DISUSUN OLEH :
Syaiful Islam C014172182
Nindy Agista C014181012
Gabriella Natalia C014181007
PEMBIMBING :
dr. Sultan Hasanuddin
SUPERVISOR :
dr. Ahmad Ashraf, MPH, Sp.M (K), M.Kes
i
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Supervisor Pembimbing
dr. Ahmad Ashraf, MPH, Sp.M (K), M.Kes dr. Sultan Hasanuddin
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Mata merupakan salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata
manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai
kegiatan. Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai dari
gangguan ringan hingga gangguan berat yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan perlu
mendapatkan perhatian. Sekitar 80% gangguan penglihatan dan kebutaan di dunia
dapat dicegah. Dua penyebab terbanyak adalah gangguan refraksi dan katarak, yang
keduanya dapat ditangani dengan hasil dan cost-effective di berbagai negara
termasuk Indonesia1,2.
1
sadar terhadap bahayanya gangguan pada penglihatan juga kekhawatiran
masyarakat terhadap biaya pengobatan yang cukup mahal sehingga mereka enggan
untuk memeriksakan kesehatan matanya. Untuk itu perlu dirancang promosi yang
dapat mengubah perilaku masyarakat untuk lebih aktif dalam menjaga
kesehatannya terutama kesehatan mata4,5.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Marketing (Pemasaran Sosial), Mobilitas Sosial dan lain sebagainya. Pada
tahun 1994, Dr. Ilona Kickbush yang pada saat itu sebagai Direktur Health
Promotion WHO Headquarter Geneva datang melakukan kunjungan ke
Indonesia. Sebagai seorang direktur baru ia telah berkunjung ke beberapa
negara termasuk Indonesia. Pada waktu itu pula Kepada Pusat Penyuluhan
Kesehatan Depkes juga baru dangkat, yaitu Drs. Dachroni, MPH., yang
menggantikan Dr. IB Mantra yang telah memasuki masa purna bakti (pension).
Dalam kunjungannya tersebut Dr. Ilona Kickbush mengadakan pertemuan
dengan pimpinan Depkes pada waktu itu baik pertemuan internal penyuluhan
kesehatan maupun eksternal dengan lintas program dan lintas sector, termasuk
FKM UI, bahkan sempat pula Kickbush mengadakan kunjungan lapangan ke
Bandung8.
Dari serangkaian pertemua yang telah dilakukan serta perbincangan
selama kunjungan lapangan ke bandung, Indonesia banyak belajar tentang
Health Promotion (Promosi Kesehatan). Berdasarkan hasil kunjungannya ke
Indonesia kemudia nia menyampaikan suatu usulan. Usulan itu diterima oleh
pimpinan Depkes pada saat itu Prof. Dr. Suyudi. Kunjungan Dr. Ilona
Kickbush itu kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan pejabat Health
Promotion WHO Geneva lainnya, yaitu Dr. Desmonal O Byrne, sampai
beberapa kali, untuk mematangkan persiapa nkonfrensi Jakarta. Sejak itu
khususnya Pusat Penyuluhan Kesehatan Depkes berupaya mengembangkan
konsep promoosi kesehatan tersebut serta aplikasinya di Indonesia8.
Dengan demikan istilah promosi kesehatann di Indonesia tersebut
dipicu oleh perkembangan dunia internasional. Nama unit Health Education di
WHO baik di Hoodquarter, Geneva maupun di SEARO, India juga sudag
berubah menjadi uni Health Promotion. Nama organisasi profesi Internasional
juga mengalami perubahan menjadi Internasional Union for Health Promotion
and Education (IUHPE). Istilah promosi kesehatan tersebut juga ternyata
sesuai dengan perkembangan pemangnan kesehatan di Indonesia ssendiri, yang
mengacu pada paradigma sehat8.
4
Menurut Hubley, promosi kesehatan yang efektif melibatkan
kombinasi dari tiga komponen4.
