Anda di halaman 1dari 59

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

Fasilitator: Harmayetty S.Kp., M.Kes


Disusun oleh : Kelompok 4
Kelas A2

Zakiah Nur Suraya 131111007


Rifa Aprillia C 131111022
Trihaningsih Puji Astuti 131111032
Akub Selvia 131111053
Pina Primawati 131111070
Made Mahaguna Putra 131111087
Amaliya Bukhori 131111102
Mukhamad Ivan Fauzan 131111116

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Acute Respiratory Distress
Syndrome”.
Adapun pembuatan makalah ini dilakukan sebagai pemenuhan nilai tugas dari
mata kuliah Keperawatan Muskuloskeletal II. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1. Harmayetty S.Kp., M.Kes. selaku Fasilitator kelompok 4 kelas A-2
Keperawatan Kritis, dan
2. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.Akan
tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Segala kritik,
koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan
di masa mendatang. Terima kasih.

Surabaya, September 2014

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….. 1


1.2 Tujuan……………………………………………………………………… 2
1.3 Manfaat……………………………………………………………………. 2
BAB 2 TINJAUAN TEORI ARDS
2.1 STATUS ASMATIKUS
2.1.1 Definisi…………………………………………………………………. 4
2.1.2 Etiologi…...…………………………………………………………….. 4
2.1.3 Patofisiologi……………………………………………………….……. 6
2.1.4 Manifestasi klinis……………………………………………………….. 7
2.1.5 Komplikasi…..………………………………………………………….. 8
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik...………………………………………………. 9
2.1.7 Penatalaksanaan...……………………………………………………….. 10
2.1.8 Prognosis……......……………………………………………………….. 11
2.2 CORPUS ALIENUM
2.2.1 Definisi…………………………………………………………………. 13
2.2.2 Etiologi…...…………………………………………………………….. 14
2.2.3 Patofisiologi……………………………………………………….……. 15
2.2.4 Manifestasi klinis……………………………………………………….. 15
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik..……………………………………………….. 16
2.2.6 Penatalaksanaan…...….....………………………………………………. 16
2.2.7 Komplikasi……...……………………………………………………….. 17
2.2.8 Prognosis……......……………………………………………………….. 18
2.3 ARDS
2.3.1 Definisi…………………………………………………………………. 20
2.3.2 Etiologi…...…………………………………………………………….. 20
2.3.3 Patofisiologi……………………………………………………….……. 22
2.3.4 Manifestasi klinis……………………………………………………….. 24

iii
2.3.5 Komplikasi…..………………………………………………………….. 27
2.3.6 Pemeriksaan Diagnostik...………………………………………………. 27
2.3.7 Penatalaksanaan...……………………………………………………….. 31
2.3.8 Prognosis……......……………………………………………………….. 34
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Asuhan Keperawatan Umum ARDS………………………………………. 36
3.2 Asuhan Keperawatan Kasus ARDS……………………………………….. 43
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………….. 49
4.2 Saran……………………………………………………………………… 49
Daftar Pustaka………………………………………………………………… 50
LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak
berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih
dari 24 jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan,
penyalahgunaan nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan iritan
nonspesifik dapat menunjang episode ini. Episode akut mungkin dicetuskan
oleh hipersensitivitas terhadap penisilin (Smeltzer & Bare, 2002).
Berdasarkan sebuah penelitian mengenai ventilasipada asma, didapatkan
angkamortalitas pasien status asmatikus sebanyak0% hingga 38% (rata-
rata13%). Data di Amerika menunjukkan peningkatan jumlah pasien rawat
inap dan diintubasi dengan status asmatikus dengan kenaikan 31% pasien
yang mengalami kematianatau sekitar 4.360 kematian yang dilaporkan.
Sedangkan, Corpus alienum pada jalan nafas merupakan terdapatnya
sebuah benda asing yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh yang
dalam keadaan normal tidak ada pada saluran nafas. Benda asing yang berasal
dari luar tubuh dapat berupa tulang, makanan, cairan yang iritatif, sedangkan
benda asing yang dari dalam tubuh yakni secret kental, darah, bekuan darah,
nanah yang masuk dalam saluran nafas.Gejala dari masuknya benda asing ke
dalam saluran nafas ditunjukkan dengan batuk hebat secara tiba-tiba,
sumbatan di tenggorokan, gagap dan menjadi obstruksi jalan nafas.Jika benda
asing tersebut menyumbat di laring maka dapat menimbulkan kematian
akibat gagal nafas.Sekitar 80% dari kasus corpus alienum yang dilaporkan
terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun. Aspirasi benda asing dapat menjadi
kondisi yang mengancam jiwa jika objek yang masuk cukup besar untuk
menyebabkan obstruksi jalan napas total. Di Amerika Serikat, sekitar 500-
2000 kematian terjadi setiap tahun akibat aspirasi benda asing. (Mahmoud,
2012).

1
Kedua, kondisi di atas merupakan salah satu pencetus terjadinya
kondisi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah kondisi kedaruratan paru
yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat. Kasus ini biasanya
terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan atau
trauma pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal. Gejala
ARDSmuncul dalam waktu12-24jamsetelah kejadian.Pada sebuah studi
observasional didapatkan dari 2.451pasien yangterdaftar
diARDSNetdengan percobaan acakditemukanpenurunanangka
kematiansebanyak 26-35% antara tahun 1996dan 2005.Pada 90% kasus,
pasienARDSbaru diintubasisetelah 72jam kejadian. Angka kematian
pasien ARDS di ICU sekitar 37% dan secara keseluruhan
sekitar42%.Prognosis pasien ARDS akan baik pada pasien yang mampu
bertahan hidupdengan sindrom gangguan pernapasan akutpada2 minggu
pertama, pasien usiadi bawah 55tahun, dan pasien dengan traumayang
berhubungan dengansindrom gangguan pernapasan akut.

1.2 Tujuan
Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Kritis mahasiswa
mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan kegawatan
sistem pernapasan secara komperhensif.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi kegawatan sistem pernapasan.
2. Mengetahui dan memahami etiologi kegawatan sistem pernapasan.
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi kegawatan sistem
pernapasan.
4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis kegawatan sistem
pernapasan.
5. Mengetahui dan memahami komplikasi dari kegawatan sistem
pernapasan.

2
6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik kegawatan
sistem pernapasan.
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari kegawatan sistem
pernapasan.
8. Mengetahui dan memahami prognosis dari kegawatan pernapasan.
9. Mengetahui dan memahami WOC dari kegawatan sistem
pernapasan.
10. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada pasien kegawatan sistem
pernapasan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STATUS ASMATIKUS


2.1.1 Definisi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan
oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast, eosinofil, dan
limfosit-T terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea,
wheezing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel
dan terjadi secara episodik berulang (Brunner & Suddarth, 2001).

Gambar 2.1Kondisi Jalan Nafas Pada Pasien Normal Dan Asma

2.1.2 Etiologi
Menurut Lewis et al. (2000) pemicu asma secara umum adalah:
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.

4
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-
buahan dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan
obat-obatan (seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E
jelas merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk
tanaman atau bulu binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E
pada sel mast sehingga pemaparan terhadap faktor pencetus alergen
ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast
seperti histamin dan protease sehingga berakibat respon alergen
berupa asma.
2. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat
diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai
Exercise Induced Asthma (EIA) yang biasanya terjadi beberapa saat
setelah latihan.misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun naik
tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas pendek,
batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan pemanasan
selama 2-3 menit sebelum latihan.
3. Infeksi bakteri pada saluran napas
Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan
eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi
pada sistem trakeo bronkial dan mengubah mekanisme mukosilia. Oleh
karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem bronkial.
4. Stres
Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita
diberikan motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya, karena jika
stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
5. Gangguan pada sinus

5
Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus,
misalnya rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini
menyebabkan inflamasi membran mukus.

2.1.3 Patofisiologi
Asma ditandai dengan konstriksi spastik dari otot polos bronkiolus yang
menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi
yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang
alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal. Pada asma, antibodi ini
terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus. Bila seseorang terpapar
alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi
dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat
anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor
kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini
akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus maupun sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos
bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi
paksa menekan bagian luar bronkiolus. Bronkiolus sudah tersumbat
sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal
yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat
tetapi hanya sekali-sekali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan
dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat
meningkat selama serangan asma akibat kesulitan mengeluarkan udara
ekspirasi dari paru. Hal in dapat menyebabkan barrel chest (Lewis et al.,
2000).

6
Asma terjadi karena penderita asma telah mengembangkan tingkat
kedalaman pernapasan yang jauh melebihi yang seharusnya, dan tubuh
penderita mengkompensasinya dengan langkah-langkah defensif untuk
memaksa penderita agar dapat mengurangi frekuensi pernapasannya. Hal ini
menyebabkan restriksi saluran napas dan peningkatan mucus. Rata-rata
penderita asma bernapas 3-5 kali lebih sering dan lebih cepat dibandingkan
yang normal (Dupler, 2005).
Sindrom hiperventilasi adalah keadaan dimana dalam keadaan santai
dapat menyebabkan rasa pusing dan kadang-kadang pingsan. Dahulu, hal ini
dikaitkan dengan penurunan saturasi oksigen. Namun, bila berdasarkan efek
Bohr, hal itu disebabkan oleh ketidakseimbangan rasio antara kada karbon
dioksida dengan kadar oksigen dalam darah yang mempengaruhi pelepasan
atau penahanan oksigen dari darah.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Status asmatikus merupakan asma berat yang berlangsung lebih dari
24 jam dan tidak memberikan respon terhadap terapi pengobatan. Terjadi
dua masalah patologi yang sering dijumpai dari penyakit ini yaitu:
penurunan diameter bronkus dan abnormal perfusi-ventilasi. Berikut
merupakan manifestasi klinis dari status asmatikus:
a. Sama seperti yang terjadi pada asma berat
b. Tidak ada hubungannya antara keparahan serangan dengan seringnya
mengi.
c. Dengan obstruksi makin besar, mengi akan semakin menghilang:
sehingga muncul tanda gagal nafas selanjutnya (Boughman & Hackly,
2000).
d. Pada pasien dengan status asmatikus biasanya muncul batuk, wheezing
dan dispnea. Jika serangan asma terjadi terus-menerus maka akan
terjadi takipnea, takikardia, diaphoresis, peningkatan penggunaan otot-
otot aksesori serta pulsus paradoxus lebih dari 25 mmHg. Penurunan

7
kesadaran, ketidak mampuan untuk berbicara dan bahkan suara nafas
bisa melemah atau sampai dengan berhenti. Perkusi diding dada
terdengar hipersonan karena terjadinya hiperventilasi pada alveolar

Gambar 2.2Perkusi dinding dada menjadi hipersonan karena adanya


hiperventilasi pada alveoli
Berikut tanda-tanda kemungkinan adanya ancaman keselamatan jiwa
dan tanda-tanda ancaman jiwa:
Tanda adanya kemungkinan ancaman jiwa adalah:
a. Tidak mampu menyelesaikan satu kalimat lengkap dalam satu
tarikan nafas.
b. Tidak mampu berdiri dari posisi duduk
c. Takipnea (RR>25 per menit)
d. Detak jantung menetap pada >110 per menit
e. PEF <40%dari prediksi
f. Pulsus paradoksus >18 mmHg
Tanda ancaman jiwa adalah:
a. Pada auskultas ditemukan silent chest
b. Sianosis
c. Bradikardia
d. Kesadaran menurun dastis (Djojodibroto, 2009).

