Pembimbing:
dr. Sahat Aritonang, Sp.S, M.Si.Med, FINS
Disusun Oleh:
Marvin Josevan (202106010122)
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
yang memampukan penulis untuk menyelesaikan referat ini yang berjudul
“Peningkatan Tekanan Intrakranial”. Penyusunan referat ini dibuat sebagai
salah satu tugas yang diberikan di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya di Rumah Sakit Umum
Kabupaten Tangerang untuk periode 21 November – 24 Desember 2022. Ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya penulis berikan kepada dr. Sahat Aritonang,
Sp.S, M.Si.Med, FINS yang telah memberikan waktu dan tenaga dalam
membimbing penulis untuk penyusunan referat ini, juga untuk semua bimbingan
yang beliau berikan selama Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf. Penulis juga
mengucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman dokter muda Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Saraf yang telah saling mendukung dalam belajar dan
menjalankan tugas yang diamanahkan di RSU Kabupaten Tangerang.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna sehingga
penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunannya. Oleh
sebab itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan sangat dihargai
penulis. Penulis berharap referat ini bermanfaat dan dapat menambahkan wawasan
pembaca. Terima kasih banyak penulis ucapkan atas perhatian dan ketertarikan
pembaca untuk referat ini.
Penulis
1
DAFTAR ISI
2
DAFTAR GAMBAR
3
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Nilai Normal TIK Pada Berbagai Kelompok Usia ........................................................7
Tabel 2.2. Etiologi Penyebab Peningkatan TIK..............................................................................14
Tabel 2.3. Penilaian Kesadaran Secara Kualitatif ...........................................................................35
Tabel 2.4. Skor GCS .......................................................................................................................36
Tabel 2.5. Skor FOUR ....................................................................................................................37
Tabel 2.6. Profil Agen Sedativa dan Analgesik ..............................................................................43
Tabel 2.7. Farmakodinamik dan Farmakokinetik Agen Sedativa dan Analgesik...........................44
Tabel 2.8. Rumus Kebutuhan Cairan Menurut Holliday-Segar ......................................................46
Tabel 2.9. Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Mannitol .........................................................48
Tabel 2.10. Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Saline Hipertonis ..........................................49
Tabel 2.11. Dosis Pemberian Saline Hipertonis .............................................................................49
Tabel 2.12. Stadium Klinis Meningitis ...........................................................................................52
Tabel 2.13. Dosis Deksametason Berdasarkan Stadium Klinis Meningitis....................................52
Tabel 2.14. Indikasi Monitorik TIK ................................................................................................54
Tabel 2.15. Dosis Pemberian Saline Hipertonis .............................................................................68
Tabel 2.16. Perbedaan Edema Sitotoksik, Ionik, dan Vasogenik Pada CT Scan dan MRI ............71
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan tekanan intracranial (TIK) didefinisikan sebagai tekanan
intracranial >20 mmHg. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai macam hal,
seperti perdarahan akibat cedera kepala, space occupying lesion/SOL (tumor,
abses, hematoma), hidrosefalus, ensefalopati, dan lain sebagainya, dan
merupakan keluaran terakhir dari berbagai gangguan neurologis pada otak.
Keadaan peningkatan TIK sering ditemukan pada praktik neurologis dan
merupakan kasus kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penanganan yang
cepat agar tidak semakin memburuk dan menyebabkan herniasi otak. Hal yang
paling ditakutkan adalah kematian akibat herniasi ke batang otak sebagai pusat
kesadaran, respirasi, dan kardiovaskular.1-3
Berdasarkan doktrin Monro-Kellie, ruang intracranial terdiri atas tiga
komponen yaitu jaringan otak, darah, dan likuor serebrospinalis dengan rasio
volume yang tetap. Apabila volume salah satu komponen meningkat, maka akan
diimbangi dengan penurunan komponen lainnya sebagai kompensasi. Apabila
kompensasi ini gagal karena peningkatan TIK persisten, maka akan terjadi
peningkatan TIK yang dapat terlihat dari gejala, tanda, dan manifestasi klinis
yang ada.3,4 Peningkatan TIK merupakan prediktor perburukan keluaran pada
berbagai kasus neurologi. Pada suatu studi yang mengkaji tentang cedera kepala
dan otak, pada TIK <20 mmHg, perburukan keluaran terjadi pada 18,4% kasus,
sedangkan pada TIK >40 mmHg, perburukan keluaran meningkat hingga tiga
kali lipatnya.5 Pada kondisi peningkatan TIK, tatalaksana difokuskan untuk
mencegah progresivitas menjadi cedera otak sekunder. Diagnosis yang cepat
dan tepat, serta pemantauan dan terapi yang dilakukan secara intensif
merupakan kunci keberhasilan manajemen pasien dengan peningkatan TIK.3
Maka dari itu, diperlukan pemahaman yang baik mengenai definisi,
etiopatofisiologi, manifestasi klinis, tatalaksana, serta pemantauan peningkatan
TIK dalam rangka menangani kasus-kasus neurologis untuk mencegah
5
terjadinya kerusakan ireversibel pada pasien dengan peningkatan TIK. Referat
ini secara khusus akan membahas segala aspek mengenai peningkatan TIK.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan referat ini adalah untuk memperoleh
pengetahuan dan pemahaman mengenai peningkatan TIK
1.2.2 Tujuan Khusus
• Mengetahui definisi dari TIK
• Mengetahui fisiologi dari regulasi TIK
• Mengetahui definisi dari peningkatan TIK
• Mengetahui epidemiologi dari peningkatan TIK
• Mengetahui etiopatofisiologi dari peningkatan TIK
• Mengetahui tanda dan manifestasi klinis dari peningkatan TIK
• Mengetahui diagnosis dari peningkatan TIK
• Mengetahui tatalaksana dari peningkatan TIK
• Mengeahui monitoring dari peningkatan TIK
• Mengetahui prognosis dari peningkatan TIK
1.3 Manfaat
1.3.1 Bidang Akademik
Memberikan gambaran dan pemahaman kepada sejawat dan praktisi
klinis mengenai peningkatan TIK
1.3.2 Masyarakat
Membantu masyarakat memahami gambaran umum mengenai
peningkatan TIK
1.3.3 Penulis
Menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai peningkatan
TIK
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
ke medulla spinalis. Selain itu, terdapat tentorium serebeli yang berfungsi
sebagai penghubung antara fossa cranii media dengan fossa cranii posterior,
yang juga memungkinkan perpindahan likuor serebrospinalis pada kedua fossa
tersebut dan mencegah peningatan tekanan di satu titik. 6
Ruang intracranial berisi tiga jenis komponen, yaitu parenkim otak, likuor
serebrospinalis, dan darah. Pada keadaan normal, ruang intrakranial berisi 1400
mL jaringan parenkim otak, 150 mL likuor serebrospinalis, dan 150 mL darah.8
Berdasarkan hipotesis Monroe-Kellie, jumlah atau rasio volume dari parenkim
otak, likuor serebrospinalis, dan darah intracranial adalah konstan. Peningkatan
volume dari salah satu komponen ini harus dikompensasi dengan penurunan
volume komponen lainnya. Kegagalan untuk mengompensasi akan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial. Peningkatan tekanan
yang disebabkan oleh peningkatan volume didistribusi ke seluruh bagian ruang
intracranial.2,3,8
8
gradien atau selisih antara mean arterial pressure (MAP) dengan TIK. MAP
sendiri didefinisikan sebagai rata-rata tekanan darah pada pembuluh arteri
dalam satu siklus jantung (sistole dan diastole). MAP dapat dihitung dengan
menjumlahkan satu per tiga tekanan darah sistolik dengan dua per tiga tekanan
darah diastolic, dengan rentang nilai normalnya adalah 70-100 mmHg.9-11
Mengacu pada definisi CPP tersebut, maka dapat ditulis rumus sebagai berikut.
CPP pada keadaan normal adalah 60-80 mmHg. Mengacu pada rumus
tersebut, CPP dapat berkurang jika terjadi penurunan tekanan darah,
peningkatan TIK, atau keduanya. Walaupun demikian, pada keadaan yang tidak
melibatkan patologi intracranial, MAP memiliki efek yang lebih besar terhadap
CPP dibanding TIK. CPP yang menurun dapat menyebabkan penurunan CBF,
yang pada akhirnya dapat memicu iskemia dan menyebabkan infark jaringan
otak.9
Pada saat awal peningkatan TIK, terdapat beberapa mekanisme yang terjadi
untuk mencegah peningkatan TIK serta penurunan CBF dan CPP. Pertama-
tama, likuor serebrospinalis yang menumpuk pada ruang intracranial dapat
mengalir ke ruang subarachnoid pada medulla spinalis. Mekanisme ini
mencegah penumpukan likuor serebrospinalis pada ruang intracranial yang
dapat meningkatkan TIK.9,11
Mekanisme kedua adalah yang disebut sebagai ‘autoregulasi serebral’.
Autoregulasi serebral memungkinkan aliran darah yang adekuat ke jaringan
otak, terlepas dari perubahan dan gangguan fisiologis yang terjadi. Saat terjadi
penurunan tekanan darah (penurunan MAP), mekanisme autoregulasi memicu
vasodilatasi pembuluh serebral yang dapat meningkatkan CBF dan CPP. Pada
saat terjadi peningkatan tekanan darah (peningkatan MAP), mekanisme
autoregulasi akan memicu vasokonstriksi pembuluh darah serebral yang akan
menurunkan CBF dan CPP. Mekanisme ini memastikan CBF dan CPP tetap
konstan, stabil, dan tidak berubah akibat perubahan pada tekanan darah, baik
9
hipotensi maupun hipertensi. Walaupun demikian, mekanisme autoregulasi ini
hanya bekerja pada rentang MAP 50-150 mmHg. Apabila MAP berada di
bawah 50 mmHg, maka CBF dan CPP akan ikut menurun secara linear terhadap
penurunan MAP, begitu pula jika MAP berada di atas 150 mmHg. 12-14
10
2. Mekanisme Neurogenik12
Mekanisme neurogenik pada autoregulasi serebral terutama berperan
pada arteri berdiameter kecil dan sedang. Neuron dan sel saraf lainnya
seperti astrosit dan mikroglia melepaskan neurotransmitter vasoaktif.
Neurotransmitter vasodilator diantaranya adalah asetilkolin dan nitrit
oksida dan neurotransmitter vasokonstriktor adalah serotonin dan
neuropeptide-Y.
3. Mekanisme Metabolik12
Mekanisme metabolik terutama berperan pada arteri berdiameter kecil.
Karbondioksida diketahui dapat memengaruhi respon vasomotor pada
arteri. Peningkatan PaCO2 sebanyak 1 mmHg dapat secara kasar
meningkatkan CBF sebanyak 4%. Pada saat terjadi hipotensi, maka akan
terjadi hipoperfusi sel-sel otak dan menyebabkan terjadinya respirasi
anaerobik seluler yang menghasilkan karbondioksida. Akumulasi
karbondioksida dapat memicu vasodilatasi dan meningkatkan CBF.
Apabila terjadi hipertensi, maka akan terjadi hiperperfusi sel-sel otak
sehingga PaCO2 akan turun yang menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi arteri.
4. Mekanisme Endotelial12
Endotel yang ada pada dinding arteri dapat memengaruhi tonus
vaskular. Sel-sel endotel dapat melepaskan molekul vasoaktif yang
dapat memengaruhi respon vasomotor arteri. Endotel dapat melepaskan
vasodilator seperti nitrit oksida dan vasokonstriktor seperti thromboksan
A2 dan endothelin-1 secara parakrin.
