Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

PADA ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME 

Oleh Kelompok 2:
Ayu Eka Lestari P17212215001
Maulidiyah Rahmawati P17212215004
Hamidatun Anisa’ P17212215010
Ananda Chandra W P17212215034
Adinda Prasetyawati P17212215037
Dea Septiawati P17212215046
Irfan Saifur R P17212215056
Kiki Ferliasari P17212215066
Irfani Dewi M P17212215084
Eka herlinda P17212215096
Elisa muasarah P17212215097
Erek kuswanto P17212215098

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Kritis pada Sistem Respirasi
(ARDS)”.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak makalah ini
tidak dapat terselesaikan dengan baik, karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
bimbingan, bantuan, dukungan, dan saran kepada  Bapak Taufan Arif, S.Kep.,
Ns., M.Kep.

Penulis menyadari bahwa kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman


yang penulis miliki sangat terbatas, sehingga penulisan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk penulis maupun pembaca lainnya.

Malang, Agustus 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................2
BAB II KONSEP MEDIS
2.1 Definisi ...........................................................................................3
2.2 Etiologi............................................................................................4
2.3 Manifestasi Klinis ...........................................................................4
2.4 Patofisiologi.....................................................................................5
2.5 Pathway..........................................................................................6
2.7 Pemeriksaan Diagnostik.................................................................7
2.8 Penatalaksanaan............................................................................8
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian....................................................................................14
3.2 Diagnosa.......................................................................................17
3.3 Intervensi......................................................................................18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan...................................................................................31
5.2 Saran............................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam globalisasi khususnya
di bidang kesehatan perlu memperhatikan banyak hal dalam mencegah berbagai
penyakit salah satunya ARDS yang merupakan gangguan paru yang progresif
dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat
yang menyebar dikedua belah paru akibat kondisi atau kejadian berbahaya
berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung
(Lantika, Silaen, & Kestriani, 2019).
Data epidemiologi Sindrom Distres Pernapasan Akut atau Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) pada tahun 2016 dari 50 negara menunjukkan
bahwa prevalensi ARDS sebesar 10,4% dari total pasien rawat di unit perawatan
intensif Intensive Care Unit (ICU). ARDS dapat terjadi pada seluruh usia, tetapi
lebih sering terjadi pada pasien dewasa dan wanita. Prevalensi ARDS
diperkirakan tidak kurang dari 150.000 kasus pertahun. Di Amerika Serikat,
insidensi ARDS pada pasien pediatrik tercatat sebanyak 9.5 kasus per 100,000
populasi per tahun, 16 kasus per 100.000 populasi per tahun pada usia 15-19
tahun dan 306 kasus per 100.000 populasi per tahun pada usia 75-84 tahun.
ARDS merupakan satu dari 20 penyakit utama penyebab kematian, selain kanker
paru. Angka mortalitas akibat ARDS adalah 35%-46% tergantung derajat
keparahan gejala ARDS. Mortalitas akibat ARDS semakin meningkat seiring
usia, dengan angka mortalitas 24% pada usia 15-19 dan 60% pada usia di atas
80 tahun (Harman & Pinsky, 2018).
Penyebab ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang dapat
berperan pada gangguan ini sehinga menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai
penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling
tinggi, mikroorganisme, dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat
toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian
ARDS. Solusi dan peran perawat yang dapat disampaikan terkait masalah ARDS
adalah sebagai Care Provider, melalui pemberian pelayanan keperawatan
dengan menggunakan proses keperawatan, masalah yang muncul dapat
ditentukan diagnosis keperawatan, perencanaan, tindakan yang tepat sesuai

1
dengan masalah yang dialaminya dan dapat di evaluasi tingkat
perkembangannya (Hartini, Amin, Pitoyo, & Rumende, 2014).
Oleh karena itu penanganan ARDS sangat memerlukan tindakan khusus
dari perawat untuk mencegah memburuknya kondisi pasien. Hal tersebut
dikarenakan klien yang mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat
mengancam jiwa klien.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Bagaimana konsep dasar Acute Respiratory Distress syndrome
(ARDS)?
1.2.2 Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan Acute
Respiratory Distress syndrome (ARDS)?

1.3 Tujuan penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat meningkatkan wawasan, pengetahuan dan sebagai
acuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
ARDS serta untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan kritis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa memahami konsep dasar dari Acut Respiratory
Distress syndrome (ARDS)
2. Mahasiswa memahami konsep asuhan keperawatan pada pasien
dengan Acut Respiratory Distress syndrome (ARDS)?
1.4 Manfaat penulisan
Makalah ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan, rujukan dan
memberikan referensi tentang asuhan keperawatan kritis pada sistem respirasi
dengan Acut Respiratory Distress syndrome (ARDS).