8
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi status asmatikus dapat mencakup hal berikut:
a. Henti jantung
b. Gagal napas atau henti nafas
c. Hipoksemia sistem saraf pusat
d. Pneumotoraks atau cidera pneumomediastinum
e. Toksisitas dari obat pneumotoraks
Pneumothoraks dapat mempersulit asma akut karena dapat
meningkatnya tekanan saluran udara.Pasien yang diintubasi,
memungkinkan terkena infeksi akibat dari tindakan intubasi itu
sendiri.Pasien mungkin memerlukan WSD untuk pneumothorax atau
terapi antibiotik yang agresif untuk infeksi yang diderita (Saadeh,
2014).

2.1.6 Pemeriksaan diagnostik


a. Pemeriksaan gas darah
Pemeriksaan BGA (Blood Gas Analysis) awal akan menunjukan indikasi
terjadinya hipokapnea dan alkaosis respiratori. Jika serangan asma
menyerang terus menerus maka akan terjadi kelemahan, hipoksemia dan
hiperkapnea. Asidosis asam laktat mungkin terjadi karena hasil berlebih
asam laktat dari otot nafas. Hasil akhir dari perkembangan penyakit adalah
asidosis metabolik.
b. Spirometri
Spirometri dapat berguna untuk menilai tingkat keparahan penyakit.
Penurunan Forced Expiratoru Volume (FEV1), memiliki telah terbukti
berkorelasi dengan baik dengan tingkat obstruksi jalan napas dan
hipoksemia pada status asmatikus. Jika Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)
kurang dari 40% dari prediksi atau Forced Expiratoru Volume (FEV1)
kurang dari 20% dari prediksi maka mengindikasikan terjadinya obstrksi
jalan nafas beratdan membutuhkan intubasi dengan intubasi mekanik.
c. Foto Rontgen Dada

9
Sebuah rontgen dada digunakan untuk menentukan sejauh mana kaitan
penyakit asma dan kerusakan parenkim serta untuk menyingkirkan diagnosa
lain (misalnya ada benda asing yang menyusup). Hiperinflasi dan penebalan
peribronchial merupakan temuan umum.

Gambar 2.3Gambaran Foto Thorax Pada Pasien Anak Dengan Asma

d. Tes Laboratorium
Tes laboratorium mengevaluasi tingkat asidosis dan potensi infeksi yang
mungkin terjadi pada pasien.

2.1.7 Penatalaksanaan
a. Managemen medis
Managemen medis status asmatikus adalah dengan langsung memberikan
bantuan oksigen dan ventilasi. Pemberian bronkodilator, kortikosteroid,
terapi oksigen dan intubasi serta ventilasi mekanik adalah terapi utama.
1) Bronkodilator
Beta 2- agonis dan antikolenergis merupakan pilihan bronkodilator
yang biasanya digunakan untuk pengobatan status asmatikus. Biasanya
besar dan frequensi penggunaan obat akan disesuaikan dengan respon

10
yang diberikan oleh pasien. Antikolinergis yang menangani terjadinya
bronkokonstriksi tidak cukup efektif jika tidak dikombinasi dengan
Beta-2 agonis.
2) Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid oral ataupun intrevena sering pula
digunakan dalam pengobatan status asmatikus. Kandungan
antiinflamatori didalamnya dapat mengurangi edema mukosa dan
mengurangi produksi mukus, sekitar 6-8 jam efek pengobatan ini akan
didapatkan.
3) Terapi oksigen
Terepai awal dari hipoksia adalah dengan menggunakan oksigen,
oksigen dengan aliran tinggi akan diberikan pada pasien dengan tujuan
menjaga level SpO2 lebih besar dari 92%.
4) Intubasi dan ventilasi mekanik
Indikasi pemberian tindakan ini adalah ketika terjadi cardiac atau
respiratory arrest, disorientasi, kegagalan respon pada terapi
bronkodilator, dan terjadinya exhaution.
b. Managemen Keperawatan
Managemen keperawatan pada pasien dengan status asmatikus antara lain
adalah, optimalisasi tindakan oksigenasi dan ventilasi, memberikan
dukungan emosional dan memberikan kenyamanan, memberikan health
education serta menjaga agar tidak terjadi komplikasi lanjutan dari status
asmatikus.

2.1.8 Prognosis
Berdasarkan sebuah penelitian mengenai ventilasipada asma, didapatkan
angka mortalitas pasien status asmatikus sebanyak0% hingga 38% (rata-
rata13%). Data di Amerika menunjukkan peningkatan jumlah pasien rawat
inap dan diintubasi dengan status asmatikus dengan kenaikan 31% pasien
yang mengalami kematian atau sekitar 4.360 kematian yang dilaporkan.
Meskipun data Kanada menunjukkan kenaikan serupa dalam insiden dan
penerimaan pasien status asmatikus di rumah sakit, kenaikan angka

11
kematian tampaknya telah stabil yaitu sekitar 500 kematian per tahun. Studi
populasi menunjukkan bahwa lansia, etnis kulit hitam, status sosial ekonomi
yang buruk, dan masalah psikologis merupakan faktor risiko untuk
memperburuk prognosis pasien dengan status asmatikus. Faktor terkait yang
berisiko untuk memperberat asma meliputi serangan berat sebelumnya
(yaitu intubasi sebelumnya atau asidosis respiratorik tanpa intubasi), pernah
hingga dirawat di rumah sakit, dan penggunaan steroid. (Hooper, 2008).

12
2.2 CORPUS ALENIUM
2.2.1 Definisi
Menurut Lemone and Burke, corpus alienum pada jalan nafas adalah
benda asing yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh yang dalam
keadaan normal tidak ada pada saluran nafas.Benda asing pada saluran
napas dapat terjadi pada semua umur terutama anak-anak karena anak-anak
sering memasukkan benda ke dalam mulutnya bahkan sering bermain atau
menangis pada waktu makan. Sekitar 70% kejadian aspirasi benda asing
terjadi pada anak berumur kurang dari 3 tahun. Hal ini terjadi karena anak
seumur itu sering tidak terawasi, lebih aktif, dan cenderung memasukkan
benda apapun ke dalam mulutnya.
Sumbatan jalan napas dapat diklasifikasikan menjadi dua (Suwondo
dkk 2001):
1. Sumbatan total laring
Sumbatan total laring dapat terjadi karena benda asing yang
teraspirasi tersangkut di laring dan menutup seluruh rimaglotis.
Keluhan dan gejala yang timbul berupa serangan tiba-tiba segera
setelah terjadi aspirasi. Penderita gelisah dan memegang lehernya
dengan jarinya (v-sign). Suara menghilang (afoni) dan sukar bernapas
(dyspnea sampai apnea). Tidak lama kemudian terlihat wajah penerita
menjadi biru (sianosis).
2. Sumbatan parsial laring
Benda asing yang terdapat di laring akan menyebabkan keluhan
sumbatan saluran pernapasan berupa batuk tiba-tiba, suara sesak, dan
sesak napas. Jika sumbatan ini berlangsung terus maka akan timbul
gejala tambahan yaitu stridor. Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala
sumbatan laring yang dibagi dalam empat stadium (Jackson‟s stadium):
Stadium I :cekungan sedikit pada inspirasi di daerah suprasternal,
kadang-kadang belum ada stridor.
Stadium II :cekungan di suprasternal dan epigastrum, stridor mulia
terdengar.

13
Stadium III :cekungan terdapat di suprasternal, epigastrum, intercostal
dan supraklavikula. Stridor jelas terdengar dan pasien
tampak gelisah.
Stadium IV:cekungan bertambah dalam, sianosis, pasien yang mula-
mula gelisah, mulai tampak bertambah lemah, dan
akhirnya diam dengan kesadaran menurun.

2.2.2 Etiologi
Obstruksi saluran napas atas dapat terjadi oleh beberapa sebab.
Obstruksi jalan napas akut biasanya disebabkan oleh partikel makanan,
muntahan, bekuan darah, atau partikel lain yang masuk dan mengobstruksi
laring atau trakea. Obstruksi saluran napas juga dapat terjadi akibat dari
adanya sekresi kental atau pembesaran jaringan pada dinding jalan napas,
seperti epiglottitis, edema laring, karsinoma laring, atau peritonsilar abses.
Pasien dengan penurunan kesadaran sangat beresiko mengalami obstruksi
jalan napas karena hilangnya reflek batuk, reflek menelan dan hilangnya
tonus otot faringeal yang menyebabkan lidah jatuh ke belakang (Suwondo
dkk 2001).
Obstruksi jalan napas atas yang bersifat akut biasanya disebabkan
oleh laringotrakeobronkitis (croup). Benda asing yang terhirup dan
epiglottitis merupakan penyebab yang lebih jarang dijumpai. Penyebab yang
lain amat jarang ditemukan (Lemone & Burke 1996)
Menurut Jnizaf (2008) ada beberapa kemungkina penyebab sumbatan
jalan napas. Sehingga beberapa cara yang berbeda dilakukan untuk
membersihkan jalan napas yang tersumbat. Penyebabnya meliputi:
1. Makanan kumpulan mucus, atau benda asing seperti gigi palsu parsial
yang teraspirasi. Makanan paling sering menjadi penyebab tersedak,
khususnya daging yang tidak dikuyah secara efektif
2. Keadaan tidak sadar atau kejang, yang menyebabkan lidah jatuh ke
belakang dan menyumbat jalan napas

14
3. Trauma berat pada hidung, mulut, atau leher yang menghasilkan bekuan
darah sehingga menyumbat jalan napas, khususnya pada korban tidak
sadar
4. Edema trakea akut akibat inhalasi asap, luka bakar pada wajah dan
leher, atau anafilaksis. Pada keadaan seperti ini, tindakan trakeostomi
sering diindikasikan.

2.2.3 Patofisiologi
Mula-mula benda asing yang teraspirasi dan tersangkut di laring dapat
menyebabkan sumbatan total atau parsial pada saluran pernapasan. Jenis
sumbatan ini bergantung ukuran, bentuk, dan posisi benda sing pada
rimaglotis. Kadang-kadang sentuhan benda asing pada pita suara
menyebabkan spasme laring sehingga benda asing tersebut terjepit di antara
kedua pita suara. (Suwondo dkk 2007).