11
cranium pada bayi, dimana masih dapat ditemukan sutura dan fontanel yang
memungkinkan perubahan volume dan ukuran.16
Komponen yang berada di dalam intracranial meliputi jaringan parenkim
otak, darah (mayoritas berasal dari vena dan sinus venosus serebri), dan likuor
serebrospinalis. Dalam keadaan fisiologis, ketiga komponen tersebut berada
dalam keseimbangan, dan volume dan rasio yang tetap. Apabila terdapat
peningkatan volume pada satu komponen, maka akan terjadi gangguan
keseimbangan volume intracranial dan akan terjadi mekanisme kompensasi
dengan mengurangi volume komponen lainnya agar keseimbangan tetap
tercapai.2-4
Kompensasi ini dikenal dengan pressure buffering dan melibatkan likuor
serebrospinal dan darah. Pada saat tahap awal peningkatan tekanan intracranial,
mekanisme pressure buffering yang pertama terjadi adalah perpindahan likuor
serebrospinal dari ruang intracranial ke ruang subarachnoid yang ada pada
medulla spinalis. Selain itu, terjadi pula peningkatan drainase dari likuor
serebrospinalis di dalam sistem ventrikel ke villi arachnoid. Hasil akhir dari
mekanisme ini adalah penurunan volume likuor serebrospinalis agar TIK tetap
konstan.2-4,16
Mekanisme pressure buffering dengan perpindahan likuor serebrospinalis
dapat mengkompensasi peningkatan TIK yang terjadi untuk sementara. Apabila
TIK terus bertambah, maka mekanisme pressure buffering yang kedua adalah
penurunan volume darah yang ada di dalam otak dengan peningkatan drainase
darah vena melalui sinus venosus serebri. Mekanisme pressure buffering
dengan penurunan volume darah otak dapat mengkompensasi peningkatan TIK
untuk sementara. Namun apabila TIK terus bertambah, maka tidak dapat
terkompensasi dan disebut sebagai fase dekompensasi peningkatan TIK.
Apabila sudah masuk ke dalam fase dekompensasi, maka TIK akan terus
meningkat secara drastis dan akan mulai muncul gejala dan herniasi pada otak.2-
4
12
Gambar 2.3. Ilustrasi Doktrin Monro-Kellie4
13
terdapat 2.5 juta orang yang mengalami cedera kepala secara global. Cedera kepala
diasosiasikan dengan peningkatan TIK, dan pemantauan TIK direkomendasikan
untuk seluruh pasien dengan cedera kepala berat. Selain itu, dikenal juga istilah
idiopathic intracranial hypertension (IIH). Berdasarkan studi di Amerika,
ditemukan insidensi dari IIH pada populasi umum adalah sebanyak 0.9-1.0 per
100.000 orang, dan insidensi ini meningkat pada wanita dengan obesitas, yakni
sebanyak 7.9-20 per 100.000 orang.1
14
2 Edema otak difus • Ensefalitis
• Meningitis
• Kejang
• Ensefalopati
• Intoksikasi air
• Sindrom Reye
15
kepala karena kecelakaan lalu lintas maupun berkelahi.20 Perdarahan subarachnoid
terjadi pada ruang antara arachnoid mater dan pia mater. Perdaharan subarachnoid
traumatic paling banyak disebabkan oleh kecelakaan yang menyebabkan cedera
kepala, dan banyak orang mendeskripsikannya sebagai ‘sakit kepala paling buruk
yang pernah dirasakan’.21
Akumulasi darah ini dapat menyebabkan mass effect dan menekan struktur
intrakranial dan dapat meningkatkan TIK. Selain itu, cedera otak traumatik juga
dapat menyebabkan edema serebral tipe sitotoksik dan vasogenik. Pada saat terjadi
cedera otak, maka akan terjadi upregulasi atau aktivasi dari kanal ion (AQP4, ASIC,
NHE, NBC, dll) pada membran sel-sel penyusun sistem saraf pusat (neuron,
astrosit, glia). Hal ini akan menyebabkan influx cairan berlebih ke dalam sel-sel
tersebut, yang menyebabkan volume overload dan kematian sel onkotik, dan
memicu edema sitotoksik. Edema sitotoksik yang terjadi dapat memicu edema
vasogenic. Apabila kematian sel onkotik ini terjadi pada sel-sel penyusun blood
brain barrier (BBB) seperti astrosit dan sel endotelial, maka akan terjadi kerusakan
integritas BBB. Selain itu, kaskade pada cedera otak sekunder yang terjadi setelah
cedera otak primer, akan menyebabkan disrupsi mekanikal, pelepasan sitokin pro-
inflamatori dan kemokin yang memicu inflamasi, serta pelepasan VEGF, MMP,
dan SP dapat semakin merusak integritas BBB sehingga cairan dapat berpindah dari
kapiler ke dalam interstitium otak, yang memicu edema vasogenic. Edema
16
vasogenic yang ada semakin memperparah edema sitotoksik yang ada sebelumnya.
Akibat terjadinya edema serebri (baik sitotoksik maupun vasogenic), maka akan
terjadi peningkatan TIK pada pasien dengan cedera otak.23,24
Edema otak fokal juga dapat disebabkan oleh neoplasma yang terjadi pada
otak, seperti pada glioma, meningioma, dan metastasis otak.15 Pengaruh adanya
tumor terhadap peningkatan TIK dipengaruhi oleh adanya mass-effect dan edema
otak yang menyertainya. Seiring pertumbuhan tumor pada otak, sel-sel tumor akan
mulai mendesak sel-sel sehat di sekitarnya, dan bersamaan dengan tumor-induced
vascular abnormalities, akan menyebabkan disrupsi pada BBB, yang menyebabkan
perpindahan cairan dari kapiler ke ruang interstitial di sekitar sel-sel tumor. Hal ini
akan memicu terjadinya edema otak vasogenik. Dengan terus bertumbuhnya ukuran
tumor yang menyebabkan peningkatan mass-effect dan edema otak, maka akan
terjadi peningkatan TIK.25,26
Edema otak fokal juga dapat disebabkan oleh stroke, baik hemoragik
maupun iskemik.15 Suatu studi menemukan bahwa terjadi peningkatan TIK 1-3 hari
pasca stroke iskemik luas yang mengenai satu hemisfer. Secara garis besar, terdapat
empat mekanisme utama yang mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK pada
pasien stroke iskemik, yaitu: edema serebri sitotoksik, vasogenik, peningkatan
volume darah serebral akibat vasodilatasi pembuluh darah, obstruksi pada outflow
vena serebral, serta hidrosefalus.27 Pada stroke hemoragik, perdarahan yang terjadi
(baik intraserebral maupun subarachnoid) dapat meningkatkan TIK. Diestimasikan
bahwa lebih dari 50% pasien dengan stroke hemoragik akan mengalami
peningkatan TIK > 20 mmHg selama masa rawatnya di rumah sakit, bahkan
persentase ini dapat mencapai 60-70% pada pasien dengan klinis yang buruk.
Penyebab tersering peningkatan TIK pada pasien stroke hemoragik adalah
hidrosefalus, baik tipe obstruktif maupun komunikans. Pada tipe obstruktif, terjadi
obstruksi pada aliran likuor serebrospinalis akibat adanya perdarahan
intraventricular (ditemukan sebagai ‘hemmorhage extension’ pada 50% kasus
stroke hemoragik tipe SAH) yang menyebabkan alirannya terganggu. Pada tipe
komunikans, akumulasi darah di ruang subarachnoid pada SAH menyebabkan
terganggunya absorbsi likuor serebrospinalis pada villi arachnoid, sehingga
17
menyebabkan penumpukan. Penyebab tersering kedua peningkatan TIK pada
pasien stroke hemoragik adalah perdarahan intraserebral, yang juga dapat
menyebabkan mass-effect pada struktur disekitarnya. Penyebab lain adalah edema
serebri global.28
Edema otak fokal juga dapat disebabkan oleh abses yang muncul pada otak.
Abses pada otak dapat disebabkan oleh direct local spread maupun generalized
septicemia and hematogenous spread. Pada direct local spread, terjadi trauma
tembus pada kepala yang secara langsung menyebabkan infeksi, atau penyebaran
infeksi dari regio kepala dan leher, seperti otitis media, mastoiditis, infeksi sinus
paranasal, dan infeksi odontogenik. Pada generalized septicemia and hematogenous
spread, terjadi penyebaran dari organ lain melalui aliran darah, seperti pada kasus
abses paru, empyema paru, bronkiektasis, fibrosis kistik, pneumonia, malformasi
arteriovenous pada paru, dan fistula bronkopleural. Organisme terbanyak yang
menyebabkan abses pada otak adalah Staphylococcus aureus dan Viridian
streptococci.29 Abses pada otak dapat menyebabkan peningkatan TIK. Abses
merupakan space occupying lesion (SOL) yang dapat mendesak struktur
intracranial lainnya, menyebabkan edema serebri fokal tipe vasogenik, dan dapat
menyebabkan hidrosefalus jika mengganggu aliran likuor serebrospinalis sehingga
dapat menyebabkan peningkatan TIK.30
18
Meningitis merupakan penyebab lain dari edema otak difus. Meningitis
dapat disebabkan oleh berbagai macam etiologi, seperti bakteri (S. pneumoniae,
Streptococcus grup B, N. meningitidis, H. influenzae, L. monocytogenes, M.
tuberculosis), virus (coxsackievirus grup B, echovirus, mumps, Parechovirus,
Herpesvirus), dan fungi (C. neoformans, C. immitis, Aspergillus, Candida).
Transmisi pathogen meningitis dapat melalui dua rute: hematogen dan inokulasi
langsung melalui struktur anatomis di dekatnya.33 Meningitis dapat meningkatkan
TIK melalui beberapa mekanisme. Pertama, pathogen yang ada pada meninges akan
memicu migrasi neutrophil dari aliran darah ke dalam likuor serebrospinalis melalui
BBB dan pelepasan mediator inflamasi (TNF-a, IL-1b, IL-6, dan IL-8). Mediator
inflamasi ini menyebabkan peningkatan reactive oxygen species, leukotriene, dan
prostaglandin. Hal ini akan merusak integritas BBB, sehingga memicu edema
vasogenic. Kedua, terjadi kerusakan mekanisme autoregulasi serebral pada
meningitis. Mediator inflamasi, reactive oxygen species, dan agen vasoaktif
(prostaglandin) memicu kerusakan mekanisme autoregulasi serebral, yang berujung
pada peningkatan TIK. Ketiga, meningitis mengakibatkan akumulasi eksudat secara
difus pada ruang subarachnoid, sehingga terjadi penyumbatan villi arachnoid. Hal
ini dapat menganggu absorbsi likuor serebrospinalis yang pada akhirnya
menyebabkan hidrosefalus komunikans dan dapat meningkatkan TIK. Walaupun
demikian, hidrosefalus komunikans secara umum hanya ditemukan pada meningitis
bacterial dan tuberkulosis, namun tidak pada meningitis viral.34
Kejang dapat menyebabkan edema otak difus, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan TIK. Banyak studi yang sudah menunjukkan bahwa pada pasien
yang mengalami episode kejang, terdeteksi adanya peningkatan TIK selama
episode tersebut, terutama pada kejang generalized jenis tonik-klonik.35,36
Mekanisme yang mendasari terjadinya peningkatan TIK pada episode kejang masih
belum dipahami sepenuhnya, namun ada sebuah hipotesis yang diduga berperan.
