Anda di halaman 1dari 22

REFERAT ILMU PENYAKIT MATA

Makular Hole OD

Disusun oleh :

Tio Naro (11-2015-382)

dr. Pembimbing :

dr. Margrette Paliyama Franciscus, Sp.M, M.Sc

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 13JUNI 2016 – 16 JULI 2016

RUMAH SAKIT FAMILY MEDICAL CENTER

2016

1
Daftar Isi
Pendahuluan……………………………………………………………..…………………..3

Status Pasien………………………………………………………….…..………………….4

Tinjauan Pustaka

Anatomi Makula………………………………………………….…….……………9

Lapisan Retina…………......……………………………………….….…………….10

Epidemiologi, Patofisiologi………………………………………….…...………….13

Klasifikasi Makula Hole….......…………………………………….….…………….15

Diagnosis…...............…………………………………….…………..………………17

Kesimpulan……………………………………………………….…………..………….......18

Daftar Pustaka………………………………………..……………..………..………………19

2
Bab I
Pendahuluan

Istilah Macular hole atau lubang makula merupakan suatu pembukaan atau robekan
seluruh ketebalan retina yang meliputi fovea mata. Kasus lubang makula pertama kali dilaporkan
pada tahun 1869 oleh Knapp, yang terjadi pada penderita dengan riwayat trauma.1
Sebagian besar peneliti menyatakan bahwa lubang makula disebabkan oleh tarikan
vitreoretinal yang idiopatik dan sering terjadi pada wanita dewasa. Pada tahun 1994, the Eye
Disease Case-Control Study melaporkan bahwa 72% lubang makula terjadi pada wanita dan
lebih dari 50% terjadi pada usia 65 sampai 74 tahun.1
Dahulu lubang makula merupakan penyebab hilangnya penglihatan sentral yang ireversibel
dan menyebabkan kebutaan. Dengan berkembangnya pengetahuan tentang patofisiologi,
diagnosis, dan bedah vitreoretina, memungkinkan untuk dilakukannya perbaikan lubang makula
dan fungsi penglihatan.1

3
Bab II
Status Pasien
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk - Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT MATA
RUMAH SAKIT : FMC

Nama Mahasiswa : Tio Naro Tanda Tangan

NIM : 112015382

....................

Dr. Pembimbing / Penguji: dr. Margrette Paliyama Franciscus, Sp.M, M.Sc

..…………..

I. Identitas pasien
Nama : Ny. AK
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Mandala Raya RT 006/006

4
Tanggal Pemeriksaan : 23 Juni 2016

II. Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 23 Juni 2016 di poli Mata RS FMC Sentul pada jam 13.00
Keluhan Utama : Penglihatan buram pada mata kanan sudah sejak 3 bulan yang lalu
Keluhan Tambahan : Sejak sebulan yang lalu mata kanan dan kiri sering mengeluarkan
air mata ketika melihat matahari.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh penglihatannya buram pada mata kanan sejak 3 bulan yang lalu.
Penglihatan mata kanan tidak jelas dan kabur sudah sejak 3bulan yang lalu. Pasien
memiliki riwayat darah tinggi dan sedang mengkonsumsi captopril. Pasien tidak memiliki
riwayat trauma. Pasien selalu terpapar matahari sudah sejak 3 tahun yang lalu ketika
berkebun. Pasien tidak memiliki kesulitan saat bekerja karena mata kirinya masih dapat
berfungsi dengan baik.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat DM (–)
Riwayat alergi (–)

III. Pemeriksaan fisik


1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Tanda Vital : Tekanan darah : 180/80
Nadi : Tidak diukur
Suhu : Tidak diukur
Pernafasan : Tidak diukur
Kesadaran : Compos Mentis

5
2. Status Oftamologis

Oculo Dextra (OD) Pemeriksaan Oculo Sinistra (OS)

0,05 PH (-) Visus 0,8 +2  PH (-)

Dalam batas normal Palpebra Dalam batas normal

Tidak anemis Konjungtiva Tidak anemis

Jernih Kornea Jernih

Dalam Camera Oculi Anterior (COA) Dalam

Coklat Iris Coklat

Bulat, refleks cahaya (-) Pupil Bulat, refleks cahaya (+)

