Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SISTEM 2

TUGAS KELOMPOK – ARDS (ACUTE RESPIRATORY


DISTRESS SYNDROME)

Fasilitator :

Merina Widyastuti, S.Kep., Ns., M.Kep

Oleh :

Kelompok 1

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH

SURABAYA

2019
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SISTEM 2
TUGAS KELOMPOK – ARDS (ACUTE RESPIRATORY
DISTRESS SYNDROME)

Oleh :

1 Dwi Rizqi Putri W.H 1510011


2 Qiftia Fatmatuz Z. 1510042
3 Ratnasari Hardiyanti 1510044
4 Ririn Prastia Agustin 1510045
5 Riska Utama 1510047

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA

2019

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa :

iii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Kelompok Keperawatan Gawat Darurat Sistem 2ini yang
berkenaan dengan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan masukan, dorongan dan bimbingan kepada penulis
dalam menyusun makalah ini baik dari segi moril dan materil. Ucapan terimakasih
tersebut ditujukan kepada:
1. Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep. Selaku ketua Stikes Hang Tuah
Surabaya.
2. Merina Widyastuti, S.Kep., Ns., M.Kep. Selaku penanggung jawab dan
dosen mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat Sistem 2Stikes Hang Tuah
Surabaya.
3. Rekan-Rekan Angkatan 21 Prodi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Hang
Tuah Surabaya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya
konstruktif dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang
membaca dan bagi pengembangan ilmu keperawatan.

Surabaya, 07 Maret 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ ii


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
1.4 Manfaat .................................................................................................... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian ARDS .................................................................................... 4
2.2 Klasifikasi ARDS..................................................................................... 4
2.3 Etiologi ARDS ......................................................................................... 4
2.4 PatofisiologiARDS ................................................................................... 6
2.5 Manifestasi KlinisARDS ......................................................................... 7
2.6 Pemeriksaan PenunjangARDS .............................................................. 7
2.7 PenatalaksanaanARDS ........................................................................... 8
2.8 KomplikasiARDS .................................................................................... 10
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian ............................................................................................... 11
3.2 Primary Survey ....................................................................................... 11
3.3 Secondary Survey .................................................................................... 12
3.4 MasalahKeperawatan ............................................................................. 12
BAB 4. PENUTUP
4.1 Simpulan ..................................................................................................
4.2 Saran ........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

v
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jurnal 1 ..........................................................................................
Lampiran 3. Jurnal 2 ..........................................................................................

vi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sirkulasi oksigen yang teratur dari udara oleh paru-paru sangat vital
bagi kehidupan. Namun pada saat ini mulai bermunculan fakta-fakta bahwa
fungsi vital terse but sudah tidak dapat berjalan lagi dengan semestinya pada
sejumlahmanusia akibat dari penyakit yang dideritanya.Trauma thoraks sering
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, benturan karena jatuh, ledakan gas dan
mekanisme trauma tumpul yang lainnya. Pada trauma thoraks sering
menyebabkan gangguan ventilasi perfusi akibat kerusakan dari parenkim
paru.Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan oksigenasi jaringan, yang
menjadi salah satu faktor penyebab kematian pada trauma thoraks (Wiyasa,
2016).
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu
penyakit paru akut yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU)
dan mempunyai angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%.Dahulu
ARDS memiliki banyak nama lain sepertiwet lung, shock lung, leaky-
capillary pulmonary edemadan adult respiratory distress syndrome. Tidak
adatindakan yang spesifik untuk mencegah kejadian ARDSmeskipun faktor
risiko sudah diidentifikasi sebelumnya.Pendekatan dalam penggunaan model
ventilasi mekanis pada pasien ARDS masih kontroversial. American European
Concencus Conference Committee (AECC) merekomendasikan pembatasan
volume tidal, positive end expiratory pressure (PEEP) dan hiperkapnea
(Susanto& Sari, 2012).
Kerusakan paru akan diikuti dengan gangguan perfusi parenkim paru,
dan jika oksigenasi tidak diperbaiki hal ini akan menyebabkan terjadinya
hipoksemia sistemik. Selain itu, trauma langsung pada thoraks dapat
menyebabkan terjadinya kontusio pulmonum. Hal ini merupakan komplikasi
trauma thoraks yang akan berkembang menjadi Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) (Bakowitz, et al., 2012; Milisavljevic, et al., 2012).
ARDS pertama kali dideskripsikan oleh Ashbaugh dan kawan-kawan
pada tahun 1967. Pada tahun 1994 American-European Consensus Conference