Pada saat terjadi kejang, maka akan terjadi peningkatan metabolisme sel otak yang
dapat menyebabkan deplesi cadangan energi, sehingga sel otak akan beralih ke
metabolisme anaerobic dan menghasilkan banyak asam laktat. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah regional pada otak dan disfungsi kanal ion
19
pada membrane sel otak yang memicu peningkatan permeabilitas. Akibat dari
disfungsi kanal ion, akan terjadi influx cairan ke dalam sel dan menyebabkan edema
otak tipe sitotoksik.35
Ensefalopati juga dapat menyebabkan edema otak difus, yang dapat
berujung dengan peningkatan TIK. Terdapat berbagai jenis ensefalopati yang dapat
menyebabkan edema otak, dua diantaranya adalah ensefalopati hipoksik-iskemik
dan ensefalopati hepatik. Pada ensefalopati hipoksik-iskemik, terjadi cedera otak
primer dan sekunder. Hal ini diawali dengan penurunan suplai oksigen ke jaringan
otak yang menyebabkan gangguan respirasi seluler sel otak, sehingga terjadi
penurunan ATP. Defisiensi ATP menyebabkan disfungsi selular dan menyebabkan
iskemi dan infark. Edema otak yang terjadi pada ensefalopati hipoksik-iskemik
adalah jenis vasogenik dan sitotoksik. Pada awalnya, terjadi peningkatan ekspresi
kanal akuaporin (AQP4) pada sel astrosit perivascular dan ependima yang
mengalami iskemi pada BBB. Akibatnya, terjadi perpindahan cairan intravascular
ke ruang interstitial otak melalui kanal tersebut, yang menyebabkan edema
vasogenik. Selain itu akibat kondisi hipoksik-iskemik, terjadi krisis metabolik
seluler dan deplesi energi intraseluler. Hal ini menyebabkan disfungsi kanal ion Na-
K ATPase yang menyebabkan perpindahan cairan ke dalam sel yang menyebabkan
edema sitotoksik.37 Pada ensefalopati hepatik, terjadi akumulasi neurotoksin
(terutama ammonia) pada otak akibat kerusakan hati. Amonia yang menembus BBB
dan sampai ke jaringan otak dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK
melalui beberapa mekanisme. Ammonia yang menembus BBB dapat masuk ke
dalam sel astrosit. Di dalam sel astrosit ini, ammonia dapat dikonversi menjadi
glutamin, dan glutamin memiliki efek secara langsung terhadap edema sitotoksik
dan edema vasogenik. Glutamin yang ada dapat menyebabkan astrocyte swelling
melalui upregulasi AQP4, influx cairan berlebih ke dalam sel astrosit, dan produksi
ROS dan ini menyebabkan edema sitotoksik. Selain itu, glutamin juga dapat
menyebabkan kerusakan integritas BBB, peningkatan cerebral blood flow (luxury
perfusion) dan disfungsi autoregulasi otak sehingga menyebabkan edema
vasogenik. Mekanisme yang terjadi meningkatkan TIK pada pasien dengan
ensefalopati hepatic.38
20
Intoksikasi air juga merupakan salah satu etiologi penyebab edema otak
difus, yang dapat berujung dengan peningkatan TIK. Intoksikasi air disebabkan
oleh intake air yang berlebihan dan eksesif, yang sering ditemukan setelah aktivitas
berat, polidipsi psikogenik (rasa haus persisten yang bersifat psikogenik, dengan
keinginan untuk terus meminum air), kelebihan air pada kondisi dengan antidiuretic
hormone (ADH) yang tinggi, dll.39 Intoksikasi air dapat menyebabkan kondisi
hiponatremia dilusional yang memengaruhi gradien osmotik intraseluler dan
ekstraseluler. Kelebihan air pada kompartemen ekstraseluler menyebabkan cairan
ekstraseluler lebih hipoosmotik dibandingkan intraseluler, sehingga cairan akan
cenderung berpindah ke intraseluler dan terjadi edema. Apabila proses ini terjadi
pada sel-sel otak, seperti neuron dan sel glial, maka akan terjadi edema serebri yang
dapat meningkatkan TIK.39,40
Penyebab lain dari edema otak difus dan peningkatan TIK adalah Sindrom
Reye. Sindrom Reye adalah suatu penyakit pediatrik yang langka, namun bersifat
fatal, yang didefinisikan sebagai ensefalopati non-inflamatorik akut dengan fatty
liver failure. Sindrom Reye bermanifestasi pada populasi pediatrik dengan gejala
muntah, kebingungan, iritabel, perilaku agresif, disorientasi dan halusinasi, kejang,
serta penurunan kesadaran yang bersifat progresif menjadi koma, bahkan kematian.
Etiologi dari Sindrom Reye dihubungkan dengan infeksi virus seperti influenza A,
influenza B, dan varicella zoster, serta konsumsi aspirin.41 Pada Sindrom Reye,
terjadi disfungsi mitokondria akibat mitochondrial permeability transition (MPT).
MPT merupakan kondisi peningkatan permabilitas membrane mitokondria yang
dapat disebabkan oleh infeksi virus sebelumnya, penggunaan aspirin, maupun
paparan salisilat yang menyebabkan mitochondrial swelling dan disfungsi
mitokondria. Disfungsi mitokondria ini menyebabkan gangguan pada fosforilasi
oksidatif dan oksidasi beta asam lemak. Apabila disfungsi mitokondria ini terjadi
pada sel-sel hepatik, maka terjadi penurunan glukoneogenesis, peningkatan jumlah
asam lemak, serta peningkatan ammonia. Peningkatan ammonia dapat
menyebabkan hiperamonemia. Ammonia bersifat neurotoksik karena dapat
menembus BBB dan menyebabkan edema serebri melalui beberapa mekanisme.
Ammonia dapat masuk ke dalam sel astrosit dan diubah menjadi glutamin.
21
Glutamin dapat menyebabkan astrocyte swelling melalui upregulasi AQP4, difusi
cairan berlebih ke dalam sel astrosit, dan produksi ROS yang dapat memicu edema
sitotoksik. Selain itu, glutamin juga dapat menyebabkan kerusakan integritas BBB,
peningkatan cerebral blood flow (luxury perfusion), dan kegagalan autoregulasi
pada otak sehingga menyebabkan edema vasogenik. Edema serebri yang terjadi
pada Sindroma Reye ini, dapat meningkatkan TIK.38,42
22
produksi likuor serebrospinalis oleh pleksus koroideus.44 Apabila terjadi akumulasi
likuor serebrospinalis akibat hidrosefalus, sesuai dengan doktrin Monroe-Kellie,
akan terjadi mekanisme kompensasi. Pada fase awal, kompensasi dicapai dengan
meningkatkan absorpsi likuor serebrospinalis pada villi arachnoid, meningkatkan
pemindahan likuor serebrospinalis ke ruang subarachnoid, meningkatkan absorpsi
transventrikular, serta menurunkan volume darah otak dengan peningkatan drainase
darah vena melalui sinus venosus serebri. Apabila terjadi akumulasi likuor
serebrospinalis yang semakin banyak, maka akan terjadi dekompensasi dan
peningkatan TIK mulai terjadi. Sama seperti dengan etiologi lainnya, likuor
serebrospinalis yang menumpuk dapat mengkompresi struktur anatomis di
sekitarnya, yang dapat menimbulkan berbagai gejala neurologis.43,44
23
pada tahap lanjut dapat terjadi disrupsi pada BBB yang dapat menyebabkan edema
vasogenik. Edema otak yang terjadi dapat memicu peningkatan TIK. Kedua,
thrombosis sinus venosus serebri dapat menyebabkan obstruksi pada sinus itu
sendiri. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi absorpsi likuor serebrospinalis, yang
menyebabkan peningkatan TIK.45,46
24
peningkatan tekanan venous outflow dapat menyebabkan obstruksi parsial pada
sinus venosus, yang juga dapat menyebabkan peningkatan TIK.49
25
subdural pada lobus parietal hemisfer bilateral akan mendorong diensefalon dan
midbrain ke inferior melalui insisura tentorium. Pada herniasi tentorial atau herniasi
unkal, terjadi penambahan massa atau mass-effect intracranial di daerah lobus
temporal. Penambahan massa tersebut akan menekan massa otak di daerah
inferomedial (unkus) sehingga terdorong ke bawah melalui celah antara tentorium
dengan batang otak. Gejala khas herniasi unkal adalah penurunan kesadaran yang
semakin memberat, dilatasi pupil ipsilateral, dan hemiplegia kontralateral. Herniasi
unkal sering ditemukan pada perdarahan epidural area lobus temporalis. Pada
herniasi tonsillar, terjadi penambahan massa atau mass-effect pada daerah fossa
posterior atau infratentorial. Massa atau mass-effect dapat menekan serebelum yang
selanjutnya menekan batang otak, sehingga keluar melalui foramen magnum.
Berikut adalah ilustrasi dari setiap jenis herniasi otak.2
26
Tanda dan manifestasi klinis yang umum ditemukan pada peningkatan TIK,
diantaranya adalah sakit kepala, mual-muntah, perubahan status mental dan
penurunan kesadaran (dapat sampai stupor bahkan koma), gangguan penglihatan,
diplopia, papilledema, dilatasi pupil persisten, serta ditemukanya Trias Cushing
(hipertensi, bradikardia, dan respirasi ireguler). Secara umum, manifestasi klinis
dari peningkatan TIK bersifat non-spesifik dan berat gejala tidak berkolerasi dengan
derajat keparahan penyakit.15,51
Sakit kepala
Sakit kepala merupakan gejala yang paling umum ditemukan pada peningkatan
TIK, dimana predominansi morbiditas ditemukan pada 90% pasien. Sakit kepala
dapat disebabkan oleh peregangan struktur peka nyeri atau nosiseptif di meninges,
serta traksi atau distorsi arteri dan vena pada duramater. Fenotip sakit kepala yang
terjadi pada peningkatan TIK pada awalnya dikatakan bersifat non-spesifik dan
diperberat terutama saat bangun tidur di pagi hari. Selain itu, sakit kepala yang
dideskripsikan seperti berdenyut dan sakit yang hebat, dan diperberat dengan
manuver valsava (mengejan), batuk, dan bersin. Sekarang, sakit kepala tipe
migraine (akut maupun kronik), serta sakit kepala tipe tegang merupakan fenotip
yang paling banyak ditemukan pada peningkatan TIK. Sakit kepala juga merupakan
salah satu penyebab penurunan kualitas hidup pada pasien dengan peningkatan
TIK, yang bahkan dapat menyebabkan depresi. Timing dari sakit kepala umumnya
episodik pada onset baru, dan kronis pada penyakit yang sudah terjadi lama.2,15,51,52
27
Walaupun demikian, kebanyakan pasien mengalami muntah proyektil tanpa
didahului oleh rasa mual.2,53
28
intraaksonal dan kebocoran komponen seluler ke ruang ekstraseluler dari diskus
optikus yang menyebabkan edema. Proses ini semakin diperparah dengan
penurunan perfusi ke sel neuron di nervus optikus yang menyebabkan iskemia.
Beberapa manifestasi gangguan pengelihatan yang dapat terjadi, diantaranya adalah
pandangan buram pada kedua mata yang bersifat transien (terutama saat perubahan
posisi dari berbaring/duduk ke berdiri), penurunan lapang pandang, munculnya
blind spots, gangguan pada persepsi warna, diplopia/pandangan ganda (namun
diplopia lebih dihubungkan dengan parese pada nervus abdusen), serta penurunan
visus pada kasus yang berat.54-56
Trias Cushing
29
Peningkatan TIK dapat menyebabkan perubahan tanda-tanda vital. Pada fase awal,
peningkatan TIK akan menyebabkan aktivasi sistem simpatis sebagai usaha tubuh
untuk meningkatkan suplai darah ke otak, sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah dan takikardi. Aktivasi sistem simpatis ini pada awalnya dapat menjaga suplai
darah ke otak agar tetap adekuat. Namun jika peningkatan TIK ini terus berlanjut
hingga menyebabkan penekanan batang otak, maka akan terjadi Trias Cushing.