Jernih Lensa Jernih

CD ratio : 0,3; A : V = 2 : 3; Funduskopi CD ratio : 0,3; A : V = 2 : 3;


papil tidak pucat papil tidak pucat

Terdapat Lubang Makula

IV. Pemeriksaan Penunjang


 Slit Lamp

6
 Interpretasi : tampak adanya gambaran lubang makula grade 4
V. Resume
Pasien mengeluh penglihatannya buram pada mata kanan sejak 3 bulan yang lalu.
Penglihatan mata kanan tidak jelas dan kabur sudah sejak 3bulan yang lalu. Pasien
memiliki riwayat darah tinggi dan sedang mengkonsumsi captopril. Pasien tidak memiliki
riwayat trauma. Pasien selalu terpapar matahari sudah sejak 3tahun yang lalu ketika
berkebun. Pasien tidak memiliki kesulitan saat bekerja.

Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 180/80 mmHg, visus OD 0,05 PH


(-) , visus OS 0,8 +2  PH (-),Pemeriksaan Slit Lamp tampak adanya gambaran Lubang
Makula Grade 4.

VI. Diagnosis Kerja


1. Makular Hole Grade 4 OD
Dasar Diagnosis : Visus yang tidak dapat melihat pandangan Central jarak jauh
20/400, pada pemeriksaan SlitLamp Ditemukan Lubang Makula Hole Grade 4
terlihat perlepasan hialoid posterior, terjadi separasi total badan kaca dengan makula.

VII. Diagnosis Banding


1. Lubang Epiretinal
2. Lubang Lamelar
3. Degenarasi Makula berhubungan dengan usia.

7
VIII. Terapi
Medikamentosa
- Matafresh MD No. I
Nonmedikatmentosa
- Mengurangi paparan dari sinar matahari
- Merujuk pasien ke spesialis mata untuk menangani kausal dari macular Hole

IX. Prognosis
Okuli dekstra Okuli sinistra
Ad visam Dubia ad Bonam Bonam

Ad functionam Dubia ad Bonam Bonam

Ad sanationam Dubia ad Bonam Bonam

8
Bab III
Tinjauan Pustaka
Anatomi Makula

Retina, lapisan terdalam dari mata, merupakan suatu membran tipis yang lembut dan
transparan. Lapisan ini merupakan jaringan yang sangat berkembang di mata. Lapisan retina
nampak berwarna merah keunguan akibat adanya sel batang dan koroid vaskuler di bawahnya.4
Retina terbentang dari diskus optikus hingga ke ora serata. Secara kasar, retina terbagi
menjadi dua daerah, yaitu kutub posterior dan retina perifer, yang dipisahkan oleh garis khayal
ekuator retina. Kutub posterior merupakan daerah retina posterior dari ekuator retina, yang juga
dibagi menjadi dua daerah, yaitu diskus optikus dan makula lutea.4

Gambar 2.1. Anatomi mata5

Diskus optikus merupakan daerah melingkar berwarna merah jambu dengan diameter
sekitar 1,5 mm. Pada diskus optikus semua lapisan retina berakhir kecuali serabut-serabut saraf,
yang melewati lamina kribrosa untuk bergabung menjadi nervus optikus. Suatu daerah depresi

9
(bagian yang menurun) dapat terlihat pada diskus, disebut physiological cup. Arteri dan vena
sentralis retina muncul dari bagian tengah daerah cup tersebut.4
Makula lutea, disebut juga yellow spot, merupakan daerah yang terletak di kutub posterior
ke arah temporal dari diskus optikus, berwarna lebih merah dibandingkan dengan daerah
sekelilingnya, dengan diameter sekitar 5,5 mm. Fovea sentralis merupakan daerah yang menurun
pada bagian tengah makula. Fovea sentralis ini memiliki diameter kurang-lebih 1,5 mm dan
merupakan bagian yang paling sensitif dari retina. Pada bagian tengah fovea sentralis ini terdapat
daerah yang lebih menurun lagi yang disebut foveola, dengan diameter sekitar 0,35 mm, dan
terletak kurang-lebih 3 mm dari tepi temporal diskus optikus. Daerah yang mengelilingi fovea
terdiri dari daerah parafovea dan perifovea.4
Retina perifer merupakan daerah yang dibatasi oleh ekuator retina di bagian posterior dan
ora serata di bagian anterior.4
Ora serata merupakan batas perifer yang bergerigi di mana retina berakhir. Di bagian ini
retina melekat dengan kuat pada vitreus dan koroid.4

Gambar 2.2. Fundus normal dan daerah-daerah makula2

Secara histologis, retina terdiri dari sepuluh lapisan, yaitu (dari luar ke dalam)4:
a. Epitel pigmen. Lapisan ini merupakan lapisan terluar dari retina, terdiri dari selapis sel-sel
yang mengandung pigmen. Lapisan ini melekat dengan kuat pada basal lamina (membran
Bruch) pada koroid.

