Anda di halaman 1dari 42

TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM MARFAN

Disusun untuk melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik

KSM Ilmu Kesehatan Mata di RSD Nganjuk

Disusun Oleh :

I Putu Yogie Mahendra 21710046

Nini Primadhani Paras ShintaDewi 21710100

Carolin 21710117

Pembimbing:

dr. Linda Susanti, Sp.M

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA


KSM ILMU KESEHATAN MATA
RUMAH SAKIT DAERAH NGANJUK
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya
sehingga tinjauan pustaka yang berjudul "Sindrom Marfan" ini dapat diselesaikan
meskipun jauh dari sempurna. Pembuatan tinjauan pustaka ini merupakan salah
satu tugas dalam menempuh masa dokter muda di Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya - RSD Nganjuk. Ucapan
terima kasih karena bimbingan, dukungan dan bantuan dalam pembuatan
tinjauan pustaka ini disampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Widodo Ario Knetjono. dr., Sp.THT-KL(L).FICS selaku rektor
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
2. Prof. Dr. Suhartati. dr.,M.S., selaku dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
3. Dr. AY Bambang Sentanu, Sp.OT selaku ketua TIM KORDIK Rumah
Sakit Daerah Ngajuk.
4. dr. Dini Irawati, Sp. M selaku Kepala KSM Ilmu Kesehatan Mata Rumah
Sakit Daerah Nganjuk.
5. dr. Linda Susanti, Sp. M selaku Pembimbing Tinjauan Pustaka yang telah
memberikan arahan kepada kami. KSM Ilmu Kesehatan Mata Rumah
Sakit Daerah Nganjuk.
6. Kepada sahabat-sahabat sejawat Dokter Muda Kelompok I Rumah Sakit
Daerah Nganjuk yang telah memberi dukungan serta doa.
Besar harapan penulis agar tinjauan pustaka ini dapat memperluas wawasan
dan menambah pengetahuan khususnya pada para praktisi ilmu kesehatan mata
serta pembaca pada umumnya.

Nganjuk, 20 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………. i


DAFTAR ISI ………………………………………………….………. ii
DAFTAR TABEL ………………………………………………….…. iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………. iv
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
2.1 Sindrom Marfan ...................................................................................... 3
2.1.1 Definisi Sindrom Marfan............................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi Sindrom Marfan ...................................................... 3
2.1.3 Etiologi Sindrom Marfan .............................................................. 4
2.1.4 Patofisiologi Sindrom Marfan ....................................................... 5
2.1.5 Manifestasi Klinis Sindrom Marfan .............................................. 6
2.1.6 Diagnosis Sindrom Marfan ........................................................... 14
2.1.7 Tatalaksana Sindrom Marfan ........................................................ 17
2.1.8 Pencegahan Sindrom Marfan ........................................................ 21
2.2 Manifestasi Klinis Sindrom Marfan Pada Mata....................................... 23
2.2.1 Ektopia Lentis ............................................................................... 23
2.2.2 Kelainan Refraksi .......................................................................... 25
2.2.3 Retinal detachment ........................................................................ 26
2.2.4 Galucoma ...................................................................................... 27
2.2.5 Starbismus...................................................................................... 28
BAB II RINGKASAN ................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 31

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Ghent pada Sindrom Marfan.................... 18

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Transthorakal Ekokardiografi pada pasien sindrom Marfan..... 11


Gambar 2.2 Gambaran fisik pasien sindrom marfan.................................... 13
Gambar 2.3 Gambaran klinis dan gambaran radiografi pada pasien sindrom
Marfan yang menunjukkan skoliosis........................................ 14
Gambar 2.4 Gambaran radiografi pada pasien sindrom Marfan yang
menunjukkan cervical spine lordosis........................................ 15
Gambar 2.5 Gambaran radiografi pada pasien sindrom Marfan yang
menunjukkan spondylolisthesis................................................ 16
Gambar 2.6 Algoritma diagnosis sindrom Marfan dengan berbagai kelainan yang
terkait dengan menggunakan Kriteria Ghen............................. 20
Gambar 2.7 Manifestasi klinis sindrom Marfan pada mata......................... 28
Gambar 2.8 Subtotal rhegmatogenous retinal detachment.......................... 29
Gambar 2.9 Gambran exotropia pada mata pasien sindrom Marfan............ 30

iv
DAFTAR SINGKATAN

AATS American Association for Thoracic Surgery

ACC American College of Cardiology

AHA American Heart Association

ASD Atrial-septal defect

FBN-1 Fibrilin-1

FBN-2 Fibrilin-1

IOL Intra-ocular lens

POAG Primary Open-Angle Glaucoma

RD Retinal detachment

TGF-beta Transforming growth factor beta

TF Tetralogy of Fallot

v
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Marfan merupakan kelainan genetik autosomal dominan yang

mengenai jaringan ikat multisistemik yang berpengaruh terhadap berbagai sistem,

terutama skeletal, kardiovaskular, dan okular1. Sebagian besar kasus (90%)

disebabkan oleh insufisiensi haploid, karena mutasi pada fibrillin-1 (FBN-1) yang

merupakan gen encoding jaringan ikat, sedangkan sisa 10% disebabkan oleh mutasi

dari pengkodean gen mengubah reseptor beta faktor pertumbuhan (TGF-beta)2.

Keadaan ini pertama kali dikemukakan oleh dokter anak dari perancis

Antoine Bernard Marfan pada tahun 1896. Gen penyakit ini ditemukan hampir

100 tahun kemudian oleh Francesco Ramirez, di New York pada tahun 1991

dan hanya lima tahun kemudian di 1996, tes pertama yang dilakukan adalah

tes genetik intrauterin 2.

Sindrom Marfan merupakan penyakit jaringan ikat tersering kedua setelah

osteogenesis imperfekta dengan estimasi insiden 2-3 per 100.000 penduduk.

Prevalensi dari Sindrom Marfan antara 1 pada 5.000 sampai 1 pada 10.000 bayi

yang baru lahir, dan mengenai semua jenis kelamin. Pada kejadian sindrom

marfan 49% diantaranya terdapat riwayat penyakit yang sama dalam keluarganya

dan sekitar 25-30% gangguan terjadi tanpa riwayat keluarga yang positif, dan

mutasi gen yang timbul mungkin masih menjadi pertimbangan3.