Trias Cushing adalah sekumpulan gejala yang terjadi akibat peningkatan TIK, yang
mencakup bradikardia, pola pernapasan yang ireguler, dan widened pulse pressure
(peningkatan sistol, penurunan diastole). Bradikardia diduga terjadi karena
peningkatan tekanan darah dapat mengaktifkan baroreseptor yang terletak pada
arkus aorta, sehingga mengaktifkan sistem saraf parasimpatis. Selain itu, kompresi
dari nervus vagus pada kondisi peningkatan TIK juga dikatakan berperan dalam
patogenesis bradikardia. Pola pernapasan yang ireguler dapat disebabkan oleh
kompresi pada batang otak seiring bertambahnya TIK. Pola napas akan berbeda
sesuai dengan level batang otak yang mengalami kerusakan. Lesi di daerah
mesensefalon dapat menyebabkan pola pernapasan Cheyne-Stokes. Kerusakan di
midbrain dan pons bagian atas dapat menyebabkan pola pernapasan hiperventilasi.
Lesi di pons bagian tengah dapat menyebabkan pola pernapasan apneustic. Lesi di
bagian bawah pons dapat menyebabkan pola napas tipe cluster. Sedangkan pola
napas ataksik ditemukan pada kerusakan medulla oblongata.2 Trias Cushing
umumnya ditemukan pada pasien dengan peningkatan TIK fase lanjut dan
menandakan bahwa sudah terjadi herniasi yang menekan batang otak. Pasien yang
sudah memiliki Trias Cushing memiliki mortalitas yang lebih tinggi dua kali lipat
dibandingkan dengan pasien yang memiliki tanda vital stabil. Maka dari itu, penting
untuk melakukan deteksi dini tanda peningkatan TIK (sakit kepala, mual, muntah,
penurunan kesadaran) sebelum Trias Cushing bermanifestasi.59,60
30
Gambar 2.7. Pola Pernapasan Pada Kompresi Batang Otak2
2.2.5.1. Anamnesis
Pada anamnesis, perlu digali tanda dan manifestasi klinis yang mengarah ke
peningkatan TIK pada pasien. Selain itu, perlu ditelusuri pula etiologi penyebab
peningkatan TIK yang mungkin mendasari keluhan pasien. Anamnesis dimulai
dengan menanyakan keluhan utama dan keluhan tambahan yang membawa pasien
untuk datang ke dokter atau fasilitas kesehatan. Selama proses anamnesis, dokter
dapat mengobservasi raut dan sikap pasien secara langsung, apakah pasien
kesakitan, kesadarannya menurun, tidak nyaman, dll. Beberapa keluhan yang perlu
digali pada pasien apabila mencurigai peningkatan TIK adalah:
• Sakit Kepala15,51,61
o Site
31
§ Di area mana sakit kepala dirasakan?
§ Apakah bisa ditunjuk, area dimana sakit kepala dirasakan?
o Onset
§ Sejak kapan sakit kepala dirasakan?
§ Sudah berapa lama mengalami sakit kepala?
§ Apakah sakit kepala muncul tiba-tiba atau perlahan?
o Character
§ Apakah bisa dideskripsikan, sakit kepalanya seperti apa?
§ Apakah sakit kepalanya terjadi terus menerus atau hilang
timbul?
o Radiation
§ Apakah sakit kepalanya dirasakan di area lain/menjalar?
o Associated Symptoms
§ Apakah terdapat gejala yang menyertai sakit kepala, seperti
mual-muntah, gangguan pengelihatan, gangguan tidur, atau
defisit neurologis?
o Time Course
§ Apakah sakit kepala yang dirasakan berubah seiring
berjalannya waktu?
§ Apakah sakit kepalanya lebih berat pada waktu tertentu,
misalnya saat bangun di pagi hari?
o Exacerbating or Relieving Factors
§ Apakah ada faktor yang menyebabkan sakit kepala
bertambah parah, misalnya saat batuk, berbaring, atau
berdiri?
§ Apakah ada faktor yang menyebabkan sakit kepala
bertambah ringan, seperti saat berdiri atau berbaring?
o Severity
§ Pada skala 0-10, seberapa berat sakit kepala yang dirasakan?
(0 tidak sakit sama sekali, 10 sangat sakit)
• Mual dan Muntah15,51,62
32
o Sejak kapan mual dan muntah dirasakan?
o Apakah terdapat riwayat mual muntah sebelumnya di masa lampau?
o Kapan mual dan muntah dirasakan? Apakah pada waktu tertentu,
misalnya saat bangun tidur atau setelah makan?
o Apakah terdapat gejala yang menyertai mual-muntah, seperti nyeri
perut, demam, diare, penurunan berat badan, kembung, atau sakit
kepala?
o Bagaimana warna dan isi dari muntah? Apakah berisi makanan utuh,
makanan yang sudah dicerna, darah, atau hanya cairan saja?
o Apakah muntahnya menyembur (projectile)?
• Diplopia (Pengelihatan Ganda)15,51,63,64
o Sejak kapan pengelihatan ganda muncul? Apakah onsetnya baru-
baru ini atau sudah terjadi sejak lama?
o Apakah terdapat riwayat trauma kepala, stroke, atau operasi sinus?
o Apakah pengelihatan ganda menghilang saat menutup salah satu
mata (diplopia binokular), atau tetap (diplopia monookular)?
o Apakah benda yang terlihat pada pengelihatan ganda terpisah secara
vertikal (suspek parese nervus oculomotor dan troklear, blow out
fracture, penyakit mata tiroid) atau horizontal (suspek strabismus
dekompensasi, parese nervus abdusen, optalmoplegia internuklir
sekunder terhadap multiple sklerosis)
o Apakah pengelihatan ganda dicetuskan atau diperparah apabila
melirik ke arah tertentu (apabila ya, maka kemungkinan terdapat
paralisis pada otot yang berfungsi untuk melirik ke arah tersebut,
yang dapat menjadi petunjuk mengenai parese pada nervus tertentu)
o Apakah terdapat gejala lain yang menyertai, seperti kelopak mata
sulit dibuka, pandangan kabur, sakit kepala, mual muntah, dll?
o Apakah terdapat kebiasaan menggerakan kepala (head tilting) ke
arah tertentu untuk menghindari pengelihatan ganda?
o Apakah ada riwayat penyakit/kelainan mata sebelumnya? Apakah
menggunakan kacamata atau contact lens?
33
• Gangguan Pengelihatan15,51,65
o Apakah terdapat perubahan pada pengelihatan yang dirasakan?
o Apakah terjadi pada salah satu mata, atau keduanya?
o Sejak kapan gangguan pengelihatan muncul?
o Apakah gangguan pengelihatan muncul tiba-tiba atau perlahan
(gradual)?
o Apakah gangguan pengelihatan terjadi terus menerus atau hilang
timbul?
o Seberapa parah gangguan pengelihatan yang muncul, apakah hanya
buram, atau sampai hanya bisa melihat lambaian tangan dan cahaya?
o Apakah ada faktor yang memperberat gangguan pengelihatan yang
dirasakan, seperti misalnya perubahan posisi dari berbaring/duduk
ke berdiri?
o Apakah gangguan pengelihatan lebih sulit melihat jarak dekat, jarak
jauh, atau keduanya?
o Apakah gangguan pengelihatan memengaruhi lapang pandang
tertentu, misal hanya di pinggir-pinggir atau di tengah?
• Perlu ditanyakan pula riwayat penyakit serta tanda dan gejala dari etiologi
penyebab peningkatan TIK, seperti yang tercantum pada Tabel 2.1.
• Perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit keluarga pada pasien.
• Perlu ditanyakan riwayat penggunaan obat-obatan tertentu di masa lampau
34
dikelompokan menjadi beberapa kategori, yaitu kompos mentis, kesadaran
berkabut, delirium, letargi, obtundasi, stupor, dan koma. Pasien dengan peningkatan
TIK dapat mengalami penurunan kesadaran sampai tahap letargi, bahkan sampai
stupor dan koma.54 Berikut adalah tabel mengenai penilaian kesadaran secara
kualitatif2
35
Selain penilaian kesadaran secara kualitatif, dilakukan juga penilaian kesadaran
secara kuantitatif menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian dengan
GCS mencakup tiga komponen utama, yaitu Eye, Verbal, dan Motoric. Skor
maksimal untuk GCS adalah 15, dan skor terkecil adalah 3. Selain GCS, dikenal
pula penilaian dengan skor FOUR (full outline of unresponsiveness). Skor FOUR
digunakan khususnya untuk pasien dengan penurunan kesadaran dengan bantuan
ventilator di ruang rawat intensif. Skor FOUR lebih sensitif dalam menunjukkan
perubahan kesadaran pasien dan lebih menggambarkan tahapan herniasi otak saat
perburukan derajat kesadaran pasien.2 Berikut adalah elaborasi dari penilaian
kesadaran secara kuantitatif menggunakan skor GCS dan FOUR.2
36
Tabel 2.5. Skor FOUR2
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik umum per regio, yang mencakup
kepala, wajah, mata, hidung, mulut, telinga, leher, paru-paru, jantung, abdomen,
dan ekstremitas. Pada pemeriksaan umum ini dapat ditemukan tanda-tanda trauma
yang kemungkinan dapat menyebabkan peningkatan TIK, seperti trauma kepala.
Selain itu, dapat ditemukan pula komorbiditas pada sistem lain selain sistem saraf
melalui pemeriksaan umum.
37
pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis, pemeriksaan koordinasi dan fungsi
serebelar, sensibilitas, sistem otonom, serta fungsi luhur dan tanda-tanda regresi.
Pada pasien dengan peningkatan TIK secara umum, dapat ditemukan adanya parese
pada nervus abdusen, troklear, maupun oculomotor, yang bermanifestasi sebagai
diplopia (terutama saat berusaha melirik ke arah kerja otot yang mengalami
paresis), strabismus, gangguan penglihatan, dan dilatasi pupil persisten pada
pemeriksaan gerak bola mata.15,51 Selain itu, dapat ditemukan pula gambaran
papilledema saat dilakukan funduskopi pada pasien. Papilledema dapat menjadi
petunjuk adanya peningkatan TIK, karena likuor serebrospinalis di rongga
subarachnoid berhubungan langsung dengan cairan di sekitar nervus optikus,
sehingga tekananannya akan ditransimiskan.15,51 Temuan lain pada pemeriksaan
neurologis, dapat berbeda-beda tergantung dari etiologi penyebab peningkatan TIK
pada setiap pasien.
38
sebelum dilakukan drainase. Tekanan pembukaan >20 mmHg mengindikasikan
adanya peningkatan TIK. Pemindaian dengan CT Scan perlu dilakukan sebelum
prosedur pungsi lumbar. Hal ini dikarenakan pungsi lumbar dapat menyebabkan
penurunan TIK secara cepat dan mendadak, sehingga dapat menyebabkan
peningkatan gradien tekanan dan menyebabkan herniasi otak.1 Berikut adalah
beberapa contoh gambaran CT Scan kepala dan MRI pada pasien dengan
peningkatan TIK.