1
Committee(AECC) merekomendasikan definisi baru dari ARDS untuk
digunakan secara luas. Definisi menurut Berlin pada tahun 2011 meliputi jika
PaO2/FiO2 ≤ 300 menandakan suatu ARDS. Kontusio paru terjadi sekitar
20% pada pasien trauma thoraks, dimana 50-60% pasien dengan kontusio paru
yang berat akan menjadiARDS. ARDS masih merupakan salah satu
komplikasi trauma thoraks yang sangat serius dengan angka kematian 20-43%
(Fanelli, et al., 2013; Aukema, et al., 2011).
Estimasi yang akurat tentang insidensi ARDS sulit karena definisi
yang tidak seragam serta heterogenitas penyebab dan manifestasi
klinis.Insidensi ARDS yang dilaporkan di Amerika Serikat mencapai 150.000
kasus per tahun. Data terbaru menunjukkan insidensi ARDS 15.3–58.7 kasus
per 100,000 orang per tahun dengan mortalitas 41–58%. Angka mortalitas
ARDS yang dipublikasikan bervariasi dari 10% sampai 90%. Kesulitan untuk
membedakan insidensi dan outcome ARDS karena adanyaperbedaan dari
definisi dan penyakit yang mendasari, perbedaan terapi kegagalan menentukan
populasi yang beresiko terjadi ARDS (Susanto & Sari, 2012).
Beberapa penyebab kejadian ARDS masih menjadi masalah penelitian
yang terus di kaji kebenarannya. Faktor yang berkaita dengan komplikasi
tersebut antara lain adalah gagal nafas dengan onset akut, PaO2/FIO2 <200
mmHg sampai hipoksemia berat, radiografi thorak sesuai dengan edema paru
dan tekanan baji kapiler pulmoner <18 mmHg tanpa tanda klinis hipertensi
atrial kiri. Selain itu juga bisa sangat mungkin diatasi dengan menangani
masalah sepsis yang sebelumnya terjadi yaitu tentang stabilisasi pasien,
pemberian antibiotik yang adekuat, fokus infeksi awal harus dieliminasi,
pemberian nutrisi yang adekuat, dan terapi suportif lainnya (Amin&Purwoto,
2010).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep ARDS ?
2. Bagaimana teori asuhan keperawatan pada ARDS ?
1.3 Tujuan
1. Mengidentifikasi konsep ARDS.
2. Mengidentifikasi teori asuhan keperawatan ARDS.

2
1.4 Manfaat
1. Manfaat bagi mahasiswa
Mahasiswa menambah pengetahuan dan wawasan mengenai materi
tension pneumotoraks dan pembelajaran yang sesuai.
2. Manfaat bagi dosen
Dosen mampu memfasilitasi mahasiswa dengan mahasiswa yang
melakukan presentasi.
3. Manfaat bagi institusi
Hasil pembelajaran dan pembahasan tentang tension pneumotoraks ini
dapat memberikan referensi dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan
proses pembelajaran.

3
BAB 2

KONSEP ARDS

(ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)

2.1 Definisi
Acute Respiratory Distress Syndrom atau ARDS pertama kali
dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai hipoksemia berat yang
onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto toraks dan penurunan
compliance atau daya regang paru (Fanelli dkk, 2013).
ARDS merupakan suatu bentukan dari gagl napas akut yang ditandai
degan hipoksemia, penurunan fungsi paru-paru, dpsnea, edema paru-paru
bilateral tanpa gagal jantung, dan infiltrat yang menyebar. Selain itu, ARDS
dikenal juga dengan nama ‘noncardiogenic pulmonary edema’,’ahock
pulmonary’, dan lain-lain (Seomantri, 2008).
ARDS merupakan sindrom inflamasi paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru yang disebabkan oleh cedera akut. ARDS biasanya dikaitkan
dengan sepsis, aspirasi, pneumonia atau trauma (Stiilwell dkk, 2003).
2.2 Klasifikasi
Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok
berdasarkan PaO2 ATAU fiO2. Tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI)
dalam kriteria ini. Berikut merupakan definisi ARDS berdasarkan kriteria
Berlin:
1. Ringan (mild), yaitu PaO2 atau FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi kurang
dari dan sama dengan 300 mmHg dengan positive-end expiratory pressure
(PPEP) atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥ 5 CmH2O.
2. Sedang, yaitu Pa02 atau FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi kurang dari
dan sama dengan 200 mmHg dengan PPEP ≥ 5 CmH2O.
3. Berat, yaitu jika Pa02 atau FiO2 kurang dari 100 mmHg dengan PPEP ≥ 5
cmH2O.
2.3 Etiologi
Menurut Fanelli dkk, (2013) mengatakan bahwa penyebab spesifik ARDS
masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang dapat berperan pada

