Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

STROKE

DI SUSUN OLEH:

ANGGI HAPSARI PUTRI

001STYC18

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya dan shalawat serta salam tak lupa pula kita
hanturkan kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan tugas laporan pendahuluan dengan judul
“Stroke”.
Laporan pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep
penyakit stroke dan konsep asuhan keperawatan stroke agar dapat mengetahui dan
melakukan pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi pada
pasien dengan stroke.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pembimbing akademik
dan pembimbing lahan yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam
proses pembuatan laporan pendahuluan ini, serta kepada pihak RSUD Kota
Mataram. Laporan pendahuluan ini penulis susun berdasarkan dari berbagai
sumber yang ada.
Penulis menyadari bahwa laporan pendahuluan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun sehingga laporan pendahuluan ini bisa lebih baik lagi.
Harapan penulis, semoga laporan pendahuluan ini dapat memberi manfaat dan
menambah pengetahuan bagi kita semua.

Mataram, Desember 2021

Penyusun
Anggi Hapsari Putri

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1...............................................................................................................Latar
Belakang............................................................................................... 1
1.2...............................................................................................................Rum
usan Masalah........................................................................................ 2
1.3...............................................................................................................Tujua
n............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 6
2.1...............................................................................................................Kons
ep Dasar Stroke..................................................................................... 6
2.1.1. Definisi....................................................................................... 6
2.1.2. Klasifikasi................................................................................... 6
2.1.3. Etiologi....................................................................................... 8
2.1.4. Faktor Resiko............................................................................. 9
2.1.5. Manifestasi Klinis...................................................................... 11
2.1.6. Patofiologi.................................................................................. 12
2.1.7. Patway........................................................................................ 14
2.1.8. Pemeriksaan Diagnostik............................................................. 15
2.1.9. Komplikasi................................................................................. 17
2.1.10. Penatalaksanaan ........................................................................ 17
2.2...............................................................................................................Asuh
an Keperawatan Stroke......................................................................... 23
2.2.1. Pengkajian ................................................................................. 23
2.2.2. Diagnosa Keperawatan .............................................................. 27
2.2.3. Intervensi Keperawatan.............................................................. 27
2.2.4. Implementasi Keperawatan........................................................ 40
2.2.5. Evaluasi Keperawatan................................................................ 41
BAB III PENUTUP......................................................................................... 42

iii
3.1...............................................................................................................Kesi
mpulan.................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa
kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak.
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi
sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau
menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan
kematian, selain menyebabkan kematian stroke juga akan mengakibatkan dampak
untuk kehidupan. Dampak stroke diantaranya, ingatan jadi terganggu dan terjadi
penurunan daya ingat, menurunkan kualitas hidup penderita juga kehidupan
keluarga dan orang-orang di sekelilingnya, mengalami penurunan kualitas hidup
yang lebih drastis, kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif dan usia
lanjut dan kematian dalam waktu singkat (Junaidi, 2012).
Stroke masih menjadi masalah kesehatan yang utama karena merupakan
penyebab kematian kedua di dunia. . Data dari Heart Disease and Stroke Statistics
(2016) menyebutkan di Amerika Serikat, setiap tahun sekitar 795.000 orang
mengalami stroke baru atau berulang baik stroke iskemik maupun stroke
hemoragik. Sekitar 610.000 di antaranya adalah serangan pertama dan 185.000
adalah kejadian stroke berulang (Mozaffarian et al, 2016). Di Indonesia, menurut
data Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan, jumlah penderita stroke pada
tahun 2013 adalah 1.236.825 dan Nusa Tenggara Barat adalah salah satu provinsi
dengan angka kejadian stroke yang tinggi, data dari Riset Kesehatan Dasar
Kementrian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan jumlah penderita stroke di NTB
adalah 32.988 orang (Kemenkes RI, 2014).
Stroke terbagi atas dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Stroke iskemik merupakan stroke yang terjadi akibat pembuluh darah tersumbat,
sehingga menyebabkan aliran darah ke otak terhenti sebagian atau sepenuhnya,
stroke jenis ini merupakan kasus yang paling sering terjadi, yaitu sekitar 80% dari

5
seluruh kasus stroke. Stroke iskemik berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi 3
jenis, yaitu trombotik yang disebabkan oleh terbentuknya thrombus. Thrombus
akan menyebabkan penggumpalan darah sehingga aliran darah tidak lancar atau
terhenti. Jenis kedua adalah stroke embolik, yang disebabkan oleh tertutupnya
pembuluh arteri oleh pembekuan darah. Jenis ketiga adalah hipoperfusion
sistemik yaitu berkurangnya aliran darah keseluruh bagian tubuh karena adanya
gangguan denyut jantung. Sedangkan stroke hemoragik merupakan stroke yang
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Stroke hemoragik sebagian besar
terjadi pada penderita hipertensi. Berdasarkan lokasi perdarahan, stroke
hemoragik terbagi menjadi dua yaitu hemoragik intraserebral perdarahan didalam
jaringan otak dan subaranoid perdarahan pada ruang sempit antara permukaan
otak dengan lapisan jaringan yang menutupi otak. (Goldszmidt, & Caplan 2013).

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana konsep dasar dari stroke?
1.2.2. Bagaimana asuhan keperawatan yang di lakukan pada pasien stroke?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai konsep dasar stroke dan
asuhana keperawatan pada pasien stroke.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk memenuhi tugas praktik
b. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai bagaimana konsep dasar
stroke.
c. Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan yang dilakukan
pada pasien sroke.

6
BAB II

PEMBAHASAN

c.1.Konsep Dasar Stroke


c.1.1. Definisi
Stroke atau Cerebrovaskuler disease menurut World Health
Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat
akibat gangguan fungsi otak fokal atau global karena adanya sumbatan
atau pecahnya pembuluh darah di otak dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih (Arifianto dkk, 2014).
Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA) adalah defisit neurologi
yang mempunyai awitan mendadak sebagai akibat dari adanya penyakit
cerebrovascular (Rudi Harmano, 2016).
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan
pembuluh darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan
otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau
kematian (Batticaca, 2012).
Stroke adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan hilangnya
fungsi otak secara akut dan dapat menimbulkan kematian (World Health
Organization [WHO], 2014).
c.1.2. Klasifikasi
Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala klinisnya, yaitu:

1. Stroke Hemoragik
adalah perdarahan serebral dan perdarahan subarachnoid, yang
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah ke otak pada area otak
tertentu. Biasanya ini terjadi apabila saat melakukan aktivitas,
namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya
menurun. Stroke hemoragik merupakan disfungsi neurologis fokal
yang akut dan biasanya disebabkan oleh pendarahan primer