1. Pendidikan kesehatan diarahkan pada perubahan perilaku untuk
meningkatkan perilaku pencegahan dan penggunaan layanan,
2. Peningkatan dalam layanan kesehatan seperti penguatan pendidikan
pasien dan peningkatan aksesibilitas dan penerimaan,
3. Advokasi untuk peningkatan dukungan politik untuk kebijakan
pencegahan kebutaan.
Sebagian besar negara berkembang telah mengadopsi Piagam Ottawa
dan telah diintegrasikan dalam pendekatan perawatan kesehatan primer untuk
memberikan perawatan kesehatan dan promosi kesehatan12. Yang terakhir ini
tidak terbatas pada pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan adalah setiap
kegiatan yang direncanakan yang mempromosikan kesehatan atau mencegah
penyakit dengan mengubah perilaku dan biasanya tergantung pada para ahli
untuk memberi tahu masyarakat, dan biasanya berfokus pada pencegahan
penyakit. Sebaliknya, promosi kesehatan mencakup advokasi untuk kebutuhan
kesehatan, memungkinkan orang untuk mencapai potensi kesehatan mereka,
dan mengoordinasikan berbagai sektor yang berkaitan dengan promosi
kesehatan7.
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan jumlah orang dengan gangguan penglihatan di dunia
adalah 285 juta, 39 juta buta dan 246 juta memiliki low vision; 65% orang
dengan gangguan penglihatan. Secara global, penyebab utama gangguan
penglihatan adalah kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dan katarak, 43%
dan 33% masing-masing. Penyebab lainnya adalah glaukoma 2%, Age related
macular Degeneration (AMD), retinopati diabetik, trakoma dan corneal
opacities ; sekitar 1%. Penyebab kebutaan adalah katarak, 51%, glaukoma, 8%,
AMD, 5%, kebutaan anak dan peluang kornea, 4%, kesalahan refreksi dan
trakoma yang tidak dikoreksi, 3%, dan diagnosis diabetes 1%, penyebab yang
tidak ditentukan adalah 21%. 12
5
Populasi lndonesia merupakan ke-empat terbesar di dunia, setelah
Republik Rakyat Tiongkok, lndia dan Amerika Serikat. Menurut data BPS
dalam Statistik Indonesia 2016, jumlah penduduk lndonesia pada tahun 2015
mencapai 255.461.000 jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 28.889.764 jiwa
atau 11,31% merupakan penduduk yang berusia di atas 50 tahun. Sekitar 57%
populasi lndonesia terdapat di Pulau Jawa. 5
lndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan
jumlah pulau yang mencapai 17.504. Selain lima pulau besar; Papua,
Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Jawa, beberapa daratan lndonesia berada
di wilayah kepulauan seperti Nusa Tenggara Barat, NusaTenggaraTimur,
Kepulauan Riau dan Maluku, serta Maluku Utara yang terdiri dari banyak
pulau kecil yang tersebar di wilayah perairan yang luas. Letak pulau-pulau atau
gugus pulau-pulau kecil ini menjadi tantangan tersendiri terkait dengan
penyediaan sarana transportasi dan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Keterbatasan untuk mengakses pelayanan kesehatan juga masih terjadi di
beberapa tempat atau desa di pulau Jawa. 5
Di lndonesia, terdapat tiga jenis daerah, berdasarkan tingkat kesulitan
terhadap akses pelayanan kesehatan mata, yaitu tidak terpencil, terpencil dan
gugus kepulauan. Daerah tidak terpencil merupakan wilayah yang mempunyai
pelayanan kesehatan yang dapat diakses dengan relatif mudah dan mempunyai
sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai. Daerah terpencil,
biasanya merupakan daerah yang mempunyai pelayanan kesehatan yang lebih
sulit di jangkau dan mempunyai keter- batasan sumber daya manusia dan
infrastruktur. Daerah gugus pulau merupakan daerah terpencil yang paling
sulit mengakses pelayanan kesehatan dengan keter- sediaan sumber daya
manusia dan infrastruktur yang sangat terbatas atau bahkan tidak ada. 5
Data terakhir tentang prevalensi gangguan penglihatan diperoleh
melalui survey Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) di 15
provinsi pada periode tahun 2014-2016. RAAB merupakan metode
pengumpulan data kebutaan dan gangguan penglihatan penduduk usia 50 tahun
ke atas yang direkomendasikan oleh WHO, melalui Global Action Plan (GAP)
6
2014 - 2019. Dari 15 Provinsi yang melakukan survey RAAB, Kemenkes Rl
melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes)
mendanai penuh di 12 provinsi. Dari hasil di 15 provinsi, prevalensi kebutaan
di atas usia 50 tahun di lndonesia berkisar antara 1,7% sampai dengan 4,4%.