Gambar 2.8. CT Scan Kepala Non Kontras pada Pasien Dengan Infark MCA
Subakut yang Disertai Edema Sitotoksik (panah)66
39
Gambar 2.10. CT Scan Kepala Non Kontras Dengan Gambaran AVM (panah)
Disertai Dengan Edema Vasogenik (bintang)66
Gambar 2.11. CT Scan Kepala Non Kontras (kiri) dan MRI Kepala (kanan)
Dengan Gambaran Hidrosefalus Normotensi66
Gambar 2.12. CT Scan Kepala Non Kontras Pada Pasien Cedera Kepala Dengan
Perdarahan dan Kontusio Pada Lobus Fronalis Inferior dan Lobus Temporalis
Anterior Sinistra66
40
2.2.6. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan pada pasien dengan
tanda dan gejala peningkatan TIK, diantaranya adalah15:
• Trauma kepala dengan hematoma intracranial (epidural, subdural,
intraserebral, intraventricular, subarachnoid)
• Neoplasma (glioma, meningioma, metastasis otak)
• Cerebrovascular Accident (Stroke hemoragik maupun stroke iskemik)
• Abses intracranial
• Ensefalitis (terutama viral)
• Meningitis (terutama bacterial dan tuberculosis)
• Ensefalopati (hipoksik-iskemik, hepatikum, uremikum)
• Intoksikasi air
• Sindroma Reye
• Hidrosefalus (obstruktif maupun komunikans)
• Trombosis sinus venosus serebri
• Malformasi arteriovenosus
• Benign Intracranial Hypertension
41
menghindari hipotensi (tekanan darah systole >90 mmHg).67 Pencegahan dan
tatalaksana terhadap faktor yang dapat menyebabkan peningkatan TIK merupakan
baku emas pada neurocritical care. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
peningkatan TIK, diantaranya adalah obstruksi pada venous return, masalah pada
respirasi, demam, tekanan darah, hyponatremia, anemia, dan kejang.18
42
Sedativa dan Analgesik
Agitasi dan rasa nyeri dapat meningkatkan tekanan darah dan TIK, sehingga pasien
perlu diberikan sedativa dan analgesik yang adekuat. Selain itu, pemberian sedativa
dan analgesik dilakukan untuk mencegah batuk dan memfasilitasi ventilasi
mekanikal dan suctioning. Secara umum, hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pemberian sedativa dan analgesik adalah efeknya terhadap tekanan darah. Agen
yang diberikan harus memiliki efek minimal terhadap tekanan darah, karena
mayoritas agen dapat menyebabkan penurunan tekanan darah. Kondisi hipovolemia
perlu ditatalaksana terlebih dahulu sebelum pemberian sedativa karena dapat
menyebabkan hipotensi. Beberapa pilihan sedativa dan analgesik yang dapat
diberikan adalah propofol, midazolam, etomidate, ketamine, barbiturate,
dexmedetomidine, morfin, fentanyl, alfentanil, sufentanil dan remifentanil.15,18,67
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa agen tertentu lebih superior
dibandingkan agen lainnya untuk menurunkan TIK. Penjelasan mengenai agen-
agen tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
43
Tabel 2.7. Farmakodinamik dan Farmakokinetik Agen Sedativa dan Analgesik68
Kontrol Demam
Demam dapat meningkatkan laju metabolik sebanyak 10-13% per derajat Celcius,
dan dapat menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi dari pembuluh darah otak yang
diinduksi oleh demam dapat meningkatkan CBF dan TIK. Apabila terdapat demam,
maka perlu dikontrol menggunakan antipiretik dan kompres dingin. Selain itu
apabila peningkatan TIK terjadi akibat etiologi infeksi, maka perlu diberikan
antibiotik untuk mengeliminasi pathogen yang ada. 15,18,67
Tekanan Darah
Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah agar stabil dan tidak menjadi hipotensi
maupun hipertensi. Direkomendasikan untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik >100 mmHg pada pasien berusia 50-69 tahun, dan >110 mmHg pada pasien
44
berusia 15-49 tahun dan >70 tahun. Hipotensi dapat menyebabkan penurunan
perfusi serebral pada pasien dengan disfungsi autoregulasi akibat peningkatan TIK,
dan dapat menyebabkan iskemia. Hipertensi banyak dijumpai pada pasien dengan
peningkatan TIK, terutama pada etiologi trauma kepala. Hipertensi yang timbul
adalah widened pulse pressure akibat hiperaktivitas simpatis, dimana peningkatan
tekanan sistolik jauh lebih tinggi dibandingkan tekanan diastolik. Tidak
direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik secara langsung
apabila diakibatkan oleh massa intracranial yang belum dilakukan tatalaksana. Hal
ini dikarenakan perfusi serebral dipertahankan pada tekanan darah yang lebih tinggi
pada kasus tersebut. Pada kasus tanpa massa intracranial, penatalaksanaan
hipertensi masih kontroversial dan bersifat individual untuk tiap pasien. Apabila
terjadi disfungsi autoregulasi (yang umum ditemukan pada trauma kepala), maka
hipertensi sistemik dapat meningkatkan CBF dan TIK. Hipertensi sistemik juga
dapat menyebabkan edema serebral dan peningkatan risiko perdarahan intracranial
post operasi. Hipertensi sistemik dapat mengalami perbaikan dengan pemberian
sedasi. Apabila dipilih untuk melakukan penatalaksanaan terhadap hipertensinya,
maka agen yang digunakan memiliki peranan penting. Agen yang menyebabkan
vasodilatasi, seperti nitroprusside dan nitrogliserin perlu dihindari karena dapat
meningkatkan TIK. Agen seperti penyekat beta (labetalol, esmolol) atau agonis alfa
sentral (clonidine) lebih direkomendasikan. 15,18,67
Cairan
Pada suatu studi, ditemukan bahwa pasien yang diberikan cairan albumin memiliki
tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan
normosaline. Selain itu, cairan hipoosmolar perlu dihindari, dan koreksi
hiponatremia perlu dilakukan untuk mencegah perburukan edema serebral.15
45
Tabel 2.8. Rumus Kebutuhan Cairan Menurut Holliday-Segar
Anemia
Beberapa kasus melaporkan pasien dengan anemia berat yang juga menunjukkan
tanda dan gejala peningkatan TIK serta papilledema, dimana gejala tersebut
membaik setelah dilakukan koreksi terhadap anemianya. Target hemoglobin yang
direkomendasikan pada pasien dengan peningkatan TIK (terutama akibat trauma
kepala) adalah > 10 g/dL. Walaupun demikian, target optimal hemoglobin pada
pasien peningkatan TIK akibat trauma kepala membutuhkan penelitian lebih
lanjut.18
Kejang
Risiko terjadinya kejang setelah trauma kepala diduga berhubungan dengan derajat
dari cedera otak yang dialami, dimana kejang ditemukan pada 15-20% pasien
dengan cedera kepala berat. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko kejang pada
pasien dengan trauma kepala, diantaranya adalah GCS <10, immediate seizure,
amnesia post-traumatik yang berlangsung lebih dari 30 menit, fraktur tengkorak tipe
linear/depressed, trauma tembus kepala, perdarahan subdural, epidural, dan
intraserebral, contusio kortikal, usia >65 tahun, dan alkoholisme kronik. Menurut
suatu RCT, pemberian fenitoin sebagai profilaksis kejang dikatakan efektif pada
satu minggu pertama pasca-trauma, namun tidak untuk setelahnya. Dosis inisial
fenitoin yang diberikan adalah 15-20 mg/kgBB selama 30 menit dengan kecepatan
maksimal 50 mg/min, dengan dosis rumatan 100 mg setiap 8 jam selama 7 hari.18
46
Penatalaksanaan khusus, yang dapat dilakukan untuk menurunkan TIK
diantaranya adalah terapi hiperosmolar (menggunakan mannitol atau saline
hipertonis), hiperventilasi, koma barbiturat, terapi hipotermia, dan pemberian
steroid.
Terapi Hiperosmolar
Manitol merupakan agen hiperosmolar yang paling sering digunakan pada kasus
peningkatan TIK. Baru-baru ini, saline hipertonis juga turut digunakan pada kasus
peningkatan TIK. Beberapa studi sudah membandingkan efektifitas dari kedua agen
ini, dengan mayoritas menunjukkan bahwa salin hipertonis lebih efektif
dibandingkan mannitol. Walaupun demikian, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut. 15,18,67
• Mannitol
Mannitol memiliki efek rheologik dan osmotik. Pada efek rheologik,
akan terjadi peningkatan volume plasma dan penurunan hematokrit dan
viskositas darah segera setelah administrasi mannitol. Hal ini akan
meningkatkan CBF dan peningkatan oksigenasi ke jaringan otak.
Akibatnya, akan terjadi vasokonstriksi serebral (akibat mekanisme
autoregulasi), yang dapat menurunkan TIK. Pada efek osmotik, pemberian
mannitol dapat meningkatkan tonisitas serum, sehingga dapat terjadi
penarikan cairan dari parenkim serebral ke intravaskular. Proses ini
memakan waktu 15-30 menit sampai terjadi keseimbangan gradien.
Osmolaritas serum perlu dipertahankan pada rentang 300-320 mOsm, dan
apabila melebihi 320 mOsm, dapat muncul efek samping seperti
hipovolemia, hipotensi arterial (tekanan darah systole <90 mmHg)
hiperosmolaritas, dan gagal ginjal. Mannitol bekerja dengan efisien apabila
BBB intak, maka dari itu agen ini lebih direkomendasikan pada edema
sitotoksik dibandingkan vasogenik.15,18,67 Berikut adalah indikasi dan
kontraindikasi dari pemberian mannitol.
47
Indikasi Kontraindikasi
Penurunan TIK dan pada kasus Anuria pada pasien dengan
massa pada otak penyakit ginjal
Penurunan tekanan intraokular Edema paru atau kongesti paru
berat
Mencetuskan diuresis pada pasien Perdarahan intracranial aktif
dengan gagal ginjal akut sebagai (kecuali pada tindakan kraniotomi
pencegahan dan penatalaksanaan yang sedang berlangsung)
fase oliguria sebelum terjadi
kerusakan ireversibel
Mencetuskan diuresis untuk Dehidrasi berat
meningkatkan ekskresi toksin dan
metabolit beracun.
Gagal jantung progresif
Hipersensitivitas terhadap manitol
Penyakit ginjal
Kelainan elektrolit
Tabel 2.9. Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Mannitol69
• Saline Hipertonis
48
Pemberian saline hipertonis, pada rentang konsentrasi 3%-23,4%,
dapat menyebabkan perpindahan cairan dari ruang interstitial pada
parenkim jaringan otak ke intravaskular pada kondisi BBB intak, sehingga
menurunkan TIK. Pada beberapa studi, saline hipertonis dinilai lebih efektif
dibandingkan mannitol untuk menurunkan TIK. Saline hipertonis memiliki
efektifitas yang lebih besar pada pasien dengan hipovolemia dan hipotensi
dibandingkan mannitol. Beberapa efek samping dari saline hipertonis,
diantaranya adalah gangguan koagulasi dan elektrolit, thrombophlebitis,
hipokalemia, dan asidosis hiperkloremik. 15,18,67 Indikasi dan kontraindikasi
dari pemberian saline hipertonis adalah sebagai berikut:
Indikasi Kontraindikasi
Pada pasien dengan hyponatremia Tidak ada kontraindikasi mutlak
simptomatik berat pada pemberian HTS
Peningkatan TIK Namun, hati-hati pada pasien
dengan:
• Gagal jantung kongestif
• Gagal ginjal
Tabel 2.10. Indikasi dan Kontraindikasi Pemberian Saline Hipertonis70
Sediaan Dosis
3% Bolus 2,5-5 mL/kgBB dalam 5-20 menit
49
5% Bolus 2,5-5 mL/kgBB dalam 5-20 menit
7,5% Bolus 1,5-2,5 mL/kgBB dalam 5-20
menit
23,4% Bolus 30 mL dalam 10- 20 menit
Tabel 2.11. Dosis Pemberian Saline Hipertonis15
Hiperventilasi
Hiperventilasi direkomendasikan hanya sebagai penanganan sementara untuk
menurunkan TIK pada kasus peningkatan TIK refrakter dan untuk durasi singkat (<
2 jam). Hiperventilasi dapat memicu penurunan PaCO2 yang dapat menyebabkan
pH dari likuor serebrospinalis meningkat dan menyebabkan vasokonstriksi serebral
dan menurunkan TIK. Efek dari hiperventilasi terjadi secara segera, namun hanya
berlangsung selama 4-6 jam, dikarenakan pH dari likuor serebrospinalis segera
menyesuaikan dengan PaCO2 yang baru, sehingga pembuluh darah serebral akan
berdilatasi kembali. Maka dari itu, penanganan dengan hiperventilasi hanya
berfungsi sebagai penanganan sementara untuk menunggu penanganan definitif.