7
substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma
kapitis, tetapi disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri,
vena dan kapiler (Widjaja 1994 dalam Saferi, 2013).
Perdarahan otak dibagi dua yaitu:
a. Perdarahan Intraserebral merupakan pecahnya pembuluh darah
(mikroaneurisma) karena hipertensi yang mengakibatkan darah
masuk ke dalam jaringan otak, membentuk masa yang menekan
jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan
tekanan intrakranial terjadi begitu cepat, yang dapat
mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi
sering dijumpai didaerah putamen, talamus, pons dan sereblum
(Siti Rohani 2000 dalam Saferi dkk, 2013)
b. Perdarahan Subarachnoid merupakan perdarahan yang berasal
dari pecahnya aneurisma berry atau AVM yang pecah berasal
dari pembuluh darah sirkulasi dan cabang-cabangnya yang
terdapat di luar parenkim otak (Juwono 1993:19 dalam Saferi
dkk, 2013). Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subarachnoid
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri dan vasospasme pembuluh
darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparase, gangguan
hemi sensorik, afasia, dll). (Simposium, Nasional Keperawatan
Perhimpunan Perawat Bedah Syaraf Indonesia, Siti Rohani 2000
dalam Saferi dkk, 2013).
2. Stroke Non Hemoragik (Stroke Infark)
Merupakan iskemia atau emboli dan trombosis serebral, yang terjadi
saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari.
Dalam hal tersebut tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia
yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema

8
sekunder. Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:
a. TIA (Transient Ischaemic Attack)Gangguan neurologis yang
terjadi selama beberapa menit atau sampai beberapa jam saja.
Gejala yang timbul akan hilang dengan sendirinya dan sempurna
dalam waktu kurang dari 24 jam.
b. Reversible neurological deficit (gangguan neurologi sementara)
gangguan fungsi otak terjadi lebih dari 24 jam dan akan
menghilang dalam waktu 3 minggu
c. Stroke evolution (stroke progresif) Gangguan fungsi otak yang
berlangsung perlahan, semakin lama semakin berat. Stroke yang
terjadi masih terus berkembang, dimana gangguan neurologis
terlihat maka akan semakin berat dan bertambah buruk. Proses
dapat berjalan selama 24 jam atau beberapa hari.
d. Completed stroke (stroke lengkap) Gangguan fungsi otak
maksimal dan cenderung menetap sejak awal serangan dengan
sedikit perbaikan. Gangguan neurologi yang timbul sudah
menetap atau permanen. Stroke komplit biasanya diawali oleh
serangan TIA berulang.
c.1.3. Etiologi
Stroke terbagi dalam 3 penyebab antara lain:
1. Trombosis serebral Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi
serebral merupakan penyebab utama dari trombosis serebral dan
merupakan penyebab umum dari stroke (Smeltzer 2005 dalam Saferi
dkk, 2013). Trombosis ditemukan angka 40% dari semua kasus stroke
yang telah dibuktikan oleh ahli patologi. Biasanya ada kaitannya
dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat aterosklerosis
(Price 2005 dalam Saferi dkk, 2013).
2. Emboli Serebri
Embolisme serebri kondisi dimana aliran darah terhambat akibat
benda asing (embolus), seperti bekuan darah yang berada di dalam

9
aliran darah yang dapat menghambat pembuluh darah. Embolisme
serebri merupakan urutan kedua dari berbagai penyebab utama stroke.
Penderita stroke embolisme biasanya sangat mudah dibandingkan
dengan penderita trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari
suatu trombus dalam jantung sehingga masalah yang dihadapi
sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung (Prince 2005
dalam Saferi dkk, 2013).
3. Hemoragik
Hemoragi atau pendarahan saat pecahnya salah satu srteri sehingga
aliran darah pada sebagian otak berkurang atau terputus yang
mengakibatkan pasokan oksigen ke otak menjadi berkurang sehingga
fungsi otak dapat terganggu. Hemoragik biasanya terjadi di luar
durameter (hemoragik ekstra dural atau epidural) di bawah durameter
(hemoragik subdural), diruang subarachnoid (hemoragik subarachnoid
atau dalam substansial otak (hemoragik intra serebral) (Price 2005
dalam Saferi dkk, 2013).
c.1.4. Faktor Resiko Stroke
Menurut Andra dkk (2013) faktor risiko stroke dapat terjadi sebagai
berikut:
1. Hipertensi
Merupakan faktor resiko utama terjadinya stroke. Hipertensi biasanya
disebabkan oleh aterosklerosis pembuluh darah serebral, sehingga
pembuluh darah tersebut mengalami penebalan dan degenerasi yang
kemudian pecah dan menimbulkan perdarahan.
2. Penyakit Kardiovaskuler
Misalnya penyakit embolisme serebral yang berasal dari jantung
seperti penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, miocard
infark, hipertrofi ventrikel kiri. Pada fibrilasi atrium menyebabkan
penurunan karbonmonoksida, sehingga perfusi darah ke otak
menurun, maka otak akan kekurangan oksigen dan akhirnya dapat

10
terjadi stroke. Pada aterosklerosis elastisitas pembuluh darah
menurun, sehingga perfusi ke otak menurun juga pada akhirnya terjadi
stroke.
3. Diabetes Mellitus (DM)
Pada penyakit Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang mengalami
penyakit vaskuler, sehingga dapat terjadi mikrovaskularisasi dan
aterosklerosis, terjadinya aterosklerosis menyebabkan emboli yang
kemudian menyumbat dan terjadi iskemia, kemudian iskemia
menyebabkan perfusi otak menurun dan pada akhirnya terjadi stroke.
4. Merokok
Pada seseorang perokok biasanya akan timbul plaque pada pembuluh
darah oleh nikotin sehingga memungkinkan penumpukan
aterosklerosis dan akan berakibat pada stroke.
5. Alkoholik
Pada alkoholik dapat menyebabkan penyakit hipertensi, penurunan
aliran darah ke otak dan kardiak aritmia serta kelainan motilitas
pembuluh darah sehingga dapat terjadi emboli serebral.
6. Peningkatan Kolesterol
Peningkatan kolesterol pada tubuh dapat mengakibatkan aterosklerosis
dan terbentuknya emboli lemak sehingga aliran darah lambat masuk ke
otak, sehingga menyebabkan perfusi otak menurun.
7. Obesitas
Pada penderita obesitas biasanya kadar kolesterol tinggi. Dan selain itu
kemungkinan memiliki penyakit hipertensi karena terjadi gangguan
pada pembuluh darah. Keadaan ini merupakan kontribusi pada stroke.
8. Umur (insiden meningkat sejalan dengan meningkatnya umur)
Lebih tua umur lebih mungkin terjadi stroke. Resiko mengalami stroke
meningkat seiring bertambahnya usia. Resiko semakin meningkat
setelah usia 55 tahun. usia terbanyak terkena serangan stroke adalah
usia 65 tahun ke atas. Pada usia lebih dari 55 tahun dapat memberikan