Manifestasi Sindrom Marfan mempengaruhi beberapa sistem organ

termasuk otot rangka, kulit, sistem kardiovaskular (misalnya aortic dissection) dan

mata. Sekitar 50% pasien dengan sindrom Marfan pertama kali didiagnosis oleh

1
ahli mata. Temuan pada ocular yang telah dilaporkan pada pasien dengan Sindrom

Marfan, paling sering yaitu ectopia lentis dan myopia4. Di sebuah studi 1013

pasien dengan Sindrom Marfan, 54% memiliki keluhan utama di mata, termasuk

2% dengan glaukoma. Manifestasi okular lainnya termasuk katarak dan retinal

detachment5.

Sindrom Marfan sangat penting karena mengancam nyawa yang

berhubungan dengan patologi jantung dan pembuluh darah. Individu dengan

Sindrom Marfan mempunyai harapan hidup sampai usia 32 tahun dan tergantung

pada beratnya keadaan kardiovaskular6.

Berdasarkan latar belakang diatas, pembuatan tinjauan pustaka ini secara

umum bertujuan untuk memaparkan mengenai sindrom Marfan dan secara khusus

untuk menjelaskan manifestasi klinis sindrom Marfan pada mata sehingga

diharapkan mampu melakukan deteksi dan memberikan rencana penatalaksanaan

yang tepat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sindrom Marfan

2.1.1 Definisi sindrom Marfan

Sindrom Marfan adalah penyakit genetik autosomal dominan dari

jaringan ikat yang ditandai dengan adanya disproporsi tungkai, jari-jari

tampak lebih panjang dan kurus, serta perawakan tubuh yang tinggi.

Penyakit ini merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya kelainan

kardiovaskular, terutama yang mempengaruhi katup jantung dan aorta.

Selain itu, penyakit ini juga mempengaruhi struktur dan organ lain seperti

paru-paru, mata, saccus duralis yang mengelilingi tulang belakang dan

palatum durum7.

2.1.2 Epidemiologi sindrom Marfan

Sindrom Marfan cukup sering terjadi, sekitar 1 dari setiap 3000

hingga 5000 populasi di dunia menderita sindrom Marfan7. Penderita

sindrom Marfan diperkirakan sekitar 200.000 di Amerika, sedangkan di

Indonesia belum diketahui berapa banyak penderita sindrom Marfan. Tak

ada kecenderungan sindrom Marfan diderita oleh satu suku atau gender

tertentu, yang berarti pula setiap orang di muka bumi ini berpeluang

mengalaminya8. Sindrom marfan dapat terjadi pada pria maupun wanita

dengan presentase yang sama. Semua gen yang diterima dari orang tua

masing-masing satu dari ayah dan ibu hanya satu gen saja dari sepasang gen

3
itu yang terkena sindrom Marfan maka kemungkinannya 50% dari anak-

anaknya akan terwarisi sindrom yang sama. Kemungkinan ini dapat

dijelaskan dari fakta bahwa gen dalam hal ini merupakan faktor dominan2.

2.1.3 Etiologi sindrom Marfan

Sindrom Marfan terungkap setelah ditemukannya abnormalitas

genetik pada penderita sindrom Marfan, yaitu pada gene fibrillin satu (FBN-

1) yang teletak pada kromosom 15 pada lengan panjang (q) 15q21.1 dan

fibrillin dua (FBN-2) yang berlokasi pada khromosom 59.

Protein FBN-1 yang dihasilkan oleh penderita tidak normal atau

kurang dari jumlah yang seharusnya berkaitan dengan kelainan

kardiovaskuler, sedangkan FBN-2 menyangkut masalah arachnodactyly dan

masalah lensa mata. Fibrillin adalah salah satu elemen dari matriks ekstra-

seluler dan ditemukan diberbagai jaringan seperti: periosteum di tulang,

stroma kornea mata, glomerulus di ginjal, bronchioli pada paru-paru,

ligamentum serta lapisan tunika media dari aorta7.

Lebih dari 500 mutasi gen fibrilin telah teridentifikasi. Hampir semua

dari mutasi gen ini sangat khas didapatkan pada individu atau keluarga

dengan sindrom marfan, namun sekitar 30%, merupakan mutasi genetic

denovo9.

4
2.1.4 Patofisiologi sindrom Marfan

Protein merupakan unsur utama mikrofibrill ekstraselular. Mikrofibril

dapat ditemukan diseluruh tubuh, mempunyai ukuran 10-14 nm,

membentuk ikatan dengan tropoelastin berupa ikatan serat elastis. Fibrin

merupakan ikatan serat yang memiliki fungsi penting pada beberapa organ

yang mengandung serat elastis, seperti pada terdapat di aorta, ligamentum,

dan zonula siliaris lensa, tempat struktur ini menopang lensa8.

Sindrom Marfan terjadi akibat kelainan herediter glikoprotein

ekstrasel yang disebut fibrilin-1. Firbrilin terdapat dalam dua bentuk

homolog, fibrilin-1 dan fibrilin -2, yang dikode oleh dua gen berbeda, FBN1

dan FBN2, yang masing- masing terletak di kromosom 15q21 dan 5q3.

Mutasi di FBN1 mendasari timbulnya sindrom Marfan; mutasi di gen-gen

FBN2 lebih jarang terjadi, dan menyebabkan araknodaktili kontraktur

kongenital, suatu penyakit autosom dominan yang ditandai oleh kelainan

tulang. Analisis terhadap mutasi mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari

500 mutasi berbeda di gen FBN1 pada pasien-pasien sindrom Marfan.

Kebanyakan dari mutasi ini adalah mutase missense yang menyebabkan

terbentuknya fibrilin-1 abnormal. Diperkirakan, pada individu heterozigot,

fibrilin 1 mutan mengganggu pembentukan microfibril normal, mungkin

melalui interaksinya dengan produk alel normal. FBNI mengurangi jumlah

fibrilin yang dihasilkan oleh sel. Alhasil, jumlah fibrilliin-1 yang tersedia

tidak cukup untuk membentuk mikrofibril. Menurunnya produksi

mikrofibril akan melemahkan elastisitasitas dan menyebabkan aktivasi

5
berlebih dari faktor TGF-beta. Hal itu akan menjadi penyebab dan gejala

Sindrom Marfan9.

2.1.5 Manifestasi klinis sindrom Marfan

Meskipun manifestasi klinis pada sindrom marfan tidak terlalu khas,

namun adanya disporporsional pada tungkai, dislokasi pada lensa mata, dan

dilatasi aorta cukup untuk menegakkan diagnosis sindrom marfan. Tercatat

ada lebih dari 30 manifestasi klinis lainnya pada sindrom ini yang sebagian

besar melibatkan kulit, rangka, dan sendi10.