2
BAB II
KONSEP MEDIS

2.1 Definisi
ARDS merupakan bentuk gagal nafas yang berbeda ditandai dengan
hipoksemia berat yang resisten terhadap pengobatan konvensional. ARDS terjadi
setelah berbagai penyakit (sepsis, aspirasi isi lambung, trauma serius), yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan edema paru nonkardiogenik yang
berat (Sylvia A. Price, 2006 dalam (Amin, 2015))
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru
akut (Susanto, 2012). Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan
inflamasi paru yang bersifat akut dan difus, yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas vaskular paru, peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan
paru yang berisi udara dengan hipoksemia dan opasitas bilateral yang
dihubungkan dengan peningkatan shunting, peningkatan dead space fisiologis,
dan berkurangnya compliance paru.

Gambar 1. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat
fase akut pada ALI dan ARDS.

3
2.2 Etiologi
Penyebab ARDS yang sering ditemukan, menurut (Kowalak & Jennifer, 2011)
meliputi :
1. Cidera pada paru-paru akibat trauma (penyebab paling sering), seperti
kontusio jalan nafas
2. Faktor yang ada berhubungan dengan trauma, seperti emboli paru,
sepsis, syok, kontusi paru dan transfusi multipel yang meningkatkan
kemungkinan mikro emboli
3. Anafilaksisi
4. Aspirasi isi lambung
5. Pneumonia difusa, khususnya pneumonia karena virus
6. Over dosis obat, seperti heroin, aspirin atau ethclorvinol
7. Intoksikasi oksigen
8. Sepsis

2.3 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala ARDS menurut (Herdman, 2015), meliputi:
1. Pernafasan yang cepat seta dangkal dan dispnea, yang terjadi beberapa
jam hingga beberapa hari pasca cidera awal.
2. Peningkatan frekuensi ventilasi akibat hipoksemia dan efeknya pada
pusat pneumotaksis
3. Retraksi intercostal dan suprastenal akibat peningkatan upaya yang
dikeluhkan untuk mengembangkan paru-paru yang kaku
4. Ronkhi basah dan kering yang terdengar dan terjadi karena penumpukan
cairan di dalam paru-paru.
5. Gelisah, khawatir dan kelambanan mental yang terjadi karena sel-sel otak
mengalami hipoksia.
6. Disfungsi motorik yang terjadi ketika hipoksia berlanjut.
7. Takikardi yang menandakan upaya jantung untuk memberikan lebih
banyak lagi oksigen kepada sel dan organ vital
8. Asidosis respiratorik yang terjadi ketika karbondioksida bertumpuk
didalam darah dan kadar oksigen menurun.
9. Asidosis metabolik yang pada akhirnya akan terjadi sebagai akibat
kegagalan mekanisme kompensasi.

4
2.4 Patofisiologi
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru
interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis
kongestif difus. Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling
yang menyatakan filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih
tekanan osmotik protein dan hidrostatik. Perubahan tiap aspek dari hukum
Starling akan menyebabkan terjadinya edema paru. Tekanan hidrostatik kapiler
(Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi ventrikel kiri akan menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial. Cairan kapiler tersebut akan
mengencerkan protein intertsitial sehingga tekanan osmotik interstitial menurun
dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam vena. Kerusakan endotel kapiler
atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel pneumosit tipe I) sehingga
cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan interstitial, jika telah
melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli (alveolar flooding)
sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan compliance paru akan
lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak mengandung protein dan sel
darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan osmotik. Cairan
bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi
kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai
dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan
curah jantung akan menurun 40% (Susanto, 2012).

5
2.5 Pathway Langsung Tidak langsung

Aspirasi Pneumonia Trauma tenggelam Keracunan Inhalasi Transfuse


lambung (bakteri & dada oksigen gas toksik darah masif
sepsis
ke paru virus)
Luka bakar
luas