2.2.4 Manifestasi Klinis


Corpus alienum dapat terjadi di laring, trakea, atau bronkus.Bronkus kanan
lebih sering terkena daripada kiri karena sudut yang lebih rendah dan karena
diameter yang lebih besar.Sedangkan benda asing yang lebih besar dapat
hanya bersarang di laring.Benda asing di laring dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
Gambaran klinis tergantung pada
1. Usia
2. Jenis objek yang masuk
3. Waktu sejak kejadian
4. Lokasi benda asing
Gejala yang paling umum dari aspirasi-benda asing batuk, tersedak, dan
wheezing. Demam, stridor, nyeri dada, dan tenggorokan atau
ketidaknyamanan sternum jarang terjadi. Benda asing Laryngotracheal
menghasilkan manifestasi batuk, stridor, suara serak, dan peningkatan upaya
pernapasan.Benda asing dalam laring juga dapat bermanifestasi dengan
gejala yang berhubungan dengan kerongkongan, seperti disfagia, tersedak,

15
atau ketidaknyamanan tenggorokan. Lebih rendah napas benda asing hadir
sebagai batuk, mengi, dan sesak napas; napas pemeriksaan mengungkapkan
penurunan suara di satu sisi

2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik


Pada kasus benda asing di saluran napas dapat dilakukan pemeriksaan
radiologis dan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda
asing yang bersifat radioopak dapat dibuat rongent foto segera setelah
kejadian, benda asing radiolusen dibuatkan rongent foto setelah 24 jam
kejadian, karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan gambaran
radiologis yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak tanda-tanda
atelektasis atau emfisema.
Video fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk melihat saluran
napas secara keseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi dan
inspirasi dan adanya obstruksi parsial. Pemeriksaan laboratorium darah
diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan keseimbangan asam basa,
serta tanda-tanda infeksi saluran napas.

2.2.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan adanya benda asing di saluran napas adalah dengan
segera mengeluarkan benda asing tersebut. Bila sumbatan total berlangsung lebih
lama dari lima menitpada orang dewasa atau delapan menit padaanak, maka terjadi
kerusakan pada jaringan otak dan jantung berhenti. Oleh karena itu, diperlukan
ketepatan dalam menegakkan diagnosis dan kecepatan dalam melakukan tindakan
pertolongan. Bila peristiwa ini terjadi dimana tidak ada peralatan laringoskopi
langsung, maka dapat dilakukan:
a. Perasat Heimlich (Heimlich maneuver)
Perasat Heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang
menyumbat laring secara total atau benda asing berukuran besar yang terletak
di hipofaring. Prinsip mekanisme perasat Heimlich adalah dengan
memberikan tekanan pada paru-paru.Pada perasat Heimlich lakukanlah
tekanan ke dalam dan keatas rongga perut sehingga menyebabkan diafragma
terdorong ke atas. Tenaga dorongan ini dapat dilakukan pada orang dewasa
dan juga pada anak.

16
b. Krikotirotomi
Krikotirotomi adlah tindakan life saving untuk mengatasi seumbatan jalan
napas di laring. Hal tersebut dilakukan dengan cara membuka membrane
krikotiroid secara cepat. Penderita dibaringkan terlentag dengan leher ekstensi.
Kartilago tiroid diraba, dibuat sayatan kulit tepat di bawahnya. Jaringan
dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah
kartilago tiroid terlihat tusukkan pisau dengan arah kebawah untuk
menghindari tersayatnya pita suara. Masukkan corong pipa plastik sebagai
ganti kanul.
c. Laringoskopi
Laringoskopi merupakan cara terbaik untuk mengeluarkan benda yang
tersangkut di laring. Oleh karena itu, bneda asing tersebut langsung dapat
dikeluarkan dengan bantuan cunam. Untuk tindakan ini penderita dirujuk ke
rumah sakit.
Hal yang perlu diperhatikan:
1. Pada klien sadar, batuk volunter menghasilkan aliran udara yg besar
dan dapat menghilangkan obstruksi.
2. Chest thrust hendaknya tidak digunakan pada klien yg mengalami
cedera dada, seperti flail chest, cardiac contusion, atau fraktur sternal
(Simon & Brenner, 1994).
3. Pada klien yg sedang hamil tua atau yg sangat obesitas, disarankan
dilakukan chest thrusts.
4. Posisi tangan yg tepat merupakan hal penting untuk menghindari cedera
pada organ-organ yang ada dibawahnya selama dilakukan chest thrust.
5. Back blow tidak direkomendasikan pada pasien diatas usia bayi.
6. Sapuan jari “membuta” harus dihindari pada bayi dan anak, sebab
kemungkinan dapat mendorong benda asing lebih kebelakang ke dalam
jalan napas.

2.2.7 Komplikasi
Komplikasi akibat aspirasi benda asing adalah infeksi paru, dimana
perjalanan penyakitnya berhubungan dengan adanya obstruksi baik parsial atau
total pada saluran nafas yang mengakibatkan peningkatan sekresi lendir dan
pertumbuhan bakteri. Telah banyak kasus dilaporkan bahwa anak-anak yang

17
dirawat karena pneumonia berulang atau abses paru kronik dengan penyebab awal
adalah aspirasi benda asing. Sehingga perlu dipikirkan aspirasi benda asing sebagai
etiologi pada infeksi paru kronik, bronkiektasis dan asma.Chic et al membagi
komplikasi corpus alienum jalan nafas menjadi 2, yaitu:
1. Komplikasi akibat aspirasi : Intrabronchial granuloma/granulation, mucosal
oedema, contact bleeding, pneumonia/parapneumonic pleural effusion,
respiratory failure
2. Komplikasi akibat bronkoskopi : Repeated bronchoscopy, laryngeal oedema
(received assisted ventilation).

2.2.8 Prognosis
Aspirasi benda asing ke dalam tubuh (corpus alienum) menyumbang
lebih dari 300 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat. Sekitar 80%
dari episode aspirasi benda asing terjadi pada anak-anak yang berusia
kurang dari 3 tahun dengan puncak insidensi antara satu dan dua tahun..
Sebagian besar anak-anak pada usia ini sedang belajar untuk
mengeksplorasi melalui rute oral dan cenderung meletakkan segala sesuatu
di dalam mulutnya. Terutama tidak adanya geraham/molar membuat anak-
anak tersebut tidak mampu mengunyah dengan baik sehingga meningkatkan
risiko terjadinya corpus alienum. Faktor predisposisi lainnya dapat meliputi
gangguan neurologis, seperti cerebral palsy, hilangnya kesadaran, dan
gangguan menelan. Selama masa bayi, angka kejadian orpus alienum antara
anak laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama. Namun setelah
bayi, anak laki-laki lebih beresiko mengalami aspirasi dibandingkan anak
perempuan, rasionya bervariasi dari 1,5 : 1 hingga 2.4 : 1. (Seth, 2007)
Sekitar 80% dari kasus corpus alienum yang dilaporkan terjadi pada
anak di bawah usia 15 tahun. Aspirasi benda asing dapat menjadi kondisi
yang mengancam jiwa jika objek yang masuk cukup besar untuk
menyebabkan obstruksi jalan napas total. Di Amerika Serikat, sekitar 500-
2000 kematian terjadi setiap tahun akibat aspirasi benda asing. (Mahmoud,
2012)
Foreign Body Aspiration (corpus alienum) merupakan penyebab
umum kematian dan kesakitan pada anak-anak, terutama pada anak yang

18
berusia kurang dari dua tahun. Selama tahun 2000, corpus alienum
bertanggung jawab atas lebih dari 17.000 kunjungan gawat darurat anak-
anak usia kurang dari 14 tahun di Amerika Serikat. Sebelum abad ke-20,
corpus alienum memiliki angka kematian sekitar 24%.Dengan
perkembangan teknik bronkoskopi modern, kematian telah menurun secara
dramatis.Meskipun demikian, di Amerika Serikat, corpus alienum
bertanggung jawab atas lebih dari 3500 kematian per tahun pada 2005-
2007.Sesak napas merupakan penyebab paling umum dari kematian pada
pasien corpus alienum di Amerika Serikat.(Ruiz, 2014).

19
2.3 ARDS
2.3.1 Definisi
ARDS terjadi ketika cairan yang menumpuk pada kantung udara
elastis (alveoli) di paru-paru. Cairan yang berlebih di paru-paru menandakan
kekurangan oksigen yang mencapai aliran darah. Hal tersebut membuat
organ-organ tubuh membutuhkan oksigen untuk berfungsi.ARDS biasanya
terjadi pada orang yang sudah sakit kritis atau yang memiliki cedera yang
signifikan. Sesak napas berat merupakan gejala utama dari ARDS, biasanya
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah penyakit
sebelumnya atau trauma.
Banyak orang yang mengalami ARDS tidak dapat bertahan hidup.
Risiko kematian meningkat dengan usia dan tingkat keparahan penyakit.
Penderita ARDS yang bertahan hidup, beberapa sembuh sepenuhnya,
sementara yang lain mengalami kerusakan yang menetap pada paru-paru
mereka.

2.3.2 Etiologi
ARDS dapat terjadi jika terdapat luka trauma atau peradangan ekstrim
yang menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil terutama pada
paru-paru. Akibatnya, paru-paru tidak dapat terisi udara secara optimal dan
tidak bisa mensuplai cukup oksigen ke dalam aliran darah. (American Lung
Association, 2014)
Menurut American Lung Association (2014) dan NHLBI (2012),
ARDS dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung pada
paru-paru. Penyebab kerusakan paru-paru tersebut diantaranya adalah :
1. Kondisi yang dapat secara langsung melukai paru-paru
a. Menghirup asapberbahaya atau bahan kimia beracun
b. Menghirup isi lambungketika muntah (aspirasi)
c. Hampir tenggelam
d. Pneumonia atau infeksi paru
e. Sindrom pernafasan akut parah (SARS)

20
f. Menggunakan ventilator karenapada kondisi dengan tekanan tertentu
ventilator dapat beresiko melukai paru-paru.
2. Kondisi yang secara tidak langsung dapat melukai paru-paru
a. Infeksi serius yang meluas ke dalam aliran darah (sepsis) atau
bakteremia
b. Overdosis obat
c. Menerima banyak transfusi darah
d. Postperfusion injury setelah cardiopulmonary bypass
e. Transplantasi paru-paru
f. Infeksi atau iritasi pada pankreas (pankreatitis)
g. Pendarahan hebat dari luka trauma (seperti kecelakaan mobil)
h. Cedera pada dada atau kepala berupa pukulan atau benturan hebat.
i. Emboli lemak yaitu suatu kondisi di mana terjadi blok lemak pada
arteri seperti pada cedera fisik patah tulang yang dapat menyebabkan
emboli lemak.
Kondisi yang paling sering dikaitkan dengan ARDS diantaranya
adalah sepsis, luka trauma, dan infeksi paru-paru seperti pneumonia. Namun
tidak semua orang yang memiliki kondisi tersebutselalu berkembang
menjadi ARDS. (American Lung Association, 2014)
Menurut Hadjiliadis, et al (2014) dan Harman et al (2014), faktor
resiko dari timbulnya ARDS adalah sebagai berikut :
a. Kegagalan sistem organ lain, seperti hati atau ginjal
b. Merokok
c. Riwayat alkoholisme kronis
d. Factor genetik
Sebuah studi oleh Glavan et al (2011) dalam Harman et al (2014),
meneliti hubungan antara variasi genetik pada gen FAS dan kerentanan
ARDS. Studi ini mengidentifikasi hubungan antara empat polimorfisme
nukleotida tunggal dan peningkatan kerentanan ARDS.

