Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

PADA TRAUMA (PNEUMOTHORAKS)

Dosen Pengampu :

Bapak Arif Mulyadi, S.Kep., Ns., M.Kep.

Oleh :

Kelompok 6

Nadhya Sasadhara Christiyanti P17212215021


Nizar Zulmi Hidayat P17212215028
Nugrahani Candra P17212215035
Talitha Lasaufa Setiyandika P17212215039
Varida Suparno P17212215047
Rosa Istiqomah P17212215051
Irma Dwi Noviyanti P17212215071
Novianti Eka Saputri P17212215076
Arfiana Rachmatillah P17212215090
Patmah P17212215111
Nur Aprilisa Wulandari P17212215112
Rachmawati Eka Putri Kesuma P17212215113

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Kritis Pada Trauma
(Pneumothoraks)”.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak makalah ini
tidak dapat terselesaikan dengan baik, karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
bimbingan, bantuan, dukungan, dan saran kepada Bapak Arif Mulyadi, S.Kep.,
Ns., M.Kep.

Penulis menyadari bahwa kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman


yang penulis miliki sangat terbatas, sehingga penulisan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk penulis maupun pembaca lainnya.

Malang, Agustus 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi .......................................................................................... 3


2.2 Etiologi ........................................................................................... 3
2.3 Klasifikasi ...................................................................................... 4
2.4 Manifestasi Klinis .......................................................................... 5
2.4 Patofisiologi ................................................................................... 6
2.5 Penatalaksanaan ........................................................................... 8
2.5 Pathway ....................................................................................... 11
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian ................................................................................... 12


3.2 Pemeriksaan Fisik ....................................................................... 13
3.3 Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 17
3.4 Diagnosa...................................................................................... 18
3.3 Intervensi ..................................................................................... 19
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan .................................................................................. 35


4.2 Saran ........................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 37

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumothorax sebagai suatu penyakit yang berbahaya seperti penyakit
jantung, paru-paru, stroke dan kanker banyak dialami oleh orang-orang yang
berusia lanjut. Tetapi di era yang modern ini, penyakit-penyakit berbahaya
tersebut tidak jarang diderita oleh usia yang masih produktif. Salah satu
penyakit yang sering menyerang adalah penyakit paru. Banyak penyakit paru-
patu yang menjadi salah satu penyebab utama kematian seseorang, salah
satunya adalah pneumothorax. Sehingga diperlukan suatu bentuk rehabilitasi
yang dapat memulihkan kondisi kesehatan agar dapat melanjutkan hidup
menjadi lebih baik.
Jumlah penumothorax di Indonesia berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000
per tahun. Di RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011 didapatkan pasien
dengan pneumothorak spontan primer 25%, pneumothorak spontan sekunder
47,1%, pneumothorak traumatik 13,5% dan pneumothorak tension 14,4%.
Angka mortalitas pneumothoraknya pun tinggi yaitu sebanyak 33,7% dengan
penyebab kematian terbanyak gagal napas (45,8%) (Muttaqien, 2019).
Pneumothorax merupakan keadaan emergency yang dapat terjadi baik di
luar rumah sakit ataupun ketika perawatan di rumah sakit. Mayoritas terjadi di
rumah sakit (Papagiannis, et al., 2015). Pneumothorax sendiri diartikan
sebagai adanya udara di rongga dada dan secara spesifik berada pada rongga
pleura. Penyebab terjadinya pneumothorax pun beragam. Dua penyebab
mayoritas terjadinya pneumothorax ialah spontan dan traumatik.
Pneumothorax spontan terjadi tanpa adanya riwayat trauma atau terjadi
pada orang dengan atau tanpa penyakit pernapasan terlebih dahulu.
Pneumothorax spontan diklasifikasikan sebagai pneumothorax primer dan
sekunder. Biasanya pneumothorax primer terjadi pada dewasa muda, tampak
sehat tanpa diketahui adanya penyakit paru, sedangkan pneumothorax
sekunder merupakan komplikasi atau sudah didahului oleh keadaan patologis
paru-paru (misal Penyakit Paru Obstruksi Kronik, cystic fibrosis, TB paru, dan
lainnya). Ketika pneumothorax didasari komplikasi atau penyakit paru
sebelumnya, konsekuensi atau prognosis penyakit menjadi lebih sulit, begitu
juga manajemen menjadi lebih sulit.

1
Dampak fisik yang dialami penderita pneumothorax bervariasi sesuai
tingkat keperahan sistem pernapasan, ditandai dengan dispnea, sianosis,
takipnea berat, keterbatasan gerak dan nyeri dada berasal dari paru-paru
akibat adanya udara pada rongga pleura. Tanda dan gejala gawat pernapasan,
tachycardia, dan hipotensi yang parah menunjukkan adanya pneumothorax
yang tegang (Arteaga, 2018). Selain dampak fisik, terdapat dampak secara
fisiologis yang dialami oleh penderita pneumothorax ialah kesulitan bernapas
karena paru paru mengalami kebocoran, penurunan curah jantung akibat
adanya penyumbatan, pergesar tulang mediatinum menekan jatung, paru paru
sehat serta kemampuan alveoli menurun sehingga terjadinya kolaps paru
(Arteaga, 2018).
Perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan melalui asuhan
keperawatan diharapkan dapat membantu pasien. Maka dari itu dalam
makalah ini akan membahas mengenai asuhan keperawatan pada
pneumothorax.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari pneumothorax?
2. Bagaimana etiologi dari pneumothorax?
3. Apasaja manifestasi dari pneumothorax?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari pneumothorax?
5. Bagaimanakah pathway dari pneumothorax?
6. Bagaimanakah tatalaksana dari pneumothorax
7. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan dari pneumothorax?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi dari pneumothorax?
2. Untuk mengetahui etiologi dari pneumothorax?
3. Untuk mengetahui manifestasi dari pneumothorax?
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari pneumothorax?
5. Untuk mengetahui pathway dari pneumothorax?
6. Untuk mengetahui tatalaksana dari pneumothorax
7. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan dari pneumothorax?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Pneumotoraks merupakan kumpulan udara dan gas yang terdapat


