Pembimbing
dr. Tanjung Arfaksad Sangkai, Sp.OT
Penyusun:
Oktaferiko Vabriansyah
2017.04.2.00317
Referat dengan judul “Fraktur Siku Pada Anak” ini telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan klinik sebagai Dokter Muda di bagian Ilmu Bedah di RSAL Dr.
Ramelan Surabaya.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan
dan dukungan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan terima kasih
kepada :
Saya menyadari bahwa penyusunan tugas referat ini masih jauh dari
kata kesempurnaan, dengan demikian kritik dan saran selalu saya harapkan.
Besar harapan saya semoga tugas referat ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya serta penulis pada khususnya.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................vi
DAFTAR TABEL............................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3
2.1 Humerus..............................................................................................3
2.1.1 Anatomi........................................................................................3
2.2 Fraktur Siku pada Anak.....................................................................6
2.2.1 Definisi..........................................................................................6
2.2.2 Epidemiologi................................................................................7
2.2.3 Supracondylar Fractures............................................................7
2.2.3.1 Definisi....................................................................................7
2.2.3.2 Epidemiologi..........................................................................8
2.2.3.3 Mekanisme Cedera................................................................8
2.2.3.4 Klasifikasi.............................................................................10
2.2.3.5 Gambaran Klinis..................................................................11
2.2.3.6 Pemeriksaan Radiologi.......................................................12
2.2.3.7 Penatalaksanaan.................................................................17
2.2.3.8 Penanganan Berdasarkan Tipe Fraktur............................29
2.2.3.9 Komplikasi...........................................................................31
2.2.4 Fractures Of The Lateral Condyle...........................................35
2.2.4.1 Definisi..................................................................................35
2.2.4.2 Epidemiologi........................................................................35
2.2.4.3 Mekanisme Cedera..............................................................35
2.2.4.4 Klasifikasi.............................................................................36
2.2.4.5 Gambaran Klinis..................................................................38
2.2.4.6 Pemeriksaan Radiologi.......................................................38
2.2.4.7 Penatalaksanaan.................................................................41
2.2.4.8 Komplikasi...........................................................................41
2.2.5 Fractures Of The Medial Condyle............................................42
2.2.5.1 Definisi..................................................................................42
2.2.5.2 Epidemiologi........................................................................42
2.2.5.3 Mekanisme Cedera..............................................................42
2.2.5.4 Klasifikasi.............................................................................43
2.2.5.5 Gambaran Klinis..................................................................43
2.2.5.6 Pemeriksaan Fisik...............................................................44
2.2.5.7 Pemeriksaan Radiologi.......................................................46
2.2.5.8 Penatalaksanaan.................................................................47
2.2.5.9 Teknik Operasi.....................................................................48
2.2.5.10 Komplikasi...........................................................................50
BAB III KESIMPULAN....................................................................................51
3.1 Kesimpulan.......................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................52
DAFTAR GAMBAR
2.1 Humerus
2.1.1 Anatomi
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi
Pada kasus trauma pada anak, kasus trauma pada sendi siku sendiri
tercatat cukup sering terjadi antara lain disertai dengan fraktur distal humerus
terbanyak dan urutan berikutnya adalah kasus dengan fraktur supracondiler,
fraktur lateral condiler serta diikuti dengan kasus fraktur medial epicondiler.
Angka insidensi menurut usia pada kasus ini terbanyak terjadi pada usia 5-10
tahun. Sedangkan angka insidensi pada kasus ini menurut jenis kelaminnya
adalah kasus pada anak wanita lebih banyak terjadi dari pada kasus pada
anak pria. Rata-rata kasus ini disertai dengan phiseal injuri, alasan kuat untuk
pernyataan ini dikarenakan masih rapuhnya perichondrial ring yang belum
sepenuhnya matang dalam pertumbuhannya (Yoyos, 2015).
2.2.3.1 Definisi
2.2.3.2 Epidemiologi
2.2.3.4 Klasifikasi
(c) (d)
Gambar 2.13 Fraktur Supracondylar Sinar-X menunjukkan fraktur
supracondylar yang semakin meningkat. (a) Undisplaced. (b) Fragmen distal
posterior angulated tetapi dalam kontak. (c) Fragmen bagian terpisah
sepenuhnya dan bergeser ke belakang. (d) Variasi yang lebih jarang dengan
angulasi anterior (Louis S, 2010).
2.2.3.7 Penatalaksanaan
c. Lempeng
Sekrup dapat digunakan tersendiri atau bersama dengan
lempeng/pelat untuk memfiksasi berbagai jenis fraktur.
