Anda di halaman 1dari 21

RESPONSI

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


TINEA PEDIS

Pembimbing
dr. Lukman A., Sp. KK

Penyusun :
Fifin Yuliya candra pangestika 20190420019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM HAJI SURABAYA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan responsi yang
berjudul “TINEA PEDIS” sebagai tugas kepaniteraan klinik di RSAL dr.
Ramelan Surabaya.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Lukman A., Sp. KK. selaku dokter
pembimbing yang memberi arahan serta masukan kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan responsi ini.
Dalam penulisan responsi ini penulis menyadari adanya
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga
responsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat diperlukan untuk kesempurnaan responsi ini. Akhir kata,
semoga responsi ini berguna bagi kita semua. Atas perhatiannya, penulis
mengucapkan terima kasih.

Surabaya, 22 Oktober 2019

Penulis

i
LEMBAR PEGESAHAN RESPONSI
TINEA PEDIS

Responsi ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai salah


satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSAL dr. Ramelan Surabaya,
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah.

Surabaya, 22 Oktober 2019


Mengesahkan,
Pembimbing

dr. Lukman A., Sp. KK.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i
LEMBAR PEGESAHAN RESPONSI..................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB 1 LAPORAN KASUS..............................................................................1

1.1 IDENTITAS PASIEN.................................................................................1

1.2 SUBYEKTIF..............................................................................................1

1.3 PEMERIKSAAN FISIK..............................................................................2

1.4 RESUME...................................................................................................2

1.5 DIAGNOSIS..............................................................................................3

1.6 PLANNING................................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................6

2.1 Definisi......................................................................................................6

2.2 Epidemiology............................................................................................6

2.3 Etiologi dan Patofisiology..........................................................................7

2.4 Faktor Resiko............................................................................................7

2.5 Gejala Klinis..............................................................................................8

2.6 Diagnosis................................................................................................11

2.7 Diagnosis Banding..................................................................................12

2.8 Pencegahan dan Pengendalian.............................................................12

2.9 Penatalaksanaan....................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................15

iii
BAB 1
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny SK
Usia : 43 th
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal pemeriksaan : 11 oktober 2019

1.2 SUBYEKTIF
 Keluhan Utama
kulit kaki terasa tebal dan pecah - pecah
 KT
Kadang disertai gatal
 RPS
Pasien mengeluh kulit telapak kakinya terasa tebal dan pecah –
pecah sejak sekitar 2 tahun yang lalu mulai dari jari - jari kakinya
sampai dengan tumit, terkadang disertai gatal tetapi jarang sekali
dan kalau sudah timbul pecah – pecah terasa perih, pasien
memiliki kebiasaan kalau selesai mandi selalu menggosok telapak
kakinya dengan sikat baju menggunakan deterjen, pasien juga
memiliki kebiasan kebersihan yang buruk sepeti kaos kaki yang di
pakai sehari – hari jarang di cuci sehingga menyebabkan
kelembapan pada kakinya.
 RPD:
HT : (-) DM : (-)
Asma : (-) Alergi : (-)
Riwayat penyakit serupa : (-)

1
 RPK:
HT : (-) DM : (-)
Asma : (-) Alergi : (-)
Riwayat penyakit serua (-)
 Riwayat Pengobatan : Pasien sempat kontrol ke poli akan tetapi
lupa obat apa yang di beikan
 Riwayat Psikososial
Pada saat beraktivitas di luar rumah pada siang hari pasien sering
menggunakan sepatu yang tertutup.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran : Compos mentis
GCS : 456
Vital Signs :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C (aksiler)
Pemeriksaan Internistik
Kepala : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal

2
Status Dermatologis :

Lokasi : regio pedis


Effloresensi : tampak lesi hiperkeratotik,skuama dan disertai
dengan fisura pada regio plantar pedis dekstra et sinistra,
interdigiti 1,2,3,4 dan digiti 1,2,3,4,5.

1.4 RESUME
 Subjektif
- Kulit telapak kaki terasa tebal dan pecah – pecah
- Sempat gatal tetapi jarang sekali
- Memiliki kebiasaan sehabis mandi telapak kakinya digosok dengan
sikat baju dengan menggunakan deterjen
- Kaos kaki yg jarang dicuci

3
 Objektif
- Lokasi : regio pedis
- Effloresensi : tampak lesi hiperkeratotik pada regio plantar
pedis dekstra et sinistra disertai dengan fisura, lesi hiperkeratotik
pada interdigiti 1,2,3,4 disertai dengan fisura.

1.5 DIAGNOSIS
 Diagnosis
Tinea Pedis
 Diagnosis Banding:
 Dermatitis Kontak Iritan
 keratoderma

1.6 PLANNING
 Diagnostik : Pemeriksaan KOH
 Terapi
 Medikamentosa
Obat topikal :
 Ketokonazole cream 2x/hari
Obat Sistemik
 Loratadine tab 10mg 1x/hari
 Griseofulvin 500mg 1x/hari

 Non-medikamentosa
 Menjaga kebersihan (Hygiene)
 Menjaga daerah lesi selalu kering
 Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang menyerap
keringat
 Ganti kaos kaki secara rutin
 Jangan menggunakan sepatu terlalu ketat
 Monitoring
 Mengevaluasi perkembangan perluasan lesi. Lesi meluas
atau menetap atau mulai berkurang
 Mengevaluasi adanya infeksi sekunder

4
 Mengevaluasi efek samping obat
 Mengevaluasi kepatuhan berobat
 Edukasi

 Menyarankan kepada penderita supaya mengurangi


kelembapan kaki dengan mengeringkan kaki setelah mandi
dan cuci kaki, tidak menggunakan sepatu terlalu ketat,
menggunakan sandal bila berpergian, menggunakan kaos
kaki dari bahan katun yang menyerap keringat.
 Memberitahukan kepada penderita agar jangan menggaruk
bercak saat terasa gatal agar kulitnya tidak terluka dan
memicu terjadinya infeksi sekunder
 Mengingatkan penderita untuk memakai obat secara teratur
serta segera kontrol saat obat habis

5
RSAL dr.RAMELAN SURABAYA

Jl. Gadung No.1

dr. Xxxx

SIP. 1234567890

Surabaya, 22 Oktober 2019

R/ Gliseofulvin tab 500mg N0. XXI

∫1dd1

R/ Loratadine tab 10mg No. V

∫1dd1

R/ cream ketokonazol 2% tube 10g No. V

∫u.e 2dd applic part dol m.et.v

Pro :

Usia :

Alamat :

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit kronik yang pertama kali menyerang susunan
saraf perifer, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran
pernapasan bagian atas, kemudian dapat keorgan lain kecuali susunan saraf
pusat. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
7
yang menemukannya yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Tiarasari, 2014).

2.2 Epidemiology
Tinea pedis dan tinea manus adalah bentuk dermatofitosis yang
paling umum. Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamur
yang menyebabkan Tinea pedis. Sistem kekebalan tubuh masing-masing
orang menentukan apakah hasil infeksi dari eksposur tersebut. Sebagai
orang usia dewasa, retak kecil berkembang di kulit kaki, meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi tinea.
Prevalensi Tinea pedis sekitar 10%, terutama disebabkan oleh
penggunaan alas kaki yang oklusif di masa modern. Indonesia termasuk
wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat ditemukan
hampir di semua tempat. Insidensi penyakit jamur yang terjadi diberbagai
rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%,
meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum. Insidensi tinea
pedis lebih tinggi pada penggunaan secara rutin kamar mandi dan kolam
renang yang dipakai secara bersama – sama (Djuanda A, 2013).

2.3 Etiologi dan Patofisiology


Tinea pedis disebabkan oleh Trichophyton rubrum (umumnya),
Trichophyton mentagrophytes, Epidermophyton floccosum. Namun,
penyebab utama dari setiap pasien rumit dengan adanya jamur saprofit, ragi
dan /bakteri. Telah di observasi bahwa 9% dari kasus tinea pedis diakibatkan
oleh agen infeksi selain dermatofit. Karakteristik dari T.rubrum menghasilkan
jenis yang relatif tidak ada peradangan dari dermatofitosis dengan eritema
kusam dan sisik keperakan yang melibatkan seluruh telapak kaki dan sisi
kaki menampilkan moccasin. Erosi juga terbatas pada infeksi jamur pada jari
kaki atau bawah jari kaki, kadang-kadang bersisik dan meluas sampai pada
badan, gluteus, dan extremiti. Individu dengan imun yang rendah mudah
terkena infeksi, HIV/AIDS, transplantasi organ, kemoterapi, steroid dan
nutrisi parenteral diakui dapat menurunkan resistansi pasien terhadap infeksi
dermatofitosis. Kondisi seperti umur, obesitas, diabetes melitus juga
mempunyai dampak negatife terhadap kesehatan pasien secara

8
keseluruhan dan dapat menurunkan imunitas dan meningkatkan terjadinya
tinea pedis. Diabetes melitus itu sendiri dikategorikan sebagai penyebab
infeksi, pasien dengan penyakit ini 50% akan terkena infeksi jamur. Secara
histologi, hiperkeratotis tinea pedis memiliki karakteristi berupa akantosis,
hiperkeratosis, dan infiltrasi perivaskular yag dangkal, kronik dan dapat
menyebar pada dermis. Bentuk vesicle-bula menampilkan spongiosis,
parakeratosis, dan subkornea atau spongiosis intraepitel vesiculasi dengan
kedua tipe, foci dari neutrofil biasanya dapat dilihat pada daerah stratum
korneum. PAS atau pewarnaan silver methenamine menampilkan organisme
jamur (Chamlin L et al, 2008 dan Kumar V et al, 2011).

2.4 Faktor Resiko


Tinea pedis dipengaruhi dengan beberapa keadaan seperti iklim
tropis, banyak keringat, dan lembab. Penyakit ini banyak diderita oleh orang-
orang yang kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja di tempat
panas, yang banyak berkeringat serta di tempat yang memiliki kelembaban
kulit yang tinggi (William et al., 2016).

Infeksi tinea pedis juga menyerang berbagai tingkat pekerjaan,


khususnya pekerjaan yang menuntut pemakaian sepatu yang ketat dan
tertutup, bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena
mekanis, dan paparan terhadap jamur merupakan faktor predisposisi yang
menyebabkan tinea pedis (Hakim, 2013).

Kurangnya kebersihan memegang peranan penting terhadap infeksi


tinea pedis. Keadaan gizi kurang akan menurunkan imunitas seseorang dan
mempermudah seseorang terjangkit tinea pedis (Napitupulu, et al., 2016).

2.5 Gejala Klinis


 Interdigitalis
 Diantara jari 4 dan 5 terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan
tipis.
 Dapat meluas ke bawah jari(subdigital) dan ke sela jari yang lain.

9
 Sering terlihat maserasi. Aspek klinis berupa kulit putih dan rapuh.
Dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi
selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan dapat pula terjadi erisipelas
(Al Hasan, 2004).

Gambar 2.1 Tinea pedis interdigitalis

Gambar 2.2 Tinea Pedis Interdigitalis

10
 Moccasin Foot
 Pada seluruh kaki, dari telapak kaki, tepi sampai punggung kaki,
terlihat kulit menebal dan bersisik halus dan seperti bedak
 Eritema biasanya ringan dan terlihat pada bagian tepi lesi
 Tepi lesi dapat dilihat papul dan kadang-kadang vesikel (Al
Hasan, 2004).

Gambar 2.3 Tinea pedis tipe moccasin

 Vesiculo bulosa
 Diakibatkan karena T.mentagrophytes
 Diameter vesikel lebih besar dari 3mm
 Jarang pada anak-anak, tapi etiologi yang sering terjadi pada
anak-anak adalah T.rubrum
 Vesikel pustul atau bula pada kulit tipis ditelapak kaki dan area
periplantar (Al Hasan, 2004).