dalam rongga pleura. Hal ini dapat terjadi akibat pecahnya permukaan
paru-paru sehingga udara dapat keluar menuju rongga pleura (Simamora
R, 2020). Pneumotoraks ditandai dengan dispnea dan nyeri dada yang
berasal dari paru-paru dan dinding dada dan dapat mengganggu
pernapasan normal karena adanya gelembung gas di rongga pleura atau
retensi gas di rongga pleura yang terjadi setelah bula pecah (Choi, W.I,
2014).

2.2 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya pneumotoraks dapat dibagi menjadi


pneumothorax spontan dan pneumotoraks traumatik (Light, RW 2016)

1. Pneumotoraks Spontan

Pneumotoraks spontan dapat dikategorikan menjadi


a. Pneumotoraks Spontan Primer (PSP)

Sebagian besar kasus PSP terjadi akibat ruptur spontan dari bleb
atau bula subpleural, yang mengeluarkan udara ke dalam rongga
pleura. Bleb atau bula paru adalah kantung udara kecil yang
terbentuk di antara jaringan paru dan pleura, berasal dari
pembesaran alveoli paru (diameter 1−2 cm) dan biasanya
berkembang di daerah apikal. Ada dua mekanisme yang bertujuan
untuk pembentukan bleb atau bulla. Salah satu mekanisme adalah
bawaan; lobus paru atas tumbuh lebih cepat daripada pembuluh
darah, menyebabkan kurangnya suplai darah dan berkembangnya
bula. Mekanisme kedua terkait dengan tekanan rongga pleura,
yang menjadi lebih negatif di daerah apikal paru-paru. Pada individu
yang tinggi, tekanan rongga pleura negatif meningkat pada lobus

3
paru atas, dan tekanan alveolar juga meningkat. Peningkatan ini
dapat menyebabkan pembentukan banyak bula dan pneumotoraks.
b. Pneumotoraks Spontan Sekunder

Pada pneumotoraks spontan sekunder bisa terjadi akibat pecahnya


bleb visceralis atau bulla subpleura yang berhubungan dengan
penyakit dasarnya. Penyakit yang paling sering dan/atau atipikal
antara lain penyakit saluran napas (emfisema, fibrosis kistik, asma
berat), penyakit paru infeksius (Pneumonia Pneumocystic carinii,
tuberkulosis, pneumonia nekrotikans), penyakit paru interstitial
(fibrosis paru idiopatik, sarkoidosis, halikositosis x,
limfangioleiomiomatosis), penyakit jaringan ikat (rheumatoid
arthritis, scleroderma, dan ankylosing spondylitis, Marlan’s
syndrome, Ehlers Danlos syndrome), dan keganasan (kanker paru-
paru, sarcoma).
2. Pneumotoraks Traumatik

Terjadi akibat cedera trauma langsung atau tidak langsung pada dada
.Traumanya bisa bersifat menembus (luka tusuk, peluru atau tumpul
seperti benturan pada kecelakaan bermotor). Pneumotoraks juga bisa
merupakan komplikasi dari tindakan medis tertentu(misal
torakosentesis, torakotomi, torakoskopi, torakosentesis trakeostomi,
pungsi dan ventilasi mekanik).

2.3 Klasifikasi

1. Pneumotoraks terbuka
Pneumotoraks yang terjadi akibat adanya hubungan terbuka antara
rongga pleura dan bronchus dengan lingkungan luar. Dalam keadaan
ini, tekanan intra pleura sana dengan tekanan barometer (luar).
Tekanan intrapleura disekitar nao (0) sesuai dengan gerakan
pernapasan. Pada waktu inspirasi tekanannya negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanannya positif.
2. Pneumotoraks Tertutup
Rongga pleura tertutup dan tidak berhubungan dengan lingkungan
luar. Udara yg dulunya ada di rongga pleura (tekanan positif) karena
direasorpsi dan tidak ada hubungannya lagi dengan dunia luar maka

4
tekanan udara di rongga pleura menjadi negative. Tetapi paru belum
bias berkembang penuh, sehingga masih ada rongga pleura yang
tampak meskipun tekanannya sudah normal.
3. Pneumotoraks Ventil
Ini merupakan pneumotoraks yang mempunyai tekanan positif
berhubung adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Udara
melalui bronchus terus kepercabangannya dan menuju kearah pleura
yang terbuka. Pada waktu inspirasi, udara masuk ke rongga pleura
yang pada permulaannya masih negatif. Pada waktu ekspirasi udara
didalam rongga pleura yang masuk itu tidak mau keluar melalui lubang
yang terbuka tadi bahkan udara ekspirasi yang mestinya dihembuskan
keluar dapat masuk ke dalam rongga pleura, apabila ada obstruksi di
bronchus bagian proksimal dari fistel tersebut. Sehingga tekanan
pleura makin lama makin meningkat sehubungan dengan berulangnya
pernapasan. Udara masuk rongga pleura pada waktu ekspirasi oleh
karena udara ekspirasi mempunyai tekanan lebih tinggi dari rongga
pleura, lebih-lebih kalau penderita batuk-batuk, tekanan udara di
bronchus lebih kuat lagi dari ekspirasi biasa.

