak di bagian lateral laring ialah musculus
krikoaritenoid lateral, musculus tiroepiglotika, musculus vokalis, musculus
tiroaritenoid, musculus ariepiglotika dan musculus krikotiroid. Sedangkan otot- otot
instrinsik yang terletak di bagian posterior laring adalah musculus aritenoid
transversum, musculus aritenoid oblik, musculus krikoaritenoid posterior. (Diktat
anatomi thoracis, 2011, Guyton AC, Hall,2006)
a) Musculus krikoaritenoid lateral
Otot ini berorigo pada arcus cartilaginis cricoideae
berinsersio pada processus muscularis cartilaginis arytenoideae
Dipersarafi oleh N. Laryngeus externus.
Fungsinya adalah aduksi plica vocalis yaitu kontraksinya akan mendekatkan
kedua pita suara ke tengah (Diktat anatomi thoracis, 2011, Guyton AC,
Hall,2006)
b) Musculus tiroepoglotika
Origo pada: permukaan bagian dalam dari tulang rawan tiroid, yang sama
dengan otot thyroarytenoid
insersio pada pinggir lateral epiglotis dan aryepiglota
33
Dipersarafi oleh recurrent laryngeal nerve
Fungsi untuk menekan pangkal epiglotis dan Melebarkan aditus dengan
dengan memisahkan kedua plica aryepiglottica (Diktat anatomi thoracis, 2011,
Guyton AC, Hall,2006)
c) Musculus vokalis
Origo pada sudut anatar kedua lamina cartilaginis thyroidea
Insersio pada processus vocalis cartilaginis arytenoideae.
Persarafannya adalah oleh N. Laryngeus reccurens
Fungsi untuk mengubah plica vocalis saat fonasi dengan berfungsi sebagai
aduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) (Diktat
anatomi thoracis, 2011, Guyton AC, Hall,2006)
d) Musculus tiroaritenoid
Origo pada permukaan posterior cartilage thyroidea
Insersio pada processus muscularis cartilaginis arytenoidea.
Persarafannya adalah oleh N. Laryngeus reccurens.
Fungsinya adalah mengendurkan plica vocalis, yaitu kontraksinya akan
mendekatkan kedua pita suara ke tengah (Diktat anatomi thoracis, 2011,
Guyton AC, Hall,2006)
e) Musculus ariepiglotika
Origo pada tulang rawan arytenoid
Insersio pada epiglotis
Persarafan oleh inferior laryneal nerve (dari n. vagus)
Fungsinya kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah (Diktat
anatomi thoracis, 2011, Guyton AC, Hall,2006)
f) Musculus krikotiroid
Origonya pada bagian anterolateral cartilage cricoidea
Insersio pada tepi bawah dan cornu inferius cartilaginis thyroideae.
Otot ini dipersarafi oleh laryngeus externus.
Fungsi utamanya adalah meregangkan dan menegangkan plica vocalis. (Diktat
anatomi thoracis, 2011, Guyton AC, Hall,2006)
34
g) Musculus arytenoid transversum dan Muscukus arytenoid oblik
Berorigo pada satu cartilage arytenoidea
Berinsersio pada cartilage arytenoidea sisi yang lain
Persarafnya adalah oleh N. Laryngeus reccurens.
Fungsinya adalah untuk menutup aditus larynges dengan mendekatkan kedua
cartilage arytenoidea. (Diktat anatomi thoracis, 2011, Guyton AC, Hall,2006)
h) Musculus krikoartinoid posterior
Otot ini berorigo pada permukaan posterior lamina cariliginis cricoideae
Berinsersio pada processus muscularis cartilaginis arytenoideae
Berfungsi untuk abduksi plica vocalis (fungsi otot ini berbeda dengan yang lain
dimana kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral, sedangkan
otot intrinsic yang lain berfungsi sebagai adductor). (Diktat anatomi
thoracis,2011, Guytom AC, Hall,2006)
35
Konstriktor faring inferior dan menuju ke otot Krikotiroid. Ramus eksterna merupakan
suplai motorik untuk satu otot saja, yaitu otot krikotiroideus. Disebelah inferior, saraf
rekurens berjalan Ramus internus tertutup oleh otot Tirohioid terletak di sebelah
medial arteri Tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama arteri
Laringeus superior menuju ke mukosa laring. Ramus atau Cabang interna ini mengurus
persarafan sensorik valekula, epiglottis, sinus piriformis dan seluruh mukosa laring
superior interna tepi bebas korda vokalis sejati. Nervus laringis inferior merupakan
lanjutan dari nervus Rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus
kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari nervus vagus. N. rekuren kanan
akan menyilang a. Subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n. Rekuren kiri akan
menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang-cabang a.
Tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada
permukaan medial m. Krikofaring. Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf
ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan posterior. Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis
dengan n. Laringis superior ramus internus. (Diktat anatomi thoracis, 2011, Guyton
AC, Hall,2006)
Vaskularisasi Laring
Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a. Laringis superior dan a.
Laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a. Tiroid superior.
