Anda di halaman 1dari 34

Responsi Kasus

IKTERUS NEONATORUM

Oleh:
Putu Diahpradnya Oka Partini (1702612020)
Ni Nyoman Kanta Karmani (1702612049)
Hananya Dwi Anggi Manurung (1702612157)

Pembimbing :
dr. I Gusti Ayu Asih Ratnadi, Sp.A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK BRSUD TABANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rakhmatnya maka laporan responsi kasus yang mengambil topik “Ikterus
Neonatorum” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian responsi ini. Responsi kasus ini
disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian
Ilmu Kesehatan Anak BRSUD Tabanan.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. I Gusti Ayu Asih Ratnadi,Sp.A selaku pembimbing sekaligus penguji
dalam pembuatan responsi kasus ini.
2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan responsi
kasus ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan responsi kasus ini. Semoga tulisan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 1 Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR ......................................................................................ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................3
2.1 Definisi................................................................................................3
2.2 Klasifikasi............................................................................................3
2.3 Etiologi................................................................................................5
2.4 Epidemiologi.......................................................................................7
2.5 Patofisiologi.........................................................................................7
2.6 Diagnosis.............................................................................................10
2.7 Diagnosis Banding...............................................................................12
2.8 Penatalaksanaan...................................................................................12
2.9 Komplikasi...........................................................................................19
2.10 Prognosis...........................................................................................19
BAB III LAPORAN KASUS ..........................................................................20
3.1 Identitas Pasien....................................................................................20
3.2 Anamnesis ...........................................................................................20
3.3 Pemeriksaan Fisik ...............................................................................23
3.4 Pemeriksaan Khusus............................................................................24
3.5 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................25
3.6 Diagnosis.............................................................................................25
3.7 Penatalaksanaan...................................................................................25
3.8 Prognosis.............................................................................................26
3.9 KIE.......................................................................................................26
BAB IV PEMBAHASAN ...............................................................................27
BAB V SIMPULAN ........................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Ikterus merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan adanya


pewarnaan kuning pada sklera, kulit, mukosa oleh karena terjadinya akumulasi
bilirubin (indirek maupun direk) di dalam serum/darah. Ikterus ini secara klinis
akan mulai tampak di daerah muka apabila kadar bilirubin dalam serum/darah
sudah mencapai 5-7 mg/dL. Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang
terjadi pada bayi baru lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir. Hiperbilirubinemia
merupakan suatu ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke
arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalikan.1
Ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya pada
sebagian neonatus. Angka kejadian ikterus sebesar 60% pada bayi cukup
bulan dan 80% pada bayi kurang bulan. Lebih dari 85% bayi cukup bulan
dirawat kembali dalam minggu pertama kehidupan karena hiperbilirubinemia
neonatal tersebut. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap
tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di
Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat
kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir
menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya.2
Data ikterus neonatorum di Indonesia dari beberapa rumah sakit
pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir
tahun 2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar
bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan, RS Dr. Sardjito melaporkan
sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan
23,8% mempunyai kadar bilitubin ≥13 mg/dL, RS Dr. Kariadi Semarang dengan
prevalensi ikterus neonatorum sebesar 13,7%, RS Dr.Soetomo Surabaya sebesar
30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002.2
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada neonatus/bayi baru lahir (BBL). Meskipun
hiperbilirubinemia pada neonatus kejadiannya tinggi, tetapi hanya sebagian kecil

1
yang bersifat patologis yang mengancam kelangsungan hidup neonatus tersebut
baik akibat peninggian bilirubin indirek (hiperbilirubinemia ensefalopati) maupun
hiperbilirubinemia direk (kolestasis) akibat hepatitis neonatal ataupun atresia
biliaris. Faktor risiko yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum di
wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain : inkompatibilitas ABO, defisiensi
enzim G6PD, BBLR, sepsis neonatorum, dan prematuritas.2
Penegakan diagnosis ikterus neonatorum/hiperbilirubinemia pada neonatus
dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Tatalaksana ikterus neonatorum/hiperbilirubinemia neonatal bergantung pada
penyebab serta beratnya gejala serta adanya penyakit komorbid. Pada ikterus
neonatorum fisiologis atau non-patologis tidak membutuhkan penanganan
khusus.1
Ensefalopati bilirubin salah satu komplikasinya yang merupakan
manifestasi klinis yang terjadi akibat efek toksik bilirubin terdapat pada sistem
saraf pusat yakni pada basal ganglia dan pada beberapa nuklei otak. Kernikterus
sendiri adalah perubahan neuropatologi yang ditandai dengan adanya deposisi
pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak tertama pada basal ganglia, pons,
dan serebelum. Apabila bayi menderita kerniktertus/bilirubin ensefalopati maka
bayi biasanya mendapat gejala sisa/ skuele berupa athetoid cerebral palsy yang
berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze dan displasia dental-enamel.3
Oleh sebab itu, pemahaman dan pencegahan deteksi dini hiperbilirubinemia
(indirek dan direk) patologis sangat penting agar tatalaksana dini dapat mencegah
komplikasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
2.1.1 Ikterus Neonatorum
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai dengan
pewarnaan kuning atau ikterik pada kulit dan sklera bayi akibat tingginya
akumulasi bilirubin (baik bilirubin terkonjugasi maupun tidak terkonjugasi) di
dalam darah. Ikterus neonatorum akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila
kadar bilirubin darah minimal mencapai 5-7 mg/dL.3
2.1.2 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia merupakan suatu ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin
bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai
peningkatan kadar bilirubin melebihi 2 standar deviasi atau lebih dari persentil 90
berdasarkan kadar bilirubin normal berdasarkan usia bayi.3,4

2.2 Klasifikasi
2.2.1 Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan hiperbilirubinemia yang paling banyak
ditemui pada bayi baru lahir. Jenis ini umumnya disebabkan oleh imaturitas fungsi
fisiologis tubuh bayi. Ikterus pada bayi akan muncul di atas 24-72 jam pertama
setelah lahir dan akan mencapai kadar puncaknya pada hari keempat hingga
kelima pada bayi cukup bulan atau pada hari ketujuh pada bayi kurang bulan.
Ikterus neonatorum fisiologis umumnya akan menghilang dengan sendirinya pada
usia 10-14 hari. Hiperbilirubinemia yang ditemui pada ikterus fisiologis
didominasi oleh bilirubin tidak terkonjugasi (indirek) dan umumnya kadar
bilirubin total pada ikterus fisiologis kurang dari 15 mg/dL. American Academy of
Pediatric menyebutkan bahwa kadar bilirubin mencapai 17-18 mg/dL masih dapat
diterima pada bayi cukup bulan yang sehat.3,4