4
gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi
sebagai sindrom.
1. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan
produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap
parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS,
insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%.
2. Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko
ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan
menyebabkan penderita mengalami chemical burn pada parenkim paru
dan menimbulkan kerusakan berat pada epitel alveolar.

Sedangkan, Menurut Seomantri (2008) mengatakan faktor penting penyebab


ARDS antara lain:

1. Shock (disebabkan banyak faktor)


2. Trauma (memar pada paru-paru, fraktur multipel, dan cedera kepala).
3. Cedera sistem saraf yang serius. Seperti trauma, CVA, tumor dan
peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan terangsangnya
saraf simpatis sehingga mengakibatkan vasokonstriksi sistemik dengan
distribusi sejumlah besar volume darah ke dalam paru-paru. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan kemudian akan
menyebabkan cedera paru-paru (lung injury).
4. Gangguan metabolisme (prankeatitis dan uremia).
5. Emboli lemak dan cairan amnion.
6. Infeksi paru-paru difus (bakteri,virus, dan jamur).
7. Inhalasi gas beracun (rokok, oksigen konsentrasi tinggi, gas klorin,
NO2, dan ozon).
8. Aspirasi (sekresi gastrik, tenggelam, dan keracunan hidrokarbon).
9. Menelan obat berlebih dan overdosis narkotik/non narkotik (heroin,
opioid, dan aspirin).
10. Kelainan darah (DIC, transfusi darah multipel, dan bypass
kardiopulmoner).
11. Operasi besar.

5
12. Respons imunologik terhadap antigen pejamu (sindrom goodpasture dan
SLE).
2.4 Patofisiologi
ARDS selalu berhubungan dengan penambahan cairan dalam paru-paru
sehingga membentuk edema paru-paru. Namun, hal ni berbeda dengan edema
paru-paru kardiogenik karena tekanan hidrostatik kapiler paru-paru tidak
meningkat. Awalnya, terdapat cedera pada membran alveolar kapiler yang
menyebabkan kebocoran cairan, makromolekul, dan komponen-komponen
sel darah ke dalam ruang interstisial. Seiring dengan bertambah parahnya
penyakit, kebocoran tersebut masuk ke dalam alveoli. Peningkatan
permeabilitas vaskular terhadap protein membuat perbedaan hidrostatik yang
besar sehingga peningkatan tekanan kapiler yang ringan pun dapat
meningkatkan edema interstisial dan alveolar. Kolaps alveolar terjadi
sekunder terhadap efek cairan alveolar, terutama fibrinogennya yang
mengganggu aktivitas surfaktan normal dan karena kemungkinan gangguan
produksi surfaktan lanjutan oleh cedera pada pneumocyt granular. Kapasitas
pengisian paru-paru menjadi kurang yaitu menjadi kaku karena edema
interstisial dan kolaps alveoli.
Cedera paru-paru
Agen anti u Antibiotik
inflamasi profilaksis

Pengeluaran zat vasoaktif


(serotonin, histamin, dan bradikinin)
1. Batuk
2. Asidosis Permeabilitas membran alveolar
respiratori
3. Crakles Protein dan cairan bergerak ke alveoli
4. Takipnea
5. Hipoksemia
6. Dispnea Kerusakan epitel alveolar tipe II pneumocyst
7. Sputum
kental
Produksi surfaktan menurun Hemoptisis