Arteri laringitis superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran
hioid bersama-sama dengan cabang internus dari n. Laringis superior kemudian
menembus membran ini untuk berjalan ke bawah di submukosa dari dinding lateral
dan lantai dari sinus piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring.
(Diktat anatomi thoracis, 2011, Guyton AC, Hall,2006)
Arteri laringis inferior merupakan cabang dari a. Tiroid inferior dan bersama-
sama dengan n. Laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring
melalui daerah pinggir bawah dari m. Konstriktor faring inferior. Di dalam laring arteri
itu bercabang-cabang, mempendarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a.
Laringis superior. Pada daerah setinggi membran krikotiroid a. Tiroid superior juga
36
memberikan cabang yang berjalan mendatari sepanjang membran itu sampai
mendekati tiroid. Kadang- kadang arteri ini mengirimkan cabang yang kecil melalui
membran krikotiroid untuk mengadakan anastomosis dengan a. Laringis superior.
(Diktat anatomi thoracis, 2011, Guyton AC, Hall,2006)
Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan a.
Laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior
dan inferior. Vena- vena laring mengikuti arteri-arteri larynx, vena laryngea superior
biasanya bermuara pada vena thyroidea superior, lalu bermuara ke dalam vena
jugularis interna. Vena laryngea inferior bermuara pada vena thyroidea inferior.
Kemudian bermuara kevena brachiocephalica sinistra. (Rospa H. dan Sri
Mulyani,2011, Guyton AC, Hall,2006)
37
2.4 Pemeriksaan Fisik Telinga
Anamnesis
Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam dan
lebih luas keluhan utama pasien. Keluhan utama telinga dapat berupa (Iskandar et al.,
2007) :
1) Gangguan pendengaran/pekak (tuli).
2) Suara berdenging/berdengung (tinitus).
3) Rasa pusing yang berputar (vertigo).
4) Rasa nyeri di dalam telinga (otalgia).
5) Keluar cairan dari telinga (otore).
Bila ada keluhan gangguan pendengaran,perlu ditanyakan (Iskandar et al.,
2007) :
1. Apakah keluhan tersebut pada satu atau kedua telinga.
2. Timbul tiba-tiba atau bertambah berat secara bertahap dan sudah berapa lama
diderita.
3. Adakah riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik, terpajan bising,
pemakaian obat ototoksik sebelumnya atau pernah menderita penyakit infeksi
virus seperti parotitis, influensa berat dan meningitis.
4. Apakah gangguan pendengaran ini diderita sejak bayi sehingga terdapat juga
gangguan bicara dan komunikasi.
5. Pada orang dewasa tua perlu ditanyakan apakah gangguan ini lebih terasa ditempat
yang bising atau ditempat yang lebih tenang.
Keluhan telinga berbunyi (tinitus) dapat berupa (Iskandar et al., 2007):
1. Suara berdengung atau berdenging.
2. Yang dirasakan di kepala atau di telinga, pada satu sisi atau kedua telinga.
3. Apakah tinitus ini disertai gangguan pendengaran dan keluhan pusing berputar.
Keluhan rasa pusing berputar (vertigo) merupakan gangguan keseimbangan
dan rasa ingin jatuh yang disertai rasa mual, muntah, rasa penuh di telinga, telinga
berdenging yang mungkin kelainannya terdapat di labirin. Bila vertigo disertai keluhan
neurologis seperti disartria, gangguan penglihatan kemungkinan letak kelainannya di
sentral. Apakah keluhan ini timbul pada posisi kepala tertentu dan berkurang bila
38
pasien berbaring dan akan timbul lagi bila bangun dengan gerakan yang cepat.
Kadang- kadang keluhan vertigo akan timbul bila ada kekakuan otot-otot di leher.
Penyakit diabetes melitus, hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung, anemia,
kanker, siflis dapat juga menimbulkan keluhan vertigo dan tinnitus (Iskandar et al.,
2007).
Bila ada keluhan nyeri di dalam telinga (otalgia) perlu ditanyakan (Iskandar et
al., 2007):
1. Apakah pada telinga kiri atau kanan dan sudah berapa lama.
2. Nyeri alih ke telinga (referred pain) dapat berasal dari rasa nyeri di gigi molar atas,
sendi mulut, dasar .mulut, tonsil atau tulang servikal karena telinga dipersarafi oleh
saraf sensoris yang berasal dari organ-organ tersebut.
Sekret yang keluar dari liang telinga disebut otore perlu ditanyakan (Iskandar
et al., 2007):
1. Apakah sekret ini keluar dari satu atau kedua telinga.
2. disertai rasa. nyeri atau tidak dan sudah berapa lama.
3. Sekret yang sedikit biasanya berasal dari infeksi telinga luar dan sekret yang
banyak dan bersifat mukoid umumnya berasal dari telinga tengah.
4. Bila berbau busuk menandakan adanya kolesteatom.
5. Bila bercampur darah harus dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau tumor.
6. Bila cairan yang keluar seperti air jernih, harus waspada adanya cairan likuor
serebrospinal.
a. Pemeriksaan telinga
Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu kepala, corong
telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan garputala (Iskandar
et al., 2007).