1. Kelainan pembuluh darah dan jantung

Kelainan kardiovaskuler pada sindrom Marfan adalah yang

terberat dan ditemukan pada 90% penderita sindrom Marfan yang

pada akhirnya menyebabkan kematian pada usia rata-rata 32 tahun.

Kelainan jantung dapat berupa kelainan yang dibawa sejak lahir

atau kongenital seperti: Tetralogy of Fallot (TF), Atrial-septal

defect (ASD), dan katup aorta yang berdaun dua alias bicuspid.

Persentase kelainan jantung bawaan pada penderita sindrom

Marfan jauh lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Jantung

pada penderita sindrom Marfan dapat terdesak sehingga terjadi

kebocoran. Gejalanya antara lain sering sesak, lelah, dan berdebar-

debar. Jika pembuluh darah tersebut keluar dari jantung dan pecah,

maka kematian mendadak tak dapat dihindarkan10.

6
Perhatian utama pada kelainan jantung akibat sindrom Marfan

yaitu, aortic root disease, yang menyebabkan regurgitasi aorta,

dilatasi aneurisma, dan diseksi, karena merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas sindrom Marfan, pada 60% hingga 80%

pasien. Seperti yang direkomendasikan dalam pedoman aorta

toraks 2020 American College of Cardiology/American Heart

Association / American Association for Thoracic Surgery

(ACC/AHA/AATS) thoracic aorta guidelines, ekokardiografi

direkomendasikan pada diagnosis awal untuk menilai akar aorta

dan aorta asendens pada pasien dengan Sindrom Marfan11.

Ekokardiogram setiap 6 bulan dilakukan untuk memastikan

stabilitas dimensi aorta. Nomogram dan Z-score digunakan untuk

mengidentifikasi dilatasi aorta karena kisaran normal diameter

aorta bervariasi menurut ukuran tubuh dan usia11.

Diseksi dan ruptur aorta dapat dicegah pada pasien dengan

sindrom Marfan dengan penggantian aorta asendens. Pembedahan

profilaksis dianjurkan bila diameter aorta asendens setinggi sinus

aorta mencapai 5,0 cm12. Sebuah riwayat keluarga diseksi,

peningkatan laju dilatasi aorta (lebih dari 2 mm per tahun),

regurgitasi katup aorta parah dengan dilatasi ventrikel kiri, dan

kelayakan relatif dari operasi katup aorta juga merupakan indikator

untuk intervensi bedah dini11.

7
Prolaps katup mitral diidentifikasi pada 40% hingga 54% pasien

dengan sindrom Marfan13.Frekuensi prolaps katup mitral pada

pasien sindrom Marfan meningkat seiring bertambahnya usia dan

lebih banyak terjadi pada wanita. Prolaps katup trikuspid juga

dapat terjadi. Gagal jantung yang disebabkan oleh prolaps katup

mitral dan mild regurgitation merupakan sumber utama morbiditas

dan mortalitas pada anak-anak. Pasien dengan sindrom Marfan

mungkin memiliki kardiomiopati dengan pembesaran biventrikular

dan disfungsi sistolik ringan. Pasien mungkin menunjukkan dilatasi

aorta asendens proksimal, pelebaran arteri pulmonalis utama

proksimal, penebalan, dan prolaps katup atrioventrikular, dan

kalsifikasi annular mitral13.

Gambar II.1 Transthorakal Ekokardiografi pad apasien sindrom


Marfan memperlihatkan diameter root aorta 5.7 cm, Sinus Valsava
6.1 cm, dan LVOT (anulus) 2.1 cm15

8
2. Kelainan kerangka tubuh

a. Tinggi badan

Pertumbuhan berlebihan adalah ciri diagnostik sindrom

Marfan, dengan sebagian besar pasien mencapai tinggi badan

di atas persentil rata-rata sesuai dengan usia dan berat badan

yang cenderung lebih rendah dari rata-rata. menghasilkan

tubuh langsing yang panjang. Jika pengukuran tahunan serial

tinggi badan anak menunjukkan bahwa mereka akan menjadi

203 cm atau lebih tinggi pada laki-laki, dan 188 cm atau

lebih tinggi pada perempuan, maka mereka harus dirujuk ke

klinik pertumbuhan untuk pertimbangan terapi hormon untuk

memperpendek tinggi akhir. Tetapi studi longitudinal lebih

lanjut harus dilakukan untuk memverifikasi bahwa terapi

hormonal selama percepatan pertumbuhan efektif13.

9
A B C

Gambar II.2 (A) gambaran fisik pasien sindrom marfan dengan


perawakan tinggi dan lengan panjang, (B) Tanda walker pada
pergelangan tangan, (C) Tanda Steinberg pada ibu jari16

b. Skoliosis

Manifestasi tulang yang paling umum adalah skoliosis,

terlihat setidaknya 60% pasien. Tulang belakang dada adalah

daerah yang paling umum terkena, diikuti oleh persimpangan

thoracolumbar. Jika lordosis toraks terjadi, dan disertai

dengan pectus excavatum, hal ini dapat mengakibatkan

pengurangan diameter AP dada dengan kompresi saluran

udara besar, dan predisposisi infeksi dada berulang. Pasien

tersebut juga berisiko lebih tinggi selama operasi jantung.

Skoliosis pada sindrom Marfan seringkali memiliki

10
perkembangan yang cepat dengan respon yang buruk

terhadap bracing. Selain itu, bentuk tulang belakang

terpengaruh, yang membuat perawatan operatif menjadi

tantangan. Aspek lain dari perkembangan tulang sering

abnormal, termasuk ketidaksetaraan panjang kaki, deformitas

sudut pada ekstremitas bawah, pes planus, dan kontraktur

fleksi pada siku13.

A B

Gambar II.3 (A) Gambaran klinis dan (B) gambaran radiografi


pada pasien sindrom Marfan yang menunjukkan skoliosis13

c. Cervical spine

Pasien mengalami hilangnya lordosis serviks normal atau

pembalikan lordosis dengan kyphosis serviks pada sekitar

16% kasus. Terutama pada anak-anak, ada peningkatan

gerakan atlantoaksial pada fleksi-ekstensi, dan risiko

berkembangnya subluksasi, karena kelemahan ligamen.