Atelektasis

6
Regenasi membran alveolar dengan Compliance paru-
sel epitel tebal paru

Sering kali timbul jaringan paut


dan menurunkan fungsi paru- FRC
paru

Gambar 2.1 Patofisiologi ARDS


2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi,
derajay injuri paru dan ada tidaknya disfungsi organ lain selain paru. Gejala
yang dikeluhkan berupa sesak nafas, membutuhkan usaha lebih untuk
menarik nafas, dan hipoksemia. Infiltrat bilateral pada foto polos toraks
menggambarkan edema pulmonal. Multiple organ dysfunction syndrome
(MODS) dapat terjadi karena abnormalitas biokimia sistemik.
Adult respiratory distress syndrome terjadi dalam hitungan ja,-hari setelah
onset kondisi predisposisi. Batasan waktu ARDS ini adalah satu minggu dari
munculnya onset baru atau dari memburuknya suatu gejala pernapasan.
2.6 Pemeriksaan penunjang
1. Chest X-ray : pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas tau dapat juga
terlihat adanya bayangan infiltrate yang terletak di tengah region perihilir
paru-paru. Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara
bilateral dan infiltrate alveolar, menjadi rata dan dapt mencakup
keseluruhan lobus paru-paru. Tidak terjadi pembesaran pada jantung.
2. ABGs : hipoksemia (penuruann PaCO2), hipokapnia (penurunan nilai
CO2 dapat terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap
hiperventilasi), hiperkapnia (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan
pernapasan. Alkalosis respiratori (PH > 7,45) dapat timbul pada stadium
awal tetapi asidosis dapat juga timbul pada stadium lanjut yang
berhubungan dengan peningkatan anatomical dead space dan penurunan
ventilasi yang berhubungan dengan peningkatan nilai laktat dara, akibat
metabolism anaerob.

7
3. Pulmonary Function Test : kapasitas pengisian paru-paru dan volume
paru-paru menurun, terutama FRC, peningkatan anatomical dead space
dihasilkan oleh area dimana timbul vasokontriksi dan mikroemboli.
4. Asam Laktat : meningkat.
2.7 Penatalaksanaan
1. Terapi Oksigen
Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik yang penting dan secara
potensial mempunyai efek samping toksik. Pasien tanpa riwayat penyakit
paru-paru tampak toleran dengan oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa
abnormalitas fisiolois yang signifikan.
2. Ventilasi Mekanik
Aspek penting perawatan ARDS adalah ventilasi mekanis. Terapi
modalitas ini bertujuan untuk memberikan dukungan ventilasi sampai
integritas membran alveolakapiler kembali membaik. Dua tujuan
tambahan adalah :
a. Memelihara ventilasi adekuat dan oksigenasi selama periode kritis
hipoksemia berat.
b. Mengatasi faktor etiologi yang mengawali penyebab distress
pernafasan.
3. Positif End Expiratory Breathing (PEEB)
Ventilasi dan oksigenasi adekuat diberikan melalui volume
ventilator dengan tekanan dan kemampuan aliran yang tinggi, dimana
PEEB dapat ditambahkan. Positif en expiratory breathing (PEEB)
dipertahankan dalam alveoli melalui siklus pernafasan untuk mencegah
alveoli kolaps pada akhir ekspirasi.
Komplikasi utama PEEB adalah penurunan curah jantung dan
barotraumas. Hal tersebut sering kali terjadi jika pasien diventilasi
dengan tidal volume di atas 15 ml/kg atau PEEB tingkat tinggi. Peralatan
selang dada torakostomi darurat harus siap tersedia.
4. Pemantauan Oksigenasi Arteri Adekuat
Sebgian besar volume oksigen ditranspor ke jaringan dalam bentuk
oksihemoglobin. Bila anemia terjadi, kandungan oksigen dalam darah

