Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

PPROMOSI KESEHATAN MATA

DISUSUN OLEH :
Syaiful Islam C014172182
Nindy Agista C014181012
Gabriella Natalia C014181007

PEMBIMBING :
dr. Sultan Hasanuddin

SUPERVISOR :
dr. Ahmad Ashraf, MPH, Sp.M (K), M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : 1. Syaiful Islam C014172182


2. Nindy Agista C014181012
3. Gabriella Natalia C014181007
Judul Referat : Promosi Kesehatan Mata

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2019

Supervisor Pembimbing

dr. Ahmad Ashraf, MPH, Sp.M (K), M.Kes dr. Sultan Hasanuddin

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3

2.1 Definisi .............................................................................................................. 3

2.2 Epidemiologi ..................................................................................................... 6

2.3 Masalah Oftamologi Komunitas ..................................................................... 11

2.3.1 Kelainan Refraksi ............................................................................... 11

2.3.2 Kebutaan Pada Anak........................................................................... 14

2.3.3 Katarak ................................................................................................ 15

2.3.4 Glaukoma ............................................................................................ 17

2.3.5 Defisiensi Vitamin A .......................................................................... 18

2.4 Konsep Promosi Kesehatan Mata ................................................................... 23

2.5 Strategi Penanggulangan Gangguan Penglihatan............................................ 23

2.6 Target Capaian ................................................................................................ 23

BAB III : KESIMPULAN .................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata
manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai
kegiatan. Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai dari
gangguan ringan hingga gangguan berat yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan perlu
mendapatkan perhatian. Sekitar 80% gangguan penglihatan dan kebutaan di dunia
dapat dicegah. Dua penyebab terbanyak adalah gangguan refraksi dan katarak, yang
keduanya dapat ditangani dengan hasil dan cost-effective di berbagai negara
termasuk Indonesia1,2.

Menurut laporan World Health Organization (WHO), 285 juta penduduk


dunia mengalami gangguan penglihatan dimana 39 juta di antaranya mengalami
kebutaan dan 246 juta penduduk mengalami penurunan penglihatan (low vision).
Sembilan puluh persen kejadian gangguan penglihatan terjadi di negara
berkembang. Secara umum, kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi (rabun
jauh, rabun dekat, dan astigmatisme) merupakan penyebab utama gangguan
penglihatan, sedangkan katarak merupakan penyebab utama kebutaan di negara
berpendapatan sedang dan rendah3.

World Health Organization “A Global Action Plan 2014-2019”,


mencanangkan tahun 2020 merupakan sebuah visi kesehatan mata dunia atau dapat
disebut Vision 2020 “The Right to Sight” yaitu untuk menghapus kebutaan di masa
yang akan datang. Ini merupakan hasil inisiatif antara WHO dan PBL (The
Prevention of Blindness Programme) yang merupakan organisasi kelompok
profesional perawatan mata dan organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam
perawatan mata. Dalam menjalankan visi ini, salah satunya yaitu dengan
melakukan upaya promotif dan preventif kepada masyarakat tentang program
gangguan penglihatan dan kebutaan. Oleh karena itu, sosialisasi mengenai
kesehatan mata sangat diperlukan, karena masih banyak masyarakat yang belum

1
sadar terhadap bahayanya gangguan pada penglihatan juga kekhawatiran
masyarakat terhadap biaya pengobatan yang cukup mahal sehingga mereka enggan
untuk memeriksakan kesehatan matanya. Untuk itu perlu dirancang promosi yang
dapat mengubah perilaku masyarakat untuk lebih aktif dalam menjaga
kesehatannya terutama kesehatan mata4,5.

Pencegahan gangguan penglihatan dapat dicegah dengan promosi


kesehatan. Konsep promosi kesehatan pertama diperkenalkan pada tahun 1986
dalam ‘Ottawa Charter’ yang menetapkan lima bidang kegiatan yang bisa
dikelompokkan menjadi tiga bidang tindakan, yaitu health education, reorientation
(service improvement), dan advocacy5.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Promosi Kesehatan


Saat ini terdapat banyak program kesehatan yang muncul dari
kesadaran masyarakat bahwa beberapa penyakit berasal dari sosial, ekonomi
dan budaya, yang seringkali diluar kendali individu dan memerlukan tindakan
sosial dan politik. Strategi promosi kesehatan sosial-politik dapat mendorong
masyarakat untuk mengubah perilaku sosial dan gaya hidup mereka. Selain itu,
dibutuhkan juga tindakan nyata oleh individu, keluarga, masyarakat, serta
pelayanan kesehatan mata untuk mencapai target "Vision 2020: the right to
sight" dan ini hanya dapat dicapai melalui promosi kesehatan yang efektif7.
Promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan menyangkut
Pendidikan, organisasi, kebijakan dan peraturan perundangan untuk
peubahanlingkungan dan perilaku yang menguntungkan kesehatan. Promosi
kesehatan adalah proses pemberdayaan masyarakat agar mampu memelihara
dan meningkatkan kesehatannya (depkes). Proses pemberdayaan dilakukan
dengan pembelajaran yaitu upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan dalam bidang kesehatan, proses pemberdayaan dilakukan dari
oleh dan untuk masyraat melalui kelompk potensial, bahkan semua komponen
masyarakat. Proses pemerdayaan dilakukan dengan sosial budaya setempat,
artinya sesuai dengan keadaan, permasalahan dan potensi setempat8.
Istilah health promotion (promosi kesehatan) sebenarnya sudah mulai
dicetuskan setidaknya pada era tahun 1986, ketika diselenggarakannya
konferensi Internasional petama tentang Health Promotion di Ottawa, Canada
pada tahun 1965. Pada waktu itu dicananggkan “The Ottawa Charter”, yang
didalamnya memuat definisi serta prinsip-prinsip dasar Health Promotion.
Namun istilah tersebut pada waktu itu di Indonesia belum terlalu popular
seperti sekarang. Pada masa itu, istilah yang cukup terkenal hanyalah
penyuluhan kesehatan, dan disamping itu pula muncul dan popular istilah-
istilah lain seperti KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi), Social

