Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul Komplikasi morbili dengan baik dan tepat waktu.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang periode 23 Januari 2017 31 Maret 2017. Di
samping itu, laporan ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua Asmma.

Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya
kepada Dr. Andri Firdaus, Sp. A, M. Kes selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini,
serta kepada dokter dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Karawang. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada rekan rekan anggota Kepaniteraan berbagai pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran
yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesar besarnya, semoga
tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Karawang,16 Februari

Isyfaunnisa

030.11.143

1
DAFTAR ISI

KataPengantar ................................................................ 1
Daftar Isi 2
BAB I Pendahuluan 3
BAB II Komplikasi morbili 4
A. Morbili 4
- Definisi 4
- Epidemiologi 4
- Etiologi 5
- Patogenesis 6
- Manifestasi Klinis 7
- Diagnosis 9
- Tatalaksana 11
- Prognosis 11
B. Komplikasi pada Morbili 12
1. Kejang Demam . 12
2. Laringitis Akut . 15
3. Otitis Media . 17
4. Bronkopneumonia . 18
5. Konjugntivitis . 21
6. Ensefalitis .. 22
7. Subacute Sclerosing Panescephalitis .. 23
8. Ensefalomielitis Diseminata Akut . 25
9. Miokarditis . 25
BAB III Kesimpulan ... 27
Daftar Pustaka ... 28

BAB I
PENDAHULUAN

Telah kita ketahui bahwa Negara Indonesia memiliki beraneka ragam masalah
kesehatan. Salah satu masalah kesehatan yang terjadi adalah adanya kasus campak yang
sering kita jumpai dalam kehidupan masyarakat. Campak merupakan penyakit yang

2
berbahaya karena dapat menyebabkan cacat dan merupakan salah satu penyebab kematian
anak di Negara berkembang termasuk Indonesia.1
Campak, measles atau robeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus
campak. Penyakit ini sangat infeksius, dapat menular sejak awal masa prodromal sampai
lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Penyakit campak ini dapat menyebar melalui
kontak langsung dengan orang yang terinfeksi, yakni melalui percikan ludah (droplet
infection) yang keluar ketika bersin maupun batuk. Bagi orang yang belum pernah menerima
imunisasi campak dapat dengan sangat mudah tertular virus ini apabila tinggal di sekitar
penderita campak.2
Virus campak ini akan menyerang sistem kekebalan tubuh. Gejala-gejala penyakit
campak adalah demam, batuk, pilek, dan bercak-bercak merah pada permukaan kulit 3-5 hari
setelah anak menderita demam. Bercak mula-mula timbul dibawah telinga yang kemudian
menjalar ke muka, tubuh, dan anggota tubuh lainnya. Penyakit campak dapat berkembang
menjadi komplikasi berupa radang paru, infeksi pada telinga, radang pada saraf, radang pada
sendi, radang pada otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen.3
Indonesia, diperkirakan lebih dari 30.000 anak meninggal setiap tahun karena
komplikasi yang diakibatkan oleh campak. Ini berarti setiap 20 menit terjadi satu kematian
anak akibat campak. Penyakit ini sangat potensial untuk menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB), bahkan pada penderita dengan gizi buruk akan mudah terjadi kematian, sehingga
menjadi penyebab kematian utama pada anak.4
Sekitar 30% dari kasus yang dilaporkan campak memiliki satu atau lebih
komplikasi. Komplikasi campak yang paling umum adalah di antara anak-anak kurang dari 5
tahun dan orang dewasa usia 20 tahun dan lebih tua. Dari tahun 1985 hingga 1992, diare
dilaporkan 8% dari kasus campak. Komplikasi ini adalah yang paling sering dilaporkan
campak. Otitis media dilaporkan dalam 7% kasus dan terjadi hampir secara khas pada anak-
anak. Pneumonia (6% dari kasus yang dilaporkan) mungkin virus atau superimposed bakteri,
dan merupakan penyebab kematian paling umum dari penyakit campak. Ensefalitis akut
terjadi pada sekitar 0,1% dari kasus yang dilaporkan.5
BAB II
KOMPLIKASI MORBILI

A. MORBILI
Definisi

3
Morbili, campak, atau rubeola adalah suatu penyakit virus akut yang disebabkan
oleh virus morbili, yang pada umumnya menyerang anak. Penyakit ini sangat
infeksius, dapat menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari
setelah munculnya ruam. Penyebaran infeksi terjadi melalui perantara droplet.6,7
Epidemiologi
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) morbili
menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun
(0,77%).6
Angka kejadian morbili di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih tinggi
sekitar 3000-4000 per tahun, demikian pula frekuensi terjadinya kejadian luar biasa
(wabah) tampak meningkat dari 23 kali per tahun menjadi 174. Namun case fatality
rate telah dapat diturunkan dari 5,5% menjadi 1,2%. Umur terbanyak menderita
morbili adalah 12 tahun Transmisi morbili terjadi melalui udara, kontak langsung
maupun melalui droplet dari penderita dengan gejala yang minimal bahkan tidak
bergejala. Penderita masih dapat menularkan penyakitnya mulai hari ke-7 setelah
terpajan hingga 5 hari setelah ruam muncul.7,8
Biasanya penyakit ini muncul pada masa anak-anak dan kemudian menyebabkan
kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah menderita morbili
akan mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai usia 46 bulan
dan setelah itu kekebalan akan berkurang, sehingga bayi dapat menderita morbili. Bila
ibu belum penah menderita morbili, maka bayi yang dilahirkan tidak akan memiliki
kekebalan terhadap morbili dan dapat menderita penyakit ini setelah dilahirkan. Bila
seorang wanita menderita morbili pada usia kehamilan 1 atau 2 bulan, kemungkinan
50 % akan mengalami abortus, sedangkan jika menderita morbili pada trimester I, II,
atau III, maka ibu tersebut mungkin akan melahirkan anak dengan kelainan bawaan,
berat badan lahir rendah (BBLR) atau lahir mati ataupun anak akan meninggal
sebelum usia 1 tahun.9,10
Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa morbili di Indonesia ditemukan
sepanjang tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi morbili di Indonesia
timbul secaara tidak teratur. Di daerah perkotaan epidemi morbili terjadi setiap 2-4
tahun. Wabah terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap morbili, yaitu di
daerah dengan populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang
lemah. Telah diketahui bahwa morbili menyebabkan penurunan daya tahan tubuh
secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang

4
sering dijumpai adalah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis
(6,7%), dan lain-lain (7,9%).6
Menurut kelompok umur, kasus morbili yang rawat inap di rumah sakit selama
kurun waktu 5 tahun (1984-1988) menunjukkan proporsi yang terbesar dalam
golongan umur balita dengan perincian 17,6% berumur <1 tahun, 15,2% berumur 1
tahun, 20,3% berumur 2 tahun, 12,3% berumur 3 tahun, dan 8,2% berumur 4 tahun. 6
Etiologi
Etiologi atau penyebab dari penyakit morbili adalah virus RNA dari famili
Paramixoviridae, genus Morbilivirus. Hanya satu tipe antigen yang diketahui. Virus
tetap aktif minimal dalam 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu dalam
pengawetan beku, minimal 4 minggu disimpan dalam temperatur 35C, dan beberapa
hari dalam suhu 0C. Virus tidak aktif pada pH rendah. Perubahan sitopatik, tampak
dalam 5 sampai 10 hari, terdiri dari sel raksasa multinukleus dengan inklusi
intranuklear. Antibodi di dalam sirkulasi dapat dideteksi bila ruam muncul. 6,9
Virus morbili termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang
kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari
lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong,
terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA). Pada selubung luar
seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang berada di selubung luar
berfungsi sebagai hemaglutinin. 6
Virus morbili adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila
berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia
akan kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37 C waktu
paruh usianya 2 jam, sedangkan pada suhu 56 C hanya 1 jam. Sebaliknya virus ini
mampu bertahan dalam keadaan dingin. Pada suhu -70 C dengan media protein ia
dapat hidup selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6 C,
dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu
bertahan selama 2 minggu, dan dapat dengan mudah dihancurkan oleh sinar
ultraviolet.6
Oleh karena selubungnya terdiri dari lemak, maka virus morbili termasuk
mikroorganisme yang bersifat ether labile. Pada suhu kamar, virus ini akan mati
dalam 20% ether setelah 10 menit dan dalam 50% aseton setelah 30 menit. Virus
morbili juga sensitive terhadap 0,01% betapropiacetone pada suhu 37 C dalam 2
jam, ia akan kehilangan sifat infektivitasnya namun tetap memiliki antigenitas penuh.
Sedangkan dalam formalin 1/4.000, virus ini menjadi tidak efektif setelah 5 hari,

5
tetapi tetap tidak kehilangan antigenitasnya. Penambahan tripsin akan mempercepat
hilangnya potensi antigenik.6
Virus morbili dapat tumbuh pada berbagai macam tipe sel, tetapi untuk isolasi
primer digunakan biakan sel ginjal manusia atau kera. Pertumbuhan virus morbili
lebih lambat daripada virus lainnya, baru mencapai kadar tertinggi pada fase larutan
setelah 7-10 hari.6
Virus morbili menyebabkan dua perubahan tipe sitopatik. Perubahan sitopatik
yang pertama berupa perubahan pada sel yang batas tepinya menghilang sehingga
sitoplasma dari banyak sel akan saling bercampur dan membentuk anyaman dengan
pengumpulan 40 nucleus di tengah. Inclusion bodies tampak pada kedua sitoplasma
dan intinya. Efek sitopatik yang kedua menyebabkan perubahan bentuk sel
perbenihan dari polygonal menjadi bentuk gelondong. Sel ini menjadi lebih hitam dan
lebih membias daripada sel normal dan jika dicat menunjukkan inclusion bodies yang
berada di dalam inti.6
Penyebaran virus maksimal adalah dengan droplet selama masa prodromal
(stadium kataral). Penularan terhadap kontak rentan sering terjadi sebelum diagnosis
ditegakkan. Seseorang yang terinfeksi virus morbili menular pada hari ke 9-10 setelah
pemajanan (mulai fase prodromal), pada beberapa kasus dapat terjadi hari ke 7.
Tindakan pencegahan isolasi terutama di rumah sakit atau instisusi lain, harus
dipertahankan dari hari ke 7 setelah pemajanan sampai hari ke 5 setelah timbul ruam.9
Patogenesis dan Patofisiologi
Penularan morbili terjadi secara droplet melalui udara, sejak 1-2 hari sebelum
timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Di tempat awal infeksi,
penggandaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya. Virus masuk
ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuclear,
kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Disini virus memperbanyak diri
dengan sel mononuklear, kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Disini
virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel
jaringan limforetikular seperti limpa. Sel mononuklear yang terinfeksi menyebabkan
terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk
T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadap infeksi, turut aktif membelah.6
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara
lengkap, tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi yaitu ketika
virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring,
konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih, dan usus.6