2.2.2 Ikterus Patologis

3
Ikterus patologis merupakan kadar bilirubin yang melebihi rentang normal
dan membutuhkan penanganan. Suatu ikterus neonatorum dikategorikan sebagai
ikterus patologis apabila didapatkan:3,4
1. Ikterus terjadi sebelum usia bayi 24 jam
2. Peningkatan kadar bilirubin serum yang hingga membutuhkan
fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin total serum lebih dari 0.5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi
(muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat,
apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14
hari pada bayi kurang bulan
2.2.3 Breastfeeding Jaundice dan Breast Milk Jaundice
Breastfeeding jaundice dan breast milk jaundice termasuk dalam ikterus
neonatorum non-patologis. Breastfeeding jaundice merupakan jenis ikterus
neonatorum yang terjadi pada bayi yang mendapatkan air susu ibu (ASI)
eksklusif, menetek dengan kurang baik, terjadi pada usia 24-72 jam, mencapai
puncak pada usia 5-15 hari, dan menghilang pada minggu ketiga kehidupan bayi.
Breastfeeding jaundice diduga meningkatkan siklus enterohepatal pada minggu
pertama kehidupan bayi akibat kurangnya ASI sehingga kebutuhan kalori harian
bayi tidak terpenuhi. Breast milk jaundice umumnya terjadi pada bayi berusia 6-
14 hari yang mendapatkan ASI dan mampu menetek dengan baik. Breast milk
jaundice bahkan dapat bertahan hingga usia bayi 1-3 bulan.Breast milk jaundice
diduga karena pada ASI mengandung enzim beta glukoronidase dan asam lemak
yang tidak jenuh yang menghambat kerja enzim-enzim dalam proses konjugasi
bilirubin.

2.3 Etiologi
Ikterus neonatorum secara garis besar disebabkan oleh gangguan pada
pembentukan bilirubin, gangguan pada proses uptake dan konjugasi, gangguan
transportasi bilirubin, dan gangguan pada proses ekskresi.5,6
a. Produksi yang berlebih
Ikterus neonatorum fisiologis umumnya disebabkan karena
terjadinya peningkatan volume eritrosit, penurunan usia eritrosit, atau

4
meningkatnya siklus enterohepatik yang menyebabkan terjadi
peningkatan produksi bilirubin. Sedangkan pada ikterus patologis,
peningkatan produksi bilirubin dapat disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah ABO, inkompatibilitas rhesus (Rh), defek pada
membran sel eritrosit (contohnya pada Hereditary sphreocytosis,
elliptocytosis, pyropoikilocytosis, stomatocytosis), defisiensi berbagai
enzim (meliputi enzim Glucose-6-phosphate dehydrogenase [G6PD],
atau enzim piruvat kinase), dan hemoglobinopati (pada talasemia).
Keadaan-keadaan tertentu yang juga dapat meningkatkan produksi
bilirubin yakni sepsis, disseminated intravascular coagulation (DIC),
ekstravasasi darah (hematoma), polisitemia, dan makrosomia pada
bayi dengan ibu menderita diabetes mellitus.5-7
b. Gangguan pada proses transportasi
Bilirubin ditransportasikan dengan berikatan dengan albumin
kemudian dibawa dari darah menuju hepar untuk mengalami proses
konjugasi. Terganggunya ikatan antara bilirubin dan albumin
mengakibatkan gangguan transportasi bilirubin menuju hepar.
Beberapa obat dapat memengaruhi ikatan antara bilirubin dan
albumin, misalnya salisilat dan sulfarazole. Gangguan proses
transportasi juga dapat disebabkan menurunnya jumlah albumin di
dalam darah sehingga banyak bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak
dapat ditransportasikan menuju hepar.5-7
c. Gangguan proses uptake dan konjugasi
Gangguan proses ini terjadi intrahepatal dimana umumnya
disebabkan oleh imaturitas hepar, gangguan fungsi hepar karena
asidosis, hipoksia, atau infeksi, kurangnya substrat untuk proses
konjugasi bilirubin, dan imaturitas enzim glukoronil transferase
(sindrom Criggler-Najjar).5
d. Gangguan pada ekskresi
Gangguan ekskresi bisa disebabkan oleh adanya obstruksi baik
intrahepatal maupun ekstrahepatal. Obstruksi ekstrahepatal umumnya
disebabkan oleh kelainan bawaan, misalnya atresia bilier, sedangkan
obstruksi intrahepatal disebabkan oleh infeksi atau kerusakan hepar
akibat penyakit lain.5-7

5
Penyebab ikterus neonatorum apabila diklasifikasikan berdasarkan
waktu munculnya ikterus adalah sebagai berikut:
a. Dua puluh empat jam pertama kehidupan bayi
Munculnya ikterus neonatorum pada 24 jam pertama
kehidupan bayi dapat disebabkan oleh penyakit hemolitik,
inkompabilitas golongan darah ABO, inkompatibilitas rhesus,
defisiensi enzim G6PD, sferositosis, dan infeksi kongenital.7
b. Hari kedua hingga kelima
Ikterus neonatorum yang baru terjadi pada bayi berusia 2
hingga 5 hari dapat disebabkan oleh proses fisiologis (ikterus
neonatorum fisiologis), infeksi, hematoma, galaktosemia dan
kelainan metabolik lain, ikterus non-hemolitik familial, dan
makrosomia pada bayi dengan ibu menderita diabtetes mellitus.7
c. Setelah akhir minggu kedua
Ikterus neonatorum onset lambat dapat disebabkan oleh
breast milk jaundice, hipotiroidisme, hepatitis, atresia bilier dan
kelainan traktus biliaris lain, dan stenosis pilorus.7
2.4 Epidemiologi
Ikterus neonatorum merupakan hal yang umum ditemui pada bayi baru
lahir dimana 8% hingga 11% neonatus mengalami akan mengalami ikterus/
hiperbilirubinemia. Sumber lainnya menyebutkan bahkan 60% bayi cukup bulan
dan 80% bayi kurang bulan akan mengalami ikterus neonatorum yang idiopatik. 3,4
Lebih dari 85% bayi cukup bulan dirawat kembali dalam minggu pertama
kehidupan karena hiperbilirubinemia neonatal tersebut. Di Amerika Serikat, dari 4
juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam
minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di
rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan
mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama
kehidupannya.2
Data ikterus neonatorum di Indonesia dari beberapa rumah sakit
pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir
tahun 2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar
bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan, RS Dr. Sardjito melaporkan
sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan
23,8% mempunyai kadar bilitubin ≥13 mg/dL, RS Dr. Kariadi Semarang dengan

6
prevalensi ikterus neonatorum sebesar 13,7%, RS Dr.Soetomo Surabaya sebesar
30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002.2

2.5 Patofisiologi
2.5.1 Fisiologi Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan pigmen kristal berwarna jingga yang merupakan hasil
akhir dari pemecahan katabolisme heme. Pertama-tama heme, yang berasal dari
katabolisme sel darah merah maupun dari proses eritropoiesis yang tidak efektif,
akan mengalami proses oksidasi oleh enzim heme oksigenase menjadi biliverdin.
Biliverdin kemudian akan mengalami reduksi lebih lanjut oleh enzim biliverdin
reduktase menjadi bilirubin.3,8
Bilirubin tidak terkonjugasi yang sudah terbentuk dan berada di dalam
darah akan berikatan dengan protein albumin serum agar dapat ditransportasikan
ke hepar. Setelah mencapai hepar, bilirubin tidak terkonjugasi akan mengalami
konjugasi dengan bantuan enzim glukoronil transferase menjadi bilirubin
terkonjugasi (bilirubin glokuronida). Bilirubin terkonjugasi kemudian dapat
diekskresikan melalui saluran kemih dan saluran cerna dimana pada saat
mencapai bagian terminal ileum akan diubah menjadi urobilinogen kemudian
sebagian akan diubah menjadi stercobilin dan urobilin dan keluar bersama feses,
sedangkan sebagian dapat terserap kembali masuk ke dalam sirkulasi
enterohepatal.3,8 Rangkuman proses fisiologis ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