3
Marketing (Pemasaran Sosial), Mobilitas Sosial dan lain sebagainya. Pada
tahun 1994, Dr. Ilona Kickbush yang pada saat itu sebagai Direktur Health
Promotion WHO Headquarter Geneva datang melakukan kunjungan ke
Indonesia. Sebagai seorang direktur baru ia telah berkunjung ke beberapa
negara termasuk Indonesia. Pada waktu itu pula Kepada Pusat Penyuluhan
Kesehatan Depkes juga baru dangkat, yaitu Drs. Dachroni, MPH., yang
menggantikan Dr. IB Mantra yang telah memasuki masa purna bakti (pension).
Dalam kunjungannya tersebut Dr. Ilona Kickbush mengadakan pertemuan
dengan pimpinan Depkes pada waktu itu baik pertemuan internal penyuluhan
kesehatan maupun eksternal dengan lintas program dan lintas sector, termasuk
FKM UI, bahkan sempat pula Kickbush mengadakan kunjungan lapangan ke
Bandung8.
Dari serangkaian pertemua yang telah dilakukan serta perbincangan
selama kunjungan lapangan ke bandung, Indonesia banyak belajar tentang
Health Promotion (Promosi Kesehatan). Berdasarkan hasil kunjungannya ke
Indonesia kemudia nia menyampaikan suatu usulan. Usulan itu diterima oleh
pimpinan Depkes pada saat itu Prof. Dr. Suyudi. Kunjungan Dr. Ilona
Kickbush itu kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan pejabat Health
Promotion WHO Geneva lainnya, yaitu Dr. Desmonal O Byrne, sampai
beberapa kali, untuk mematangkan persiapa nkonfrensi Jakarta. Sejak itu
khususnya Pusat Penyuluhan Kesehatan Depkes berupaya mengembangkan
konsep promoosi kesehatan tersebut serta aplikasinya di Indonesia8.
Dengan demikan istilah promosi kesehatann di Indonesia tersebut
dipicu oleh perkembangan dunia internasional. Nama unit Health Education di
WHO baik di Hoodquarter, Geneva maupun di SEARO, India juga sudag
berubah menjadi uni Health Promotion. Nama organisasi profesi Internasional
juga mengalami perubahan menjadi Internasional Union for Health Promotion
and Education (IUHPE). Istilah promosi kesehatan tersebut juga ternyata
sesuai dengan perkembangan pemangnan kesehatan di Indonesia ssendiri, yang
mengacu pada paradigma sehat8.

4
Menurut Hubley, promosi kesehatan yang efektif melibatkan
kombinasi dari tiga komponen4.
1. Pendidikan kesehatan diarahkan pada perubahan perilaku untuk
meningkatkan perilaku pencegahan dan penggunaan layanan,
2. Peningkatan dalam layanan kesehatan seperti penguatan pendidikan
pasien dan peningkatan aksesibilitas dan penerimaan,
3. Advokasi untuk peningkatan dukungan politik untuk kebijakan
pencegahan kebutaan.
Sebagian besar negara berkembang telah mengadopsi Piagam Ottawa
dan telah diintegrasikan dalam pendekatan perawatan kesehatan primer untuk
memberikan perawatan kesehatan dan promosi kesehatan12. Yang terakhir ini
tidak terbatas pada pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan adalah setiap
kegiatan yang direncanakan yang mempromosikan kesehatan atau mencegah
penyakit dengan mengubah perilaku dan biasanya tergantung pada para ahli
untuk memberi tahu masyarakat, dan biasanya berfokus pada pencegahan
penyakit. Sebaliknya, promosi kesehatan mencakup advokasi untuk kebutuhan
kesehatan, memungkinkan orang untuk mencapai potensi kesehatan mereka,
dan mengoordinasikan berbagai sektor yang berkaitan dengan promosi
kesehatan7.

2.2 Epidemiologi
Diperkirakan jumlah orang dengan gangguan penglihatan di dunia
adalah 285 juta, 39 juta buta dan 246 juta memiliki low vision; 65% orang
dengan gangguan penglihatan. Secara global, penyebab utama gangguan
penglihatan adalah kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan katarak, 43%
dan 33% masing-masing. Penyebab lainnya adalah glaukoma 2%, Age related
macular Degeneration (AMD), retinopati diabetik, trakoma dan corneal
opacities ; sekitar 1%. Penyebab kebutaan adalah katarak, 51%, glaukoma, 8%,
AMD, 5%, kebutaan anak dan peluang kornea, 4%, kesalahan refreksi dan
trakoma yang tidak dikoreksi, 3%, dan diagnosis diabetes 1%, penyebab yang
tidak ditentukan adalah 21%. 12

5
Populasi lndonesia merupakan ke-empat terbesar di dunia, setelah
Republik Rakyat Tiongkok, lndia dan Amerika Serikat. Menurut data BPS
dalam Statistik Indonesia 2016, jumlah penduduk lndonesia pada tahun 2015
mencapai 255.461.000 jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 28.889.764 jiwa
atau 11,31% merupakan penduduk yang berusia di atas 50 tahun. Sekitar 57%
populasi lndonesia terdapat di Pulau Jawa. 5
lndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan
jumlah pulau yang mencapai 17.504. Selain lima pulau besar; Papua,
Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Jawa, beberapa daratan lndonesia berada
di wilayah kepulauan seperti Nusa Tenggara Barat, NusaTenggaraTimur,
Kepulauan Riau dan Maluku, serta Maluku Utara yang terdiri dari banyak
pulau kecil yang tersebar di wilayah perairan yang luas. Letak pulau-pulau atau
gugus pulau-pulau kecil ini menjadi tantangan tersendiri terkait dengan
penyediaan sarana transportasi dan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Keterbatasan untuk mengakses pelayanan kesehatan juga masih terjadi di
beberapa tempat atau desa di pulau Jawa. 5
Di lndonesia, terdapat tiga jenis daerah, berdasarkan tingkat kesulitan
terhadap akses pelayanan kesehatan mata, yaitu tidak terpencil, terpencil dan
gugus kepulauan. Daerah tidak terpencil merupakan wilayah yang mempunyai
pelayanan kesehatan yang dapat diakses dengan relatif mudah dan mempunyai
sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai. Daerah terpencil,
biasanya merupakan daerah yang mempunyai pelayanan kesehatan yang lebih
sulit di jangkau dan mempunyai keter- batasan sumber daya manusia dan
infrastruktur. Daerah gugus pulau merupakan daerah terpencil yang paling
sulit mengakses pelayanan kesehatan dengan keter- sediaan sumber daya
manusia dan infrastruktur yang sangat terbatas atau bahkan tidak ada. 5
Data terakhir tentang prevalensi gangguan penglihatan diperoleh
melalui survey Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) di 15
provinsi pada periode tahun 2014-2016. RAAB merupakan metode
pengumpulan data kebutaan dan gangguan penglihatan penduduk usia 50 tahun
ke atas yang direkomendasikan oleh WHO, melalui Global Action Plan (GAP)

6
2014 - 2019. Dari 15 Provinsi yang melakukan survey RAAB, Kemenkes Rl
melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes)
mendanai penuh di 12 provinsi. Dari hasil di 15 provinsi, prevalensi kebutaan
di atas usia 50 tahun di lndonesia berkisar antara 1,7% sampai dengan 4,4%.
Prevalensi kebutaan di lndonesia adalah 3,0%. Pemantauan besarnya gangguan
penglihatan sangat penting Juga untuk kebijakan yang bertujuan untuk
pencegahan dan penghapusan penyebab yang bisa dihindari. Perkiraan global
memiliki signifikan ketidakpastian yang dapat dikurangi dengan berbasis
populasi studi dari daerah dengan data lama atau terbatas dan dengan studi
dilakukan di tingkat nasional untuk semua umur yang merekam semua
penyebab kebutaan. Sangat mendesak adalah untuk menentukan sejauh mana
penyakit segmen posterior sebagai penyebab gangguan penglihatan, karena ini
memerlukan pengembangan sistem perawatan mata, termasuk sumber daya
manusia dan infrastruktur. 5

JUMLAH PRESENTASI
SURVEY TAHUN ANGKA
KEBUTAAN KATARAK
Nusa Tanggara Barat 2014 4 27.000 78,1%

Sulawesi Selatan 2014 2,6 8.515 64,3%

Jawa Barat 2014 2,6 180.663 71,7%

Jawa Timur 2015 4,4 371.599 81,1%

Jawa Tengah 2015 2,7 176.977 73,8%

Bali 2015 2,0 18.016 78,0%

Jakarta 2015 1,9 23.464 81,9%

Sumatera Selatan 2016 3,6 37.310 85,2%

Kalimantan Selatan 2016 2,0 9.748 87,7%

7
Sulawesi Utara 2016 1,7 8.461 82,2%

Sumatera Barat 2016 1,7 14.329 86,7%

Nusa Tenggara Timur 2016 2,0 16.394 71,4%

Sumatera Utara 2016 1,7 30.252 77,8%

Papua Barat 2016 2,4 1.606 94,1%

Maluku 2016 2,9 5.377 88,0%

Tabel 1. Hasil Rapid Assessment Of Avoidable Blindness di 15 Provinsi 5

2.3 Masalah Oftalmologi Komunitas


2.3.1 Kelainan Refraksi
Kesalahan bias (miopia, hipermetropia, astigmatisme, presbiopia)
menghasilkan gambar yang tidak terfokus pada retina. Kesalahan bias yang
tidak dikoreksi, yang memengaruhi orang-orang dari segala usia dan
kelompok etnis, adalah penyebab utama gangguan penglihatan. Mereka dapat
mengakibatkan hilangnya pendidikan dan kesempatan kerja, produktivitas
yang lebih rendah, dan kualitas hidup yang terganggu. Layanan harus fokus
pada anak-anak, orang miskin dan orang dewasa di atas usia 50 tahun, dan
koreksi yang diberikan harus terjangkau, berkualitas baik dan dapat diterima
secara budaya. Layanan untuk kesalahan bias harus diintegrasikan di semua
tingkat penyediaan perawatan mata, termasuk penjangkauan. Penilaian
individu yang memiliki kesalahan refraksi, terutama mereka yang berusia 50
tahun ke atas, memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi kondisi yang
berpotensi menyilaukan lainnya sebelum mereka menyebabkan kehilangan
penglihatan (seperti glaukoma dan retinopati diabetik)10.

Situasi Saat Ini


Diperkirakan ada 153 juta orang dengan gangguan penglihatan karena
kesalahan bias yang tidak dikoreksi, yaitu menyajikan ketajaman visual <6/18

8
di mata yang lebih baik, tidak termasuk presbiopia. Secara global, kesalahan
refraksi yang tidak dikoreksi adalah penyebab utama gangguan penglihatan
pada anak usia 5-15 tahun. Prevalensi miopia (rabun dekat) meningkat secara
dramatis di antara anak-anak, terutama di daerah perkotaan di Asia Tenggara.
Opsi yang paling sering digunakan untuk memperbaiki kesalahan bias
adalah: kacamata, yang merupakan metode paling sederhana, termurah dan
paling banyak digunakan; lensa kontak, yang tidak cocok untuk semua pasien
atau lingkungan; dan bedah refraktif kornea, yang memerlukan pembentukan
kembali kornea dengan laser10.

Langkah-langkah dalam penyediaan layanan refraksi adalah:


- deteksi kasus: identifikasi individu dengan penglihatan yang buruk yang
dapat ditingkatkan dengan koreksi;
- pemeriksaan mata: untuk mengidentifikasi kondisi mata yang
berdampingan yang membutuhkan perawatan;
- refraksi: evaluasi pasien untuk menentukan koreksi yang diperlukan;
- pengeluaran: penyediaan koreksi, memastikan koreksi yang tepat dari
resep yang benar; dan
- tindak lanjut: memastikan kepatuhan dengan resep dan perawatan yang
baik dari koreksi, perbaikan atau penggantian kacamata jika diperlukan.

Pencapaian
Inisiatif global VISION 2020 secara intensif mempromosikan
kesadaran akan tingkat kesalahan bias yang tidak dikoreksi dan cara untuk
memperbaikinya. Kesalahan refraktif yang tidak terkoreksi semakin banyak
dibahas dalam rencana nasional untuk pencegahan kebutaan, dan kacamata
murah berkualitas baik menjadi tersedia. Pada tahun 2003, kelompok kerja
WHO meninjau klasifikasi gangguan tunanetra dan kebutaan saat ini dan
membuat rekomendasi untuk versi revisi International Classification of
Diseases (ICD). Direkomendasikan bahwa definisi ‘kebutaan’ dan ‘low
vision’ diubah dan bahwa istilah ‘presenting visual acuity (ketajaman visual

9
saat ini)’ menggantikan ‘best-corrected visual acuity (ketajaman visual
koreksi terbaik)’, karena yang terakhir tidak memungkinkan estimasi
kontribusi kesalahan bias yang tidak terkoreksi pada gangguan penglihatan10.

2.3.2 Kebutaan Pada Anak


Karena penyebab kebutaan pada anak-anak berbeda dari penyebab pada
orang dewasa, diperlukan tindakan kontrol yang berbeda. Di negara-negara
berpenghasilan rendah, proporsi tinggi anak-anak buta adalah karena penyebab
yang dapat dicegah, yang memerlukan intervensi berbasis masyarakat. Di
semua wilayah, anak-anak dengan penyakit yang dapat diobati, terutama
katarak dapat memiliki pengelihatannya kembali. Mata anak bagaimanapun
tidak dapat dianggap sebagai versi lebih kecil dari mata dewasa, dan keahlian
dan peralatan khusus diperlukan. Tidak seperti orang dewasa, anak-anak
memerlukan tindak lanjut jangka panjang setelah operasi, untuk mengelola
komplikasi dan untuk mencegah ambliopia (‘mata malas’). Pemahaman dan
keterlibatan orang tua sangat penting. Di semua wilayah, anak-anak dengan
kehilangan penglihatan yang tidak dapat dibalikkan harus dinilai untuk layanan
low-vision, stimulasi visual dini, rehabilitasi atau edukasi khusus, tergantung
pada usia dan tingkat sisa penglihatan mereka10.

Situasi Saat Ini


Diperkirakan ada 1,4 juta anak tunanetra di dunia, 1 juta di antaranya
tinggal di Asia dan 300.000 di Afrika. Prevalensi berkisar dari 0,3/1000 anak
berusia 0-15 tahun di negara kaya hingga 1,5/1000 anak di komunitas sangat
miskin. Meskipun jumlah anak tunanetra relatif rendah, mereka memiliki
kebutaan seumur hidup di masa depan, dengan perkiraan 75 juta blind-years
(angka buta x lama hidup), yang kedua setelah katarak10.
Laporan yang sama menunjukkan bahwa 500.000 anak menjadi buta
setiap tahun (hampir satu per menit). Banyak yang meninggal di masa kanak-
kanak karena penyebab yang mendasarinya, seperti campak, meningitis,
rubela, prematur, penyakit genetik, dan cedera kepala. Sebagian besar anak

10
tunanetra lahir buta atau menjadi buta sebelum ulang tahun kelima mereka.
Karena perbedaan demografis, jumlah anak yang buta per 10 juta populasi
bervariasi dari sekitar 600 di negara kaya hingga sekitar 6000 di komunitas
sangat miskin. Sekitar 40% penyebab kebutaan pada anak dapat dicegah atau
diobati10.
Penyebab kebutaan pada anak bervariasi, beberapa penyebab utama
yang dapat dihindari diantaranya:
- jaringan parut kornea di Afrika dan negara-negara miskin di Asia;
- katarak di semua wilayah;
- glaucoma di semua wilayah;
- retinopati prematuritas di negara-negara berpenghasilan tinggi dan
menengah dan beberapa kota di Asia;
- kesalahan bias di mana-mana, tetapi khususnya di Asia Tenggara; dan
- low vision, yang meliputi gangguan penglihatan dan kebutaan akibat
penyebab yang tidak dapat diobati, di semua wilayah.

Penyebab utama kebutaan pada anak berubah seiring waktu. Sebagai


konsekuensi dari program bertahan hidup anak (misalnya, manajemen penyakit
anak terintegrasi), jaringan parut kornea akibat campak dan defisiensi vitamin
A menurun di banyak negara berkembang, sehingga proporsi akibat katarak
meningkat. Retinopati prematur muncul sebagai penyebab utama di negara-
negara berpenghasilan menengah di Amerika Latin dan Eropa Timur dan
cenderung menjadi penyebab utama di Asia selama dekade berikutnya.
Prevalensi kesalahan bias, terutama miopia, meningkat pada anak usia sekolah,
terutama di Asia Tenggara10.

2.3.3 Katarak
Secara global, katarak (kekeruhan lensa) adalah penyebab kebutaan
yang paling penting, dan operasi katarak telah terbukti menjadi salah satu
intervensi perawatan kesehatan yang paling efektif dari segi biaya. Sebagian

11
besar katarak berkaitan dengan penuaan dan tidak dapat dicegah, tetapi operasi
katarak dan pemasangan lensa intraokular sangat efektif, sehingga rehabilitasi
visual dapat hampir segera terjadi. Dalam unit mata yang dikelola dengan baik,
operasi berkualitas tinggi dan volume tinggi dimungkinkan, satu dokter mata
dapat melakukan 1.000-2.000 operasi atau lebih per tahun, selama ada staf
pendukung yang memadai, infrastruktur, dan pasien yang mampu dan mau
untuk mengakses fasilitas11.

Perkiraan jumlah dan proporsi orang di berbagai wilayah WHO yang buta karena
katarak.

Situasi Saat Ini


Diperkirakan ada hampir 18 juta orang yang secara bilateral buta dari
katarak, mewakili hampir setengah dari semua penyebab kebutaan akibat
penyakit mata secara global (Tabel 1). Proporsi kebutaan akibat katarak di

12
antara semua penyakit mata berkisar dari 5% di Eropa Barat, Amerika Utara,
dan negara-negara yang lebih makmur di wilayah Pasifik Barat hingga 50%
atau lebih di wilayah yang lebih miskin. Faktor risiko utama yang tidak dapat
dimodifikasi adalah penuaan. Faktor risiko lain yang sering dikaitkan adalah
cedera, penyakit mata tertentu (mis. Uveitis), diabetes, radiasi ultraviolet, dan
kebiasaan merokok. Katarak pada anak-anak terutama disebabkan oleh
kelainan genetik. Katarak yang melumpuhkan secara visual terjadi jauh lebih
sering di negara-negara berkembang daripada di negara-negara industri, dan
wanita berisiko lebih besar daripada pria dan yang lebih kecil kemungkinannya
memiliki akses ke pelayanan kesehatan mata11.
Cakupan operasi katarak menunjukkan jumlah orang dengan katarak
bilateral yang menyebabkan gangguan penglihatan, yang telah menerima
operasi katarak pada satu atau kedua mata, dengan kata lain, proporsi yang
memenuhi syarat untuk operasi dan yang menerimanya. Indikator ini
digunakan untuk menilai sejauh mana layanan bedah katarak memenuhi
kebutuhan. Data diperoleh dari survei berbasis populasi atau penilaian cepat.
Tersedianya perangkat lunak untuk memantau dan menilai kualitas operasi
katarak dan adanya VISION 2020 mendorong pemantauan kualitas sehingga
kinerja terus meningkat. Angka operasi katarak oleh wilayah WHO pada tahun
200611.

Angka operasi katarak oleh wilayah WHO tahun 2006

13
Ada dua teknik bedah utama untuk menghilangkan katarak:
ekstraksi katarak ekstrasapsular dan fakoemulsifikasi. Dalam ekstraksi
katarak ekstrasapsular, kapsul lensa dibuka dan inti lensa dan korteks
dihilangkan, meninggalkan kapsul posterior di tempatnya. Ini dapat
dilakukan dengan sayatan kecil, yang biasanya tidak memerlukan jahitan,
atau melalui sayatan standar yang ditutup oleh jahitan yang dapat dilepas.
Dalam fakoemulsifikasi, probe ultrasound digunakan untuk memecah lensa,
yang disedot melalui sayatan kecil.
Ada tiga cara untuk mengoreksi aphakia (mata dengan lensa yang
diangkat melalui pembedahan) : kacamata, lensa kontak, atau lensa
intraokular. Kacamata tebal diperlukan untuk pasien yang telah menjalani
ekstraksi intrakapsular, dan teknik ini telah tersebar luas di masa lalu. Lensa
kontak tidak sesuai di sebagian besar pengaturan. Lensa intraokular,
ditanamkan setelah katarak dilepas, adalah metode yang optimal, karena
menghilangkan penggunaan kacamata tebal. Namun demikian, kacamata
cahaya sering diperlukan untuk mengkompensasi hilangnya akomodasi.

2.3.4 Galukoma
Glaukoma bukan entitas penyakit tunggal tetapi sekelompok kondisi
yang ditandai oleh kerusakan saraf optik (terdeteksi oleh patologis patologis
diskus optik) dan defek lapang pandangan. Dua tipe utama adalah glaukoma
sudut terbuka primer dan glaukoma sudut tertutup primer. Glaukoma sudut
terbuka primer lebih sering terjadi pada orang kulit putih dan Afro-Karibia,
sedangkan glaukoma sudut tertutup primer lebih sering terjadi di Asia
Tenggara. Glaukoma jarang terjadi pada orang di bawah usia 40 tahun, tetapi
prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Faktor risiko lain termasuk
tekanan yang meningkat di dalam mata (tekanan intraokular), riwayat keluarga
yang positif dan milik kelompok etnis yang rentan. Glaukoma sudut terbuka
primer tidak dapat dicegah, tetapi serangan akut glaukoma sudut tertutup primer
dan bentuk penyakit yang lebih kronis dapat dicegah dengan deteksi dini, diikuti
dengan perawatan laser atau pembedahan pada iris. Karena tahap awal kedua

14
jenis glaukoma sering tanpa gejala, pasien sering datang terlambat, terutama di
negara berkembang. Setelah penglihatan hilang, terlepas dari jenis glaukoma,
dan kondisi tersebut tidak dapat dipulihkan11.

Situasi Saat Ini


WHO memperkirakan 4,5 juta orang buta karena glaukoma. Proyeksi
yang dipublikasikan menunjukkan bahwa 4,5 juta orang akan menjadi buta
karena glaukoma sudut terbuka dan 3,9 juta karena glaukoma sudut tertutup
primer pada 2010. Selain itu, sekitar 60,5 juta orang akan menderita glaukoma
pada tahun 2010 (44,7 juta dengan glaukoma sudut terbuka dan 15,7 juta dengan
glaukoma sudut tertutup). Mengingat penuaan populasi dunia, jumlah ini dapat
meningkat menjadi hampir 80 juta pada tahun 2020. Proyeksi yang diterbitkan
juga menunjukkan bahwa hampir setengah dari kebutaan bilateral yang
disebabkan oleh glaukoma pada tahun 2020 akan disebabkan oleh glaukoma
sudut tertutup (11,2 juta orang)11.
Glaukoma sudut terbuka primer dapat dikelola dengan penggunaan obat
tetes mata jangka panjang untuk mengurangi tekanan intraokular atau
pembedahan (mis. Trabekulektomi) dan harus ditindaklanjuti dengan
pemantauan jangka panjang lapang pandangan, diskus optic, dan tekanan
intraokular. Deteksi mata yang berisiko sudut tertutup dengan penilaian
kedalaman bilik mata anterior atau konfigurasi sudut drainase mata, diikuti oleh
perawatan dengan laser atau operasi untuk menghasilkan iridotomi atau
iridektomi dapat mencegah perkembangan glaukoma sudut tertutup.
Pengobatan glaukoma sudut tertutup primer yang sudah lanjut membutuhkan
pembedahan atau pengobatan untuk mengurangi tekanan intraokular, diikuti
dengan pemantauan jangka panjang11.

2.3.5 Defisiensi Vitamin A


Dalam buku panduan pemberian suplemen vitamin A, kurang vitamin
A adalah suatu kondisi dimana simpanan Vitamin A dalam tubuh berkurang.
Keadaan ini ditunjukan dengan kadar serum retinol dalam darah kurang dari

15
20μg/dl. Masih dalam buku tersebut terdapat Xeroptalmia merupakan istilah
yang menerangkan gangguan pada mata akibat kekurangan vitamin A, termasuk
terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina yang dapat
menyebabkan kebutaan. Defisiensi vitamin A adalah suatu keadaan, ditandai
rendahnya kadar Vitamin A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan
melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap dan sangat rendahnya
konsumsi atau masukan karotin dari Vitamin A.
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan survai kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-
1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk
atau setara dengan 3 juta orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding
Bangladesh (1%), India (0,7 %), dan Thailand (0,3 %). Kekurangan vitamin A
(defisiensi vitamin A) yang mengakibatkan kebutaan pada anak-anak telah
dinyatakan sebagai salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Kebutaan karena
kekurangan vitamin A terutama dikalangan anak pra sekolah masih banyak
terdapat didaerah-daerah. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010 pada
pasca persalinan, atau masa nifas, ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya
52,2 persen (rentang: 33,2% di Sumatera Utara dan 65,8% di Jawa Tengah).
Berdasarkan tingkat pendidikan, cakupan Ibu nifas yang tidak sekolah mendapat
kapsul vitamin A hanya 31 persen dibanding yang tamat PT (62,5%). Demikian
pula kesenjangan yang cukup lebar antara ibu nifas di perkotaan dan pedesaan,
serta menurut tingkat pengeluaran. Persentase distribusi kapsul vitamin A untuk
anak umur 6-59 bulan sebesar 69,8%. Persentase tersebut bervariasi antar
provinsi dengan persentase terendah di Papua Barat (49,3%) dan tertinggi di
DiYogyakarta (91,1%)11.
Penatalaksanaan defisiensi vitamin A terdiri dari suplementasi vitamin
A, ASI eksklusif (pada bayi 0-6 bulan), dan pemberian asupan kaya vitamin A,
Untuk pencegahan defisiensi vitamin A ini, juga ada suplementasi vtamin A
profilaksis yang dosisnya disesuaikan dengan umur penderita seperti yang telah
diTetapkan11.

16
2.4 Konsep Promosi Kesehatan Mata
Konsep promosi kesehatan pertama diperkenalkan pada tahun 1986
dalam ‘Ottawa Charter’ yang menetapkan lima bidang kegiatan yang bisa
dikelompokkan menjadi tiga bidang tindakan, yaitu health education,
reorientation (service improvement), dan advocacy. 4
1. Health education: promosi kesehatan ditujukan kepada individu,
keluarga, dan lingkungan.
- Perilaku kesehatan mata yaitu dengan cara membersihkan wajah
- Menerima pelayanan kesehatan
- Dukungan untuk pengobatan massal
- Promosi tentang kesadaran akan kesehatan, pengetahuan,
membuat keputusan, kepercayaan, sikap, dan pemberdayaan.
2. Reorientation (service improvement) : Peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan
- Pelayanan untuk perawatan mata
- Edukasi kesehatan mata
- Menjangkau komunitas
- Persediaan obat-obatan
- Air/sanitasi
- Kontrol vektor
- Tes / screening
- Penyediaan kacamata
- Layanan kesehatan sekolah
3. Advokasi : untuk kebijakan dalam promosi kesehatan mata
- Dukungan untuk ekspansi pelayanan kesehatan mata dan
pencegahan penyakit
- Dukungan ekonomi untuk meningkatkan keterjangkauan
tindakan pencegahan
- Penyediaan air, tempat tinggal, dan lahan
- Kebijakan keselamatan kerja
- Kebijakan makanan / fortifikasi pangan 4

17
Pelayanan kesehatan mata ada 3 tingkatan yaitu :

1. PEC (Primary Eye Care) adalah pelayanan kesehatan mata dasar.


Pelayanan ini pada tingkat puskesmas. Kegiatan utama adalah
pemeriksaan refraksi dan pengobatan penyakit mata sederhana, missal
: konjungtivitis, hordeolum, dan pterygium.
2. SEC (Secondary Eye Care) adalah pelayanan kesehatan mata
sekunder. Tempatnya di RS Kabupaten oleh dokter Spesialis mata.
Dapat melalukan operasi mata tanpa komplikasi.
3. TEC (Tertiary Eye Care) adalah pelayanan kesehatan mata tersier.
Sudah ada subspesialisasi. Menangani kasus-kasus sulit yang tidak
dapat dikerjakan di daerah. Lokasinya ada di RS Ibukota Provinsi. 6

Sarana Kesehatan

1. Puskesmas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang
puskesmas menyebutkan bahwa puskesmas adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Jumlah puskesmas di
lndonesia sampai dengan Desember 2016 (Pusdatin, Kemenkes RI)
sebanyak 9.167 unit. Jumlah tersebut terdiri dari 3.411 unit puskesmas rawat
inap dan 6.356 unit puskesmas non rawat inap. Pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar dapat digambarkan secara umum oleh indikator
rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk. Peningkatan jumlah puskesmas
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016, ternyata sejalan dengan
peningkatan rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk yaitu dari 1,17
menjadi 1,13.

18
2. Rumah Sakit
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
mengelompokkan rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan
menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum
adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit. Adapun rumah sakit khusus adalah rumah sakit
yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis
penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis
penyakit, atau kekhususan lainnya. Rumah sakit publik di lndonesia dikelola
oleh Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, TNl/Polri, Kementerian lain serta Swasta no Profit
(organisasi keagamaan dan organisasi sosial). Jumlah rumah sakit publik di
lndonesia sampai dengan tahun 2016 sebanyak 2.601 unit, yang terdiri atas
Rumah Sakit Umum (RSU) berjumlah 2.045 unit dan Rumah Sakit Khusus
(RSK) berjumlah 556 unit. Terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan rujukan dan perorangan di suatu wilayah
dapat dilihat dari rasio tempat tidur terhadap 1.000 penduduk. Rasio tempat
tidur di rumah sakit di lndonesia pada tahun 2016 sebesar. 1,12 per 1.000
penduduk. Rasio ini lebih rendah dibandingkan tahun 2015 sebesar 1,21 Per
1.000 penduduk. 5

2.5 Strategi Penanggulangan Gangguan Penglihatan


2.5.1 Upaya Penanggulangan Gangguan Penglihatan Akibat Katarak
1. Meningkatkan jumlah, kualitas, dan cakupan media komunikasi,
informasi, dan edukasi terkait katarak secara cepat dan optimal
2. Meningkatkan jumlah, kualitas, dan cakupan deteksi dini dan
operasi katarak secara cepat dan optimal.
3. Mendorong pelaksanaan penanggulangan katarak di setiap
daerah secara komprehensif dan inklusif dengan

19
mempertimbangkan aspek demogra dan geogra serta prevalensi
kebutaan akibat katarak.
4. Meningkatkan jumlah, kualitas, dan cakupan rujukan dan operasi
katarak secara cepat dan optimal mulai dari tingkat masyarakat,
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), hingga ke Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), yang merupakan jalur
utama program PGP.
5. Membuat model sistem penanggulangan katarak yang
disesuaikan dengan sumber daya di masing-masing
Kabupaten/Kota 5

2.5.2 Upaya Penanggulangan Gangguan Penglihatan dengan


Penyebab Lainnya
1. Menjamin terkoreksinya penglihatan anak usia sekolah dengan
kelainan refraksi.
2. Mengembangkan pola pelayanan kesehatan komprehensif
penderita retinopati diabetikum, glaukoma, Retinopathy of
Prematurity (RoP), dan low vision.
3. Mengembangkan konsep rehabilitasi penglihatan yang
komprehensif dan inklusif. 5

Strategi
- Menetapkan layanan perawatan mata yang komprehensif, sehingga layanan
refraksi dengan penyediaan alat koreksi yang sesuai tersedia di semua
tingkatan, termasuk selama kegiatan penjangkauan.
- Latih sumber daya manusia untuk memastikan bahwa pembiasan dan
layanan optik berkualitas tinggi tersedia jika diperlukan.
- Tingkatkan kesadaran masyarakat dan hasilkan permintaan akan layanan
melalui inisiatif berbasis masyarakat, perawatan mata primer dan program
kesehatan mata sekolah.

20
- Secara khusus dalam kondisi penghasilan rendah, menyediakan kacamata
yang baru, berkualitas baik, mudah diakses dan terjangkau.
Menilai prevalensi kesalahan bias di mana data kurang, dan mengeksplorasi
cara optimal untuk memberikan layanan yang dapat diterima dan hemat
biaya. 4,9,10

Strategi Pencegahan
- Membuat permintaan layanan yang mengatasi hambatan penggunaan
layanan bedah katarak. Pendekatan yang direkomendasikan termasuk
meminta pekerja kesehatan dan rehabilitasi masyarakat untuk
mengidentifikasi orang dengan katarak dan untuk memberikan tindak
lanjut dan rehabilitasi setelah operasi. Prioritas harus diberikan kepada
pasien yang secara bilateral buta karena katarak; Namun, pasien harus
didorong untuk mencari pengobatan sebelum menjadi buta, sehingga
mengurangi ketergantungan mereka pada keluarga dan masyarakat, dan
hal ini menjadi pertimbangan dalam menghitung tingkat operasi katarak
yang diinginkan.
- Mengembangkan dan memobilisasi tenaga kerja dan sumber daya lokal
untuk menyediakan layanan katarak. Pelatihan dan penggunaan personel
tingkat menengah akan memungkinkan dokter mata lebih banyak waktu
untuk operasi. Dokter spesialis mata swasta harus dilibatkan secara aktif.
- Promosikan layanan dengan biaya yang terjangkau oleh semua pasien.
Cara ini memungkinkan adanya tingkatan pembayaran sehingga
pembelian sebagian besar barang habis pakai dari biaya pasien
berpenghasilan tinggi yang dapat digunakan untuk mensubsidi layanan
untuk pasien berpenghasilan rendah. Memperkenalkan metode dan teknik
hemat biaya untuk operasi katarak.
- Promosikan layanan yang dekat dengan tempat tinggal. Penjangkauan ke
daerah-daerah terpencil harus dilakukan jika perlu. Skrining untuk kasus-
kasus baru hanya dapat diterima ketika layanan bedah sudah ada sehingga

21
pasien yang baru diidentifikasi dapat dirawat. Kamp bedah jangka pendek
atau satu kali tidaklah tepat, kecuali dalam keadaan tertentu.
- Mempromosikan operasi berkualitas tinggi dengan hasil visual yang baik.
Lensa intraokular harus digunakan untuk semua pasien, kecuali
dikontraindikasikan. Pemantauan hasil operasi harus didorong untuk
meningkatkan kualitas. Berikan fasilitas dan promosikan praktik dan
perilaku yang dapat diterima pasien. 4,9,10

2.6 Target Capaian


Target capaian disusun untuk mengetahui jangka waktu dan sasaran
yang akan dicapai untuk keberhasilan program Penanggulangan Gangguan
Penglihatan antara tahun 2017 – 20305.

TAHUN TARGET CAPAIAN KOMPONEN


2017-2019

2020-2024 Implementasi Program


Kerja Penanggulangan
Gangguan Penglihatan

22
2025-2030

23
Daftar Pustaka

1. Lubis, R.R. et al. Identifikasi Kelainan Mata dan Koreksi Tajam Penglihatan

Presbiopia. Jurnal USU. 2016

2. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Pusat Data dan Informasi

Kementerian Kesehatan RI. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan.

Jakarta Selatan. 2015.

3. WHO (2012a). Visual Impairment and Blindness.

4. Hubley J, et all. Eye health promotion and the prevention of blindness in

developing countries: critical issues. 2006.

5. Kementerian Kesehatan RI. Peta Jalan Penanggulangan Gangguan

Penglihatan di Indonesia Tahun 2017-2030. Jakarta. 2018.

6. Budiono S, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Pusat

penerbitan dan percetakan Unair. 2013.

7. Sithole HL, Oduntan OA. (2010). Eye Health Promotion in The South
African Primary Health Care System. South Africa.
8. Agustini, A. (2014). Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Deepublish.
9. Gupta, Neeru, and Ivo Kocur. (2014). "Universal Eye Health : A Global
Action Plan 2014-2019." Canadian Journal of Ophthalmology49, no. 5.
10. World Health Organization. (2011). VISION 2020: The Right to Sight.
Global Initiative of the elimination of avoidable blindness. Action plan
2006-2011.
11. Abner, G. H., Lahm, E. A., Islam, J., Mario, S. P., Mary, F., Siu, D. A. Y.,

UNESCO. (2010). GLOBAL DATA ON VISUAL IMPAIREMENTS.

Journal of Visual Impairment & Blindness. WHO/NMH/PBD/12.01, 1(2),

1–14. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.ophtha.2013.05.025 2377

24

Anda mungkin juga menyukai