Anda di halaman 1dari 24

HIPERSENSIVITAS

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi
yang diampu oleh dr. Rahmat Tubagus.

Oleh:
Anggun Magfiroh
Dewi Tri Natalia
Fendri Lukmanto
Kholifatul Jihan A.
Iin Dwi Astari
Sheila Ameyfiana H.
Vianny Prameswary

STIKes KARYA PUTRA BANGSA TULUNGAGUNG


S1 FARMASI
April 2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur, berkat rahmat Tuhan Yang Maha


Kuasa, makalah yang berjudul “Hipersensitivas” dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa ucapan terima kasih kepada dr. Rahmat Tubagus selaku dosen
pengampu mata kuliah Imunologi yang telah memberikan kesempatan untuk
menyusun makalah ini.
Makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik penulisan maupun
pemilihan kata. Oleh karena itu, kritik selalu dinantikan untuk perbaikan. Semoga,
makalah ini mampu memberikan manfaat untuk para pembaca.

Tulungagung, April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................i


Daftar Isi................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................2
2.1 Alergi atau Hipersensivitas .............................................................................2
2.2 Gejala Alergi ..................................................................................................3
2.3 Diagnosis Hipersensitivas ..............................................................................3
2.4 Mekansime Hipersensivitas ............................................................................5
2.5 Hipersensivitas Terhadap Obat .......................................................................7
2.6 Klasifikasi Hipersensivitas .............................................................................8
2.7 Terapi Hipersensivitas ....................................................................................13
BAB III PENUTUPAN ........................................................................................18
Daftar Pustaka ......................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral
yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun.Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas
atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas,
yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap
sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi
alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi
ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana penggolongan hipersensivitas?
b. Bagaimana mekanisme alergen dan senyawa penyebab alergen?
c. Apa saja obat penyebab hipersensivitas?
d. Bagaimana terapi reaksi hipersensivitas?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Alergi atau Hipersensivitas


Alergi adalah suatu reaksi sistem kekebalan tubuh (imunitas)
terhadap suatu bahan atau zat asing (alergen).Bentuk reaksi itu macam-
macam, bisa berbentuk ruam kemerahan, penyumbatan (kongesti), pilek,
bersin, radang mata, asma, syok atau bahkan kematian (jarang terjadi).
Alergi dapat berasal dari makanan atau obat. Sebagian besar
penyebab alergi makanan adalah zat-zat protein tertentu dalam susu sapi,
putih telur, gandum, kedelai, udang, dan lainnya. Sedangkan dari obat,
penisilin dan turunannya yang paling banyak menimbulkan reaksi
alergi.Jenis obat dengan kecenderungan besar menimbulkan reaksi alergi
adalah jenis sulfa, barbiturat, antikonvulsi, insulin, dan anestesi lokal.
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di
mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara
imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non-imunogenik.
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan
atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-
bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Reaksi alergi terjadi ketika tubuh salah mengartikan zat yang
masuk sebagai zat yang berbahaya. Sejalan dengan definisi ini, alergi
makanan merupakan reaksi sistem kekebalan yang terjadi segera setelah
mengonsumsi makanan tertentu.Bahkan sejumlah kecil makanan penyebab
alergi dapat memicu tanda dan gejala seperti masalah pencernaan, gatal-
gatal atau bengkak saluran udara.Pada beberapa orang, alergi makanan
dapat menyebabkan gejala parah atau bahkan reaksi yang mengancam
nyawa yang dikenal sebagai anafilaksis.