Untuk inspeksi liang telinga dan membrana timpani, pergunakan speculum
telinga atau otoskop (Iskandar et al., 2007).
Untuk visualisasi terbaik pilih spekulum telinga ukuran terbesar yang masih
pas dengan diameter liang telinga pasien. Diameter liang telinga orang dewasa
adalah 7 mm, sehingga untuk otoskopi pasien dewasa, pergunakan spekulum dengan
diameter 5 mm, untuk anak 4 mm dan untuk bayi 2.5 – 3mm.
39
Lakukan pemeriksaan terhadap kedua telinga. Bila telinga yang sakit hanya
unilateral, lakukan pemeriksaan terhadap telinga yang sehat terlebih dahulu.
Menggunakan otoskop: Otoskop dipegang menggunakan tangan yang sesuai
dengan sisi telinga yang akan diperiksa, mis : akan memeriksa telinga kanan,
otoskop dipegang menggunakan tangan kanan.
Otoskop dapat dipegang dengan 2 cara : seperti memegang pensil (gambar 6A)
atau seperti memegang pistol (gambar 6B). Kedua teknik ini memastikan otoskop
dan pasien bergerak sebagai 1unit.
Untuk pasien : berikan informasi bahwa prosedur ini tidak menyakitkan, pasien
hanya diminta untuk tidak bergerak selama pemeriksaan.
Pastikan daya listrik otoskop dalam keadaan penuh (fully charged).
Bila terdapat serumen yang menghalangi visualisasi liang telinga dan membrana
timpani, lakukan pembersihan serumen terlebih dahulu.
c. Palpasi Telinga:
Sekitar telinga:
Belakang daun telinga
40
Depan daun telinga
Adakah rasa sakit/ tidak (retroauricular pain/ traguspain)
diagnosis banding tinitus:
Auskultasi: Menilai adakah bising di sekitar liang telinga
Gambar 2.21. Pemeriksaan meatus auditorius eksternus. Daun telinga (pinna) harus
ditarik keatas dan ke belakang supaya liang telinga lebih lurus. Pada anak, pinna
ditarik lurus kebelakang
Gambar 2.22 Pemeriksaan liang telinga luar dan membrana timpani menggunakan
otoskop. Otoskop digerakkan ke beberapa arah untuk visualisasi terbaik
41
Gambar 2.23. Membrana timpani pada otoskop Keterangan:a. Membrana timpani
normal, b.Eksostosis, c. Otitis Media Akut, d.Cairan serosa dalam telinga tengah,
e.Perforasi membrana timpani Atticcholesteato
d. Auskultasi : Menilai adakah bising di sekitar liang telinga.
42
sederhana juga memberikan informasi yang terpercaya mengenai kualitas dan
kuantitas ketulian (Iskandar et al., 2007).
Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang
jelas misalnya anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar harus
diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan test sebagai berikut (Iskandar et al.,
2007) :
a. Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic. Bila
tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) dan test ini
43
dimulai lagi. Bila masih belum menyahut pemeriksa maju 1 meter, dan demikian
seterusnya sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata dari 10 kata-kata yang
dibisikkan. Jarak dimana penderita dapat menyahut 8 dari 10 kata diucapkan di
sebut jarak pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai ditemukan
satu jarak pendengaran
Evaluasi tes
a. 6 meter – normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang - tuli berat
Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara
kasar derajat ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara bisik dapat pula
secara kasar memeriksa type ketulian misalnya (Iskandar et al., 2007):
a. Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja dikatakan becak,
gajah dikatakan kaca dan lain-lain).
b. Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnya berfrekwensi
tinggi seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak dikatakan tidak, kaca dikatakan gajah dan
lain-lain).
44
b. Tets Rinne
c. Test Schwabach
- 256 -
+ 128 -
Telinga kanan tidak mendengar frekwensi 2. 048 Hz dan 1. 024Hz
sedang frekwensi-frekwensi lain dapat didengar, telinga kiri tidak mendengar
frekwensi 128 Hz dan 256 Hz, sedangkan frekwensi-frekwensi lain dapat didengar
(Iskandar et al., 2007).
Evaluasi test garis pendengaran. Pada contoh di atas telinga kanan batas
atasnya menurun berarti telinga kanan menderita tuli sensorineural. Pada telinga kiri
batas bawahnya meningkat berarti telinga kiri menderita tuli konduktif (Iskandar et al.,
2007).
a. Test Weber.
45
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan
kanan. Telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama (Iskandar et al.,
2007).
Cara pemeriksaan
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh diletakkan
pangkalnya pada dahi atau vertex. Penderita ditanyakan apakah mendengar atau tidak.
Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga mana didengar lebih keras. Bila
terdengar lebih keras di kanan disebut lateralisasi ke kanan.
b. Test Rinne.
Prinsip test ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan
hantaran udara pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang
46
dari hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural hantaran udara lebih panjang daripada
hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli konduktif hantaran tulang lebih panjang
daripada hantaran udara (Iskandar et al., 2007).