2.4 Manifestasi Klinis

1. Gejala klinis pneumotoraks spontan bergantung pada ada


tidaknya tension pneumotoraks serta berat ringan pneumotoraks.
Pasien secara spontan mengeluh nyeri dan sesak napas yang
muncul secara tiba-tiba. Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala
yang sering muncul adalah:

a. Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien

b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien

c. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 235% pasien ( Barmawi dan


Budiono. 2006.)

2. Menurut Sudoyo (2015), Tanda dan gejala pneumothorak berupa :

a. Sesak napas

b. Dada terasa sempit

5
c. Gelisah

d. Keringat dingin

e. Sianosis

f. Tampak sisi yang terserang menonjol dan tertinggal dalam


pernapasan

g. Perkusi hipersonor

h. Pergeseran mediastinum ke sisi sehat

i. Pola napas melemah pada bagian yang terkena

j. Suara amforik

k. Saat diperkusi terdengar hiperosa

l. Nyeri pleura

m. Hipotensi

n. Pemeriksaan radiologi

o. AGD : ↓ CO2, ↓ PO2, ↑ PCO2, ↑ pH

2.5 Patofisiologi

Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan


untuk melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang,
tulang–tulang yang menyusun struktur pernapasan seperti tulang klafikula,
sternum, scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang
sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi 6 .Jika salah satu dari
dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada
proses ventilasi dan oksigenasi. contoh kasusnya, adanya fraktur pada
tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi
keadaaan flail chest atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma
tumpul, serta adanya kerusakan pada organ viseral pernapasan seperti,
paru-paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnya 4 di abdominal
bagian atas, baik itu disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan
atau gunshot.6,8 Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses
respirasi, udara tidak akan dapat masukkedalam rongga pleura. Jumlah

6
dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada kapiler pembuluh darah
rata-rata (706 mmHg). Pergerakan udara dari kapiler pembuluh darah ke
rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-
36cmH2O) yang sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang
menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma
yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral,
atau disebabkan kelainan konginetal adanya bula pada subpleura yang
akan pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura.7,8

Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan


mudah robek, apabila alveol tersebut melebar dan tekanan di dalam alveol
meningkat maka udara dengan mudah menuju ke jaringan
peribronkovaskular. Gerakan nafas yang kuat, infeksi dan obstruksi
endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan
terjadinya robekan. Selanjutnya udara yang terbebas dari alveol dapat
mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskular. Robekan pleura ke arah
yang berlawanan dengan hilus akan menimbulkan pneumotorak
sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menimbulkan
pneumomediastinum. Dari mediastinum udara mencari jalan menuju ke
atas, ke jaringan ikat yang longgar sehingga mudah ditembus oleh udara.
Dari leher udara menyebar merata ke bawah kulit leher dan dada yang
akhirnya menimbulkan emfisema subkutis. Emfisema subkutis dapat
meluas ke arah perut hingga mencapai skrotum.2

Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada


saluran pernafasan dan akan meningkat lebih besar lagi pada permulaan
batuk, bersin dan mengejan. Peningkatan tekanan intrabronkial akan
mencapai puncak sesaat sebelum batuk, bersin, mengejan, pada keadaan
ini, glotis tertutup. Apabila di bagian perifer bronki atau alveol ada bagian
yang lemah, maka kemungkinan terjadi robekan bronki atau alveol akan
sangat mudah. Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura
visceralis. Di antara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura.
Cavum pleura normal berisi sedikit cairan serous jaringan. Tekanan
intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif pada intrapleura
membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap yaitu
fase inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi tekanan intrapleura : -
9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3

7
s/d -6 cmH2O.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pneumotoraks tergantung pada jenis pneumotoraks


yang dialami, derajat kolaps, berat ringannya gejala, penyakit dasar dan
penyulit yang terjadi saat pelaksanaan pengobatan yang meliputi :

1. Tindakan dekompresi

Membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar


dengan cara:
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada hingga masuk ke rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif. Hal ini disebabkan karena
udara keluar melalui jarum tersebut. Cara lainnya adalah
melakukan penusukkan jarum ke rongga pleura melalui tranfusion
set.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil :

1) Menggunakan pipa Water Sealed Drainage (WSD).


Pipa khusus (kateter thoraks) steril, dimasukkan ke rongga
pleura dengan perantara trokar atau dengan bantuan klem
penjepit (pen) pemasukan pipa plastic (kateter thoraks) dapat
juga dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan
insisi kulit dari sela iga ke-4 pada garis axial tengah atau garis
axial belakang. Selain itu, dapat pula melalui sela iga ke-2 dari
garis klavikula tengah. Selanjutnya, ujung selang plastik di dada
dan pipa kaca WSD dihubungkan melelui pipa plastik lainnya.
Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2
cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
2) Pengisapan kontinu (continous suction).

Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan


intrapleura tetap positif. Pengisapan ini dilakukan dengan cara
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O. Tujuannya

8
adalah agar paru cepat mengembang dan segera terjadi
perlekatan antara pleura viseralis dan pleura parietalis.
3) Pencabutan drain

Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan


intrapleura sudah negatif kembali, drain dapat dicabut. Sebelum
dicabut, drain ditutup dengan cara dijepit atau ditekuk selama 24
jam. Apabila paru tetap mengembang penuh, drain dapat
dicabut.
c. Tindakan bedah

Pembukaan dinding thoraks dengan cara operasi, maka dapat dicari


lubang yang menyebabkan terjadinya pneumothoraks, lalu lubang
tersebut dijahit, Pada pembedahan, jika dijumpai adanya penebalan
pleura yang menyebabkan paru tidak dapat mengembang, maka
dapat dilakukan pengelupasan atau dekortikasi. Pembedahan paru
kembali bila ada bagian paru yang mengalami robekan atau bila ada
fistel dari paru yang rusak, sehingga paru tersebut tidak berfungsi dan
tidak dapat dipertahankan kembali.
2. Penatalaksanaan Tambahan
a. Apabila terdapat proses lain di paru, pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya, yaitu:
1) Terhadap proses TB paru, diberi OAT
2) Untuk mencegah obstipasi dan memperlancar dekekasi,
penderita dibei obat laksatif ringan, dengan tujuan agar saat
defekasi, penderita tidak perlu mengejan terlalu keras.
b. Istirahat total

Klien dilarang melakukan kerja keras (mengangkat barang), batuk,


bersin terlalu keras dan mengejan.

9
Gambar 2.1 Tatalaksana Pneumothorax Based On English British Thoracic
Society Pleural Disease Guideline 2010

10
11
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PNEUMOTHORAKS

3.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.

A. Identitas Pasien, Meliputi :


1. Nama
2. Umur, biasanya sering terjadi pada usia 18 – 30 tahun akibat
trauma/injury.
3. Jenis kelamin
4. Agama
5. Status perkawinan
6. Pendidikan
7. Suku/bangsa
8. Pekerjaan
B. Keluhan Utama
Meliputi sesak nafas, bernafas terasa berat pada dada dan keluhan
susah untuk melakukan pernafasan. Pasien mengungkapkan tiba-tiba,
tajam, nyeri pleuritik. Pasien mungkin melaporkan bahwa rasa sakit
meningkat ketika menggerakkan dada, batuk dan mengeluh sesak
nafas.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai rongga dada yang
menembus dada dan paru, ledakan yang mendadak menyebebakna
tekanan di dalam paru meningkat, kecelakaan lalu lintas biasanya
menyebabkan trauma tumpul pada dada atau masukan benda tajam
langsung menembus pleura. Kaji apa yang dirasakan pasien.
Untuk pasien dengan pneumotoraks tension keluhan sesak nafas
sering kali datang mendadak dan semakin lama semakin berat. Nyeri
dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa
lebih nyeri pada gerakan pernafasan. Melakukan pengkajian apakah
ada riwayat trauma yang mengenai rongga dada seperti peluru yang

12
menembus dada dan paru, ledakan yang menyebabkan tekanan dalam
paru meningkat, kecelakaan lalu lintas biasanya menyebabkan trauma
tumpul di dada atau tusukan benda tajam langsung menembus pleura.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan pada pasien adakah riwayat hipertensi, penyakit
koagulasi darah, asma, maupun penyakit yang berkaitan dengan paru-
paru. Kaji pula adanya alergi terhadap makanan atau obat-obatan.
Untuk pasien dengan penumotoraks perlu ditanyakan apakah klien
pernah menderita penyakit seperti TB paru dimana seriing terjadi pada
pneumotoraks spontan.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan adanya penyakit hipertensi pada keluarga ataupun
penyakit infeksi dan alergi pada anggota keluarga. Unruk pasien dengan
pneumotoraks perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang
menderita penyakit yang mungkin menyebabkan pneumotoraks seperti
kanker paru, asma, TB dan lain-lain.
F. Psikososial
Kaji kebiasaan klien yang dapat mempengaruhi fungsi pernafasan,
adanya penyakit pernafasan kronis dapat meyebabkan perubahan
dalam peran keluarga dan hubungan dengan orang lain, isolasi sosial,
masalah keuangan, pekerjaan.

3.2 Pemeriksaan Fisik


1. B1 (Breathing)
A. Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan, serta penggunaan otot
bantu pernafasan. Gerakan pernafasan ekspanis dada yang asimetris,
iga melebar, rongga dada asimetris (Cembung pada sisi yang sakit),
batuk produktif dengan sputum purulen, trakea dan jantung terdorong
kesisi yang sehat.
B. Palpasi
Taktil fremitus menurun pada sisi yang sakit, pergerakan dinding dada
yang tertinggal, ruang antar iga normal atau melebar pada sisi yang
sakit.

13
C. Perkusi
Suara ketok hipersonor, tidak bergetar, jantung bergeser ke arah yang
sehat.
D. Auskultasi
Suara nafas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Posisi
duduk semakin ke atas letak cairan maka akan semakin tipis, sehingga
suara nafas terdengar amforis, bila ada fistel bronkopleura yang cukup
besar pada pneumothoraks terbuka.
2. B2 (Blood)
Kemungkinan ada dampak hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan
CRT.
3. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran dapat composmentis, somnolen, atau koma.
4. B4 (Bladder)
Perlu memonitoring intake output urin klien, oliguria merupakan tanda awal
syok
5. B5 (Bowel)
Terkadang mual, muntah, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan.
6. B6 (Bone)
Adanya kerusakan otot dan jaringan lunak pada dada akibat trauma,
sehingga meningkatkan resiko infeksi.
 Pengkajian Klinis Open Pneumothorax
Pengkajian Data Fokus
1. Aktivitas dan istirahat
Dispnea dengan aktivitas maupun istirahat.
2. Sirkulasi
a. S3 / S4 /Irama jantung, Gallop (gagal jantung sekunder tanpa efusi).
b. Nadi apikal berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal dengan
ketegangan pneumotoraks.
c. Tanda homman (bunyi renyah sehubungan dengan denyutan jantung
menunjukkan udara dalam medistinum).
d. Tekanan darah : hipotensi
3. Integritas ego
a. Ketakutan.