11
resiko terjadinya stroke karena dengan semakin bertambah tua usia
sesorang, semakin tinggi terjadi risiko stroke ini dikarenakan pada usia
lebih dari 55 tahun terjadi adanya perubahan struktural dan fungsional
pada sistem pembuluh perifer. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis dan hilangnya elastisitas pembuluh darah.
9. Aterosklerosis (penyempitan dan penebalan arteri)
10. Riwayat kesehatan keluarga adanya stroke. (Udani 2013).
c.1.5. Manifestasi Klinis
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori).
Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
1. Kehilangan motorik Stroke adalah penyakit motor neuron dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
2. Kehilangan komunikasi Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke
adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling
umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh
hal berikut:
a. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang
sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
b. Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang
terutama ekspresif atau reseptif.
c. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil
sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
3. Gangguan persepsi Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan
sensasi. Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual,
gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori.

12
4. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik Disfungsi ini dapat
ditunjukkan dengan kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang
motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka.
5. Disfungsi kandung kemih Setelah stroke pasien mungkin mengalami
inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal/bedpan.
c.1.6. Patofisiologi
Otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan
oksigen. Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombus
dan embolus, maka mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak.
Kekurangan selama 1 menit dapat mengarah pada gejala yang dapat pulih
seperti kehilngan kesadaran. Selanjutnya kekurangan oksigen dalam
waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-
neuron. Area nekrotik kemudian disebut infark. Kekurangan oksigen pada
awalnya mungkin akibat iskemia miokardium (karena henti jantung atau
hipotensi) atau hipoksia karena akibat proses anemia dan kesukaran untuk
bernafas.
Stroke karena embolus dapat merupakan akibat dari bekuan darah,
udara, plaque, ateroma fragmen lemak. Jika etiologi stroke adalah
hemoragik maka faktor pencetus adalah hipertensi. Abnormalitas vaskuler,
aneurisma serabut dapat terjadi ruptur dan dapat menyebabkan hemoragik.
Pada stroke trombosis atau metabolik maka otak akan mengalami
iskemia dan infark sulit ditentukan. Ada peluang dominan stroke akan
meluas setelah serangan pertama sehingga dapat terjadi edema serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan kematian pada area yang
luas. Prognosisnya tergantung pada daerah otak yang terkena dan luasnya
saat terkena. Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana
saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulasi arteria karotis interna

13
dan sistem vertebrobasilar dan semua cabang-cabangnya. Secara umum,
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit,
akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di
suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark didaerah otak yang
diperdarahi oleh arteri tersebut (Price 2005 dalam Masriadi, 2016).
Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang
memadai daerah tersebut. Proses patologi yang mendasari mungkin salah
satu dari berbagai proses yang terjadi didalam pembuluh darah yang
memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa:
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itumsendiri, seperti
aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh darah atau
peradangan.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan aliran darah, misalnya syok
atau hiperviskositas darah
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang
berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium
4. Rupture vascular didalam jaringan otak atau ruang subarachnoid.
(Price 2005 dalam Saferi dkk, 2013).

14
c.1.7. Patway

Stroke Hemoragik Stroke Non Hemoragik


(Iskemik)
Peningkatan tekanan sistemik
Trombus/ Emboli di
Aneurisma Cerebral

Perdarahan Arakhnoid/ Suplai darah ke jaringan


Ventrikel cerebral tidak adekuat

Hematoma Cerebral
Risiko Perfusi Serebral Tidak
Efektif
PTIK/ Herniasi Cerebral

Vasospasme Arteri Cerebral Hemisfer kiri


Penurunan Penekanan Saluran saraf serebral
Kesadaran Pernafasan Hemiparese/ plegi kanan
Iscemic Infrak

Defisit Neurologi

Pola Nafas
Area Grocca Hemisfer kanan
Tidak Efektif Gangguan Mobilias
Kurusakan Fungsi N. VII dan N. XII Fisik
Hemiparese Plegi Kiri

Gangguan Komunikasi
Verbal
Defisit Perawatan Diri

Defisit
Resiko Resiko Resiko Pengetahuan
Aspirasi Syok Jatuh

15
c.1.8. Pemeriksaan Diagnostik

1. Radiologi
a. Elektroensefalogram (EEG)
Mengidentifikasi penyakit yang didasarkan pada pemeriksaan pada
gelombang otak dan memungkinkan memperlihatkan daerah lesi
yang spesifik. Pada pasien stroke biasanya dapat menunjukkan
apakah terdapat kejang yang menyerupai dengan gejala stroke dan
perubahan karakteristik EEG yang menyertai stroke yang sering
mengalami perubahan .
b. Sinar X
Menggambarkan pada perubahan kelenjar lempeng pineal pada
daerah yang berlawanan dari masa yang meluas, klasifikasi karotis
internal yang terdapat pada trombosis serebral.
c. Angiografi serebral
Pemeriksaan ini membantu untuk menentukan penyebab stroke
secara spesifik antara lain perdarahan, obstruksi arteri,
olkusi/rupture
d. CT-Scan
Pemindaian yang memperlihatkan secara spesifik adanya edema,
adanya hematoma, iskemia dan adanya infark pada stroke. Hasil
pemeriksaan tersebut biasanya terdapat pemadatan di vertikel kiri
dan hiperdens lokal.
e. Fungsi Lumbal
Tekanan normal dan biasanya ada trombosis, emboli dan TIA
(Transient Ischaemia Attack). Sedangkan tekanan yang meningkat
dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya
perdarahan subarachnoid atau intrakranial. Kadar protein total
meningkat pada kasus trombosis berhubungan dengan proses
inflamasi.