Lempeng tersedia dalam berbagai rancangan dan ukuran
lempeng yang mungkin memiliki satu atau lebih fungsi yang
berbeda-beda. Russell (1992) membagi berbagai jenis
lempeng menjadi empat kategori fungsional: netralisasi,
kompresi, penunjang, dan jembatan. Lempeng harus difiksasi
ke tulang baik di atas maupun di bawah fraktur (Fenti, 2015).
Infeksi
Perdarahan
Reaksi anastesi
Kehilangan darah berlebih
Selain itu, komplikasi juga akan terjadi bila ada penyakit
penyerta dan gangguan pada proses penyambungan tulang seperti
(Fenti, 2015):
Diabetes
Penyakit jantung atau paru
Penyakit pembekuan darah seperti hemophilia
Obesitas
Pendekatan anterior memiliki keuntungan, terutama jika
berkaitan dengan neurovaskular, yakni memberikan visualisasi
langsung tidak hanya fragmen fraktur namun juga arteri branchialis
dan saraf medianus. Insisi kecil (5cm) sehingga baik secara
kosmetik dibandingkan pendekatan lateral, dan kontraksi jaringan
parut tidak membatasi ekstensi bahu. Apabila terdapat hematom
yang biasanya terbentuk di daerah cubital, dapat dihilangkan
melalui dekompresi anterior. Keuntungan lainnya, baik epikondilus
medialis atau lateralis dapat dipalpasi sehingga dapat meminimalisir
terjadinya malposisi atau malrotasi. Pendekatan anterior
menunjukkan tingkat kekakuan dan komplikasi yang rendah, mirip
dengan penatalaksanaan tertutup. Cubitus varus terjadi sebanyak
33%, kebanyakan terjadi oleh karena reduksi yang tidak adekuat.
Jika reduksi baik, maka angka insiden terjadinya cubitus varus
rendah (I Gusti, 2015).
Pendekatan posterior berhubungan dengan tingginya loss of
range motiondan osteonekrosis yang disebabkan oleh karena
kerusakan suplai arteri posterior menuju trochlea humerus,
sehingga tidak direkomendasikan untuk dilakukan untuk anak kecil
(I Gusti, 2015).
Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf ulnaris dan
kolum medialis dapat terlihat dengan jelas dan secara kosmetik
jaringan parut akan samar oleh karena terletak di bagian dalam
daripada lengan. Namun, kekurangannya kolum lateralis akan sulit
terlihat setelah reduksi (I Gusti, 2015).
a) Fraktur Tipe I
Fraktur suprakondiler yang nondisplaced atau minimal displaced
(< 2 mm) dapat dipasang long arm cast disertai posisi siku berada
dalam posisi fleksi 60° sampai 90° selama kurang lebih tiga minggu.
Adanya impaksi di tulang metafisis medial menandakan bahwa
diperlukan reduksi. Sudut Baumann atau sudut epifisis epikondilus
medialis harus diperiksa bilateral. Jika lebih dari 10° maka diperlukan
Reduksi tertutup and Percutaneous Pinning (CRPP). Pemeriksaan
foto rontgen lanjutan dikerjakan pada minggu pertama dan kedua
untuk menilai adanya pergeseran fragmen fraktur (I Gusti, 2015).
b) Fraktur Tipe II
Penanganan yang optimal dari fraktur tipe II telah mengalami
pergeseran dari yang sebelumnya menggunakan cast untuk
imobilisasi dibanding saat ini yang lebih banyak menggunakan
intervensi operasi. Fraktur suprakondiler humerus tipe II biasanya
merupakan akibat cidera ekstensi, dengan korteks posterior tetap
intak atau nondisplaced. Setelah dilakukan reduksi tertutup dan
casting dengan bahu dalam keadaan fleksi 90-100°. Jika reduksi
tertutup fleksi lebih dari 100° maka perlu percutaneous pinning,
dengan imobilisasi fleksi kurang dari 90° Persentase Humerus bagian
distal dalam proses pertumbuhan tulang adalah sebesar 20 % dan
memiliki kemampuan remodeling yang kecil. Extremitas atas
mengalami pertumbuhan kira-kira sebesar 10 cm selama tahun
pertama kehidupannya, 6 cm pada tahun kedua, 5 cm pada tahun
ketiganya, 3,5 cm pada tahun keempat dan 3 cm pada tahun
kelimanya. Bayi kurang dari 3 tahun memiliki kemampuan remodeling
yang sangat baik sehingga ahli bedah masih dapat menerima fraktur
tipe II yang nonoperatif dimana capitelum berada pada bagian depan
anterior humeral line namun tidak melewatinya. Namun, anak dengan
usia 8-10 tahun masih memiliki pertumbuhan sebesar 10 % pada
bagian distal humerus, sehingga reduksi yang adekuat diperlukan
untuk mencegah terjadinya malunion (I Gusti, 2015).