Pasien harus menahan diri dari bermain olahraga apa pun

yang menyebabkan beban tinggi pada tulang belakang,

11
khususnya, menyelam, angkat berat dan rugby atau sepak

bola13.

Gambar II.4 Gambaran radiografi pada pasien sindrom Marfan


yang menunjukkan cervical spine lordosis13

d. Spondylolisthesis

Pasien dengan sindrom Marfan memiliki risiko mengalami

spondylolisthesis dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan

populasi umum. Spondilolistesis simtomatik membutuhkan

fusi tulang belakang yang ahli, yang dapat menimbulkan

komplikasi13.

12
Gambar II.5 Gambaran radiografi pada pasien sindrom Marfan
yang menunjukkan spondylolisthesis13

3. Kelainan mata

Pada mata, lebih dari setengah individu dengan sindrom marfan akan

didapatkan dislokasi pada salah satu atau kedua lensa. Dislokasi

lensa sendiri dapat terjadi minimal atau bahkan terlihat sangat jelas.

Selain dislokasi lensa, kelainan pada mata lainnya yang dapat terjadi

pada sindrom marfan adalah katarak, glaucoma, miopia, serta retinal

detachment14.

Gambar II.5 Gambaran lensa subluksasi ke arah superonasal


dengan tarikan zonula Zinii6

13
4. Abnormalitas jaringan ikat

Menurut penelitian, penyebab abnormalitas adalah kolagen yang

merupakan zat utama yang membuat jaringan berserat yang dibentuk

dari zat kimia esensial. Fungsi utama kolagen adalah untuk menahan

tubuh bersama-sama dan menyediakan arahan bagi pertumbuhan dan

perkembangan. Jaringan ikat terdiri dari serabut, sel-sel, dan cairan

ekstraseluler. Cairan ekstraseluler dan serabut disebut matriks.

Dalam sindrom Marfan, jaringan ikat mengalami kerusakan dan

tidak bertindak sesuai fungsinya. Karena jaringan penghubung

ditemukan di seluruh tubuh maka sindrom Marfan dapat

mempengaruhi banyak sistem tubuh, termasuk kerangka, mata,

jantung, pembuluh darah, sistem saraf, kulit, dan paru-paru15.

Keadaan ini mirip dengan penyakit lain yang disebut Ehlers Danlos

Syndrome yang disebabkan oleh abnormalitas pada jaringan elastis.

Hal itu mengakibatkan kulit sering kendor (pada lengan, pantat,

bahu, dan punggung), membran otak melebar (dural ectasia),

sehingga sering muncul kekebalan pada bagian tubuh seperti kaki

atau tangan15.

2.1.6 Diagnosis sindrom Marfan

Sindrom marfan awalnya ditegakkan dengan menggunakan kriteria kriteria

Berlin, Sindrom Marfan dapat didiagnosis dengan kriteria utama kelainan

sistem skeletal ditambah dengan 2 sistem yang lain, terdapat minimal satu

14
kriteria mayor: ektopia lentis, dilatasi atau diseksi aorta, atau dural ektasia.

Pada tahun 1995, suatu kelompok ahli dan peneliti dunia tentang sindroma

Marfan merevisi kriteria Berlin, diberi nama kriteria Ghent (nosology Ghent).

Mereka mengidentifikasi kriteria mayor dan kriteria minor, dimana sebagian

besar berdasar observasi klinik berbagai organ sistem dan riwayat keluarga.

Kriteria mayor didefinisikan sebagai sesuatu yang membawa kearah

ketajaman diagnostik karena relatif jarang pada kondisi yang lain pada

populasi umum6.

Tabel II. 1 Kriteria Diagnosis Ghent pada Sindrom Marfan6

Secara garis besar diagnosis sindrom marfan dapat disimpulkan sebagai


berikut6 :

1. Diagnosis Sindrom Marfan berdasarkan Diagnosis Nasologi Ghent

15
2. Assesment awal mencakup riwayat penyakit penderita, riwayat penyakit
keluarga secara rinci, pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan
oftalmologi dan echocardiograpi transthorak.
3. Diameter aorta pada sinus dari Valsava harus berkaitan dengan nilai
normal berdasarkan usia dan luas permukaan tubuh.
4. Terjadinya skoliosis dan protrusio acetabulae berkembang tergantung
umur, umumnya terjadi periode pertumbuhan yang cepat. Pemeriksaan
radiografi untuk kelainan ini diindikasikan tergantung dari usia
penderita, jika hasilnanya postif maka sindrom marfan sudah dapat di
tegakan
5. Jika pada pemerikasaan MRI regio pelvis didapatkan dural ectasia maka
sindrom marfan sudah dapat di tegakan
6. Pasien yang lebih muda dengan dugaan sindrom Marfan, pada
pemeriksaan tidak memenuhi kriteria diagnostik Ghent, harus
ditawarkan untuk evaluasi klinis ulangan pada usia pra-sekolah,
sebelum pubertas, danpada usia 18 tahun, jika termasuk salah satu
kelompok di bawah ini, maka evaluasi tambahan dapat diindikasikan
secara klinis pada usaia pubertas:
a. Anak-anak atau remaja dengan riwayat keluarga yang
positifsindrom marfan dan tidak mungkinkan dilakukan tes DNA
b. Anak-anak atau remaja yang tanpa riwayat keluarga, yang
memenuhi kriteria diagnostik dengan satu sistem saja.

16
Gambar II.6 Algoritma diagnosis sindrom Marfan dengan berbagai
kelainan yang terkait dengan menggunakan Kriteria Ghen6

2.1.7 Tatalaksana sindrom Marfan17

Tidak ada obat khusus untuk penderita sindrom Marfan. Namun

demikian, berbagai pilihan pengobatan dapat meminimalisir dan mencegah

komplikasi. Spesialis yang sesuai akan mengembangkan program

pengobatan perorangan; pendekatan dokter tergantung pada sistem yang

telah terpengaruh. Pengobatan-pengobatan tersebut meliputi:

17
a. Skeletal - evaluasi tahunan sangat penting untuk mendeteksi setiap

perubahan dalam tulang belakang atau tulang dada. Hal tersebut

penting dalam masa pertumbuhan cepat, seperti masa remaja.

b. Mata - pemeriksaan mata teratur merupakan kunci untuk menangkap

dan memperbaiki setiap masalah penglihatan yang berkaitan dengan

sindrom Marfan.

c. Jantung dan pembuluh darah – pemeriksaan yang rutin dengan

menggunakan echocardiograms membantu dokter mengevaluasi

ukuran dan cara aorta jantung bekerja.

d. Sistem saraf - Jika dural ektasia (pembengkakan selubung saraf tulang

belakang) mengembang, obat-obatan dapat membantu mengurangi

rasa sakit yang terkait.

e. Paru-paru – Penderita sindrom Marfan diharapkan tidak merokok,

karena dapat mengalami peningkatan risiko untuk kerusakan paru-

paru dan hubungi dokter terdekat.

f. Kehamilan: Genetic konseling harus dilakukan sebelum kehamilan

pada wanita penderita sindrom Marfan, karena sindrom marfan adalah

suatu penyakit keturunan. Wanita hamil dengan sindrom Marfan

dianggap kasus yang memiliki risiko tinggi.