Syok dalam Keracunan


obat

Infasi bakteri
Tahap eksudatif ARDS (pneumonia kronik) Infeksi

Pembentukan cairan Permeablitias dinding Tahap Risiko infeksi


Tindakan
berlebih, protein, dan sel kapiler alveolus tidak fibroproliferatif
intubasi
inflamantory dari kapiler adekuat
(pemasangan Gangguan
Peningkatan ventilator) integritas jaringan
Cairan menumpuk di alveoli atelektasis usaha napas
Tdk Defisit perawatan
Penggunaan otot mampu diri
Peradangan interstisium & hipervolemia bantu napas ADL
bronkoalveolar
Abnormalitas
pertukaran gas RR meningkat gg. ventilasi
kolagenasi Jalan napas (hiperkarbia)
fibrosis
Gangguan pertukaran tidak adekuat
Perubahan struktur paru gas Gagal napas
Jaringan Ekspirasi & inspirasi Ronkhi
paru padat tdk adekuat dan mengi Gangguan
Pertukaran gas di alveolar Oksigenasi & eliminasi ventilasi
menurun Pola napas tidak Bersihan jalan spontan
CO2 tidak adekuat
6 efektif napas tidak efektif
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Kowalak & Jennifer, 2011) pemerikasaan yang harus dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS)
adalah sebagai berikut:
1. Analisa Gas Darah
Analisa gas darah (AGD) pada umumnya dapat menunjukkan
hipoksemia dan alkalosis respiratorik. Kadar PaO2 / FiO2 juga dapat
dinilai melalui analisa gas darah.
Ketika pasien bernafas menghirup udara ruangan pada awalnya akan
menunjukkan adanya penurunan PaO2 (kurang dari 60 mmHg) dan
penurunan PaCO2 (kurang dari 35 mmHg). Meskipun telah diberikan
terapi oksigen, keadaan hipoksemia merupakan petunjuk utama ARDS.
Nilai pH darah yang diakibatkan mencerminkan alkaliosis respiratorik.
Ketika ARDS semakin parah, hasil analisis gas darah arteri
memperlihatkan asidosis respiratorik yang terbukti melalui peningkatan
PaCO2 (diatas 45 mmHg), asidosis metabolik yang tebukti melalui
penurunan HCO3 hingga kurang dari 22 mEq/L dan penurunan PaO2
meskipun sudah dilakukan terapi oksigen.
2. Foto Thoraks
Pada stadium dini memperlihatkan infiltrat bilateral. Pada stadium
lanjut dapat telihat gambaran ‘ground glass’ dan warna putih yang
menyeluruh (pada hipoksemia yang ireversibel) di kedua lapang paru.
Untuk membedakan ARDS dengan gagal jantung, perhatikan bahwa
siluet jantung yang normal terlihat difus, inviltrat bilateral cenderung lebih
ke perifer dan berupa bercak-bercak sehingga berbeda dari gambaran
‘bat wing’ perihiler yang biasanya di temukan pada edema paru
kardiogenik, dan efusi pleura terdapat dengan jumlah cairan yang lebih
sedikit. Pada ARDS, umumnya ditemukan adanya infiltrat difus bilateral
atau unilateral yang dapat memburuk secara cepat dalam 3 hari. Infiltrat
yang ditemukan umumnya terletak interstisial dan/atau alveolar. Pada
tahap awal, infiltrat dapat ditemukan menyebar hingga ke perifer dan
dapat memburuk menjadi infiltrat difus bilateral dengan
penampakan ground glass.

7
3. CT-Scan
CT-Scan dapat dilakukan apabila foto toraks tidak dapat
menyimpulkan penyebab distress pernapasan. CT scan umumnya lebih
sensitif untuk mendeteksi adanya emfisema interstisial,
pneumomediastinum, efusi pleura, dan limfadenopati mediastinal.
4. Kateterisasi Arteri Pulmonalis
Membantu mengidentifikasi penyebab edema paru (kardiak versus
non kardiak) dengan mengukur tekanan baji arteri pulmonalis (pulmonary
artery wedg pressure, PAWP). Pemeriksaan ini juga memungkinkan
pengambilan darah dari arteri pulmonalis yang akan memperlihatkan
penurunan saturasi oksigen yang mencerminkan hipoksia jaringan,
mengukur tekanan arteri pulmonalis, mengukur curah jantung dengan
teknik termodilusi, dan memberikan informasi yang memungkinkan
penghitungan persentase darah yang memintas melalui paru-paru.
5. Analisa sputum
Meliputi pewarnaan gram dan pemeriksaan kultur serta
sensitivitas menunjukkan mikroorganisme penyebab infeksi.
6. Pemeriksaan kultur darah
Menunjukkan mikroorganisme penyebab infeksi..
7. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan untuk mengetahui seberapa baik
fungsi ginjal dalam bekerja. Prosedur ini juga akan mendeteksi adanya
gangguan pada organ tersebut. Pada prosedur pemeriksaan ginjal ini,
urine dan darah akan diambil dan diamati di laboratorium. Fungsi ginjal
umumnya menurun bila terdapat komplikasi pada ARDS akibat adanya
iskemia ataupun nekrosis tubular akut.

2.7 Penatalaksanaan
Intervensi yang direkomendasikan dalam tata laksana Acute Respiratory
Distress Syndrom (ARDS) berdasarkan American Thoracic Society/European
Society of Intensive Care Medicine/Society of Critical Care Medicine antara
lain adalah:
1. Posisi Pronasi
Memposisikan pasien dalam posisi tengkurap memberikan efek
dalam meningkatkan oksigenasi dan berhubungan dengan