Alasan lain mengapa tindakan operasi dihindari pada cedera
seperti ini adalah karena hiperfleksi yang diperlukan untuk menjaga
reduksi pada fraktur tipe II tanpa fiksasi dengan pin akan dapat
memicu terjadinya peningkatan tekanan compartmen (I Gusti, 2015).
c) Fraktur Tipe III
Fraktur suprakondiler tipe III adalah jenis fraktur yang bergeser
secara komplit. Penatalaksanaan dimulai dengan penilaian fungsi
perfusi dan saraf. Masalah neurovaskular sering terjadi dan
mengakibatkan perubahan tatalaksana fraktur. Jika anak dengan
fraktur pada siku datang ke Unit Gawat Darurat dengan posisi siku
fleksi atau ekstensi yang ekstrem, posisi lengan harus dikoreksi dan
dilakukan fleksi 30° untuk meminimalisasi gangguan pada vaskular
dan tekanan kompartemen. Jika tidak terdapat masalah dalam
neurovascular, fraktur tipe displaced dapat dibidai sementara
menunggu penanganan lebih lanjut. Closed Reduction Percutaneous
Pinning (CRPP) merupakan pilihan penatalaksanaan untuk fraktur
tipe III. Fraktur displaced suprakondiler yang dilakukan reduksi
tertutup dan casting memiliki insiden terjadinya deformitas lebih tinggi
ketimbang reduksi dan pinning. Sama halnya dengan angka insiden
terjadinya iskemik Volkmann, yang lebih tinggi pada reduksi dan
casting dibanding reduksi dan pinning (I Gusti, 2015).
Khusus pada fraktur kominutif kolum medial yang mungkin tidak
mengalami pergeseran yang dramatis pada fraktur tipe III, tapi pada
fraktur ini memerlukan reduksi terbuka karena kolaps yang terjadi
pada kolum medial akan menyebabkan terjadinya deformitas berupa
varus pada lengan disertai terjadinya pergeseran yang minimal pada
suprakondiler. Reduksi tertutup pinning perkutaneous
direkomendasikan bila fraktur disertai kominutif pada bagian
medialnya, walaupun dengan displaced yang minimal, hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya cubitus varus (I Gusti, 2015).
d) Fraktur Tipe IV
Fraktur tipe IV merupakan fraktur yang tidak stabil dan biasanya
memerlukan penanganan operatif, namun penanganan yang
digunakan adalah reduksi tertutup dalam menangani pasien dengan
fraktur tipe IV. Teknik yang direkomendasikan adalah dengan
menggunakan Kirschner wire yang ditempatkan pada bagian distal
fragmen. Kemudian fraktur direduksi pada bidang anteroposterior dan
dipastikan dengan pemeriksaan imaging. Pada saat melakukan
pemeriksaan imaging bagian lateral, jangan melakukan rotasi pada
lengan, tapi alat fluoroskopinya yang diputar pada bagian lateral.
Kemudian dilakukan reduksi pada bidang sagital, dan Kirschner wire
didorong melampaui fragmen fraktur (I Gusti, 2015).
2.2.3.9 Komplikasi
1. Cidera Saraf
Cidera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan
dengan fraktur displaced suprakondiler, dengan prevalensi berkisar
antara 5-19%. Kerusakan pada saraf medianus berkaitan dengan
pergeseran fragmen distal ke arah posteromedial yang ditandai
dengan sensoric loss pada distribusi persarafan nervus medianus,
disertai dengan motoric loss pada otot-otot yang mendapat inervasi
dari saraf medianus. Penyembuhan fungsi sensorik hingga 6 bulan
sedangkan fungsi motorik membaik dalam waktu 7-12 minggu.
Indikasi eksplorasi adalah fungsi saraf terganggu oleh karena fraktur
terbuka, setelah dilakukan reduksi tertutup pinning perkutan (I Gusti,
2015).
2. Cidera Pembuluh Darah
Prevalensi terjadinya insufiensi pembuluh darah berkaitan
dengan fraktur suprakondiler dilaporkan berkisar antara 5-12%.