Cara pemeriksaan.
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz disentuh secara lunak pada tangan dan
pangkalnya diletakkan pada planum mastoideum dari telinga yang akan diperiksa.
Kepada penderita ditanyakan apakah mendengar dan sekaligus di instruksikan agar
mengangkat tangan bila sudah tidak mendengar. Bila penderita mengangkat tangan
garpu tala dipindahkan hingga ujung bergetar berada kira-kira 3 cm di depan meatus
akustikus yang diperiksa. Bila penderita masih mendengar dikatakan Rinne (+). Bila
tidak mendengar dikatakan Rinne (-)(Iskandar et al., 2007).
Gambar 2.25 Tes Rinne untuk membandingkan hantaran udara (A) dan
Hantara tulang (B)
c. Test Schwabach.
47
Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita
dengan hantaran tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus
normal (Iskandar et al., 2007).
Cara pemeriksaan.
Garpu tala 256 Hz atau 512 Hz yang telah disentuh secara lunak
diletakkan pangkalnya pada planum mastoiedum penderita. Kemudian kepada
penderita ditanyakan apakah mendengar, sesudah itu sekaligus diinstruksikan agar
mengangkat tangannya bila sudah tidak mendengar dengungan. Bila penderita
mengangkat tangan garpu tala segera dipindahkan ke planum mastoideum pemeriksa.
Ada 2 kemungkinan pemeriksa masih mendengar dikatakan schwabach
memendek atau pemeriksa sudah tidak mendengar lagi. Bila pemeriksa tidak
mendengar harus dilakukan cross yaitu garpu tala mula-mula diletakkan pada planum
mastoideum pemeriksa kemudian bila sudah tidak mendengar lagi garpu tala segera
dipindahkan ke planum mastoideum penderita dan ditanyakan apakah penderita
mendengar dengungan.
Bila penderita tidak mendengar lagi dikatakan schwabach normal dan
bila masih mendengar dikatakan schwabach memanjang (Iskandar et al., 2007).
48
Karsinoma sel basal: lesi mutiara dengan telangiectasia dan tepi berguling
Karsinoma sel skuamosa: lesi bersisik, kadang-kadang disertai ulserasi dan
hiperpigmentasi
Keratoacanthoma: peningkatan lesi dengan inti keratin bersisik.
Untuk deformitas periksa apakah ada deviasi pada tulang hidung atau
tulang rawan yang menunjukkan fraktur. Ini paling baik dilakukan dengan berdiri di
belakang pasien dengan kepala sedikit miring ke belakang. Epistaksis adalah
pendarahan dari hidung, yang disebabkan oleh kerusakan pada pembuluh darah
mukosa hidung. Kebanyakan epistaksis dapat sembuh sendiri, namun, dalam kasus
yang jarang terjadi, epistaksis dapat mengancam jiwa.8 Epistaksis dapat disebabkan
oleh perdarahan dari struktur hidung anterior atau posterior. Area kecil di septum nasal
anterior (tempat pleksus Kiesselbach berada) adalah sumber epistaksis anterior yang
paling umum. Area ini mudah divisualisasikan selama pemeriksaan klinis. Titik-titik
perdarahan yang menghasilkan epistaksis posterior lebih dalam di dalam hidung dan
karenanya sulit untuk divisualisasikan selama penilaian klinis. Epistaksis posterior
biasanya lebih banyak dan memiliki risiko kompromi jalan napas yang lebih besar. 1
49
Septum hidung: perhatikan adanya polip, deviasi, perforasi, hematoma, pembuluh
superfisial, atau area kauter.
Turbinat inferior: perhatikan adanya asimetri, peradangan, atau polip.
50
Periksa peradangan (rinitis), posisi septum, dan adanya polip (sentuhan
untuk memeriksa sensitivitas; harus peka terhadap sentuhan). Benda asing, biasanya
disertai dengan keluarnya unilateral yang ofensif, dapat dilihat di dalam hidung anak.
Cermin dan lampu atau instrumen endoskop digunakan untuk melihat nasofaring
(ruang postnasal, yang berisi lubang tuba Eustachius dan reses faring (Rosenmüller)
dan mungkin mengandung adenoid atau kanker nasofaring), tetapi hal ini tidak selalu
memungkinkan selama rutin pemeriksaan. Akhirnya, periksa langit-langit mulut. Cari
polip hidung besar dan tumor yang timbul dari langit-langit lunak.3
Nyeri tenggorok (sore throat) merupakan keluhan yang sering dijumpai dan
biasanya terjadi dengan gejala infeksi saluran napas atas yang bersamaan akut.
Pada pasien ini tanyakan frekuensi, lamanya tiap serangan, apakah sakit
tenggorokan disertai demam, sekret, ekspektorasi, kesulitan menelan, kesulitan
bernapas, perubahan suara atau batuk, Iokasi dan lamanya pembengkakan
eksterna, apakah ada nyeri alih misalnya nyeri telinga dan jika ada disisi yang
mana, pengobatan yang diberikan sebelumnya, apakah pasien perokok.