8
menurunkan mortalitas. Posisi pronasi disarankan untuk dilakukan
pada pasien ARDS sedang dan berat selama 12 jam per hari atau
lebih.
2. Ventilasi Mekanik
a. Volume Tidal dan Frekuensi Napas
Volume tidal yang direkomendasikan menurut American
Thoracic Society tahun 2017 lebih rendah, pada rentang 4-8
mg/kgBB dan tekanan inspirasi (plateau pressure <30cm H2O)
dengan pemberian volume tidal pada awal pemasangan ventilator
sebesar 6 mg/kgBB. Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko
terjadinya barotrauma. Volume tidal dalam jumlah lebih rendah
dapat mengurangi jejas pada paru dan mengurangi inflamasi
sistemik, sehingga mempercepat penyembuhan organ dan
meningkatkan angka kesintasan pada pasien Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). Namun, untuk mengurangi
peningkatan PaCO2 yang berbahaya bagi tubuh, penggunaan
ventilasi mekanik dengan volume tidal rendah dapat diimbangi
dengan meningkatkan frekuensi napas menjadi 25-30 siklus/menit
dengan penggunaan heated humidifier untuk mengurangi dead
space. Setelah target PaCO2 tercapai (<50 mmHg), maka
penyesuaian frekuensi napas perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya edema paru.
b. Positive End-Expiratory Pressure
Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) merupakan salah
satu komponen ventilasi mekanik yang harus diperhatikan dalam
manajemen pasien Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
Pemberian PEEP dalam tekanan lebih tinggi merupakan salah
satu strategi yang dapat digunakan untuk mencegah Ventilator
Induced Lung Injury (VILI). Pada keadaan ARDS berat, PEEP
dapat ditingkatkan hingga 14,6-19,5 cmH2O. Jika PEEP
ditingkatkan, risiko kolapsnya alveoli dan saluran napas kecil
dapat dicegah sehingga mengurangi risiko terjadinya
atelektrauma. Selain itu, PEEP juga dapat
menurunkan shunt intrapulmoner dan meningkatkan oksigenasi

9
dengan membuka alveoli yang kolaps untuk dapat berfungsi
sebagai alat pertukaran gas.
c. Recruitment Maneuvers
Recruitment maneuver (RM) dapat dilakukan pada kondisi
tertentu seperti adanya aspirasi endotrakeal, lepasnya sirkuit
ventilator secara tidak sengaja, atau intubasi ulang dengan tujuan
meningkatkan oksigenasi. RM dapat dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu memberikan ventilasi positif kontinyu sebesar 30-40
cmH2O selama 30-40 detik dan meningkatkan PEEP secara
bertahap. Namun, RM dapat meningkatkan risiko barotrauma dan
komplikasi hemodinamik, sehingga penggunaannya perlu
mengkaji kondisi klinis masing-masing pasien dan rasio manfaat
dan risiko.
d. Suctioning
Penghisapan endotrakea atau suctioning merupakan salah
satu komponen manajemen pasien Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) yang menggunakan ventilasi mekanik.
Prosedur ini digunakan untuk membersihkan sekresi paru. Cara
memberikan suctioning dapat dilakukan dengan dua cara, 
yaitu open dan close suctioning. Pada open suctioning,
pengisapan dilakukan dengan cara memutus sirkuit ventilator.
Sedangkan pada closed suctioning, pengisapan dilakukan dengan
kateter atau bronkoskopi.
e. I:E Ratio
Inspiration:Expiration Ratio (I:E ratio) merupakan suatu
proporsi dari siklus napas yang menggambarkan perbandingan
waktu inspirasi dan ekspirasi. Meningkatkan waktu inspirasi
diduga akan meningkatkan oksigenasi ke dalam tubuh oleh
karena meningkatkan PEEP intrinsik dan kualitas ventilasi pada
paru. Rekomendasi penggunaan I:E ratio pada awal manajemen
ARDS sebesar 1:2.
f. Humidifier
Proses pemanasan dan pelembapan oksigen pada
ventilator dapat dilakukan dengan heated humidifier atau heat and
moisture exchanger. Penggunaan alat heat and moisture

10
exchanger merupakan pilihan karena biaya yang relatif murah,
perawatannya mudah, dan dapat melakukan kondensasi pada
udara ekspirasi pasien. Namun, penggunaannya meningkatkan
tahanan jalan napas dan dead space, sehingga risiko terjadinya
hiperkapnea meningkat.
g. Posisi Pasien
Pada pasien dengan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) berat (rasio P/F ≤200 mmHg), dilakukan
perawatan dengan posisi pronasi minimal 12 jam sehari. Posisi
pronasi diduga dapat meningkatkan ventilasi melalui peningkatan
perfusi paru, peningkatan volume akhir ekspirasi paru, dan
distribusi volume tidal lebih merata pada semua bagian paru.
Namun, posisi pronasi juga dapat meningkatkan
risiko displacement dari pipa endotrakea.
h. Pipa Endotrakea
Dalam perawatan pasien Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) dengan ventilasi mekanik, dukungan patensi
jalan napas dengan pipa endotrakea sangat esensial.
Penggunaan diameter pipa endotrakea yang terlalu kecil akan
meningkatkan tahanan udara yang dialirkan sehingga
meningkatkan usaha napas pasien. Pada pasien dewasa laki-laki
umumnya pipa endotrakea yang digunakan memiliki diameter 8,0
mm dan pada pasien dewasa perempuan menggunakan diameter
7,5 mm. Rata-rata panjang pemasangan pipa endotrakea adalah
23 cm untuk laki-laki dan 21 cm untuk pasien perempuan untuk
mencapai carina. Untuk mencegah aspirasi cairan gastrik,
hendaknya digunakan pipa endotrakea dengan cuff yang dapat
diisi dengan udara dengan spuit 10-20 ml untuk
mengembangkannya. Idealnya, tekanan pada cuff dipertahankan
≤20 cm H2O mengingat pemberian tekanan yang terlalu tinggi
dapat menghambat aliran darah.
i. PEEP
PEEP lebih tinggi (≥ 5 cm H2O) umumnya lebih dianjurkan.
Rata-rata PEEP dapat dimulai pada 16 cm H2O pada pasien
ARDS sedang hingga berat menggunakan metode ventilasi