16
f. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan yang menggunakan gelombang magnetik dengan
menentukan besar atau luas perdarahan yang terjadi pada otak.
Hasil dari pemeriksaan ini digunakan untuk menunjukan adanya
daerah yang mengalami infark, hemoragik, dan malinformasi
arteriovena.
g. Ultrasonografi Doppler
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri
karotis/ aliran darah/ muncul plaque/aterosklerosis).
h. Pemeriksaan Thorax
Memperlihatkan keadaan jantung dan menggambarkan perubahan
kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan dari masa yang
meluas.
2. Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah LengkapSeperti Hemoglobin, Leukosit,
Trombosit, Eritrosit. Semua itu berguna untuk mengetahui apakah
pasien menderita anemia, sedangkan leukosit untuk melihat sistem
imun pasien. Jika kadar leukosit pada pasien diatas normal, berarti
ada penyakit infeksi yang sedang menyerang.
b. Test Darah Koagulasi Tes ini terdiri dari 4 pemeriksaan yaitu
pothromin time, partial thromboplastin (PTT), Internasional
Normalized Ratio (INR) dan agregasi trombosit. Keempat tes ini
berguna untuk mengukur seberapa cepat darah mengumpal. Pada
pasien stroke biasanya ditemukan PT/PTT dalam keadaan normal.
c. Tes Kimia Darah Tes ini digunakan untuk melihat kandungan gula
darah, kolesterol, asam urat dll. Seseorang yang terindikasi
penyakit stroke biasanya memiliki yang gula darah yang tinggi.
Apablia seseorang memiliki riwayat penyakit diabetes yang tidak
diobati maka hal tersebut dapat menjadi faktor pemicu resiko
stroke (Robinson, 2014).

17
c.1.9. Komplikasi
Stroke merupakan penyakit yang mempunyai risiko tinggi terjadinya
komplikasi medis, adanya kerusakan jaringan saraf pusat yang terjadi
secara dini pada stroke, sering diperlihatkan adanya gangguan kognitif,
fungsional, dan defisit sensorik. Pada umumnya pasien pasca stroke
memiliki komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko komplikasi medis
sistemik selama pemulihan stroke. Komplikasi medis sering terjadi dalam
beberapa minggu pertama serangan stroke. Pencegahan, pengenalan dini,
dan pengobatan terhadap komplikasi pasca stroke merupakan aspek
penting. Beberapa komplikasi stroke dapat terjadi akibat langsung stroke
itu sendiri, imobilisasi atau perawatan stroke. Hal ini memiliki pengaruh
besar pada luaran pasien stroke sehingga dapat menghambat proses
pemulihan neurologis dan meningkatkan lama hari rawat inap di rumah
sakit. Komplikasi jantung, pneumonia, tromboemboli vena, demam, nyeri
pasca stroke, disfagia, inkontinensia, dan depresi adalah komplikasi sangat
umum pada pasien stroke (Mutiarasari, 2019).
c.1.10. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi yang bisa dilakukan untuk pasien
stroke yaitu pemberian cairan hipertonis jika terjadi peninggian
tekanan intra kranial akut tanpa kerusakan sawar darah otak (Blood-
brain Barrier), diuretika (asetazolamid atau furosemid) yang akan
menekan produksi cairan serebrospinal, dan steroid (deksametason,
prednison, dan metilprednisolon) yang dikatakan dapat mengurangi
produksi cairan serebrospinal dan mempunyai efek langsung pada sel
endotel (Affandi dan Reggy, 2016). Pilihan pengobatan stroke dengan
menggunakan obat yang biasa direkomendasi untuk penderita stroke
yakni:

18
a. Tissue plasminogen activator (tPA) yang diberikan melalui
intravena. Fungsi tPA ini yaitu melarutkan bekuan darah dan
meningkatkan aliran darah ke bagian otak yang kekurangan aliran
darah (National Stroke Association, 2016).
b. Pemberian aspirin telah menunjukkan dapat menurunkan risiko
terjadinya early recurrent ischemic stroke (stroke iskemik
berulang), tidak adanya risiko utama dari komplikasi hemoragik
awal, dan meningkatkan hasil terapi jangka panjang (sampai
dengan 6 bulan tindakan lanjutan). Pemberian aspirin harus
diberikan paling cepat 24 jam setelah terapi trombolitik. Pasien
yang tidak menerima trombolisis, penggunaan aspirin harus
dimulai dengan segera dalam 48 jam dari onset gejala.
c. Terapi Antikoagulan. Terapi antikoagulan bertujuan mencegah
kekambuhan stroke secara dini dan meningkatkan outcame secara
neurologis. Contoh agen atikoagulan adalah heparin,
unfractionated heparin, low-molecular-weight heparins (LMWH),
heparinoids warfarin.
d. Terapi Antiplatelet. Terapi antiplatelet bertujuan untuk
meningkatkan kecepatan rekanalisasi spontan dan perbaikan
mikrovaskuler. Agen antiplatelet ada oral dan intravena. Contoh
agen atiplatelet oral yaitu aspirin, clopidogrel, dipiridamol-aspirin
(ASA), tiklopidin. Agen antiplatelet intravena adalah platelet
glikopotein IIb/IIIa, abvicimab intravena (Ikawati, 2014)
e. Terapi suportif dengan infus manitol bertujuan untuk mengurangi
edema disekitar perdarahan
f. Pemberian Vit K dan fresh frozen plasma jika perdarahannya
karena komplikasi pemberian warfarin.
g. Pemberian protamin jika perdarahannya akibat pemberian heparin.
h. Pemberian asam traneksamat jika perdarahnnya akibat komplikasi
pemberian trombolitik (Ikawati, 2014)

19
2. Penatalaksanaan Non Farmakologi
a. Fisioterapi
Kegunaan metode fisioterapi yang digunakan untuk menangani
kondisi stroke stadium akut bertujuan untuk :
1) Mencegah komplikasi pada fungsi paru akibat tirah baring
yang lama.
2) Menghambat spastisitas, pola sinergis ketika ada peningkatan
tonus
3) Mengurangi oedem pada anggota gerak atas dan bawah sisi
sakit
4) Merangsang timbulnya tonus ke arah normal, pola gerak dan
koordinasi gerak
5) Meningkatkan kemampuanaktivitas fungsional
b. Terapi Wicara
Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, sangat perlu
dilakukan latihan bicara baik disartia maupun afasia. Speech
therapy sangat dibutuhkan mengingat bicara dan komunikasi
merupakan faktor yang berpengaruh dalam interaksi sosial.
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu proses
rehabilitasi pada penderita gangguan komunikasi sehingga
penderita gangguan komunikasi mampu berinteraksi dengan
lingkungan secara wajar dan tidak mengalami gangguan
psikososial.
Terapi wicara difokuskan pada pembentukan organ bicara agar
dapat memproduksi bunyi dengan tepat. Terapi ini biasanya
meliputi bagaimana menempatkan posisi lidah dengan tepat,
bentuk rahang, dan mengontrol nafas agar dapat memproduksi
bunyi dengan tepat. Bunyi yang dihasilkan oleh adanya getaran
udara, akan diterima oleh saraf pendengaran. Melalui saraf

