Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PENGGUNAAN OBAT RASIONAL PADA GERIATRIK DAN TERAPI


MEDIK DAN NON MEDIK YANG LAZIM DIBERIKAN PADA LANSIA

DOSEN PENGAMPU: ASWATI, S.Kep., Ners., M.Pd.


DISUSUN OLEH

KELOMPOK IV KELAS A1

APRIANTI PURNAMASARI 004STYC18


DEDE WIDYA NINGSIH 007STYC18
HAIRUL AZMI 022 STYC18

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM


PROGRAM STUDI PENDIDIDKAN NERS TAHAP AKADEMIK
MATARAM

2021

KATA PENGANTAR

i
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya dan shalawat serta salam tak lupa pula kita hanturkan
kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan tugas makalah dengan judul “PENGGUNAAN
OBAT RASIONAL PADA GERIATRIK DAN TERAPI MEDIK DAN NON
MEDIK YANG LAZIM DIBERIKAN PADA LANSIA”.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan obat rasional
pada lansia serta dapat mengetahui terapi medik dan non medik yang lazim
diberikan pada lansia.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada bapak dosen yang telah
mengarahkan dan membimbing kami dalam proses pembuatan makalah ini, serta
kepada rekan-rekan yang telah memberkan sumbang dan saranya untuk
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
sehingga makalah ini bisa lebih baik lagi. Harapan kami, semoga makalah ini
dapat memberi manfaat dan menambah pengetahuan bagi kita semua.
Mataram, 12 Oktober 2021
Kelompok IV
Penyusun

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
2.1 Penggunaan Obat Rasional Dalam Geriatrik........................................ 3
2.2 Masalah Kesehatan Yang Sering Muncul Pada Geriatrik.................... 10
2.3 Terapi Medik Dan Non Medik Yang Lazim Pada Lansia.................... 14
BAB III PENUTUP......................................................................................... 29
Kesimpulan.................................................................................................. 29
Saran............................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Warga usia lanjut yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998 tentang
Kesejahteraan Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
atau lebih. Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat
universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif,
perubahan secara bertahap, akumulatif, dan intrinsik. Proses penuaan
mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai organ di dalam tubuh seperti
sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem
immunologis, sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya.
Dengan bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari terjadinya perubahan
kondisi fisik baik berupa berkurangnya kekuatan fisik yang menyebabkan
individu menjadi cepat lelah maupun menurunnya kecepatan reaksi yang
mengakibatkan gerak-geriknya menjadi lamban. Selain itu timbulnya penyakit
yang biasanya juga tidak hanya satu macam tetapi multipel, menyebabkan usia
lanjut memerlukan bantuan, perawatan dan obat-obatan untuk proses
penyembuhan atau sekadar mempertahankan agar penyakitnya tidak bertambah
parah.
Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari
pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan
oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan
sebelumnya.
Keputusan terapi untuk pasien usia lanjut harus didasarkan pada hasil uji
klinik yang secara khusus didesain untuk pasien usia lanjut. Pasien usia lanjut
memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda. Penyakit
yang beragam dan kerumitan rejimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi
pada pasien usia lanjut. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien mengalami
kesulitan dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti

1
menggunakan obat dengan indikasi yang salah, menggunakan obat dengan dosis
yang tidak tepat atau menghentikan penggunaan obat.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana penggunaan obat yang rasional dalam geriatrik?
1.2.2. Apa saja terapi medik dan non medik yang lazim diberikan pada lansia?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai pengobatan rasional
dalam geriatrik dan terapi medik dan non medik yang lazim diberikan
pada lansia.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai apa yang dimaksud dengan
pengobatan rasional dalam geriatrik.
2. Mahasiswa dapat mengetahui pengobatan/ terapi medik dan non medik
yang biasa diberikan pada lansia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Penggunaan Obat Rasional Dalam Geriatrik


Menurut WHO penggunaan obat yang rasional diartikan sebagai penggunaan
obat ketika pasien mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya dalam
dosis obat yang sesuai kebutuhannya secara individual. Obat memiliki dua sisi
yang bertolak belakang. Pemberian obat yang benar dapat memberikan manfaat
menyembuhkan. Akan tetapi, penggunaan obat yang tidak benar dapat merugikan.
Kesalahan dalam penggunaan obat dapat berakibat pada bertambahnya biaya
pengobatan, tidak tercapainya tujuan pengobatan hingga membahayakan
kehidupan pasien (World Health Organization. 2002).
Beragamnya temuan patologik, polifarmasi, frekuensi fungsi organ borderline,
dan manisfestasi penyakit yang tidak khas pada geriatri membuat penanganan
penyakit pada kelompok usia ini menjadi tantangan tersendiri. Penggunaan Obat
pada geriatri terbagi dalam 3 aspek, yaitu: (1) Penyakit pada geriatri cendrung
terjadi pada banyak organ, sehingga pemberian obat juga cendrung bersifat
polifarmasi, belum lagi bila kecendrungan mengunjungi banyak dokter, sehingga
polifarmasi lebih sering terjadi, (2) Polifarmasi menyangkut biaya yang besar
untuk pembelian obat. Juga lebih banyak terjadi interaksi obat, efek samping obat
(ESO) dan reaksi sampingan yang merugikan, (3) Proses menua yang fisiologis
menyebabkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat, juga
penurunan fungsi dari berbagai organ, sehingga tingkat keamanan obat dan
efektifitas obat berubah bila dibandingkan dengan usia muda (Martono dan
Pranarka, 2014).
2.1.1. Perubahan Farmakokinetik Dan Farmakokinetik Pada Geriatik
Pada geriatri terjadi berbagai perubahan fisiologik pada organ dan
Sistema tubuh yang akan berpengaruh pada tanggapan tubuh terhadap obat.
Berbagai perubahan tersebut dalam istilah farmakologik dikenal sebagai
perubahan dalam hal farmakokinetik, farmakodinamik dan hal khusus lain