11
invasif. PEEP dilakukan untuk memperbaiki oksigenasi, namun
metode terbaik untuk melakukan PEEP hingga saat ini masih
kontroversial. Beberapa metode noninvasif yang dapat
dipertimbangkan adalah penggunaan nasal kanula high-
flow (50L/menit) dengan blender oksigen, masker napas (full face
mask), atau continuous positive airway pressure (CPAP).
Penggunaan mesin ventilator osilasi tinggi tidak dianjurkan.
j. Extra Corporeal Membrane Oxygenation
Extra corporeal membrane oxygenation (ECMO)
merupakan metode oksigenasi di mana pertukaran udara
dilakukan di luar tubuh menggunakan mesin. Terapi ini dikenal
juga sebagai bypass jantung-paru. Terapi ini masih kontroversial
karena saat epidemi H1N1, ECMO ditemukan meningkatkan
tingkat kesintasan pada pasien yang tidak bisa mendapat metode
ventilasi konvensional. Walau demikian, penelitian sebelum dan
setelah epidemi ini tidak menemukan adanya manfaat ECMO
terhadap ARDS.
3. Manajemen Cairan
Manajemen cairan harus dibedakan dengan resusitasi cairan pada
tahap awal, terutama bila terjadi syok. Manajemen cairan dilakukan
dengan konservasi cairan dan menjaga balans negatif. Hal ini dapat
mempersingkat durasi penggunaan ventilator. Albumin dan diuretik
dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Balans negatif umumnya
dilakukan selama 7 hari pertama. Pemantauan output urin juga harus
dilakukan dengan ketat. Balans negatif juga dapat mengurangi
kebutuhan pasien ARDS akan vasopressor.
4. Terapi Nutrisi
Pemberian nutrisi pada pasien ARDS dapat dilakukan setelah 48-
72 jam mendapatkan ventilasi mekanik. Nutrisi dapat diberikan secara
enteral via selang nasogastrik, kecuali bila terdapat indikasi. Nutrisi
yang dapat diberikan sebaiknya adalah formula rendah karbohidrat
tinggi lemak. Pemberian nutrisi terlalu dini, kalori terlalu tinggi,
atau trophic feeding sebaiknya tidak dilakukan karena dapat
meningkatkan mortalitas.

12
5. Terapi Farmakologi
a. Analgesik atau Sedatif
Analgesik atau sedatif umumnya diberikan pada pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik agar lebih nyaman. Agen
blokade neuromuskular umumnya dapat diberikan.
b. Heparin
Heparin berat molekul rendah (LMWH) enoksaparin 40 mg
atau 5000 unit dalteparin atau heparin tidak terfraksi dosis rendah
5000 unit dapat diberikan dua kali sehari untuk mencegah
tromboemboli bila tidak terdapat kontraindikasi.
c. Profilaksis Stress Ulcer
Sukralfat 4x1000 mg dapat diberikan per oral atau
via selang nasogastrik (NGT), ranitidine 2x150 mg dapat diberikan
per oral/NGT atau 3-4x50 mg intravena, atau omeprazole 1x40 mg
per oral/intravena/per NGT.

13
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Identitas
Dapat dilakukan pengkajian berkaitan nama pasien, ARDS bisa terjadi
pada semua umur baik anak-anak maupun dewasa, akan tetapi insiden
lebih tinggi pada orang dewasa (lebih dari 35 tahun) karena faktor
predisposisi (seperti trauma, sepsis, pancreatitis). Perempuan 2,5 kali lebih
rentan daripada laki-laki, sering terjadi pada ras kulit putih, agama pasien,
suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, penanggung biaya, status, alamat
pasien.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Berisi tentang keluhan yang paling dirasakan klien saat ini, biasanya
pasien akan merasakan sesak nafas.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Berisikan keluhan yang dirasakan saat pertama kali (di rumah) sampai
dibawa ke RS dan dilakukan pemeriksaan. Pada awalnya penderita
akan mengalami sesak nafas yang berat dan terlihat menggunakan
nafas tambahan, penderita akan lemas, pucat, serta akral dingin.
Penderita biasanya disebabkan inhalasi racun (rokok), aspirasi cairan
(tenggelam, hydrocarbon, gastric, dll), shock, drug overdose, trauma
kepala, trauma dada, dan dll.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang pernah dialami pasien sebelum mengalami sakit yang
sekarang. Biasanya klien memiliki riwayat sesak nafas atau pernah
mengalami hipoksia.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Berisikan tentang status kesehatan keluarga yang berhubungan dengan
penyakit yang dialami, dapat dibantu dengan menggunakan genogram.
Penyakit ini sedikit lebih banyak ditemukan di antara keluarga yang
pernah menderita penyakit tersebut.