10
b. Lapisan sel-sel batang dan kerucut. Sel-sel batang dan kerucut dikenal juga sebagai
fotoreseptor. Lapisan fotoreseptor ini hanya terdiri dari segmen terluar dari sel-sel
fotoreseptor yang tersusun seperti palisade. Terdapat sekitar 120 juta sel batang dan 6,5 juta
sel kerucut. Sel batang memiliki substansi fotosensitif berwarna ungu (rhodopsin) dan
menyajikan penglihatan perifer dan penglihatan dengan cahaya yang sedikit (penglihatan
skotopik). Sel kerucut juga memiliki substansi fotosensitif dan terutama bertanggung jawab
pada penglihatan sentral (penglihatan fotopik) dan penglihatan terhadap warna.
c. Membran limitans eksterna. Lapisan ini merupakan membran yang berlubang-lubang, di
mana lubang-lubang tersebut merupakan tempat lewatnya prosesus-prosesus dari sel-sel
batang dan kerucut.
d. Lapisan nukleus luar. Lapisan ini terdiri dari nukleus dari sel-sel batang dan kerucut.
e. Lapisan pleksiform luar. Lapisan ini terdiri dari hubungan antara ujung-ujung sel batang dan
kerucut dengan dendrit dari sel-sel bipolar dan sel-sel horizontal.
f. Lapisan nukleus dalam. Lapisan ini terutama terdiri atas badan sel dari sel-sel bipolar. Di
lapisan ini juga terdapat badan sel dari sel amakrin horizontal dan sel Muller, serta kapiler
dari arteri sentralis retina.
g. Lapisan pleksiform dalam. Lapisan ini terdiri dari hubungan antara akson dari sel-sel bipolar,
dendrit dari sel-sel ganglion, dan prosesus dari sel-sel amakrin.
h. Lapisan sel ganglion. Lapisan ini terutama terdiri atas badan sel dari sel-sel ganglion.
Terdapat dua jenis sel ganglion, yaitu sel ganglion kecil dan sel ganglion polisinaptik.

11
Gambar 2.3. Lapisan-lapisan retina5

i. Lapisan serabut saraf. Lapisan ini terdiri atas akson dari sel-sel ganglion, yang melewati
lamina kribrosa untuk membentuk nervus optikus.
j. Membran limitans interna. Lapisan ini merupakan lapisan terdalam retina dan memisahkan
retina dari vitreus.
Pada fovea, tidak terdapat sel batang, sel-sel kerucut tersusun rapat, dan lapisan-lapisan
retina yang lain sangat tipis di daerah ini. Bagian tengahnya (foveola) terdiri dari sel-sel kerucut
dan nukleus sel-sel tersebut yang dilapisi membran limitans interna yang tipis. Lapisan-lapisan
retina yang lain tidak terdapat di daerah ini. Pada daerah fovea yang mengelilingi foveola, akson
dari sel-sel kerucut tersusun secara oblik (lapisan Henle) untuk menjangkau pinggir dari fovea.4

Gambar 2.4. Gambaran histologis dari makula dan fovea6

Retina merupakan jaringan okular yang paling kompleks. Mata melakukan tugas sebagai
instrument optik, reseptor yang kompleks, dan sebuah transduser yang efektif. Sel-sel batang dan
kerucut pada lapisan fotoreseptor mengubah stimuli cahaya menjadi impuls saraf yang
dikonduksikan melalui jalur penglihatan menuju ke korteks penglihatan oksipital.5

12
Epidemiologi

Lubang makula idiopatik umumnya terjadi pada individu yang sehat pada dekade keenam
atau ketujuh dari hidupnya. Usia onset rata-rata 65 tahun, namun onset pada pasien pada usia
dekade ketiga telah dilaporkan. Wanita lebih sering terkena daripada pria, dengan perbandingan
2:1. Sekitar 10-20% kasus terjadi pada kedua mata, namun onsetnya jarang terjadi bersamaan.2

Patofisiologi

Meskipun patogenesis terjadinya lubang makula masih belum jelas, terdapat beberapa teori yang
mencoba menjelaskan bagaimana terjadinya lubang makula tersebut, di antaranya sebagai
berikut.1
a. Teori Trauma. Pada tahun 1869 Knapp melaporkan kasus lubang makula pada seorang pasien
yang mengalami trauma mata dengan diagnosis perdarahan makula. Dua tahun kemudian,
Noyes menggambarkan lubang makula yang diakibatkan oleh trauma pada seorang gadis
berusia 13 tahun. Diasumsikan trauma tumpul okuli dapat menyebabkan terjadinya lubang
makula dari energi mekanik yang dihasilkan oleh gelombang cairan vitreus sehingga terjadi
nekrosis makula.