21
2.3.3 Patofisiologi
ARDS berhubungan dengan kerusakan difus alveolar (DAD) dan
cedera pada endotel kapiler paru-paru. Tahap awal digambarkan sebagai
eksudatif, sedangkan tahap selanjutnya adalah fibroproliferative dalam
karakter (Harman et al, 2014).
ARDS awal ditandai dengan peningkatan permeabilitas barrier dari
alveolar-kapiler, yang menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli.
Hambatan alveolar-kapiler dibentuk oleh endotelium mikrovaskuler dan
lapisan epitel alveoli sehingga mengakibatkan kerusakan baik pada endotel
vascular (misalnya akibat sepsis) maupun epitel alveolar (misalnya akibat
aspirasi isi lambung) yang akhirnya dapat mengakibatkan ARDS. Cedera
pada endothelium menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
masuknya cairan kaya protein ke dalam ruang alveolar. (Harman et al, 2014)
Cedera pada sel-sel lapisan alveolar juga memicu pembentukan edema
paru. Terdapat dua jenis sel epitel alveolar yaitu sel tipe I dan sel tipe II.
Pada sel tipe I berfungsi membentuk 90% dari epitel alveolar dan dapat
terluka dengan mudah. Kerusakan sel tipe I memungkinkan terjadinya
peningkatan masuknya cairan ke dalam alveoli dan penurunan clearance
cairan dari ruang alveolar. Sel tipe II epitel alveolar relatif lebih tahan
terhadap cedera dan memiliki beberapa fungsi penting termasuk produksi
surfaktan, transportasi ion, proliferasi dan diferensiasi menjadi sel tipe I
setelah terjadi cedera seluler. Kerusakan sel tipe II menyebabkan penurunan
produksi surfaktan sehinga memicu terjadinya kolaps alveolar yang
selanjutnya dapat menyebabkan timbulnya fibrosis. (Harman et al, 2014)
Neutrofil memiliki peran dalam patogenesis ARDS, berdasarkan
sebuah studi penelitian mengenai lavage bronchoalveolar (BAL) dan
spesimen biopsi paru-paru pada ARDS awal. Meskipun kaitan neutrofil
jelas pada sindrom ini, ARDS dapat berkembang pada pasien yang
menggunakan neutropenic dan infus granulocyte colony-stimulating factor
(G-CSF) dengan ventilator-associated pneumonia (VAP) namun hal ini
lebih bersifat reaktif bukan sebagai penyebab. (Harman et al, 2014)

22
Menurut Harman et al (2014), sitokin (tumor necrosis factor [TNF],
leukotrien, faktor penghambat makrofag, dan lain sebagainya) bersama
dengan platelet juga memiliki peran penting dalam perkembangan ARDS.
Ketidakseimbangan proinflamasi dan anti-inflamasi sitokin diperkirakan
terjadi setelah timbulnya sepsis. Bukti dari sebuah studi pada hewan
menunjukkan bahwa perkembangan ARDS dapat diperparah oleh positive
airway pressure yang menuju ke paru-paru dengan menggunakan ventilasi
mekanis. Hal ini disebut cedera paru ventilator-associated (Vali).
ARDS mengekspresikan dirinya sebagai proses homogen. Alveoli
yang relatif normal rentan menjadi overdistensi oleh volume tidal sehingga
dapat terjadi barotrauma (pneumotoraks dan udara interstitial). Alveoli yang
sudah rusak oleh ARDS dapat mengalami cedera lebih lanjut oleh proses
kerusakan yang dialami pada akhir ekspirasi dan reexpansion oleh tekanan
positif pada inspirasi berikutnya atau biasa disebut volutrauma. (Harman et
al, 2014)
Selain efek mekanis pada alveoli, kekuatan-kekuatan ini menyebabkan
sekresi sitokin proinflamasi sehingga berdampak pada memburuknya
peradangan dan terjadinya edema paru. Penggunaan tekanan positif akhir
ekspirasi (PEEP) untuk mengurangi kolaps alveolar, penggunaan volume
tidal yang rendah, dan level batas tekanan pengisian inspirasi tampaknya
bermanfaat dalam mengurangi Vali. (Harman et al, 2014)
ARDS menyebabkan peningkatan penanda dalam shunting
intrapulmonal sehingga terjadi hipoksemia berat. Meskipun FIO2 tinggi
diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi yang memadai pada jaringan
dan kehidupan, langkah-langkah tambahan terkait PEEP sering diperlukan.
Secara teoritis, tingkat FIO2 tinggi dapat menyebabkan DAD melalui
oksigen radikal bebas dan terkait stress oksidatif disebut toksisitas oksigen.
Umumnya, konsentrasi oksigen lebih tinggi dari 65% untuk periode
berkepanjangan (hari) dapat menyebabkan DAD, pembentukan membran
hialin, dan, akhirnya, fibrosis. (Harman et al, 2014)
ARDS seragam dengan hipertensi pulmonal. Vasokonstriksi arteri
pulmonalis mungkin memberikan kontribusi pada ketidakseimbangan

23
ventilasi-perfusi dan merupakan salah satu mekanisme hipoksemia pada
ARDS. Normalisasi tekanan arteri pulmonalis terjadi sebagai penyelesaian
sindrom. Perkembangan hipertensi pulmonal progresif dikaitkan dengan
prognosis yang buruk pada ARDS. (Harman et al, 2014)
Fase akut ARDS biasanya sembuh sepenuhnya. Pada beberapa kasus,
sisa fibrosis paru terjadi saat ruang alveolar terisi dengan mesenchymal dan
pembuluh darah baru. Proses ini tampaknya difasilitasi oleh interleukin
(IL)-1. Perkembangan menjadi fibrosis dapat diprediksi secara dini dengan
ditemukannya peningkatan kadar prokolagen peptida III (PCP-III) dalam
cairan yang diperoleh melalui BAL. Hal tersebut jika juga ditemukan
dengan disertai adanya fibrosis pada biopsy, berkorelasi dengan peningkatan
kemungkinan terjadinya kematian. (Harman et al, 2014)

2.3.4 Manifestasi Klinis


Menurut Hadjiliadis et al (2014) dan American Lung Association
(2014), gejala ARDS biasanya berkembang dalam waktu 24 hingga 48 jam
dari kejadian cedera atau sakit. ARDS didefinisikan oleh tiga tanda dan
gejala utama, yaitu:
a. Napas cepat
b. Kesulitan bernafas : tidak bisa mendapatkan cukup udara ke dalam paru-
paru
c. Kadar oksigen yang rendah dalam darah yang dapat menyebabkan
kegagalan organ dan gejala seperti detak jantung yang cepat, irama
jantung yang abnormal, kebingungan, dan kelelahan ekstrim pada organ
Menurut NHLBI (2012), tanda dan gejala lain pada ARDS antara lain
adalah :
a. Batuk, dan demam (pada ARDS yang disebabkan oleh pneumonia)
b. Tekanan darah rendah
c. Kebingungan
d. Kelelahan ekstrim
Berdasarkan fase terjadinya, manifestasi klinis dari ARDS dibedakan
menjadi berikut ini :

24
a. Stage 1 (12 jam)
Terdappat dispnea, takipnea, dan pada pemeriksaan X-ray paru nampak
normal.
b. Stage 2 (24 jam)
Infiltrat alveolar sebagian, ukuran jantung normal, terdapat dispnea,
takipnea, sianosis, takikardi, crackles, dan hipoksemia
c. Stage 3 (2-10 hari)
Infiltrat alveolar meluas, penurunan volume paru, kemungkinan air
bronchograms, ukuran jantung normal, hiperdinamik pada parameter
hemodinamik, nampak syndrome respon inflamasi sistemik (SIRS).
d. Stage 4 (> 10 hari)
Infiltrat alveolar menetap, muncul infiltrate baru pada paru, pneumothorax
berulang, melibatkan beberapa organ, kesulitan mempertahankan oksigen
yang adekuat, sepsis, pneumonia.

Gambar 2.4Gambaran alveolus pada pasien ARDS stage 1

25
Gambar 2.5Gambaran alveolus pada pasien ARDS stage 2

Gambar 2.6 Gambaran alveolus pada pasien ARDS stage 3

26
Gambar 2.7Gambaran alveolus pada pasien ARDS stage 4

2.3.5 Komplikasi
Menurut Herridge 2011, komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:
a. Kegagalan banyak sistem organ
b. Kerusakan paru-paru (seperti kolaps paru - juga disebut pneumotoraks)
karena cedera dari sistem pernapasan yang diperlukan untuk mengobati
penyakit
c. Fibrosis paru (jaringan parut di paru-paru)
d. Ventilator-associated pneumonia

2.3.6 Pemeriksaan Diagnostik


Di seluruh tahap ARDS, ketergantungan pada pemeriksaan diagnostik
adalah penting. Pada tahap awal, kebutuhan untuk menetapkan penyebab
memerlukan pemeriksaan sepesifik, seperti kultur darah, kultur lavase
bronkoalveolar, dan CT scan untuk abses (mis.,abses abdomen). Pada tahap
akhir, kewaspadaan lanjut diperlukan untuk melakukan intervensi pada

27
penatalaksanaan dini setiap infeksi nosokomial. Pemantauan kontinu kimia
darah rutin dan hematologi dilakukan untuk memastikan stabilitas dalam
parameter metabolik dan optimisasi fungsi yang ada.
Penelitian terkini berfokus pada penggunaan plasma dan sampel
lavase bronkoalveolar untuk deteksi mediator,terutama peningkatan jumlah
interleukin-1 (IL-1) dan faktor nekrosis tumor-α (TNF-α), sebagai tanda
awal untuk diagnosis ARDS. Ini merupakan penelitian eksperimental
terbaru, namun akan memberikan informasi lebih lanjut dalam 5 tahun yang
akan datang. Pemeriksaan berikut adalah pemeriksaan yang penting dan
memerlukan perhatian yang khusus dalam penatalaksanaan ARDS (Martono
2013).
a) Analisa Gas Darah
Perburukan gas darah arteri (AGD), walaupun dilakukan intervensi,
adalah tanda utama ARDS. Pada awalnya, hipoksemia (tekanan oksigen
arteri, atau PaO2, <60 mmHg) dapat membaik dengan oksigen tambahan;
akan tetapi, hipoksemia refraktori (tidak ada perbaikan PaO2 dengan
oksigen tambahan) dan SaO2 yang rendah secara persisten, pada akhirnya
terjadi. Pada tahap awal gagal napas akut, dispnea dan takipnea berkaitan
dengan penurunan PaCO2. Hiperkapnia terjadi pada saat pertukaran gas
dan ventilasi menjadi semakin terganggu. pH arteri pada fase awal
mungkin tinggi (>7,45), suatu temuan yang sesuai dengan alkalosis
respiratorik sekunder akibat pernapasan yang cepat dan PaCO 2 yang
rendah. Pengukuran Ph arteri pada ARDS biasanya lebih rendah karena
terjadi gagal napas dan gagal ventilasi serta hipoksia jaringan,
metabolisme anaerobik, dan asidosis metabolik selanjutnya. Kelebihan
dan defisit basa mengikuti kecenderungan yang sama, bergantung pada
tingkat hipoksia jaringan dan organ.
Pengukuran laktat arteri biasanya dilakukan sesuai indikasi
hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik. Peningkatan konsentrasi
laktat darah biasa terjadi pada ARDS awal dan membaik ketika
oksigenasi membaik. Pengukuran laktat tidak dilakukan secara rutin