14
e. Riwayat Alergi
Menunjukkan apakah pasien memiliki alergi makanan, minuman atau
obat-obatan. Biasanya pada penderita ARDS tidak memiliki riwayat
alergo obat ataupun makanan hanya terkadang mereka sering merasa
alergi pada udara sekitar.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan berkaitan tanda-tanda vital, keadaan umum, kesadaran
dan antropometri. Klien dengan ARDS umumnya akan mengalami
penurunan kesadaran, karena tidak kurangnya pasokan oksigen. Adanya
perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi takikardi, dyspnea,
hipotensi/hipertensi, dan penurunan frekuensi pernapasan.
a. B1 (Breath)
Pada umumnya klien dengan mutiple sclerosis tidak mengalami
gangguan pada sistem pernapasan. Pada beberapa klien yang telah
lama menderita mutiple sclerosis dengan tampak dari tirah baring lama,
mengalami gangguan fungsi pernapasan. Pemeriksaan fisik yang
didapat mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Inspeksi umum : didapatkan klien batuk kering atau penurunan


kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, dan penggunaan otot bantu napas.
2) Palpasi : taktil premitus seimbang kanan dan kiri

3) Perkusi : adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru

4) Auskultasi : bunyi napas tambahan seperti napas stridor, crekels,


ronkhi atau terkadang whezzing pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.
b. B2 (Blood – kardiovaskuler)
Pada umumnya klien dengan ARDS mengalami gangguan pada
sistem kardiovaskuler sehingga akan mengalami hipotensi akan
mengakibatkan klien shock, hipertensi, takikardi, serta bunyi jantung
normal (lup tup) tanpa murmur atau gallop. Biasanya klien merasa sakit
kepala, pucat dan terjadi sianosis.
c. B3 (Brain – persyarafan)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pengkajian fokus atau lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Inspeksi umum

15
didapatkan berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku. Klien
juga akan mengalami penurunan tingkat kesadaran karena kurangnya
pasokan oksigen yang akan membuat klien susah berkonsentrasi.
d. B4 (Blader – perkemihan)
Pada pemeriksaan B4 yang berhubungan dengan pemeriksaan pada
kandung kemih baik intake maupun output. Klien ARDS jarang
mengalami masalah pada kandung kemih, hanya dikarenakan intake
cairan klien (jarang minum) sedikit sehingga frekuensi outputnya juga
sedikit (oliguria).
e. B5 ( Bowel – pencernaan)
Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena mengalami kelemahan fisik umum, dan perubahan status
kognitif. Penurunan aktivitas umum klien sering mengalami konstipasi.
Sering mengalami sesak nafas akan membuat klien mengalami
penurunan nafsu makan.
f. B6 ( Bone – musculoskeletal)
Klien dengan ARDS biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan spastik anggota gerak. Kelemahan
anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris
pada keempat anggota gerak. Merasa lelah, pengontrolan yang kurang
sekali karena menahan nyeri pada bagian dada (thorax)
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X
Terlihat pada tahap awal atau dapat menyatakan sedikit normal.
Infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region perihiliar paru. Pada
tahap lanjut interstitial bilatralipus dan alveolar infiltrate menjadi bukti
dan dapat melibatkan semua lobus paru.
b. AGD
- Seri membedakan gambaran hipoksis (penurunan PACO2 meskipun
konsentrasi oksigen inspirasi meningkat)
- Hipokapnia (penurunan kadar CO2) dapat terjadi pada tahap awal
sehubungan dengan kompensasi hiperventilasi.
- Hiperkapnia (PAC02 lebih besar dari 50) menunjukan kegagalan
ventilasi.

16
- Alkalosis respiratori (ph >7.45) dapat terjadi pada tahap dini, tapi
asidosis respiratori dapat terjadi pata tahap lanjut sehubungan
dengan peningkatan area mati dan penurunan area ventilasi
alveolar.
- Asidosis metabolik dapat terjadi pada tahap lanjut sehubungan
dengan peningkatan kadar laktat darah akibat dari metabolik
anaerob.
c. Kadar asam laktat : meningkat

3.2 Diagnosis Keperawatan


A. Gangguan Ventilasi Spontan berhubungan dengan ekspirasi dan
inspirasi yang tidak adekuat.
B. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan permeabilitas dinding
kapiler paru tidak adekuat.
C. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan jalan napas tidak
adekuat
D. Hypervolemia berhubungan dengan penumpukan cairan di alveoli
E. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspirasi dan inspirasi
yang tidak adekuat
F. Gangguan intregitas jaringan berhubungan dengan penurunan mobilitas
karena tindakan intubasi
G. Deficit perawatan diri berhubungan dengan Tindakan pemasangan
ventilator
H. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive pemasangan
ventilator