6
Pada hari ke 9-10 fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan
konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel.
Pada saat itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan
menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan
batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respons imun yang
terjadi ialah proses perandangan pada sistem saluran pernapasan diikuti dengan
manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat dan tampak suatu
ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dapat tanda pasti
untuk menegakkan diagnosis.6
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14
sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit.
Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T.6
Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara
mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh dikulit. Penelitian dengan
imunoflouresens dan histologik menunjukkan adanya antigen morbili dan diduga
terjadi suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran
pernafasan memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa
bronkopneumonia, otitis media, dan lain-lain.6
Manifestasi klinis
Morbili terdiri dari empat fase, yaitu periode inkubasi, prodromal, eksantematosa,
dan konvalesens (recovery).11
1. Fase inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 14-21 hari. Dalam beberapa laporan lain waktu
inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17-21 hari.
Selama masa inkubasi, virus morbili bermigrasi ke nodus limfatikus regional.
Viremia primer terjadi ketika virus menyebar ke sistem retikuloendotelial.
Viremia sekunder menyebarkan virus ke permukaan tubuh.11,12
2. Fase prodromal
Gejala prodromal muncul ketika terjadi viremia sekunder yang berkaitan
dengan nekrosis epitel dan pembentukan sel raksasa di jaringan tubuh.
Fase prodromal berlangsung selama 4-5 hari. Gejala menyerupai influenza,
yaitu demam tinggi dapat mencapai 105o F (40,6oC) yang dapat berlangsung
selama 3-4 hari, anoreksia, malaise, batuk, nyeri tenggorokan, fotofobia,
konjungivitis, dan coryza.
Menjelang akhir fase prodromal, 24-48 jam sebelum timbul eksantema, timbul
bercak Koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai.

7
Lesi ini dideskripsi oleh Koplik pada tahun 1986 sebagai suatu bintik
berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dengan diameter sekitar 1 mm,
dikelilingi oleh eritema, dan berlokasi di mukosa bukalis berhadapan dengan
molar bawah. Jarang ditemukan di bibir bawah tengah atau palatum.
Timbulnya bercak Koplik hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam,
sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput pada waktu dilakukan
pemeriksaan klinis.12,13,14
3. Fase erupsi
Berlangsung selama 5-10 hari. Gejala pada fase prodromal seperti coryza dan
batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di palatum durum
dan palatum mole.
Kemudian terjadi ruam eritematosa yang berbentuk makulopapular-papula
disertai meningkatnya suhu badan. Di antara makulopapular terdapat kulit
yang normal. Setelah munculnya ruam, biasanya bercak Koplik telah
menghilang. Ruam mula-mula timbul di belakang telinga, di bagian lateral
tengkuk, sepanjang rambut, dan bagian belakang bawah. Dapat terjadi
perdarahan ringan, rasa gatal, dan muka bengkak. Dalam tiga hari ruam
menyebar ke anggota bawah (kranial-kaudal) dan menghilang sesuai urutan
terjadinya. Ruam ini bertahan antara 5-7 hari.

Ruam Makulopapular Morbili

Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening mandibula dan leher bagian
belakang, splenomegali, diare, dan muntah. Variasi lain adalah black measles,
yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung, dan traktus
digestivus.

8
Demam biasanya menghilang dalam beberapa hari setelah timbulnya ruam.
Apabila masih terdapat demam lebih dari 3-4 hari setelah timbulnya ruam,
maka kemungkinan pasien mengalami komplikasi.(10)( ika fkui 2007).12
4. Fase konvalesens
Pada fase konvalesens, gejala-gejala pada fase prodromal mulai menghilang,
erupsi kulit berkurang dan meninggalkan bekas di kulit berupa
hiperpigmentasi yang akan menghilang sendiri dengan sempurna setelah 23
minggu. Selain hiperpigmentasi, pada anak Indonesia sering ditemukan pada
kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik
untuk morbili. Pada penyakitpenyakit lain dengan eritema atau eksantema
ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi
normal kecuali bila ada komplikasi.13,14

Diagnosis
Diagnosis klinis dan managemen morbili biasanya ditegakkan dari presentasi
klinis pasien tanpa menunggu adanya hasil pemeriksaan penunjang. Selain itu,
tindakan pengendalian juga harus segera dilakukan tanpa menunggu adanya hasil
pemeriksaan laboratorium mengingat penyakit ini sangat menular dari transmisi virus
melalui droplet baik dengan batuk, bersin, maupun kontak langsung dengan sekresi
yang telah terinfeksi atau kontak personal yang erat.12
Diagnosis juga perlu ditunjang data epidemiologi. Tidak semua kasus
manifestasinya sama dan jelas. Sebagai contoh, pada pasien yang mengidap gizi
kurang, ruamnya dapat sampai berdarah dan mengelupas atau bahkan pasien sudah
meninggal sebelum ruam timbul. Pada kasus gizi kurang juga dapat terjadi diare
berkelanjutan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa diagnosis morbili dapat ditegakkan
secara klinis, sedangkan pemeriksaan penunjang hanya sekedar membantu.6
o
Anamnesis
Morbili merupakan infeksi serius yang ditandai dengan demam inggi,
enanthema, batuk, coryza, konjungtivitis, dan eksantema yang tampak menonjol.
Setelah periode inkubasi selama 8-12 hari, fase prodromal dimulai dengan demam
ringan yang diikuti dengan konjungtivitis yang disertai fotofobia, coryza, betuk
yang menonjol, dan demam yang semakin meningkat.11
Gejala bertambah dalam 2-4 hari sampai munculnya ruam. Ruam dimulai dari
dahi (di sekitar batas tumbuh rambut depan), di belakang telinga, dan leher bagian
atas, kemudian merluas ke batang tubuh dan ekstremitas, mencapai telapak tangan
dan kaki pada 50% kasus. Eksantema cepat menjadi konfluens pada daerah wajah
dan tubuh bagian atas.11