Prevalensi kebutaan di lndonesia adalah 3,0%. Pemantauan besarnya gangguan
penglihatan sangat penting Juga untuk kebijakan yang bertujuan untuk
pencegahan dan penghapusan penyebab yang bisa dihindari. Perkiraan global
memiliki signifikan ketidakpastian yang dapat dikurangi dengan berbasis
populasi studi dari daerah dengan data lama atau terbatas dan dengan studi
dilakukan di tingkat nasional untuk semua umur yang merekam semua
penyebab kebutaan. Sangat mendesak adalah untuk menentukan sejauh mana
penyakit segmen posterior sebagai penyebab gangguan penglihatan, karena ini
memerlukan pengembangan sistem perawatan mata, termasuk sumber daya
manusia dan infrastruktur. 5
JUMLAH PRESENTASI
SURVEY TAHUN ANGKA
KEBUTAAN KATARAK
Nusa Tanggara Barat 2014 4 27.000 78,1%
7
Sulawesi Utara 2016 1,7 8.461 82,2%
8
di mata yang lebih baik, tidak termasuk presbiopia. Secara global, kesalahan
refraksi yang tidak dikoreksi adalah penyebab utama gangguan penglihatan
pada anak usia 5-15 tahun. Prevalensi miopia (rabun dekat) meningkat secara
dramatis di antara anak-anak, terutama di daerah perkotaan di Asia Tenggara.
Opsi yang paling sering digunakan untuk memperbaiki kesalahan bias
adalah: kacamata, yang merupakan metode paling sederhana, termurah dan
paling banyak digunakan; lensa kontak, yang tidak cocok untuk semua pasien
atau lingkungan; dan bedah refraktif kornea, yang memerlukan pembentukan
kembali kornea dengan laser10.
Pencapaian
Inisiatif global VISION 2020 secara intensif mempromosikan
kesadaran akan tingkat kesalahan bias yang tidak dikoreksi dan cara untuk
memperbaikinya. Kesalahan refraktif yang tidak terkoreksi semakin banyak
dibahas dalam rencana nasional untuk pencegahan kebutaan, dan kacamata
murah berkualitas baik menjadi tersedia. Pada tahun 2003, kelompok kerja
WHO meninjau klasifikasi gangguan tunanetra dan kebutaan saat ini dan
membuat rekomendasi untuk versi revisi International Classification of
Diseases (ICD). Direkomendasikan bahwa definisi ‘kebutaan’ dan ‘low
vision’ diubah dan bahwa istilah ‘presenting visual acuity (ketajaman visual
9
saat ini)’ menggantikan ‘best-corrected visual acuity (ketajaman visual
koreksi terbaik)’, karena yang terakhir tidak memungkinkan estimasi
kontribusi kesalahan bias yang tidak terkoreksi pada gangguan penglihatan10.
10
tunanetra lahir buta atau menjadi buta sebelum ulang tahun kelima mereka.
Karena perbedaan demografis, jumlah anak yang buta per 10 juta populasi
bervariasi dari sekitar 600 di negara kaya hingga sekitar 6000 di komunitas
sangat miskin. Sekitar 40% penyebab kebutaan pada anak dapat dicegah atau
diobati10.
