Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN POST APP APENDIK DI RUANGAN ICU RSUD

KOTA MATARAM

OLEH :

HENGKY SUTOMO
NIM:023STYC18

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT SEKOLAH

TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN NERS

MATARAM

2022
BAB 1

1.1 PENDAHULUAN
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia
10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne
(2001), Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran
bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat.Apendisitis merupakan indikasi tersering pengangkatan
apendiks, walaupun pembedahan ini dapat juga dilakukan untuk tumor, misalnya
karsinoid atau adenokarsinoma (Sylvia A. Price, 2006).Apendiktomi adalah
pembedahan dengan cara pengangkatan apendiks Pembedahan adalah suatu
penanganan medis secara invasif yang dilakukan untuk mendiagnosa atau
mengobati penyakit, injuri, atau deformitas tubuh (LeMone & Burke, 2003).Jadi,
dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai
apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
1.2 Karakteristik Nyeri
Teori PQRST menurut Marlynn Jackson dan Lee Jackson (2011):
P (provokasi/pemicu) : faktor yg mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri
Q (quality) : seperti apa-> tajam, tumpul, tersayat atau seperti
ditusuk-tusuk
R (region) : daerah perjalanan nyeri
S (severity/skala nyeri) : keparahan / intensitas nyeri (skala 1-10)
T (time) : lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri
1.3 Etiologi Nyeri
1.3.1 Faktor Resiko
a. Nyeri akut
a) Melaporkan nyeri secara verbal dan non verbal
b) Menunjukkan kerusakan
c) Posisi untuk mengurangi nyeri
d) Muka dengan ekspresi nyeri
e) Gangguan tidur
f) Respon otonom (penurunan tekanan darah, suhu, nadi)
g) Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, nafas panjang, mengeluh)
b. Nyeri kronis
a) Perubahan berat badan
b) Melaporkan secara verbal dan non verbal
c) Menunjukkan gerakan melindungi, gelisah, depresi, fokus pada diri
sendiri
d) Kelelahan
e) Perubahan pola tidur
f) Takut cedera
g) Interaksi dengan orang lain menurun
1.3.2 Faktor Predisposisi
a. Trauma
b. Peradangan
c. Trauma psikologis
1.3.3 Faktor Presipitasi
a. Lingkungan
b. Suhu ekstrim
c. Kegiatan
d. Emosi
1.4 Manifestasi Klinik
1.4.1 Tanda dan Gejala Nyeri
a. Gangguam tidur
b. Posisi menghindari nyeri
c. Gerakan meng hindari nyeri
d. Raut wajah kesakitan (menangis,merintih)
e. Perubahan nafsu makan
f. Tekanan darah meningkat
g. Pernafasan meningkat
h. Depresi
1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di
antaranya adalah:
1.5.1 Arti Nyeri. Nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan
hamper sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti
membahayakan, merusak, dan lain-lain. Keadaan ini di pengaruhi
lingkungan dan pengalaman.
1.5.2 Persepsi Nyeri. Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat
subjektif dari seseorang yang merasakan nyeri. Dikarenakan perawat
tidak mampu merasakan nyeri yang dialami oleh pasien.
1.5.3 Toleransi Nyeri. Toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas
nyeri yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang menahan
nyeri. Faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan toleransi  nyeri 
antara lain alcohol, obat-obatan, hipnotis, gerakan atau garakan,
pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat dan sebagainya.
Sedangkan faktor yang menurunkan toleransi antara lain kelelahan,
rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang kunjung tidak hilang, sakit, dan
lain-lain.
1.5.4 Reaksi terhadap Nyeri. Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk
respon seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas,
menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk respon nyeri
yang dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor, seperi arti nyeri, tingkat
perspepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial,
kesehatan fisik dan mental, rasa takut, cemas, usia, dan lain-lain.
1.6 KLASIFIKASI APP
1.6.1 Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
a. Apendisitis akut.
Apendiksitis akut adalah jenis apendiksitis yang paling
sering memerlukan pembedahan dan paling sering menimbulkan
kesukaran dalam memastikan diagnosanya, karena banyak
kelainan menunjukkan tanda –tanda seperti apendiksitis akut.
Terdapat tiga jenis apendiksitis akut, yaitu :
a) Apendiksitis akut fokalis (segmentalis)
Peradangan biasanya terjadi pada bagian distal yang berisi
nanah. Dari luar tidak terlihat adanya kelianan, kadang
hanya hiperemi ringan pada mukosa, sedangkan radang
hanya terbatas pada mukosa.Apendiksitis akut purulenta
(supuratif), disertai pembentukan nanah yang
berlebihan.apendiksitis ganggrenosa terjadi jika radangnya
lebih mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan
disebut.
b) Apendiksitis akut  dapat disebabkan oleh trauma, misalnya
pada kecelakaan atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat
dalam rongga maupun permukaan apendiks. Apendisitis akut
sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal.
c) Gajala apendisitis akut adalah nyeri samar-samar dan tumpul
yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan
kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini
nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
b. Apendisitis kronik.
Gejala umumnya samar dan lebih jarang. Apendiksitis akut
jika tidak mendapat pengobatan dan sembuh dapat menjadi
apendiksitis kronis. Terdapat dua jenis apendiksitis, yaitu :
a) Apendiksitis kronik focalis, Peradangan masih bersifat
local, yaitu fibrosis jaringan sub mukosa, gejala klinis
pada umumnya tidak tampak
b) Apendiksitis kronis obliteratif : Terjadi fibrosis yang luas
sepanjang apendiks pada jarigan mukosa, hingga terjadi
obliterasi (hilangnya lumen), terutama pada bagian distal
dengan menghilangnya selaput lendir pada bagian itu
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika
ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2
minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi
kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
Apendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa apendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus
tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi
apendiksitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.
1.7 ANATOMI FISIOLOGI
1.7.1 Anatomi Usus Besar