9
o Pemeriksaan fisik
Diagnosis klinis akan sangat mudah ditegakkan apabila ditemukan suatu
enanthema yang disebut dengan bercak Koplik yang merupakan tanda
patognomonik dari morbili yang tampak pada hari 1-4 sebelum timbulnya ruam.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, awalnya bercak ini tampak seperti lesi
merah dengan bercak putih kebiruan di tengahnya. Bercak ini terdapat di mukosa
bukal dekat premolar, tetapi dapat menyebar ke bibir, palatum durum, dan gusi.
Selain itu bercak ini juga dapat diemukan pada lipatan konjungtiva dan mukosa
vagina.11

Bercak Koplik
o Pemeriksaan Penunjang
Temuan laboratoris utama pada fase akut berupa leukopenia dengan jumlah
hitung jenis limfosit yang berkurang dibandingkan dengan neutrofil. Pada morbili
yang tidak disertai infeksi bakteri, LED dan c-reaktif protein dalam batas normal.
Temuan laboratoris lain yang dapat ditemukan adalah trombositopenia dan
peningkatan transaminase hepar.11,12
Selain itu, dapat juga dilakukan konfirmasi serologis ELISA dengan
mengidentifikasi antibodi IgM dalam serum yang direkomendasikan oleh WHO
sebagai standar pengawasan morbili. Antibodi IgM muncul 1-2 hari setelah onset
ruam dan tetap dapat terdeteksi selama kurang lebih sebulan. Tetapi, apabila
serum diambil <72 jam sebelum terjadinya ruam, maka antibodi morbili akan
didapatkan negative dan harus dilakukan pengambilan specimen ulang.
Konfirmasi serologis dapat juga dilakukan dengan demonstrasi kenaikan antibody
IgG sebanyak 4 kali pada specimen fase akut dan konvalesnes.11,12

Metode diagnostik lain yang dapat dilakukan antara lain netralisasi, fiksasi
komplemen, mikroskop imunofluoresens, isolasi virus, identifikasi antigen atau
RNA virus morbili pada jaringan yang terinfeksi dengan menggunakan RT-PCR
(reverse transcription polymerase chain reaction). Virus morbili dapat dideteksi
pada swab nasofaring, urine, atau darah setelah onset munculnya ruam dengan
PCR.12

10
Tatalaksana
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen
nutrisi, dan antibiotic yang diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, antikovulsan
apabila terjadi kejang, serta pemberian vitamin A.3
Prognosis
Pada awal abad ke 20, angka kematian akibat morbili bervariasi antara 2000-
10000 atau sekitar 10 kematian per 1000 kasus morbili. Dengan adanya peningkatan
pelayanan kesehatan dan terapi antimikroba, nutrisi yang lebih baik, pengurangan
kepadatan, angka kematian akibat morbili berkurang menjadi 1 kematian per 1000
kasus. Antara tahun 1982 dan 2002, CDC mengestimasikan terjadi 259 kematian
akibat morbili di US, dengan rasio kematian berbanding kasus 2,5-2,8 per 1000 kasus
morbili. Pneumonia dan ensefalitis adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
kasus yang fatal, serta kondisi imunodefisiensi juga ditemukan pada 14-16%
kematian.11
Pada kasus kematian, angka tertinggi pada anak kurang dari 5 tahun dan usia lebih
dari 20 tahun. Morbiditas dan mortalitas juga akan meningkat dengan seseorang yang
mempunyai penyakit imunodefisiensi, defisiensi vitamin A dan vaksinasi yang tidak
adekuat.

B. KOMPLIKASI MORBILI

1. Kejang demam
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik
yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik
berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup
umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial
antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel.
Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih
potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu:16
- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
- Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
- Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.

11
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa
Infeksi virus, bakteri dan parasit menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi yang
akhirnya menimbulkan demam sehingga terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh.
Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen
akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat.16
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot,
dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama
akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi
neuron karena kegagalan metabolisme di otak. 16
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut: 16
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-ion
keluar masuk sel.

12
Figure 1 Mekanisme terjadinya kejang demam

o Pentalaksanaan
Penatalaksanaan Saat Kejang
Pada kebanyakan kasus, biasanya kejang demam berlangsung singkat dan
saat pasien datang kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan kejang,
obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-
0,5 mg/kgBB, dengan cara pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan dosis maksimal yang dapat diberikan
adalah 20 mg.17
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang
terjadi di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam
rektal 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Jika anak di bawah usia 3
tahun dapat diberi diazepam rektal 5 mg dan untuk anak di atas usia 3 tahun
diberi diazepam rektal 7,5 mg. Jika kejang belum berhenti, dapat diulang
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke
rumah sakit. .17
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenytoin
intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, maka
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.