3
yang merubah perilaku obat dalam tubuh (Martono dan Pranarka, 2014).
Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan profil farmakokinetika dan
farmakodinamika pada pasien geriatri dari pasien dewasa yaitu perubahan
dari saluran gastrointestinal, perubahan komposisi tubuh, perubahan fungsi
hati, perubahan fungsi ginjal, perubahan pada reseptor spesifik dan tempat
sasarannya.
1. Farmakokinetik
Farmakokinetik dalam terapi berfungsi sebagai alat prediksi terhadap
besaran kadar obat plasma (KOP) dan efek obat. Dosis dan frekuensi
pemberian obat harus menghasilkan KOP yang selalu berada dalam
bingkai jendela terapi. Bila lebih besar akan terjadi efek toksik dan bila
terlalu kecil obat tidak bermanfaat.
Pada pasien geriatri terjadi perubahan fisiologis organ tubuh terkait
lanjut usia yang menyebabkan perubahan farmakokinetik suatu obat
terdiri dari absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Sesudah
diabsorbsi, obat melewati hati dan mengalami metabolisme pintas awal.
Bila tahap ini mengalami penurunan, sisa dosis obat yang masuk dalam
darah dapat melebihi perkiraan dan mungkin menambah efek obat,
bahkan sampai efek yang merugikan. Makanan dan obat lain dapat
memengaruhi absorbsi obat yang diberikan oral. Distribusi obat
dipengaruhi oleh berat dan komposisi tubuh, yaitu cairan tubuh, massa
otot, fungsi, dan peredaran darah berbagai organ.

4
Gambar: Perubahan Farmakokinetik Terkait Usia
Seiring penuaan, usia lanjut memiliki massa tubuh lebih rendah
dengan lemak yang lebih banyak dibanding usia muda. Beberapa obat
yang larut lemak memiliki peningkatan volume distribusi sehingga
tingkat pembersihan relatif memanjang pada orang tua. Perubahan
metabolisme obat di hati yaitu penurunan metabolisme oksidatif oleh
enzim sitokrom P450 (CYP) di hati. Selain itu, eliminasi obat terjadi
melalui ginjal, dan fungsi ginjal sering menurun seiring pertambahan
usia. Pertimbangan dalam praktik peresepan pada pasien usia lanjut
harus menjadi perhatian, terutama pada obat larut lemak, obat yang
dimetabolisme melalui enzim CYP, dan obat yang diekskresikan oleh
ginjal
2. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh dimana obat
akan menimbulkan rentetan reaksi biokimiawi dalam sel mulai dari
reseptor sampai efektor (Martono dan Pranarka, 2014). Sensitivitas
jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan
umur seseorang. Perubahan farmakodinamik usia geriatri lebih
kompleks dibanding farmakokinetiknya. Perubahan farmakodinamik
dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang
mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya
berkurang (Depkes RI, 2006).
2.1.2. Rasionalisasi Obat Pada Geriatrik
Pemberian obat pada geriatri harus selalu diupayakan serasional mungkin,
dengan cara-cara seperti berikut (Martono dan Pranarka, 2014):
1. Rejimen pengobatan
a. Menghindari periode pengobatan yang terlalu lama agar bisa
diadakan reevaluasi secepatnya atas pengobatan yang diberikan.
b. Jumlah dan jenis obat haruslah dibuat seminimal mungkin. Pasien
geriatri lebih sering keliru bila mendapatkan obat lebih darii 3 jenis.

5
Untuk hal ini terdapat pedoman penulisan resep bagi lansia, sebagai
berikut:
1) Obat harus diberikan atas diagnosis pasti
2) Harus diketahui dengan jelas efek obat, mekanisme kerja, dosis
dan efek samping yang mungkin timbul.
3) Apabila diperlukan pemberian polifarmasi, prioritaskan
pemberian obat yang ditujukan untuk mengurangi gangguan
fungsional.
4) Pemberian obat harus dimulai dengan dosis kecil, kemudian
dititrasi setelah beberapa hari (kecuali anti-infeksi harus
langsung osis optimal).
c. Frekuensi pemberian obat harus diupayakan sesedikit mungkin,
kalau mungkin sekali sehari. Upayakan memberinya bersamaan
dengan kegiatan rutin harian, misalnya makan.
2. Pengurangan dosis
Sebagai akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat
pada geritri, sebagai acuan umum dosis obat pada geriatri sebaiknya
dikurangi. Penyakit yang memperberat seringkali menurunkan bersihan
ginjal, terutama bila disertai dehidrasi. Pada keadaan ini sebaiknya
diadakan evaluasi atas dosis obat.
3. Meninjau ulang pengobatan
Golongan geriatri seringkali tidak menepati janji kontrol ulangan karena
keterbatasan gerak, ketiadaan angkutan, tidak ada yang mengantar,
ataupun takut pergi sendiri, sehingga seringkali penderita kehabisan obat
atau sebaliknya mengulang resep tanpa sepengetahuan dokter.
Peninjauan ulang pengobatan perlu dilaksanakan pada setiap kunjungan
ulangatau bila terjadi episode penyakit akut.
4. Kepatuhan penderita

6
Ketidakpatuhan pada penderita geriatri cukup besar, sehingga untuk
mengurangi ketidakpatuhan penderita geriatri dapat diupayakan hal-hal
sebagai berikut:
a. Penjelasan pada penderita
Penjelasan ada penderita meliputi efek obat yang dharapkan, cara
minum dan penderita diharapkan melaporkan efek samping yang
mungkin timbul.
b. Pilihan preparat
Penurunan kepatuhan sering dihubungkan dengan berubahnya
formulasi obat, variasi ukuran, bentuk, warna dan rasa obat, efek
samping tidk enak.
c. Wadah obat
Wadah obat sebaiknya mudah dibuka, terbuat dari bahan yang
transparan, misalnya plastik atau gelas, karena para lansia seringkali
mengenali obatnya dari bentuk, ukuran, warna tablet.
d. Label
Label harus memberikan petunjuk yang jelas terdiri dari aturan pakai
dan kegunaanya. Petunjuk sebaiknya ditulis dengan huruf cetak dan
huruf tebal.
e. Bantuan mengingat
Beberapa wadah seperti dosets dan medidos dapat mengurangi
kelupaan minum obat hingga 20%. Kartu identifikasi obat atau
kalender “sobek” dapat pula membantu.
d. Pengawasan minum obat
Pengawasan minum obat dapat dilaksanakan oleh keluarga, perawat
kunjungan rumah, pramu wreda dan lain-lain.
Berikut adalah kriteria penggunaan obat rasional menurut (Kementrian
kesehatan Republik Indonesia, 2011) Direktorat Bina Pengobatan Obat
Rasional, yaitu :
1. Tepat Pemilihan

7
Obat Setelah merasakan keluhan yang dirasakan maka memutuskan obat
yang akan dikonsumsi dengan memilih obat yang sesuai dengan gejala
yang dirasakan.