28
setelah oksigenasi yang adekuat, meskipun mungkin tidak
optimal,tercapai.
b) Pemeriksaan Radiografi
Pada fase awal ARDS, perubahan radiografik dada biasanya dapat
diabaikan. Dalam beberapa hari, temuan sinar-x dada menunjukkan
bercak infiltrat alveolar bilatelar, biasanya pada lapang paru yang
dependen. Hal ini mungkin disalahartikan sebagai edema pari
kardiogenik. Sejalan dengan waktu, infiltrat bercak berkembang menjadi
infiltrat difus, konsolidasi, dan bronkogram udara. CT scan dada juga
menunjukkan area infiltrat dan konsolidasi jaringan paru. Sinar-x dada
setiap hari penting dilakukan untuk mengevaluasi secara kontinu
perkembangan dan resolusi ARDS dan untuk pengkajian kontinu
komplikasi potensial, terutama pneumotoraks.
c) Pengukuran Pirau Intrapulmonal
Pirau intrapulmonal adalah tipe ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi. Pirau ini didefinisikan sebagai persentase curah jantung yang
tidak dioksigenasi karena darah pulmonal mengalir melewati alveoli
yang kolaps atau berisi cairan dan nonventilasi (pirau fisiologis), tidak
ada aliran darah ke alveoli yang diventilasi (ruang hampa alveolar), atau
kombinasi kedua kondisi ini. Biasanya pirau intrapulmonal 3% sampai
5% ada pada semua individu. Gagal napas yang parah dan ARDS
berkaitan dengan pirau 15% atau lebih karena terjadi perubahan patologis
aliran darah, gangguan endotel dan kolaps alveolar. Ketika pirau
intrapulmonal meningkat sampai 15% dan lebih, intervensi yang lebih
agresif, termasuk ventilasi mekanis, diperlukan karena level pirau ini
berkaitan dengan hipoksemia berat dan dapat mengancam jiwa.
Secara umum, rasio Pao2/Fio2 lebih dari 300 adalah normal, nilai
200 berkaitan dengan pirau intrapulmonal 15% sampai 20%, dan nilai
100 berkaitan dengan pirau intrapulmonal lebih dari 20%.
d) Komplians Paru, Tahanan Jalan Napas, dan Tekanan
Mekanika paru berubah pada ARDS, yang menyebabkan
penurunan ventilasi alveolar dan pertukaran gas pulmonal. Komplians

29
paru, atau distensibilitas, menurun ketika alveoli berisi cairan atau
kolaps. Upaya yang lebih banyak dan tekanan yang lebih besar
diperlukan untuk menggerakkan udara ke dalam paru ketika paru menjadi
semakin “kaku”. Selain itu, tahanan terhadap aliran udara ke dalam dan
keluar paru meningkat dengan akumulasi sekret dan bronkokonstriksi
akibat mediator. Karena pasien yang mengalami ARDS memerlukan
ventilasi mekanis untuk membantu oksigenasi dan ventilasi , komplians
paru dan tahanan jalan napas dapat dievaluasi dengan mengkaji tekanan
ventilator dan perubahan volume tidal.
Pengukuran tahanan jalan napas yang tepat mencakup pengukuran
kecepatan aliran udara dan diameter jalan napas; akan tetapi, tahanan
jalan napas dapat diperkirakan dengan membandingkan tekanan inspirasi
puncak ventilator dengan tekanan plateau (statis) pada inspirasi akhir.
Perbedaan antara dua tekanan ini sebesar 10 cm H2O atau kurang akan
menunjukkan tahanan jalan napas normal, sedangkan perbedaan yang
lebih dari 10 cm H2O menunjukkan peningkatan tahanan. Walaupun
evaluasi tahanan jalan napas dengan menghitung perbedaan antara
tekanan inspirasi puncak dan tekanan plateau tidak memberikan
pengukuran yang tepat, metode ini bermanfaat untuk melihat
kecenderungan perubahan dan mengevaluasi keefektifan intervensi yang
ditujukan pada pengurangan tahanan jalan napas.
Komplians paru juga dapat diperkirakan dan dilihat
kecenderungannya. Kalkulasi komplians paru statis menggunakan
tekanan plateau dan memerlukan penggunaan konstanta spesifik yang
berkaitan dengan tipe ventilator mekanis yang berbeda. Komplians paru
dinamis kurang tepat karena kalkulasinya menggunakan tekanan inspirasi
puncak, yang tidak menghilangkan faktor tahanan; akan tetapi, kalkulasi
ini lebih sederhana dan dapat bermanfaat untuk melihat kecenderungan
proses ARDS. Komplian paru dinamis yang normal adalah sekitar 100
ml/cm H2O.
Pemantauan tekanan jalan napas secara ketat, termasuk tekanan
jalan napas rerata, tekanan inspirasi puncak, dan tekanan plateau, adalah

30
komponen penting pada pengkajian pasien yang mengalami ARDS.
Peningkatan tekanan tersebut saat volume tidal dipertahankan untuk
mencapai Paco2 normal mengindikasikan penurunan komplians dan
peningkatan tahanan terhadap aliran udara. Ketika tekanan jalan napas
meningkat, epitelium paru mengalami trauma sehingga menyebabkan
kerusakan jaringan paru lebih lanjut. Oleh karena itu, volutrauma
(kerusakan epitel paru) atau barotrauma akibat peningkatan tekanan jalan
napas secara persisten memiliki efek tambahan yang membahayakan
pada ventilasi dan oksigenasi.
Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mengidentifikasi ARDS.
Diagnosis didapatkan dengan mengesampingkan beberapa penyakit dan
kondisi tertentu misalnya masalah jantung yang dapat menghasilkan gejala
yang sama. Pemeriksaan jantung juga merupakan salah satu pemeriksaan
diagnostik yang dianjurkan karena tanda-tanda dan gejala ARDS serupa
dengan masalah jantung tertentu, dokter akan merekomendasikan
pemeriksaan jantung seperti:
1. Elektrokardiogram. Pemeriksaan ini menunjukkan aktivitas listrik di
jantung. Alat ini menggunakan sensor kabel yang dihubungkan ke tubuh
pasien.
2. Echocardiogram. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan masalah dengan
struktur dan fungsi jantung.

2.3.7 Penatalaksanaan
1. Respiratory Support
Pada pasien ARDS dengan CPAP (Continuous Positive Airway Pressure)
dengan 40-60% oksigen mungkin memadai untuk mempertahankan
oksigenasi. Tapi kebanyakan pasien membutuhkan ventilasi mekanik.

Indikasi untuk ventilasi


1. PaO2 : <8,3 kPa despite 60% FiO2
2. RR: >30x/menit
3. PaO2: 55 mm Hg
4. PaCO2: >60 mmHg
5. AADO2: 450 mm Hg

31
Volume tidal terbesar (10-15 mL/kg) diproduksi oleh ventilasi konvensional
plus penurunan compliance paru pada ARDS yang dapat menyebabkan
tekanan udara tinggi ± pneumotoraks. Positive end-respiratory pressure
(PEEP) meningkatkan oksigenasi tetapi dengan mengorbankan aliran balik
vena, curah jantung, dan perfusi ginjal dan hati. Ventilasi volume tidal
rendah yaitu ≤6 mL / kg berat badan diperkirakan adalah satu-satunya
bentuk ventilasi terkait dengan ketahanan hidup. Pendekatan terbaru yaitu
ventilasi terbalik (inspirasi > ekspirasi), hiperkapnia permisif, posisi
tengkurap dan jet ventilasi frekuensi tinggi, dan teknik volume tidal rendah
lainnya.
Prone ventilasi telah terbukti meningkatkan pertukaran gas alveolar. Ini juga
telah digunakan dengan pengaruh yang baik pada pasien hamil yang
mengalami trauma dada tumpul.
2. Circulatory Support
Pemantauan hemodinamik invasif dengan jalur arteri dan Swan-Ganz
kateter dapat membantu dalam memantau tekanan kapiler pulmonal dan
curah jantung.
Mempertahankan curah jantung dan dengan demikian pengiriman oksigen
biasanya membutuhkan inotropik (misalnya, dobutamin), vasodilator dan
transfusi darah. Rehidrasi cairan harus diseimbangkan dengan hati-hati dan
keseimbangan cairan negatif adalah tujuan. Hal ini mungkin memerlukan
hemofiltrasi dalam kasus yang ekstrim.
Hipertensi pulmonal telah diobati dengan dosis rendah (20-120 ppm) oksida
nitrat, vasodilator paru selektif. Namun, tinjauan sistematis dan meta-
analisis menemukan bahwa oksida nitrat hanya menyediakan perbaikan
jangka pendek dan tidak mempengaruhi kelangsungan hidup. Selain itu,
oksida nitrat dikaitkan dengan disfungsi ginjal.
3. Terapi Lain
Steroid, seperti methylprednisolone digunakan beberapa tahun yang lalu
namun karena efek yang merugikan tidak lagi dianjurkan. Bukti sebelumnya
mengatakan bahwa dosis rendah steroid berhubungan dengan durasi

32
penurunan ventilasi di ARDS awal (durasi kurang dari tujuh hari), tetapi
tanpa perbaikan tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan.
ARDS yang berlangsung di luar tujuh hari dimediasi oleh proses inflamasi
yang sedang berlangsung dan penelitian kecil telah menunjukkan perbaikan
dalam mortalitas. Yang paling mungkin untuk ditanggapi adalah Adanya
eosinofilia dalam darah atau dalam bronkus-alveolar lavage-(BAL) yang
teridentifikasi. Penggunaan kostikosteroid memiliki efek samping yaitu
septicemia dan hiperglikemia. The Late Steroid Rescue Study dilakukan
dalam upaya untuk memperjelas peran steroid dalam ARDS bertahan di atas
7 hari. Ada peningkatan mortalitas yang signifikan pada 60 hari dengan
methylprednisolone, terutama bila perawatan dimulai setelah 14 hari.
Peran ketoconazole juga telah terbukti mengecewakan. Diaktifkannya
protein C, granulosit-macrophage colony-stimulating factor dan penggunaan
agonis beta untuk meningkatkan pembebasan cairan alveolar.
4. Sepsis
Mengidentifikasi organisme dan mengobatinya. Jika secara klinis, tidak ada
organisme terkultur, gunakan empiris antibiotik spektrum luas, tapi hindari
antibiotik nefrotoksik.
5. Terapi suportif lain
a. Dukungan nutrisi. Nutrisi enteral lebih baik daripada melalui parenteral.
b. Pencegahan vena tromboemboli dengan heparin berat molekular
rendah.
c. Pencegahan ulkus lambung denga obat profilaksis
Adapun pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
Menurut Muttaqin 2006, pada klien ARDS, posisi semifowler
dilakukan untuk mengurangi kemungkinan regurgitasi asam lambung. Pada
klien dengan ARDS yang mendapat makanan melalui pipa nasogastrik
(NGT), penting untuk berpuasa 8 jam sebelum operasi, yang akan mendapat
anestesia umum, agar lambung kosong. Selain berpuasa selama 8 jam,
pemberian antasida dan simetidine sebelum operasi pada klien yang akan
mendapat anestesi umum dilakukan untuk menurunkan keasaman lambung
sehingga jika terjadi aspirasi, kerusakan paru akan lebih kecil. Setiap

