Anda di halaman 1dari 8

Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan

Diet dan perubahan gaya hidup


Jika rasa sakit dan tidak nyaman akibat dyspepsia hanya ringan, dapat melakukan diet
dan perubahan gaya hidup.
a. Berat badan seimbang
Kelebihan berat badan dapat meningkatkan tekanan ke lambung, membuat
asam lambung mudah terdorong ke atas (esophagus). Dikenal dengan reflux
asam dan merupakan penyebab tersering dyspepsia. Jika kelebihan berat bada
atau obesitas, penting untuk menurunkan berat badan secara bertahap dengan
olahraga teratur dan makan makanan sehat, menyeimbangkan diet
a. Berhenti merokok
Bahan kimia asam rokok yang terhirup dapat berpengaruh pada dyspepsia.
Bahan kinia ini menyebabkan sfingter antara esophagus dan gaster relaksasi.
Menyebabkan asam lambung naik ke atas (esophagus) dengan mudah (reflux
asam)
b. Diet dan alcohol
- Makan makanan yang rendah lemak dan pedas
- Kurangi minuman yang mengandung kafein seperti the, kopi, cola
- Hindari atau kurangi minum alcohol
c. Waktu tidur
Jika gejala dyspepsia dirasakan pada malam hari, hindari makan 3-4 jam
sebelum tidur. Tidur dengan perut penuh berarti meningkatkan risiko asam
lambung naik ke esophagus ketika sedang berbaring. Ketika tidur, gunakan
beberapa tumpuk bantal agak kepala dan bahu lebih tinggi. Perbedaan tinggi
ini dapat membantu agas asma lambung tidak masuk ke esophagus selama
tidur

Ganti pemakaian obat sebelumnya


Obat yang harus dihentikan seperti aspirin dan ibuproven. Pasien akan diberikan obat
alternative lain yang tidak menyebabkan dyspepsia.

Farmakologi
Antagonis Reseptor H2
1. Cimetidine Ranitidine
Secara reversibel dan kompetitif menghambat reseptor Histamin 2 (H2)
terutama pada sel parietal lambung, sehingga memicu penghambatan sekresi
asam lambung.
Indikasi: Keduanya digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak
duodenum. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak
lambung belum diketahui secara jelas. Efek penghambatannya selama 24 jam,
Cimetidin 1000 mg/hari menyebabkan penurunan kira-kira 50% dan Ranitidin
300 mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi asam lambung; sedangkan
terhadap sekresi malam hari, masing-masing menyebabkan penghambatan
70% dan 90%.
Farmakodinamik: Cimetidin dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara
selektif dan reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung
sehingga pada pemberian cimetidin dan ranitidine sekresi cairan lambung
dihambat. Pengaruh fisiologi cimetidin dan ranitidine terhadap reseptor H2
lainnya, tidak begitu penting.walaupun tidak lengkap cimetidin dan ranitidine
dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat muskarinik
atau gastrin. Cimetidin dan ranitidine mengurangi volume dan kadar ion
hydrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan
perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun.
Farmakokinetik:
a. Cimetidin
Bioavailabilitas cimetidin sekitar 70% sama dengan pemberian IV atau
IM ikatan protein plasma hanya 20%. Absorbsi simetidin diperlambat
oleh makanan sehingga cimetidin diberikan bersama atau segera
setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada
periode paska makan. Absorpsi terutama terjadi pada menit ke 60 -90.
Cimetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-
20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari
dosis oral diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh
eliminasi sekitar 2 jam.
b. Ranitidine
Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3
jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pasien
gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga
memanjang meskipun tidak sebesar pada ginjal.Pada ginjal normal,
volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan klirens kreatinin 25-35 ml/menit.
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan
ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma hanya 15%.
Ranitidine mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam jumlah
yang cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan matabolitnya
diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70%
dari ranitidine yang diberikan IV dan 30% yang diberikan secara oral
diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.
Efek Samping: terbatas dan tidak berbahaya: aritmia, vaskulitis, pusing,
halusinasi, sakit kepala, confusion, mengantuk, vertigo, eritema
multiforme, kemerahan, pankreatitis, anemia haemolitic acquired,
agranulositosis, anemia aplastik, granulositopenia, leukopenia,
trombositopenia, pansitopenia, gagal hati, anafilaksis, reaksi
hipersensitivitas.
Interaksi Makanan: Makanan tidak mengganggu absorpsi ranitidin.
Interaksi Obat:
a. Cimetidin terikat ole sitokrom P-450 sehingga menurunkan
aktivitas enzim mikrosom hati, sehingga obat lain akan
terakumulasi bila diberikan bersama Cimetidin. Contohnya:
warfarin, fenitoin, kafein, fenitoin, teofilin, fenobarbital,
karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol dan imipramin.
Simetidin dapat menghambat alkhohol dehidrogenase dalam
mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan alkohol serum.
Obat ini tak tercampurkan dengan barbiturat dalam larutan IV.
Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama
pada pasien lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal.
b. Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan
dengan simetidin. Nifedin, warfarin, teofilin dan metoprolol
dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin. Selain menghambat
sitokrom P-450, Ranitidin dapat juga menghambat absorbsi
diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%.
Sebaiknya obat yang dapat berinteraksi dengan ranitidin diberi
selang waktu minimal 1 jam. Ranitidin dapat menyebabkan
gangguan SSP ringan, karena lebih sukar melewati sawar darah
otak dibanding simetidin.