7
Gambar 2.1 Proses Fisiologi Pembentukan, Transportasi,
Konjugasi dan Ekskresi Bilirubin8
2.5.2 Patogenesis Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh gangguan pada proses normal
pembentukan bilirubin, gangguan pada proses uptake dan konjugasi, gangguan
transportasi bilirubin, dan gangguan pada proses ekskresi. Umumnya bayi baru
lahir akan memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin dibandingkan dengan
orang dewasa. Hal tersebut karena jumlah eritrosit di dalam darah yang jauh lebih
tinggi namun memiliki usia lebih pendek dimana usia eritrosit pada bayi baru lahir
hanya 70-90 hari sedangkan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa normal
usia eritrosit dapat mencapai 120 hari.3,7
Pada bayi baru lahir, kemampuan hati untuk melakukan proses konjugasi
bilirubin juga sangat rendah akibat kurangnya produksi enzim glukoronil
transferase dimana pada 36 jam pertama kehidupan hepar hanya mampu
memproduksi bilirubin terkonjugasi hingga 10 mg/dL. Kapasitas ikatan bilirubin
dengan albumin pada bayi baru lahir juga terbatas karena konsentrasi albumin di
dalam darah yang lebih rendah jika dibandingkan dengan anak yang lebih tua.
Proses ekskresi dari bilirubin juga lebih lambat pada bayi baru lahir dimana usus
bayi pada awal kehidupan memiliki motilitas yang lebih rendah sehingga pada
awalnya akan kurang efektif dalam mengekskresikan bilirubin terkonjugasi.
Bilirubin terkonjugasi yang tidak diekskresikan tersebut kemudian dapat diubah
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta glukoronidase
sehingga kembali memasuki sirkulasi. Hal tersebut dikenal sebagai siklus

8
enterohepatal. Proses-proses patologis lainnya yang meningkatkan produksi
bilirubin, menurunkan proses transportasi dan konjugasi bilirubin, serta
menghambat proses ekskresi bilirubin (seperti tertera pada etiologi) terangkum
dalam Gambar 2.2.3,4,7

Gambar 2.2 Skema Peningkatan Bilirubin pada Bayi Baru Lahir3

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Keluhan utama umumnya bayi tampak kuning baik pada mata maupun
kulit yang umumnya memiliki pola persebaran sefalokaudal dimulai dari mata dan
wajah hingga ke ujung jari tangan dan kaki seiring meningkatnya kadar bilirubin
di dalam darah. Hal penting yang perlu diperhatikan yakni usia bayi, onset
terjadinya ikterus, dan puncak ikterus. Hal tersebut penting untuk digali untuk
membantu mengarahkan apakah ikterus yang terjadi pada bayi tersebut adalah
ikterus patologis dan non-patologis. Penting juga ditanyakan apakah bayi dapat
buang air besar dan apakah warna feses pasien tampak seperti pucat atau tidak.
Apabila feses bayi tampak berwarna pucat/ tampak seperti dempul maka dapat
membantu mengarahkan kecurigaan adanya hambatan ekskresi bilirubin akibat
adanya obstruksi ekstrahepatal.3,4,7
Keluhan lain selain tampak kuning, seperti adanya demam atau
sefalhematom/ riwayat trauma sebelumnya juga harus diketahui. Penting juga
ditanyakan kepada orangtua bayi apakah bayi diberikan ASI sepenuhnya atau
diberikan susu formula dan apabila bayi diberikan ASI harus diketahui apakah
produksi ASI cukup, apakah bayi mampu menetek dengan baik dan berapa

9
frekuensi bayi menetek setiap harinya. Hal lain yang perlu digali juga meliputi
riwayat antenatal dan riwayat persalinan dimana riwayat persalinan meliputi usia
kehamilan saat persalinan dilakukan, komplikasi yang terjadi selama persalinan,
berat badan bayi saat lahir, sedangkan riwayat antenatal meliputi riwayat hepatitis
ibu, riwayat adanya diabetes mellitus pada ibu selama kehamilan. Golongan darah
ibu dan anak sebaiknya juga ditanyakan apabila sudah diketahui. Hal-hal tersebut
berguna untuk membantu dalam mengklasifikasikan risiko hiperbilirubinemia
berat pada bayi dan membantu memberikan gambaran kemungkinan penyebab
hiperbilirubinemia pada bayi. Riwayat ikterus pada saudara kandung semasa bayi
dapat pula ditanyakan untuk memberikan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia
idiopatik familial.3,4,7
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebaiknya tetap dilakukan secara lengkap dan
menyeluruh agar dapat menunjang dalam penentuan penyebab ikterus pada bayi.
Hal-hal yang dapat dicurigai adanya penyebab patologis ikterus neonatorum
apabila ditemukan bayi tampak pucat, adanya petekie, tampak memar kulit yang
berlebihan, ditemukan hepatosplenomegali, adanya kehilangan berat badan yang
berlebih, serta adanya bukti dehidrasi.3,4,7
Pemeriksaan ikterik pada kulit berdasarkan pola persebarannya dapat
membantu klinisi dalam memperkirakan kadar bilirubin dalam darah
menggunakan skor Kramer. Pemeriksaan ikterus dapat dilakukan dengan
melakukan penekanan pada tempat-tempat penonjolan tulang, seperti pada tulang
hidung, dada dan lutut, dimana kulit yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Skor Kramer seperti tampak pada Gambar 2.3.3,4,7

10
Gambar 2.3 Skor Kramer

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan yakni kadar bilirubin total,
bilirubin direk, dan bilirubin indirek. Pengukuran kadar bilirubin ini wajib
diindikasikan kepada bayi apabila bayi tampak ikterus pada usia kurang dari 24
jam atau bayi berusia di atas 24 jam namun tampak ikterus secara signifikan pada
pemeriksaan klinis. Hasil pemeriksaan kadar bilirubin kemudian di plot pada
normogram sesuai dengan usia gestasi bayi dan ada atau tidaknya faktor risiko
(seperti adanya sepsis, asidosis, atau asfiksia).3,7,9
Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan sesuai indikasi atau sesuai
arah kecurigaan penyebab terjadinya ikterus pada bayi seperti pemeriksaan hitung
darah lengkap, hitung retikulosit dan apusan darah tepi, uji golongan darah
apabila terdapat kecurigaan inkompabilitas golongan darah ABO atau
inkompabilitas Rh, tes antibodi (seperti Coombs Test), kadar enzim G6PD (apabila
berada pada area endemis atau respon terhadap fototerapi sebelumnya kurang
memuaskan), kadar serum albumin, dan urinalisis (untuk mengetahui adanya zat
pereduksi pada galaktosemia). Apabila terdapat kecurigaan ke arah sepsis maka
dapat pula dilakukan pemeriksaan kultur darah, urin, bahkan hitung sel, kadar
protein, glukosa, dan kultur dari likuor serebrospinalis.3