Target dari PaCO2 adalah 30-35 mmHg. Hiperventilasi tidak boleh dilakukan
terlalu lama dengan PaCO2 <25 mmHg, karena dapat menyebabkan iskemia pada
jaringan otak. Apabila dilakukan hiperventilasi, maka SjO2 (jugular venous
oxygen) atau BtpO2 (brain tissue oxygen) perlu diukur untuk memonitor suplai
oksigen. 15,18,67
Koma Barbiturat
Koma barbiturat hanya boleh dipertimbangkan pada pasien dengan peningkatan
TIK refrakter. Hal ini dikarenakan pemberian baribiturat dosis tinggi memiliki
berbagai macam komplikasi (hipotensi, hipokalemia, depresi pernapasan,
imunosupresi, serta disfungsi hati dan ginjal) dan tidak dapat dilakukan
pemeriksaan neurologis pada pasien tersebut selama beberapa hari. Pemberian
barbiturate dapat menurunkan TIK melalui penurunan CMRO2, yang menyebabkan
penurunan CBF. Hal ini akan menyebabkan penurunan TIK. Terdapat dua agen
yang dapat diberikan pada koma barbiturate, yaitu pentobarbital dan thiopentine.
50
Pentobarbital diberikan dengan dosis awal 10 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan
dosis 5 mg/kgBB/jam sebanyak 3 dosis. Dosis rumatan adalah 1-2 mg/kgBB/jam,
dititrasi sampai kadar serum 30-50 mcg/mL. Thiopentine diberikan dengan dosis
awal 5 mg/kgBB selama 30 menit dan dilanjutkan dengan continuous infusion 1-5
mg/kg/jam. Pemberian pentobarbital dan thiopentine dilakukan sampai pada EEG
ditemukan adanya burst suppression pattern. 15,18,67
Hipotermia Terapeutik
Hipotermia terapeutik dapat mengurangi CMRO2 yang serupa dengan koma
barbiturat. Hipotermia terapeutik dapat menurunkan metabolisme seluler dan
supresi aktivitas listrik pada otak. Core temperature dengan rentang 32-34 derajat
Celcius dapat menurunkan TIK. Beberapa efek samping dari hipotermia terapeutik,
diantaranya adalah menggigil, aritmia, gangguan elektrolit, dan sepsis.
Penghangatan harus dilakukan secara perlahan untuk mengindari rebound dari
peningkatan TIK. 15,18,67
Pemberian Steroid
Steroid secara umum diberikan pada edema vasogenik pada kasus tumor primer
maupun sekunder (metastasis), abses, maupun inflamasi noninfekius pada otak.
Setelah pemberian steroid, gejala neurologis fokal dan alterasi status mental akibat
edema mengalami perbaikan dalam beberapa jam. Peningkatan TIK akibat edema
vasogenik mengalami perbaikan dalam 2-5 hari setelah diberikan steroid.
Penggunaan steroid dinilai tidak bermanfaat pada kasus seperti trauma kepala dan
perdarahan intraserebral. Agen yang umum digunakan adalah Deksametason IV 10
mg setiap 6 jam selama 4 hari. Dosis alternatif adalah IV 0,15 mg/kgBB setiap 6
jam selama 4 hari. Dosis alternatif pada pasien dengan meningitis dapat
dipertimbangkan dengan melihat stadium klinis, yang ditampilkan pada tabel
berikut.
51
Tabel 2.12. Stadium Klinis Meningitis
52
Gambar 2.13. Tatalaksana Peningkatan TIK Menggunakan Sistem Tier71
53
indikasi untuk dilakukan monitoring TIK, namun indikasi dilakukan monitoring
secara praktis bergantung pada kebijakan institusi dan penilaian klinisi.72
Terdapat berbagai macam modalitas monitoring TIK, baik yang invasif maupun
non-invasif. Beberapa kriteria modalitas monitoring TIK, diantaranya adalah:
rentang tekanan alat harus berada pada 0-100 mmHg, akurasi alat harus + 2 mmHg
dengan rentang 0-20 mmHg, dan pada rentang tekanan 20-100 mmHg, nilai error
maksimal adalah 10%. Selain itu, alat yang ideal harus mudah untuk digunakan,
akurat, reliabel, tidak mahal, dan memiliki komplikasi yang minim.18,72
Modalitas Invasif
• External Ventricular Drain (EVD)
EVD merupakan baku emas untuk monitoring TIK, penilaian kompliansi
intracranial, dan merupakan metode standard untuk pengukuran TIK. Pada
EVD, dimasukan kateter ke dalam salah satu ventrikel lateral dan
dihubungkan dengan transduser eksternal (diletakan setinggi meatus
akustikus eksternus/ foramina Monro) dan suatu sistem penampung cairan.
Hal ini memungkinkan klinisi untuk melakukan drainase cairan dan
melakukan pengukuran TIK secara bergantian. Keuntungan dari
penggunaan EVD adalah, modalitas ini dapat berperan sebagai alat
diagnostic maupun terapeutik. Kerugian dari penggunaan EVD adalah,
54
modalitas ini memiliki risiko terjadinya infeksi, seperti meningitis atau
ventriculitis. Infeksi terjadi pada 10-20% pasien, dan risikonya meningkat
setelah penggunaan >5 hari. Walaupun demikian, sudah terdapat kateter
yang dilapisi dengan antibiotic untuk mencegah infeksi, namun belum ada
bukti ilmiah kuat yang menunjukkan superioritasnya dibandingkan kateter
konvensional. Pemasangan EVD menjadi lebih sulit pada pasien pediatri
dikarenakan sistem ventrikel yang masih sempit, serta pada orang tua yang
mengalami ventrikulomegali akibat atrofi otak.72-74
55
devices, diantaranya adalah Camino transducer, Codman microsensor, dan
Spielberg ICP monitor.72,74
Modalitas Non-Invasif
• Optic Nerve Sheath Diameter (ONSD)
Prinsip pengukuran ONSD adalah fakta bahwa ruang subarachnoid
terhubung secara langsung dengan ruang di sekitar selubung yang mengitari
nervus optikus, sehingga pengukuran diameter dari selubung nervus optikus
menggambarkan TIK yang ada. Metode ini dilakukan dengan memasang
linear transducer probe (12-7,5 MHz) pada kelopak mata yang tertutup
untuk mendapat gambaran selubung nervus optikus. Setelah itu dilakukan
pengukuran ONSD dengan jarak 3 mm dari sisi posterior bola mata. ONSD
di kontraindikasikan pada pasien dengan tumor orbita, inflamasi mata,
sarcoidosis, penyakit Graves, serta lesi pada nervus optikus. ONSD dengan
ukuran 4,5-5,5 mm dinilai indikatif terhadap hipertensi intracranial.72,74
• Venous Ophthalmodynamometry
Pada venous ophthalmometry, dilakukan pengukuran tekanan pada vena
retina sentral. Penggunaan venous ophthalmometry dapat dilakukan untuk
pengukuran statis, namun tidak untuk monitoring secara berkepanjangan.
72,74
56
Metode ini mengggunakan ultrasound spesifik jaingan terhadap otak untuk
memperoleh ekopulsogram secara digital. Namun, penelitian dan studi yang
mengkaji tissue resonance analysis masih minim, sehingga bukti ilmiahn
yang ada masih rendah. 72,74
• EEG
Prinsip penggunaan EEG untuk monitoring TIK adalah fakta bahwa dapat
terjadi perubahan gelombang EEG pada perubahan CMRO2, yang
dipengaruhi oleh disfungsi kompliansi intracranial akibat peningkatan TIK.
Walaupun demikian, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk melihat
korelasi spektrum EEG dengan peningkatan TIK. 72,74
• Pupilometri
Pada pupilometri, kecepatan konstriksi pupil dikatakan berhubungan
dengan TIK yang tinggi, dan konstriksi pupil sebanyak 10% dari ukuran
awal diasosiasikan dengan peningkatan TIK (TIK>20 mmHg). Walaupun
demikian, pupilometri tidak dapat digunakan untuk monitor TIK
berkepanjangan. 72,74
57
• Modalitas Radiologi (CT Scan dan MRI)
Terdapat berbagai usaha untuk mengkorelasikan peningkatan TIK dan
tingkat mortalitas dengan melihat temuan pada CT Scan, seperti hilangnya
fiderensiasi antara substansia nigra dan alba, midline shift, serta effacement
dari sisterna basalis dan ventrikel. Walaupun demikian, penggunaan CT
Scan sebagai alat monitoring TIK dinilai tidak sensitive. Penggunaan MRI
dilakukan untuk mengukur perbedaan pulsatil pada volume dan tekanan
intracranial, sehingga TIK dapat diprediksi. Walaupun demikian,
penggunaan MRI sebagai alat monitoring TIK dinilai tidak praktis,
dikarenakan masalah transport dan penggunaannya yang tidak ‘bedside’.
72,74
58
UE pada regio kortikal atau subkortikal, UE pada regio ganglia basalis, dan UE
pada regio substansia alba. Pada UE regio kortikal atau subkortikal, proses
patologis yang terjadi adalah edema vasogenic dan pada regio ganglia basalis,
proeses patologis yang terjadi adalah edema sitotoksik dan vasogenic. Hal ini
dikonfirmasi melalui temuan pada MRI. Patofisiologi dari ensefalopati uremikum
diduga terjadi akibat akumulasi neurotoksin (urea, indoksil sulfat, senyawa
guanidine, indolic acid, fenol, dan carnitine). Neurotoksin ini akan menstimulasi
reseptor NMDA dan menghambat reseptor asam y- aminobutyric, sehingga terjadi
disrupsi pada jalur postsinaptik. Terdapat tiga mekanisme yang diduga berperan
pada patogenisitas ensefalopati uremikum. Pertama, fluktuasi signifikan gula
darah/hiperglikemia pada pasien ensefalopati uremikum dapat meningkatkan
permeabilitas BBB yang menyebabkan disfungsi endotel serebrovaskular dan
memicu edema vasogenic. Selain itu, toksin pada ensefalopati uremikum dapat
menganggu fungsi mitokondria yang menyebabkan destruksi pallidum dan
putamen. Kedua, metabolit uremikum berlebih dapat merusak jaringan otak
(terutama ganglia basalis) pada area yang mengalami disfungsi autoregulasi
serebral, gangguan utilisasi energi, dan mikroangiopati. Ketiga, penurunan suplai
oksigen sel otak pada pasien dengan gangguan ginjal dapat menyebabkan gangguan
metabolisme seluler dan disfungsi kanal ion, yang dapat menyebabkan edema
sitotoksik. Dengan demikian, edema vasogenic dan sitotoksik dapat ditemukan
pada ensefalopati uremikum secara bersamaan.75,76,77
59
disfungsi BBB dan CBF, alterasi asam amino dan neurotransmitter, apoptosis
seluler, serta stress oksidatif dan eksitotoksisitas. Endotoksin bakteri, seperti
lipopolisakarida (LPS) dapat menyebabkan disfungsi otak pada keadaan sepsis.