2. Famotidin
Farmakodinamik: Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat
sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh
pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali
lebih poten daripada simetidin.
Indikasi: Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung
setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada
penelitian selama 6 bula famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak
duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif
dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk
keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk
profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada
saat ini sedang diteliti.
Efek Samping: Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit
kepala, pusing, konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin,
famotidin nampaknya lebih baik daripada simetidin karena belum pernah
dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-
hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini
diekskresi kedalam air susu ibu.
Interaksi Obat: Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain
belum belum dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat.
Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau
fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga
kurang efektif bial diberikan bersama AH2.
Farmakokinetik: Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam
2jam setelah penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan
biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah
dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin.
Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.

3. Nizatidin
Farmakodinamik: Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam
lambung kurang lebih sama dengan ranitidin.
Indikasi: Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding
dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari
biasanya dapat menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan
pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Pada refluks
esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnyan
nizatidin siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih
diperlukan pembuktian lanjut.
Efek Samping: Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek
samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan
transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak
menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar
berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut belum terlihat pada uji klinik.
Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung
dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam dosis
ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat enzim mikrosom hati yang
metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya
interaksi obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin,
klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang membetuhkan
pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien
yang mendapat AH2.
Farmakokinetik: Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak
dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien
uremik dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral
dicapai dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja
sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari
dosisi yang digunakann ditemukan di urin dalam 16 jam.

Antasida
Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga efektifitasnya
bergantung pada kapasitas penetralan dari antasida tersebut. Kapasitas penetralan
(dalam miliequivalen) adalah mEq HCl yang dibutuhkan untuk memepertahankan
suspensi antasida pada pH 3,5 selama 10 menit secara in vitro. Peningkatan pH cairan
gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi penetralan sebesar 90% dan peningkatan ke pH 3,3
terjadi penetralan sebesar 99% asam lambung.
Antasida dapat meningkatkan pH cairan lambung sampai pH 4, dan menghambat
aktifitas proteolitik dari pepsin. Antasida tidak melapisi dinding mukosa namun
memiliki efek adstringen. Secara kimia antasida merupakan basa lemah yang bereaksi
dengan asam lambung membentuk garam dan air. Antasida juga dapat menstimulasi
sintesis prostaglandin. Secara umum antasida dapat dibagi menjadi dua golongan
yaitu antasid sistemik dan non sistemik. Seluruh antasida dapat digunakan untuk
terapi tukak duodenum dan terbukti efektif untuk tukak lambung akut.
1. Antasida sistemik
Diabsorpsi dalam usus halus sehingga dapat menyebabkan urin bersifat alkali.
Untuk keadaan pasien dengan gangguan ginjal, dapat terjadi alkalosis
metabolik sehingga saat ini penggunaannya sudah jarang. Contoh antasida
sistemik adalah Natrium bikarbonat (NaHCO3).
a. Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya
larutnya tinggi. Karbon dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat
menimbulkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi dan dapat
menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkalosis metabolik, obat
ini dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat
sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk
mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan lokal
pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000
mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam.
Dosis yang dianjurkan 1-4 gram. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau
CaCO3 bersama susu atau krim pada pengobatan tukak peptik dapat
menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrom)
2. Antasida non sistemik
Tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik.
Salah satunya adalah Magnesium [Mg(OH)2], Aluminium [(Al(OH)3],
Kalsium (CaCO3), Magnesium trisilikat (Mg2Si3O8nH2O), Magaldrat.
a. Aluminium hidroksida -- Al(OH)3
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya
paling panjang. Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul
dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya. Al(OH)3 dan
sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan fosfat
membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil,
sehingga eksresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja
bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga
bersifat astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan
menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al tidak
banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Aluminium
juga bersifat demulsen dan adsorben.
Efek samping: yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi.
Gangguan absorbsi fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom
deplesi fosfat disertai osteomalasia. Al(OH)3 dapat mengurangi
absorbsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH) 3 lebih
sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis
fosfat dan sebagai adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam
bentuk suspensi Al(OH)3 gel yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis
yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam bentuk tablet Al(OH) 3
yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat menetralkan
25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.

b. Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula
kerjanya cepat, maka daya kerjanya lama dan daya menetralkannya
cukup lama.
Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah,
pendarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid
rebound. Fenomena tersebut bukan berdasarkan daya netralisasi asam,
tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi
gastrin yang merangsang sel parietal mengeluarkan HCl (H+). Sebagai
akibatnya sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan
mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi
ialah hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia,
terutama terjadi pada penggunaan kronik kalisium karbonat bersama
susu dan antasid lain (milk alkali syndrom).
Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia
ringan, sedangkan pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia
sedang.
Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg.
Satu gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis
yang dianjurkan 1-2 gram.

c. Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2


Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat
ini praktis, tidak larut, dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi
dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak
bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam lambung dan akan
menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya
lama. Antasid ini dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal
menetralkan HCl.
Ion magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi
melalui ginjal, hal ini akan membahayakan pasien yang fungsi
ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang diabsorbi akan bersifat
sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan alkali uria,
tetapi jarang alkalosis.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare
akibat efek katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi,
tetapi tetap berada dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10%
magnesium diabsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan neurologik,
neuromuskular, dan kardiovaskular.
Sediaan susu magnesium (milk of magnesium) berupa suspensi yang
berisi 7-8,55 Mg(OH). Satu ml susu magnesium dap menetralkan 2,7
mEq asam. Dosis yang dianjurkan 5-30 ml. Bentuk lain ialah tablet
susu yang berisi 325 mg Mg(OH)2 yang dapat dinetralkan 11,1 mEq
asam.

d. Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik,
bereaksi dalam lambumg sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga
berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat
akan diabsorbsi melalui usus dan dieksresi dalam urin. Silika gel dan
megnesium trisiklat merupakan adsorben yang baik; tidak hanya
mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan.
Mula kerja magnesium trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30%
0,1 N diperlukan waktu 15 menit, sedangkan untuk menetralkan HCl
60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.
Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak
dilaporkan terjadi batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium
trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya yang
dapat menimbulakan toksisitas yang khas, kurang beralasan
mengunakan obat ini sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang
dianjurkan 1-4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat
yang mengandung sekurang-kurangnya 20% MgO dan 45% silikon
dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat menetralkan 13-17 mEq
asam.
Obat Penghambat Sekresi Lambung
Penghambat pompa proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih
kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih
distal dari AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol,
lansoprazol, rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima obat tersebut
adalah subtitusi cinci piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran
resemik isomer R dan S. Esomeprazol adalah campuran resemik isomer omeprazol
(S-omeprazol) yang mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.
Farmakodinamik: Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan
suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik,
obat ini akan berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan
mengalami aktivasi di situ membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini
berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai
pompa proton) dan berada di membran sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan
terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung berhenti 80%-95%
setelah penghambatan pompa poroton tersebut. Penghambatan berlangsung lama
antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi asam lambung basal atau akibat
stimulasi, terlepas dari jenis perangsangnya histamin, asetilkolin, atau gastrin.
Hambatan ini sifatnya irreversibel, produksi asam kembali dapat terjdai 3-4 hari
pengobatan dihentikan.
Farmakokinetik: Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut
enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini
tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya lebih baik. Tablet
yang dipecah dilambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus
sulfhidril mukus dan makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan
50% karena pengaruh makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah
makan.
Obat ini mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan
persentasi jumlah absorbsi yang bervariasi luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut
enterik meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi
asam lambung setelah obat bekerja. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P
450 (CYP), terutama CYP2P19 dan CYP3A4.
Indikasi: Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap
sindrom Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik
pada AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.
Efek samping: Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi,
flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala,
dan ruam kulit.
Sediaan dan posologi: Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg,
diberikan 1 kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut
enterik 20 mg dan 40 mg, serta sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam
bentuk tablet 20 mg dan 40 mg.
Interaksi Obat
1. Omeprazol dengan Diazepam à terjadi peningkatan kadar Diazepam.
2. Omeprazol dengan Barbiturat à memanjangkan waktu tidur yang merupakan
efek dari Barbiturat.

Anda mungkin juga menyukai