51
Nyeri menelan (odinofagia) merupakan rasa nyeri di tenggorokan waktu gerakan
menelan. Pada pasien ditanyakan durasinya, apakah kesulitan menelan bertambah,
ada nyeri uluh hati, bagaimana pasien menelan makanan biasa, apakah sumbatan
bertambah bila menelan makanan cair atau makanan padat, apakah terjadi
penurunan berat badan jika ya berapa banyak, apakah ada rase nyeri dirasakan
sampai ke telinga.
Rasa banyak dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat
adanya inflamasi di hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus
atau bercampur darah. Dahak ini dapat turun, keluar bila dibatukkan atau terasa
turun di tenggorokan. Pada pasien ditanyakan lamanya sekret, apakah sekret
mukoid, purulent atau bercampur darah, apakah banyak atau sedikit, apakah sekret
dibatukkan atau diludahkan, serta apakah bertambah buruk saat bangun pagi.
Lidah yang terasa nyeri (sore tongue) dapat disebabkan oleh lesi lokal atau
penyakit sistemik.
Perdarahan dari gusi (gum bleeding) merupakan gejala yang lazim dijumpai,
khususnya pada saat menyikat gigi. Tanyakan tentang lesi lokal dan setiap
kecenderungan untuk mengalami perdarahan atau memar pada bagian tubuh yang
lain.
Sulit menelan (disfagia) dapat ditanyakan pada pasien lamanya (minggu, bulan,
atau tahun), apakah sernakin sulit menelan, apakah disertai atau tanpa nyeri pada
saat menelan termasuk nyeri ulu hati, bagaimana dengan makanan biasa apakah
sumbatan bertambah bila menelan cairan atau makanan padat, dimana kira kira
letak sumbatan, apakah ada regurgitasi dan apakah berbau, apakah berat badan
pasien menurun
Suara parau (hoarseness) mengacu kepada perubahan kualitas suara yang sering
kali disebut dengan istilah suara yang menjadi serak, berat, atau kasar. Nada suara
mungkin lebih rendah daripada sebelumnya. Biasanya suara parau timbul dari
penyakit pada laring, namun dapat pula terjadi sebagai lesi di luar daerah laring
yang menekan nervus laringeus. Tanyakan tentang penggunaan suara yang
berlebihan, reaksi alergi, riwayat merokok atau iritan yang terhirup lainnya dan
setiap gejala lain yang berkaitan. Apakah permasalahan tersebut akut ataukah
52
kronis? Jika suara yang parau berlangsung lebih dari 2 minggu, dianjurkan
pemeriksaan visual laring dengan laringoskopi langsung atau tidak langsung.
Batuk dapat ditanyakan pada pasien lamanya, di bagian tenggorokan mana
agaknya batuk dimulai, apa yang dibatukkan, apakah ada keadaan tertentu dimana
batuk menjadi lebih buruk, misalnya selama paparan terhadap udara dingin, asap,
debu atau iritan lain, apakah bertambah buruk pada malam hari saat berbaring,
apakah pasien kehilangan berat badan, apakah ada kehilangan nafsu makan,
adakah batuk darah (hemoptysis), adakah riwayat merokok.
Merasa Ada Massa, Rasa Penuh atau pembengkakan di leher ataupun sumbatan di
leher, tanyakan pada pasien lamanya, lokasi, apakah perasaan tersebut terus
menerus atau intermitten, apakah disertai nyeri atau tidak dan apakah ada nyeri
alih seperti nyeri telinga, apakah ada kesulitan menelan atau bernapas, apakah
pasien gelisah dan mencemaskan kanker.(Roland, P dkk,2008) (Bickley LS,2009)
(Adams,2012) (Iskandar, N dkk,2012)
53
‣ Bibir pecah-pecah
‣ Ulkus di bibir
‣ Drooling (ngiler)
‣ Tumor
‣ Sukar membuka mulut (trismus)
Permukaan :
‣ Halus/ berbenjol-benjol,
‣ Ulserasi,
‣ Detritus,
‣ Pelebaran kripte,
‣ Micro abses,
‣ Tonsil berlobus-lobus,
‣ Penebalan arcus,
‣ Besar tonsil kanan-kiri sama/ tidak,
‣ Disertai pembesaran kelenjar leher/ tidak.
54
‣ Tumor (berapa ukuran tumor, permukaan tumor licin atau berbenjol-benjol
kasar;kenyal padat atau keras, rapuh/ mudah berdarah). (Roland, P dkk,2008)
(Iskandar, N dkk,2012) (Fumika Venaya,2018)
55
‣ Disfonia
‣ Stridor
‣ Perubahan suara
‣ Sakit tenggorokan kronis
‣ Otalgia persisten
‣ Disfagia
‣ Epistaksis
‣ Aspirasi
‣ Merokok dan alkoholisme lama.
‣ Skrining karsinoma nasofaring
‣ Kegawatdaruratan : angioedema, trauma kepala-leher.