2.7 Diagnosis Banding


Penegakkan diagnosis ikterus neonatorum berdasarkan waktu kejadiannya.
Hari ke-1 dengan beberapa diagnosis banding yaitu inkompatibilitas darah (Rh,
ABO), sferositosis, infeksi intrauterin (TORCH), anemia hemolitik non-
sferositosis (misal G6PD). Hari ke-2 dengan diagnosis banding : infeksi, keadaan-
keadaan seperti hari ke-1 namun baru muncul pada hari kedua, fisiologis. Hari ke-
3 sampai 5 : fisiologis (keadaan umum baik, neonatus mau minum, berat badan
naik, kadar bilirubin total <15mg/dL dan menghilang pada hari ke-10). Hari
>5hari atau menetap sampai dengan 10 hari dengan diagnosis banding : infeksi
bakteri/virus, minum ASI, anemia hemolitik, galaktosemia, hipotiroidisme, obat-

11
obatan, sindrom Lucey-Driscoll, fibrosis kistik, penyakit Gilbert, ikterus
obstruktif.10
2.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana ikterus neonatorum/ hiperbilirubinemia neonatal bergantung
pada penyebab serta beratnya gejala serta adanya penyakit komorbid. Pada ikterus
neonatorum fisiologis atau non-patologis tidak membutuhkan penanganan khusus.
Tatalaksana yang diperlukan pada ikterus neonatorum fisiologis adalah dengan
melakukan edukasi kepada ibu dan memberikan ibu semangat untuk terus
menyusui bayi secara rutin minimal 8-12 kali dalam sehari dan tidak memberikan
cairan atau makanan tambahan apapun selain ASI. Kedua orangtua juga harus
diedukasi apabila warna kuning pada kulit anak semakin memberat atau semakin
menyebar maka segera dibawa kembali ke pelayanan kesehatan terdekat. Bayi
yang berusia kurang dari 48 jam disarankan untuk melakukan kontrol kembali 2
hari kemudian untuk evaluasi kecukupan menyusui dan perkembangan ikterus.3,4,9
Strategi terapi atau intervensi yang diterapkan untuk menurunkan kadar
bilirubin bayi yakni dengan meningkatkan konversi bilirubin tidak terkonjugasi
menjadi produk lain yang tidak berbahaya (dicapai menggunakan fototerapi/
terapi sinar intensif), pengeluaran bilirubin (melalui transfusi darah tukar),
menghambat produksi bilirubin berlebih (melalui pemberian inhibitor heme
oksigenase) dan mencegah beban bilirubin tambahan yang berasal dari sirkulasi
enterohepatik. Hidrasi yang baik dan intake kalori yang adekuat juga penting
untuk membantu meningkatkan kemampuan hepar dalam melakukan konjugasi
bilirubin secara efisien. Penentuan penggunaan fototerapi dan transfusi tukar
menggunakan kurva Bhutani (seperti tampak pada Gambar 2.4 untuk fototerapi
dan Gambar 2.5 untuk transfusi tukar).3,4,9

12
Gambar 2.4 Kurva Bhutani untuk Panduan Fototerapi/ Terapi Sinar11

Gambar 2.5 Kurva Bhutani untuk Transfusi Darah Tukar11

2.8.1 Fototerapi/ Terapi Sinar Intensif


Fototerapi yakni penyinaran menggunakan cahaya dengan
panjang gelombang 430-490 nm dari spektrum cahaya warna biru
dengan jarak sumber cahaya dengan bayi sebaiknya 15-20 cm.
Fototerapi akan membantu mengubah bilirubin yang tidak

13
terkonjugasi menjadi bentuk isomer yang berbeda yakni menjadi
4Z,15E bilirubin (photobilirubin) dan lumirubin. Photobilirubin
dan lumirubin dapat diekskresikan melalui hepar tanpa proses
konjugasi.Photobilirubin dapat diekskresikan secara lambat, namun
sifatnya reversibel sehingga dapat kembali berubah menjadi
bilirubin di dalam saluran cerna, sedangkan lumirubin bersifat tidak
reversibel sehingga lebih cepat dihilangkan dari serum walaupun
terbentuk lebih sedikit. Fototerapi diberikan apabila kadar bilirubin
total pada bayi telah melebihi garis panduan pada kurva Bhutani
untuk panduan Fototerapi (Gambar 2.4) atau fototerapi juga dapat
dipertimbangkan pada bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin
total > 12 mg/dL dan bayi kurang bulan dengan kadar bilirubin
total > 10 mg/dL. Pada kecurigaan ikterus neonatorum patologis
dengan/ atau peningkatan kadar bilirubin > 5 mg/dL/hari,
dengan/atau hemolisis maka pertimbangkan untuk melakukan
fototerapi lebih awal.3,4,9
Penelitian menyebutkan fototerapi yang kontinyu lebih baik
dibandingkan dengan fototerapi yang diberikan secara intermiten.
Efektifitas fototerapi juga dipengaruhi luasnya area paparan
sehingga biasanya sumber cahaya tambahan dapat diberikan
dibagian bawah tempat bayi diletakkan. Selama fototerapi, bayi
harus menggunakan penutup mata untuk mengurangi risiko
terjadinya kerusakan retina yang masih imatur pada bayi. Apabila
setelah dilakukan fototerapi tidak terjadi penurunan kadar bilirubin
sesuai yang diinginkan maka dipertimbangkan dilakukan transfusi
darah tukar. Fototerapi dinilai berhasil apabila setelah ujian
penyinaran kadar bilirubin minimal turun 1 mg/dL.3,4,9
Efek samping fototerapi dapat berupa peningkatan suhu
tubuh, peningkatan laju nafas, peningkatan insensible water loss,
letargis/ gelisah, penurunan nafsu makan dan berat badan (yang
dapat dikejar dalam 2-4 minggu kemudian), kerusakan retina
(dicegah dengan pemeberian penutup mata), peningkatan turnover