2. Tepat Dosis
Dosis obat sangat berpengaruh pada efek terapi obat. Pemberian dosis
yang rendah tidak akan menjamin tercapainya terapi yang diharapkan.
Sebaliknya pemberian dosis yang tinggi akan beresiko timbulnya efek
samping.
3. Tepat Cara Pemberian
Cara mengonsumsi obat bisa melalui oral atau lainnya seperti obat
antasida lebih baik di kunyah terlebih dahulu baru ditelan. Demikian
pula obat tidak baik jika dicampur dengan minuman berasa seperti susu,
kopi atau lainnya karena akan membentuk ikatan yang tidak dapat
diabsorbsi oleh tubuh.
4. Tepat Interval Waktu Pemberian
Praktis dan ketaatan dalam meminum obat harus teratur, apabila obat
harus dminum 3 kali dalam sehari maka interval waktu obat yang harus
diminum yaitu setiap 8 jam.
5. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat tergantung pada keluhan masing-masing, jika
meminum antibiotic maka harus dihabiskan sepenuhnya.
6. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat yang salah atau pengguna yang rentan akan obat
potensial dapat menyebabkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi.
7. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida.
Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida

8
sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada
kelompok ini meningkat secara bermakna.

8. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi.
9. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh
atau mengalami efek samping.
2.1.3. Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Dalam meningkatkan mutu pengobatan terhadap pasien perlu diperhatikan
hal-hal yang dapat menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada
geriatri. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2011):
1. Peresepan berlebih (overprescribing)
Memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang
bersangkutan.
2. Peresepan kurang (underprescribing)
Pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal
dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang
diperlukan untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori
ini.
3. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama.
Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk
penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis penyakit.
4. Peresepan salah (incorrect prescribing)

9
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi
yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat,
memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar,
pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada
pasien, dan sebagainya.

2.1.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Obat Tidak


Rasional
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat kurang rasional
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya pengetahuan dari tenaga kesehatan dalam ilmu obat-obatan.
2. Adanya kebiasaan dokter meresepkan jenis atau merk obat tertentu.
3. Kepercayaan masyarakat terhadap jenis atau merk obat tertentu.
4. Keinginan pasien yang cenderung ingin menggunakan obat tertentu,
dengan sugesti menjadi lebih cepat sembuh.
5. Adanya sponsor dari industri farmasi tertentu.
6. Pemberian obat berdasarkan adanya hubungan baik perorangan dengan
pihak dari industri farmasi.
7. Adanya keharusan dari atasan dalam suatu instansi atau lembaga
kesehatan untuk meresepkan jenis obat tertentu.
8. Informasi yang tidak tepat atau bias, sehingga pemakaian obat menjadi
tidak tepat.
9. Beban pekerjaan yang terlalu berat sehingga tenaga kesehatan menjadi
tidak sempat untuk berpikir mengenai rasionalitas pemakaian obat.
10. Adanya keterbatasan penyediaan jenis obat di suatu instansi atau
lembaga kesehatan tertentu, sehingga jenis obat yang diperlukan untuk
suatu penyakit justru tidak tersedia, sehingga memakai obat yang lain.
2.2. Masalah Kesehatan Yang Sering Muncul Pada Lansia
2.2.1. Hipertensi

10
Hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah sistolik seseorang
lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmHg
(The Joint National Community on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure 8 (JNC-8), 2014 dalam Mahendra
Prasetyo Kusomo,2020).
Hipertensi pada usia lanjut antara lain disebabkan oleh peningkatan
kekakuan dinding arteri, disfungsi endotel, penurunan refleks
baroreseptor, dan peningkatan sensitivitas natrium. Selain itu dengan
peningkatan usia, terjadi penurunan respon α dan β adrenergik dan
penurunan fungsi EDRF (Apoeso, 2007; Stokes, 2009).
Hipertensi (tekanan darah _ 14090 mmHg) merupakan masalah yang
sering dihadapi oleh penderita geriatri dengan prevalensi mencapai sekitar
60-80%. Dengan bertambahnya usia, maka tekanan darah sistolik
cendrung naik, sedangkan tekanan darah diastolik cendrung turun, seperti
yang terlihat pada survai studi Framingham dan NHANES sehingga tidak
mengherankan bahwa hipertensi sistolik terisolasi (ISH) atau tekanan
darah sistolik > 160mmHG dan diastolik < sering didapatkan pada lansia.
Keadaan ini perlu diwaspadai mengingat tekanan darah sistolik dan
tekanan nadi (pulse pressure) merupakan prediktor major dari akibat
hipertensi pada geriatri. Tekanan darah merupakan resultante hasil kali
antara curah jantung dan tahanan perifer. Secara fisiologi pada lansia
terjadi penurunan curah jantung dan peningkatan resistensi vaskuler
perifer. Akan tetapi pada pasien geriatri dengan hipertensi berbagai hal
yang terkait dengan perubahan fisiologis dapat berperan dalam
meningkatkan curah jantung (stroke volume, total periopheral resistance,
total blood volume dan renal blood flow) sehingga sebagai akibatnya
tekanan darah akan meningkat (Martono dan Pranarka, 2014
2.2.2. Diabetes
Diabetes melitus (DM) atau kencing manis merupakan suatu penyakit
yang ditandai dengan tingginya gula darahlebih dari 200 mg/dl akibat

11
kerusakan sel beta pancreas (tempat produksi insulin) (American Diabetes
Association, 2010; Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015 dalam
Mahendra Prasetyo Kusomo,2020).
Diabetes mellitus pada geriatri umumnya bersifat asimptomatik,
kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti
kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif
atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi,
agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Gejala klasik Diabetes
mellitus seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
tidak selalu tampak pada geriatri penderita Diabetes mellitus karena
seiring dengan bertambahnya usia maka terjadi kenaikan ambang batas
ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila
glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus
terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi,
sehingga geriatri penderita Diabetes mellitus mudah mengalami dehidrasi
hiperosmolar akibat hiperglikemia berat.
Diabetes mellitus yang diderita oleh geriatri sebagian besar adalah
diabetes mellitus tipe 2. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pada
geriatri menderita diabetes mellitus tipe 1, insulin requiring cases, dan
LADA. Faktor resiko terjadinya diabetes pada geriatri antara lain
resistensi insulin perifer pada DM tipe 2, perubahan pola hidup dan
timbulnya penyakit lain (Martono dan Pranarka, 2014).
2.2.3. Remathoid Artritis
Artritis merupakan penyakit autoimun yang mengakibatkan kerusakan
sendi dan kecacatan serta memerlukan pengobatan dan kontrol jangka
panjang (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014 dalam Mahendra
Prasetyo Kusomo,2020).
Rematoid atritis adalah penyakit peradangan sistemik kronis yang
tidak diketahui penyebabnya dengan manifestasi pada sendi perifer
dengan pola simetris. Konstitusi gejala, termasuk termasuk kelahan,

12
malaise, dan kekakuan pada pagi hari. Pada rematoid atritis sering
melibatkan ekstra-artikular seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata.
Rematoid atritis menyebabkan kerusakan sendi dan dengan demikian
sering menyebabkan morbiditas dan kematian yang cukup besar
2.2.4. Stroke
Stroke adalah penyakit yang terjadi akibat suplai oksigen dan nutrisi
ke otak terganggu karena pembuluh darah tersumbat atau pecah
(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2017 dalam Mahendra
Prasetyo Kusomo,2020). Stroke merupakan gangguan yang terutama
menyerang penderita geriatri, sehingga stroke merupakan bagian dari
sindroma serebral/ sindrom geriatrik. Patologi dasar dari stroke adalah
suatu kelainan sebagai akibat berbagai faktor resiko yang kemudian
mengarah pada terjadinya 2 jenis kelainan utama stroke, yaitu
penyumbatan baik oleh suatu trombus atau emboli yang menyebabkan
terjadinya stroke iskemik, dan pecahnya suatu anerisma atau penipisan
dinding arteri (cabangnya) yang mengakibatkan terjadinya suatu strok
hemorrhagik. Secara patologi apa yang terjadi pada pembuluh darah di
otak serupa dengan apa yang terjadi di jantung, terutama jenis emboli dan
trombosis. Oleh karena itu faktor resiko terjadinya stroke serupa dengan
faktro resiko penyakit jantung iskemik, yaitu: usia, hipertensi baik sistolik
maupun diastolik, diabetes mellitus, hiperlipidemia, hiperviskositas,
kelainan jantung (fibrilasi atrium, infark miokard, trombosis), koagulopati,
faktor keturunan, dan hipovolemia dan hipotensi (Martono dan Pranarka,
2014).
2.2.5. PPOK
Penyakit paru-paru obstruktif kronis adalah penyakit paru kronik
(menahun) yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas,
semakin lama semakin memburuk dan tidak sepenuhnya dapat kembali
normal (Kusomo,2020). Beberapa faktor risiko dari PPOK meliputi usia,
semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Faktor

13
risiko yang ke dua, yaitu riwayat merokok (perokok aktif, perokok pasif,
bekas perokok). Asap rokok (environmental tobacco smoke/ETS) adalah
gas beracun yang dikeluarkan dari pembakaran produk tembakau yang
biasanya mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Faktor risiko yang ke tiga, yaitu
terdapat paparan polusi udara di lingkungan rumah dan tempat kerja,
pencemaran udara dalam ruang terutama rumah dan lingkungan kerja
sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya orang
lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan di dalam
rumah dan lingkungan kerja. Faktor risiko yang terakhir, yaitu riwayat
infeksi saluran napas bawah berulang, baik infeksi viral maupun bakteri
akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan
progresivitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya
inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang
penting terhadap terjadinya eksaserbasi
2.3. Terapi Medik Dan Non Medik Yang Lazim Pada Lansia
2.3.1. Hipertensi
1. Terapi Medik (Farmakologi)
Beberapa kelompok obat lini pertama yang lazim digunakan untuk
pengobatan hipertensi, yaitu diuretik, β-blocker, penghambat
Angiotensin Converting Enzyme (ACEI), penghambat reseptor
angiotensin (ARB), dan Bloker Saluran Kalsium.
a. Deuritik
Obat jenis ini biasanya merupakan obat pertama yang
diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal
membuang garam, yang akan mengurangi volume cairan diseluruh
tubuh sehingga daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan
megurangi tekanan darah. Diuretik juga menyebabkan pelebaran
pembuluh darah dan menyebabkan hilangnya kalium melalui urine
sehingga kadang-kadang diberikan tambahan kalium atau obat

14
penahan kalium. Obat deuritik di juga dikenal sebagai obat yang
meningkatkan voume urine. Berikut beberapa penggolongan
deuritik yakni:
1) Deuritik Tiazid
Deuritik tiazid berfungsi untuk menghambat reabsorpsi
natrium dan klorida pada ansa Henle asenden tebal dan awal
tubulus distal. Yang termasuk golongan obat deuritik tiazid
yakni: Klorotiazid, Hidroklorotiazid, Klortalidon, Metolazon,
Indapamid, Hidroflumetiazid.
2) Diuretik Loop
Diuretik loop berfungsi menghambat reabsorbsi pada ansa
Henle asenden tebal. Deuritik loop sering digunkan juga untuk
mengurangi edema paru pada pasien-pasien gagal jantung
kongestif. Yang termasuk golongan obat deuritik loop yakni:
Furosemid, Bumetanid, Asam Etakrinat, Torsemid.
3) Deuritik Hemat Kalium
Deuritik hemat kalium meningkatkan eksresi natrium dan
menahan kalium dengan suatu kerja pada tubulus distal. Yang
termasuk golongan obat deuritik hemat kalium yakni:
Spironolakton, Amilorid, Triamteren.
b. Beta-Blockers
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui
penurunan daya pompa jantung. Jenis beta blockers tidak
dianjurkan pada penderita yang diketahui mengidap gangguan
pernapasan, seperti asma bronkial. Yang termasuk golongan obat
beta blockers yakni: Celiprolol Hydrochloride, Esmolol
Hydrochloride, Lebetalol Hydrochloride, Metaprolol Tartrate,
Nadolol, Oxprenolol Hydrochloride, Pindolol, Sotalol
Hydrochloride, Timolol Maleate.
c. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE Inhibitor)

15
ACE Inhibitor menyebabkan penurunan tekanan darah dengan
cara melebarkan arteri. Obat ini efektif diberikan kepada orang
kulit putih, usia muda, penderita dengan protein dalam air
kemihnya yang disebabkan oleh penyakit ginjal menahun atau
penyakit ginjal diabetic. Yang termasuk golongan obat ACE
inhibitor yakni: Captopril, Enalapril, Benazepril, Fosinopril,
Lisinopril, Moeksipril, Perindopril, Kuinapril, Ramipril,
Trandolapril.

d. Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs)


Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat
angiotensin II pada reseptor yang mengakibatkan ringannya daya
pompa jantung. . Yang termasuk golongan obat angiotensin II
yakni: Kandesartan, Eprosartan, Losartan, Ibesartan, Olmesartan,
Telmisartan, Valsartan.
e. Bloker Saluran Kalsium
Bloker saluran kalsium menghambat masuknya kalsium ke
dalam sel. Obat-obat ini menyebabkan penuran afterload. Yang
termasuk golongan obat bloker saluran kalsium yakni: Diltiazem,
Nifedipin, Verapamil, Amlodipin, Felodipin, Isradipin, Nikardipin,
Nisoldipin.
2. Terapi Non Medik (Non-Farmakologi)
Terapi non - farmakologis atau non medik terdiri dari
menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan berlebih,
konsumsi alkohol berlebih, asupan garam dan asupan lemak, latihan
fisik serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur.
a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih

16
Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh
terhadap tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat
badan sangat penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
b. Meningkatkan aktivitas fisik
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-
50% dari pada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-
45 menit sebanyak > 3x/hari penting sebagai pencegahan primer
dari hipertensi.
c. Mengurangi asupan natrium
Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, makaperlu pemberian
obat anti hipertensi oleh dokter.

d. Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol


Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga
mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara
konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan
risiko hipertensi
e. Berhenti merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit
kardiovaskuler, dan pasien sebiknya dianjurkan untuk berhenti
merokok.
2.3.2. Diabetes Melitus
1. Terapi Medik (Farmakologi)
Polifarmasi dalam pengobatan DM pada pasien lansia sering
terjadi. Simplifikasi rejimen pengobatan direkomendasikan untuk
mengurangi risiko hipoglikemia. Dalam penentuan rejimen
pengobatan, direkomendasikan obat yang memiliki risiko
hipoglikemia rendah.
a. Metformin

17
Metformin adalah agen lini pertama untuk DM tipe 2.
Metformin aman dan efektif bagi pasien lansia karena tidak
menyebabkan hipoglikemia. Studi terbaru menunjukkan bahwa
metformin dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan laju
filtrasi glomerulus ≥ 30 mL/min/1,73 m2. Namun, obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal tahap
lanjut dan digunakan secara hati-hati pada pasien dengan gangguan
fungsi hati atau gagal jantung karena meningkatkan risiko asidosis
laktat. Metformin dapat dihentikan sementara sebelum prosedur
invasif, selama rawat inap, dan terdapat penyakit akut yang dapat
mengganggu fungsi ginjal atau hati.

b. Thiazolidinediones
Obat golongan ini harus digunakan dengan sangat hati-hati
pada pasien lansia dengan gagal jantung kongestif dan pasien
lansia yang memiliki risiko tinggi terjatuh atau patah tulang.
c. Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea berhubungan dengan risiko
hipoglikemia dan harus digunakan dengan hati-hati. Jika
digunakan, sulfonilureas kerja lebih pendek seperti glipizid lebih
direkomendasikan. Glibenclamide/ glyburide merupakan
sulfonilurea kerja lama dan dikontraindikasikan pada pasien lansia.
d. DPP-IV inhibitor
Obat golongan DPP-IV inhibitor memiliki risiko hipoglikemia
minimal, namun harga obat yang mahal mungkin menjadi
penghalang bagi beberapa pasien lansia.
e. SGLT-2 inhibitor

18
Data penggunaan jangka panjang obat golongan ini masih
terbatas meski data keamanan dan keamanan awal telah
dilaporkan.
f. Terapi insulin
Terapi insulin mengharuskan pasien atau pengasuh pasien
memiliki kemampuan fungsional dan kemampuan kognitif yang
baik. Terapi insulin bergantung pada kemampuan pasien untuk
menyuntikkan insulin sendiri atau dengan bantuan pengasuh. Dosis
insulin harus dititrasi untuk memenuhi target glikemik individual
dan untuk menghindari hipoglikemia. Terapi injeksi insulin basal
yang diberikan sekali per hari dikaitkan dengan efek samping
minimal dan mungkin merupakan pilihan yang baik. Penggunaan
insulin dengan dosis lebih dari sekali per hari mungkin terlalu
rumit untuk pasien lansia dengan komplikasi diabetes lanjut,
penyakit komorbiditas yang membatasi aktivitas, atau status
fungsional terbatas.
2. Terapi Non Medik (Non Farmakologi)
a. Diet yang tepat
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan Diabetes Melitus. Menurut Departemen
Kesehatan RI menetapkan bahwa kebutuhan kalori individu
sebesar 2000 kkalori/hari. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita
Diabetes Melitus diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini :
1) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin,
mineral).
2) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai.
3) Memenuhi kebutuhan energi.
4) Mencegah fluktasi kadar glukosa darah mendekati normal
melalui caracara yang aman dan praktis.
5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.

19
b. Latihan fisik
Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan Diabetes
Melitus karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah
dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan akan
menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan
berolahraga. Latihan dengan cara melawan tahanan (resistance
training) dapat meningkatkan lean body mass dan dengan
demikian menambah laju metabolisme istirahat (resting metabolic
rate). Semua efek ini sangat bermanfaat pada Diabetes Melitus
karena dapat menurunkan berat badan, mengurangi rasa stress dan
mempertahankan kesegaran tubuh. Latihan ini juga akan
mengubah kadar lemak darah yaitu, meningkatkan kadar HDL-
Kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida.
Semua manfaat ini sangat penting bagi penyandang Diabetes
Melitus mengingat adanya peningkatan resiko untuk terkena
penyakit kardiovaskuler pada Diabetes Melitus.
2.3.3. Rheumatoid Artritis
1. Terapi Medik (Farmakologi)
Pengobatan pada rheumatoid arthritis meliputi pemberian aspirin
untuk mengurangi nyeri dan proses inflamasi, NSAIDs untuk
mengurangi inflamasi, pemberian corticosteroid sistemik untuk
memperlambat destruksi sendi dan imunosupressive terapi untuk
menghambat proses autoimun.
2. Terapi Non Medik (Non Farmakologi)
a. Pengaturan aktivitas dan istirahat. Pada kebanyakan penderita,
istirahat secara teratur merupakan hal penting untuk mengurangi
gejala penyakit. Pembebatan sendi yang terkena dan pembatasan
gerak yang tidak perlu akan sangat membantu dalam mengurangi