‣ Kontraindikasi: Epiglotitis
Prosedur:
‣ Pasien duduk berhadapan dengan dokter, posisi pasien sedikit lebih tinggi
dibandingkan dokter.
‣ Tubuh pasien sedikit condong ke depan, dengan mulut terbuka lebar dan lidah
dijulurkan keluar. Supaya kaca laring tidak berkabut oleh nafas pasien,
hangatkan kaca laring sampai sedikit di atas suhu tubuh.
‣ Pegang ujung lidah pasien dengan kassa steril supaya tetap berada di luar
mulut. Minta pasien untuk tenang dan mengambil nafas secara lambat dan
dalam melalui mulut.
‣ Fokuskan sinar dari lampu kepala ke orofaring pasien.
‣ Untuk mencegah timbulnya refleks muntah, arahkan kaca laring ke dalam
orofaring tanpa menyentuh mukosa kavum oris, palatum molle atau dinding
posterior orofaring.
‣ Putar kaca laring ke arah bawah sampai dapat melihat permukaan mukosa
laring dan hipofaring. Ingat bahwa pada laringoskopi indirek, bayangan laring
dan faring terbalik : plika vokalis kanan terlihat di sisi kiri kaca laring dan
plika vokalis kanan terlihat di sisi kiri kaca laring.
‣ Minta pasien untuk berkata “aaahh”, amati pergerakan plika vokalis (true
vocal cords) dan kartilago arytenoid.
56
‣ Plika vokalis akan memanjang dan beraduksi sepanjang linea mediana. Amati
gerakan pita suara (adakah paresis, asimetri gerakan, vibrasi dan atenuasi pita
suara, granulasi, nodul atau tumor pada pita suara).
‣ Untuk memperluas visualisasi, mintalah pasien untuk berdiri sementara
pemeriksa duduk, kemudian sebaliknya, pasien duduk sementara pemeriksa
berdiri.
‣ Amati pula daerah glotis, supraglotis dan subglotis. (Iskandar, N dkk,2012)
4) PEMERIKSAAN LEHER
Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap
massa atau jaringan parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau
submandibular dan perhatikan setiap nodus limfatikus yang terlihat.
1. Nodus Limfotikus (Ketenjar Limfe).
57
Lakukan palpasi nodus timfatikus. Gunakan permukaan ventral jari telunjuk
serta jari tengah Anda, dan gerakkan kulit di atas jaringan yang ada di bawahnya pada
setiap daerah. Pasien harus berada dalam keadaan rileks dengan leher sedikit
difleksikan ke depan dan jika diperlukan, agak difleksikan ke arah sisi yang hendak
diperiksa. Biasanya Anda dapat memeriksa kedua sisi leher dalam satu pemeriksaan.
Namun untuk memeriksa nodus limfatikus submental, tindakan palpasi dengan tangan
yang satu sementara bagian puncak kepala pasien ditahan dengan tangan lainnya
merupakan manuver yang akan membantu pemeriksaan ini.
Raba nodus limfatikus berikut ini becara berurutan.
Preaurikular- di depan telinga
Aurikular posterior - superfi sial prosesus mastoideus
Oksipital-pada basis kranii di sebelah posterior
Tonsilar - pada angulus mandibular
Submandibular-pada titik tengah garis yang menghubungkan angulus (sudut)
mandibula dengan ujung mandibula.
Biasanya nodus limfatikus submandibular berukuran lebih kecil dan lebih licin
dibandingkan dengan kelenjar ludah submandibular yang berbenjol-benjol yang
merupakan tempat terletaknya nodus limfatikus tersebut.
Submental-pada garis tengah beberapa sentimeter di belakang ujung mandibula.
Servikal superfisial-superfisial muskulus sternomastoideus
Servikal posterior-di sepanjang tepi anterior muskulus trapezius
Rangkaian servikal profundaterletak dalam pada daerah sternomastoideus dan
sering kali tidak teraba pada pemeriksaan. Kaitkanlah ibu jari tangan dan jari-jari
lairrnya pada kedua sisi muskulus sternomastoideus untuk menemukan nodus
limfatikus tersebut.
Supraklavikular-terletak dalam pada sudut yang dibentuk oleh tulang klavikula dan
muskulus sternomastoideus. (Bickley LS,2009)
58
Gambar 2.28 nodus limfatikus (Bickley LS,2009)
59
ke bawah dari ujung dagu pasien, dan kemudian lakukan inspeksi pada daerah di
bawah kartilago krikoidea untuk mencari kelenjar tiroid.
Minta pasien untuk minum sedikit air dan mengekstensikan kembali lehernya serta
menelan air tersebut. Amati gerakan kelenjar tiroid ke atas dengan memperhatikan
kontur dan kesimetrisannya. Kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan kelenjar
tiroid semuanya akan bergerak naik ketika pasien menelan kemudian kembali ke
posisi diam. (Bickley LS,2009).
Palpasi kelenjar tiroid
minta pasien untuk memfleksikan lehernya sedikit ke depan agar teriadi
relaksasi rnuskulus sternomastoideus.