1
2.2 Gejala Alergi
Gejala alergi muncul dalam beberapa menit setelah terekspos alergen,
meskipun beberapa kasus butuh beberapa jam.Gejala alergi umumnya ringan.Pada
kasus jarang, terjadi syok anafilaksis yang bisa menyebabkan kematian.Gejala
yang muncul tergantung pada bagaimana alergen masuk ke dalam tubuh.
Gejala alergi beberapa di antaranya:
a. Bersin-bersin (alergi rinitis; inflamasi di dalam hidung yang disebabkan
oleh alergen seperti serbuk sari, debu, atau kulit dari binatang tertentu).
b. Mata merah dan berair (konjungtivis).
c. Ruam merah pada kulit (hives).
d. Sesak pada dada, napas pendek, dan batuk-batuk.
e. Mual dan muntah, diare.
Pada kasus jarang, alergi dapat menyebabkan syok anafilaksis yang
berbahaya bagi penderitanya.Efek ini terjadi pada seluruh tubuh dan terjadi dalam
beberapa menit setelah penderita terpapar alergen.
Gejala syok anafilaksis adalah:
a. Kesulitan bernapas.
b. Bingung dan cemas.
c. Pembengkakan pada tenggorokan dan mulut.
d. Kulit dan bibir yang membiru.
e. Kehilangan kesadaran (pingsan).
Syok anafilaksis membutuhkan penanganan medis sesegera mungkin.

2.3 Diagnosis Hipersensivitas


Untuk mengetahui jenis alergi, seseorang harus menjalani serangkaian tes.
1. Stick Prick Testing
Disebut juga dengan puncture atau scartch test, mrupakan tes
alergi paling umum. Tes ini memberikan reaksi alergi dengan
menggunakan lebih dari 40 bahan yang berbeda.Dilakukan dengan
meneteskan beberapa cairan yang mengandung alergen berbeda ke tangan
bagian dalam (pada orang dewasa) atau punggung bagian atas (pada anak-
anak).

2
Tes ini menggunakan jarum yang hanya sedikit menembus kulit,
membuat tes ini tidak menyakitkan.Setelah membersihkan kulit (tempat
dilakukannya tes) menggunakan alkohol, perawat akan menandai kulit
pasien dan meneteskan beberapa tetes alergen yang berbeda pada tiap
tanda. Perawat lalu menggunakan jarum untuk untuk “menusuk” cairan
agar masuk ke kulit.Tiap alergen menggunakan jarum suntik yang
berbeda.
Pastikan untuk tidak mengonsumsi antihistamin sebelum tes untuk
mencegah hasil tes yang tidak sesuai realitas.
2. Tes Darah
Disebut dengan Specific IgE (sIgE) blood testing, umumnya disebut
radioallergosorbent test (RAST) atau immunoCAP testing.Tes darah mungkin
dilakukan tunggal atau bersamaan dengan stick prick testing.
Tes ini dilakukan dengan menghitung jumlah antibodi yang muncul yang
disebabkan oleh alergen di pembuluh darah (disebut dengan immunoglobulin E
[IgE] antibodies).

Mediator alergi adalah histamin, ada pada sel biang (mast cell). Hastamin
adalah bagian dari sistem pertahan tubuh manusia. Histamin adalah mediator
respons seluler yang luas, di antaranya alergi, inflamasi, gastric acid secretion,
dan neurotransmiter di otak.
Histamin ada pada semua jaringan tubuh manusia, dengan jumlah yang
cukup banyak ada di paru-paru, kulit, pembuluh darah, dan gastrointestinal track.
Histamin ditemukan dengan konsentrasi tinggi di mast cell dan basofil.
Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imun akan melakukan reaksi
berantai sebagai pertahanan diri. Pertama, sinyal akan dikirim ke mast cell di
mulut, paru-paru, hidung, kulit, usus, dan darah. Pesan ini berisi perintah untuk
melepaskan histamin yang ada dalam mast cell.
Histamin yang lepas, masuk ke peredaran darah dan mengalir ke bagian
tubuh yang “terinfeksi”. Hal ini menyebabkan inflamasi, yang mana memicu zat
kimia dari sistem imun bekerja. Histamin lalu berikatan di tampat khusus, disebut
reseptor histamin.