Penyebab kebutaan pada anak bervariasi, beberapa penyebab utama
yang dapat dihindari diantaranya:
- jaringan parut kornea di Afrika dan negara-negara miskin di Asia;
- katarak di semua wilayah;
- glaucoma di semua wilayah;
- retinopati prematuritas di negara-negara berpenghasilan tinggi dan
menengah dan beberapa kota di Asia;
- kesalahan bias di mana-mana, tetapi khususnya di Asia Tenggara; dan
- low vision, yang meliputi gangguan penglihatan dan kebutaan akibat
penyebab yang tidak dapat diobati, di semua wilayah.
2.3.3 Katarak
Secara global, katarak (kekeruhan lensa) adalah penyebab kebutaan
yang paling penting, dan operasi katarak telah terbukti menjadi salah satu
intervensi perawatan kesehatan yang paling efektif dari segi biaya. Sebagian
11
besar katarak berkaitan dengan penuaan dan tidak dapat dicegah, tetapi operasi
katarak dan pemasangan lensa intraokular sangat efektif, sehingga rehabilitasi
visual dapat hampir segera terjadi. Dalam unit mata yang dikelola dengan baik,
operasi berkualitas tinggi dan volume tinggi dimungkinkan, satu dokter mata
dapat melakukan 1.000-2.000 operasi atau lebih per tahun, selama ada staf
pendukung yang memadai, infrastruktur, dan pasien yang mampu dan mau
untuk mengakses fasilitas11.
Perkiraan jumlah dan proporsi orang di berbagai wilayah WHO yang buta karena
katarak.
12
antara semua penyakit mata berkisar dari 5% di Eropa Barat, Amerika Utara,
dan negara-negara yang lebih makmur di wilayah Pasifik Barat hingga 50%
atau lebih di wilayah yang lebih miskin. Faktor risiko utama yang tidak dapat
dimodifikasi adalah penuaan. Faktor risiko lain yang sering dikaitkan adalah
cedera, penyakit mata tertentu (mis. Uveitis), diabetes, radiasi ultraviolet, dan
kebiasaan merokok. Katarak pada anak-anak terutama disebabkan oleh
kelainan genetik. Katarak yang melumpuhkan secara visual terjadi jauh lebih
sering di negara-negara berkembang daripada di negara-negara industri, dan
wanita berisiko lebih besar daripada pria dan yang lebih kecil kemungkinannya
memiliki akses ke pelayanan kesehatan mata11.
Cakupan operasi katarak menunjukkan jumlah orang dengan katarak
bilateral yang menyebabkan gangguan penglihatan, yang telah menerima
operasi katarak pada satu atau kedua mata, dengan kata lain, proporsi yang
memenuhi syarat untuk operasi dan yang menerimanya. Indikator ini
digunakan untuk menilai sejauh mana layanan bedah katarak memenuhi
kebutuhan. Data diperoleh dari survei berbasis populasi atau penilaian cepat.
Tersedianya perangkat lunak untuk memantau dan menilai kualitas operasi
katarak dan adanya VISION 2020 mendorong pemantauan kualitas sehingga
kinerja terus meningkat. Angka operasi katarak oleh wilayah WHO pada tahun
200611.
13
Ada dua teknik bedah utama untuk menghilangkan katarak:
ekstraksi katarak ekstrasapsular dan fakoemulsifikasi. Dalam ekstraksi
katarak ekstrasapsular, kapsul lensa dibuka dan inti lensa dan korteks
dihilangkan, meninggalkan kapsul posterior di tempatnya. Ini dapat
dilakukan dengan sayatan kecil, yang biasanya tidak memerlukan jahitan,
atau melalui sayatan standar yang ditutup oleh jahitan yang dapat dilepas.
Dalam fakoemulsifikasi, probe ultrasound digunakan untuk memecah lensa,
yang disedot melalui sayatan kecil.