8
menurun. Sebgai akibat efek ventilasi mekanik PEEb pengukuran seri
hemoglobin perlu dilakukan untuk kalkulasi kandungan oksigenasi yang
akan menentukan kebutuhan utuk tranfusi sel drah merah.
5. Titrasi Cairan
Efek pathogenesis dari peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler
adalah dapat mengakibatkan edema interstisial dan edema alveolar.
Pemeberian cairan yang berlebihan pada orang normal dapat
menyebabkan edema paru-paru dan gagal pernafasan. Tujuan utama
terapi cairan adalah untuk mempertahankan parmeter fisiologik normal.
6. Terapi Farmakologis
Peggunaan kortikosteroid untuk terapi masih controversial.
Sebelumnya terapi antibiotik diberikn untuk profilaksis, tetapi
pengalaman menunjukkn bahwa hal ini dapat mencegah sepsis gram
negative yang berbahaya. Akhirnya antibiotic profilaksis rutin tidak lagi
digunakan.
7. Pemeliharaan Jalan Napas
Selang endotrakheal atau selang trakheostomi disediakan tidak
hanya sebagai jalan nafas, tetapi juga berarti melindungi jalan nafas
(dengan cuff), memberikan dukungan ventilaasi kontinu dan memberikan
konsentrasi oksigen terus-menerus. Pemeliharaan jalan napas meliputi :
mengetahui waktu penghisapan, teknik penghisapan, tekanan cuff
adekuat, pencegahan nekrosis tekanan nasal dan oral untuk membuang
secret dan pemonitoran konstan terhadap jalan napas bagian atas.
8. Pencegahan Infeksi
Perhatian penting tehadap sekresi pada saluran pernapasan bagian
atas dan bawh serta pencegahan infeksi melalui teknik penghisapan yng
telah dilakukan. Infeksi nosokomial adalah infeksi di dapatkan dari
rumah sakit.
9. Dukungan Nutrisi
Malnutrisi relative merupakan masalah umum pada pasien dengan
masalah kritis. Nutrisi parental total (hiperalimentasi intravena) atau
pemberian akan melalui selang dapat memperbaiki malnutrisi dan

9
memungkinkan pasien untuk menghindari gagal napas sehubngan dengan
nutrisi buruk pada otot inspirasi.
10. Monitor Semua System Terhadap Respons Terapi Dan Potensial
Komplikasi
Rata-rata mortalitas 50-70%, dapat menimbulkan gejala sisa saat
penyembuhan. Prognosis jangka oanjang baik. Abnormalitas obstruksi
terbatas, defek difusi sedang dan hipoksemia selama latihan.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi nosokomial yang terjadi
hampir setengah pasien, miopati yang bekaitan dengan blokade
neuromuskular jangka panjang, tromboemboli vena, perdarahan traktur GI,
serta nutrisi inadekuat. Kaskade peradangan yang berperan pada terjadinya
cedera paru akut (ALI) juga dapat menyebabkan gagal system multiorgan.
Disfungsi jantung dan instabilitas hemodinamik dapat disebabkan oleh
peningkatan tekanan intratoraks.

10
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien
a. Nama
b. Umur
c. Jeniskelamin
d. Tanggal dan jam MRS
e. Ruangan
f. Nomerrekam medic
g. Diagnosamedis
2. Keluhan Utama
3. Riwayat kejadian/penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat alergi
3.2 Primary Survey
a. Airway
1) Jalan nafas tidak paten (adanya obstruksi)
2) Penumpukan sekret
3) Terpasang ETT
b. Breathing
1) Sesak nafas
2) Adanyaotot bantu pernafasan
3) Pernafasan Takipneu (cepat dangkal)
4) Adanya suara nafas tambahan (ronchi)
c. Circulation
a. Tekanan darah menurun (hipotensi)
b. Peningkatan frekuensi nafas
c. Pergerakan dada tidak simetris
d. Sianosis
e. CRT > 2 detik
f. Edema paru

11
d. Disability
a. Kesadaran sedikit menurun, GCS berkisar 12-14
b. Pupil isokor
e. Exposure
3.3 Secondary Survey
(1)Pemeriksaan Fisik
a. B1 (breath)
Bentuk dada tidak simetris, terdapat otot bantu pernafasan, sesak
nafas, terdapat sputum yang berlebihan, sianosis, terdapat suara nafas
tambahan (ronchi),nafas cepat dan dangkal, batuk.
b. B2 (blood)
CRT > 2 detik, akral dingin basah pucat, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening,
c. B3 (brain)
Kesadaran menurun, tidak adalesi, tidak nyeri kepala, pupil bulat
isokor,
d. B4 (bladder)
Terpasang alat bantu kateter, tidak ada nyeri tekan,
e. B5 (bowel)
Terpaang alat bantu NGT, bentuk perut simetris, bunyi timpani, tidak
terdapat jejas,
f. B6 (bone)
Mobilisasi dibantu, tidak ada kelainan jaringan/trauma, tidak ada lesi,
ROM terbatas
(2)Pemeriksaan diagnostic
a) Pemeriksaan BGA
b) Foto Thorax
c) Rontgen
3.4 MasalahKeperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d mukus yang berlebihan