3
Reseptor histamin ada 4; H1, H2, H3, dan H4. Mediator alergi terdapat
pada Reseptor Hitamin 1 (H1) dan Reseptor Histamin 2 (H2).
Reseptor H1 mempengaruhi:
a. Otot usus. Kontraksi menyebabkan kram perut dan diare.
b. Sistem saraf, menyebabkan rasa sakit dan gatal.
c. Otot bronkus. Penyempitan pada bronkus menyebabkan gejala asma dan
menurunnya kapasitas paru-paru.
Reseptor H2 mempengaruhi:
a. Lambung, menstimulasi gastric acid secretion.
Reseptor H1 dan H2 berpengaruh pada sistem kardiovaskular
(merendahkan tekanan darah dengan menurunkan resistensi perifer) serta kulit
(dilatasi dan meningkatnya permeabilitas sebagai akibat dari kebocoran protein
dan cairan yang masuk ke jaringan).
Seandainya yang terinfeksi adalah hidung, histamin dengan cepat akan
menebalkan membran untuk membuat mucus yang lebih banyak. Hidung akan
tersumbat atau mengeluarkan ingus atau bersin-bersin. Mucus juga menganggu
tenggorokan sehingga terjadi batuk. Histamin juga bisa membuat mata dan hidung
menjadi sakit.
Terapi untuk mengurangi gejala alergi adalah pemberian antihistamin,
adrenalin, bronkodilator, kortikosteroid. Preventifnya adalah menghindari paparan
alergen dan melakukan immunoterapi.
2.4 Mekanisme Alergen
Respon imun yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu
tahap sensitisasi alergen dan tahap elisitasi.
1. Tahap Sensitisasi
Disebut juga tahap induksi, merupakan kontak pertama dengan alergen
(yaitu ketika tubuh terpapar penyebab alergi). Reaksi hipersensivitas dimediasi
oleh IgE, tapi sel T dan sel B memiliki peran penting dalam mengembangkan
antibodi ini.
Fase sensitisasi adalah fase dimana terjadinya kontak pertama kali antara
alergen dengan kulit yang selanjutnya alergen tersebut akan dikenal dan direspons

4
oleh limfosit T atau fase ketika sel T naive dirubah menjadi sel T efektor atau sel
T memori spesifik antigen.
Pada fase sensitisasi ini, alergen yang belum diproses atau yang biasa
disebut sebagai hapten, akan dipaparkan ke stratum korneum dan selanjutnya akan
berpenetrasi ke lapisan bawah epidermis dan akhirnya ditangkap oleh sel
langerhans kemudian akan terjadi beberapa proses. Paparan dari alergen ini dapat
menurunkan jumlah sel langerhans pada epidermis sebanyak sektitar 50%, yang
disebabkan karena sel langerhans tersebut beremigrasi dari epidermis.
Pengenalan antigen yang telah diproses dalam sel langerhans oleh limfosit
T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T CD3. Selanjutnya, limfosit T yang
telah tersensitisasi akan bermigrasi ke daerah parakortikal kelenjar getah bening
regional untuk berdiferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang
tersensitisasi secara spesifik dan membentuk sel memori. Sebagian akan kembali
ke kulit dan ke sistem limfoid, tersebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan
keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.
2. Tahap Elisitasi
Tahap ini muncul ketika tubuh memproduksi antibodi IgE yang melawan
protein spesifik pada paparan tertentu. Paparan alergen yang sama lagi,
menyebabkan protein spesifik ini akan berikatan dengan molekul IgE pada
mediator sel imun (mast cell dan basofil) sekaligus mengaktifkanya. Hal ini
menyebabkan lepasnya molekul inflamasi (seperti leukotrien histamin). Histamin,
senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala reaksi alergi. Efek dan
tingkat keparahan alergi tergantung dari konsentrasi dan tipe alergen, cara
terpapar alergen, dan organ tubuh yang dipengaruhi (contoh kulit, gastrointestenal
track, dan darah).