20
pendengaran, rangsangan diterima dan diolah sebagai informasi.
Sehingga terapi wicara ini dapat meningkatkan kemampuan bicara.
Teknik yang diajarkan pasien afasia adalah menggerakkan otot
bicara yang akan digunakan untuk mengucapkan lambanglambang
bunyi bahasa yang sesuai dengan pola-pola standar, sehingga dapat
dipahami oleh pasien. Hal ini disebut dengan artikulasi organ
bicara. Pengartikulasia bunyi bahasa atau suara akan dibentuk oleh
koordinasi tiga unsur, yaitu unsur motoris (pernafasan), unsur yang
bervibrasi (tenggorokan dengan pita suara), dan unsur yang
beresonansi (rongga penuturan: rongga hidung, mulut dan dada).
Latihan pembentukan huruf vokal terjadi dari getaran selaput
suara dengan nafas keluar mulut tanpa mendapat halangan. Dalam
sistem fonem bahasa Indonesia, vokal terdiri dari A, I, U, E dan O.
Dalam pembentukan vokal yang penting diperhatikan adalah letak
dan bentuk lidah, bibir, rahang, dan langit-langit lembut (velum).
Pasien stroke yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi,
salah satunya dapat ditangani dengan cara terapi AIUEO untuk
menggerakkan lidah, bibir, otot wajah, dan mengucapkan kata-kata
(Haryanto, 2014).
c. Terapi Nurisi
Manajemen nutrisi pada pasien stroke perdarahan bertujuan
untuk meningkatkan status gizi dan memperbaiki status metabolik
pasien. Disfagia merupakan faktor risiko utama terjadinya
malnutrisi pada stroke. Depresi, xerostomia, kelelahan otot
mengunyah, penurunan kesadaran, mobilitas menurun dan oral
hygiene yang buruk serta meningkatnya katabolisme terutama pada
perdarahan subarachnoid juga harus dipertimbangkan sebagai
penyebab malnutrisi. Malnutrisi ditemukan pada periode stroke
akut dan selama periode rehabilitasi. Malnutrisi menggambarkan
ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan energi dan

21
protein, dengan kebutuhan metabolik melebihi asupan nutrisi yang
menyebabkan berkurangnya komposisi tubuh dan gangguan fungsi
biologis. Pada saat masuk rumah sakit, adanya penyakit kronis,
polifarmasi, sulit menelan dan gangguan fungsional dapat
menimbulkan risiko malnutrisi khususnya pada usia lanjut.
Disfagia merupakan faktor risiko utama terjadinya malnutrisi
pada stroke sehingga terjadi penurunan asupan nutrisi secara
bermakna. Penatalaksanaan disfagia termasuk modifikasi asupan
makanan (mengubah konsistensi makanan dan minuman bersama
suplemen nutrisi), penerapan teknik menelan yang aman, dan
pemberian makanan enteral. Pada pasien stroke beberapa
suplementasi mikronutrien yang perlu diberikan pada pasien
berupa zinc, vitamin b, curcuma dan asam folat.
1) Zinc
Zinc merupakan kofaktor bagi lebih dari 300 reaksi enzimatik
dalam tubuh. Pada sel saraf, zinc berperan dalam transmisi
sinaptik dan neuromodulator endogen. Peranan zinc terhadap
vascular otak dan risiko stroke:
a) Aktivasi sintesis protein otak untuk memperbaiki
kerusakan neurokognitif
b) Mengendalikan pembentukan sinaps baru untuk
memperbaiki neurotransmisi
c) Sebagai kofaktor dismutase superoksida untuk mengatasi
stress oksidatif.

Pada pasien ini diberikan suplementas zinc 10 mg/hari.


Menuru ASPEN, pemberian zinc 10 mg selama 30 hari sudah
dapat menormalkan asupan harian zinc harian dan
menunjukkan perbaikan dari defisit neurologi.

2) Vitamin B

22
Suplementasi dengan vitamin B digunakan untuk
menurunkan kadar homosistein plasma yang meningkat untuk
mencegah penyakit serebrovaskuler. Dalam meta-analisis yang
dilakukan oleh Dong et al dan Huang et al disimpulkan bahwa
pemberian suplementasi vitamin B kombinasi dan asam folat
secara signifikan menurunkan jumlah homosistein sehingga
dapat mengurangi kejadian stroke dan mengurangi insiden
stroke berulang.
3) Curcuma
Pemberian suplementasi kurkuma sebanyak 1,2 gram per
hari karena curcuma mengandung zat kurkumin dalam
beberapa penelitian yang telah dipublikasikan mempunyai
aktifitas sebagai anti inflamasi, anti oksidan dan sebagai
appetite stimulant (Andriyati, 2020).
4) Asam Folat
Asam folat. Asam folat dapat menurunkan risiko
penyempitan pembuluh darah otak. Asam folat terkandung
dalam jenis sayuran, seperti bayam, salada, dan pada buah
papaya.
d. Tindakan bedah
Penatalaksanaan stroke yang bisa dilakukan yaitu dengan
pengobatan pembedahan yang tujuan utamanya yaitu memperbaiki
aliran darah serebri contohnya endosterektomi karotis (membentuk
kembali arteri karotis), revaskularisasi, dan ligasi arteri karotis
komunis di leher khususnya pada aneurisma (Muttaqin, 2008).
Tindakan bedah lainnya yaitu decompressive surgery. Tindakan ini
dilakukan untuk menghilangkan haematoma dan meringankan atau
menurunkan tekanan intra kranial. Tindakan ini menunjukkan
peningkatan hasil pada beberapa kasus, terutama untuk stroke pada

23
lokasi tertentu (contohnya cerebellum) dan atau pada pasien stroke
yang lebih muda (< 60 tahun). (Andriyati, 2020).

c.2.Asuhan Keperawatan Stroke


2.2.1 Pengkajian
a. Pre operatif
1) Identitas pasien
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama,
alamat, suku, pekerjaan dan pendidikan, diagnosa medis, da rencana
tindakan operasi.
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama : Kesadaran menurun akibat Stroke dengan
Intracerebral Hematom.
b) Riwayat penyakit sekarang : Penyebab terjadinya Stroke biasa
terjadi karena adanya Intracerebral Hematom.
c) Riwayat penyakit dahulu : Pasien mempunyai penyakit
hipertensi dan stroke yang berhubungan dengan Intracerebral
Hematom.
d) Riwayat penyakit keluarga : Tidak terdapat korelasi kasus pada
anggota keluarga terhadap kejadian perdarahan intracerebral.
3) Fase pre operatif
Fase pre operatif dari peran keperawatan perioperative dimulai
ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika
pasien digiring ke meja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan
selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian data
dasar pasien yang datang di klinik, rumah sakit atau dirumah,
menjalani wawancara pre operatif dan menyiapkan pasien untuk
anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas
keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien
pre operatif ditempat ruang operasi.

