Pembimbing :
dr. Lukman Ariwibowo , spKK
Penyusun :
Anggita Kusuma Maudi Siregar
20190420051
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui ,
Pembimbing
IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. Wernawati
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Mojokerto
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Menikah
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 29 Januari 2020
ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Timbul beberapa benjolan di kedua lengan
2. Keluhan Tambahan
Benjolan terasa nyeri bila tersenggol
5. Riwayat Psikososial
Penderita mandi teratur 2x sehari memakai sabun mandi
batang dan menggunakan air PDAM.
Penderita mengganti pakaian yang digunakan sehari – hari
2x dan memakai handuk sendiri tidak bergantian dengan
anggota keluarga lain.
Lingkungan tempat tinggal penderita cukup bersih, namun
tetangga ada yang menderita penyakit kusta. Pasien tinggal
bersama suaminya.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit
Kesadaran : Compos Mentis
Status gizi : cukup
Tekanan darah : 100/85
Nadi : 89x/menit
Laju respirasi : 22x/menit
Suhu tubuh : 36,5c
GCS : 456
Kepala dan Leher : Dalam batas normal
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas :Dalam batas normal
Status Dermatologi
1. Lokasi manus dextra
Efloresensi : Multiple nodul eritematous.
2. Lokasi : Anterbrachii sinistra
Efloresensi : macula eritematous dengan ulkus disertai
krustae dan skuama diujungnya, terdapat juga nodul, erosi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan BTA ( saat MRS tanggal 19 januari 2020)
RESUME
Anamnesa
Pasen pernah didiagnosa kusta pada tahun 2014 dengan
keluhan bercak putih lebih dari 5cm didaerah punggung bagian
kanan dan dinyatakan sembuh pada tahun 2015, lalu mulai timbul
lesi sejak tahun 2017 hingga sekarang disertai dengan demam
dan mual ,lesinya hilang timbul, pasien mengatakan sudah
kembali MRSsebanyak 16x dengan keluhan yang sampai
/sekarang.
V.DIAGNOSA KERJA
Reaksi Kusta Tipe 2.
VII. PENATALAKSANAAN
1. Planning Diagnosa :
Cek BTA ulang
POD
2. Planning Terapi :
Medikamentosa:
Oral : - Prednison 40mg diberikanselama dua minggu,
lalu pasien harus control kembali untuk dilakuak
POD jika membaik tapering off.
- Lamprene 300mg/hari, tapering off, sesuai
skema
-Amoxicilin 500mg diberikan 3x sehari
Topikal :-
Non Medikamentosa:
- Disarankan beristirahat
- Menjelaskan bahwa penyakit ini dapat kambuh lagi jika
daya tahan tubuh penderita menurun
- Penyuluhan kepada pasien, keluarga, dan masyarakat
- Konsulkan keluhan ke dokter jika timbul lagi.
3. Planning Monitoring
- Keluhan penderita berkurang, tetap atau makin
bertambah berat.
- Perkembangan perluasan lesi. Lesi meluas atau
menetap atau mulai berkurang
4. Planning Edukasi
- Menyarankan agar penderita makan makanan yang
seimbang untuk meningkatkan daya tahan tubuh
sehingga proses penyembuhan dapat lebih cepat.
- Mengingatkan penderita meminum obat secara teratur
dan disiplin agar proses penyembuhan dapat berjalan
lancar.
VIII. PROGNOSA
Dubia ad bonam
Morbus Hansen
A. Definisi
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi granulomatous kronik
progresif yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama
mengenai kulit dan sistem saraf perifer. Penyakit ini mempunyai
afinitas utama yaitu saraf tepi, kemudian kulit, dan jaringan lain seperti
sistem retikulo-endotelial, tulang, persendian, membran mukosa,
mata, testis, otot, dan kelenjar adrenal.
B. Sinonim
Lepra, Morbus Hansen.
C. Epidemiologi
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita,
dengan perbandingan 2:1, dengan kelompok umur terbanyak usia
25-35 tahun. Anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Kuman
dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air
susu ibu, jarang didapat di dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung Mycobacterium leprae yang berasal dari traktus
respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi
pertama.
Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita
tinggal bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak
baik laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun pada orang
dewasa pria lebih sering terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan
memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium leprae. Kusta
hanya dapat ditularkan oleh penderita yang fase lepromatus leprosi.
Masa tunas kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40
tahun, umumnya 3-5 tahun. Kusta bukan merupakan penyakit
keturunan, penyakit kusta dapat menyerang semua umur baik anak-
anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah
umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi anak di bawah umur 1
tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia
1 tahun penting dilakukan untuk mencari kemungkinan ada tidaknya
kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang
dengan usia 25-35 tahun.
D. Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae ditemukan
oleh G.A Hansen pada tahun 1873 yang sampai sekarang belum
dapat dibiakkan dalam media artifisial. Mycobacterium leprae
berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5 biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu.
Laki-laki lebih sering terkena daripada wanita. Penularan bakteri
ini bisa melalui infeksi droplet melalui hidung.
E. Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh
masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh dan melalui mucosa nasal. Pengaruh M. leprae
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu
regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama
terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada
dermis atau sel Schwan di j aringan saraf. Bila kuman M. leprae
masuk dalam tubuh dan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal
dari sel monosit darah, sel mononuclear, histiosit).
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae,
di samping itu sel schwan berfungsi sebagai dieliminasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan
imunitas tubuh dalam sel schwan, kuman dapat bermigrasi dan
beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi
kerusakan yang progresif. Infeksi M. Lepra tergantung pada Status
Imunitas Sistem Imun Seluler (SIS) yang dapat diketahui melalui kadar
CMI, kemampuan hidup M. Lepra pada suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi yang lama bersifat avirulen dan nontoksik.
F. KLASIFIKASI
Jenis Klasifikasi yang umum
KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatos
a
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
PB MB
Lesi Kulit - 1-5 lesi - >5 lesi
(makula datar, - hipopigmentasi / eritema
papul yang meninggi, - distribusi tidak asimetris - distribusi lebih simetris
nodus) - hilangnya sensasi yang - hilangnya sensasi kurang
jelas jelas
G. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran Klinis organ tubuh lain yang dapat diserang :
1. Mata : Iritis,Iridosiklitis, gangguan visus sampai
kebutaan
2. Hidung : Epistaksis, hidung pelana.
3. Tulang dan sendi : Absorbsi,mutilasi, arthritis
4. Lidah : ulkus, nodus
5. Testis : ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi
6. Kelenjar Limfe : Limfadenitis
7. Rambut : Alopesia, Madarosis
8. Ginjal : Glomerulonefritis, amilodosis ginjal,
piolonefritis, nefritisinterstisial
I. PEMERIKSAAN
1. Anamnesis
a. Keluhan pasien
b. Riwayat kontak dengan pasien
c. Latar belakang keluarga,misalnya keadaan sosial ekonomi
(lahir dan tinggal dimana?)
d. Riwayat pengobatan sebelumnya
2. Pemeriksaan Fisik
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan fisik
sebagai berikut:
Inspeksi
Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya
makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit,
dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis). Pasien
diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah.
Pemeriksaan Sensibilitas
Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit
sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit
yang lain. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya
anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis,
meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap
rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut
barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin
dengan menggunakan 2 tabung reaksi.
Pemeriksaan Fungsi Saraf Tepi
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, penebalan, dan nyeri tekan. Beberapa saraf superfisial
yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis
magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis,
dan N. tibialis posterior. Bagi tipe lepramatosa kelainan saraf
biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat
lesinya.Gejala-gejala kerusakan saraf:
o N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan
jari manis;clawing kelingking dan jari manis; atrofi hipotenar
dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
o N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu
jari, telunjuk, dan jari tengah; tidak mampu aduksi ibu
jari;clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah; ibu jari
kontraktur; atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
o N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal
jari telunjuk; tangan gantung (wrist drop); tak mampu
ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
o N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral
dan dorsum pedis; kaki gantung (foot drop); kelemahan otot
peroneus.
o N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki;claw toes;
paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis.
o N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik);
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan
bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal).
o N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva
mata.
3. Palpasi
a. Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya
pada tangan dan kaki
b. Kelainan saraf : Pemeriksaan saraf dengan teliti, N. Aurikularis
magnus, N.Ulnaris dan N.Peroneus. Harus dicatat adanya nyeri
tekan dan penebalan saraf, pemeriksaan harus simetris .
Pemeriksaan saraf tepi :
Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
Membesar atau tidak
Pembesaran regular (smooth) atau irreguler,bergumpal
Perabaan keras atau kenyal
Nyeri atau tidak
4. Tes fungsi saraf Autonom
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom
perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas
dan dapat pula tidak, yang dipertegas menggunakan pensil tinta
(tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke
arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal
akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi.
Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang
kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang
memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannya.
Kekeringan ini terjadi karena adanya infiltrasi granuloma ke dalam
adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan
folikel rambut
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA, antara
lain denganZiehl Nielsen. Pertama-tama harus ditentukan lesi di
kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, setelah terlebih
dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi
lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tanpa menghiraukan
ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas
dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung
kuman paling banyak.
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus
(fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman
hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk
mati.Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid
pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB)
dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
Indeks Bakteri
Indeks Bakteri Keterangan
0 Tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
(LP).
1+ 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae,
yaitu antibodi anti-phenolic glycolipid-1 dan antibodi antiprotein 16
kD serta 35 kD. Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat
membantu diganosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis
dan bakteriologik yang tidak jelas. Disamping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis. Macam-macam pemeriksaan serologik
kusta ialah: Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination),
Uji ELISA (Enzyme Linked Imnnuno-sorbent Assay), ML
dipsticktest, ML flowtest.
Tes Lepromin
Meskipun tidak diagnostik pada paparan atau infeksi M.
leprae, tes ini menilai kemampuan pasien untuk meningkatkan
respon granulomatosa terhadap suntikan kulit terhadap M. leprae
yang mati. Pasien kusta tuberkuloid atau borderinelepromatous
biasanya memiliki respon positif (> 5 mm). Pasien kusta
lepromatosa biasanya tidak ada respon.
K. KOMPLIKASI
Reaksi Kusta
Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya
reaksi kusta antara lain :
Setelah pengobatan antikusta yang intensif
Infeksi rekuren
Pembedahan
Stress fisik
Imunisasi
Kehamilan
Saat-saat setelah melahirkan
Fenomena Lucio
Lucio leprosy (diffuse non-nodular type of leprosy ) yang
ditetapkan pertama kali oleh Lucio dan Alvarado pada tahun 1852
di mexico adalah salah satu tipe dari kusta dengan gambaran
klinik kusta tipe muiltibasiler.Gambaran klinis lcio leprosy
umumnya status generalis tidak ditemukan kelainan, kulit terlihat
eritem yang menebal dan mengkilat, kerontokan rambut,
penebalan kelopak mata sehingga penderita terlihat mengantuk
dan melankolik.Penurunan sensoris terjadi biasanya setelah
kelainan kulit menghilang. Sama seperti pada kusta tipe
lepromatosa dapat terjadi edema dan ulkus pada kedua tungkai.
Ulserasi juga dapat terjadi pada mukosa hidung
menyebabkan gejala-gejala hidung dan epistaksis, mengenai
laring sehingga suara menjadi serak dan iktiosis pada fase lanjut.
Namun demikian tidak terdapat nodul, kelemahan motorik,
kontraksi jari-jari dan kerusakan mata.
Pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan anemia
normokrom normositer ringan dan pada pemeriksaan bubur
jaringan kulit dengan pewarnaan Zeihl Neelsen ditemukan banyak
basil tahan asam. Kerusakan akibat kusta dapat menyebabkan
ulserasi, selulitis, skar da destruksi tulang.Kerusakan pada mata
dapat terjadi lagoftalmus, ectropion dan entropion.
Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0:
Tidak ada gangguan sensibilitas,tidak ada kerusakan atau deformitas
yang terlihat
Tingkat 1:
Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2:
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 :
Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta;tidak ada gannguan
penglihatan
Tingkat 1 :
Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan
Tingkat 2 :
Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60;tidak dapat menghitung jari
pada jarak 6 meter
L. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding :
Ada macula hipopigmentasi
Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
Ada daerah anestesi
Ada pembengkaan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
Diagnosa bandingnya:
o Tinea versikolor
o Tinea Corporis
o Psoriasis
o Erupsi obat
M. PENATALAKSANAAN
Pengobatan kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini
adalah DDS (Diamino difenil sulfon) atau Dapson, kemudian
Klofazimin, dan Rifampisin. Untuk mencegah resistensi, mulai
tahun 1997 WHO menetapkan pengobatan menggunakan MDT
(Multi Drug Treatment). Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk
mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa
pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai
penularan.3
Penatalaksanaan kusta adalah MDT, standar WHO (1997):
a. Tipe MB (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA
positif):
1) Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam
pengawasan
2) DDS 100 mg/hari
3) Klofazimin 300 mg tiap bulan, dalam pengawasan,
diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari
atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis
dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat bakterioskopis
harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, harus
dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama
pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap
bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan.
Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta MB ini hanya
selama 2 sampai 3 tahun.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release
From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak
lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakteriologis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau
bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan
baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan dan
disebut Release From Control (RFC). Saat ini apabila
secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian
obat dapat dihentikan, tanpa memperhatikan
bakterioskopis.
b. Tipe PB (I, TT, BT, dengan BTA negatif):
1) Rifampisin 600 mg setiap bulan
2) DDS 100 mg/hari.11
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan
sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama
pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.
Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif,
maka dinyatakan RFC.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan
pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu PB
dengan lesi tunggal, PB dengan lesi 2-5 buah, dan penderita
MB dengan lesi >5 buah. Sebagai standar pengobatan, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa
pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18
bulan, sedangkan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah
tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi
tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah
dengan Ofloksasin 400 mg, dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis
tunggal.
Regimen obat baru yang disarankan untuk kusta pada tahun
2009 oleh "WHO Report of the Global Programme Managers’
Meeting on Leprosy Control Strategy" adalah sebagai berikut:
Untuk pasien MB yang masih peka rifampisin, regimen bulanan
sepenuhnya diawasi mencakup: Rifapentin 900 mg (atau
rifampicin 600 mg), moksifloksasin 400 mg, dan klaritromisin 1000
mg (atau minocycline 200 mg) selama 12 bulan. Untuk pasien
yang resisten terhadap rifampisin, fase intensif dapat mencakup
moksifloksasin 400 mg, klofazimin 50 mg, klaritromisin 500 mg,
dan minocycline 100 mg per hari diawasi selama enam bulan.
Fase lanjutan terdiri moksifloksasin 400 mg, klaritromisin 1000
mg, dan minocycline 200 mg sebulan sekali, diawasi selama 18
bulan.
Penatalaksanaan untuk pasien kasus Reaksi:
Obat anti reaksi adalah prednisone untuk
penanganan/pengobatan reaksi, Lamprene digunakan untuk
reaksi ENL yang berulang. Cara pemberian obatnya adalah
sebagai berikut:
B. NON MEDIKAMENTOSA
Edukasi :
- Pasien harus diberi penjelasan tentang diagnosis dan
prognosis penyakitnya.
- Mengetahui kapan terjadinya anestesi pada anggota tubuh
dan kelemahanya serta kerusakan pada matanya.
- Pasien harus mempelajari bagaimana mengenal timbulnya
reaksi kusta dan ia harus mendapatkan pengobatan
secepatnya jika hal ini terjadi.
- Deforrmitas yang potensial kemungkinan biasa dicegah jika
penderita dapat mengatasi kerusakan saraf sejak dini dan
berlatih untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut.
- Fisio terapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai
rehabilitasi.
- Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara
pemakaian, jangan terlalu berlebihan karena dapat
menyebabkan iritasi
DAFTAR PUSTAKA