Gambar 2.5. Lubang makula (panah besar) dengan robekan retina sensorik di
sekelilingnya (panah kecil)5

13
b. Teori Degenerasi Kistoid dan Vaskular. Fuchs (1901) dan Coats (1907) menyatakan bahwa
terjadi perubahan kistik di daerah yang berdekatan dengan lubang makula dan menduga
perubahan ini disebabkan oleh trauma ataupun mekanisme lainnya. Pada beberapa kasus
lubang makula tidak terjadi segera setelah trauma, diduga terjadi vasokonstriksi yang diikuti
vasodilatasi sehingga menyebabkan degenerasi kistik pada pusat makula. Degenerasi kistoid
makula sentral berkaitan dengan beberapa kondisi sepertin hipertensi berat, oklusi arteri
sentralis retina, oklusi vena retina, penyakit Coats, sifilis, makulopati karena sinar, dan traksi
dari vitreus. Coats dan Kuhnt menduga terjadi perubahan vaskular terkait usia yang
menimbulkan degenerasi kistik dan akhirnya menyebabkan terbentuknya lubang makula.

c. Teori Vitreus. Pada tahun 1912 Zeeman menggambarkan secara histopatologi adanya
kondensasi vitreus premakular yang berdekatan dengan fovea yang mengalami degenerasi
sistik. Menurut Lister (1924), terdapat kontraksi dari pita fibrosa vitreus secara
anteroposterior yang menyebabkan terjadinya distorsi makula, traction retinal detachment,
degenerasi sistoid makula, dan akhirnya menjadi lubang makula. Reese et al. (1967)
menyatakan bahwa separasi vitreus dari fovea dapat menyebabkan avulsi fovea yang pada
akhirnya menyebabkan lubang makula. Morgan dan Schatz (1986) mengemukakan suatu
proses penipisan involusional pada makula yang merupakan gabungan dari teori vitreus,
vaskular, dan degenerasi kistik. Lesi makula ini digambarkan sebagai “fovea yang tipis dan
agak atrofi yang kehilangan bentuk dan fungsi normalnya”. Menurut teori ini, pada awalnya
terjadi perubahan pembuluh darah koroid yang akan mengganggu perfusi koroid dan
menyebabkan perubahan fovea, retina, dan epitel pigmen. Perubahan vaskular ini
menyebabkan degenerasi kistik retina sehingga terjadi perubahan yang tetap dari struktur
fovea dan epitel pigmen retina, yang pada akhirnya menyebabkan penipisan makula. Tarikan
vitreus akan menyebabkan lubang pada makula yang sudah mengalami penipisan tersebut.
Pada tahun 1988 Gass mengemukakan klasifikasi urutan terjadinya lubang makula yang
idiopatik dan perubahan yang mendahuluinya. Kemudian pada tahun 1995 dibuat revisi
tentang konsep ini. Konsep ini menekankan adanya tarikan vitreus secara tangensial.

14
Gejala Klinis

Kebanyakan lubang makula idiopatik tidak bergejala pada stadium awal. Pasien dengan
lubang makula yang simtomatik akan mengeluhkan penglihatan sentral yang kabur atau skotoma
sentral dan metamorfopsia. Biasanya pasien menyadari hal tersebut ketika membaca atau
membawa kendaraan. Gejala-gejala berkembang bertahap dan terdapat waktu di mana pasien
akan menutup sebelah matanya dan menyadari bahwa menurunnya penglihatan sentral tersebut
hanya monocular. Beberapa pasien dapat terus-menerus asimtomatik dan lubang yang ada
terdiagnosis hanya saat pemeriksaan oftalmologis rutin. Tajam penglihatan pada lubang stadium
1 biasanya sekitar 6/9 atau 6/12. Ketika lubang full thickness teridentifikasi (stadium 2 ke atas),
tajam penglihatan bervariasi antara 6/18 hingga 3/60. Metamorfopsia terjadi karena elevasi retina
neurosensorik di sekitar lubang makula.9