14
trombosit, perubahan kulit seperti tarving, rash, luka bakar, dan
baby bronze syndrome (akibat interaksi fototerapi pada ikterus
kolestasis sehingga menghasilkan pigmen bilifuscin).3,4,9
Rekomendasi oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
pada bayi yang mendapat foto terapi intensif meliputi:1
1. Pemberian minum setiap 2-3 jam (on demand)
2. Bila bilirubin total > 25 mg/dL maka lakukan pemeriksaan
ulang dalam 2-3 jam, bila bilirubin total 20-25 mg/dL maka
pemeriksaan ulangan dapat dilakukan dalam 3-4 jam, bila
kadar bilirubin total < 20 mg/dL maka dapat diulang 4-6 jam
atau bila kadar bilirubin terus turun maka pemeriksaan dapat
diulang setelah 8-12 jam
3. Apabila kadar bilirubin tidak turun atau justru mendekati
kadar untuk transfusi darah tukar atau perbandingan bilirubin
total dengan albumin meningkat maka lakukan trasnfusi
darah tukar
4. Bila kadar bilirubin < 13-14 mg/dL maka fototerapi
dihentikan
5. Pemeriksaan kadar bilirubin ulang dilakukan setelah 24 jam
bayi pulang untuk melihat kemungkinan adanya rebound
hiperbilirubinemia
2.8.2 Transfusi Darah Tukar
Transfusi darah tukar dilakukan apabila kadar bilirubin total
pada bayi  5 mg/dLmelewati garis bantuan pada kurva Bhutani
untuk panduan transfusi darah tukar (Gambar 2.5) atau
pertimbangkan transfusi darah tukar apabila kadar bilirubin total >
20 mg/dL atau dicurigai hemolitik jaundice sebagai penyebab
ikterus neonatorum pada bayi. IDAI merekomendasikan
dilakukannya transfusi darah tukar segera apabila terdapat gejala
ensefalopati akut (hipertoni, arching, retrocollis, opitotonus, high
pitch cry, demam). American Academy of Pediatrics menyebutkan
indikasi dilakukannya transfusi darah tukar yakni terbukti adanya
inkompatibilitas Rh, bayi dengan hydrops fetalis, bayi yang lahir
dalam keadaan pucat, bayi dengan hepatosplenomegali dan

15
memiliki test antiglobulin direk yang positif, saudara kandung
memiliki riwayat menderita ikterus neonatorum dan membutuhkan
transfusi darah tukar, penurunan hematokrit dan peningkatan kadar
bilirubin total walaupun telah mendapatkan fototerapi intensif.3,4,9,12
Pilihan darah donor yang digunakan pada bayi yang akan
dilakukan transfusi darah tukar terdapat pada Gambar 2.6. Pada
ikterus neonatorum dengan inkompabilitas Rh maka darah donor
harus golongan darah O dengan Rh negatif yang telah dilakukan
cross match dengan darah bayi (apabila darah dipersiapkan saat
bayi telah lahir) atau dengan ibu (apabila darah dipersiapkan saat
bayi belum lahir). Darah donor yang digunakan sebaiknya yang
diambil <5 hari sebelum prosedur dilakukan dengan pemberian
donor yang direkomendasikan dengan ratio packed red cell (PRC)
banding fresh frozen plasma (FFP) yakni 3:1. Prosedur transfusi
darah tukar dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni teknik
menggunakan kateter tunggal via vena umbilikalis yang langsung
mencapai vena cava inferior tepat sebelum memasuki atrium
kanan, teknik menggunakan satu kateter masing-masing pada vena
umbilikalis dan arteri umbilikalis, dan teknik dimana menggunakan
dua buah kateter dengan satu kateter substitut pada arteri perifer
(biasanya arteri radialis) dan satu kateter pada vena perifer yang
berukuran besar (vena femoral). Pada teknik kateter tunggal,
prosedur dilakukan dengan melakukan siklus yang terdiri dari
infusi dan penarikan darah yang isovolumetrik sebanyak 30-35
siklus dalam 60-90 menit. Volume infusi dan penarikan pada bayi
cukup bulan sebesar 15-20 ml dengan kecepatan 5 ml/kg/menit.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada transfusi darah tukar
terangkum dalam Gambar 2.6.9,12,13

16
Gambar 2.6 Pilihan Darah Donor Berdasarkan Golongan Darah
Bayi Untuk Proses Transfusi Darah Tukar2

2.8.3 Farmakologis
Terapi farmakologis meliputi pemberian fenobarbital dan
asam ursodeoksikolat untuk meningkatkan ekskresi bilirubin.
Fenobarbital bekerja dengan merangsang aktivitas dan
meingkatkan konsentrasi enzim glukoronil transferase dan ligandin
sehingga dapat meningkatkan proses konjugasi bilirubin,
sedangkan asam ursodeoksikolat bekerja sebagai anti-kolestatik
dengan menekan produksi kolesterol intrahepatik dan menekan
penyerapan kolesterol melalui saluran cerna. Namun beberapa
penelitian menyebutkan terapi tersebut tidak memberikan efek
yang memuaskan apabila hanya digunakan secara tunggal tanpa
fototerapi. Hal tersebut dikarenakan obat tersebut bekerja secara
lambat sehingga tidak cukup cepat untuk menurunkan kadar
bilirubin yang dapat memberikan perbaikan klinis yang bermakna.
Farmakoterapi baru yang tampak menjanjikan yakni pemberian
mesoporfirin yang merupakan inhibitor kompetitif heme
oksigenase dimana enzim heme oksigenase ini dibutuhkan untuk
mengkatabolisme heme menjadi biliverdin. Namun, pemakaian
obat ini masih dalam percobaan dan keluaran jangka panjang
belum diketahui ecara pasti sehingga pemakaian obat ini sebaiknya
hanya untuk bayi yang memiliki risiko tinggi kejadian terdapat
hiperbilirubinemia berat. Terapi imunoglobulin juga dapat
diberikan pada bayi ikterus neonatorum yang disebabkan oleh

17
penyakit autoimun hemolitik dengan kadar bilirubin meningkat
walaupun telah mendapatkan fototerapi intensif. Imunoglobulin
diberikan secara intravena sebanyak 0.5-1 g/kg diberikan selama 2
jam dan dapat diulang dalam 12 jam kemudian bila diperlukan.5,6,12

Tabel 2.1 Komplikasi Transfusi Darah Tukar12


Darah Donor Komplikasi Pada Pencegahan/ Tatalaksana
Bayi
Darah tidak segar Hiperkalemia, Gunakan darah segar (usia <5 hari)
(tinggi K+, platelet trombositopeni Monitor EKG selama dan setelah
rendah) prosedur dilakukan
Monitor tanda perdarahan
Darah mengandung Hipokalsemia Pertimbangkan pemberian kalsium
sitrat Hipoglikemia glukonas 1-2ml/kg setelah transfusi
rebound darah tukar 50-100 ml
Monitor kadar kalsium 2 jam setelah
prosedur
Apabila terdapat aritmia yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya
berikan infus kalsium glukonas 10%
2 ml/kg
Dingin Hipotermi Hangatkan darah sebelum digunakan
Kadar glukosa tinggi Hipoglikemia Periksa kadar gula darah 2 jam
rebound setelah prosedur
Inisiasi pemberian makanan enteral
Darah defisiensi Hemolitik Pada area endemik defisiensi G6PD
G6PD meningkat lakukan skrining pada awal darah
Hiperbilirubinemia didonorkan
rebound
*EKG: elektrokardiogram, G6PD: Glukosa-6-fosfo dehidrogenase

2.9 Komplikasi
Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat lipofilik sehingga kadar bilirubin yang
terlalu tinggi dalam darah bahkan dapat menembus sawar darah otak (blood brain

18
barrier). Hal tersebut dapat menyebabkan disfungsi saraf otak dimana kondisi
tersebut disebut sebagai ensefalopati bilirubin (kernikterus). Ensefalopati bilirubin
adalah manifestasi klinis yang terjadi akibat efek toksik bilirubin terdapat sistem
saraf pusat yakni pada basal ganglia dan pada beberapa nuklei otak. Kernikterus
sendiri adalah perubahan neuropatologi yang ditandai dengan adanya deposisi
pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak tertama pada basal ganglia, pons,
dan serebelum. Ensefalopati bilirubin terdiri atas 3 fase, yakni:9
a. Fase inisial, ditandai dengan gejala letargik, hipotonik, berkurangnya
aktivitas bayi dan reflek menetek yang buruk.
b. Fase intermediate, ditandai dengan stupor, iritabilitas dan peningkatan
tonus (retrocollis dan opistotonus), serta demam.
c. Fase lanjutan, diandai dengan stupor dalam atau koma, peningkatan
tonus, tidak mampu makan, kejang dan high pitch cry.