13
Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif. Jika kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya. 17
Pemberian Obat pada Saat Demam
1. Antipiretik
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun
para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak boleh lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali
sehari. Meskipun jarang, acetylsalicylic acid dapat menyebabkan sindrom
Reye, terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga tidak
dianjurkan.17
2. Antikonvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam menurunkan
risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga dengan diazepam
rektal dosis 0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu >38,50 C. Dosis tersebut
dapat menyebabkan ataksia, iritabel, dan sedasi cukup berat pada 25-39%
kasus. Phenobarbital, carbamazepine, dan phenytoin saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam.17

14
Figure 2 Tatalaksana Kejang
2. Laringitis akut
Laringitis
akut muncul
karena adanya
edema hebat
pada mukosa
saluran napas,
yang

bertambah berat pada saat demam mencapai puncaknya. Ditandai dengan distres
pernapasan, sesak, sianosis dan stridor. Ketika demam turun keadaan akan
membaik.6
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin
sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi
mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak,
defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada
musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya
tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya
didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan
mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus
untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas.
Kondisi tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan
iritasi pada laring. Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi
ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika
berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.18

Gejala klinis diantaranya :18,19,20

15
1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkanpasien sebagai suara yang
kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara
yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam
pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada
parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
2. Sesak nafas dan stridor
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
4. Gejala radang umum seperti demam, malaise
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala commmon coldseperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit
menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam
dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang
sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas
yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh .
8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis, membengkak
terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang
akut dihidung atau sinus paranasal atau paru
9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, air hunger,sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan
ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan
keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.

Terapi:
1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari
2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 liter/ menit
3. Istirahat
4. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada
muncul sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9
%) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray
5. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien ada demam,
bila ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri / analgetik, hidung
tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA),
efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun
spray.Pemberianantibiotika yang adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari,
intravena, terbagi 4 dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena,

16
terbagi dalam 4 dosis atau sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson)
lalu dapat diberikan kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis
0,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.
6. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak
berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi
obstruksi jalan nafas.

3. Otitis media
Otitis media akut dapat disebabkan invasi virus campak ke dalam telinga
tengah. Gendang telinga biasanya hyperemia pada fase prodormal dan stadium
erupsi. Jika terjadi invasi bakteri pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi
virus terjadi otitis media purulenta.
Otitis media merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada morbili.
Agen penyebab dari otitis media pada campak tidak berbeda dengan anak lain yang
juga menderita otitis media akut (OMA) tanpa campak, maka terapi antibiotik
diperlukan pada kasus seperti ini. Kuman penyebab utama OMA ialah bakteri
piogenik, seperti Streptococcus hemolitikus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus.
Selain itu kadangkadang ditemukan juga Haemophylus influenza, Escheria coli,
Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aerugenosa. Haemophylus influenza sering
ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Telinga tengah biasanya steril,
meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat
mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia
mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi. Otitis media akut terjadi karena faktor
pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor
penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba Eustachius terganggu,
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu, sehingga kuman
masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Dikatakan juga, bahwa
pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran nafas atas. Pada anak, makin
sering anak terserang infeksi saluran nafas, semakin besar kemungkinan terjadinya
OMA.6,9
Tatalaksana3,18
- Karena penyebab tersering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza, dan Moraxella catharrhalis, berikan amoksisilin dosis 15 mg/
kgBB/ kali, 3 kali sehari atau kotrimoksazol oral dosis 24 mg/ kgBB/ kali, 2
kali sehari selama 7-10 hari

17
- Jika ada nanah mengalir dari dalam telinga, tunjukkan pada ibu cara
mengeringkannya dengan wicking (membuat sumbu dari kain atau tissue
kering yang dipluntir lancip). Nasihati ibu untuk membersihkan telinga 3
kali sehari hingga tidak ada lagi nanah yang keluar.
- Nasihati ibu untuk tidak memasukkan apapun ke dalam telinga anak, kecuali
jika terjadi penggumpalan cairan di liang telinga, yang dapat dilunakkan
dengan meneteskan lartan garam normal. Larang anak untuk berenang atau
memasukkan air ke dalam telinga

4. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia merupakan komplikasi yang umum ditemui pada campak.
Dapat disebabkan oleh virus morbili atau oleh Pneumococcus, Streptococcus,
Staphylococcus. Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan kematian bayi yang
masih muda, anak dengan malnutrisi energi protein, penderita penyakit menahun
(misalnya tuberkulosis), leukemia dan lainlain. Oleh karena itu pada keadaan
tertentu perlu dilakukan pencegahan. 6,21
Gambaran pada foto toraks yang sering dijumpai adalah hiperinflasi, infiltrat
perihiler, atau bintikbintik perihiler, dan penebalan hilus. Konsolidasi sekunder
atau efusi pleura juga dapat dijumpai. Bronkopneumonia ditandai dengan batuk,
meningkatnya frekuensi napas, dan adanya ronkhi basah halus. Pada saat suhu
turun, apabila disebabkan oleh virus, gejala pneumonia akan hilang, kecuali batuk
yang masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun
pada saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat
diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel
epitel yang telah dirusak oleh virus.6,21
Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi, aspirasi,
hematogen dari fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga terjadi infeksi
dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang
sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah
masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif
menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan
bakteri dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru
menjadi padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa
sel.22

18
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan
bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus
akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel
pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn.
Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema
dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.22

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :23

Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung


pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium


sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

1. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.

19
2. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

3. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik. Terapi
suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :24

1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring. Jika
penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan
terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata laksana
rutin yang harus diberikan.
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena
berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan
antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak
memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan
membedakan infeksi virus dengan bakteri.

5. Konjungtivitis
Pada hari ke 9-10 fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan
konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel.
Pada saat itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan

20
menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan
batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah.
Konjungtivitis dapat terjadi pada semua kasus campak, ditandai dengan
adanya mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi dan fotofobia.
Kadangkadang terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Virus campak atau antigennya
dapat dideteksi pada lesi konjungtiva pada harihari pertama sakit. Konjungtivitis
dapat memburuk dengan terjadinya hipopion dan pan-oftalmitis hingga
menyebabkan kebutaan. Dapat pula timbul ulkus kornea. 6,21
Tatalaksana
- Konjungtivitis ringan tanpa adanya pus tidak perlu diobati.
- Jika ada pus, bersihkan mata dengan kain bersih yang dibasahi dengan air bersih.
Setelah itu berikan salep mata tetrasiklin 3 kali sehari selama 7 hari. Jangan
gunakan salep yang mengandung steroid.
- Jika tidak ada perbaikan, rujuk.

Komplikasi neurologis pada morbili dapat berupa hemiplegia, paraplegia, afasia,


gangguan mental, neuritis optika dan ensefalitis. 6

Presentasi ensefalitis yang diinduksi oleh campak dibagi menjadi primary measles
encephalitis, acute post-measles encephalitis dan subacute sclerosing panencephalitis
(SSPE).

6. Ensefalitis
Ensefalitis morbili dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang
menderita morbili atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin
virus morbili hidup (ensefalitis morbili akut), pada penderita yang sedang mendapat
pengobatan imunosupresif (immunosuppresive measles encephalopathy) dan
sebagai subacute sclerosing panencephalitis (SSPE). Ensefalitis morbili akut ini
timbul pada stadium eksantem, angka kematian rendah dan sisa defisit neurologis
sedikit. Angka kematian ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus,
sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16 tiap
1.000.000 dosis.6
Ensefalitis adalah komplikasi neurologi yang paling jarang terjadi, biasanya
terjadi pada hari ke 4 7 setelah terjadinya ruam. Kejadian ensefalitis sekitar 1
dalam 1.000 kasus Campak, dengan CFR (Case Fatality Rate) berkisar antara 30
40%. Terjadinya Ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun melalui
invasi langsung virus Campak ke dalam otak.

21
Ensefalitis adalah peradangan pada parenkim otak dan biasanya
memanifestasikan dengan triad gejala yang terdiri dari demam, sakit kepala dan
perubahan tingkat kesadaran. Gejala lain termasuk disorientasi, perilaku dan ucapan
gangguan dan tanda-tanda neurologis seperti hemiparesis dan kejang.25
Kejadian awal dalam siklus replikasi virus pada ensefalitis adalah interaksinya
dengan reseptor hadir pada permukaan sel. Pengetahuan tentang interaksi ini
penting dalam memahami penyebaran virus, tropisme, dan patogenesis. Pada
ensefalitis karena virus campak, ia memiliki reseptor membrane cofactor rotein
yaitu CD46. Dimana CD46 ini berfungsi untuk mengatur melengkapi dan mencegah
aktivasi komplemen pada sel autolog.26

Tatalaksana
- Kloramfenikol dosis 75 mg/kg/hari dan ampisilin 100 mg/kg/hari selama 7-
10 hari.
- Kortikosteroid: deksametason 1 mg/kg/hari sebagai dosis awal dilanjutkan
0,5 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik (bila
pemberian lebih dari 5 hari dilakukan tapering off).
- Jumlah cairan dikurangi menjadi kebutuhan serta koreksi terhadap
gangguan elektrolit.

7. Subacute sclerosing panencephalitis


SSPE adalah suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat.
Penyakit ini merupakan komplikasi kronis dari morbili, berjalan progresif dan fatal,
dapat ditemukan pada anak dan orang dewasa. Ditandai oleh gejala yang terjadi
secara tibatiba seperti kekacauan mental, disfungsi motorik, kejang, dan koma.
Perjalanan klinis lambat dan sebagian besar penderita meninggal dunia dalam 6-9
bulan setelah terjadi gejala pertama. Meskipun demikan remisi spontan masih dapat
terjadi.
Pada tahap awal (stage I) biasanya gejala terlewatkan karena ringannya dan
singkatnya gejala yang muncul. Demam, sakit kepala, dan gejala lain ensefalitis
tidak ditemukan. Pada tahap kedua ditandai adanya mioklonus massif. Keadaan ini
berkaitan dengan adanya proses inflamasi yang meluas ke struktur otak yang lebih
dalam, termasuk ganglia basalis. Gerakan involunter dan hentakan mioklonik yang
berulang dimulai pada kelompok otot tunggal tetapi juga memberi jalan terjadinya
hentakan dan spasme massif yang melibatkan otot aksial dan apendikular.
Kesadaran tetap dipertahankan. Pada tahap ketiga, gerakan involunter menghilang