Obat-obatan tidak digunakan untuk mengobati sindrom Marfan,

namun mereka dapat digunakan untuk mencegah atau mengendalikan

komplikasi. Pengobatan dapat meliputi:

18
a. Beta-bloker meningkatkan kemampuan jantung untuk rileks,

mengurangi forcefulness denyut jantung dan tekanan dalam arteri,

sehingga mencegah atau memperlambat pembesaran aorta. Beta-

blocker terapi harus dimulai pada usia dini.

b. Pada orang yang tidak mampu mengambil beta-blocker karena asma

atau efek samping, sebuah saluran kalsium, seperti verapamil,

dianjurkan. Angiotensin reseptor bloker (ARB) adalah jenis obat yang

bekerja pada jalur kimia dalam tubuh. Agen ini sering digunakan

dalam pengobatan tekanan darah tinggi serta gagal jantung.

Pembedahan untuk sindrom Marfan ditujukan untuk mencegah diseksi

aorta atau pecah dalam memperlakukan masalah katup. Ketika diameter

aorta lebih dari 4,7 cm (cm) sampai 5,0 cm (tergantung pada tinggi), atau

jika aortanya berkecepatan tinggi, pembedahan dianjurkan. Kardiolog juga

bisa dapat membantu penderita sindrom marfan untuk menghitung diameter

aorta yang berasio tinggi, karena hal tersebut juga dapat memberikan

informasi terhadap para penderita sindrom marfan untuk melakukan operasi

atau tidak.

Rekomendasi untuk operasi berdasarkan pada ukuran aorta, ukuran

normal dari aorta, laju pertumbuhan aorta, usia, tinggi badan, jenis kelamin

dan sejarah keluarga yang mengalami diseksi aorta. Pembedahan

mengkhususkan penggantian pada bagian pelebaran aorta dengan cara

pencangkokan.

19
Operasi mungkin akan diperlukan untuk Perbaikan atau penggantian

katup jika penderita sindrom Marfan memiliki katup aorta yang bocor atau

mitral (regurgitasi) sehingga menyebabkan perubahan dalam ventrikel kiri

(kiri majelis rendah hati) atau gagal jantung.

Terdapat beberapa tahapan pada penatalaksanaa operatif Sindrom

Marfan pada mata diantaranya (Siddiqui & Khan, 2018):

1) Kapsulorheksis

Kapsulorheksis sangat penting untuk phacoemulsifikasi yang

sukses pada setiap kasus ectopia lentis. Pertama, menusuk kapsul

anterior tidak selalu mudah pada traksi zonular dan mata muda yang

lensa kapsulnya sangat elastis. Penggunaan pewarna trypan-biru

mengurangi elastisitas kapsul dan mempermudah penetrasi pada mata

muda. Kapsulorheksis harus berada pada lensa, bukan pada pupil

maupun apeks kornea. Pada kasus lensa yang cacat, bentuk

kapsulorheksis harus mengikuti kontur luar lensa dan berjarak 2 mm

dari masing-masing tepi. Eksekusi dari kapsulorheksis paling baik

ketika robekan dimulai dari arah area traksi kontraksi zonular terbesar

menuju serabut zonular yang lemah.

20
Sumber: Hoffman, 2018
Gambar II.4 Kapsulorheksis dengan traksi berlawanan pada zonula
yang lemah

2) Stabilisasi kantong kapsular

Pada kasus kehilangan zonula sedang atau disfungsi pada area jam

tiga sampai enam diperlukan penggunaan bantuan kapsul yang

teraugmentasi. Retraktor iris yang fleksibel ditempatkan pada sayatan

limbus untuk mengaitkan tepi kapsulorheksis dan menjaga kantong

kapsular. Kait kapsul menjaga kantong dari pusat kapsul, bukan dari

tepi kapsul untuk mempertahankan tetap menggelembung dan

mencegah aspirasi pada saat lensa dikeluarkan.

Sumber: Hoffman, 2018


Gambar II.5 Kapsulorheksis pada ekuator lensa

21
3) Phacoemulsifikasi pada penggantung lensa longgar

Hidrodiseksi dan viskodiseksi sangat berguna pada kasus lensa yang

longgar. Pengisian ulang OVD pada forniks kapsular akan menjaga

anatomi kapsul saat lensa dikeluarkan dan meningkatkan keamanan.

Phacoemulsifikasi dalam kantong kapsul mengurangi kemungkinan

kesalahan fragmen segmen posterior tetapi dapat meningkatkan

kerusakan kemungkinan kerusakan zonula atau kantong kapsular.

4) Seleksi Capsular Tension Ring (CTR)

Pemilihan CTR ditetapkan berdasarkan kerusakan maupun

progresifitas kerusakan. Jika dialisis minimal, dapat digunakan CTR

standard yang ditempatkan dengan injector atau insersi manual pada

area dengan zonula terlemah. Selain itu, jika terdapat kerusakan yang

cukup parah, dapat digunakan kombinasi CTR standard dan segmen

cincin. Fiksasi dengan menggunakan cincin memberikan keuntungan

kemudahan penempatan CTR dan elemen fiksasi dengan stress zonula

yang minimal daripada penggunaan CTR Cionni.

A B

Sumber: Hoffman, 2018


Gambar II.6 (a) Aspirasi tangenital pada zonula yang lemah, (b)
Injeksi CTR Cionni

22
5) Fiksasi jangka panjang

Stabilitas fiksasi jangka panjang didapatkan dari penggunaan CTR

Cionni, segmen Ahmed, Assi anchor, atau pada kasus kerusakan berat

atau progresif pada pasien muda dapat digunakan kombinasi dari alat-

alat tersebut.

6) Benang untuk menjahit

Benang jahitan yang digunakan harus permanen.