Gambar 1. anatomi usus besar


Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah
meter, adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau
ileoseka, yaitu tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini
tertutup dan akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltik dan
menyebabkan defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri atas empat
lapisan dinding yang sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada
dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut
dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus
halus dan tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar
tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela
cangkir.
a. Usus besar terdiri dari :
a). Sekum
Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung
dibawah area katup ileosekal. Apendiks vermiformis
merupakan suatu tabung buntu yang sempit, berisi jaringan
limfoid, menonjol dari ujung sekum.
b). Kolon
Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai
rektum. Kolon memiliki tiga bagian, yaitu :
c). Kolon asenden
Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah
kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
d). Kolon transversum
Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung
sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah
pada flkesura splenik.
d). Kolon desenden
Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi
kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.
d). Rektum
Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya
dengan panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada
saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.
1.8 Anatomi Apendiks

Gambar 2. anatomi letak apendiks


1.8.1 Apendiks
merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4
inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah
katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial
dan posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu
daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior
kanan dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar
dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut,
lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan
parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.
1.8.2 Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir
dalam apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk
apendiks ialah IgA.
Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.
Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur
kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya
cenderung kecil, maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama
rentan terhadap infeksi
1.8.3 Etiologi dan Predisposisi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai
berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut.

1.8.4 PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi
mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yangberdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu
massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada
apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-
anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah

1.8.5 MANIFESTASI KLINIK


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang
didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan
tanda setempat, nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai
oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada
apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada
kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara
umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan,
spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks
melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah
lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat
diketahui hanya pada pemeriksaan rektal.
Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat
rektum. nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung
apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya
kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda
rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri
yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran
kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi
menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan
kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat
bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan,
menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur
apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia
karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan
kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda

1.8.5 PENATALAKSANAAN
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta
untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan
(akhyar yayan, 2008 ), analgetik dapat diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks)
dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau
spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang
merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah.
Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya
dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan
ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat
keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik
pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan
operasi atau tidak.