Ada tiga cara untuk mengoreksi aphakia (mata dengan lensa yang
diangkat melalui pembedahan) : kacamata, lensa kontak, atau lensa
intraokular. Kacamata tebal diperlukan untuk pasien yang telah menjalani
ekstraksi intrakapsular, dan teknik ini telah tersebar luas di masa lalu. Lensa
kontak tidak sesuai di sebagian besar pengaturan. Lensa intraokular,
ditanamkan setelah katarak dilepas, adalah metode yang optimal, karena
menghilangkan penggunaan kacamata tebal. Namun demikian, kacamata
cahaya sering diperlukan untuk mengkompensasi hilangnya akomodasi.
2.3.4 Galukoma
Glaukoma bukan entitas penyakit tunggal tetapi sekelompok kondisi
yang ditandai oleh kerusakan saraf optik (terdeteksi oleh patologis patologis
diskus optik) dan defek lapang pandangan. Dua tipe utama adalah glaukoma
sudut terbuka primer dan glaukoma sudut tertutup primer. Glaukoma sudut
terbuka primer lebih sering terjadi pada orang kulit putih dan Afro-Karibia,
sedangkan glaukoma sudut tertutup primer lebih sering terjadi di Asia
Tenggara. Glaukoma jarang terjadi pada orang di bawah usia 40 tahun, tetapi
prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Faktor risiko lain termasuk
tekanan yang meningkat di dalam mata (tekanan intraokular), riwayat keluarga
yang positif dan milik kelompok etnis yang rentan. Glaukoma sudut terbuka
primer tidak dapat dicegah, tetapi serangan akut glaukoma sudut tertutup primer
dan bentuk penyakit yang lebih kronis dapat dicegah dengan deteksi dini, diikuti
dengan perawatan laser atau pembedahan pada iris. Karena tahap awal kedua
14
jenis glaukoma sering tanpa gejala, pasien sering datang terlambat, terutama di
negara berkembang. Setelah penglihatan hilang, terlepas dari jenis glaukoma,
dan kondisi tersebut tidak dapat dipulihkan11.
15
20μg/dl. Masih dalam buku tersebut terdapat Xeroptalmia merupakan istilah
yang menerangkan gangguan pada mata akibat kekurangan vitamin A, termasuk
terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina yang dapat
menyebabkan kebutaan. Defisiensi vitamin A adalah suatu keadaan, ditandai
rendahnya kadar Vitamin A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan
melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap dan sangat rendahnya
konsumsi atau masukan karotin dari Vitamin A.
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan survai kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-
1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk
atau setara dengan 3 juta orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding
Bangladesh (1%), India (0,7 %), dan Thailand (0,3 %). Kekurangan vitamin A
(defisiensi vitamin A) yang mengakibatkan kebutaan pada anak-anak telah
dinyatakan sebagai salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Kebutaan karena
kekurangan vitamin A terutama dikalangan anak pra sekolah masih banyak
terdapat didaerah-daerah. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010 pada
pasca persalinan, atau masa nifas, ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya
52,2 persen (rentang: 33,2% di Sumatera Utara dan 65,8% di Jawa Tengah).
Berdasarkan tingkat pendidikan, cakupan Ibu nifas yang tidak sekolah mendapat
kapsul vitamin A hanya 31 persen dibanding yang tamat PT (62,5%). Demikian
pula kesenjangan yang cukup lebar antara ibu nifas di perkotaan dan pedesaan,
serta menurut tingkat pengeluaran. Persentase distribusi kapsul vitamin A untuk
anak umur 6-59 bulan sebesar 69,8%. Persentase tersebut bervariasi antar
provinsi dengan persentase terendah di Papua Barat (49,3%) dan tertinggi di
DiYogyakarta (91,1%)11.
Penatalaksanaan defisiensi vitamin A terdiri dari suplementasi vitamin
A, ASI eksklusif (pada bayi 0-6 bulan), dan pemberian asupan kaya vitamin A,
Untuk pencegahan defisiensi vitamin A ini, juga ada suplementasi vtamin A
profilaksis yang dosisnya disesuaikan dengan umur penderita seperti yang telah
diTetapkan11.