20
progresivitas inflamasi. Namun istirahat harus diseimbangkan
dengan latihan gerak untuk tetap menjaga kekuatan otot dan
pergerakan sendi.
b. Kompres panas dan dingin.Kompres panas dan dingin digunakan
untuk mendapatkan efek analgesic dan relaksan otot. Dalam hal ini
kompres hangat lebih efektive daripada kompres dingin.
c. Diet. Untuk penderita rheumatoid arthritis disarankan untuk
mengatur dietnya. Diet yang disarankan yaitu asam lemak omega-3
yang terdapat dalam minyak ikan.
d. Pembedahan. Pembedahan dilakukan apabila rheumatoid arthritis
sudah mencapai tahap akhir. Bentuknya dapat berupa tindakan
arhthrodesis untuk menstabilkan sendi, arthoplasty atau total join
replacement untuk mengganti sendi.
e. Kompres dengan es saat kaki bengkak dan kompres air hangat saat
nyeri.
f. Terapi distraksi untuk mengalihkan menurunkan nyeri dengan
menggunakan terapi musik
g. Kompres air hangat rebusan jahe merah menurut penelitian
Ferawati (2017) menyatakan bahwa kompres jahe merah bisa
menurunkan skala nyeri pada reumatik.
2.3.4. Stroke
Penanganan stroke ditentukan oleh penyebab stroke dan dapat berupa
terapi farmasi, radiologi intervensional, atau pun pembedahan. Untuk
stroke iskemik, terapi bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah keotak,
membantu lisis bekuan darah dan mencegah trombosis lanjutan,
melindungi jaringan otak yang masih aktif, dan mencegah cedera sekunder
lain. Pada stroke hemoragik, tujuan terapi adalah mencegah kerusakan
sekunder dengan mengendalikan tekanan intrakranial dan vasospasme,
serta mencegah perdarahan lebih lanjut.
1. Terapi Medik (Farmakologi)

21
Penatalaksanaan farmakologi yang bisa dilakukan untuk pasien
stroke yaitu pemberian cairan hipertonis jika terjadi peninggian
tekanan intra kranial akut tanpa kerusakan sawar darah otak (Blood-
brain Barrier), diuretika (asetazolamid atau furosemid) yang akan
menekan produksi cairan serebrospinal, dan steroid (deksametason,
prednison, dan metilprednisolon) yang dikatakan dapat mengurangi
produksi cairan serebrospinal dan mempunyai efek langsung pada sel
endotel (Affandi dan Reggy, 2016). Pilihan pengobatan stroke dengan
menggunakan obat yang biasa direkomendasi untuk penderita stroke
yakni:
a. Tissue plasminogen activator (tPA) yang diberikan melalui
intravena. Fungsi tPA ini yaitu melarutkan bekuan darah dan
meningkatkan aliran darah ke bagian otak yang kekurangan aliran
darah (National Stroke Association, 2016).
b. Pemberian aspirin telah menunjukkan dapat menurunkan risiko
terjadinya early recurrent ischemic stroke (stroke iskemik
berulang), tidak adanya risiko utama dari komplikasi hemoragik
awal, dan meningkatkan hasil terapi jangka panjang (sampai
dengan 6 bulan tindakan lanjutan). Pemberian aspirin harus
diberikan paling cepat 24 jam setelah terapi trombolitik. Pasien
yang tidak menerima trombolisis, penggunaan aspirin harus
dimulai dengan segera dalam 48 jam dari onset gejala (National
Medicines Information Centre, 2011).
c. Terapi Antikoagulan. Terapi antikoagulan bertujuan mencegah
kekambuhan stroke secara dini dan meningkatkan outcame secara
neurologis. Contoh agen atikoagulan adalah heparin,
unfractionated heparin, low-molecular-weight heparins (LMWH),
heparinoids warfarin.
d. Terapi Antiplatelet. Terapi antiplatelet bertujuan untuk
meningkatkan kecepatan rekanalisasi spontan dan perbaikan

22
mikrovaskuler. Agen antiplatelet ada oral dan intravena. Contoh
agen atiplatelet oral yaitu aspirin, clopidogrel, dipiridamol-aspirin
(ASA), tiklopidin. Agen antiplatelet intravena adalah platelet
glikopotein IIb/IIIa, abvicimab intravena (Ikawati, 2014)
e. Terapi suportif dengan infus manitol bertujuan untuk mengurangi
edema disekitar perdarahan
f. Pemberian Vit K dan fresh frozen plasma jika perdarahannya
karena komplikasi pemberian warfarin.
g. Pemberian protamin jika perdarahannya akibat pemberian heparin.
h. Pemberian asam traneksamat jika perdarahnnya akibat komplikasi
pemberian trombolitik (Ikawati, 2014)

2. Terapi Non Medik ( Non Farmakologi)


a. Fisioterapi
Kegunaan metode fisioterapi yang digunakan untuk menangani
kondisi stroke stadium akut bertujuan untuk :
1) Mencegah komplikasi pada fungsi paru akibat tirah baring
yang lama.
2) Menghambat spastisitas, pola sinergis ketika ada peningkatan
tonus
3) Mengurangi oedem pada anggota gerak atas dan bawah sisi
sakit
4) Merangsang timbulnya tonus ke arah normal, pola gerak dan
koordinasi gerak
5) Meningkatkan kemampuanaktivitas fungsional
b. Terapi Wicara