Klasifikasi Lubang Makula

Pembentukan lubang makula biasanya berkembang selama periode berminggu-minggu


hingga berbulan-bulan melewati beberapa stadium yang telah dideskripsikan oleh Gass. Lubang
makula juga dapat berkembang lebih cepat. Pada kedua kasus, lubang makula biasanya terdeteksi
ketika gejala yang ada pada pasien memburuk secara tiba-tiba. Klasifikasi dan karakteristik
lubang makula untuk masing-masing stadium dapat dilihat sebagai berikut.1,2,3,5,7
a. Stadium 1-A. Pada stadium ini, terjadi tarikan tangensial secara spontan oleh vitreus
prefoveolar yang menyebabkan terlepasnya retina foveolar, hilangnya depresi foveal dan
terjadi bintik foveal yang kekuningan dengan diameter 100-200 µm. Terjadi pelepasan
terlokalisir yang dangkal dari korteks vitreus perifoveal dengan tetap terjadi perlekatan yang
persisten terhadap foveola.
b. Stadium 1-B. Kontraksi vitreus akan menyebabkan lepasnya fovea, fovea menjadi mendatar.
Perubahan ini menyebabkan gambaran cincin berbentuk donat yang berwarna kuning dengan
diameter 200-350 µm. Terjadi ekstensi posterior dari “pseudokista” dengan gangguan pada
lapisan retina terluar. Atapnya masih utuh dengan tetap terdapat perlekatan hialoid posterior
dengan retina.
c. Stadium 2. Mulai terjadi pemisahan korteks vitreus disertai terbentuknya pseudo-operkulum.
Pada stadium ini mulai dapat dilihat suatu lubang, yaitu defek seluruh ketebalan retina,

15
dengan diameter kurang dari 300 µm, namun kadang-kadang tanda ini terlewatkan karena
adanya pseudo-operkulum. Pseudo-operkulum itu sendiri terdiri dari kondensasi vitreus dan
proliferasi glial yang aktif. Gejala gangguan penglihatan termasuk metamorfopsia dan
berkurangnya ketajaman penglihatan. Ketika telah terjadi lubang stadium 2, hampir selalu
berkembang menjadi stadium 3 dengan harapan yang kecil untuk terjadinya perbaikan
penglihatan secara spontan.
d. Stadium 3. Kontraksi dan kondensasi korteks vitreus akhirnya menyebabkan pemisahan
vitreus dan makula. Lubang yang terbentuk berdiameter sekitar 300-400 µm, dan dikelilingi
cairan subretina yang berbentuk seperti-donat. Hialoid posterior telah terlepas dari daerah
makula, namun masih melekat pada diskus optikus. Dapat terjadi edema intraretinal dan kista.
e. Stadium 4. Pada stadium ini terjadi pemisahan total antara vitreus dengan makula yang
ditandai dengan cincin Weiss, dengan diameter lubang mencapai 500 µm, dan dikelilingi oleh
cairan subretina dengan deposit berwarna kekuningan di dalam lubang tesebut. Penurunan
ketajaman penglihatan terjadi terutama karena hilangnya fotoreseptor pada defek sentral,
dengan hasil skotoma sentral absolut. Sebagai tambahan, cairan subretina yang mengelilingi
lubang dan elevasi retina sekunder menyebabkan skotoma relatif di sekelilingnya. Penglihatan
cenderung untuk menurun secara progresif, menjadi stabil pada 6/60 atau lebih buruk ketika
lubang mencapai diameter maksimumnya.