Polytetrafluoroethylene CV-8 telah digunakan untuk skleral dan
sampai saat ini memiliki daya tahan yang paling baik.

Sumber: Hoffman, 2018


Gambar II.7 Microforceps nilon 10-0 untuk mengurangi
lengkungan busur dari CTR Cionni

7) Pemilihan lensa intraocular

Pemilihan IOL yang tepat dalam kasus ectopia lentis bergantung

pada kapsulorheksis yang intak, ektraksi lensa yang utuh, dan fiksasi

kantong yang adekuat dan dapat digunakan IOL 1-piece atau 3-piece.

Penggunaan IOL multifokal paling bermanfaat pada anak-anak muda

dengan ectopia lentis karena kehilangan akomodasi phakic, tetapi

23
mungkin terdapat komplikasi lanjut karena degradasi jahitan dan

kerusakan saat refiksasi dan sentrasi yang tepat dari kantong kapsuler.

Sumber: Hoffman, 2018


Gambar II.8 IOL

2.1.8 Pencegahan sindrom Marfan18

1. Evaluasi genetik

Penting sekali untuk mendeteksi kelainan genetik sehingga pasien

mendapat penyuluhan yang adekuat terhadap kondisinya dan resiko

terhadap keturunannya. Untuk keadaan yang parah, pasien sering

kali tertarik pada diagnosis prenatal, sehingga mereka dapat

mempertimbangkan pengakhiran kehamilan atau mempersiapkan

kelhairan anak yang tidak terkena penyakit Diagnosa genetik bahkan

menjadi lebih kritis sebagaimana banyak pilihan pengobatan yang

tersedia untuk anak dengan kelainan genetik. Alasan utama suatu

pasangan dianjurkan untuk diagnosis prenatal adalah umur. Wanita

yang umurnya lebih dari 34 tahun menghadapi peningkatan resiko

untuk melahirkan anak dengan kelainan kromosom. Indikasi utama

yang lain untuk diagnosis prenatal mencakup:

24
a. Riwayat cacat lahir sebelumnya pada anak atau keluarga,

keterbelakangan mental, kelainan kromosom atau kelainan

genetik yang dikenal.

b. Kematian janin berulang.

c. Bayi yang telah mati dalam periode neonatal.

d. Keadaan ibu yang menyebabkan predisposisi janin pada

kelainan bawaan.

2. Konseling genetika

Konseling genetik merupakan proses komunikasi yang berhubungan

dengan kejadian atau resiko kejadian kelainan genetik pada

keluarga. Dengan meningkatnya pengetahuan tentang janin, banyak

pasangan menunjukkan adanya indikasi untuk mendapat diagnosa

genetik prenatal. Meskipun setiap ahli kebidanan mempunyai peran

dalam memberikan konseling genetik, banyak klinisi mendapatkan

bahwa konselor genetik – seseorang yang lebih tinggi tingkatannya

dan mereka yang terlatih dalam aspek pendidikan, psikologis dan

administrative dari genetik akan sangat membantu. Konselor genetik

berpengalaman dapat memperoleh dan menafsirkan riwayat

keluarga, sering kali mereka terlibat dalam menegakkan diagnosa.

Bila hadir dalam kunjungan prenatal, mereka dapat menafsirkan

kehamilan kini, menjelaskan resiko bagi janin, dan mendiskusikan

pilihan yang tersedia. Pasien dengan resiko penyakit genetik harus

25
memahami prinsip-prinsip dasar dari genetika medis dan

terminologi yang relevan dengan situasi ini. Ini mencakup konsep

tentang gen, bagaimana gen dihantarkan, dan menimbulkan resiko

penyakit turunan. Pemahaman yang adekuat tentang pola-pola

pewarisan sifat atau penyakit akan membuat pasien memahami

kemungkinan resiko penyakit bagi diri dan keluarganya. Penting

juga menanamkan konsep-konsep penetrasi penyakit dan

ekspresinya kepada pasien.

2.2 Manifestasi Klinis Sindrom Marfan pada Mata

2.2.1 Ektopia lentis19

Ektopia lentis atau subluksasi lensa adalah komplikasi paling sering

pada mata pasien sindrom Marfan, angka kejadian ektopia lentis pada

sindrom Marfan bervariasi dari 30% menjadi 72% dalam penelitian yang

berbeda dan cenderung terjadi dalam dekade keempat dan kelima

kehidupan. Zonula zinii memegang peranan penting untuk menjaga lensa

kristal di belakang iris terfiksasi dengan baik serta saat proses akomodasi,

zonula zinii terbuat dari komponen fibrillin. Kelainan fibrillin pada

sindrom Marfan menyebabkan kelemahan zonular dan dapat

menyebabkan terjadinya subluksasi lensa. Subluksasi biasanya mengarah

ke superior dan temporal, meskipun dislokasi ke vitreous atau ruang

anterior juga dapat terjadi. Ektopia lentis didefinisikan sebagai lokasi

abnormal dari lensa kristalin saat bergerak dari posisi alaminya. Hal ini

26
digambarkan sebagai subluksasi jika dalam bidang pupil atau dislokasi

jika lensa bergerak di luar ini ke segmen anterior atau posterior.

Kelainan ini bisa muncul dengan gejala seperti penglihatan kabur,

penglihatan berfluktuasi, dan bisa terjadi diplopia. Pemeriksaan mata

mungkin menunjukkan subluksasi lensa, dislokasi lensa, iridodonesis,

dan astigmatisme ireguler.

Kacamata adalah salah satu pilihan pertama untuk memperbaiki

penglihatan tidak baik yang disebabkan kondisi subluksasi lensa atau

astigmatisma lentikuler. Pemberian kacamata untuk Pasien Marfan

dengan kondisi subluksasi lensa atau afakia sangat menantang,

Bergantung pada usia pasien, preferensi, pekerjaan, dan kondisi lainnya,

lensa kontak dapat digunakan sebagai alternatif. Dulu, karena tingginya

tingkat intraoperasi dan komplikasi pasca operasi dan hasil visual yang

buruk pada sindrom Marfan, prsedur pembedahan tidak populer. Saat ini

dengan kemajuan dalam bedah mikro dan teknik operasi, prosedur

pembedahan mulai dilakukan untuk meningkatkan fungsi visual.