14
b. Cemas.
c. Gelisah.
4. Nyeri dan kenyamanan
a. Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernafasan, batuk.
b. Timbul tiba-tiba gejala sementarabatuk/regangan.
5. Pernafasan
a. Kesulitan bernafas.
b. Peningkatan frekuensi/ takipnea dan kedalaman pernafsan.
c. Peningkatan kerja nafas, penggunaan otot aksesori pernafasan dada,
keher, retraksi interkostalm ekspirasi abdomen kuat.
d. Bunyi nafas menurun atau tidak ada (sisi yang terlibat).
e. Fremitus menurun (sisi yang terlibat).
f. Inspeksi : kulit pucat, sianosis, berkeringat.
g. Palpasi dada: gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma
(penurunan pada jaringan palpasi)
 Pengkajian Klinis Tension Pneumothorax
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : dispnea dengan aktivitas atau istirahat.
2. Sirkulasi
a. Tanda : takikardia.
b. Frekuensi tak teratur/disritmia.
c. Irama jantung gallop (gagal jantung sekunder terhadap effusi)
d. Tanda homman
e. TD : Hipertensi/hipotensi

3. Integritas Ego
Tanda : ketakutan, gelisah.
4. Makanan/Cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infus tekanan.
5. Nyeri/Kenyamanan
Gejala :
a. Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernafasan, batuk.
b. Timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan (pneumotorax
spontan)

15
c. Tajam dan nyeri, menusuk yang diperberat oleh nafas dalam,
kemungkinan menyebar ke leher, bahu, abdomen (efusi pleural).

Tanda :

a. Berhati-hati pada area yang sakit.


b. Perilaku distraksi.
c. Mengerutkan wajah.
6. Pernafasan
Gejala :
a. Kesulitan bernafas, lapar nfas.
b. Batuk (mungkin gejala yang ada)
c. Riwayat bedah dada/trauma : penyakit paru kronis, inflamasi/infeksi
paru (empiema/effusi), penyakit intertisial menyebar (sarkoidosis),
keganasan.
d. Pneumothoraks spontan sebelumnya.

Tanda :

a. Pernafasan: peningkatan frekuensi/takipnea.


b. Peningkatan kerja nafas, penggunaan otot aksesori pernafasan pada
dada dan leher, retraksi interkotal, ekspirasi abdominal kuat.
c. Bunyi nafas menurun atau tidak ada.
d. Fremitus menurun.
e. Perkusi dada: hiperresonan diatas area terisi udara (pneumothoraks),
bunyi pekak diatas area yang terisi cairan (hemotoraks).
f. Observasi dan palpasi dada: gerakan dada tida sama (paradoksik) ila
trauma atau kemps, penurunan pengembangan thoraks (area yang
sakit).
g. Kulit: pucat, siaonosis, berkeringat, krepitasi subkutan.
h. Mental : ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
i. Penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif/terapi PEEP.
7. Keamanan
Gejala :
a. Adanya trauma dada.
b. Radiasi/kemoterapi untuk keganasan.
8. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala :

16
a. Riwayat faktor resiko keluarga : TB, Kanker paru.
b. Adanya bedah intrakotoral/biopsi paru.
c. Bukti kegagalan membaik.

3.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto Rontgen

Gambar Foto Rotgen Dada


Sumber : Muttaqin (2008)
Foto rontgen dada atau X-Ray dada bbertujuan untuk mengevaluasi organ
atau struktur dalam dada dan studi awal pilihan di trauma benda tumpul
dada.
2. Tes Darah
a. Analisis Gas Darah Arteri (ABGs) : tindakan oksigen dan tingkat
karbondioksida untuk menyingkirkan hipoksemia atau hiperkapnia.
b. Hemoglobin/hematokrit (Hb/Ht) : menilai hubungan sel darah merah
untuk volume cairan atau viskositas.
3. Thoracic Computed Tomography (CT)
Meningkatkan views anatomi dada dan menempatkan kelainan. CT dini bisa
mempengaruhi majemen terapi.
4. USG Thoracic
Membantu dalam menentukan kelainan pada dada. Thoracentesis:
dilakukan untuk meringankan tekanan intratoraks karena akumulasi cairan
dirongga pleura.

Pada pasien dengan tension pneumotoraks dapat dilakukan pemeriksaan


penunjang:

17
1. Sinar-X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural,
dapat menunjukkan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
2. Laboratorium (darah lengkap dan Astrup)
AGD : Variable tergantung pada derajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernafasan dan kemampuan mengkompensasi.PaCO2
kadang-kadang meningkat. paO2 mungkin normal/menurun: saturasi
oksigen biasanya menurun.
3. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemotorak).
4. HB : mungkin menurun menunukkan kehilangan darah.