17
3.3 Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA SLKI SIKI


KEPERAWATAN

1. Gangguan Ventilasi Ventilasi Spontan L.01007 Dukungan Ventilasi Spontan 1.01002


Spontan berhubungan 1. Volume Tidal meningkat (1) 1. Observasi
2. Dispnea menurun (5)  Identifikasi adanya kelehan otot bantu nafas
dengan ekspirasi dan  Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status
3. Penggunaan otot bantu menurun
inspirasi yang tidak adekuat (5) pernafasan
4. PCO2 membaik (5)  Monitor status respirasi
5. PO2 membaik (5) 2. Terapuetik
Takikardia (5)  Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Berkan posisi semi fowler
 Berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan
 Gunakan bag-valve mask, jika perlu
3. Edukasi
 Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
 Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
 Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkhodilator, jika perlu.
Terapi Oksigen 1.01026
1. Observasi
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor keefektifan terapi oksigen

18
 Monitor tanda-tanda hipoventilasi
2. Terapeutik
 Bersikan secret pada jalan nafas
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Tetap berikan oksigen saat pasien ditansportasi
 Gunakan oksigen yang sesuai dengan mobilitas pasien
3. Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga cara mengatur oksigen
4. Kolaborasi
 Kolaborasi penentu dosis oksigen
 Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan
2. Gangguan pertukaran gas Tujuan : PEMANTAUAN RESPIRASI (I.01014)
1. Observasi
berhubungan dengan PERTUKARAN GAS MENINGKAT
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
permeabilitas dinding kapiler (L.01002)  Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik0
paru tidak adekuat
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

19
 Informasikan hasil pemantauan
TERAPI OKSIGEN (I.01026)
1. Observasi
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi ventilator
 Monitor aliran oksigen secara periodic dan pastikan fraksi
yang diberikan cukup
 Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. oksimetri, analisa
gas darah ), jika perlu
 Monitor tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan
atelektasis
 Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan
oksigen
2. Terapeutik
 Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trachea, jika
perlu
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengat tingkat
mobilisasi pasien
3. Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen
dirumah
4. Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis oksigen
 Kolaborasi penggunaan ventilator

3. Bersihan jalan napas tidak Bersihan Jalan Napas Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)
efektif berhubungan dengan Meningkat (L.01001) 1. Observasi
jalan napas tidak adekuat  Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

20
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum
 Penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat
 Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Pemantauan Respirasi (I.01014)

21
1. Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan pemantauan jika perlu

4 Hypervolemia berhubungan Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN HIPERVOLEMIA (I.03114)

22
dengan penumpukan cairan di keperawatan selama x 24
alveoli jam Hipervolemia pasien 1. Observasi
 Periksa tanda dan gejala hypervolemia
teratasi dengan kriteria  Identifikasi penyebab hypervolemia
hasil :  Monitor status hemodinamik, tekanan darah, MAP, CVP,
PAP, PCWP, CO jika tersedia
1. Terbebas dari edema,  Monitor intake dan output cairan
efusi, anaskara  Monitor efek samping diuretik
2. Therapeutik
Bunyi nafas bersih, tidak  Timbang berat bada setiap hari pada waktu yang sama
ada dypneu/ortopne u  Batasi asupan cairan dan garam
 Tinggikan kepala tempat tidur 30-40 derajat
3. Edukasi
 Anjurkan melapor jika haluaran urine <0.5 ml/kg/jam
dalam 6 jam
 Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
 Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan
haluaran cairan
 Ajarkan cara membatasi cairan

4. Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian diuritik


 Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat
diuretic
B. PEMANTAUAN CAIRAN (I.03121)
1. Observasi
 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi nafas
 Monitor tekanan darah

23
 Monitor berat badan
 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun,
membrane mukosa kering, volume urine menurun,
hematocrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine
meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi tanda-tanda hypervolemia 9mis. Dyspnea,
edema perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks hepatojogular positif, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
2. Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
pasien
 Dokumentasi hasil pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

5 Pola napas tidak efektif (L.01004) PEMANTAUAN RESPIRASI (I.01014)


1. Observasi
berhubungan dengan ekspirasi Setelah dilakukan tindakan
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
dan inspirasi yang tidak asuhan keperawatan x 24 jam  Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik0
adekuat diharapkan pola nafas membaik
 Monitor kemampuan batuk efektif
dengan kriteria hasil:  Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
a) Penggunaan otot bantu napasmenurun
Auskultasi bunyi napas
(skala 5)  Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
b) Frekuensi napas membaik

24
(skala 5) Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
c) Kedalaman napas membaik  Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi
(skala 5) pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Ekskursi dada membaik (skala 3. Edukasi
5)  Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
MENEJEMEN JALAN NAPAS (I. 01011)
1. Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt
dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.