33
keadaan syok, harus diatasi secepatnya dan harus selalu memakai filter
untuk transfusi darah, menanggulangi sepsis dengan antibiotik yang
adekuat, dan jika perlu hilangkan sumber infeksi dengan tindakan operasi.
Pengawasan yang ketat harus dilakukan pada klien dengan risiko ARDS
selama masa laten, jika klien mengalami sesak napas, segera lakukan
pemeriksaan gas darah arteri (Astrup)

2.3.8 Prognosis
Secara keseluruhan kejadi mortalitas sekitar 50-75%. Dan prognosis
bervariasi dengan usia pasien, penyebab ARDS (pneumonia 86%, trauma
38%), dan jumlah organ yang terlibat (tiga organ yang terlibat untuk >1
minggu merupakan hal yang fatal). Pada kebanyakan kasus, fungsi paru-
paru korban „kembali hampir normal dalam waktu 6-12 bulan. Namun,
beberapa kemungkinan memiliki penurunan kapasitas vital dan bahkan
penyakit paru obstruktif, meskipun ini biasanya asimtomatik. Sedangkan
menurut Siegel (2014), jumlah kematian akibat ARDSperkiraan sekitar26-
58%. Penyebabpaling umum yang mendasariterjadinya kematian pada
pasienARDSadalah pneumonianosokomialdansepsis. Jarang ditemukan
pasien ARDS yang meninggal akibat gagal napas.Sejumlah
penelitianmenunjukkan bahwakelangsungan hidup pasien ARDStelah
meningkatdari waktu ke waktu. Pada sebuah studi observasional didapatkan
dari 2.451pasien yangterdaftar diARDSNetdengan percobaan
acakditemukanpenurunanangka kematiansebanyak 26-35% antara tahun
1996dan 2005.
Sekitar40% orang denganARDSmeninggal akibat kegagalanorgan.
Namun, risiko kematiantidak samauntuk semua pasienARDS. Tingkat
kematianini terkait denganpenyebabARDSdan kondisi kesehatan pasien
secara keseluruhan. Sebagai contoh, seorang pasienusia muda
denganARDSakibat lukaakan memilikiprognosisyang lebih baik
daripadapasienlansiadengansepsis. Setengah dari semua pasien ARDS
memilikiprognosisyang jelassetelah 10haripertama pengobatan.
BanyakkorbanARDSakansembuh dalambeberapa bulan. Namun, beberapa

34
orangmungkin mengalamikerusakan paru-paruseumur hidup. Efek samping
lainmungkin termasukkelemahan otot, kelelahan, gangguan kualitas hidup.
(Boskey, 2012)
Gejala ARDSmuncul dalam waktu12-24jamsetelah kejadian.Pada
90% kasus, pasienARDSbaru diintubasisetelah 72jam kejadian. Angka
kematian pasien ARDS di ICU sekitar 37% dan secara keseluruhan
sekitar42%.Prognosis pasien ARDS akan baik pada pasien yang mampu
bertahan hidupdengan sindrom gangguan pernapasan akutpada2 minggu
pertama, pasien usiadi bawah 55tahun, dan pasien dengan traumayang
berhubungan dengansindrom gangguan pernapasan akut. Sedangkan
prognosis pasien ARDS dikatakan buruk pada lansia(terutama di atas
usia70tahun), pasienimmunocompromise, pasien dengan penyakit
hatikronis, pasien dengan peningkatan deep space fraction. Hanya
sekitar34% daripasien ARDSyang dapat dipulangkandengan kondisi cukup
sehat(ARDS Foundation, 2014).

35
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN ARDS

3.1 Asuhan Keperawatan Umum


3.1.1 Pengkajian
a. Anamnesa
a) Identitas pasien
Identitas pasien yang perlu dikaji meliputi nama, usia, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b) Keluhan utama
Takipnea, dispnea, sesak nafas, pernafasan menggunakan otot
aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Mengkaji secara kronologis tentang perjalanan penyakit yang
sekarang dialami pasien mulai dari awal mula muncul gejala
sampai dibawa ke rumah sakit dan hingga saat pengkajian
dilakukan. Pengkajian dengan PQRST dapat lebih
memudahkan perawat dalam melengkapi pengkajian.
d) Riwayat kesehatan dahulu
Sepsis, Shock (hemoragi, pankreatitis hemoragik), luka bakar
hebat, tenggelam, DIC(Dissemineted Intravaskuler
Coagulation), pankreatitis, uremia, bedah cardio baypass yang
lama, PIH (Pregnand Induced Hipertension), peningkatan TIK,
trauma hebat (cedera kepala, cedera dada, rudapaksa paru),
radiasi, fraktur majemuk (emboli lemak berkaitan dengan
fraktur tulang panjang seperti femur), riwayat merokok.
e) Riwayat kesehatan keluarga
f) Riwayat pengobatan
Mengkaji pemakaian obat-obatan sebelumnya dan upaya yang
dilakukan pasien sebelumnya untuk mengobati keluhan yang
dirasakan.

36
g) Pola aktivitas sehari-hari
Mengkaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
meliputi adanya kesulitan untuk melaksanakan aktivitas
perawatan diri, adanya kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan
nutrisi dan cairan, pola eliminasi, tidur dan istirahat, serta
kebiasaan hidup sehari-hari saat SMRS dan saat MRS.
h) Psikososial-spiritual
Mengkaji status psikososial-spiritual yang meliputi status
emosional dan kognitif yang dirasakan pasien, untuk
mengetahui pengaruh gejala ARDS yang dialami terhadap
respon psikologis pasien.
i) Status social ekonomi
Pengkajian difokuskan pada pola kualitas pengolahan
pendapatan, seperti bagaimana pasiendan keluarga memperoleh
makanan yang sehat, bagaimana kemampuan pasiendalam
memelihara kesehatan, dan bagaimana kemampuan
pasienuntuk memperoleh layanan kesehatan.

b. Pemeriksaan fisik (Review of System)


a) B1 (breathing) : sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, batuk
kering, ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru,
stridor, wheezing.
b) B2 (blood) : pucat, sianosis (stadium lanjut), tekanan darah
bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi
terjadi pada stadium lanjut (shock), takikardi biasa terjadi,
bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop
c) B3 (brain) : kesadaran menurun (seperti bingung dan atau
agitasi), tremor.
d) B4 (bladder) : -
e) B5 (bowel) : -

37
f) B6 (bone) : kemerahan pada kulit punggung setelah beberapa
hari dirawat.

c. Pemeriksaan Penunjang
a) Analisa Gas Darah
Perburukan gas darah arteri (AGD), walaupun
dilakukan intervensi, adalah tanda utama ARDS. Pada
awalnya, hipoksemia (tekanan oksigen arteri, atau PaO2, <60
mmHg) dapat membaik dengan oksigen tambahan; akan
tetapi, hipoksemia refraktori (tidak ada perbaikan PaO2 dengan
oksigen tambahan) dan SaO2 yang rendah secara persisten,
pada akhirnya terjadi. Pada tahap awal gagal napas akut,
dispnea dan takipnea berkaitan dengan penurunan PaCO2.
Hiperkapnia terjadi pada saat pertukaran gas dan ventilasi
menjadi semakin terganggu. pH arteri pada fase awal mungkin
tinggi (>7,45), suatu temuan yang sesuai dengan alkalosis
respiratorik sekunder akibat pernapasan yang cepat dan PaCO2
yang rendah. Pengukuran Ph arteri pada ARDS biasanya lebih
rendah karena terjadi gagal napas dan gagal ventilasi serta
hipoksia jaringan, metabolisme anaerobik, dan asidosis
metabolik selanjutnya. Kelebihan dan defisit basa mengikuti
kecenderungan yang sama, bergantung pada tingkat hipoksia
jaringan dan organ.
Pengukuran laktat arteri biasanya dilakukan sesuai
indikasi hipoksia jaringan dan metabolisme anaerobik.
Peningkatan konsentrasi laktat darah biasa terjadi pada ARDS
awal dan membaik ketika oksigenasi membaik. Pengukuran
laktat tidak dilakukan secara rutin setelah oksigenasi yang
adekuat, meskipun mungkin tidak optimal,tercapai.
b) Pemeriksaan Radiografi
Pada fase awal ARDS, perubahan radiografik dada
biasanya dapat diabaikan. Dalam beberapa hari, temuan sinar-

38
x dada menunjukkan bercak infiltrat alveolar bilatelar,
biasanya pada lapang paru yang dependen. Hal ini mungkin
disalahartikan sebagai edema pari kardiogenik. Sejalan dengan
waktu, infiltrat bercak berkembang menjadi infiltrat difus,
konsolidasi, dan bronkogram udara. CT scan dada juga
menunjukkan area infiltrat dan konsolidasi jaringan paru.
Sinar-x dada setiap hari penting dilakukan untuk mengevaluasi
secara kontinu perkembangan dan resolusi ARDS dan untuk
pengkajian kontinu komplikasi potensial, terutama
pneumotoraks.
c) Pengukuran Pirau Intrapulmonal
Pirau intrapulmonal adalah tipe ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi. Pirau ini didefinisikan sebagai persentase
curah jantung yang tidak dioksigenasi karena darah pulmonal
mengalir melewati alveoli yang kolaps atau berisi cairan dan
nonventilasi (pirau fisiologis), tidak ada aliran darah ke alveoli
yang diventilasi (ruang hampa alveolar), atau kombinasi kedua
kondisi ini. Biasanya pirau intrapulmonal 3% sampai 5% ada
pada semua individu. Gagal napas yang parah dan ARDS
berkaitan dengan pirau 15% atau lebih karena terjadi
perubahan patologis aliran darah, gangguan endotel dan
kolaps alveolar. Ketika pirau intrapulmonal meningkat sampai
15% dan lebih, intervensi yang lebih agresif, termasuk
ventilasi mekanis, diperlukan karena level pirau ini berkaitan
dengan hipoksemia berat dan dapat mengancam jiwa.
Secara umum, rasio Pao2/Fio2 lebih dari 300 adalah
normal, nilai 200 berkaitan dengan pirau intrapulmonal 15%
sampai 20%, dan nilai 100 berkaitan dengan pirau
intrapulmonal lebih dari 20%.