Letakkan jari-jari kedua tangan pada leher pasien sehingga jari teluniuk Anda
tepat di bawah kartilago krikoidea.
Minta pasien untuk minum dan menelan air seperti sebelumnya. Lakukan
palpasi untuk merasakan gerakan isthmus tiroid ke atas di bawah permukaan
ventral jari-jari tangan Anda. Gerakan ini sering dapat dipalpasi, namun ridak
selalu.
Geser trakea ke kanan dengan iari-jari tangan kiri Anda; kemudian dengan jari-
jari tangan kanan, lakukan palpasi ke arah lateral untuk menemukan lobus
kanan tiroid yang terletak dalam ruangan di antara trakea yang digeser ke kanan
dan otot sternomastoideus yang dalam keadaan relaksasi. Ternukan margo
lateralis keleniar tiroid. Dengan cara yang sarna, lakukan pemerikraan lobus
kiri. Pada perabaan, lobus kelenjar tiroid terasa sedikit lebih sulit ditemukan
daripada bagian isthrnusnya dan diperlukan latihan untuk dapat merabanya.
Permukaan anterior lobus lateralis berukuran lebih-kurang sebesar falang distal
ibu jari dan terasa kenyal seperti karet.
Perhatikan ukuran, bentuk, dan konsbtensi ketenjar tiroid, dan kenali setiap
nodulus atau nyeri tekan.
60
Gambar 2.29 palpasi kelenjar tiroid (Bickley LS,2009)
61
BAB III
KESIMPULAN
62
Suatu penyakit atau kelainan di telinga, hidung dan tenggorok
diperlukan kemampuan melakukan pemeriksaan organ-organ tersebut. Kemampuan
ini merupakan bagian dari pemeriksaan fisik bila terdapat keluhan dan atau gejala yang
berhubungan dengan kepala dan leher. Banyak penyakit sistemis yang bermanifestasi
di daerah telinga, hidung dan tenggorok. (Soetirto I, Hendarmin H)
63
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George, Boies, Lawrence, Higler, Peter. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi VI. Jakarta : EGC. 2012.
AlJulaih GH, Lasrado S. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island
(FL): May 7, 2019. Anatomy, Head and Neck, Nose Bones.
Arjun S Joshi, 2011. Pharynx Anatomy. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#showall
Asaumi R, Miwa Y, Kawai T, Sato I. Analysis of the development of human foetal
nasal turbinates using CBCT imaging. Surg Radiol Anat. 2019
Feb;41(2):209-219.
Bansal M. Diseases of Ear, Nose, and Throat Head and Neck Surgery. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers; 2013.
Bhatt R. 2016. Ear anatomy. Medscape. Diakses tanggal 8 Mei 2020 di
https://emedicine.medscape.com/article/1948907-overview#a2
Bickley LS. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Edisi ke-8.
Jakarta: EGC; 2009: 427
Cappello ZJ, Dublin AB. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island
(FL): Oct 27, 2018. Anatomy, Head and Neck, Nose Paranasal Sinuses.
Chiu TW, Shaw-Dunn J, McGarry GW. Woodruff's plexus. J Laryngol Otol. 2008
Oct;122(10):1074-7.
Christmas DA, et al. Sinus Transillumination, Then, and Now. ENT Journal Vol.93
No.12. 2014.
Chung K W, Chung H M, Halliday N L. 2015. Gross anatomy. Eighth Edition. Wolters
Kluwer Health. USA
Clarke R. 2014. Diseases of the Ear, Nose and Throat, Eleventh edition.. WilleyBlack
Well.UK
Converse JM. The cartilaginous structures of the nose. Ann. Otol. Rhinol.
Laryngol. 1955 Mar;64(1):220-9.
Corbridge R, Steventon N. Oxford Handbook of ENT and Head and Neck Surgery, 1st
Edition: The ENT Examination.New York. Oxford University Press. 2016.
64
Creighton F, Bergmark R, Emerick K. Drainage Patterns to Nontraditional Nodal
Regions and Level IIB in Cutaneous Head and Neck
Malignancy. Otolaryngol Head Neck Surg. 2016 Dec;155(6):1005-1011.
Dhingra P, Dhingra S. 2018.Diseases of Ear, Nose and Throat. 7th edn. Philadelphia:
Elsevier;
Diktat anatomi situs thoracis, ed. 2011, Laboratorium Anatomi FK UNISSULA. diktat
anatomi Ophtalmology dan Otorhinolarungology, ed. 2013. Laboratorium
Anatomi FK UNISSULA
Efiaty, Nurbaiti, dkk . 2007.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok
Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Ferrario VF, Sforza C, Poggio CE, Schmitz JH. Three-dimensional study of growth
and development of the nose. Cleft Palate Craniofac. J. 1997 Jul;34(4):309-
17.
Fox S. 2011. Human Physiology. 12 th Ed. New York: McGraw-Hill Education.