24
4) Pemeriksaan fisik
a) B1 : Breathing : Kaji pernapasan apakah bernapas spontan atau
tidak, irama napas cepat atau lambat, adanya suara napas
vesikuler,wheezing, ronchi, sesak napas, pernapasan cuping
hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
b) B2 : Blood : Peningkatan tekanan intracranial terhadap tekanan
darah bervariasi. Perubahan frekuensi jantung (bradikardi,
takikardi, yang diselingi dengan bradikardi, disritmia dan
perdarahan.
c) B3 : Brain : Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk
manifestasi adanya gangguan otak akibat cedera kepala, strok
dll. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan
terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi
perubahan status mental, perubahan dalam penglihatan,
perubahan pupil, sering timbul cegukan dan gangguan nervus
hipoglosus.
d) B4 : Bledder : Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan
karakteristik urine.
e) B5 : Bowel : Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan,
nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut. Mual
sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung sehingga menimbulkan masalah penurunan nutrisi.
f) B6 : Bone : Pasien dengan stroke biasanya nampak bedrest,
mengalami ketidakseimbangan immobilisasi yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf dan otak dengan
reflex pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.
b. Intra operatif
1) Fase intra operatif

25
Fase intra operatif dari keperawatan perioperatrif dimulai ketika
pasien masuk atau dipindahkan kebagian atau keruang pemulihan.
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi :
memasang infus (IV), memberikan medikasi melalui intravena
sesuai instruksi Dokter, melakukan pemantauan fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan menjaga keselamatan
pasien. Pada beberapa contoh aktivitas keperawatan terbatas hanya
bertindak dalam perannya sebgai perawat amlop, atau membantu
dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
2) Pemeriksaan fisik
a) B1 : Breating :. Konpensasi pada batang otak akan
mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi
perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bias berupa Cheyne, Stokes atau Ataxia breathing,
bapas berbunyi stridor, rinchi, whezzing (kemungkinan karena
aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
b) B2 : Brain : Pada sistem saraf pusat dinilai kesadaran pasien
dengan GCS (Glasgow Coma Scale) dan perhatikan gejala
kenaikan Tekanan Intrakranial (TIK).
c) B3 : Blood : Pada sistem kardiovaskular dinilai takanan darah,
nadi, perfusi perifer, Hb.
d) B4 : Bowel : Pada sistem gastrointestinal diperiksa: adanya
dilatasi lambung, tanda-tanda cairan bebas, dan periksa apakah
pasien mengalamami muntah selama operasi.
e) B5 : Bladder : Pada sistem urogenetalis diperiksa kualitas,
kuantitas, warna, kepekatan urine, untuk menilai intak dan output
urine.

26
f) B6 : Bone : Pada sistem musculoskeletal dinilai adanya tanda-
tanda sianosis, warna kuku, perdarahan.
Post operatif

d. Post operatif
1) Fase post operatif
Fase post operatif dimulai dengan masuknya pasien keruang
pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan
klinik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang
aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase post operatif
langsung fokus terhadap mengkaji efek dari agen anastesi dan
memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang
penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti
dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah detail lagi dalam unit ini.
Kapan berkaitan dan memungkinkan proses keperawatan
pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi dan evaluasi
diuraikan.
2) Pemeriksaan fisik
a) B1 : Breathing : Pasien belum sadar dilakukan evaluasi seperti
pola napas, tanda-tanda obstruksi, pernapasan cuping hidung,
frekuensi napas, pergerakan rongga dada: apakah simetris atau
tidak, suara napas tambahan: apakah tidak ada obstruksi total,
udara napas yang keluar dari hidung, sianosis pada ekstremitas,
auskultasi: adannya wheezing atau ronchi.
b) B2 : Blood : Pada sistem kardiovaskular dinilai takanan darah,
nadi, perfusi perifer, status hidrasi (hipotermi±syok) kadar Hb.

27
c) B3 : Brain : Pada sistem saraf pusat dinilai kesadaran pasien
dengan GCS (Glasgow Coma Scale) dan perhatikan gejala
kenaikan Tekanan Intrakranial (TIK).
d) B4 : Bladder : Pada sistem urogenetalis diperiksa kualitas,
kuantitas, warna, kepekatan urine, untuk menilai: apakah pasien
masih dehidrasi.
e) B5 : Bowel: Kaji apakah ada mual muntah, pasien masih di
puasakan, kesulitan menelan, adanya dilatasi lambung, tanda-
tanda cairan bebas, distensi abdomen.
f) B6 : Bone: Kaji balutan, posisi pasien, gelisah dan banyak gerak,
kekuatan otot, tanda-tanda sianosis, warna kuku, perdarahan post
operasi, gangguan neurologis: gerakan ekstremitas.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
DX 1 : Pola Nafas Tidak Efektif
DX 2 : Gangguan Komunikasi Verbal
DX 3 : Defisit Perawatan Diri
DX 4 : Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
DX 5 : Gangguan Mobilias Fisik
DX 6 : Defisit Pengetahuan
DX 7 : Resiko Aspirasi
DX 8 : Resiko Syok
DX 9 : Resiko Jatuh
2.2.3 Intervensi Keperawatan

DX Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


(SIKI)
1 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas :
keperawatan diharapkan Observasi :
pola nafas klien efektif 1. Monitor pola napas (frekuensi,
dengan kriteria hasil : kedalaman, usaha napas)

28
Mempertahankan pola 2. Monitor bunyi napas tambahan
pernapasan efektif dengan (mis. Gurgling, mengi,
jalan napas paten. weezing, ronkhi kering)
3. Monitor sputum (jumlah,
warna, aroma)
Terapeutik :
1. Pertahankan kepatenan jalan
napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika curiga
trauma cervical)
2. Posisikan semi-Fowler atau
Fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
5. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
7. Penghisapan endotrakeal
8. Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsepMcGill
9. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :

29
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
2 Setelah dilakukan tindakan Promosi Komunikasi : Defisit
keperawatan diharapkan Bicara
gangguan komunikasi Observasi
verbal membaik dengan
1. Monitor kecepatan, tekanan,
kriteria hasil : kemampuan
kuantitas, volume dasn diksi
berbicara meningkat,
bicara
kemampuan mendengar
2. Monitor proses kognitif,
meningkat
anatomis, dan fisiologis yang
berkaitan dengan bicara
3. Monitor frustrasi, marah,
depresi atau hal lain yang
menganggu bicara
4. Identifikasi prilaku emosional
dan fisik sebagai bentuk
komunikasi