Hilangnya pulsasi arteri radialisterjadi pada pasien dengan fraktur
suprakondiler tipe III sekitar 10% - 20%. Hilangnya pulsasi arteri
radialis bukan merupakan suatu kegawatdaruratan, melainkan
urgensi. Hal ini dikarenakan, sirkulasi kolateral masih dapat
memberikan perfusi yang memadai bagi extremitas tersebut. Bila ada
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan fraktur
suprakondiler yang disertai dengan pergeseran yang berat disertai
gangguan vaskular, dilakukan splinting pada siku dengan posisi siku
fleksi 20° - 40°. Stabilisasi fraktur sesegera mungkin dengan reduksi
tertutup dan K-wire, apabila terdapat cidera pada pembuluh darah.
Jika pulsasi sebelum dilakukan reduksi masih teraba, dan kemudian
menghilang setelah dilakukan reduksi dan fiksasi dengan pinning,
maka reduksi terbuka harus segera dilakukan. Reduksi terbuka
melalui pendekatan anterior karena melalui pendekatan tersebut, kita
dapat mengevaluasi struktur vital yang beresiko mengalami
penjeratan diantara fragmen fraktur. Jika arteri berhasil dibebaskan
dari penjeratan diantara fragmen fraktur, spasme yang terjadi pada
arteri akan dapat dikurangi, caranya dengan pemberian lidocaine,
pemanasan, dan dilakukan observasi selama 5-15 menit (I Gusti,
2015).
2.2.4.1 Definisi
Fraktur Kondilus Humeral Lateral adalah fraktur siku pediatrik
paling umum kedua setelah fraktur humerus suprakondil. Fraktur
yang melibatkan kondilus lateral pada kerangka yang belum matang
dapat melewati fisis atau mengikutinya untuk jarak pendek ke
kartilago trochlear. (Christopher, 2017).
2.2.4.2 Epidemiologi
2.2.4.4 Klasifikasi
Tabel 2.2 Klasifikasi Jakob untuk fraktur kondilus lateral (Christopher, 2017).
Jenis Fraktur Tingkat Pergeseran Fraktur
Tipe 1 Pergeseran <2mm, engsel epifisis tulang rawan utuh
Tipe 2 Pergeseran 2-4mm, sendi tergeser tetapi tidak mengalami rotasi
Tipe 3 Pergeseran > 4mm, sendi tergeser dan mengalami rotasi
(A) (B)
Gambar 2.22 Radiografi AP fraktur lateral kondilus Klasifikasi Jakob Tipe 1
(A) dan Tipe 3 (B) (Christopher, 2017).
Pemeriksaan rontgen harus mencakup pandangan oblique atau
jika tidak, fraktur total dapat terlewatkan. Dua jenis patah tulang
dikenali dan diklasifikasikan oleh Milch (Louis S. 2010):
Tipe I: Fraktur lateral trochlea: sendi siku tidak terlibat dan stabil.
Tipe II: Fraktur melalui bagian tengah trochlea: cedera ini lebih
sering terjadi; siku tidak stabil karena jari-jari dan ulna dibawa
bersama dengan fragmen. Fragmen tersebut sering kali
terlantar dan terbalik, dan dapat membawa serta sepotong
triangular metafisis. Ingatlah bahwa fragmen (sebagian
kartilago) jauh lebih besar daripada yang terlihat pada x-ray.
Gambar 2.23 Fraktur kondilus lateral. Jika pergeseran lebih dari 2 mm,
reduksi terbuka dan fiksasi internal adalah pilihan perawatan (Yoyos, 2015).
2.2.4.7 Penatalaksanaan
2.2.4.8 Komplikasi
2.2.5.1 Definisi
2.2.5.2 Epidemiologi
2.2.5.4 Klasifikasi
2.2.5.8 Penatalaksanaan
Gambar 2.31 Posisi flexi siku dan pergelangan tangan dan pemasangan
esmarch dari distal ke proximal dapat membantu reduksi fragmen tulang (A-
C), pemasangan K-wire untuk immobilisasi (D-E) (Komang, dkk. 2017).
2.2.5.10 Komplikasi
3.1 Kesimpulan
Fraktu siku pada anak sering terjadi dan pemahaman tentang pusat
osifikasi di sekitar siku pediatrik sangat penting untuk menilai dan mengelola
cedera umum dengan benar. Namun, dengan penilaian yang cermat dan
akurat serta penanganan awal yang baik menjadi penting agar mencegah
terjadinya gangguan vaskular atau peningkatan tekanan kompartemen dan
pemulihan anatomi normal yang tepat, hasil setelah cedera ini biasanya
menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Yoyos Dias Ismiarto. Fraktur Dan Dislokasi Sendi Siku Pada Anak.
Departemen / SMF Orthopaedi Dan Traumatologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. 2015.