39
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan factor metabolic
dan keletihan otot pernapasan
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
supply O2 ke jaringan perifer
c. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

3.1.3 Intervensi
a. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan factor
metabolic dan kelitah otot pernapasan
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan
gangguan ventilasi spontan dapat dimonitor
Kriteria hasil :
a) PaO2 dalam rentang normal
b) PaCO2 dalam rentang normal
c) PH arteri dalam rentang normal
d) Saturasi O2 dalam rentang normal
e) Tidak ada sianosis
Intervensi Rasional
a. Monitor kelelahan otot a. Mencegah terjadinya henti
pernafasan nafas akibat penumpukan CO2
b. Monitor adanya kegagalan b. Deteksi dini kegagalan
respirasi pernafasan
c. Monitor setting ventilator c. Mencegah efek samping yang
secara rutin dapat memperberat kondisi
d. Gunakan teknik aseptic paru
e. Monitor efek samping d. Mencegah terjadinya infeksi
pemakaian ventilator e. Mencegah terjadinya
(barotraumas, cardiac output) komplikasi akibat pemakaian
f. Kolaborasi penggunaan PEEP ventilator
g. Monitor efek ventilator pada f. PEEP meningkatkan kapasitas
perubahan level (PaCO2, residu fungsional paru dan

40
PCO2, SaO2) sangat penting untuk
meningkatkan PaO2 yang
refrakter
g. Mempertahankan oksigenasi
yang adekuat

b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


penurunan supply O2 ke jaringan perifer
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam perfusi perifer meningkat
Kriteria hasil :
a) Klien tidak mengeluh pusing
b) Tanda-tanda vital dalam batas normal
c) Konjungtiva anemis
Intervensi :
Intervensi Rasional
a. Kaji warna kulit, suhu, sianosis, a. Mengetahui derajad
nadi perifer secara teratur hipoksemia dan peningkatan
b. Ubah posisi sedikitnya setiap tahanan perifer
jam b. Menurunkan resiko trauma
c. Tinggikan ekstremitas di atas c. Untuk meningkatkan aliran
jantung darah vena
d. Ajarkan teknik relaksasi d. Untuk mengurangi efek dari
e. Kolaborasi pemberian stress
antiplatelet atau antikoagulan e. Untuk mencegah
penggumpalan darah atau
pembentukan thrombus pada
jaringan perifer

c. Intoleransi ativitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan : Klien dapat melakukan akrtivitas sesuai dengan tingkat
aktivitas yang diinginkan
Kriteria hasil :

41
a) Klien dapat mengidentifikasi factor yang memperburuk
intoleransi aktivitas
b) Klien dapat mengidentifikasi metode untuk mengurangi
intoleransi aktivitas
c) TTV dalam batas normal
Intervensi :
Intervensi Rasional
a. Pantau respon klien terhadap a. Untuk mengetahui perubahan
aktivitas (ukur nadi, tekanan tanda-tanda vital pada pasien
darah, pernafasan saat aktivitas saat aktivitas dan istirahat
dan istirahat) b. Untuk meminimalkan
b. Bantu aktivitas perawatan diri kelelehan
yang diperlukan c. Untuk meminimalkan
c. Tingkatkan aktivitas secara kelelahan dan membantu
bertahap sesuai kemampuan keseimbangan supply dan
pasien dan ajarkan metode kebutuhan oksigen
penghematan energy untuk d. Meningkatkan istirahat untuk
aktivitas mengurangi kebutuhan tubuh
d. Berikan lingkungan yang
nyaman

3.1.4 Evaluasi
Keberhasilan penatalaksanaan keperawatan klien dengan ARDS
tercermin pada pencapaian hasil dan tujuan klien. Bandingkan
perilaku klien dengan hasil dan tujuan klien yang telah ditetapkan
sebelumnya. Ketidak berhasilan dalam pencapaina mengindikasikan
diperlukannya modifikasi pendekatan dengan melakukan pengkajian
kembali kondisi klien, merevisi diagnose keperawatan, dan
menyesuaikan tindaakan keperawatan yang dipilih. Hasil yang
diharapkan untuk klien ARDS mencakup :
a. Mengalami perbaikan ventilasi dan oksigenasi

42
b. Perfusi jaringan adekuat
c. Mengalami peningkatan kenyamanan fisiologis, psikologis dan
penurunan ansietas
d. Berat badan stabil

3.2 Asuhan Keperawatan Kasus


Tn. A usia 17 tahun masuk UGD dengan keluhan sesak napas. Dari hasil
pengkajian diketahui Tn. A mengalami sesak nafas setelah berolahraga. Tn.
A memiliki riwayat asma sejak usia 10 tahun. Tekanan darah didapatkan
124/82 mmHg. Nadi 118x/menit, RR 26x/menit Suhu 36oC. Pada auskultasi
didapatkan wheezing. Terpasang O2 40%. Hasil BGA didapatkan :
PH: 7,48; PaCO2: 30; SaO2: 90%; HCO3: 29

3.2.1 Pengkajian
a. Anamnesa
a) Identitas pasien
Nama : Tn. A
Usia : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
b) Keluhan utama
Pasien mengeluhkan sesak napas
c) Riwayat kesehatan sekarang
Tn. A mengalami sesak nafas setelah berolahraga kemudian
dibawa ke Rumah Sakit
d) Riwayat kesehatan dahulu
Tn. A memiliki riwayat asma sejak usia 10 tahun
e) Riwayat kesehatan keluarga
(-)
f) Riwayat pengobatan
Bronkodilator digunakan ketika mengalami sesak nafas
g) Pola aktivitas sehari-hari

43
Tn. A tidak mampu melakukan aktivitas berat
b. Pemeriksaan fisik (Review of System)
a) B1 (breathing) : sesak nafas, nafas cepat dan dangkal,
wheezing (+), RR 26x/menit; terpasang O2 40%
b) B2 (blood) : TD 124/82 mmHg takikardi (+)
c) B3 (brain) : kesadaran menurun (GCS: 345)
d) B4 (bladder) : -
e) B5 (bowel) : -
f) B6 (bone) : -
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Analisa Gas Darah
pH : 7,48 (tinggi)
PaCO2 : 30 mmHg (rendah)
SaO2 : 90% (normal)
HCO3 : 29 mmol/l (tinggi)
b) Pemeriksaan Radiografi
Terdapat hiperinflasi dan penebalan peribronchial pada
pemeriksaan radiografi

44
3.2.2 Analisa Data
No. Data Etiologi MK
1. DS : Klien mengeluh sesak nafas ARDS  Perubahan Gangguan
DO : epitel alveolar  ventilasi spontan
- RR 24x/min perpindahan cairan &
- Terpasang O2 40% protein  Kolaps
- Analisa Gas Darah alveolar  gangguan
pH : 7,48 (tinggi); PaCO2 : 30 ventilasi-perfusi
mmHg (rendah); HCO3 : 29
mmol/l (tinggi)
2. DS : - ARDS  pertukaran O2 Gangguan
DO : & CO2 terganggu  perfusi jaringan
- Akral dingin penurunan supply O2 ke perifer
- TTV: jaringan perifer 
TD 124/82mmHg; Suhu 36oC; takikardi
RR 24x/min
3. DS : - ARDS  pertukaran O2 Intolerasi
DO : & CO2 terganggu  sel Aktivitas
- Klien tampak lemah kekurangan O2 
- Klien mengalami penurunan mekanisme kompensasi
kesadaran metabolism anaerob 
pembentukan ATP <<
 energy ke otot
menurun  kelemahan

3.2.3 Diagnosa Keperawatan


a. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan factor metabolic
dan keletihan otot pernapasan
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
supply O2 ke jaringan perifer
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

45
3.2.4 Intervensi
a. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan factor
metabolic dan kelitah otot pernapasan
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan
gangguan ventilasi spontan dapat dimonitor
Kriteria hasil :
a) PaO2 dalam rentang normal
b) PaCO2 dalam rentang normal
c) PH arteri dalam rentang normal
d) Saturasi O2 dalam rentang normal
e) Tidak ada sianosis
Intervensi Rasional
a. Monitor kelelahan otot a. Mencegah terjadinya henti
pernafasan nafas akibat penumpukan
b. Monitor adanya kegagalan CO2
respirasi b. Deteksi dini kegagalan
c. Monitor setting ventilator pernafasan
secara rutin c. Mencegah efek samping yang
d. Gunakan teknik aseptic dapat memperberat kondisi
e. Monitor efek samping paru
pemakaian ventilator d. Mencegah terjadinya infeksi
(barotraumas, cardiac output) e. Mencegah terjadinya
f. Kolaborasi penggunaan PEEP komplikasi akibat pemakaian
g. Monitor efek ventilator pada ventilator
perubahan level (PaCO2, f. PEEP meningkatkan kapasitas
PCO2, SaO2) residu fungsional paru dan
sangat penting untuk
meningkatkan PaO2 yang
refrakter
g. Mempertahankan oksigenasi
yang adekuat

46
b. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan supply O2 ke jaringan perifer
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam perfusi perifer meningkat
Kriteria hasil :
d) Klien tidak mengeluh pusing
e) Tanda-tanda vital dalam batas normal
f) Konjungtiva anemis
Intervensi :
Intervensi Rasional
a. Kaji warna kulit, suhu, a. Mengetahui derajad
sianosis, nadi perifer secara hipoksemia dan peningkatan
teratur tahanan perifer
b. Ubah posisi sedikitnya setiap b. Menurunkan resiko trauma
jam c. Untuk meningkatkan aliran
c. Tinggikan ekstremitas di atas darah vena
jantung d. Untuk mengurangi efek dari
d. Ajarkan teknik relaksasi stress
e. Kolaborasi pemberian e. Untuk mencegah
antiplatelet atau antikoagulan penggumpalan darah atau
pembentukan thrombus pada
jaringan perifer

c. Intoleransi ativitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan : Klien dapat melakukan akrtivitas sesuai dengan tingkat
aktivitas yang diinginkan
Kriteria hasil :
a) Klien dapat mengidentifikasi factor yang memperburuk
intoleransi aktivitas
b) Klien dapat mengidentifikasi metode untuk mengurangi
intoleransi aktivitas
c) TTV dalam batas normal

47
Intervensi :
Intervensi Rasional
a. Pantau respon klien terhadap a. Untuk mengetahui perubahan
aktivitas (ukur nadi, tekanan tanda-tanda vital pada pasien
darah, pernafasan saat aktivitas saat aktivitas dan istirahat
dan istirahat) b. Untuk meminimalkan
b. Bantu aktivitas perawatan diri kelelehan
yang diperlukan c. Untuk meminimalkan
c. Tingkatkan aktivitas secara kelelahan dan membantu
bertahap sesuai kemampuan keseimbangan supply dan
pasien dan ajarkan metode kebutuhan oksigen
penghematan energy untuk d. Meningkatkan istirahat untuk
aktivitas mengurangi kebutuhan tubuh
d. Berikan lingkungan yang
nyaman

3.2.5 Evaluasi
a. Mengalami perbaikan ventilasi dan oksigenasi
b. Perfusi jaringan adekuat
c. Mengalami peningkatan kenyamanan fisiologis, psikologis dan
penurunan ansietas

48
BAB IV

PENUTUP

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah kondisi kedaruratan


paruyang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat. Kasus ini biasanya terjadi
pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan atau trauma pada berbagai
penyebab pulmonal atau non-pulmonal.
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak
berespons terhadap terapi konvensional.Serangan dapat berlangsung lebih dari 24
jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan
nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan iritan nonspesifik dapat
menunjang episode ini.
Corpus alienum pada jalan nafas adalah benda asing yang berasal dari luar
tubuh atau dari dalam tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada saluran
nafas tersebut.Benda asing yang berasal dari luar tubuh dapat berupa tulang,
makanan, cairan yang iritatif, sedangkan benda asing yang dari dalam tubuh yakni
secret kental, darah, bekuan darah, nanah yang masuk dalam saluran nafas.