5
2.5 Hipersensivitas Terhadap Obat
Hipersensivitas terhadap obat adalah reaksi berlebihan sistem imun
manusia pada obat tertentu. Gejala umum pada alergi obat adalah demam, ruam
merah pada kulit. Pada kasus tertentu, menyebabkan syok anafilaksis, yang
berpotensi membahayakan diri.
Sistem imun mampu mengenali obat sebagai alergen yang
mengakibatkan respons alergi. Molekul obat yang lebih kecil (<600 Da)
dapat berikatan dengan protein dan memicu respons alergi atau molekul
obat yang lebih besar mampu memicu respons alergi secara langsung.
Mekanisme alergi obat adalah sistem imun yang mengenali obat
sebagai zat berbahaya, sebagai virus atau bakteri. Sekali sistem imun
mendeteksi zat berbahaya ini, sistem imun akan mengembangkan antibodi
spesifik. Alergi obat bisa terjadi saat pertama kali mengonsumsi obat.
Terkadang, alergi tidak terjadi jika tidak dilakukan paparan berulang.
Penggunaan obat yang sama akan menyebabkan tubuh mengenali
zat ini dan segera memberikan respons perlawanan. Berbagai zat kimia
akan dilepaskan untuk membunuh alergen. Hal ini yang menyebabkan
muncul gejala alergi.
Semua obat mampu menyebabkan alergi, tapi beberapa di
antaranya umum menyebabkan alergi. Obat-obat tersebut adalah:
a. Antibiotik, seperti penisilin.
b. Analgesik, seperti aspirin, ibuprofen, dan naproxen.
c. Obat kemoterapi untuk kanker.
d. Obat untuk penyakit auto-imun seperti rheumatoid arthritis.
Faktor risiko yang meningkatkan risiko alergi obat di antaranya:
a. Alergi lain seperti alergi makanan atau hay fever.
b. Keluarga yang memiliki riwayat alergi obat.
c. Penggunaan obat dalam dosis tinggi dan berulang.
d. Penyakit tertentu yang berkaitan dengan alergi obat, seperti infeksi pada
HIV atau virus Epstein-Barr.

6
Cara paling baik untuk mencegah alergi obat adalah mencegah konsumsi
obat tersebut. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan:
a. Identifikasi alergi obat. Obat jenis apa atau pemakaian seperti apa yang
mampu memberikan efek alergi pada tubuh, harus diketahui.
b. Beri tahu tenaga kesehatan. Saat dokter meresepkan atau apoteker
memberikan obat, pastikan mereka mengetahui riwayat alergi yang diderita. Hal
ini untuk menghindari penggunaan obat yang mengandung “alergen”.

2.6 Klasifikasi Hipersensivitas

7
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif
sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani
kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe
lambat) (Buelow, 2015).
1. Reaksi Hipersensitif Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau
Anafilaksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena
paparan ulang alergen. Reaksi bisa lokal dan sistemik. Gejala yang muncul
bervariasi mulai dari iritasi ringan hingga kematian yang disebabkan syok
anafilaktik.
Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah
adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan
dengan Fc Reseptor pada permukaan jaringan mast cell dan basofil. Mast cell dan
basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi), karena sel B
memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak
terjadi apa-apa.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi, yaitu IgE. Mast cell dan basofil pun dilapisi oleh IgE
yang sudah ter-sensitisasi. Saat terjadi kontak ulang dengan alergen, IgE yang
sudah ter-sensitisasi akan men-degranulasi mast cell dan secara farmakologi akan
mensekresi mediator aktif seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin.
Mediator ini berada di sekitar sel dan berpotensi menyebabkan kerusakan
jaringan.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase
cepat dan fase lambat.
a. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi hipersensitivitas
yang terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang masuk. Reaksi ini dapat
bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.
b. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat. Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata mast

8
cell masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti
bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase

9
cepat. Mast cell dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang
menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari
mast cell tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan
sel radang.
Contoh dari reaksi hipersensivitas tipe I adalah alergi asma, alergi
konjungtivis, alergi rinitis (hay fever), anafilaksis, dan urtikaria (hives).
2. Reaksi Hipersensivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik.
Reaksi sitotoksik diawali dengan antibodi yang berikatan dengan antigen di
permukaan sel untuk melisiskan sel.
Antibodi dibentuk dan dimaturasi di primary limphoid organs (thymus
untuk sel T dan bone marrow untuk sel B). Proses pembentukan dan maturasi ini
tidak selalu sempurna. Kadang, sel B yang reaktif (auto-reactive B-cell) “kabur”
dan menyerang jaringan sehat, seperti pada penyakit auto-imun.
Sel B yang reaktif akan teraktivasi dan memproduksi IgM atau (dengan
bantuan CD4+ T-helper cells) membentuk IgG. Antibodi ini (IgM atau IgG) akan
menyerang antigen intrinsik (antigen yang dibuat tubuh secara normal) dan
antigen ekstrinsik (antigen yang berikatan dengan sel tubuh manusia, seperti pada
penisilin).
Antibodi ini akan berikatan dengan antigen pada permukaan sel dan
membentuk antigent-antibody complexs. Ikatan ini menguntungkan jika terjadi
pada suatu infeksi tapi akan menjadi masalah jika berikatan dengan host tissue.
Mekanisme hipersensivitas tipe 2 beberapa macam, di antaranya:
a. Complement System. Saat antibodi berikatan dengan antigen di permukaan
host tissue, mereka akan mengaktifkan complement protein yang akan membunuh
host tissue.
Proses ini diawali dengan berikatnya C1 (complement protein) dengan Fc
receptor yang ada di antibodi. C1 lalu mengikutsertakan complement protein yang
lain; C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, dan C9. Beberapa complement protein
diaktivasi dengan cara “dipotong” oleh enzim. Potongan complement protein C3a,
C4a, dan C5a bersifat chemotactic (mampu mengikat sel tertentu, dalam kasus ini
neutrophil).

10
Saat neutrophil berikatan dengan antigen dan antibodi yang ada di
permukaan sel, neutrophil akan men-dregranulasi dan mengeluarkan berbagai
enzim. Enzim ini bersifat sangat sitotosik dan mampu menghancurkan jaringan.
b. Antibody Dependent Cell Mediated Cytotoxicity (ADCC). Pada ADCC,
antigent-antibody complexs dikenali oleh natural killer-cell (NK-cell). NK-cell
mengenali keberadaan antibodi melalui Fc receptor dan melepaskan granul-granul
beracun. Granul-granul ini mengandung perforins yang akan membentuk lubang-
lubang pada sel. Lubang-lubang ini membuat enzim bernama granzymes dan
granulysin masuk dan menyebabkan sel mati.
Contoh reaksi hipersensivitas tipe II ini adalah distruksi sel darah merah
akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan
jaringan pada penyakit auto-imun.

3. Reaksi Hipersensivitas Tipe III


Reaksi hipersensivitas tipe III terjadi saat antigen-antibody complexes
tersimpan di dinding-dinding pembuluh darah, lalu menyebabkan inflamasi dan
kerusakan jaringan.
Mekansime hipersensivitas tipe 3 dimediasi oleh kompleks imun.
Antibiodi atau imunoglobulin diproduksi oleh sel plasma; tempat dimaturasi dan
didiferensiasinya sel B. Sel ini membentuk IgM yang disekresikan oleh
permukaan sel plasma dan bertindak sebagai B-cell receptor. Saat antigen datang
ke sel B, dengan bantuan T helper cells (yang mengeluarkan sitokin), sel B akan
teraktivasi.
Pada hipersensivits tipe 3, sel B tidak memproduksi IgM tetapi IgG.
Antigen pada tubuh manusia ada yang mengalir di darah dan soluble (larut), tapi
beberapa berikatan dengan permukaan sel (baca: hipersensivitas tipe 2).
Imun kompleks terbentuk saat antibodi berikatan dengan antigen yang
soluble. Antibodi berikatan dengan antigen, membentuk antigen-antibody
complexes, yang tersimpan dalam darah dan berbagai jaringan (umumnya kulit,
ginjal, dan sendi). Antigen-antibody complexes ini memicu sistem imun untuk
mengeliminasi sel yang mengandung substansi asing.