25
6 Gangguan intregitas jaringan Integritas Kulit Dan Jaringan PERAWATAN INTEGRITAS KULIT (I.11353)
1. Observasi
berhubungan dengan meningkat (L.14125)
 Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis.
penurunan mobilitas karena Perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi,
peneurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem,
tindakan intubasi
penurunan mobilitas)
2. Terapeutik
 Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
 Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika
perlu
3. Edukasi
 Anjurkan minum air yang cukup
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

8 Resiko infeksi berhubungan Tingkat infeksi L.14137 Pencegahan Infeksi 1.14539


Observasi
dengan efek prosedur invasive 1. Demam (5)
2. Kemerahan (5) 1.Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
pemasangan ventilator 3. Nyeri (5) Terapeutik
4. Bengkak (5) 1.Lakukan cuci tangan 6 langkah
(1) Meningkat 2.Lakukan tindakan aseptic
(2) cukup Meningkat Edukasi
(3) sedang 1.Jelaskan tanda dan gejala infeksi
(4) cukup menurun 2.Anjurkan meningkatkan asupan makanan
menurun 3.Anjurkan segera melapor jika terjadi infeksi
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antibiotic

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
ARDS adalah Suatu penyakit yang disebabkan oleh kerusakan luas alveolus
dan membrane kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar
pada sistem paru, kardiovaskuler, atau tubuh secara luas. Saat terjadi ARDS
Masalah keperawatan utama yang muncul iyalah gangguan ventilasi spontan,
dikarenakan ARDS merupakan bentuk gagal napas yang berbeda, ditandai
dengan hipoksemia berat yang resisten terhadap pengobatan konvensional yang
mengakibatkan penurunan cadangan energi, sehingga individu tidak mampu
bernapas secara adekuat. Penyebab ARDS bisa penyakit yang secara langsung
ataupun tidak langsung melukai paru-paru seperti: Pneumoni virus, bakteri,
fungal; contusio paru, aspirasi cairan lambung, inhalasi asap berlebih, inhalasi
toksin, menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama, Sepsis, Shock, Luka
bakar hebat, Tenggelam. Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam
setelah terjadinya penyakit atau cedera.
Tata laksana ARDS yang terpenting yaitu menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal, yaitu: mencegah lesi paru secara
iatrolgenik, mengurangi cairan didalam paru, mempertahankan oksigen jaringan.

4.2 Saran
1. Menghindari faktor resiko yang dapat menyebabkan ARDS.
2. Apabila gejala ARDS mulai muncul sesegera mungkin bawalah ke rumah
sakit terdekat untuk mendapat pertolongan lebih lanjut agar tidak terjadi
komplikasi pada hati dan ginjal.

31
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society/European Society of Intensive Care Medicine/Society


of Critical Care Medicine Clinical Practice Guideline: Mechanical Ventilation in
Adult Patients with Acute Respiratory Distress Syndrome. Am J Respir Crit
Care Med. 2017;195:1253–63

Amin, H. N. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diasnosa Medis


Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction.

Amin Z, Pitoyo C, Uyainah A, Rumende M, Singh G, Amanda A. Acute


respiratory distress syndrome. Ina J CHEST Crit Emerg Med. 2016;3:54–6.

Chen W, Ware L. Prognostic factors in the acute respiratory distress syndrome.


Clin Transl Med. 2015;4:23.

Fan E, Brodie D, Slutsky AS. Acute respiratory distress syndrome advances in


diagnosis and treatment. JAMA. 2018;319:698–710.

Fan E, Del Sorbo L, Goligher EC, Hodgson CL, Munshi L, Walkey AJ, et al. An
Official

Harman, E., & Pinsky, M. (2018). Acute Respiratory Distress Syndrome. pp.
https://emedicine.medscape.com/article/165139-overview.

Hartini, K., Amin, Z., Pitoyo, C. W., & Rumende, C. M. (2014). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Mortalitas Pasien ARDS di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta. 21-26.

Herdman, T. (2015). Heather Alih Bahasa Sumarwati, made & Budi Subekti,
Nike. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta:
EGC.

Kowalak, P., & Jennifer. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Lantika, E., Silaen, R., & Kestriani, N. D. (2019). Tata Laksana Mekanika
Ventilator pada Pasien Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
dengan Pendekatan Driving Pressure Management Mechanical Ventilator
On Patient With Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Using
Driving Pressure Approach. 97-106.

Saguil A, Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and


Management. Am Fam Physician. 2012.

Susanto, Y. S. (2012). Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif pada Acute


Respiratory Distress Syndrom (ARDS). Jurnal Respirasi Indonesia 32(1),
44-52.

Thompson B, Chambers R, Liu K. Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl


J Med. 2017;377:562–72.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1. Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.

32
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI). Edisi 1. Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan


Indonesia(SLKI).Edisi 1. Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.

Tornado, A., & Harahap, M. S. (2013). Perbedaan Mortalitas Antara Pasien


Sepsis Dan Sepsis Dengan komplikasi Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). Undergraduate Thesis. Universitas Diponegoro

33

Anda mungkin juga menyukai