3.4 Diagnosa Keperawatan


1. D.0005 Pola Napas Tidak Efektif b.d hambatan upaya napas (penurunan
ekspansi paru, ventilasi tidak adekuat)
2. D0003 Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
(O2 dan PO2 menurun)
3. D0008 penurunan curah jantung b.d afterload (penurunan efektifitas pompa
jantung)
4. D0009 perfusi jaringan tidak efektif b.d penurunan aliran arteri dan vena
(aliran darah ke jaringan menurun dan suplai O2 dan nutrisi menurun)
5. D0001 bersihan jalan napas tidak efektif b.d (akumulasi sekresi sekret)
6. D0077 nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma pneumothorax)
7. D0056 Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai suplai
oksigen dan kebutuhan oksigen
8. D0129 gangguan integritas kulit b.d faktor mekanis (pemasanngan WSD)
9. D0054 Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri (pemasangan WSD)
10. D0142 risiko infeksi b.d efek prosedur invasi (pemasangan WS

18
3.5 Intervensi Keperawatan

INTERVENSI KEPERAWATAN

STANDAR LUARAN
STANDAR INTERVENSI KEPERAWATAN INDONESIA
NO. DIAGNOSA KEPERAWATAN KEPERAWATAN INDONESIA
(SIKI)
(SLKI)

1. (D.0005) (L.01004 Pola Napas) (I.01011) Manajemen Jalan Napas

Pola Napas Tidak Efektif Setelah dilakukan intervensi Observasi :


berhubungan dengan keperawatan selama 1x24 jam
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
Hambatan Upaya Napas diharapkan pola napas membaik
napas).
(penurunan ekspansi paru, dengan kriteria hasil:
Terapeutik :
ventilasi tidak adekuat.)
a. Ventilasi semenit cukup
1. Posisikan semi-fowler atau fowler.
meningkat (Skala 4)
2. Lakukan hiperoksigenasi
b. Kapasitas vital cukup meningkat
3. Berikan Oksigen, jika perlu
(Skala 4)
Edukasi :

19
c. Diameter thoraks anterior- 1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
posterior cukup meningkat (Skala kontraindikasi
4)
d. Tekanan ekspirasi cukup
Kolaborasi:
meningkat (Skala 4)
1. Kolaborasikan pemberian bronkodilator,
e. Tekanan inspirasi cukup
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
meningkat (Skala 4)
f. Dispneu cukup menurun (Skala 4)
g. Penggunaan otot bantu napas (I.01014) Pemantauan Respirasi
cukup menurun (Skala 4)
Observasi:
h. Pemanjangan fase ekspirasi
cukup menurun (Skala 4) 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
i. Frekuensi napas cukup membaik napas.
(Skala 4) 2. Monitor pola napas.
j. Kedalaman napas cukup 3. Monitor adanya produksi sputum.
membaik (Skala 4) 4. Monitor adanya sumbatan jalan napas.
5. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru.
6. Auskultasi bunyi napas.
7. Monitor saturasi oksigen.

Terapeutik :

20
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien.
2. Dokumentasikan hasil pemantauan.

Edukasi:

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.


2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

2. (D.0003) (L.01003 Pertukaran Gas) (I.01014) Pemantauan Respirasi

Gangguan Pertukaran Gas Setelah dilakukan tindakan Observasi:


berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
ketidakseimbangan ventilasi- diharapkan pertukaran gas meningkat
napas.
perfusi (O2 dan PO2 menurun) dengan kriteria hasil:
2. Auskultasi bunyi napas.
a. Dispneu menurun (Skala 5) 3. Monitor saturasi oksigen.
b. Bunyi napas tambahan cukup 4. Monitor hasil AGD.
menurun (Skala 4) 5. Monitor hasil x-ray thorax.
c. PCO2 membaik (Skala 5)
Terapeutik :
d. PO2 membaik (Skala 5)
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
e. Takikardia membaik (Skala 5)
pasien.
f. Ph arteri cukup membaik (Skala 4)
2. Dokumentasikan hasil pemantauan.

21
g. Pola Napas membaik (Skala 5) Edukasi:

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.


2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

(I.01028) Terapi Oksigen

Observasi :

1. Monitor kecepatan aliran oksigen.


2. Monitor posisi alat terapi oksigen.
3. Monitor aliran oksigen secara periodik.
4. Monitor efektivitas terapi oksigen (mis. Oksimetri,
analisa gas darah).
5. Monitor tanda-tanda hipoventilasi.

Terapeutik :

1. Bersihkan sekret pada hidung, mulut dan trakea,


jika perlu.
2. Pertahankan kepatenan jalan napas.
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen.
4. Berikan oksigen tambahna, jika perlu.

Edukasi :

22
1. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
oksigen di rumah.

Kolaborasi :

1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen.


2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat beraktivitas
dan/atau tidur.

3. (D.0008) (L.02008 Curah Jantung) (I.02075) Perawatan Jantung

Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan Observasi :


berhubungan dengan afterload keperawatan selama 3x24 jam
1. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah
(penurunan efektivitas pompa diharapkan curah jantung meningkat
jantung (meliputi dispneu, ortopneu, kelelahan,
jantung) dengan kriteria hasil:
edema, paroxysmal nocturnal dyspnea,
a. Kekuatan nadi perifer meningkat peningkatan CVP).
(Skala 5) 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan
b. Palpitasi menurun (Skala 5) curah jantung (meliputi peningkatan derat badan,
c. Gambaran EKG aritmia cukup hepatomegaly, distensi vena jugularis, palpitasi,
menurun (Skala 4) dsb).
d. Suara jantung S3 dan S4 menurun 3. Monitor tekanan darah.
(Skala 5) 4. Monitor intake dan output cairan.
5. Monitor saturasi oksigen.