1.8.6 KOMPLIKASI
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang
dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi
adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan
lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri.
Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi,
penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu
1.8.7 PATHWAYS
Apendiks

Hyperplasia folikel Benda asing Erosi mukosa Striktur Tumor


Limfoid apendiks

Obstruksi

Mukosa terbendung
Apendiks teregang
Tekanan intraluminal
Aliran darah terganggu
Ulserasi dan invasi bakteri pada dinding apendiks
Appendicitis
Ke peritoneum Thrombosis pada vena intramural
Peritonitis Pembengkakan dan iskemia
Perforasi

Pembedahan operasi
- Keterbatasaan Luka insisi Peningkatan paparan
Mobilitas fisik lingkungan patogen

Jalan masuk kuman


Intoleransi aktifitas
Resiko infeksi
Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer

Impuls nyeri diteruskan oleh serabut


saraf afferen (A-delta & C) ke medulla spinalis
melalui dorsal horn

Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III)

Impuls melewati traktus spinothalamus.

Impuls masuk ke formation retikularis Impuls langsung masuk ke thalamus

Sistem limbik Fast pain

Slow pain

- Timbul respon emosi - Respon otonom: TD meningkat, keringat dingin


1.8.8 PENGKAJIAN FOKUS KEPERAWATAN
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama
dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit
maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.
a. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
b. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh
penderita akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
c. Riwayat kesehatan
a). Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.
b). Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
d). Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi,
bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul,
keadaan apa yang memperberat dan memperingan.
d. Pemeriksaan fisik
a). Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
abdomen.
b). Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.
Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut
kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila
tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut
kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
c).Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak
apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis apendisitis pelvika.
d). Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks
yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas
mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada
m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks
yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika (Akhyar Yayan, 2008 ).
e. Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000)
adalah sebagai berikut :
a) Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise.
b) Sirkulasi
Tanda : Takikardi.
c) Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang).
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan.
: Penurunan atau tidak ada bising usus.
d). Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia. : Mual/muntah.
e). Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah
jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba
diduga perforasi atau infark pada apendiks).
Keluhan berbagai rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan
lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang
dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan
bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.
: Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.
f). Pernapasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.
g). Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah).
f. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi
serta pelebaran sekum.
2 DIAGNOS KEPERAWATAN
a. Nyeri akut
3 Intoleransi aktifitas
RENCANA TINDAKAN TEORITIS
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
o keperawatan Hasil

Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi :


(D.007) tindakan asuhan 1. Identifikasi
keperawatan selama lokasi,karakteristik,durasi,frek
3x24 jam uensi, kualtias, intensi nyeri
diharapkan krieteria 2. Identifikasi skala nyeri
hasil akut teratasi 3. Identifikasi respon nyeri non
dengan kriteria hasil verbal
: Teraupeutik :
1. Keluhan nyeri 1. Berikan tekhnik
menurun nonfarmokologis untuk
2. Kesulitan tidur mengurangi rasa nyeri
menurun 2. Contyrol lingkungan yang
3. Gelisah memperberat rasa nyeri
menurun 3. Fasilitas istirahat tidur
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
DAFTAR PUSTAKA.

Baradero, M., Drayit, M. W., dan Siswandi, Y. S. (2009). Prinsip & Praktek
Keperawatan Perioperatif, Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan RI, 2013 “Riset Kesehatan dasar” Depkes.go.id diakses tanggal
2 februari 2015
FK Universitas Andalas, 2012 “ Penuntun skill lab Gangguan Sistem Pencernaan
Revisi III” FIK Andalas: Padang
Masjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.
Potter, P. A. & Perry, A.G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4. Vol 2. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat , R & Jong, W. D. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Ke 2. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, Suzanna C dan Bare, Brenda G.(2002), “Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah, Edisi 8, Vol.1,”. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai