Anda di halaman 1dari 29

BAB

disebut
daerah
tiga
terjadi
trauma
akibat
Dalam
cedera
atau
(37%),
dan
lintas
1-3
dapat Ipenganiayaan
PENDAHULUAN
maksilofasial,
merupakan
juta
bervariasi
tempat,
fisik,
raga,
dilakukan
di
utama
Israel
(35%),
kecelakaan
(29%),
fisik
studi
US
jaringan
fraktur
Fraktur
menjadi
hidung,
maksila,
zigoma,
orbita,
oleh
Turki,
kasus
diikuti
tulang
(20,2%). trauma
wajah.
di
dan
penyebab
Allareddy
ini
kecelakaan
(12,1%).
terjadi
yang lunak
pada
wajah trauma
cedera
US
senjata
dari
fraktur
fraktur
Arslanfraktur
kejadian Lebih
setiap
maksilofasial
seperti
pada
terjatuh,trauma
oleh
penyebab
dan cedera
diikutilalu
dari
fraktur
terbanyak
oleh
hidung et wajah
et
terbanyak
terjatuh olah
api.
Yoffe
oleh
al
lalu
kerusakan
juga
tulang-
dibagi
tulang
tulangatau
setiap
tulang
dilakukan
al dari
et
ini
kekerasan
lintas
di
(24,6%),
fraktur
(25,3%),di
(28%), al BAB I
PENDAHULUAN

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas. Kelainan
pada laring dapat berupa kelainan kongenital, peradangan/infeksi, tumor lesi jinak serta
kelumpuhan pita suara. Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada
daerah laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi,
baik secara akut maupun kronik.1 Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung
dalam kurun waktu kurang dari 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan
laringitis kronis.2
Infeksi akut terjadi dalam waktu < 7 hari, disertai distres pernapasan, demam, dan
lebih sering menyerang anak anak dibanding orang dewasa. Laringitis akut merupakan
gejala yang umum terjadi yang disebabkan oleh virus yang juga berperan dalam infeksi
saluran napas atas lainnya. Selain itu, laringitis akut juga dapat disebabkan oleh
penyalahgunaan suara (vocal abuse). Infeksi kronik umumnya telah terjadi dalam waktu lebih
dari seminggu sebelum munculnya gejala seperti distres pernapasan. Suara serak dan nyeri
merupakan gejala yang dominan, faktor sistemik berperan penting dalam kasus ini, dan lebih
sering ditemukan pada orang dewasa dibanding anak anak.3 Laringitis kronik dikaitkan
dengan infeksi traktus respirasi atas atau bawah, tetapi lebih sering karena iritasi akibat kerja
atau lingkungan, penyalahgunaan suara, dan penggunaan tembakau.1 Laringitis kronik dibagi
menjadi laringitis kronik non spesifik dan laringitis kronik spesifik. Salah satu bentuk
laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.5
Tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang di sebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, M.bovis, atau M.Africanum., walaupun mikobakteria lain menyebabkan
penyakit yang mirip TB. Tuberkulosa merupakan suatu infeksi kronis yang umumnya terjadi
di paru-paru, tetapi setiap organ dapat diserang.3
Di Negara maju, infeksi terjadi semata-mata melalui inhalasi organism yang tersebar
sebagai nuclei droplet dari penderita TB pulmonal dengan apusan sputum positif. Organism
dapat melayang-layang di udara selama beberapa jam meningkatkan kemungkinan
menginfeksi kontak. Walaupun pertahanan imunologis spesifik terhadap TB hanya timbul
setelah infeksi, pertahanan bawaan yang cukup tinggi dapat terjadi dan menahan invasi awal.3
Laringitis tuberkulosis adalah penyakit granulomatosa yang paling umum dari laring
dan seringkali dihubungkan dengan tuberkulosis paru aktif. Laringitis tuberkulosis

1
merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis paru. Pada awal abad ke-20, laringitis
tuberkulosis mengenai 25-30% pasien tuberkulosis paru. Sedangkan sekarang hanya 1%

kasus laringitis tuberkulosis. Penurunan


n _t en

kejadiaan laringitis tuberkulosis ini terjadi


UTF-8 2 1

sebagai akibat dari peningkatan perawatan kesehatan masyarakat dan perkembangan


antituberkulosis yang efektif.2
Penderita dengan laringitis tuberkulosis biasanya datang dengan gejala, seperti
disfonia, odynophagia, dyspnea, odynophonia, dan batuk. Obstruksi pernafasan bisa terjadi
pada stadium lanjut penyakit. Pemahaman bahwa karsinoma laring juga sering menunjukkan
gejala serupa merupakan keharusan untuk mengevaluasi laringitis. Gejala pada saluran
pernapasan seperti batuk kronis, hemoptisis dan gejala sistemik seperti demam, keringat
malam, dan penurunan berat badan merupakan gejala-gejala umum yang sering dijumpai
pada pasien dengan tuberkulosis.6
Pada laringitis tuberkulosis proses inflamasi akan berlangsung secara progresif dan
dapat menyebabkan kesulitan bernapas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor, baik
pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Jika tidak segera diobati, stenosis dapat
berkembang, sehingga diperlukan trakeostomi. Akan tetapi, sering kali setelah diberi
pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini
terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi
yang tidak sebaik di paru, sehingga bila sudah mengeni kartilago, pengobatannya lebih lama.7
Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut diperlukan
agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat
guna mencegah komplikasi yang akan terjadi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Embriologi Laring


Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya terbentuk alur
faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernafasan dan benih laring.
Sulkus atau alur laringotrakeal mulai nyata sekitar hari ke 21 kehidupan embrio. Perluasan
alur ke kaudal merupakan primaordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung
dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke 27 atau 28. Bangian yang paling proksimal dari
tuba akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali pada hari
ke 33. Sedangkan kartilago, otot, dan sebagian besar pita suara terbentuk dalam 3-4 minggu
berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Banyak
struktur merupakan derivat aparatus brankialis.8

2.2 Anatomi Laring

Laring merupakan bagian terbawah saluran napas bagian atas. Bentuknya menyerupai
limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih besar dari pada bagian bawah. Batas atas
laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid.1

3
Gambar 1. Potongan sagital kepala dan leher7

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid berbentuk
seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan
tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan, otot-otot ini akan menyebabkan laring
tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut
dan membantu menggerakkan lidah.9,10

4
Gambar 2. Tulang dan tulang rawan penyusun laring7

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid,
kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan
kartilago tritisea.9,10

Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid.


Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran.7

5
Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan
belakang laring, membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid.
Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada kartilago aritenoid di daerah
apeks, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik, dan
kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.7

Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid


(anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid
posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum
hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang berhubungan dengan
kartilago aritenoid dengan katilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.7

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot


intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan
otot-otot intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian laring tertentu yang berhubungan
dengan gerakan pita suara.7

Gambar 3. Otot-otot laring7

Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hioid (suprahioid), dan ada
yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid ialah

6
m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m.milohioid. Otot infrahioid ialah
m.sternohioid, m.omohioid dan m.tirohioid.7

Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah,


sedangkang yang infrahioid menarik laring ke atas. Otot-otot intrinsik laring ialah
m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika dan
m.krikotiroid. otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. 7

Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah m.aritenoid


transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot
intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah)
kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakam otot abduktor (kontraksinya akan
menjauhkan kedua pita suara ke lateral).7

Persarafan laring
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.9,10
1. Nn. Laringeus Superior.
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan
dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan
bercabang dua, yaitu : Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula,
epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara
sejati. Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m.
Konstriktor inferior.

2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).


Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan
yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan
cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok
ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai
laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan:
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

7
Gambar 4. Persarafan laring7,12

Perdarahan

8
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A.

Laringeus Superior dan Inferior.9,10


1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana
tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.
2. Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area
Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus
Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan
memperdarahi otot-otot dan mukosa laring..

Gambar 5. Sistem Arteri pada laring7

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea


Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.9,10

Gambar 6. Sistem Vena pada laring7

9
Pembuluh limfa

Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vokal. Di sini mukosa
nya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh
limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior.7

Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan
a.laringis superior, kemudian ke atasm dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior
rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan ke bawah dengan
a.laringis inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa diantaranya
menjalas sampai sejauh kelenjar subklavikular.7

Gambar 7. Vaskularisasi dan Sistem Limfatik pada Laring7

2.3 Fisiologi laring

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping
beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:7,13,14,15
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan

10
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.
2. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga
dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial
CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan
rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara
reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan
menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah
berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui
N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila
serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.

11
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah
(M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus)
mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah
dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah
makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan
menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus
laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus
laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada
waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

12
Gambar 8. Laring16

2.4 Laringitis Tuberkulosis

2.4.1 Definisi

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik
secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam
kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan
laringitis kronis.7
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut
(common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan radang kronis laring yang dapat
disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis
kronis. Mungkin juga disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak-
teriak atau biasa berbicara keras.7
Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan spesifik. Laringitis
kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen (rangsangan fisik oleh
penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi kronik saluran napas atas atau bawah, asap
rokok) atau faktor endogen (bentuk tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan laringitis kronik
spesifik disebabkan tuberkulosis dan sifilis.17

Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis. Laringitis
tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam
jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.17

2.4.2 Epidemiologi

Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami penurunan,


kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami penurunan, meskipun kecenderungan
peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir.12

13
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok usia muda yaitu 20
40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens penyakit ini pada penduduk yang berumur
lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih
sering pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis laring juga lebih sering
terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien dengan keadaan ekonomi dan
kesehatan yang buruk, banyak diantaranya adalah peminum alkohol.12

2.4.3 Etiologi

Laringitis tuberkulosis disebabkan infeksi laring oleh Mycobacterium tuberculosa yang hampir
selalu akibat tuberkulosis paru aktif. Sering kali setelah diberi pengobatan, tuberculosis parunya
sembuh tetapi laringitis tuberkulosanya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa
laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga
bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.7

2.4.4 Patogenesis

Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi tuberkulosis paru


aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara langsung. Secara
umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang
mengandung kuman, atau penyebaran melalui darah atau limfe.18

Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan menjadi 2


mekanisme, yaitu:

a. Laringitis Tuberkulosis Primer


Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis. Laringitis
tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa pada
laring, tanpa disertai adanya keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis
tuberkulosis primer yang saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel
melalui inhalasi.

b. Laringitis Tuberkulosis Sekunder


Laringitis tuberculosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring akibat
Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru. Laringitis
tuberculosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberculosis paru aktif.

14
Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen)
Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme bronkogenik
merupakan teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen dalam hal ini, sputum yang
mengandung bakteri M. tuberculosis mendasari patogenesis terjadinya laringitis
tuberkulosis. Terjadinya laringitis tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya
sputum yang mengandung basil tuberkulosis di laring, terutama pada struktur posterior
laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara bagian posterior dan permukaan
epiglotis yang menghadap ke laring.12,18
Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu dibawa ke
kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen M. Tuberculosis ke sel Th1. Th1
kemudian berproliferasi dan dapat kembali ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel
penyaji setempat menghasilkan produksi IFN dan mengaktifasi makrofag. Bila
eliminasi mikroorganisme ini gagal akan berlanjut pada inflamasi kronik terjadi dimana
patogen persisten di dalam tubuh, maka terjadi pengalihan respon imun berupa reaksi
hipersensitifitas tipe lambat membentuk granuloma.18
Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity) dimana pengerahan
makrofag yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel epitloid berupa sel datia dalam
granuloma.19
Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah dikelilingi oleh sel
epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini
bersatu membentuk nodul. Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya
mungkin hilang dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder. Proses ini pertama
kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan epiglotis.12,18
Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan
jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada daerah interaritenoid
berupa penebalan yang menyerupai pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh
nodul yang menyerupai morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan
karena hanya ditemukan sedikit perkijuan pada lesi.12,18
Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai akibat
obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid,
kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah

15
subglotik. Epiglotis dan jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling
tampak edema.12,18
Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul jaringan
fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel.12,18

Penyebaran Melalui Limfohematogen


Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada laring dapat juga
melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui sistem limfohematogen biasanya
mengenai laring anterior dan epiglotis.20

2.4.5 Gambaran Klinis

Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu:7

1. Stadium infiltrasi
Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis adalah mukosa
laring bagian posterior. Kadang-kadang pita suara terkena juga. Pada stadium ini mukosa
laring berwarna pucat. Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga
mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel ini makin
membesar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa di atasnya
meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan timbul ulkus.

2. Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat dirasakan yeri oleh pasien.

3. Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan yang paling sering
terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang
rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan berlanjut dan terbentuk
sekuester (squester). Pada stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk dan dapat
meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk
dalam stadium terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.

16
4. Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, piata suara
dan subglotik.

Berdasarkan Shin dkk (2000), temuan pada laringitis tuberkulosis dapat dikategorikan
menjadi empat grup, antara lain (a) lesi ulserasi (40,9%), (b) lesi inflamasi non spesifik
(27,3%), (c) lesi polipoid (22,7%), dan (d) lesi massa ulcerofungative (9,1%).21

Gambar 9. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi Ulseratif (pada


seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior), C. Lesi Polyploid (pada
plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik (pada plika vokalis kanan)21

2.4.6 Gejala Klinis

Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut:7

- Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring.


- Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan pada stadium lanjut dapat
timbul afoni.
- Hemoptisis

17
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena radang
lainnya, merupakan tanda yang khas.
- Keadaan umum buruk
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologik) terdapat proses aktif (biasanya
pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne)

2.4.7 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang seperti pemeriksaan laringoskopi, Rontgen toraks, pemeriksaan sputum,
pemeriksaan histopatologi atau biopsi laring yang merupakan standar baku emas untuk
menegakkan diagnosis TB laring.7
Tiga kriteria untuk menegakkan TB ekstrapulmonal, diantaranya 1. Hasil kultur yang
diambil dari organ ekstrapulmonal yang terinfeksi menunjukkan hasil positif untuk
Mikrobakterium Tuberkulosis, 2. Hasil biopsi terlihat nekrosis menghasilkan granuloma
kavernosa dengan atau tanpa basil tahan asam dan tes tuberkulin positif, 3. Penderita
menunjukkan gejala klinis TB, uji tuberkulin positif dan memberikan hasil yang baikd
dengan pemberian OAT.7

1. Anamnesa7
Pada anamnesa dapat ditanyakan:
- Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala
- Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat memicu
timbulnya laringitis seperti debu, asap.
- Penggunaan suara berlebih
- Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang
dapat menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa.
- Riwayat merokok
- Riwayat makan
- Suara parau atau disfonia
- Batuk kronis terutama pada malam hari
- Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita suara
- Disfagia dan otalgia

18
2. Gejala dan Pemeriksaan fisik7
Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi,
sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi
dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak
sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia7

3. Laboratorium7
- Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk
biopsi jarum halus/BJH).

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):7
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi (keesokan harinya)
Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari
berturut-turut.

- Kultur kuman
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka
terhadap OAT yang digunakan7.

4. Laringoskopi direk atau indirek7


Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu
menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan
tampak edema terutama di bagian atas dan bawah glotis.

19
Gambar 10. Laringitis Tuberkulosis22

5. Foto toraks7
Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya gambaran
tuberkulosis paru. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan
hasil yang lebih baik. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
- Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

Gambar 11. Foto Toraks Tuberkulosis Paru22

6. Pemeriksaan Histopatologis7
Biopsi laring menjadi standar baku emas pada TB laring ataupun keganasan
laring. Walaupun pemeriksaan sputum dan rontgen toraks sudah cukup membantu.
Biopsi laring untuk kasus TB laring dapat dilakukan dengan 2 teknik, pertama
menggunakan bronkoskopi fleksibel / fiber optic dalam bius lokal, dan kedua

20
menggunakan mikrolaringoskop Kleinseisser dalam bius umum, yang masing-
masingnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Biopsi laring dengan bius lokal
memiliki keuntungan proses yang cepat sehingga tidak memerlukan persiapan pre
operasi dan perawatan post operasi. Kemungkinan terjadi aspirasi karena
perdarahan yang banyak saat tindakan biopsi dilakukan, epistaksis akibat trauma
pada hidung saat bronkoskop fleksibel dimasukkan, dan rasa nyeri merupakan
kekurangan dari bius lokal ini, untuk itu perlu kerjasama yang baik antara dokter
dan pasien.
Teknik biopsi laring dengan bronkoskopi fleksibel dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut, pertama pasien dalam posisi duduk, dan
sebaiknya diberikan obat untuk mengurangi sekresi, dan relaksan sebelum
tindakan dilakukan. Obat bius disemprotkan ke mulut atau hidung agar
memberikan efek kebas pada saat biopsi dilakukan. Setelah 1-2 menit, bronkoskop
fleksibel dimasukkan melalui mulut atau hidung pasien, terus menelusuri uvula,
epiglotis, laring. Menggunakan layar televisi yang terhubung dengan lensa yang
berada di ujung bronkoskop fleksibel, kita dapat mengamati keadaan pita suara
secara detail. Pada tindakan biopsi, digunakan forsep biopsi untuk mengambil
jaringan patologis di laring. Bila terdapat perdarahan, sumber perdarahan ditekan
dengan kapas menggunakan cotton aplicator, bila perdarahan berlanjut sumber
perdarahan dikaustik dengan AgNO3.
Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir kering dan
berbenjol-benjol sedangkan pada gambaran mikroskopis pada TB memperlihatkan
suatu kelompok sel epitel numerous dan sel Giant langhans multiple dengan
menggunakan pewarnaan HE, sedangkan basil tahan asam akan terlihat dengan
pewarnaan Ziehl Nelsen.

21
Gambar 12. (A) sel epitel Numerous dan sel Giant Langerhans multiple dengan pewarnaan
HE (B) Basil tahan asam pada pewarnaan Ziehl Nielsen22

7. Pemeriksaan lain-lain7
Pada TB laring yang disertai pembesaran kelenjar getah bening, dapat
dilakukan pemeriksaan histopatologi biopsi aspirasi jarum halus. Pemeriksaan
serologis juga dapat dilakukan seperti pemeriksaan PCR (Polymerase Chain
Reaction) dan PAP (Peroksidase Anti Peroksidase).

8. CT-Scan

Gambar 13. CT-Scan Axial dengan kontras. (A) penebalan soft tissue meningkat antara
lipatan aryepiglotic sinus piriformis (panah putih) dengan pembesaran jaringan limfoid
servical (panah hitam). (B) Pada pita suara palsu, terdapat penebalan dan peningkatan soft
tissue paralaryngeal bilateral. (C) pada glotis, penebalan soft tissue perpanjangan ke komisura
anterior.22

22
Gambar 14. CT-Scan coronal dengan kontras bilateral. (A) penebalan, peningkatan lipatan
aryepiglotis dan soft tissue laryngeal supraglotis dengan hilangnya lemak paralaryngeal. CT-
Scan sagital dengan kontra (B) menunjukkan penebalan, peningkatan epiglotis (panah putih)
dan soft tissue pre-epiglotis (panah hitam).22

2.4.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding laringitis tuberculosis, antara lain:7,18

- Laringitis luetika
Laringitis luetika seringkali memberikan gejala yang sama dengan laringitis
tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang ditemukan. Laringitis luetika
terjadi pada stadium tertier dari sifilis, yaitu stadium pembentukan guma. Apabila
gma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus inimempunyai sifat yang khas, yaitu sangat
dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan
eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus tidak menyebabkan nyeri dan menjalar
sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis.

- Karsinoma laring
Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis
tuberkulosa. Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun hubungan antara
serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor.

23
2.4.9 Penatalaksaan7

1. Terapi non medikamentosa


- Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara.
- Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya
goreng-gorengan, makanan pedas.
- Konsumsi cairan yang banyak.
- Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.

2. Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT)


Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu:
Obat primer:
- INH (isoniazid)
- Rifampisin
- Etambutol
- Streptomisin
- Pirazinamid
Obat sekunder:
- Exionamid
- Paraaminosalisilat
- Sikloserin
- Amikasin
- Kapreomisin
- Kanamisin

24
Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis7
Obat Dosis harian Dosis 2x/minggu Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari)
INH 5-15 (maks. 300 mg) 15-40 (maks. 900 15-40 (maks. 900
mg) mg)
Rifampisin 10-20 (maks. 600 10-20 (maks. 600 15-20 (maks. 600
mg) mg) mg)
Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)
Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25.40maks. 1,5 g)

3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan sekuester.
Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat luabang pada dinding depan/anterior
trakea untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas indikasi, berikut:
- Mengatasi obstruksi laring
- Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
- Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan secret secara fisiologik.
- Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
- Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
bronkoskopi.
- Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi yaitu jika
terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.

25
2.4.10 Prognosis

Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta
ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya
baik.9,10

2.4.11 Komplikasi

Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi
inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini
dapat disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada laringitis
tuberkulosis dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis subglotis,
paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia.9,10

BAB III
KESIMPULAN
26
Tuberkulosa laring hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati
biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur
mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru, sehingga bila
sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.

Secara klinis tuberkulosa laring terdiri dari 4 stadium, yaitu : stadium infiltrasi,
stadium ulserasi, stadium perikondritis, stadium pembentukan tumor (fibrotuberkulosis).

Diagnosa laringitis tuberculosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, gejala dan


pemeriksaan fisik, laringoskopi direct dan indirect, laboratorium, foto toraks, dan
pemeriksaan histopatologis, dan pemeriksaan lain-lain seperti pemeriksaan serologis (PCR
dan PAP), dan CT-Scan.

Terapinya dibagi menjadi medikamentosa dan pembedahan. Terapi non


medikamentosa yaitu mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara,
menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-gorengan,
makanan pedas, konsumsi cairan yang banyak, berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
Sedangkan terapi medikamentosa adalah OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Terapi
pembedahannya pengangkatan sekuester dan trakeostomi bila terjadi obstruksi laring.

Prognosisnya tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat
serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.

DAFTAR PUSTAKA

27
1. Soepardi EA, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher Edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2007.p.238 41
2. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic carcinoma:
a case report and review of the literature. Smulders et al; licensee BioMed Central Ltd.
2009 [Diakses tanggal 25 Maret 2016]. Didapatkan dari:
http://www.jmedicalcasereports.com/content/3/1/9288
3. Cummings CW, et al. Otolaryngology Head & Neck SURGERY. 4th edition. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2005.p.2069 70
4. Kasper DL, et al. Harrisons Principle of Internal Medicine. 17 th edition. United States of
America: McGraw-Hill Companies; 2005.p.192
5. Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th edition. New York: Thieme Stuttgart; 2003.p.
210
6. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Laryngitis. Dalam: Bailey,
Byron, Johnson, Jonas T. editor. Head & Neck Surgery Otolaryngology, edisi ke-4.
Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006. Hal 831-832.
7. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2008. Hal 231-234
8. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 369-376
9. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.
10. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi Laring. Edisi
keenam. Jakarta: EGC; 2006. Hal 805-813.
11. Roezin A. Sistem Aliran Limfa Leher.Dalam:Soepardi EA. Buku Ajar llmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI .
2007. h. 174-177.
12. Probst, Rudolf., Grevers, Gerhard., Iro, Heinrick. Embriology, Anatomy, Physiology of
the Larynx and Trachea. In : Basic Otorhinolaryngology. New York:Georg Thieme
Verlag;2006.p.338-44
13. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi keenam. Jakarta:
EGC; 1999. Hal 369-377
14. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery .
Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-736, 747, 755-760.
15. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia: Lippincot Williams and
Wilkins; 2001. Hal 479-486.
16. Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th edition. New York: Thieme Stuttgart; 2003.p.
210

28
17. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius; 2006. Hal 126-127
18. Ballenger John. Penyakit Granulomatosa Kronik Laring. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara.2013
19. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta. 2006; h. 145,
170-173.
20. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical manifestations of
laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-1953s.
21. Mehndirattan, Anil, Pravin Bhatn, Lamartine DCosta. Primary tuberculosis of Larynx.
Ind J tub 1997. 44.211. Didapat dari: http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year%201997/Octuber
%201997/OCT1997%20J.pdf
22. Wang WC, Chen JY, Chen YK, Lin LM, Tuberculosis of the Head And Neck: A Review
of 20 Cases. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and
Endodontology. 2009; Vol. 107:381-6

29

Anda mungkin juga menyukai