Terapeutik :

1. Gunakan metode Komunikasi


alternative (mis: menulis,
berkedip, papan Komunikasi
dengan gambar dan huruf,
isyarat tangan, dan computer)
2. Sesuaikan gaya Komunikasi
dengan kebutuhan (mis: berdiri
di depan pasien, dengarkan
dengan seksama, tunjukkan
satu gagasan atau pemikiran

30
sekaligus, bicaralah dengan
perlahan sambil menghindari
teriakan, gunakan Komunikasi
tertulis, atau meminta bantuan
keluarga untuk memahami
ucapan pasien.
3. Modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bantuan
4. Ulangi apa yang disampaikan
pasien
5. Berikan dukungan psikologis
6. Gunakan juru bicara, jika perlu

Edukasi

1. Anjurkan berbicara perlahan


2. Ajarkan pasien dan keluarga
proses kognitif, anatomis dan
fisiologis yang berhubungan
dengan kemampuan berbicara

Kolaborasi
Rujuk ke ahli patologi bicara atau
terapis
3 Setelah dilakukan tindakan Dukungan Perawatan Diri
keperawatan diharapkan Observasi
deficit perawatan diri
1. Identifikasi kebiasaan aktifitas
membaik dengan kriteria
perawatan diri sesuai usia
hasil : kemampuan mandi
2. Monitor tingkat kemandirian
meningkat, kemampuan
3. Identifikasi kebutuhan alat
makan meningkat, minat
bantu kebersihan diri,
melakukan perawatan diri

31
meningkat berpakaian, berhias dan makan

Terapeutik

1. Sediakan lingkungan yang


terapeutik (mis. Suasana
hangat, rileks dan privasi)
2. Siapkan keperluan pribadi
(mis, parfum, sikat gigi dan
sabun mandi)
3. Dampingi dalam melakukan
perawatan diri sampai mandiri
4. Fasilitasi untuk menerima
keadaan ketergantungan
5. Fasilitasi kemandirian, bantu
jika tidak mampu melakukan
perawatan diri
6. Jadwalkan rutinitas perawatan
diri

Edukasi
Anjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten sesuai
kemampuan
4 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan
keperawatan diharapkan Tekanan Intrakranial
risiko perfusi jaringan Observasi
serebral tidak efektif
1. Identifikasi penyebab
membaik dengan kriteria
peningkatan TIK (mis. Lesi,
hasil : tingkat kesadaran
gangguan metabolisme, edema
meningkat, sakit kepala
serebral)
menurun, gelisah menurun

32
2. Monitor tanda/gejala
peningkatan TIK (mis.
Tekanan darah meningkat,
tekanan nadi melebar,
bradikardia, pola napas
ireguler, kesadaran menurun)
3. Monitor MAP (Mean Arterial
Pressure)
4. Monitor CVP (Central Venous
Pressure), jika perlu
5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Monitor PAP, jika perlu
7. Monitor ICP (Intra Cranial
Pressure), jika tersedia
8. Monitor CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
9. Monitor gelombang ICP
10. Monitor status pernapasan
11. Monitor intake dan output
cairan
12. Monitor cairan serebro-
spinalis (mis. Warna,
konsistensi)

Terapeutik

1. Minimalkan stimulus dengan


menyediakan lingkungan yang
tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari maneuver Valsava

33
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEEP
6. Hindari pemberian cairan IV
hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO2
optimal
8. Pertahankan suhu tubuh
normal

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian sedasi


dan antikonvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretic
osmosis, jika perlu
3. Kolaborasi pemberian pelunak
tinja, jika perlu
5 Setelah dilakukan tindakan Dukungan Ambulasi
keperawatan diharapkan Observasi
gangguan mobilitas fisik
1. Identifikasi adanya nyeri atau
membaik dengan kriteria
keluhan fisik lainnya
hasil : pergerakan
2. Identifikasi toleransi fisik
ekstermitas meningkat,
melakukan ambulasi
kekuatan otot meningkat
3. Monitor frekuensi jantung dan
tekanan darah sebelum
memulai ambulasi
4. Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi

Terapeutik

1. Fasilitasi aktivitas ambulasi

34
dengan alat bantu (mis.
Tongkat, kruk)
2. Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur


ambulasi
2. Anjurkan melakukan ambulasi
dini
3. Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
Berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan
sesuai toleransi)
6 Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan
keperawatan diharapkan Obsevasi :
keluarga mengerti keadaan 1. Identifikasi kesiapan dan
klien dengan kriteria hasil: kemampuan menerima
Pengetahuan keluarga informasi
meningkat, keluarga 2. Indentifikasi faktor-faktor
mengerti dengan proses yang dapat meningkatkan dan
penyakit epilepsi, keluarga menurunkan motivasi perilaku
klien tidak bertanya lagi hidup bersih dan sehat
tentang penyakit, Terapeutik :
perawatan dan kondisi 1. Sediakan materi dan media

35
klien. pendidikan kesehatan
2. Jadwalkan pendidikan
kesehatan sesuai kesepakatan
3. Berikan kesempatan untuk
bertanya
Edukasi :
1. Jelaskan faktor risiko yang
dapat mempengaruhi
kesehatan
2. Ajarkan perilaku hidup bersih
dan sehat
3. Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untuk
meningkatkan perilaku hidup
bersih dan sehat
7 Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Aspirasi
keperawatan diharapkan Observasi
risiko aspirasi berkurang
1. Monitor tingkat kesadaran,
dengan kriteria hasil :
batuk, muntah dan
tingkat kesadaran
kemampuan menelan
meningkat, kemampuan
2. Monitor status pernafasan
menelan meningkat
3. Monitor bunyi nafas, terutama
setelah makan/ minum
4. Periksa residu gaster sebelum
memberi asupan oral
5. Periksa kepatenan selang
nasogastric sebelum memberi
asupan oral

Terapeutik

36
1. Posisikan semi fowler (30-45
derajat) 30 menit sebelum
memberi asupan oral
2. Pertahankan posisi semi fowler
(30-45 derajat) pada pasien
tidak sadar
3. Pertahanakan kepatenan jalan
nafas (mis. Tehnik head tilt
chin lift, jaw trust, in line)
4. Pertahankan pengembangan
balon ETT
5. Lakukan penghisapan jalan
nafas, jika produksi secret
meningkat
6. Sediakan suction di ruangan
7. Hindari memberi makan
melalui selang gastrointestinal
jika residu banyak
8. Berikan obat oral dalam
bentuk cair