22
dan digantikan dengan koreoatetosis, imobilitas, distonia, dan rigiditas yang terjadi
akibat destruksi pusat terdalam dari ganglia basalis. Sensorium memburuk kea rah
demensia, stupor, kemudian koma. Tahap keempat ditandai dengan hilangnya pusat
penting yang menunjang pernapasan, denyut jantung, dan tekanan darah. Lambat
laun akan terjadi kematian.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti bahwa virus morbili memegang
peranan dalam patogenesisnya. Biasanya anak menderita morbili sebelum usia 2
tahun, sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7-13 tahun setelah menderita morbili.
SSPE yang terjadi setelah vaksinasi morbili didapatkan kirakira 3 tahun kemudian.
Kemungkinan menderita SSPE setelah vaksinasi morbili sekitar 0,51,1 tiap 10 juta
populasi, sedangkan setelah infeksi morbili sebesar 5,29,7 tiap 10 juta populasi.
Diagnosis SSPE dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis minial salah satu
dari temuan: (1) antibodi morbili yang terdeteksi di LCS (liquor cerebrospinal); (2)
temuan elektroensefalografik; (3) temuan histologis tipikal dan/atau isolasi virus
atau antigen virus pada jaringan otak yang diperoleh dari biopsi atau pemeriksaan
postmortem.6,11,21
Studi electroencephalogram dari 31 pasien SSPE ditemukan periodik
kompleks amplitudo tinggi dalam semua kecuali satu. Kompleks periodik terdiri
dari 2-4 gelombang delta amplitudo tinggu, biasanya bisynchronous dan simetris,
dan diulang sekali dalam lima sampai tujuh detik. Selain kompleks periodik,
beberapa temuan EEG atipikal juga mencatat bahwa termasuk aktivitas delta
berirama frontal dalam interval antara kompleks, periode electrodecremental berikut
kompleks EEG, paroxysm of bisynchronous spike wave activity, random spikes over
frontal regoins, dan abnormalitas fokal.27

Terapi pada SSPE


Pemberian inosipleks dapat menambah angka penderita dengan ketahanan
hidup yang lama dan mungkin menghasilkan beberapa perbaikan klinis pada tingkat
kecacatan (100 mg/kg/1 jam diberikan dalam dosis terbagi; perbaikan juga telah
dinyatakan dengan dosis yang lebih rendah). Beberapa penelitian menyatakan
bahwa perburukan SSPE diperlambat sesudah injeksi intratekal atau intraventrikuler
dengan interferon alfa dengan atau tanpa inosipleks. Simetidin dilaporkan
memperlambat pemburukan pada satu penelitian. Tidak ada dari terapi ini telah
dilaporkan menghentikan penjelekkan SSPE atau menyembuhkannya. Pengobatan
lain tidak efektif. Penggunaan antikonvulsan, mempertahankan status nutrisi,
pengobatan segera infeksi bakteri sekunder, terapi fisik dan perawatan pendukung

23
lain dapat juga memperjarang ketahanan hidup dan memperbaiki kualitas hidup
untuk penderita dan keluarganya.3
8. Ensefalomielitis diseminata akuta (pasca vaksinasi atau pasca infeksi)
Ensefalitis diseminata akuta walaupun jarang terjadi, tetapi merupakan
gangguan demielinisasi lain yang patut disebutkan karena penyakit ini pada
dasarnya dapat dicegah. Penyakit ini merupakan suatu mielitis atau ensefalitis akut
dengan perjalanan yang bervariasi dan ditandai dengan gejala-gejala yang
merupakan indikasi kerusakan pada substansia alba otak atau medula spinalis.
Gambaran patologis berupa demielinisasi sirkumskripta yang banyak terdapat pada
daerah perivaskular. Sekitar 1 minggu sesudah campak, dapat timbul gejala-gejala
neurologik secara cepat berupa sakit kepala, mengantuk, stupor, kelumpuhan otot
mata dan seringkali disertai lesi transversal medula spinalis sehingga keempat
anggota badan (tungkai dan lengan) mengalami paralisis flaksid. Tingkat paralisis
seringkali bervariasi.6
Ensefalomielitis pasca infeksi terjadi sesudah infeksi virus, terutama campak,
yaitu pada satu dari 1000 kasus. Angka kematian mencapai 10 hingga 20%, dan
sekitar 50% di antara mereka yang dapat bertahan akan mengalami kerusakan
neurologik.

Penyulit lain diantaranya adalah aktivasi tuberkulosis, enteritis, miokarditis,


adenitis servikal, purpura trombositopenik, aktivasi tuberculosis, emfisema subkutan,
gangguan gizi, infeksi piogenik pada kulit serta pada ibu hamil dapat terjadi abortus,
prematur dan kelainan kongenital pada bayi.6,11

9. Miokarditis
Miokarditis, penyakit pada dewasa dan anak, yang merupakan gangguan inflamasi
miokardium yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus. Nekrosis miosit dan infiltrasi
inflamasi yang terkait terlihat dalam gangguan ini. Salah satu etiologi dari miokarditis
ada dari virus campak.27
Miokarditis biasanya terjadi penurunan fungsi miokardium, dengan disertai
pembesaran jantung dan peningkatan volume akhir diastolik yang disebabkan oleh
peningkatan preload. Biasanya, jantung mengkompensasi dilatasi dengan peningkatan
kontraktilitas (hukum Starling), tetapi karena peradangan dan kerusakan otot jantung,
jantung dengan miokarditis tidak dapat merespon peningkatan volume.27
Selain itu, mediator inflamasi, seperti sitokin dan molekul adhesi, serta
mekanisme apoptosis, diaktifkan. Peningkatan progresif dalam ventrikel kiri pada akhir
diastolik, peningkatan volume atrium kiri, vena paru, dan tekanan arteri paru, sehingga

24
meningkatkan kekuatan hidrostatik. Kekuatan-kekuatan meningkat menyebabkan
edema paru dan gagal jantung kongestif. Tanpa pengobatan, proses ini dapat berlanjut
ke stadium akhir gagal jantung dan kematian.27
Gejala yang ditimbulkan biasanya anak menjadi iritabel, letargi, muka pucat,
demam, hipotermi, takipnea, anoreksia, gagal tumbuh atau failure to thrive, dan
berkeringat. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan takikardia, nadi yang lemah, akral
dingin, menurunkan capillary refill time dan pucat pada kulit. Pada bunyi jantung bisa
didapatkan suara murmur akibat katup atrioventrikular regurgitasi. Pada hepar dapat
ditemukan hepatomegaly dan edema pada ekstremitas bawah. 27
Pada penatalaksaan dapat segera dikonsultasikan dengan spesialis kardiologik.
Untuk terapi konvensioanl dapat diberikan digoxin, diuretic dan penurunan afterload.
Pada kasus yang berat dapat diberikan agen inotropic intravena, vasodilator, dan
antikoagulasi. Pasien juga disarakan untuk diet rendah garam, tirah baring dan
penurunan aktivitas sehari hari.27