49
Daftar Pustaka
American Lung Association.(2014). ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome).USA : WebMD Medical Reference
Asih, Niluh dan Christantie Effendy. 2004. Keperawatan Medikal bedah: Klien
dengan Gangguan Sistem Pernapasa. Jakarta: EGC
ARDS Foundation.(2014). Information about Acute Respiratory Distress
Syndrome.Diakses pada 8 Oktober 2014 dari http://www.ardsil.com/acute-
respiratory-distress-syndrome.htm
-------------------, (tth) Acute (Adult) Respiratory Distress
Syndromehttp://www.patient.co.uk/doctor/acute-adult-respiratory-
distress-syndromediakses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 20:08
Baughman, Diane C & Hackley, JoAnn. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Buku
Saku Bruner & Suddarth. Jakarta: EGC
Boskey, Elizabeth., et al. (2012). Adult Respiratory Distress Syndrome. Diakses
pada 8 Oktober 2014 dari http://www.healthline.com/health/acute-
respiratory-distress-syndrome#Prevention8
Brunner & Suddart.2001.Buku Ajar Medikal Bedah.Volume 3.Edisi 8. Jakarta:
EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan ED: 13 .
Jakarta: EGC.
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC
DIVYA Seth, Divya; Kamat, Deepak M and Pansare, Milind. 2011. Foreign-
Body Aspiration: A Guide to Early Detection, Optimal Therapy. Children‟s
Hospital of Michigan and Wayne State University. Diakses dari
http://www.pediatricsconsultant360.com/content/foreign-body-aspiration-
guide-early-detection-optimal-therapy-0Smeltzer, C . Suzanne,dkk.
2000. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1.Jakarta , EGC.
Hadjiliadis, et al. (2014).Acute Respiratory Distress Syndrome.USA :
MedlinePlus
Harman, et al. (2014).Acute Respiratory Distress Syndrome.USA : Medscape
Herridge MS. Recovery and long-term outcome in acute respiratory distress
syndrome. Crit Care Clin. 2011;27:685–704.
Hooper, Jon. (2008). Acute Severe Asthma :Status Asthmaticus - in the ER and the
OR. Department of Anaesthesia Ottawa Civic Hospital, University of
Ottawa,
Ottawa.darihttp://www.anesthesia.org/winterlude/wl95/wl95_8.html
[http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/ards/basics/definition/con-
20030070] diakses pada tanggal 21 September 2014 pukul 18:35 WIB.
Lee WL, Slutsky AS. Acute respiratory distress syndrome. In: Mason RJ, Murray
JF, Broaddus VC, et al., eds.Murray and Nadel's Textbook of Respiratory
Medicine. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Saunders; 2010:chap 90.
Mahmoud, Monay., et al. (2012). Foreign Body Aspiration of a Dental Bridge in
the Left Main Stem Bronchus.USA : Journal Case Reports in Medicine
Volume 2012, Article ID 798163, 4 pagesDepartment of Internal
Medicine, Meharry Medical College, Nashville
Morton, Patricia G et all. 2013. Keperawatan Kritis volume 1. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2006. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

50
National Hearth, Lung, Blood Institute (NHLBI). (2012). Acute Respiratory
Distress Syndrome.USA : National Institutes of Health
Ruiz, Fadel E. (2014). Airway foreign bodies in children. Diakses pada 8 Oktober
2014 dari http://www.uptodate.com/contents/airway-foreign-bodies-in-
children
Sadeeh, Constantine K. 2014. Status Asthmaticus.Online.
http://emedicine.medscape.com/article/2129484-overview diakses pada
[21/09/2014]
Seth, Divya., et al. (2007). Foreign-Body Aspiration: A Guide To Early Detection,
Optimal Therapy. USA : Journal Consultant 360 for Pediatric Volume 6
Issue 1 January 2007, Children‟s Hospital of Michigan and Wayne State
University
Siegel, Mark D. (2014). Acute respiratory distress syndrome: Prognosis and
outcomes in adults. Diakses pada 8 Oktober 2014 dari
http://www.uptodate.com/contents/acute-respiratory-distress-syndrome-
prognosis-and-outcomes-in-adults
Soemantri, irman.2007. Asuhan Keperawata pada Pasien engan gangguan sistem
pernafasan.Jakarta : salemba medika.

51
Faktor infeksi Faktor non infeksi Penyebab (food) : Penyebab (non food) :
 Virus (respiratory syntitial virus)  Alergi Makanan menjadi Misalnya koin, jarum, atau
dan virus parainfluenza  Iritan penyebab paling sering mainan berukuran kecil yang
 Bakteri (pertusis dan streptoccus)  Cuaca tertelan (contoh : kelereng)
 Jamur (aspergillus)  Kegiatan jasmani
 Parasit (ascaris)  Psikis
Ketidakteraturan antara fungsi mulut dan faring

Alergen Ditangkap sel Dipersentingkan


Pemeriksaan : terdapat gambaran object dalam saluran nafas
masuk dendrite (sel kepada sel limfosit
pengenal antigen) T
CORPUS ALIENUM Terdapat benda asing
dalam saluran nafas
Merangsang Sekresi Limfosit T membawa cirri
IL 4 & IL 13 sitokin antigen spesifik, teraktivasi, dan
berdiferensiasi ke profil Th 2 Object besar Object lebih kecil dari jalan nafas

Memacu Melekat pada High Menyumbat jalan Corpus alienum parsial


Sel mast
limfosit B affiniting Ig E reseptor nafas seluruhnya
aktif /
mensintesa Ig E pada permukaan sel mast degranulasi
Corpus alienum total Menimbulkan Penurunan Mempersempit
rangsangan kemampuan bernafas, jalan nafas
STATUS Melepaskan performed mediator :
Tidak adanya iritasi dan taktil pertukaran udara paru
ASMATIKUS histamine dan newly generated mediator:
pertukaran udara pada mukosa tidak optimal
prostaglandin, leukotrin
dantara paru-paru dan saluran nafas
Penurunan Turbulensi
Kontraksi otot lingkungan Agitasi
suplai O2 udara saat
polos bronkus, Mediator inflamasi menginduksi Mekanisme
melalui
sekresi mucus, kebocoran mikrovaskuler melibatkan fisiologis batuk MK :
Penurunan pertukaran Penurunan bagian
vasodilatasi eksudasi plasma ke dalam saluran nafas melalui control Ansietas
O2 dan CO2 pertukaran sempit
volunteer atau
involunteer O2 & CO2
Kontraksi Lumen sal. Kebocoran plasma protein Suplai O2 ke jaringan Auskultasi
otot nafas menginduksi penebalan dan tidak efektif
MK : Ketidakefektifan Peningkatan : wheezing
pernafasan menyempit edema dinding saluran nafas
bersihan jalan nafas demand CO2
Bronkospasme Peningkatan Ketidakefektifan Cardiac O2 tidak Hipoksia
sekresi bronkial suplai O2 ke arrest dapat masuk
miokardium ke paru
Peningkatan kecepatan
Tahanan jalan nafas
Penurunan respirasi yang distimulasi
ventilasi - perfusi MK : Gangguan CO2 menumpuk neural respiratory centre
pertukaran gas dalam paru
Ventilasi Ronchi dan Purshlip-
meningkat wheezing breathing O2 yang masuk Takipnea dan peningkatan
berkurang Pertukaran gas
usaha pernafasan
terganggu
Simulasi reseptor O2 CO2 tidak bisa MK : Ketidak efektifan
keluar CO2 meningkat di pola nafas
dalam darah
HR TD CO
naik naik naik CO2 terjebak di
paru Kadar O2 dalam
darah rendah
Temuan Temuan
Hipoksemia Air trapping
BGA awal BGA akhir

PH naik, PaCO2 naik, PH normal, PaCO2 turun, Barel chest Penggunaan Radiologis
HCO3 turun PaO2 turun, HCO3 naik otot bantu
nafas Transluent,
Trauma Paru Tidak Langsung diafragma
1. Sepsis atau bakterimia MK :
2. Overdosis obat Ketidakefektifan
3. Menerima banyak transfusi darah Trauma Paru Langsung
pola nafas
4. Postperfusion injury post cardiopulmonary bypass 1. Menghirup asap berbahaya atau bahan kimia beracun
5. Transplantasi paru-paru 2. Aspirasi cairan lambung
6. Pankreatitis 3. Hampir tenggelam
7. Pendarahan hebat 4. Pneumonia atau infeksi paru
8. Cedera pada dada atau kepala 5. Sindrom pernafasan akut parah (SARS)
9. Emboli lemak 6. Menggunakan ventilator
Perubahan membrane kapiler alveolar

ARDS

Perubahan epitel alveolar Melepaskan mediator Perubahan endotelial


prostaglandin, histamine, leukotrine

Perpindahan cairan dan protein


Peningkatan permeabilitas kapiler Vasokonstriksi pulmonal

Kerusakan sel tipe I Disfungsi sel tipe II Edema pulmonal interstitial Perubahan daerah aliran

Penebalan membrane Penurunan fungsi Edema mukosa


kapiler alveolar surfaktan

Proses disfusi gas Tekanan permukaan dan


terganggu compliance

Kolaps alveolar

Gangguan ventilasi - perfusi

Pertukaran O2 dan CO2 terganggu

Peningkatan frekuensi nafas Suplai O2 terganggu Penurunan O2 dalam jaringan

Hiperventilasi Kadar CO2 darah menurun

pH darah meningkat
Darah menjadi basa
Penurunan O2 ke Sel kekurangan
jaringan perifer O2
Alkalosis respiratorik

Perubahan yang terjadi Takikardi Metabolisme


anaerob
secara tiba-tiba
MK : Gangguan
Tubuh berkompensasi perfusi jaringan Pembentukan
mempertahankan pH darah perifer
ATP menurun

Mengeluarkan buffer HCO3-


Energi ke otot
menurun
BGA abnormal Menghasilkan banyak H2CO3

Pertukaran gas terganggu H2CO3 berlebih dikeluarkan Kelemahan


dalam bentuk CO2
MK : Intoleransi
CO2 masuk dalam darah aktivitas

CO2 dalam darah tinggi

Darah menjadi asam

Asidosis respiratorik

MK : Gangguan ventilasi
spontan

Anda mungkin juga menyukai