Fumika Venaya. 2018. Pemeriksaan Fisik Mulut Dan Faring.
https://www.scribd.com/document/388185139/Pemeriksaan-Fisik-Mulut-
DanFaring. Diakses 18 Juni 2020
Galarza-Paez L, Downs BW. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Nov 22, 2018. Anatomy, Head and Neck, Nose.
Gomez Galarce M, Yanez-Siller JC, Carrau RL, Montaser A, Lima LR, Servian D,
Otto BA, Prevedello DM, Naudy CA. Endonasal anatomy of the olfactory
neural network: Surgical implications. Laryngoscope. 2018
Nov;128(11):2473-2477.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Kelainan telinga luar. In: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala & leher. Jakarta: Badan Penerbit FK UI, 2007:10- 22.
Haight JS, Cole P. The site and function of the nasal valve. Laryngoscope. 1983
Jan;93(1):49-55.
Hansen J T. 2019. Netter’s Clinical Anatomy. Fourth edition. Elsevier. Philadelpia.
Hansen J T. 2010. Netter’s Clinical Anatomy. Second edition. Elsevier. Philadelpia
65
Huff T, Daly DT. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure Island (FL):
Apr 8, 2019. Neuroanatomy, Cranial Nerve 5 (Trigeminal)
Hur MS. Anatomical relationships of the procerus with the nasal ala and the nasal
muscles: transverse part of the nasalis and levator labii superioris alaeque
nasi. Surg Radiol Anat. 2017 Aug;39(8):865-869.
Iskandar N, Soepardi E, Bashiruddin J, Resuti R. 2015. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. 7th edn. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed) . 2007 . Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. 6th edn. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke 7.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Kamila Noer, Asliah Dedeh dan dkk. 2012. Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus.
Lalwani, A.K., 2007. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology
Head & Neck Surgery. McGraw-Hill
Konstantinidis I, Gartz I, Gerber JC, Reden J, Hummel T. Anatomy of the nasal cavity
determines intranasal trigeminal sensitivity. Rhinology. 2010 Mar;48(1):18-
22.
Krulewitz NA, Fix ML. Epistaxis. Emerg. Med. Clin. North Am. 2019 Feb;37(1):29-
39.
Kuramoto E, Yoshinaga S, Nakao H, Nemoto S, Ishida Y. Characteristics of facial
muscle activity during voluntary facial expressions: Imaging analysis of
facial expressions based on myogenic potential data. Neuropsychopharmacol
Rep. 2019 Sep;39(3):183-193.
Lafci Fahrioglu S, Andaloro C. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing; Treasure
Island (FL): Nov 14, 2018. Anatomy, Head and Neck, Sinus Function and
Development.
MacArthur FJ, McGarry GW. The arterial supply of the nasal cavity. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2017 Feb;274(2):809-815.
66
Moller, A.R., 2007. Anatomy of The Ear. In : Hearing Anatomy, Physiology, and
Disorders of the Auditory System. 2nd Ed. McGraw-Hill. pp. 3-7.
Netter, FH 2019, Atlas of Human Anatomy, 7th Edition, Elsevier, Philadelphia
Oneal RM, Beil Jr RJ, Schlesinger J. Surgical anatomy of the nose . Otolaryngol. Clin.
North Am. 1999 Feb;32(1):145-81.
Pan WR, Suami H, Corlett RJ, Ashton MW. Lymphatic drainage of the nasal fossae
and nasopharynx: preliminary anatomical and radiological study with clinical
implications. Head Neck. 2009 Jan;31(1):52-7.
Patel RG. Nasal Anatomy and Function. Facial Plast Surg. 2017 Feb;33(1):3-8.
Roland, P. S., Smith, T.L., Schwartz, S.R., Rosenfeld, R.M., Ballachanda, B, Earll,
J.M., 2008, Clinical Practice Guideline: Cerumen Impaction,
Otolaryngology–Head and Neck Surgery; 139: S1-S21
Rospa H. dan Sri Mulyani, 2011. Tenggorokan Atas (Faring dan Tonsil). Dalam:
Asuhan Keperawatan Gangguan THT. Jakarta: TIM,
Shrivastav, R.P., 2014. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery: An
Illustrated Textbook Jaypee Brothers Medical Publisher. pp. 42-43.
Singh Vishram, 2014.Textbook of Anatomy: Head, Neck and Brain, Volume III, 2e,
Reed Elsevier India Private Limited.
Snell R S. 2007.Anatomi klinis berdasarkan sistem. EGC. Jakarta.
Snow, J. Wackym, P. Ballenger’s. 2009.Otorhynolaryngology Head and Neck
Surgery. Shelton: People’s Medical Publishing House
Soepardi EA, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher.Jakarta. Penerbit Fakultas Kesokteran UI. 2007.
Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher Edisi Ketujuh.
Jakarta: Balai Penerbit Fkui, 2015. 10 – 13
Warbrick JG. The early development of the nasal cavity and upper lip in the human
embryo. J. Anat. 1960 Jul;94:351-62.
Widdicombe J. Microvascular anatomy of the nose. Allergy. 1997;52(40 Suppl):7-11.
67