16
2.4 Konsep Promosi Kesehatan Mata
Konsep promosi kesehatan pertama diperkenalkan pada tahun 1986
dalam ‘Ottawa Charter’ yang menetapkan lima bidang kegiatan yang bisa
dikelompokkan menjadi tiga bidang tindakan, yaitu health education,
reorientation (service improvement), dan advocacy. 4
1. Health education: promosi kesehatan ditujukan kepada individu,
keluarga, dan lingkungan.
- Perilaku kesehatan mata yaitu dengan cara membersihkan wajah
- Menerima pelayanan kesehatan
- Dukungan untuk pengobatan massal
- Promosi tentang kesadaran akan kesehatan, pengetahuan,
membuat keputusan, kepercayaan, sikap, dan pemberdayaan.
2. Reorientation (service improvement) : Peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan
- Pelayanan untuk perawatan mata
- Edukasi kesehatan mata
- Menjangkau komunitas
- Persediaan obat-obatan
- Air/sanitasi
- Kontrol vektor
- Tes / screening
- Penyediaan kacamata
- Layanan kesehatan sekolah
3. Advokasi : untuk kebijakan dalam promosi kesehatan mata
- Dukungan untuk ekspansi pelayanan kesehatan mata dan
pencegahan penyakit
- Dukungan ekonomi untuk meningkatkan keterjangkauan
tindakan pencegahan
- Penyediaan air, tempat tinggal, dan lahan
- Kebijakan keselamatan kerja
- Kebijakan makanan / fortifikasi pangan 4
17
Pelayanan kesehatan mata ada 3 tingkatan yaitu :
Sarana Kesehatan
1. Puskesmas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang
puskesmas menyebutkan bahwa puskesmas adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Jumlah puskesmas di
lndonesia sampai dengan Desember 2016 (Pusdatin, Kemenkes RI)
sebanyak 9.167 unit. Jumlah tersebut terdiri dari 3.411 unit puskesmas rawat
inap dan 6.356 unit puskesmas non rawat inap. Pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar dapat digambarkan secara umum oleh indikator
rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk. Peningkatan jumlah puskesmas
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016, ternyata sejalan dengan
peningkatan rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk yaitu dari 1,17
menjadi 1,13.
18
2. Rumah Sakit
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
mengelompokkan rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan
menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum
adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit. Adapun rumah sakit khusus adalah rumah sakit
yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis
penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis
penyakit, atau kekhususan lainnya. Rumah sakit publik di lndonesia dikelola
oleh Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, TNl/Polri, Kementerian lain serta Swasta no Profit
(organisasi keagamaan dan organisasi sosial). Jumlah rumah sakit publik di
lndonesia sampai dengan tahun 2016 sebanyak 2.601 unit, yang terdiri atas
Rumah Sakit Umum (RSU) berjumlah 2.045 unit dan Rumah Sakit Khusus
(RSK) berjumlah 556 unit. Terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan rujukan dan perorangan di suatu wilayah
dapat dilihat dari rasio tempat tidur terhadap 1.000 penduduk. Rasio tempat
tidur di rumah sakit di lndonesia pada tahun 2016 sebesar. 1,12 per 1.000
penduduk. Rasio ini lebih rendah dibandingkan tahun 2015 sebesar 1,21 Per
1.000 penduduk. 5
19
mempertimbangkan aspek demogra dan geogra serta prevalensi
kebutaan akibat katarak.
4. Meningkatkan jumlah, kualitas, dan cakupan rujukan dan operasi
katarak secara cepat dan optimal mulai dari tingkat masyarakat,
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), hingga ke Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), yang merupakan jalur
utama program PGP.
5. Membuat model sistem penanggulangan katarak yang
disesuaikan dengan sumber daya di masing-masing
Kabupaten/Kota 5
Strategi
- Menetapkan layanan perawatan mata yang komprehensif, sehingga layanan
refraksi dengan penyediaan alat koreksi yang sesuai tersedia di semua
tingkatan, termasuk selama kegiatan penjangkauan.