LPS dapat menempel pada toll like receptor di organ sirkumventrikular yang tidak
dilindungi oleh BBB dan menginduksi sintesis sitokin pro-inflamatori ,
prostaglandin, dan NO dari mikroglia dan astrosit yang semakin memperparah
ensefalitis. SAE juga dapat menyebabkan disfungsi BBB yang menyebabkan
terjadinya edema vasogenic. LPS bakteri dan sitokin yang diproduksi oleh sel imun
tubuh dapat menginduksi aktivasi endothelial yang disebut sebagai panendothelitis.
Aktivasi ini dapat meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada endotel microvessel
otak, dan semakin meningkatkan sekresi sitokin proinflamatori dan nitric oxide
synthase (NOS). Proses yang terjadi ini dapat menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan disrupsi dari BBB dengan konsekuensi edema vasogenic. Selain
itu, astrocyte endfeet yang mengelilingi microvessel otak akan mengalami
pembengkakan dan membrannya mengalami rupture dan terlepas dari dinding
microvessel. Pembengkakan astrocyte endfeet ini merupakan akibat langsung dari
kerusakan BBB dan dapat semakin memperparah disrupsi BBB dan edema
vasogenic yang terjadi pada kondisi SAE. Pada SAE juga terjadi penurunan CBF
dan menyebabkan iskemi jaringan otak. Gambaran MRI pada pasien dengan SAE
menunjukan gambaran edema vasogenic, konsisten dengan mekanisme
pathogenesis yang sudah dijelaskan sebelumnya.78,79,80,81
60
tanda dan gejala membaik setelah dilakukan penurunan tekanan darah, dan
penyebab kelainan neurologis lain sudah di eksklusi. Tanda dan gejala dari
ensefalopati hipertensi, diantaranya adalah sakit kepala dengan onset gradual, mual
dan muntah, dan diikuti dengan gejala neurologis seperti agitasi, kebingungan,
kejang, bahkan koma. Apabila kondisi hipertensi emergensi ditatalaksana secara
adekuat, maka keadaan ensefalopati dapat bersifat reversible. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, terjadi edema serebri pada kondisi ensefalopati hipertensi.
Terjadi edema vasogenic yang difus, yang disebabkan oleh disfungsi autoregulasi
pada otak, dengan adanya vasospasme, iskemia, peningkatan permeabilitas
vaskular, perdarahan pungtata, dan edema interstitial. Terdapat hipotesis yang dapat
menjelaskan mekansime pathogenesis terjadinya edema vasogenic pada
ensefalopati hipertensi. Diduga pada kondisi hipertensi emergensi dan peningkatan
tekanan darah secara ekstrim terjadi disfungsi dari autoregulasi serebral, yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah tanpa disertai mekanisme autoregulasi
(seharusnya terjadi vasokonstriksi sebagai kompensasi), sehingga terjadi
vasodilatasi serebral dan hiperperfusi, yang dapat merusak lapisan endotel dan
melonggarkan tight junction pada sel penyusun BBB, sehingga cairan dan protein
dapat berpindah dari intravascular ke ruang ekstraseluler otak menyebabkan edema
vasogenic. Selain itu, kerusakan endotel BBB yang terjadi akibat tekanan darah
tinggi juga menyebabkan pelepasan sitokin pro-inflamatori yang meningkatkan
permeabilitas BBB dan memperparah edema vasogenic yang ada. Disfungsi
autoregulasi ini terutama mengenai sirkulasi posterior karena penurunan aktivitas
simpatis relative yang mengenai bagian posterior.82,83,84
61
kondisi hiperglikemia diasosiasikan dengan peningkatan sitokin pro-inflamatori,
seperti interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-a) di serum dan
sirkulasi yang menyebabkan disfungsi endotel pada BBB, serta peningkatan
regulasi dan ekspresi VEGF yang dapat meningkatkan permeabilitas pada BBB.
Hal ini akan menyebabkan perpindahan cairan dari intravascular ke ekstraselular
jaringan otak dan berujung dengan edema vasogenic. Selain itu, terdapat sumber
lain yang mengatakan bahwa pada ensefalopati hiperglikemik terjadi dua jenis
edema serebral, yaitu edema sitotoksik dan edema vasogenic. Pada DKA, terjadi
kondisi hipoperfusi yang kemudian diikuti dengan cedera reperfusi yang
mencetuskan terjadinya edema sitotoksik akibat disfungsi kanal ion dan
pembengkakan sel karena kondisi iskemi, serta edema vasogenic akibat disrupsi
BBB karena pelepasan sitokin pro-inflamasi dan cedera pada sel penyusun BBB.
Suatu studi menunjukkan bahwa edema serebral yang terjadi akibat DKA maupun
hyperglycemic hyperosmolar syndrome (HHS) pada populasi dewasa jarang
ditemukan, dengan insidensi 0.03% pada studi populasi berskala besar di Amerika
Serikat. Mekanisme yang mendasari terjadinya edema serebral pada ensefalopati
hiperglikemik membutuhkan penelitian lebih lanjut.85,86,87
62
Mannitol dapat digunakan untuk mencegah DDS pada beberapa sesi awal HD,
dengan dosis 25 g untuk tiga sesi awal. Suatu penelitian menunjukkan bahwa
pemberian mannitol efektif untuk mencegah DDS jika diberikan pada awal sesi HD.
75,76,77
63
kerusakan BBB pada hewan percobaan dengan SAE. Inhibitor glutamate, seperti
riluzole dan asam askorbat memiliki manfaat pada hewan percobaan dengan
SAE.78,79,80,81,88
64
Ensefalopati hiperglikemik yang terjadi dapat ditangani dengan kontrol gula
darah yang adekuat. Pasien dengan ensefalopati hiperglikemik dengan kondisi
DKA perlu dilakukan tatalaksana yang meliputi koreksi hiperglikemia dengan
insulin intravena, monitoring ketat, tatalaksana terkait gangguan elektroli terutama
potassium, koreksi hypovolemia dengan cairan infus, dan koreksi asidosis. Perlu
dilakukan pemantauan gula darah dan elektrolit secara ketat pada awal tatalaksana.
Resusitasi cairan secara agresif dengan cairan infus isotonis direkomendasikan pada
tatalaksana awal. Resusitasi cairan tidak hanya mengoreksi instabilitas
hemodinamik yang terjadi, namun juga meningkatkan sensitivitas terhadap insulin
dan mengurangi kadar hormone counter-regulatory. Setelah diberikan cairan
isotonis, pilihan untuk resusitasi cairan selanjutnya bergantung pada kadar natrium
serum yang dikoreksi untuk derajat hiperglikemianya. Kadar natrium serum yang
normal atau tinggi dapat diberikan cairan hipotonis, dan kadar natrium serum yang
rendah dapat dilanjutkan dengan pemberian cairan isotonis. Cairan infus ini harus
disuplementasikan dengan dekstrosa jika kadar natrium serum mencapai 200-250
mg/dL. Bersamaan dengan resusitasi cairan, pemberian insulin regular secara
intravena perlu dilakukan untuk mempertahankan kadar gula darah pada rentang
150-200 mg/dL dan sampai anion gap yang tinggi tertangani. Tetapi perlu diingat
bahwa pemberian insulin harus ditunda sampai kadar potassium serum >3.3 mEq/L
untuk mencegah terjadinya aritmia jantung. Apabila kadar potassium serum ada
pada rentang 3.3-5 mEq/L, suplementasi insulin harus diberikan pada cairan infus
dengan target potassium 4-5 mEq/L dan apabila >5 mEq/L, inisasi terapi insulin
dan resusitasi cairan dapat diberikan dengan monitoring kadar potassium serum
secara berkala. 85,86,87,90
65
terjadi pada awal stroke iskemik dalam hitungan menit pada ischemic core dan
disebabkan oleh kegagalan utilitas energi dan depolarisasi membrane anoksik pada
sel astrosit dan dendrite dengan konsekuensi akmukulasi natrium intraselular, yang
menyebabkan influx air, natrium, dan pembengkakan selular. Setelah itu terjadi
edema vasogenic yang disebabkan oleh disrupsi BBB yang menyebabkan
peningkatan permeabilitasnya dan perpindahan protein dari intravascular ke
ekstravaskular jaringan otak. Kerusakan BBB ini terjadi karena nekrosis jaringan
dan degradasi membrana basalis pada BBB. Perpindahan cairan dari ekstraseluler
ke intraseluler pada edema sitotoksik membuat gradien baru natrium antara
intravascular dan ekstraseluler, sehingga terjadi perpindahan cairan dari
intravascular ke parenkim otak. Kemudian setelah itu barulah terjadi perpindahan
cairan dari intravascular ke ekstraselular akibat disrupsi BBB. Edema vasogenic
mencapai puncaknya 1-2 hari setelah onset iskemia dan meningkatkan kadar air
dalam jaringan sebanyak lebih dari 100%.91,92,93
Pada keadaan iskemia, terjadi peningkatan permeabilitas paraseluler di BBB
yang disebabkan oleh disrupsi TJ (tight junction). Disrupsi TJ terjadi melalui tiga
fase. Pertama, sitokin dan mediator pro-inflammatori (VEGF, CCL2, TNF-a, IL-
6) yang dilepaskan setelah cedera iskemik dapat menyebabkan fosforilasi dari TJ,
yang menyebabkan hiperpermeabilitas BBB. Pada fase kedua, terjadi translokasi
dari TJ yang disebabkan oleh endositosis dan polimerisasi aktin turun menurunkan
integritas BBB. Pada fase ketiga, terjadi degradasi dari protein penyusun TJ oleh
MMP-2 dan MMP-9 yang diproduksi oleh neutrophil, yang secara krusial berperan
terhadap terdisrupsinya BBB dan menyebabkan kebocoran paraselular dan infiltrasi
sel imun perifer di BBB. Selain itu, edema vasogenic yang terjadi juga dapat
disebabkan oleh sel NVU (neurovascular unit). Pada saat terjadi iskemi dan
hipoksia pada stroke, terjadi polimerisasi aktin yang menyebabkan kontraksi dari
sel endotel penyusun BBB yang dimediasi oleh protein ZIPK melalui fosforilasi
dari rantai myosin sel endotel. Hal ini akan menyebabkan terbentuknya gap
paraselular yang memungkinkan makromolekul dan sel pro-inflammatori masuk ke
parenkim otak. Aktivasi dari perisit dan astrosit juga berperan dalam disrupsi BBB
setelah terjadinaya stroke. Perisit yang terkaktivasi dapat bermigrasi dari dinding
66
mikrovaskular otak yang enebabkan peningkatan permeabilitas BBB. Astrosit yang
teraktivasi pada keadaan stroke dapat meningkatkan VEGF dan berperan pada
disrupsi BBB. Selain itu, proses inflamasi yang terjadi paska iskemia juga dapat
menyebabkan disrupsi BBB sekunder. Neutrofil yang melepaskan MMP-9,
neutrophil elastase, dan ROS merupakan penyebab kerusakan BBB sekunder.
Enzim yang dilepaskan oleh neutrophil ini dapat merusak sel endotel dan merusak
BBB. Neutrofil juga melepaskan kemokin yang merekrut sel-sel imun lainnya dan
semakin memperparah disrupsi yang ada dan menyebabkan edema vasogenic. Sel
mast yang merupakan sel residen juga turut berperan dalam kerusakan BBB dengan
melepaskan granulanya, yang berisi histamin, TNF-a, protease, hepatin, dan
kemoatraktan. Makrofag juga dapat menyebabkan neuroinflamasi dan disintergrasi
pembuluh darah otak setelah terjadi stroke iskemik.91,92,93
Walaupun demikian, penggunaan steroid dalam kasus stroke iskemik
maupun hemoragik tidak direkomendasikan pada guideline yang ada pada saat ini.
Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya bukti klinis akan efektivitas steroid pada
kasus stroke. Selain itu, pemberian steroid juga memiliki banyak efek samping
sehingga membuat pemberian steroid lebih banyak risk dibandingkan benefits nya.
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian steroid, antara lain adalah
infeksi, hiperglikemia, dan katabolisme otot.91,92,93
Sediaan Dosis
3% Bolus 2,5-5 mL/kgBB dalam 5-20 menit
diberikan setiap 4 jam
67
5% Bolus 2,5-5 mL/kgBB dalam 5-20 menit
diberikan setiap 4 jam
7,5% Bolus 1,5-2,5 mL/kgBB dalam 5-20 menit
diberikan setiap 4 jam
23,4% Bolus 30 mL dalam 10- 20 menit diberikan
setiap 4 jam
Tabel 2.15. Dosis Pemberian Saline Hipertonis15
2.3.5. Perbedaan Edema Sitotoksik, Ionik dan Vasogenik Pada CT Scan dan
MRI
68
‘edema ionic’ menjadi satu
dengan istilah Edema
Sitotoksik saja.
CT Scan • Pada edema otak • Area dengan • Terdapat
sitotoksik atenuasi rendah diferensiasi yang
terisolasi, hanya yang bersifat mencolok antara
terjadi perubahan uniform dikarenakan subtsansia alba
minim pada CT influx cairan dari dan nigra, dan
Scan dikarenakan intravascular ke edema melibatkan
perpindahan air ruang ekstraseluler terutama
dari ekstraseluler parenkim otak substansia alba.
ke intraseluler • Batas antara Dapat terlihat
tidak substansia alba dan gambaran finger-
menyebabkan substansia nigra like
perubahan menjadi buram;
atenuasi pada CT diferensiasinya
Scan. menjadi hilang.
• Perubahan yang
terjadi pada CT
Scan sebenarnya
adalah dampak
dari edema
serebral jenis
ionic, yang terjaid
sesaat setelah
edema sitotoksik.
Cairan berpindah
dari intravascular
ke parenkim
ekstraseluler otak.
69
Namun istilah
ionic edema tidak
lazim digunakan
dan klinisi pada
umumnya
menggambungkan
‘edema
sitotoksik’ dan
‘edema ionik’
menjadi edema
sitotoksik saja
MRI • Tidak ada • High signal pada T2 • Hiperintens pada
perubahan yang dan FLAIR pada sinyal T2 dan
signifikan pada area yang terkena, FLAIR tanpa
T1 maupun T2 dan memengaruhi restriksi difusi
• DWI (diffuse substansia alba dan
weighted substansia nigra
imaging) à satu- • Terlihat adanya
satunya sekuens restriksi difusi pada
yang dapat diffusion weighted
mengidentifikasi imaging sequences.
edema sitotoksik Hal ini terjadi
terisolasi à karena adanya
terdapat edema sitotoksik
penurunan difusi sebelum edema
dan digambarkan ionic.
dengan sinyal
tinggi pada DWI
dan sinyal rendah
pada ADC à
70
dalam 2 minggu,
ADC meningkat
dan menjadi
hiperintens
Tabel 2.16. Perbedaan Edema Sitotoksik, Ionik, dan Vasogenik Pada CT Scan dan
MRI94,95,96
71
BAB III
KESIMPULAN
72
DAFTAR PUSTAKA
9. Mount CA, M Das J. Cerebral Perfusion Pressure. [Updated 2022 Apr 5].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537271/
10. Cipolla MJ. The Cerebral Circulation. San Rafael (CA): Morgan &
Claypool Life Sciences; 2009. Chapter 5, Control of Cerebral Blood
Flow. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK53082/
73
11. Kasprowicz, M., et al. ‘Intracranial Pressure, Its Components and
Cerebrospinal Fluid Pressure-Volume Compensation’. Acta Neurologica
Scandinavica, vol. 134, no. 3, Sept. 2016, pp. 168–80. DOI.org (Crossref),
https://doi.org/10.1111/ane.12541.
16. Wilson, Mark H. ‘Monro-Kellie 2.0: The Dynamic Vascular and Venous
Pathophysiological Components of Intracranial Pressure’. Journal of
Cerebral Blood Flow & Metabolism, vol. 36, no. 8, Aug. 2016, pp. 1338–
50. DOI.org (Crossref), https://doi.org/10.1177/0271678X16648711
17. Anile, Carmelo, et al. ‘The Intracranial System: A New Interpretation of the
Monro-Kellie Doctrine’. Archives of Anatomy and Physiology, Apr. 2021,
pp. 001–07. DOI.org (Crossref), https://doi.org/10.17352/aap.000016
19. Khairat A, Waseem M. Epidural Hematoma. [Updated 2022 Aug 7]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518982/
20. Pierre L, Kondamudi NP. Subdural Hematoma. [Updated 2022 Sep 5]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532970/
74
21. Ziu E, Khan Suheb MZ, Mesfin FB. Subarachnoid Hemorrhage. [Updated
2022 Nov 30]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441958/
23. Jha, Ruchira M., et al. ‘Pathophysiology and Treatment of Cerebral Edema
in Traumatic Brain Injury’. Neuropharmacology, vol. 145, no. Pt B, Feb.
2019, pp. 230–46. PubMed Central,
https://doi.org/10.1016/j.neuropharm.2018.08.004.
24. Donkin, James J., and Robert Vink. ‘Mechanisms of Cerebral Edema in
Traumatic Brain Injury: Therapeutic Developments’: Current Opinion in
Neurology, vol. 23, no. 3, June 2010, pp. 293–99. DOI.org (Crossref),
https://doi.org/10.1097/WCO.0b013e328337f451.
27. Jeon, Sang-Beom, et al. ‘Critical Care for Patients with Massive Ischemic
Stroke’. Journal of Stroke, vol. 16, no. 3, Sept. 2014, pp. 146–60. PubMed
Central, https://doi.org/10.5853/jos.2014.16.3.146.
29. Bokhari MR, Mesfin FB. Brain Abscess. [Updated 2022 May 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441841/
75
31. Said S, Kang M. Viral Encephalitis. [Updated 2022 Aug 8]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470162/
33. Hersi K, Gonzalez FJ, Kondamudi NP. Meningitis. [Updated 2022 Aug 14].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459360/
35. Solheim, O., et al. ‘Rapid and Severe Rise in Static and Pulsatile Intracranial
Pressures during a Generalized Epileptic Seizure’. Seizure, vol. 17, no. 8,
Dec. 2008, pp. 740–43. DOI.org (Crossref),
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2008.05.006.
38. Kumar, G., Taneja, A., Kandiah, P.A. (2018). Brain and the Liver: Cerebral
Edema, Hepatic Encephalopathy and Beyond. In: Nanchal, R.,
Subramanian, R. (eds) Hepatic Critical Care . Springer, Cham.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-66432-3_8
39. Peechakara BV, Gupta M. Water Toxicity. [Updated 2022 Jun 27]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537231/
76
vol. 53, no. 2, Dec. 2017, pp. 147–54. DOI.org (Crossref),
https://doi.org/10.20471/dec.2017.53.02.05.
41. Chapman J, Arnold JK. Reye Syndrome. [Updated 2022 Jul 4]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526101/
43. Bramall, Alexa N., et al. ‘Navigating the Ventricles: Novel Insights into the
Pathogenesis of Hydrocephalus’. EBioMedicine, vol. 78, Apr. 2022, p.
103931. DOI.org (Crossref), https://doi.org/10.1016/j.ebiom.2022.103931.
46. Kim, You-Sub, et al. ‘Traumatic Dural Venous Sinus Injury’. Korean
Journal of Neurotrauma, vol. 11, no. 2, 2015, p. 118. DOI.org (Crossref),
https://doi.org/10.13004/kjnt.2015.11.2.118.
77
50. Soler, D., et al. ‘Diagnosis and Management of Benign Intracranial
Hypertension’. Archives of Disease in Childhood, vol. 78, no. 1, Jan. 1998,
pp. 89–94. DOI.org (Crossref), https://doi.org/10.1136/adc.78.1.89.
53. Maule WF. Nausea and Vomiting. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW,
editors. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990. Chapter
84. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK410/
56. Reier, Louis, et al. ‘Optic Disc Edema and Elevated Intracranial Pressure
(ICP): A Comprehensive Review of Papilledema’. Cureus, May
2022. DOI.org (Crossref), https://doi.org/10.7759/cureus.24915.
57. Graham C, Mohseni M. Abducens Nerve Palsy. [Updated 2022 Jul 10]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482177
59. Dinallo S, Waseem M. Cushing Reflex. [Updated 2022 Mar 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549801/
78
vol. 000, no. 000, Sept. 2022, pp. 000–000. DOI.org (Crossref),
https://doi.org/10.14218/ERHM.2022.00081.
63. Jain S. Diplopia: Diagnosis and management. Clin Med (Lond). 2022
Mar;22(2):104-106. doi: 10.7861/clinmed.2022-0045. PMID: 35304368;
PMCID: PMC8966821.
69. Tenny S, Patel R, Thorell W. Mannitol. [Updated 2022 Feb 21]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470392/
70. Mason A, Malik A, Ginglen JG. Hypertonic Fluids. [Updated 2022 May 9].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542194/
79
71. Vrettou, Charikleia S., and Spyros D. Mentzelopoulos. ‘Second- and Third-
Tier Therapies for Severe Traumatic Brain Injury’. Journal of Clinical
Medicine, vol. 11, no. 16, Aug. 2022, p. 4790. DOI.org (Crossref),
https://doi.org/10.3390/jcm11164790.
72. Nag DS, Sahu S, Swain A, Kant S. Intracranial pressure monitoring: Gold
standard and recent innovations. World J Clin Cases. 2019 Jul 6;7(13):1535-
1553. doi: 10.12998/wjcc.v7.i13.1535. PMID: 31367614; PMCID:
PMC6658373.
73. Ragland, Jeremy, and Kiwon Lee. ‘Critical Care Management and
Monitoring of Intracranial Pressure’. Journal of Neurocritical Care, vol. 9,
no. 2, Dec. 2016, pp. 105–12. DOI.org (Crossref),
https://doi.org/10.18700/jnc.160101.
74. Raboel PH, Bartek J Jr, Andresen M, Bellander BM, Romner B. Intracranial
Pressure Monitoring: Invasive versus Non-Invasive Methods-A Review.
Crit Care Res Pract. 2012;2012:950393. doi: 10.1155/2012/950393. Epub
2012 Jun 8. PMID: 22720148; PMCID: PMC3376474.
80
20–27. PubMed Central,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3728775/.
81
91. Bardutzky, Juergen, and Stefan Schwab. ‘Antiedema Therapy in Ischemic
Stroke’. Stroke, vol. 38, no. 11, Nov. 2007, pp. 3084–94. ahajournals.org
(Atypon), https://doi.org/10.1161/STROKEAHA.107.490193.
92. Dostovic, Zikrija, et al. ‘Brain Edema After Ischaemic Stroke’. Medical
Archives, vol. 70, no. 5, Oct. 2016, pp. 339–41. PubMed Central,
https://doi.org/10.5455/medarh.2016.70.339-341.
93. Chen, Sichao, et al. ‘Cerebral Edema Formation After Stroke: Emphasis on
Blood–Brain Barrier and the Lymphatic Drainage System of the
Brain’. Frontiers in Cellular Neuroscience, vol. 15, 2021. Frontiers,
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fncel.2021.716825.
82