Ekstraksi lensa adalah jenis tatalaksana utama pada keadaan dislokasi

lensa. Indikasi operasi pada dislokasi lensa adalah ketidakmampuan

untuk mencapai ketajaman visual yang dikoreksi dengan baik, risiko

ambliopia pada anak-anak, dislokasi posterior lensa ke rongga vitreous,

dislokasi anterior lensa dengan atau tanpa glaukoma sekunder, glaukoma

yang diinduksi lensa atau uveitis. Meskipun ekstraksi lensa dianggap

sebagai metode yang aman dan efektif untuk mengangkat lensa yang

27
mengalami subluksasi atau dislokasi, resiko terjadinya ablasio retina

merupakan komplikasi yang mungkin terjadi pada prosedur tersebut.

Rehabilitasi visual setelah ekstraksi lensa merupakan tatalaksana awal

untuk pencegahan ambliopia. Kacamata afakia adalah metode paling

aman untuk mengoreksi kondisi afakia dan memberikan hasil visual yang

konsisten pada pasien. Hal ini terutama penting pada pasien anak-anak,

yang tindak lanjut untuk pemasangan lensa intraokular artifisial masih

terbatas.

Gambar II.7 Manifestasi klinis sindrom Marfan pada mata (a)


praoperasi – lensa ektopik dengan perpindahan inferior (VA 6/60),
(b) intraoperatif (c) pascaoperasi19

2.2.2 Kelainan refraksi19

Gangguan refraksi adalah suatu keadaan refraksi dimana sinar – sinar

sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa

akomodasi dibiaskan tidak tepat di retina. Miopia lebih sering terjadi

pada pasien dengan sindrom Marfan. Namun, refraksi adalah fenotipe

kompleks dengan banyak endofenotipe yang mempengaruhi, termasuk

struktur kornea dan lentikular; keduanya terpengaruh dalam sindrom

Marfan dan kondisi ektopia lentis lainnya. Subluksasi atau dislokasi

28
substansial dari lensa kristalin bahkan dapat membuat mata menjadi

hipermetropi dan refraksi mungkin agak tidak stabil.

Kornea pasien dengan sindrom Marfan dengan ektopia lentis lebih

datar dan memiliki derajat astigmatisme yang lebih tinggi. Ada juga

korelasi antara mata dengan panjang axial yang lebih panjang dan

pengukuran kornea yang lebih datar. Bahkan telah disarankan bahwa

kelengkungan kornea mungkin menjadi alat skrining yang berguna untuk

diagnosis sindrom Marfan dan menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas

yang menjanjikan.

Seperti semua kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, ada risiko

ambliopia. Koreksi refraksi tidak boleh diremehkan sebagai metode

sederhana dan sangat efektif untuk menangani anak-anak dengan

sindrom Marfan dan dapat menjadi penting dalam mencegah ambliopia.

Namun, jika langkah-langkah ini tidak cukup dan ada perkembangan

yang signifikan atau sekali penglihatan yang optimal tidak lagi diperoleh

dengan koreksi refraksi, intervensi bedah dini pada anak-anak dengan

subluksasi lensa harus dipertimbangkan.

2.2.3 Retinal detachment19

Patologi segmen posterior dilaporkan terjadi pada 18% mata pada

sindrom Marfan dan insidennya lebih tinggi (70%) pada pasien dengan

lensa subluksasi. Retinal detachment (RD) adalah potensi komplikasi

segmen posterior yang paling signifikan secara visual. Faktor risiko RD

29
di sindrom Marfan termasuk usia yang lebih muda, ektopia lentis dan

aphakia.

RD kadang-kadang dapat terjadi sebagai komplikasi pembedahan

untuk mengangkat lensa kristal yang mengalami subluksasi atau

dislokasi. Meskipun perpindahan lentikular yang lebih signifikan dan

miopia aksial tinggi dianggap sebagai faktor risiko yang signifikan untuk

perkembangan RD setelah vitreolensectomy, komplikasi ini sekarang

jauh lebih jarang terjadi dengan pendekatan bedah modern. Apa yang

tidak jelas adalah apakah risiko nyata RD berhubungan langsung dengan

peningkatan miopia aksial pada populasi sindrom Marfan atau risiko

bawaan mutasi FBN1. Sindrom Marfan tidak menunjukkan

vitreoretinopati yang jelas, secara klinis. Patologi pada antarmuka

vitreoretina belum dibuktikan.

Perbaikan RD dapat melibatkan tekuk sklera atau vitrektomi. Pilihan

pendekatan yang digunakan akan tergantung pada usia pasien, status

vitreous, kejelasan pandangan dan ahli bedah dan pilihan pasien.

30
Gambar II.8 Subtotal rhegmatogenous retinal detachment20

2.2.4 Glaucoma19

Glaukoma adalah temuan okular yang umum pada pasien dengan

sindrom Marfan, jenis yang paling umum adalah glaukoma sudut terbuka

primer (POAG); dalam kasus yang menyertai sindrom, glaukoma

biasanya didiagnosis pada usia yang lebih muda daripada populasi

umum. Defek mikrofibril dapat mengubah elastisitas anyaman trabekula

dan vena episklera, yang dapat menghambat kerja pemompaan dan aliran

keluar pulsatil. humor akuos, meningkatkan kecenderungan untuk

hipertensi okular. Selanjutnya, perubahan kepatuhan sklera mungkin

berdampak pada lamina cribrosa dan dengan demikian kerentanan sel

ganglion.

Analog prostaglandin mungkin lebih disukai untuk POAG di sindrom

Marfan. Pasien mungkin sudah menggunakan blocker, dan karena itu

mungkin disarankan untuk menghindari suplementasi topikal.

Glaukoma sudut terbuka sekunder dapat terjadi karena RD,

vitreoretinal atau operasi ekstraksi lensa, iritis, atau dispersi pigmen

karena pergerakan berlebihan IOL kristal atau intrakapsular.

Penutupan sudut primer dapat terjadi akibat subluksasi anterior lensa

yang mengakibatkan mekanisme blok pupil. Intervensi bedah karena itu

sering diperlukan di awal lensa yang bergeser ke anterior. Operasi

glaukoma pada pasien dengan sindrom Marfan harus dilakukan dengan

31
hati-hati. Sklera yang tipis dan risiko hipotoni yang lebih tinggi dapat

mempersulit prosedur.