11
Gambar 2.4 Tinea pedis tipe vesiculobulosa

 Tipe Akut Ulserasi


 Mempengaruhi telapak kaki dan terkait dengan maserasi,
penggundulan kulit
 Ko infeksi bakterial ganas biasanya dari garam negative
kombinasi dengan T.mentagrophytes menghasilkan vesikel
pustule dan ulcer bernanah yang besar pada permukaan plantar
(Al Hasan, 2004).

Gambar 2.5 Tinea pedis tipe akut ulcerasi

12
2.6 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan menggunakan lampu wood (William et
al., 2016).
 KOH
Diagnosis klinis infeksi dermatofita dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan mikroskopik, tetapi pemeriksaan mikroskopis tidak dapat
mengidentifikasi agen infeksius. Sampel kulit diambil dengan kerokan
dari telapak kaki, tumit, dan sisi kaki. Pada pemeriksaan ini, dermatofit
memiliki septa serta cabang hifa pada preparat KOH 10-20% (William
et al., 2016).

Gambar 2.6 KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)


 Kultur
Identifikasi fungi superfisial didasarkan pada makroskopik,
mikroskopis dan karakteristik metabolisme dari organisme.
Sabourad’s Dextrose Agar (SDA) merupakan medium isolasi yang
paling umum digunakan karena menampilkan deskripsi morfologi
(Vhisnu et al., 2015).
 Lampu Wood
Pemeriksaan dengan lampu wood (365nm) dapat menunjukkan
flourescence pada jamur patogen tertentu. Pada tinea pedis
ditemukan flouresensi negatif di luar eritrasma pada infeksi interdigital
(Vhisnu et al., 2015).

2.7 Diagnosis Banding


Tinea pedis harus dibedakan dari beberapa penyakit lain di kaki
13
sebagai diagnosis banding diantaranya adalah :
 DERMATITIS KONTAK IRITAN
Dermatitis kontak iritan adalah suatu peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh kerusakan langsung ke kulit setelah terpapar agen
berbahaya. Dermatitis kontak iritan dapat disebabkan oleh tanggapan
phototoxic misalnya tar, paparan akut zat-zat (asam, basa) atau
paparan kronis kumulatif untuk iritasi ringan (air, detergen, bahan
pembersih lemah) (NIOSH, 2010).
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat
iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumnas, asam, alkali
dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh
ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum,
juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama
kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi
menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan
trauma fisik. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan
(Djuanda, 2013).
 KERATODERMA
Keratoderma palmoplantar mempunyai tanda yang khas, yakni
pembentukan keratin pada telapak tangan dan kaki yang berlebihan.
Gejala klinisnya tampak hiperkeratosis telapak tangan dan kaki
terutama pada tumit pada masa klimakterium. Pada tempat – tempat
hiperkeratosis sering disertai fisura (Djuanda, 2013).

2.8 Pencegahan dan Pengendalian


Jamur penyebab tinea pedis menyukai bagian kulit yang lembap dan
basah. Pemakaian sepatu yang sangat tertutup dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan keringat berlebih sehingga menambah kelembapan di
daerah sekitar kaki. Pemakaian kaus kaki berbahan tidak menyerap keringat
juga dapat menambah kelembapan kulit kaki (William et al., 2016).

Menjaga kaki agar tetap kering dan bersih merupakan metode


terbaik untuk pencegahan. Metode lain yang cukup baik adalah

14
menggunakan sepatu dengan aliran udara yang baik dan tidak ketat (William
et al., 2016).

Penggunaan bedak antiseptik di kaki terutama sela – sela jari


sangatlah dianjurkan untuk mencegah terjadinya tinea pedis. Bedak
Tolnaftate (Tinactin) atau bedak Zeasorb, tepung beras, tepung maizena
dapat diberikan di kaki, kaos kaki, dan sepatu untuk menjaga agar kaki tetap
kering (William et al., 2016).