Edukasi

1. Anjurkan makan secara


perlahan
2. Ajarkan strategi mencegah
aspirasi
3. Ajarkan teknik mengunyah
atau menelan, jika perlu
8 Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Syok
keperawatan diharapkan Observasi

37
risiko syok berkurang 1. Monitor status kardiopulmunal
dengan kriteria hasil : (frekwensi dan kekuatan nadi,
kekuatan nadi meningkat, frekwensi nafas, TD, MAP)
tingkat kesadaran 2. Monitor status oksigenasi
meningkat (oksimetri nadi, AGD)
3. Monitor status cairan
(masukan dan haluaran, turgor
kulit, CRT)
4. Monitor tingkat kesadaran dan
respon pupil
5. Periksa riwayat alergi

Terapeutik

1. Berikan oksigen untuk


mempertahankan saturasi
oksigen >94%
2. Persiapan intubasi dan
ventilasi mekanik, jika perlu
3. Pasang jalur IV, jika perlu
4. Pasang kateter urine untuk
menilai produksi urin, jika
perlu
5. Lakukan skinen skine test
untuk mencegah reaksi alergi

Edukasi

1. Jelaskan penyebab/ faktor


resiko syok
2. Jelaskan atnda dan gejala awal
syok

38
3. Anjurkan melapor jika
menemukan/ merasakan tanda
dan gejala syok
4. Anjurkan memperbanyak
asupan oral
5. Anjurkan menghindari alergen

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian IV, jika


perlu
2. Kolaborasi pemberian
transfusi darah, jika perlu
3. Kolaborasi pemberian
antiinflamasi, jika perlu
9 Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Jatuh
keperawatan diharapkan Observasi
risiko jatuh berkurang
1. Identifikasi faktor resiko jatuh
dengan kriteria hasil :
(mis usia ˃65 tahun,
jatuh dari tempat tidur
penurunan tingkat kesadaran,
menurun, jatuh saat berdiri
deficit kognitif, hipotensi
menurun.
ortostatik, gangguan
keseimbangan, gangguan
pengelihatan, neuropati)
2. Identifikasi resiko jatuh
setidaknya sekali selama shif
atau sesuai dengan kebijakan
institusi
3. Identifikasi faktor lingkungan
yang meningkatkan resiko
jatuh (mis, lantai licin,

39
penerangan kurang)
4. Hitung risiko jatuh dengan
menggunakan skala (mis. Far
morsle scale, humpty dumpty
scale), jika perlu
5. Monitor kemampuan
berpindah dari tempat tidur ke
kursi roda dan sebaliknya

Terapeutik

1. Orientasikan ruangan pada


pasien dan keluarga
2. Pastikan roda tempat tidur dan
kursi roda dalam keadaan
terkunci
3. Pasang handrail tempat tidur
4. Aturtempat tidur mekanis
dalam posisi terendah
5. Temapatkan pasien yang risiko
tinggi jatuh dekat dengan
pantauan perawat dari nurse
station
6. Gunakan alat bantu berjalan
(mis. Kursi roda, walker)
7. Dekatkan bel pemanggil dalam
jangkauan pasien

Edukasi

1. Anjurkan memanggil perawat


jika membutuhkan bantuan

40
untuk berpindah
2. Anjurkan menggunakan alas
kaki yang tidak licin
3. Anjurkan berkonsentrasi untuk
menjaga keseimbangan tubuh
4. Anjurkan melebarkan jarak
kedua kaki untuk
meningkatkan keseimbangan
saat berdiri
5. Ajarkan cara menggunakan bel
pemanggil untuk memanggil
pasien

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi adalah tahap ke empat dari proses keperawatan . tahap
ini muncul jika perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien.
Tindakan yang dilakukan mungkin sama mungkin juga berbeda dengan
urutan yang telah di buat pada perencanaan. Implementasi keperawatan
membutuhkan fleksibelitas dan kreatifits perawat. Sebelum melakukan
suatu tindakan, perawat harus mengetahui tindakan keperawatan yang
dilakukan sesuai dengan tindakan yang sudah direncanakan, dilakukan
dengan rencana yang tepat,aman,serta sesuai dengan kondisi pasien
(Nanda, 2015)
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. pada tahap ini
perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan
kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masakah yang
terjadi sudah diatasi seluruhnya,hanya sebagian,atau belum teratasi
semuanya. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan yaitu suatu proses
yang digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi klien untuk

41
mengetahui kesesuain tindakan keperawatan,perbaikan tindakan
keperawatan,kebutuhan klien saat ini,perlunya dirujuk pada tempat
kesehatan lain dan perlu menyusun ulang prioritas diagnose supaya
kebutuhan klienbisa terpenuhui atau teratasi (Nanda, 2015)

42
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA) adalah defisit neurologi yang
mempunyai awitan mendadak sebagai akibat dari adanya penyakit
cerebrovascular (Rudi Harmano, 2016).
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan pembuluh
darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga
mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca,
2012).
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori).

43
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, I.G. & Reggy, P. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada
Stroke. CDK-238. Vol. 43, No. 3 (Hlm. 180-184).
Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal
Bedah Keperawatan Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika
Arifianto, S.A., Moechammad, S. & Onny, S., 2014. Klasifikasi Stroke Berdasarkan
Kelainan Patologos dengan Learning Vector Quantization. Jurnal EECCIS.
8(2):117-22
Batticaca, F. B. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. (A. Novianty, Ed.). jakarta: Salemba Medika.
Haryanto, Goffar Dwi Agus., dkk. (2014). Pengaruh Terapi Aiueo Terhadap
Kemampuan Bicara Pada Pasien Stroke Yang Mengalami Afasia Motorik Di
Rsud Tugurejo Semarang. Jurnal Ilmu keperawatan Dan Kebidanan. Hal 1-11.
Ikawati, Z., 2014, Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa
Ilmu.
J. Goldszmidt, Adrian, R.Caplan, Louis. 2013. Stroke Esensial, edisi kedua. Jakarta:
PT Indeks.
Junaidi, Iskandar., 2012. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta : ANDI.
Masriadi H. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Trans Info
Media.
Mozaffarian D, et al. Heart Disease and Stroke Statistics—2015 Update A Report
From the American Heart Association. AHA Journal. 2015.
Muttaqin, A. (2014). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. (A. Novianty, Ed.). jakarta: Salemba Medika.
Udani, G., 2013. Stroke Di RSUD Indramayu. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai
Volume VI, pp. 59-50.
WHO. 2014. Health for the World’s Adolescents: A Second Chance in the Second
Decade. Geneva, World Health Organization Departemen of Noncommunicable
disease surveillance. (2014).

44

Anda mungkin juga menyukai