Gambar 2.6. Skema klasifikasi lubang makula yang diusulkan oleh Gass8

16
Diagnosis

Kebanyakan kasus lubang makula idiopatik bersifat asimtomatik pada stadium awal.
Pasien dengan lubang makula biasanya datang dengan mengeluhkan penglihatannya menjadi
kabur pada bagian tengah. Secara umum, perlu ditanyakan beberapa hal kepada pasien, seperti
sudah berapa lama gejala dirasakan, kemudian riwayat okuler, apakah pernah menderita
glaukoma atau penyakit mata yang lain sebelumnya, kecelakaan atau trauma yang mengenai
mata, operasi pada mata, dan penggunaan beberapa obat-obatan yang dapat berhubungan dengan
kista makular, seperti niasin sistemik dan analog prostaglandin topikal.3,9
Untuk pemeriksaan, dapat dilihat sebagai berikut.1,3,7,9
a. Funduskopi. Lubang makula yang full thickness akan nampak sebagai lesi bulat atau oval
pada makula dengan deposit berwarna putih kekuningan pada dasarnya.
b. Angiografi fluoresens. Pemeriksaan ini dapat berguna sebagai tambahan bagi biomikroskopi.
Pemeriksaan angiografi fluoresens ini biasanya menunjukkan gambaran hiperfluoresensi
sentral pada fase awal (79%), namun pada kelainan makula lain yang menyerupai lubang
makula juga memberikan gambaran yang sama (sekitar 63%), sehingga pemeriksaan ini tidak
banyak menolong untuk menegakkan diagnosis lubang makula.
c. Metode Watzke-Allen. Tes ini dilakukan dengan menggunakan lampu celah biomikroskop
dengan sinar celah sempit dan lensa makula yang diarahkan ke fovea baik secara vertikal
maupun horizontal. Pasien dengan lubang makula akan melaporkan bahwa sinar yang
dilihatnya menjadi lebih tipis atau tampak patah.
d. Metode pemandu sinar laser (laser aiming beam). Tes ini dilakukan sama seperti metode
Watzke-Allen, namun yang digunakan adalah laser aiming beam dengan ukuran 50 µm.
Pasien dengan lubang makula akan melaporkan bahwa pasien tidak dapat melihat sinar yang
diarahkan ke makula, namun dapat melihat bila sinar diarahkan pada daerah retina di sekitar
makula.
e. Optical Coherence Tomography (OCT). Pemeriksaan ini merupakan teknik pencitraan
diagnostik untuk pencitraan beresolusi tinggi dari retina. Gambaran cross sectional dari retina
dapat diperoleh dengan 10 resolusi longitudinal. OCT dilakukan dengan pasien duduk di
depan slit lamp di mana lensa dengan kekuatan 78D telah dipasang. Suatu laser dioda
superluminesens menghasilkan probe beam dengan panjang gelombang 840 unit (infra
merah) yang difokuskan ke retina. Sepasang galvanometrically driven orthogonal scanning

17
mirror mengamati beam pada mata dan daerah retina dapat divisualisasikan dengan kamera
infra merah. Gambaran cross sectional dari retina digantikan dengan warna-warna yang
sesuai dengan daerah dengan reflektivitas optikal yang relatif tinggi (merah dan putih) atau
reflektivitas rendah (biru hingga hitam). Gambaran tomografik beresolusi tinggi yang didapat
dari pemeriksaan OCT dapat membantu membedakan lubang makula yang sebenarnya
dengan lubang palsu (pseudo hole) dan lubang lamelar.

Gambar 2.7. Gambaran resolusi tinggi dari lubang makula stadium 42

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari lubang makula dapat dilihat sebagai berikut.9
a. Lubang pada epiretina (membran epimakular), merupakan lesi yang paling umum dikelirukan
dengan lubang makula adalah membran epiretina yang memiliki lubang, kontraksi atau
pinggiran sirkumlinierdi dalam atau dekat dengan fovea. Biomikroskopi lensa kontak
menunjukkan membran tersebut dengan kontraktur dan macular puckering dengan retina
yang normal di bawah membran. Tidak ditemukan cairan subretina dan edema retina di
sekitar lubang. Penting untuk diingat bahwa membran epiretina dapat ditemukan berhubungan
dengan lubang makula sendiri, jadi dengan adanya membran tesebut tidak menghapus
kemungkinan adanya lubang makula.
b. Degenerasi makula berhubungan dengan usia. Atrofi geografik dari epitel pigmen retina dan
retina di atasnya dapat menyerupai lubang makula.
c. Edema makula kistoid. Ketika ditemukan suatu kista sentral yang besar, hal ini dapat terlihat
seperti lubang makula yang full thickness. Kondisi okular yang lain yang berhubungan dengan
edema makula kistoid ini, seperti operasi pada mata atau kondisi inflamasi pada mata dapat
membedakannya dengan lubang makula.
d. Lubang lamelar. Ini merupakan defek dengan setengah ketebalan dari makula retina yang
biasanya merupakan hasil dari pembentukan lubang makula yang terhenti atau yang dapat

18
dilihat pada kasus edema makula kistoid kronik ketika lapisan dalam kista yang tipis pecah.
Suatu pseudo-operkulum dapat diamati menutupi lubang lamelar dapat membuat kesalahan
diagnosis. Batas-batas dari lubang lamelar biasanya kurang tegas dan memiliki tepi yang
landai.