2.2.5 Strabismus19

Strabismus dapat muncul pada sindrom Marfan, dan jika dibiarkan

pada anak-anak dapat menyebabkan ambliopia. Disarankan untuk hadir

pada 19% individu dengan sindrom Marfan, dibandingkan dengan 3-5%

pada populasi umum, dan mungkin merupakan tanda dari gangguan

tersebut. Abnormalitas pada FBN1 pada katrol otot ekstraokular dan

penurunan stabilitas dapat menjelaskan insiden strabismus yang lebih

tinggi pada pasien dengan sindrom Marfan

Koreksi strabismus dilakukan dengan operasi otot ekstraokular.

Karena banyak pasien memiliki potensi fungsi binokular dan masih muda

saat diagnosis, jika keselarasan bedah yang baik tercapai, hasil visual

yang baik dapat diharapkan.

Gambar II.9 Gambran exotropia pada mata kanan pasien dengan


sindrom Marfan19

32
BAB III

RINGKASAN

Sindrom Marfan adalah penyakit autosomal genetik dimana menyerang

organ-organ tubuh yang berhubungan dengan jaringan ikat, sehingga akan

mempengaruhi berbagai sistem. Sindrom Marfan diwariskan sebagai sifat

dominan oleh sebuah gen yang disebut FBN1.

Dalam sistem kardiovaskular dapat terjadi gangguan dilatasi aorta,

regurgitasi aorta, dan aneurisma yang merupakan gangguan paling

mengkhawatirkan. Katup mitral prolaps yang membutuhkan penggantian katup

dapat juga terjadi. Temuan gangguan mata dapat terjadi termasuk miopia, katarak,

ablasi retina, dan dislokasi lensa utama. Sedangkan pada sistem kerangka pasien

dengan sindrom Marfan biasanya menampilkan cacat multiple termasuk

arachnodactyly, dolichostenomelia, kelainan bentuk pectus, dan scoliosis

torakolumbalis.

Manifestasi sindrom Marfan pada mata yang paling sering yaitu ectopia

lentis (subluksasi lensa, dislokasi lensa), dan myopia, selain itu terdapapat

beberapa manifestasi klinis sindrom Marfan pada mata diantaranya retinal

detachment, glaucoma, dan strabismus.

Penegakan diagnosis sindrom Marfan memerlukan pengamatan dan

penilaian lebih lanjut. Saat ini kriteria Ghent untuk sindroma Marfan merupakan

acuan yang digunakan dalam penegakan sindroma Marfan. Tidak ada obat khusus

untuk penderita sindrom Marfan. Namun demikian, berbagai pilihan pengobatan

dapat meminimalisir dan mencegah komplikasi.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Husniah I. 2019. Diagnosis dan Tatalaksana SindromMarfan. JIMKI; 8(1),


71-76.
2. Dietz H. 2021. FBN1-Related Marfan Syndrome. In: Adam MP, Ardinger
HH, Pagon RA, et al., editors. GeneReviews. Seattle: University of
Washington, Seattle.
3. Chiu HH, Wu MH, Chen HC, Kao FY, Huang SK. 2019. Epidemiological
profile of Marfan syndrome in a general population: a national database
study. Mayo Clin Proc ;89(1):34-42.
4. Manoppo R. 2018. Sindrom Marfan. Jurnal Biomedik (JBM); 10(3); 199-
202
5. Child AH. 2016. Diagnosis and Management of Marfan Syndrome 1st ed.
Springer.
6. Dean JC, Loeys B. 2018. Marfan syndrome and related disorders. In:
Kumar D, Elliot P, editors. Cardiovascular Genetics and Genomics.
Principles and Clinical Practice. Springer International Publishing,; p. 589-
615.
7. Salik I, Rawla P. 2021. Marfan Syndrome. In: StatPearls. StatPearls
Publishing, Treasure Island (FL); PMID: 30726024.
8. Takeda N, Inuzuka R, Maemura S, Morita H, Nawata K, Fujita D, et al.
2018. Impact of pathogenic FBN1 variant types on the progression of
aortic disease in patients with Marfan syndrome. Circ Genom Precis
Med ;11(6).
9. Torrado M, Maneiro E, Trujillo-Quintero JP, Evangelista A, Mikhailov
AT, Monserrat L. 2018. A novel heterozygous intronic mutation in the
FBN1 gene contributes to FBN1 RNA missplicing events in the Marfan
syndrome. BioMed Research International.

34
10. Isekame Y, Gati S, Aragon-Martin JA, Bastiaenen R, Kondapally Seshasai
SR, Child A. 2016. Cardiovascular management of adults with Marfan
syndrome. Eur Cardiol: 11:102-110.
11. Forfar C. 2018. Diagnosis and investigation in suspected heart disease. In:
Davey P, Springings D. Diagnosis and Treatment in Internal Medicine.
Oxford University Press.
12. Lazea C, Bucerzan S, Crisan M, Al-Khzouz M, Miclea D, Șufană C, et al.
2021. Cardiovascular manifestations in Marfan syndrome. Medicine and
Pharmacy Reports: 94(1): S25 - S27
13. Velvin G, Bathen T, Rand-Hendriksen S, Geirdal AØ. 2016. Systematic
review of chronic pain in persons with Marfan syndrome. Clin
Genet;89:647–658.
14. Nemet AY, Assia EI, Apple DJ, Barequet IS. 2018. Current concepts of
ocular manifesta- tions in Marfan syndrome. Survey of
Ophthalmology;51(6):561-75.
15. Grygiel-GoÃÅrniak B, Oduah MT, Olagunju A, Klokner M. 2020.
Disorders of the aorta and aortic valve in connective tissue diseases. Curr
Cardiol Rep; 22:70.

16. von Kodolitsch Y, Demolder A, Girdauskas E, Kaemmerer H, Kornhuber


K, Muino Mosquera L, et al. 2019. Features of Marfan syndrome not listed
in the Ghent nosology - the dark side of the disease. Expert Rev
Cardiovasc Ther;17(1):883-915.
17. Smith R, Wordsworth P.2016. Marfan syndrome and related disorders. In:
Oxford Textbook of Clinical and Biochemical Disorders of the Skeleton (2
ed.). Oxford University Press.
18. Stark V, Hensen F, Kutsche K, Kortüm F, Olfe J, Wiegand P, et al. 2020.
Genotype-phenotype correlation in children: the impact of FBN1 variants
on pediatric Marfan care. Genes (Basel);11:799.

35
19. Akram H, Aragon-Martin JA, Chandra A. 2021. Marfan syndrome and the
eye clinic: from diagnosis to management. Therapeutic Advances in Rare
Disease 2; 2(1): 1-14.

36

Anda mungkin juga menyukai