23
e. Pulmonary Vascular Resistance 6. Monitor keluhan nyeri dada.
(PVR) menurun (Skala 5) 7. Monitor EKG.
f. Tekanan Darah membaik (Skala 8. Monitor aritmia.
5) 9. Monitor nilai laboratorium jantung.
g. Capillary Refill Time (CRT)
Terapeutik :
membaik (Skala 5)
1. Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan
h. Pulmonary Artery Wedge
kaki ke bawah atau posisi nyaman.
Pressure (PAWP) membaik
2. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
(Skala 5)
oksigen >94%.

Edukasi :

1. Anjurkan pasien dan keluarga mengukur intake


dan output cairan harian.

Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu.

(I.02060) Pemantauan Tanda Vital

Observasi :

1. Monitor tekanan darah.


2. Monitor nadi (frekuensi, kekuatan, irama)

24
3. Monitor oksimetri nadi.
4. Monitor tekanan nadi.

Terapeutik :

1. Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien.


2. Dokumentasikan hasil pemantauan.

Edukasi :

1. Jelaskan tujuan dan prosedur perawatan


2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

(D.0009) (L.02011 Perfusi Perifer) (I.02079) Perawatan Sirkulasi

4. Perfusi Perifer Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan Observasi :


berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam,
1. Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi perifer,
penurunan aliran arteri dan diharapkan perfusi perifer meningkat
edema, pengisian kapiler, warna, suhu, dsb).
vena (Aliran Darah ke Jaringan dengan kriteria hasil:
2. Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi.
Menurun, Suplai O2 dan Nutrisi
a. Denyut nadi perifer meningkat
Terapeutik :
Menurun)
(Skala 5)
1. Lakukan pencegahan infeksi.
b. Warna kulit pucat menurun (Skala
2. Lakukan hidrasi.
5)
Edukasi :

25
c. Pengisian kapiler membaik (Skala 1. Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah
5) secara teratur.
d. Turgor kulit membaik (Skala 5) 2. Ajarkan program diet untuk memperbaiki
e. Tekanan Darah Sistolik membaik sirkulasi.
(Skala 5) 3. Informasikan tanda dan gejala darurat yang
f. Tekanan Darah Diastolik (Skala 5) harus dilaporkan.
g. Tekanan Arteri rata-rata membaik
(Skala 5)
(I.02057) Pemantauan Hasil Laboratorium

Observasi :

1. Identifikasi pemeriksaan laboratorium yang


diperlukan.
2. Monitor hasil laboratorium yang diperlukan.
3. Periksa kesesuaian hasil laboratorium dengan
penampilan klinis pasien.

Terapeutik :

1. Ambil sampel darah sesuai protokol.


2. Interpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium

Kolaborasi :

26
1. Kolaborasi dengan dokter jika hasil laboratorium
memerlukan intervensi medis.

5. (D.0001) (L.01001 Bersihan Jalan Napas) (I.01011) Manajemen Jalan Napas

Bersihan Jalan Napas Tidak Setelah dilakukan tindakan Observasi :


Efektif berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam,
1. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling,
hipersekresi jalan napas diharapkan bersihan jalan napas
mengi, wheezing, ronkhi kering).
(Akumulasi Sekresi Sekret) meningkat dengan kriteria hasil:
2. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
a. Dispneu membaik (Skala 5)
Terapeutik :
b. Sianosis membaik (Skala 5)
1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
c. Frekuensi Napas membaik (Skala
head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma
5)
servikal).
d. Pola Napas membaik (Skala 5)
2. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik.
3. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill.
4. Berikan Oksigen, jika perlu

Kolaborasi:

1. Kolaborasikan pemberian bronkodilator,


ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

27
(I.01014) Pemantauan Respirasi

Observasi :

1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya


napas.
2. Monitor pola napas.
3. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru.
4. Auskultasi bunyi napas.
5. Monitor saturasi oksigen.
6. Monitor hasil AGD.
7. Monitor hasil x-ray thorax.

Terapeutik :

1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi


pasien.
2. Dokumentasikan hasil pemantauan.

Edukasi:

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.


2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

28
6. (D.0077) (L.08066) Tingkat Nyeri (I.08238) Manajemen Nyeri

Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi


dengan agen pencedera fisik Keperawatan 3x 24 jam diharapkan
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
(trauma pneumohorax) nyeri berkurang dengan kriteria hasil
kualitas, intensitas nyeri
:
2. Identifikasi skala nyeri
a. Keluhan nyeri menurun (skala 5) 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
b. Meringis menurun (skala 5) 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
c. Gelisah menurun (skala 5) memperingan nyeri.
5. Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik

1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur

Edukasi

29
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri

7. (D.0056) (L.05047) Toleransi Aktivitas (I.05178) Manajemen Energi

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Observasi


berhubungan dengan Keperawatan 3x 24 jam diharapkan
1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
ketidakseimbangan antara toleransi aktivitas meningkat dengan
mengakibatkan kelelahan
suplai oksigen dan kebutuhan kriteria hasil :
2. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
oksigen
a. Saturasi oksigen meningkat melakukan aktivitas
(skala 5)
Terapeutik
b. Kemudahan dalam melakukan
1. Sediakan lingkungan yang nyaman
aktivitas sehari-hari meningkat
2. Lakukan latihan gerak aktif dan/atau pasif
(skala 5)
c. Frekuensi napas membaik Edukasi
(skala 5) 1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang

30
8. (D.0129) (L.14125) Integritas Kulit dan (I.14564) Perawatan Luka
Jaringan
Gangguan integritas kulit Observasi
berhubungan dengan faktor Setelah dilakukan tindakan
1. Monitor karakteristik luka
mekanis (pemasangan WSD) asuhankeperawatan 3x24 jam
2. Monitor tanda-tanda infeksi
Diharapkan integritas kulit meningkat
Terapeutik
dengan kriteria hasil :
1. Bersihkan luka dengan cairan NaCl
a. Kemerahan menurun (skala 5)
2. Pasang balutan pada sekitar luka
b. Pigmentasi abnormal menurun
(pemasangan WSD)
(skala 5)
3. Pertahankan teknik steril saat melakukan
c. Tekstur kulit membaik (skala 5)
perawatan luka.