BAB III
KESIMPULAN

25
Morbili, campak, atau rubeola adalah suatu penyakit virus akut yang
disebabkan oleh virus morbili, yang pada umumnya menyerang anak. Penyakit ini
sangat infeksius, dapat menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari
setelah munculnya ruam. Penyebaran infeksi terjadi melalui perantara droplet.
Sekitar 30% dari kasus yang dilaporkan campak memiliki satu atau lebih
komplikasi. Komplikasi campak yang paling umum adalah di antara anak-anak kurang
dari 5 tahun dan orang dewasa usia 20 tahun dan lebih tua. Dari tahun 1985 hingga
1992, diare dilaporkan 8% dari kasus campak. Komplikasi ini adalah yang paling sering
dilaporkan campak. Otitis media dilaporkan dalam 7% kasus dan terjadi hampir secara
khas pada anak-anak. Pneumonia (6% dari kasus yang dilaporkan) mungkin virus atau
superimposed bakteri, dan merupakan penyebab kematian paling umum dari penyakit
campak. Ensefalitis akut terjadi pada sekitar 0,1% dari kasus yang dilaporkan.
Tatalaksana komplikasi berdasarkan masing masing organ yang terkena invasi virus.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Chin J. 2006. Control of Communicable Diseases Manual. Alih Bahasa, I Nyoman
Kandun, Edisi 17, Cetakan II, CV Infomedika, Jakarta.
2. Pudjiaji AH, Hegar B, Handrayastuti S, Idris NS, Gandaputra AP, et al editors. Campak.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Campak. Jakarta;IDAI:2009.
h.33.
3. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Campak. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15
Vol 2. Jakarta:EGC;2000.
4. Kementrian Kesehatan RI. Situasi Imunisasi di Indonesia. InfoDATIN:2016.
5. Wallace G, Leroy Z. Measles. Centers for Diseases Control and Prevention in
Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Edisi 13. CDC:2015.
h.209-30.

6. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi & pediatri tropis:
campak. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h.109-18

7. Sastroasmoro S, Bondan, Kampono N, Widodo D, Umbas R, Hermani B, et all.Campak.


Panduan Pelayanan medis departemen ilmu penyakit anak. Jakarta: RSUP Nasional dr.
Ciptomangunkusumo; 2007. h.150-2

8. Katz SL. Measles. In: Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ, Apt
L, et all, Editors. Rudolphs pediatrics. Edisi 21. USA: McGraw-Hill; 2003. h. 576-89

9. Mason WH, Behrman RE, Kliegman RM. Measles. In: Wahab AS, Editor. Nelson ilmu
kesehatan anak volume 2. Edisi 15. Jakarta: EGC; 2000. h. 1068-71

10. Mansjoer A. Campak Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius;
2000. h. 417-418

11. Mason WH. Measles. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, Editors.
Measles. Nelson textboon of pediatrics. Edisi 18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
h. 1090-8

12. Batirel A, Doganay M. clinical approach to skin eruption and measles: a mini review. J
Gen Pract. 2013; 1: 118

13. Staf Pengajar FKUI. Campak. Ilmu kesehatan anak 2. 9 th ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2000. h. 6248

14. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Campak. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2007. h. 189-93

27
15. McKinnon HD, Howard T. evaluating the febrile patient with rash. Am fam physician.
2000 Aug 15; 62(4): 804-816

16. Fuadi, F. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Universitas Diponegoro:
Semarang;2012.
17. Arief RF. Penatalaksanaan Kejang Demam. CDK:2015;2(9):658-61.
18. Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 5, Jakarta:FKUI,2003,190-200.
19. Abdurrahman MH, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Edisi ke 2,
Jakarta:FKUI,2003,931& Obat, Bandung:Mizan Media Utama,2006,13-20.
20. Shah RK. Acute Layngitis. Medscape 2016. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/864671-overview. Accessed 8 December 2016.
21. Rampengan TH, Laurentz IR. penyakit infeksi tropik pada anak. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008. h. 109-21

22. Alsagaff, Hood dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru dan
Saluran Napas FK Unair : Surabaya.
23. Garna H dan Heda M.2005. Pneumonia Dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi edisi 3:
Bagian IKA FK UNPAD Bandung.th ; 2010.Hal; 403 8.
24. Fisher DL, Defres S. Solomon T. Measles-induced Encephalitis. Oxford Universitu Press:
2014. Available at: http://qjmed.oxfordjournals.org/content/108/3/177.long. Accessed
December 24, 2016.
25. Gondim F. Virus Encephalitis in Pathophysiology. Medscape:2016. Available at:
http://reference.medscape.com/article/1166498-overview#a3. Accessed December 26,
2016.
26. Markand ON, Panszi JG. The electroencephalogram in subacute sclerosing
panencephalitis. PubMed:1975. Available at
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1180740. Accessed January 13, 2017.
27. Cruz-Rodriguez E. Pediatric Viral Myocarditis. Medscape:2015. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/890740-overview#a4. Accessed January 13, 2017.

28
29

Anda mungkin juga menyukai