23
Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, sangat perlu
dilakukan latihan bicara baik disartia maupun afasia. Speech
therapy sangat dibutuhkan mengingat bicara dan komunikasi
merupakan faktor yang berpengaruh dalam interaksi sosial.
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu proses
rehabilitasi pada penderita gangguan komunikasi sehingga
penderita gangguan komunikasi mampu berinteraksi dengan
lingkungan secara wajar dan tidak mengalami gangguan
psikososial.
Terapi wicara difokuskan pada pembentukan organ bicara agar
dapat memproduksi bunyi dengan tepat. Terapi ini biasanya
meliputi bagaimana menempatkan posisi lidah dengan tepat,
bentuk rahang, dan mengontrol nafas agar dapat memproduksi
bunyi dengan tepat. Bunyi yang dihasilkan oleh adanya getaran
udara, akan diterima oleh saraf pendengaran. Melalui saraf
pendengaran, rangsangan diterima dan diolah sebagai informasi.
Sehingga terapi wicara ini dapat meningkatkan kemampuan bicara.
Teknik yang diajarkan pasien afasia adalah menggerakkan otot
bicara yang akan digunakan untuk mengucapkan lambanglambang
bunyi bahasa yang sesuai dengan pola-pola standar, sehingga dapat
dipahami oleh pasien. Hal ini disebut dengan artikulasi organ
bicara. Pengartikulasia bunyi bahasa atau suara akan dibentuk oleh
koordinasi tiga unsur, yaitu unsur motoris (pernafasan), unsur yang
bervibrasi (tenggorokan dengan pita suara), dan unsur yang
beresonansi (rongga penuturan: rongga hidung, mulut dan dada).
Latihan pembentukan huruf vokal terjadi dari getaran selaput
suara dengan nafas keluar mulut tanpa mendapat halangan. Dalam
sistem fonem bahasa Indonesia, vokal terdiri dari A, I, U, E dan O.
Dalam pembentukan vokal yang penting diperhatikan adalah letak
dan bentuk lidah, bibir, rahang, dan langit-langit lembut (velum).

24
Pasien stroke yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi,
salah satunya dapat ditangani dengan cara terapi AIUEO untuk
menggerakkan lidah, bibir, otot wajah, dan mengucapkan kata-kata
(Haryanto, 2014).
c. Terapi Nurisi
Manajemen nutrisi pada pasien stroke perdarahan bertujuan
untuk meningkatkan status gizi dan memperbaiki status metabolik
pasien. Disfagia merupakan faktor risiko utama terjadinya
malnutrisi pada stroke. Depresi, xerostomia, kelelahan otot
mengunyah, penurunan kesadaran, mobilitas menurun dan oral
hygiene yang buruk serta meningkatnya katabolisme terutama pada
perdarahan subarachnoid juga harus dipertimbangkan sebagai
penyebab malnutrisi. Malnutrisi ditemukan pada periode stroke
akut dan selama periode rehabilitasi. Malnutrisi menggambarkan
ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan energi dan
protein, dengan kebutuhan metabolik melebihi asupan nutrisi yang
menyebabkan berkurangnya komposisi tubuh dan gangguan fungsi
biologis. Pada saat masuk rumah sakit, adanya penyakit kronis,
polifarmasi, sulit menelan dan gangguan fungsional dapat
menimbulkan risiko malnutrisi khususnya pada usia lanjut.
Disfagia merupakan faktor risiko utama terjadinya malnutrisi
pada stroke sehingga terjadi penurunan asupan nutrisi secara
bermakna. Penatalaksanaan disfagia termasuk modifikasi asupan
makanan (mengubah konsistensi makanan dan minuman bersama
suplemen nutrisi), penerapan teknik menelan yang aman, dan
pemberian makanan enteral. Pada pasien stroke beberapa
suplementasi mikronutrien yang perlu diberikan pada pasien
berupa zinc, vitamin b, curcuma dan asam folat.
1) Zinc

25
Zinc merupakan kofaktor bagi lebih dari 300 reaksi enzimatik
dalam tubuh. Pada sel saraf, zinc berperan dalam transmisi
sinaptik dan neuromodulator endogen. Peranan zinc terhadap
vascular otak dan risiko stroke:
a) Aktivasi sintesis protein otak untuk memperbaiki
kerusakan neurokognitif
b) Mengendalikan pembentukan sinaps baru untuk
memperbaiki neurotransmisi
c) Sebagai kofaktor dismutase superoksida untuk mengatasi
stress oksidatif.

Pada pasien ini diberikan suplementas zinc 10 mg/hari.


Menuru ASPEN 2011, pemberian zinc 10 mg selama 30 hari
sudah dapat menormalkan asupan harian zinc harian dan
menunjukkan perbaikan dari defisit neurologi.

2) Vitamin B
Suplementasi dengan vitamin B digunakan untuk
menurunkan kadar homosistein plasma yang meningkat untuk
mencegah penyakit serebrovaskuler. Dalam meta-analisis yang
dilakukan oleh Dong et al dan Huang et al disimpulkan bahwa
pemberian suplementasi vitamin B kombinasi dan asam folat
secara signifikan menurunkan jumlah homosistein sehingga
dapat mengurangi kejadian stroke dan mengurangi insiden
stroke berulang.
3) Curcuma
Pemberian suplementasi kurkuma sebanyak 1,2 gram per
hari karena curcuma mengandung zat kurkumin dalam
beberapa penelitian yang telah dipublikasikan mempunyai
aktifitas sebagai anti inflamasi, anti oksidan dan sebagai
appetite stimulant (Andriyati, 2020).

26
4) Asam Folat
Asam folat. Asam folat dapat menurunkan risiko
penyempitan pembuluh darah otak. Asam folat terkandung
dalam jenis sayuran, seperti bayam, salada, dan pada buah
papaya.
d. Tindakan bedah
Penatalaksanaan stroke yang bisa dilakukan yaitu dengan
pengobatan pembedahan yang tujuan utamanya yaitu memperbaiki
aliran darah serebri contohnya endosterektomi karotis (membentuk
kembali arteri karotis), revaskularisasi, dan ligasi arteri karotis
komunis di leher khususnya pada aneurisma (Muttaqin, 2008).
Tindakan bedah lainnya yaitu decompressive surgery. Tindakan ini
dilakukan untuk menghilangkan haematoma dan meringankan atau
menurunkan tekanan intra kranial. Tindakan ini menunjukkan
peningkatan hasil pada beberapa kasus, terutama untuk stroke pada
lokasi tertentu (contohnya cerebellum) dan atau pada pasien stroke
yang lebih muda (< 60 tahun) (National Medicines Information
Centre, 2011).
2.3.5. PPOK
1. Terapi Medik (Farmakologi)
Beberapa terapi medik atau farmakologi yang biasa diberikan pada
lansia dengan kasus PPOK yakni salbutamol, gliseril guaiakolat,
Spiriva respimat (tiotropium bromide) inhaler, Dexamethasone,
Ambroxol.
Salbutamol merupakan agen beta adrenergik yang digunakan
sebagai bronkodilator. Mekanisme kerja obat meningkatkan jumlah
cyclic AMP yang berdampak pada relaksasi otot polos bronkial serta
menghambat pelepasan mediator penyebab reaksi hipersensitivitas dari
mast cell. Gliseril guaiakolat yang merupakan golongan ekspektoran
digunakan untuk memudahkan refleks batuk sehingga dapat