11
Tahap-tahap hipersensivitas ini adalah ikatan antara antigen dengan anti
bodi. Kompleks ikatan ini bisa berbentuk pertikel besar yang dengan mudah
mampu “dibersihkan” oleh tubuh. Jika tubuh tidak mampu membersihkan, maka
kompleks ini akan menyebar dan tersimpan pada darah dan berbagai jaringan
tubuh. Reaksi membutuhkan waktu berjam-jam hinga berhari-hari.
Komplek ini akan mengaktifkan PMNs (polymorphonuclear neutrophils
atau polymorphonuclear leukocytes [PML]). PMNs akan mengeluarkan enzim
perusak jaringan. Kerusakan jaringan ada pada penyakit sistem imun seperti kusta.
Kerusakan jaringan akibat keberadaan kompleks ini menyebabkan mediator
inflamasi keluar.
Pada keadaan normal, kompleks imun dalam sirkulasi diangkut eritrosit ke
hati dan limpa lalu dihancurkan oleh fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa
dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya, kompleks yang besar dapat
dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil
dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam
sirkulasi. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu
yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks
imun tersebut mengendap di jaringan.
Penyakit oleh kompleks imun
Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme Manifestasi
klinopatologi
Lupus DNA, Inflamasi diperantarai Nefritis,
eritematosus nukleoprotein komlplemen dan reseptor vaskulitis, artritis
Fc
Poliarteritis Antigen permukaan Inflamasi diperantarai Vaskulitis
nodosa virus hepatitis B komplemen dan reseptor
Fc
Glomreulonefriti Antigen dinding sel Inflamasi diperantarai nefritis
s post- streptokokus komplemen dan reseptor
streptokokus Fc

12
4. Reaksi Hipersensivitas Tipe IV
Reaksi hipersensivitas tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat,
dimediasi oleh sel T limfosit (atau sel T). Sel T dimaturasi di tymus.
Dua tipe sel T yang menyebabkan hipersensivitas tipe 4 adalah CD8+ T-
cells (dikenal juga dengan killer T-cells atau cytotoxic T-cells) dan CD4+ T cells
(helper T-cells). Killer T-cells datang ke spefisik target dan membunuh antigen.
Sedangkan helper T-cells melepaskan sitokin (protein yang mampu menstimulasi
atau menghambat kerja sel lain). Helper T-cells bertindak sebagai “jendral” yang
mengkoordinasi sel imun di sekitar mereka.
Reaksi terjadi karena sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya
akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin.
Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas
yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya
sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat memicu reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing
mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia
yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai
carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang
terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya
infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel
yang mengandung antigen itu (sel target).
Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini
ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberkulosis, lepra), infeksi
oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis)
dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).
2.7 Terapi Hipersensivitas
Terapi hipersensivitas bisa dilakukan dengan mencegah ikatan antara
histamin dengan reseptor histamin (anti-histamin) atau meringankan gejala
hipersisivitas (vasopresor, bronkodilator, dan kortikosteroid).

13
2.7.1 Antihistamin
Antihistamin tersedia dalam berbagai sediaan seperti tablet, kapsul, krim,
cairan, obat mata, dan lainnya tergantung bagian tubuh mana yang terkena
dampak alergi.
Sederhananya, antihistamin bekerja dengan menghambat ikatan antara
histamin dengan reseptornya.
a. Antihistamin H1
AH1 (Antihistammin 1) dibagi menjadi dua generasi; generasi pertama
dan generasi kedua.Generasi pertama masih umum digunakan karena efektif dan
tidak mahal. Sebagaian besar obat ini mampu menembus SSP (Sistem Saraf
Pusat) sehingga menimbulkan efek sedatif. Lebih jauh, obat ini berikatan dengan
reseptor lain dan menyebabkan banyak efek samping yang tidak diinginkan.
Contoh obat generasi pertama adalah Brompheniramine,
Chlorpheniramine, Clemastine, dan Cyclizine.
Pada generasi kedua, obat berikatan dengan reseptor khusus H1. Sebab
obat generasi ini polar (umumnya dibuat dengan menambahkan gugus karboksil,
maka obat generasi kedua tidak menembus blood-brain barrier dan menyebabkan
efek sedatif yang lebih minimal dibandingkan generasi pertama. Di antara banyak
obat generasi kedua, desloratadine, fexofenadine, dan loratadine menunjukkan
efek sedatif paling minimal.
Contoh obat generasi kedua adalah Cetirizine, Desloratadine,
Fexofenadine, dan Levocetirizine.
Obat ini tidak mempengaruhi pembentukan atau pelepasan histamin tetapi
memblokir reseptor target yang ada pada jaringan. Antihistamin lebih efektif
untuk mencegah gejala.
Sebagian besar dari antihistamin 1 memiliki efek lain yang tidak ada
kaitannya dengan kemampuan mereka memblokir reseptor H1. Efek ini adalah
antihistamin 1 yang juga berikatan dengan reseptor cholinergic, adrenergic, atau
serotonin.
Maksimal level serum pada oral AH1 adalah 1-2 jam. Half-life-nya adalah
4-6 jam, kecuali untuk generasi kedua yaitu sekitar 12-24 jam. Generasi AH1
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk SSP. Setelah konsumsi dosis