2.10 Prognosis
Pada iktertus neonatorum fisiologis (non-patologis) yang merespon dengan
fototerapi umumnya memiliki prognosis yang baik. Bayi dengan kadar bilirubin
20 mg/dL atau lebih dan membutuhkan transfusi darah tukar harus tetap
dimonitoring karena memiliki risiko tinggi terjadinya perkembangan sistem saraf.
Pemeriksaan pendengaran (BERA) harus dilakukan pada usia koreksi 3 bulan.
Apabila bayi menderita kerniktertus/ bilirubin ensefalopati maka bayi biasanya
mendapat gejala sisa/ skuele berupa athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan
pendengaran, paralisis upward gaze dan displasia dental-enamel.3,4,9

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : By PDM
Tanggal Lahir : 23 Juli 2019
Umur : 7 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Alamat : Br Temuku, Penebel, Tabanan
No. RM : 731475
Tanggal MRS : 29 Juli 2019 pukul 13.50 WITA
Tanggal Pemeriksaan : 30 Juli 2019 pukul 08.00 WITA

3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis)


3.2.1 Keluhan Utama
Kuning pada mata

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dibawa oleh ibu dan neneknya ke poliklinik anak
BRSUD Tabanan dengan keluhan mata pasien tampak kuning sejak pagi
hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Ibu pasien menyadari adanya
mata kuning saat sedang menyusui anaknya pagi hari SMRS. Ibu pasien
mengatakan kuning hanya tampak pada bagian putih kedua mata pasien
dan warna kuning dikatakan kuning muda. Pasien lalu segera dibawa ke
Puskesmas Penebel I dan dirujuk ke BRSUD Tabanan untuk pemeriksaan
lebih lanjut.
Ibu pasien mengatakan pasien lahir secara normal di Puskesmas
Penebel I. Pasien setelah lahir dikatakan segera menangis, tidak tampak
kebiruan maupun kekuningan setelah lahir. Setelah lahir pasien juga
dikatakan tidak ada masalah dan mampu menetek namun sering rewel
selama 2 hari kelahiran. ASI ibu dikatakan keluar sedikit, dan pasien
hanya mendapat ASI eksklusif selama 2 hari kelahiran. Dikatakan ibu
menyusuia sekitar 6-7 kali sehari dengan durasi kurang dari 10 menit.
Setelah pulang dari puskesmas di 3 hari kelahiran, pasien mulai diberikan
susu formula oleh ibunya karena dianggap pemberian ASI tidak
mencukupi.
Pasien dikatakan BAK dan BAB dengan normal dimana BAK
pasien dikatakan berwarna kuning jernih dan BAB pasien pada hari

20
pertama berwarna kehijauan dan hari-hari berikutnya berwarna kuning.
Ibu pasien menyangkal adanya demam, batuk, dan kejang pada pasien.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya.
Riwayat demam, batuk, kejang, sesak nafas, dan alergi pada pasien
disangkal oleh ibu pasien.

3.2.4 Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Kakak-kakak pasien tidak ada yang pernah memiliki keluhan
serupa sebelumnya. Riwayat kencing manis, tekanan darah tinggi,
penyakit ginjal, hepatitis dan penyakit jantung bawaan dalam keluarga
disangkal.

3.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien belum pernah mendapatkan obat-obatan apapun untuk
keluhannya saat ini. Saat di Puskesmas Penebel I, pasien tidak diberikan
pengobatan apapun dan langsung dirujuk ke Poli Anak BRSUD Tabanan.

3.2.6 Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan


Pasien merupakan anak tunggal. Pasien dikatakan tinggal bersama
dengan ibu, ayah, kakek dan nenek pasien. Ibu pasien seorang pegawai
swasta berusia 19 tahun dan ayah pasien seorang pegawai swasta berusia
21 tahun. Sehari-hari, pasien diasuh oleh ibu dan neneknya dirumah.

3.2.7 Riwayat Antenatal Care


Ibu pasien mengatakan rutin melakukan pemeriksaan kehamilan di
bidan. Tafsiran persalinan dikatakan pada tanggal 26 Juli 2019 dan pasien
lahir pada tanggal 29 Juli 2019. Keluhan demam, nyeri saat berkemih,
keputihan dan kenaikan berat badan berlebih selama kehamilan disangkal
oleh ibu pasien. Ibu pasien mengatakan sudah melakukan pemeriksaan
laboratorium secara lengkap sebanyak satu kali pada saat kontrol
kehamilan, namun ibu pasien tidak mengetahui tes laboratorium apa saja
yang tercakup di dalamnya, dan dikatakan hasilnya dalam batas normal.
Ibu pasien juga pernah melakukan pemeriksaan kadar gula darah pada saat
pemeriksaan kehamilan di puskesmas dan dikatakan hasilnya normal. Ibu

21
pasien tidak mengonsumsi obat-obatan apapun selama kehamilan dan
setelah melahirkan.

3.2.8 Riwayat Intranatal


Selama persalinan, ibu pasien menyangkal adanya demam maupun
keputihan selama kehamilan dan saat persalinan. Ketuban dikatakan pecah
saat sudah terjadi bukaan dengan warna ketuban dikatakan jernih
kekuningan dan tidak berbau. Ibu pasien juga menyangkal adanya nyeri
saat berkemih selama hamil dan sebelum persalinan.
Pasien lahir secara normal ditolong oleh bidan di Puskesmas
Penebel I. Pasien dikatakan lahir segera menangis, berat badan lahir 3200
gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala 33 cm dan lingkar dada 34 cm.
Pasien dikatakan lahir tanpa kelainan bawaan. Setelah lahir pasien
dikatakan sudah mendapatkan vitamin K dan imunisasi hepatitis B.