Edukasi

1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu

9. (D.0054) (L.05042) Mobilitas Fisik (I.05173) Dukungan mobilisasi

31
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan Observasi
berhubungan dengan nyeri asuhankeperawatan 3x24 jam
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
(pemasangan WSD)
diharapkan mobilitas fisik meningkat lainnya
dengan kriteria hasil :
2. Identifikasi toleransi fisik saat melakukan
a. Rentang gerak (ROM) meningkat pergerakan
(skala 5) 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
b. Kelemahan fisik menurun (skala sebelum memulai mobilisasi
5)
4. Monitor kondisi umum selama melakukan
c. Nyeri menurun menurun (skala 5)
mobilisasi

Terapeutik

1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu,


mis; duduk diatas tempat tidur

2. Fasilitasi melakukan pergerakan

3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien


dalam meningkatkan pergerakan

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi


2. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus

32
dilakukan (mis: duduk diatas tempat tidur)

10. (D.0142) (L.14137) Tingkat Infeksi (I.14539) Pencegahan Infeksi

Risiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi


dengan efek prosedur invasif asuhankeperawatan 3x24
1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
(pemasangan WSD)
jam diharapkan tingkat sistemik
infeksi menurun dengan kriteria hasil
Terapeutik
:
1. Berikan perawatan pada area edema
a. Demam menurun (skala 5)
2. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah
b. Kemerahan menurun (skala 5)
kontak dengan pasien dan lingkungan
c. Nyeri menurun (skala 5)
d. Bengkak menurun (skala 5) 3. Pertahankan teknik aseptik
e. Kadar sel darah putih membaik Edukasi
(skala 5)
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi

2. Anjurkan cara memeriksa kondisi luka

3. Anjurkan segera melapor jika terjadi infeksi

Kolaborasi

33
1. Kolaborasi pemberian antibiotik

34
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pneumotoraks merupakan kumpulan udara dan gas yang terdapat dalam
rongga pleura. Hal ini dapat terjadi akibat pecahnya permukaan paru-paru
sehingga udara dapat keluar menuju rongga pleura (Simamora R, 2020).

2. Etiologi

c. Pneumotoraks Spontan

1) Pneumotoraks Spontan Primer (PSP)

2) Pneumotoraks Spontan Sekunder

d. Pneumotoraks Traumatik

3. Klasifikasi
a. Pneumotoraks terbuka
b. Pneumotoraks Tertutup
c. Pneumotoraks Ventil
4. Pengkajian Klinis Open Pneumothorax dan Tension Pneumothorax

a. Aktivitas/Istirahat
b. Sirkulasi
c. Integritas Ego
d. Makanan/Cairan
e. Nyeri/Kenyamanan
f. Pernafasan
g. Keamanan
h. Penyuluhan/Pembelajaran
5. Diagnosa (3 Prioritas)
a. D.0005 Pola Napas Tidak Efektif b.d hambatan upaya napas
(penurunan ekspansi paru, ventilasi tidak adekuat)
b. D0003 Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi (O2 dan PO2 menurun)
c. D0008 penurunan curah jantung b.d afterload (penurunan efektifitas
pompa jantung)

35
4.2 Saran
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam
penulisannya. Oleh karena itu,mohon kiranya kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembimbing dan pembaca guna untuk kesempurnaan pada
pembuatan makalah selanjutnya.

36
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqien, F., Bermansyah, & Saleh, I. (2019). Pengaruh Durasi Pneumotorak


Terhadap Tingkat Stress Oksidatif Paru Tikus Wistar. 1(1), 45–53.

Arteaga, A. A. (2018). Iatrogenic pneumothorax during hypoglossal nerve


stimulator implantation. Elsevier, 1(1), 2. Retrieved from
www.elsevier.com/locate/amjoto

Papagiannis, A., et al. (2015). Pneumothorax: an up to date “introduction”.


https://www.researchgate.net/publication/274724314

Santoso, I. A. (2015). Asuhan Keperawatan gawat darurat. Fakultas Ilmu


Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 135:16.

Jain, D. G., Gosari, S. N., Jain, D. D., (2017) Understanding and Managing
Pneumothorax. JIACIN. 9(1):42:5

Choi W.I (2014). Pneumothoraks. Fakultas Kedokteran Universitas Keimyung.


76:99-104 http://dx.doi.org/10.4046/trd.2014.76.3.99

Simamora R. P, Rasyidah (2020). Laporan Kasus : Radiografi Thorax Pada Pasien


Tb Paru dengan PneumothoraxSpontan Sekunder. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung 9(1):1-3

Alsagaff H, Mukhty HA.2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:


Airlangga University Press.

Muttaqin, A.2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan:


Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi


dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi


dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan


Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

37

Anda mungkin juga menyukai