14
tunggal, onset terjadi dalam 1-3 jam.Durasi aksi pada banyak AH oral adalah 24
jam.
Sedatif adalah efek samping utama pada generasi pertama antihistamin H1
seperti chlorpheniramine,diphenhydramine, hydroxyzine, dan promethazine.Hal
ini sebab mereka berikatan dengan reseptor H1 untuk memblokir efek
neurotransmiter dari histamin di otak.
Efek sedatif berkurang pada obat generasi kedua sebab obat ini tidak
masuk ke SSP. Obat generasi ke-2 spesifik berikatan dengan reseptor H1.
Interaksi antara AH1 dengan obat lain seperti alkohol bisa menyebabkan
efek samping berbahaya. Pasien yang mengonsumsi monoamine oxidase
inhibitors (MAOIs) tidak boleh mengonsumsi antihistamin sebab MAOIs bisa
berubah menjadi anticholinergic.
Meski ambang batas AH1 cukup tinggi dan toksisitas kronis jarang terjadi,
tapi keracunan akut umum terjadi terutama pada anak-anak. Efek paling umum
dan berbahaya adalah yang terjadi pada SSP: halusinasi, ataxia, dan sawan. Jika
tidak ditangani, pasien akan koma dan sistem kardiovaskularnya akan rusak.
b. Antihistamin H2
Semua antihistamin H2 mengatasi tukak lambung dan duodenum dengan
cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat penghambatan reseptor H2.
Obat ini juga bisa digunakan untuk mengatasi gejala refluks gastroesofagus
(GERD).
Contoh obat dari AH2 adalah famotidin, ranitidin Hcl, dan nizatidin.
Penggunaan obat ini pada pasien dengan gangguan ginjal, kehamilan,dan
menyusui harus hati-hati. AH2 mampu menutupi gejala kanker lambung, oleh
sebab itu perlu diberikan perhatian khusus pada pasien yang setengah baya atau
tua.
Efek samping yang timbul adalah diare dan gangguan cerna lainnya, sakit
kepala, ruam, dan letih. Efek samping yang jarang adalah depresi, rasa bingung,
pankreatitis akut, dan bradikardi.
2.7.2 Vasopressor
Vasopressor adalah kelas obat yang menstimulasi vasokontriksi dan
meningkatkan mean arterial pressure (MAP).