3.2.9 Riwayat Imunisasi


Pasien sudah dilakukan pemberian imunisasi di Puskesmas Penebel
I, yakni imunisasi hepatitis B sebanyak 1 kali.
Kesan imunisasi pada pasien lengkap berdasarkan usia pasien
sesuai dengan ketentuan imunisasi dasar yang berlaku berdasarkan
KEMENKES Tahun 2017.
3.2.10 Riwayat Nutrisi
- ASI : sejak lahir hingga saat ini frekuensi on demand
- Susu Formula : sejak usia 3 hari hingga saat ini frekuensi on demand

3.2.11 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Setelah lahir pasien belum pernah ditimbang dan diukur kembali
selain saat berobat ke poliklinik anak BRSUD Tabanan. Berat badan saat
ini 3250 gram.
.
3.3 Pemeriksaan Fisik (30 Juli 2019)
3.3.1 Status Present
Keadaan umum : Sakit Ringan
Aktivitas Tonus : Kuat
Tangis : Kuat
Lajur denyut jantung : 120 kali/menit, reguler
Laju respirasi : 32 kali/menit, reguler
Suhu aksila : 36,9C
Saturasi : 98 % udara ruangan
Skala nyeri FLACC : 0/10
3.3.2 Status Generalis

22
Kepala : Normocephali (LK=35 cm), UUB terbuka datar
Cephalhematome (-), capput succedanum (-)
Wajah : Dismorfik (-)
Mata : Konjungtiva pucat -/- , ikterus +/+ , reflek pupil +/
+ isokor, edema palpebra -/-, mata cowong -/-,
produksi air mata +/+
THT :
Telinga : Sekret -/-, deformitas (-)
Hidung : Sekret -/-, napas cuping hidung (-),deformitas (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), T1/ T1hiperemis (-)
Lidah : Sianosis (-)
Bibir : Sianosis (-), mukosa bibir basah
Gusi : Tidak terdapat perdarahan
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Simetris (+), retraksi (-)
Jantung :
Inspeksi : Precordial bulging (-), iktus cordis tampak pada
Midclavicular line sinistra ICS 4
Palpasi : Iktus cordis teraba pada Midclavicular line sinistra
ICS 4
Austkultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Paru :
Inspeksi : Bentuk normal, simetris
Palpasi : Gerakan dada simetris
Auskultasi :Bronkovesikuler +/+, rales -/-, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), meteorismus (-), pelebaran vena (-)
Ascites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan lien just palpable, massa (-)

Ekstremitas : akral hangat + + , edema - -


+ + - -
CRT < 2 detik
Kulit : Ikterik sampai badan bagian bawah hingga telapak
tangan dan kaki (Kramer V), plantar crease> 2/3
kaki anterior
Kuku : Mencapai ujung jari
Genitalia : Laki-laki (G1P1)
Anus : anus (+), kelainan (-)

3.4 Pemeriksaan Khusus


a. Status antropometri (30 Juli 2019)
Berat badan lahir : 3200 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Lingkar kepala saat lahir : 33 cm

23
Berat badan sekarang : 3250 gram
Panjang badan sekarang : 50 cm
Lingkar kepala sekarang : 34 cm
Lingkar lengan atas : 10 cm

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Kimia Darah (29 Juli 2019 pukul 11.01 WITA)

PARAMETER HASIL Remark SATUAN RUJUKAN

Bilirubin Total 18.02 Tinggi mg/dL < 1.0

Bilirubin Direk 0.83 Tinggi mg/dL 0 – 0.25

Bilirubin Indirek 17.19 Tinggi mg/dL 01 – 1

Kurva Bhutani untuk Fototerapi

24
3.6 Diagnosis
Hiperbilirubinemia (Ikterus neonatorum)

3.7 Penatalaksanaan
Pdx : Kadar bilirubin total, bilirubin direct dan indirect
setelah fototerapi
Tx : - MRS Ruang Perinatologi
- Fototerapi 3x24 jam
- Kebutuhan cairan 536 ml/hari
- ASI on demand minimal 53 cc/3 jam
- Kebutuhan kalori 325 kkal/ hari
Mx : - Tanda-tanda vital
- Ikterus
- Kemampuan minum, BAB dan BAK

3.8 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam

3.9 KIE
- Menjelaskan kepada orangtua tentang keadaan pasien, penyakit yang
dialami, pengobatan, komplikasi, dan cara pencegahan dari penyakitnya.

25
- Menjelaskan kepada orangtua pasien untuk tetap memberikan ASI sesuai
kebutuhan pasien/ setiap pasien tampak haus sebaiknya minimal 8-12
kali dalam sehari.

26
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis
Penegakkan diagnosis ikterus neonatorum dimulai dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis penting ditanyakan usia bayi, sejak
kapan bayi tampak kuning dan dimana saja bayi tampak kuning (apakah
hanya pada bagian mata atau kulit hingga ke ujung jari). Onset dan puncak
ikterus berdasarkan usia bayi sudah dapat membantu mengarahkan apakah
ikterus tersebut patologis atau non-patologis. Selanjutnya melalui anamnesis
kita perlu menggali faktor-faktor risiko atau kemungkinan penyebab ikterus
pada bayi seperti adanya riwayat kuning pada saudara kandung, riwayat ibu
mengidap diabetes atau penyakit hepatitis selama masa kehamilan, riwayat
menetek yang kurang baik. Gejala penyerta dari ikterus neonatorum juga
perlu digali misalnya terdapat demam, anak rewel, tidak mau minum/
menetek, kemudian adanya BAB berwarna pucat seperti dempul.
Pemeriksaan fisik membantu kita menemukan kemungkinan
penyebab dari ikterus neonatorum. Kita juga perlu memperhatikan apakah
ditemukan red flags pada bayi seperti bayi tampak letargi, demam, emesis,
dan dehidrasi.Pada ikterus neonatorum akibat proses hemolitik (hemolytic
jaundice) kita dapat menemukan adanya hepatosplenomegali. Pemeriksaan
ikterus dilakukan dengan melakukan penekanan pada tempat-tempat
penonjolan tulang, seperti pada tulang hidung, dada dan lutut, dimana kulit
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning kemudian pola persebaran
ikterus untuk menentukan skor Kramer yang membantu dalam
memperkirakan kadar bilirubin total bayi.Pemeriksaan penunjang yang rutin
dikerjakan adalah pemeriksaan kadar bilirubin total, bilirubin direk, dan
bilirubin indirek. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai indikasi
atau arah kecurigaan penyebab ikterus. Pemeriksaan lainnya yang mungkin
dilakukan untuk penelusuran penyebab ikterus neonatorum antara lain
pemeriksaan hitung darah lengkap, hitung retikulosit dan apusan darah tepi,
uji golongan darah apabila terdapat kecurigaan inkompabilitas golongan
darah ABO atau inkompabilitas Rh, tes antibodi (seperti Coombs Test),
kadar enzim G6PD (apabila berada pada area endemis atau respon terhadap

27
fototerapi sebelumnya kurang memuaskan), kadar serum albumin, dan
urinalisis (untuk mengetahui adanya zat pereduksi pada galaktosemia).
Pada kasus penegakkan diagnosis didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dimana pasien berusia 6 hari
dan dikeluhkan tampak kuning pada kedua mata sejak pagi hari SMRS.
Berdasarkan anamnesis tidak ditemukan adanya gejala penyerta lain seperti
demam, BAB pucat/ berwarna seperti dempul, maupun riwayat penyakit ibu
dan keluarga yang dapat mengarahkan ikterus neonatorum tersebut menjadi
ikterus patologis. Pasien dikatakan rewel dan menetek dengan frekuensi
kurang dari 10 kali dalam sehari sehingga berdasarkan anamnesis yang
dapat memberikan gambaran bahwa ikterus neonatorum ini mengarah
kepada ikterus patologis. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan demam
maupun tanda red flags lainnya, tidak terdapat hepatomegali dan
splenomegali, juga tidak ditemukan adanya hematoma. Pemeriksaan kulit
didapatkan ikterus hingga pada badan bagian bawah hingga telapak kaki dan
tangan dilakukan pada kasus ini hanyalah pemeriksaan rutin berupa kadar
bilirubin total, bilirubin direk, dan bilirubin indirek dimana didapatkan
kadar bilirubin total pada pasien ini 18.02 mg/dL, bilirubin direk 0.83
mg/dL, dan bilirubin indirek 17.19 mg/dL.