- Latih sumber daya manusia untuk memastikan bahwa pembiasan dan
layanan optik berkualitas tinggi tersedia jika diperlukan.
- Tingkatkan kesadaran masyarakat dan hasilkan permintaan akan layanan
melalui inisiatif berbasis masyarakat, perawatan mata primer dan program
kesehatan mata sekolah.
20
- Secara khusus dalam kondisi penghasilan rendah, menyediakan kacamata
yang baru, berkualitas baik, mudah diakses dan terjangkau.
Menilai prevalensi kesalahan bias di mana data kurang, dan mengeksplorasi
cara optimal untuk memberikan layanan yang dapat diterima dan hemat
biaya. 4,9,10
Strategi Pencegahan
- Membuat permintaan layanan yang mengatasi hambatan penggunaan
layanan bedah katarak. Pendekatan yang direkomendasikan termasuk
meminta pekerja kesehatan dan rehabilitasi masyarakat untuk
mengidentifikasi orang dengan katarak dan untuk memberikan tindak
lanjut dan rehabilitasi setelah operasi. Prioritas harus diberikan kepada
pasien yang secara bilateral buta karena katarak; Namun, pasien harus
didorong untuk mencari pengobatan sebelum menjadi buta, sehingga
mengurangi ketergantungan mereka pada keluarga dan masyarakat, dan
hal ini menjadi pertimbangan dalam menghitung tingkat operasi katarak
yang diinginkan.
- Mengembangkan dan memobilisasi tenaga kerja dan sumber daya lokal
untuk menyediakan layanan katarak. Pelatihan dan penggunaan personel
tingkat menengah akan memungkinkan dokter mata lebih banyak waktu
untuk operasi. Dokter spesialis mata swasta harus dilibatkan secara aktif.
- Promosikan layanan dengan biaya yang terjangkau oleh semua pasien.
Cara ini memungkinkan adanya tingkatan pembayaran sehingga
pembelian sebagian besar barang habis pakai dari biaya pasien
berpenghasilan tinggi yang dapat digunakan untuk mensubsidi layanan
untuk pasien berpenghasilan rendah. Memperkenalkan metode dan teknik
hemat biaya untuk operasi katarak.
- Promosikan layanan yang dekat dengan tempat tinggal. Penjangkauan ke
daerah-daerah terpencil harus dilakukan jika perlu. Skrining untuk kasus-
kasus baru hanya dapat diterima ketika layanan bedah sudah ada sehingga
21
pasien yang baru diidentifikasi dapat dirawat. Kamp bedah jangka pendek
atau satu kali tidaklah tepat, kecuali dalam keadaan tertentu.
- Mempromosikan operasi berkualitas tinggi dengan hasil visual yang baik.
Lensa intraokular harus digunakan untuk semua pasien, kecuali
dikontraindikasikan. Pemantauan hasil operasi harus didorong untuk
meningkatkan kualitas. Berikan fasilitas dan promosikan praktik dan
perilaku yang dapat diterima pasien. 4,9,10
22
2025-2030
23
Daftar Pustaka
1. Lubis, R.R. et al. Identifikasi Kelainan Mata dan Koreksi Tajam Penglihatan
7. Sithole HL, Oduntan OA. (2010). Eye Health Promotion in The South
African Primary Health Care System. South Africa.
8. Agustini, A. (2014). Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Deepublish.
9. Gupta, Neeru, and Ivo Kocur. (2014). "Universal Eye Health : A Global
Action Plan 2014-2019." Canadian Journal of Ophthalmology49, no. 5.
10. World Health Organization. (2011). VISION 2020: The Right to Sight.
Global Initiative of the elimination of avoidable blindness. Action plan
2006-2011.
11. Abner, G. H., Lahm, E. A., Islam, J., Mario, S. P., Mary, F., Siu, D. A. Y.,
24