Tatalaksana

Sebelum tahun 1989, lubang makula idiopatik dianggap tidak dapat diobati. Kelly dan
Wendel merupakan yang pertama melaporkan bahwa bedah vitreus dapat meningkatkan
ketajaman penglihatan pada beberapa mata dengan lubang makula idiopatik akut. Sejak itu,
vitrektomi untuk lubang makula idiopatik dengan cepat menjadi prosedur yang digunakan secara
luas di seluruh dunia.2
Lubang stadium 1 awalnya diobservasi saja, karena tiga alasan, yaitu lubang makula
stadium 1 memiliki angka perbaikan spontan sebesar 50%, intervensi bedah tidak mencegah
pembentukan lubang makula secara universal, dan vitrektomi untuk lubang stadium 2 dengan
onset baru memiliki angka kesuksesan yang sangat tinggi (>90%).2
Jika lubang stadium 1 mengalami penurunan ketajaman penglihatan secara signifikan yang
bertahan selama beberapa bulan, maka tindakan bedah dapat dipertimbangkan. Bedah lubang
makula dilakukan di bawah anestesi lokal, kecuali jika pasien yang meminta anestesi umum.
Suatu three-port core vitrectomy standar dilakukan menggunakan baik insisi 20-gauge, 23-
gauge, ataupun 25-gauge. Kemudian korteks vitreus posterior yang intak ditahan, biasanya
menggunakan instrumen vitrektomi dengan fungsi memotong yang ditiadakan. Korteks vitreus
posterior biasanya tidak terlihat sampai diangkat dari retina. Pengangkatan korteks vitreus dan
hialoid posterior dilakukan hingga pelepasan sempurna dari vitreus tercapai. Sisa vitreus
posterior dipindahkan dengan instrumen pemotong untuk vitrektomi. Pada titik ini, membran
epiretina, jika ada, dikelupas menggunakan jarum bengkok yang tajam atau forsep. Jika hasil
kelupasan membran limitans interna dirasakan berguna, maka dapat juga dilakukan. Membran
limitan interna dapat diwarnai dengan pewarna indocyanine green, triamsinolon, atau trypan
blue agar pengelupasan menjadi lebih mudah. Gas sulfur heksafluorida terdilusi (SF6) atau gas
perfluoropropan terdilusi (C3F8) diletakkan di kavum vitreus untuk penutupan tempat sklerotomi.

19
Tindakan ini dapat dilakukan secara aman pada keadaan rawat jalan. Pasien biasanya
diinstruksikan untuk tetap mengarahkan wajahnya ke bawah atau menunduk selama sekurang-
kurangnya 7 hari setelah operasi, meskipun interval 3 hari hingga 3 minggu disarankan.2

Komplikasi

Komplikasi dari tindakan bedah tersebut dapat berupa pembentukan katarak, dan robekan
atau pelepasan retina (retinal detachment) atau keduanya dapat terjadi pada 10% pasien yang
dilakukan bedah vitreus untuk lubang makula idiopatik. Selain itu juga dapat terjadi pembukaan
kembali dari lubang makula yang telah ditutup.2

Prognosis

Lubang stadium 1 memiliki angka perbaikan spontan sekitar 50%. Ketika terjadi lubang
stadium 2, tanpa tindakan bedah kehilangan penglihatan biasanya permanen. Penutupan spontan
dari lubang makula yang full thickness terjadi pada 2-4% mata, mungkin karena pembentukan
membran epiretina. Perbaikan penglihatan biasanya tidak terjadi bersamaan.2
Tanpa operasi, lubang makula cenderung untuk stabil pada ketajaman penglihatan 6/60 –
6/240. Dengan operasi, memungkinkan terjadinya perbaikan penglihatan. Keberhasilan secara
anatomi dapat ditentukan 2-4 minggu setelah operasi, ketika gas telah cukup terserap.
Keberhasilan secara anatomi didefinisikan sebagai hilangnya cairan subretina secara lengkap
yang mengelilingi lubang makula. Keberhasilan secara visual didefinisikan sebagai peningkatan
ketajaman penglihatan paska-operasi sekurang-kurangnya dua atau lebih baris Snellen di bawah
ketajaman penglihatan pre-operasi.2

20
Bab IV

Kesimpulan
Macular hole atau lubang makula merupakan suatu pembukaan atau robekan seluruh
ketebalan retina yang meliputi fovea mata. Kebanyakan kasus lubang makula adalah idiopatik,
namun proses patologis dapat menginduksi secara sekunder pembentukan dari lubang makula.
Lubang makula idiopatik umumnya terjadi pada individu yang sehat pada dekade keenam atau
ketujuh dari hidupnya. Wanita lebih sering terkena daripada pria, dengan perbandingan 2:1.
Sekitar 10-20% kasus terjadi pada kedua mata, namun onsetnya jarang terjadi bersamaan.
Meskipun patogenesis terjadinya lubang makula masih belum jelas, terdapat beberapa teori yang
mencoba menjelaskan bagaimana terjadinya lubang makula tersebut, di antaranya adalah teori
trauma, teori degenerasi kistoid dan vaskular, serta teori vitreus.

Terdapat beberapa stadium untuk lubang makula yang dideskripsikan oleh Gass, yaitu
stadium 1 hingga stadium 4. Pada kedua kasus, lubang makula biasanya terdeteksi ketika gejala
yang ada pada pasien memburuk secara tiba-tiba, yaitu ketajaman penglihatan yang menurun dan
mengaburnya penglihatan pada bagian tengah atau skotoma sentral, serta adanya metamorfopsia.
Berbagai pemeriksaan dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis lubang
makula, salah satunya adalah Optical Coherence Tomography (OCT). Pemeriksaan ini
merupakan teknik pencitraan diagnostik untuk pencitraan beresolusi tinggi dari retina, dan
pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa, serta menilai
keadaan makula saat pre- dan paska-operasi.
Sebelum tahun 1989, lubang makula idiopatik dianggap tidak dapat diobati. Kelly dan
Wendel merupakan yang pertama melaporkan bahwa bedah vitreus dapat meningkatkan
ketajaman penglihatan pada beberapa mata dengan lubang makula idiopatik akut. Sejak itu,
vitrektomi untuk lubang makula idiopatik dengan cepat menjadi prosedur yang digunakan secara
luas di seluruh dunia.
Lubang stadium 1 memiliki angka perbaikan spontan sekitar 50%. Ketika terjadi lubang
stadium 2, tanpa tindakan bedah kehilangan penglihatan biasanya permanen. Tanpa operasi,
lubang makula cenderung untuk stabil pada ketajaman penglihatan 6/60 – 6/240. Dengan operasi,
memungkinkan terjadinya perbaikan penglihatan.

21
Daftar Pustaka

1. Effendi, R.G., Sasono, W. Idiopathic Macular Hole. Jurnal Oftalmologi Indonesia.Desember


2008; 6(3): 158-68. Tersedia dalam:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6308158168.pdf [Diakses 11 Maret 2012].
2. Yanoff, M., Duker, J.S. Ophthalmology. 3rd Ed. USA: Elsevier; 2009.
3. American Academy of Ophthalmology Retina Panel. Preferred Practice Pattern: Idiopathic
Macular Hole. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2008. Available
at: http://www.aao.org/ppp [Accessed March 11th, 2012].
4. Khurana, A.K. Diseases of the Retina. In: Khurana, A.K. Comprehensive Ophthalmology. 4th
Ed. New Delhi: New Age International; 2007: 249-52.
5. Fletcher, E.C., Chong, N.V. Retina. In: Riordan-Eva, P., Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury’s
General Ophthalmology. 17th Ed. USA: the McGraw-Hill Companies; 2007.
6. Sehu, K.W., Lee, W.R. Ophthalmic Pathology: An Illustrated Guide for Clinicians. USA:
Blackwell Publishing; 2005.
7. Kanski, J.J. Acquired Macular Disorders and Related Conditions. In: Kanski, J.J. Clinical
Ophthalmology: A Systematic Approach. 16th Ed. USA: Elsevier; 2007: 644-6.
8. Smiddy, W.E., Flynn, H.W. Pathogenesis of Macular Holes and Theurapetic Implications. Am
J Ophthalmol. 2004; 137(3): 525-34.
9. Sharma, Y.R. et al. Macular Hole. JK Science 2002; 4(2): 57-68. Available at:
http://www.jkscience.org/archive/Volume42/Machular%20Hole.pdf [Accessed March 11th,
2012].

22

Anda mungkin juga menyukai