2.9 Penatalaksanaan
 Topikal
Indikasi: lesi tidak luas pada tinea pedis ringan
 Salep Whitfield 2x/ hari (AAV I  asidum salisilikum 3% + asidum
benzoikum 6%) (AAV II  asidum salisilikum 6% + asidum benzoikum
12%)
 Salep 2-4 / 3-10 2x/ hari (asidum salisilikum 2-3% + sulfur presipitatum
4-10%)
 Krim Mikonasol 2x/ hari
 Krim ketoconazole 2x/hari
Pengobatan umumnya minimal selama 3 minggu (2 minggu sesudah KOH
negatif atau klinis membaik), untuk mencegah kekambuhan pada obat
fungistatik (Dwi, 2009)

 Sistemik
Indikasi: tinea pedis luas/sering kambuh/tidak sembuh dengan obat topikal
 Griseofulvin
o Bersifat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur
dengan mengikat mikrotubuler dalam sel
o Dosis dewasa 500 mg selama 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas
atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.
o Dosis anak 10-25 mg/kg/hari
o Efek samping berupa sepalgia (15%), nausea, vomiting,
fotosensitif, dan gangguan fungsi hepar (Djuanda A, 2013).
 Ketoconazole

15
o Merupakan turunan imidazole, obat anti jamur oral berspektrum
luas.
o Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin.
o Bersifat fungistatik. diberikan 200mg/hari selama 2-4 minggu pagi
hari setelah makan.
o Bersifat hepatotoksik (Djuanda A, 2013).
 Itrakonazol
o Merupakan turunan tiazole, obat anti jamur oral berspektrum luas
yang menghambat pertumbuhan jamur dengan menghambat
sitokrom p450 dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan
komponen penting pada dinding sel jamur.
o Sebagai pengganti ketoconazole yang hepatotoksik.
o Dosis dewasa 200 mg selama 1 minggu , dosis dapat dinaikkan
100 mg bila tidak ada perubahan tapi tidak boleh melebihi 400 mg/
hari.
o Dosis anak 5 mg/kgBB/hari selama 1 minggu (Djuanda A, 2013).
 Terbinafine
o Bersifat fungisidal, sebagai ganti griseofulvin.
o Dosis 62,5-250 mg/hari tergantung berat badan selama 2 – 3
minggu
 Anak : 3-6mg/kgBB/hari
 12-20kg : 62,5 mg/hari
 20-40kg : 125 mg/hari
 dewasa : 250 mg/hari (Djuanda A, 2013).
 Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder (Budimulja, 2015).

16
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6 thedition. Jakarta; Fk-UI.,2013

Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. Fitzpatrick’s Dermatology in General


Medicine. Tinea Pedis. 7th edition.2. New York; McGraw-Hill Medicine
2008; 697

Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. Asian journal of medical


science. Tinea Pedis, 2011; p134- 135

Claire J. Carlo, MD, Patricia MacWilliams Bowe, RN, MS. Tinea


Pedis(atheletefoot)http://www.bhchp.org/BHCHP
%20Manual/pdf_files/Part1_PDF/TineaPedis.pdf

Al Hasan. M., Fitzgerald.S.M., Saoudian. M., et al., Dermatology for the


practicing allergist : Tinea pedis and its complicatios. BioMedCentral.
2004.

Kurniati, C.R., Jurnal Etiopatogenesis Dermatofitosis. 2008. Vol. 20. No.3

Widaty Sandra, Budimulja Unandar. 2015. Dermatofitosis: Ilmu Penyakit


Kulit Dan Kelamin: Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Wolff Klaus, Goldsmith A Lowell, Katz I Stephen, dkk. 2008. Superficial


Fungal Infection: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7 th
edition. Mc Graw Hill Medical.

James WD, Berger TG, Elston DM. 2010. Andrew’s Diseases of the Skin
Clinical Dermatology 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.

American Academy of Dermatology, 2016. Athlete’s foot: How to prevent.


Dapat diakses di https://www.aad.org/public/diseases/contagious-skin-
diseases/athlete-s-foot-how-to-prevent/

Dwi et all. 2009. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin, ed 2. Surabaya:


DEP/SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unair/ RSUD Dr Soetomo.

Menaldi, Sri Linuwih S. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed ketujuh.
Jakarta: Badan penerbit FKUI.

17

Anda mungkin juga menyukai