12
a. Kriteria Hasil : mempertahankan jalan nafas (tidak ada sumbatan
sekret), tidak ada suara nafas tambahan, RR dalam batas normal
(16-20x/menit)
b. Intervensi :
1) Monitor status pernafasan pasien (cek Respiratory Rate)
2) Monitor status ventilasi pasien
3) Lakukan penghisapan lendir (suction) secara berkala
4) Lakukan fisioterapi dada seperti clapping dan vibrating
2. Ketidakefektifan polanafas b/d hiperventilasi
a. Kriteria Hasil : sesak nafas berkurang, frekuensi, irama dan
kedalaman pernapasan normal (16-20 x/menit)
b. Intervensi :
1) Kaji fungsi pernafasan pasien (frekuensi, irama, kecepatan),
auskultasi dan catat ada atau tidaknya bunyi nafas tambahan,
lihat adanya otot bantu nafas atau tidak
2) Kaji tanda vital dan tingkat kesadaran pasien setiap jam.
3) Berikan oksigen sesuai kebutuhan pasien.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberianantibiotik, steroid,
bronchodilator dan ekspektoran.
3. Hambatan pertukaran gas b/d penumpukan cairan di alveoli
a. Kriteria Hasil : pasien tidak menggunakan otot bantu napas,
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan secara
adekuat (dapat dilihat dari hasil AGD)
b. Intervensi :
1) Monitor Analisa Gas Darah
2) Monitor kadar hemoglobin pasien
3) Berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian ventilasi mekanik.

13
BAB 4
4.1 Kesimpulan
ARDS merupakan suatu bentukan dari gagl napas akut yang ditandai
degan hipoksemia, penurunan fungsi paru-paru, dpsnea, edema paru-paru
bilateral tanpa gagal jantung, dan infiltrat yang menyebar yang disebabkan
karena shock (yang disebabkan banyak faktor), trauma, cedera system saraf
yang serius, aspirasi, gangguan metabolism, infeksi paru-paru disfusi yang
dapat dilakukan terapi yaitu terapi oksigen, ventilasi mekanik, terapi
farmakologis, pemeliharaan jalan nafas, pencegahan infeksi, monitor semua
system terhadap respon terapi dan potensial komplikasi.
Dapat dilakukan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, primary
survey, secondary survey, dan menentukan diagnose keperawatan dan
intervensi keperawatan yang tepa untuk pasien ARDS.

4.2 Saran
Menghidari resiko penyebab terjadinya ARDS dan apabila ada gejala
muncul segeralah membaw pasien ke rumah sakit terdekat untuk mendapat
pertolongan lebih lanjut agar tidak terjadi komplikasi lain. Dan untuk
menghidari kejadian yang tidak diinginkan perawatdapat berkomunikasi yang
jelas kepada pasien dalam mempercepat penyembuhan dan berikan
penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan
hasil yang maksimal dan mencegah terjadinya resti ARDS

14
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. Keliat, E. N. & Wibawabto, F. S. (2017). Acute Respiratory Distress


Syndrome (ARDS). Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan-RSHAM.

Amin, Z. Purwoto, J. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: Sudoyo,


A. W. Setiyohadi, B. Alwi, I. & Setiani, S. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing; 2010. P234-241

Fanelli V, Vlachou A, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute Respiratory


Syndrome: New Definition, Current and Future Therapeutic Options.
Journal of Thoracic Disease. 2013, 5(3): 326-334.

Herdman, T.H dan Komitsuru S. 2017. Nanda-I Diagnosis KeperawatanDefinisi


dan Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11. Jakarta: EGC

Soemantri, I. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

Stillwell, Susan. B. (2003). Pedoman Keperawatan Kritis, Ed.3. Jakarta: EGC

Susanto, Y.S. Sari, F. R. (2010). Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada


Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Jurnal Respiratologi
Indonesia. Vol.01

Wiyasa, A. B. T. (2016). Validitas Chest Trauma Score (CTS) dalam


Mempresdiksi Terjadinya Acute Respiratory Syndrome (ARDS) pada
Pasien Trauma Thoraks di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.

15

Anda mungkin juga menyukai