4.2 Tatalaksana
Tatalaksana ikterus neonatorum bergantung pada penyebab serta
beratnya gejala serta adanya penyakit komorbid. Pada ikterus neonatorum
fisiologis atau non-patologis tidak membutuhkan penanganan khusus.
Tatalaksana yang diperlukan pada ikterus neonatorum fisiologis adalah
dengan melakukan edukasi kepada ibu dan memberikan ibu semangat untuk
terus menyusui bayi secara rutin minimal 8-12 kali dalam sehari dan tidak
memberikan cairan atau makanan tambahan apapun selain ASI. Fototerapi
dapat dipertimbangkan pada bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin total
>12 mg/dL dan bayi kurang bulan dengan kadar bilirubin total >10 mg/dL.
Fototerapi dapat lebih awal dilakukan pada kecurigaan ikterus neonatorum
patologis. Kurva Bhutani (Gambar 2.4 dan Gambar 2.5) juga dapat
digunakan sebagai panduan kapan kita harus memulai fototerapi dan
transfusi darah tukar pada ikterus neonatorum. Pemberian terapi

28
farmakologi juga dapat diberikan seperti fenobarbital dan asam
ursodeoksikolat untuk meningkatkan ekskresi bilirubin. Terapi farmakologis
lainnya dapat berupa inhibitor heme oksigenase, namun terapi ini belum
diketahui keluaran jangka panjang belum diketahui ecara pasti sehingga
pemakaian obat ini sebaiknya hanya untuk bayi yang memiliki risiko tinggi
kejadian terdapat hiperbilirubinemia berat. Pengecekan ulang kadar
bilirubin bergantung pada kadar bilirubin total awal. Pada kadar bilirubin
total <20 mg/dL, pemeriksaan kadar bilirubin total dapat diulang dalam 4-6
jam. Terapi non-farmakologis yang dapat diberikan adalah dengan tetap
memberikan dukungan kepada ibu untuk menyusui anaknya secara teratur
dan sering dengan frekuensi ideal minimal 8-12 kali sehari.3,4,7
Pada kasus didapatkan pasien dengan kadar bilirubin total mencapai
18.02 mg/dL termasuk ke high risk zone sehingga fototerapi dapat diberikan
walaupun sesuai ambang untuk memulai fototerapi berdasarkan kurva
Bhutani untuk panduan fototerapi. Pemberian fototerapi pada pasien ini
diberikan secara intensif dimana pemberian fototerapi dilakukan secara
kontinyu selama 3x24 jam dan dilakukan dengan memaparkan sebanyak-
banyaknya area kulit. Pasien juga diberikan penutup mata untuk
menghindari efek samping fototerapi berupa kerusakan retina. Terapi
fototerapi dikatakan memberikan respon apabila didapatkan minimal
penurunan kadar bilirubin total 1 mg/dL. Pada kasus ini pemeriksaan kadar
bilirubin total dilakukan setelah fototerapi selesai dilakukan walaupun
seharusnya dilakukan pemeriksaan kadar blirubin ulang dalam 4-6 jam.
Fototerapi dapat dihentikan apabila kadar bilirubin total bayi di bawah 13-
14 mg/dL. Pada kasus ini ibu pasien juga tetap diedukasi agar tetap
menyusui pasien sesering mungkin, minimal 8-12 kali dalam sehari.

29
BAB V
SIMPULAN

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin.
Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan
tidak memerlukan pengobatan.Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau
disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti
hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologis).
Penegakan diagnosis ikterus neonatorum/ hiperbilirubinemia pada
neonatus melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Tatalaksana ikterus neonatorum/ hiperbilirubinemia neonatal bergantung pada
penyebab serta beratnya gejala serta adanya penyakit komorbid. Tujuan utama
dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar
kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus
atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus.
Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika tidak berhasil transfusi tukar dapat
dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum
dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

30
1. Ritarwan, Kiking. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran
USU/RSU H. Adam Malik. 2011. Sumatra Utara. USU digital library.
2. David C. Dugdale. Medline plus. Oct 2013; [diakses Juli 2019] Available
fromhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htm
3. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam : Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1).
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010; p. 147–68.
4. Ullah S, Rahman K, Hedayati M. Hyperbilirubinemia in Neonates : Types ,
Causes , Clinical Examinations , Preventive Measures and Treatments : A
Narrative Review Article. Iran J Public Heal. 2016;45(5):558–68.
5. Mishra S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Jaundice in the Newborns.
2008;75:157–63.
6. Cohen RS, Wong RJ, Stevenson DK. Understanding Neonatal Jaundice : A
Perspective on Causation. Pediatr Neonatol [Internet]. 2010;51(3):143–8.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S1875-9572(10)60027-7
7. Lauer BJ, Spector ND. Hyperbilirubinemia in the Newborn. Pediatr Rev.
2019;32(8):341–9.
8. Costanzo LS. Gastrointestinal Physiology. In: Costanzo Physiology Fifth
Edition. Philadelphia: Elsevier Ltd.; 2014. p. 329–245.
9. Schwartz HP, Haberman BE, Ruddy RM. Hyperbilirubinemia: Current
guidelines and emerging therapies. Pediatr Emerg Care. 2011;27(9):884–9.
10. Kardana IM, Artana IWD, Putra PJ, Sukmawati M. Hiperbilirubinemia. Dalam
: Putra IMDT, Diantika IBD. Buku Panduan Belajar Dokter Muda Ilmu
Kesehatan Anak. Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar. 2018. p.168-9.
11. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Panduan Praktek Klinis
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Indonesia; 2017. p. 432–6.
12. Murki S, Kumar P. Blood Exchange Transfusion for Infants with Severe
Neonatal Hyperbilirubinemia. Semin Perinatol [Internet]. 2011;35(3):175–84.
Available from: http://dx.doi.org/10.1053/j.semperi.2011.02.013
13. Davutoǧlu M, Garipardiç M, Güler E, Karabiber H, Erhan D. The etiology of
severe neonatal hyperbilirubinemia and complications of exchange
transfusion. Turk J Pediatr. 2010;52(2):163–6.

31

Anda mungkin juga menyukai