15
Epinephrine (adrenalin) adalah pengobatan pertama yang harus diberikan
untuk memberikan efek vasokontriksi dan meningkatkan vasopermeabilitas pada
anafilaksis. Sebab adrenalin akan dihancurkan oleh enzim di lambung jika ditelan,
maka adrenalin diberikan dengan cara injeksi. Pemberian adrenalin dilakukan di
paha tengah bagian luar dengan cara intramuscular.
Adrenalin adalah hormon yang dikeluarkan tubuh untuk merespons stres.
Ketika disuntikkan, adrenalin dengan cepat membalik efek anafilaksis dengan
mengurangi pembengkakan pada tenggorokan, membuka saluran pernapasan, dan
mempertahankan fungsi jantung, dan mengatur tekanan darah.
Saat anafilaksis dicurigai sedang terjadi, pemberian adrenalin jauh lebih
tidak berbahaya dibandingkan sama sekali tidak diberikan.
Efek samping pemberian adrenalin adalah meningkatnya detak jantung,
gemetar, dan pucat. Oleh sebab itu, beberapa orang mungkin tetap tampak sakit
meski sudah diberikan injeksi adrenalin. Pemberian adrenalin mungkin terasa
sakit, tapi hal ini lebih baik karena pemberian adrenalin mampu menyelamatkan
hidup.
2.7.3 Bronkodilator
Bronkodilator inhalasi adalah beta-agonis yang mampu bekerja jangka
pendek dan jangka panjang. Bronkodilator kerja pendek (seperti albuterol)
digunakan untuk merawat bronchospasm akut. Bronkodilator jangka panjang
(seperti selmeterol) bisa digunakan dua kali sehari dengan kombinasi
glucocorticoids inhalasi. Bronkodilator jangka panjang tidak direkomendasikan
sebagai terapi tunggal dan penggunaannya sering dihubungkan dengan asma yang
berakhir dengan kematian.
Otot saluran pernapasan memiliki adrenergic nerve fibres, tapi memiliki
banyak β2‐receptors, stimulasi pada reseptor ini akan menyebabkan
bronkodilatasi. Conth obatnya adalah salbutamol, terbutaline, dan salmeterol.
Efek samping obat yang bekerja pada β2‐receptors adalah gemetar, gugup,
dan tachycardia, tapi hal ini umumnya tidak bermasalah jika obat diberikan
dengan inhalasi. Pemberian oral biasanya dibatasi, hanya digunakan pada anak-
anak atau pasien yang tidak bisa menggunakan aerosol.

16
2.7.4 Kortikosteroid
Agen immunosupressing, seperti kortikosteroid, mampu menurunkan
inflamasi. Kortikosteroid efektif untuk skin eruption dan bronchospasm.
Beberapa bentuk sediaan kortikosteroid seperti oral, intravena, dan topikal
tersedia. Kortikosteroid inhalasi adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk
mengontrol inflamasi pada saluran bronkus dan nasal mucosa. Steroid efektif
meningkatkan ukuran saluran pernapasan pada asma dengan mengurangi
inflamasi pada bronkus.
Pemberian steroid oral diketahui memiliki banyak efek samping, tapi,
kecuali untuk dosis tinggi, hal ini bisa dihindari dengan memberikan steroid
aerosol (contoh beclometasone). Steroid inhalasi biasanya efektif dalam 3-7 hari,
tapi steroid oral mungkin dibutuhkan jika terapi lain gagal.
Steroid nasal sprays (contoh beclometasone dan budesonide) sangat
efektif untuk hay fever dan sangat berguna pada pasien nasal congestion yang
tidak sembuh dengan pengobatan antihistamin.

17
BAB III
PENUTUPAN

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana


tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non-imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya.
Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Beberapa alergen adalah serbuk sari, debu, dan makanan tertentu bahkan obat
tertentu. Mediator hipersensivitas utamanya adalah histamin.Untuk mencegah
gejala hipersensivitas maka disarankan mengonsumsi obat antihistamin. Untuk
mengurangi gejala hipersensivitas disarankan mengonsumsi obat vassopressor,
bronkodilator, atau kortikosteroid.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://www.fda.gov/food/guidanceregulation/guidancedocumentsregulatoryinfo
mation/allergens/ucm106108.htm
https://emedicine.medscape.com/article/136217-overview#a4
https://www.immunopaedia.org.za/immunology/archive/type-i-iv
hypersensitivity-reactions/immune-complex-formation/hypersensitivity
reactions/
pionas.pom.go.id/ioni/bab-1-sistem-saluran-cerna-0/13-antitukak/131-antagonis
reseptor-h2
https://emedicine.medscape.com/article/136118-overview
https://www.webmd.com/allergies/what-are-histamines
https://www.allergy.org.au/patients/allergy-treatment/adrenaline-for-severe
allergies

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/drug-allergy/symptoms
causes/syc-20371835
https://www.webmd.com/allergies/most-common-drugs-that-cause-allergies

19

Anda mungkin juga menyukai