27
meningkatkan volume sekresi. Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas
tata laksana kronik dan tata laksana eksaserbasi, masing masing sesuai
dengan klasifikasi (derajat) beratnya. Secara umum, tata laksana
PPOK dalam pemberian obat-obatan seperti bronkodilator, anti
inflamasi, antibiotik, mukolitik, antitusif atau ekspektoran (Lubis,
2014).
2. Terapi Non Medik (Non Farmakologi)
a. Memberikan penjelasan mengenai PPOK dan komplikasinya.
b. Edukasi kepada pasien bahwa PPOK tidak dapat disembuhkan
namun hanya dapat dikontrol/ dicegah agar tidak terjadi
perburukan dan penatalaksanaannya bersifat seumur hidup.
c. Edukasi kepada pasien tentang obato-batan yang dikonsumsi oleh
pasien, berupa kerjanya dan efek sampingnya.
d. Edukasi untuk menghindari pajanan terhadap polusi udara
e. Edukasi dan Konseling tentang bahaya merokok dan upaya
berhenti merokok.
f. Memberikan edukasi tentang pengaturan pola hidup yang sehat.
Mengenai olahraga yang minimal dilakukan 3x/minggu selama ±
30 menit
g. Memberikan motivasi kepada pasien untuk mengikuti program
posyandu lansia yang dilaksanakan oleh puskesmas setempat.
h. Memberikan penjelasan tentang TB dan bagaimana mencegah
penularannya.
i. Edukasi dan konseling mengenai latihan untuk otot pernafasan
seperti purse lip breathing.
j. Fisioterapi dada membantu pasien untuk mengelurakan sputum
dengan baik.
k. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal
napas karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap
CO2. (Simbolan, 2020)

28
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pemberian obat yang rasional dapat memberikan manfaat menyembuhkan.
Akan tetapi, penggunaan obat yang tidak rasional dapat merugikan. Kesalahan
dalam penggunaan obat dapat berakibat pada bertambahnya biaya pengobatan.
Tujuan dari penggunaan obat yang rasional adalah Untuk menjamin pasien
mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu
yang adekuat dengan harga yang terjangkau. Pada lansia perlu di perhatikan
menegai farmakodinamik dan farmakokinetik dimana pada pasien geriatri terjadi

29
perubahan fisiologis organ tubuh terkait lanjut usia yang menyebabkan perubahan
farmakokinetik suatu obat (penyerapan obat, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi) dan pada farmakodinamik yakni pengaruh obat terhadap tubuh dimana
obat akan menimbulkan rentetan reaksi biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor
sampai efektor, dengan bertambahnya umur seseorang maka Sensitivitas jaringan
terhadap obat juga mengalami perubahan. Pemberian obat pada geriatri harus
selalu diupayakan serasional mungkin, dengan cara-cara seperti; Rejimen
pengobatan, Pengurangan dosis, Meninjau ulang pengobatan, Meninjau ulang
pengobatan.
Pada lansia terdapat berbagai masalah yang dapat terjadi seperti Hipertensi,
Diabetes Mellitus, Stroke, PPOK, Remathoid Atritis dan masih banyak lagi.
Dengan bertambahnya usia seseorang maka setiap tindakan medik yang diberikan
harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Ada beberapa tindakan yang dapat
dilakukan sepserti tindakan medik berupa pemberian obat da nada juga tindakan
non medik atau non farmakologi yakni dengan memberikan tindakan keperawatan
sepserti edukasi terapi, dll.
3.2. Saran
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca dan isi dari
makalah ini dapat dengan mudah dipahami oleh para pembaca sehingga pembaca
dapat mengetahui informasi yang disampaikan dari penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, I.G. & Reggy, P. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada
Stroke. CDK-238. Vol. 43, No. 3 (Hlm. 180-184).
Andriyati, Lista., dkk. (2020). Terapi Nutrisi Pada Stroke Perdarahan Disertai
Hiponatremia Dan Hipokalemia. Indonesia journal of Clinical Nutrition
physician. No. 1(2), Hal 95-103.
Anonim. 2002. WHO Drug Information, Vol 16, No.3. Geneva: World Health
Organization.
Anonimc. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) untuk
Pasien Geriatri. Depkes RI. Jakarta.
Fauziah, Husnah., dkk. (2020). Polifarmasi Pada Pasien Geriatrik. Jurnal Human

30
Care. No. 3(5), Hal 803-812.
Haryanto, Goffar Dwi Agus., dkk. (2014). Pengaruh Terapi Aiueo Terhadap
Kemampuan Bicara Pada Pasien Stroke Yang Mengalami Afasia Motorik Di
Rsud Tugurejo Semarang. Jurnal Ilmu keperawatan Dan Kebidanan. Hal 1-11.
Kemenkes RI, 2011, Modul Penggunaan Obat Rasional, Bina Pelayanan
Kefarmasian, Jakarta.
Kusomo, Mahendra Prasetyo. (2020). Buku Lansia. Yogyakarta: Lembag Penelitian,
Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) UMY.
Lubis, Evi Febriani. (2014). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Management In Old Male With History As Actuive Smokers. J Agromed Unila,
No. 2(1), Hal 92-98.
Martono H. Pranarka K. (2011). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).
Ed-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Prasetyo, Agung. 2019. Tatalaksana Diabetes Melitus pada Pasien Geriatri. CDK-
277. No. 6(46), Hal 420-422.
Simbolon, Purnama & Dian Mayasari. (2020). Penatalaksanaan Holistik Penyakit
Paru Obstruktif Kronis Dengan Riwayat Tuberkulosis Paru Pada Lansia
Perokok. Medula. No. 1(10), Hal 88-97.
Supraptia, Budi., dkk. (2014). Permasalahan Terkait Obat Antihipertensi pada Pasien
Usia Lanjut di Poli Geriatri RSUD Dr.Soetomo, Surabaya. Jurnal Farmasi Dan
Ilmu Kefarmasian Indonesi. No. 2(1), Hal 36-41.

31

Anda mungkin juga menyukai