Anda di halaman 1dari 37

REFERAT JANUARI 2024

LARYNGITIS

Disusun Oleh:

ERDINATA KUSUMA
N 111 22 113

Pembimbing Klink
dr. Christin Rony Nayoan, Sp.THT-KL.,MM

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

RSUD UNDATA PALU


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Erdinata Kusuma
No. Stambuk : N 111 22 113
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Referat : Laringitis
Bagian : Ilmu Kesehatan THT-KL

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Januari 2024

Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Christin Rony Nayoan, Sp.THT-KL.,MM Erdinata Kusuma

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
BAB I ...............................................................................................................1
PENDAHULUAN ...............................................................................................1
BAB II ..............................................................................................................3
ANATOMI DAN FISIOLOGI LARING ....................................................................3
2.1 Anatomi Laring ............................................................................................... 3
2.2 Fisiologi Laring.............................................................................................. 10

BAB III ...........................................................................................................13


LARYNGITIS ...................................................................................................13
3.1 Definisi........................................................................................................... 13
3.2 Etiologi .......................................................................................................... 13
3.3. Epidemiologi ................................................................................................. 15
3.4 Patofisiologi ................................................................................................... 16
3.5 Tanda dan Gejala .......................................................................................... 16
3.6 Evaluasi ......................................................................................................... 18
3.7 Tatalaksana ................................................................................................... 18
3.8 Diagnosis Banding ......................................................................................... 19
3.9 Prognosis ....................................................................................................... 19

BAB IV ...........................................................................................................21
PROSEDUR DIAGNOSIS LAINNYA : KASUS PADA HIDUNG ................................21
4.1 Inspeksi Umum .............................................................................................. 21
4.2 Palpasi ........................................................................................................... 22
4.3 Rinoskopi Anterior ........................................................................................ 23
4.4 Rinoskopi Posterior ....................................................................................... 25
4.5 Endoskopi Hidung ......................................................................................... 26

BAB V ............................................................................................................30

ii
ALGORITMA LARYNGITIS................................................................................30
5.1 Pathway Laryngitis ........................................................................................ 30
5.2 Algoritma Tipe Laringitis, Penyebab, dan Terapi.......................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Masalah pada mulut ataupun hidung sering kali dihubungkan dengan kejadian
faringitis dan laringitis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga hidung dan
Tenggorok Kepala Leher (THT-KL).[1] Laringitis mengacu pada peradangan pada
laring. Hal ini sering kali disebabkan oleh infeksi virus akut, yang biasanya
merupakan kondisi ringan dan sembuh sendiri yang berlangsung selama 3 hingga 7
hari.[2] Laringitis, suatu peradangan pada laring, adalah salah satu kondisi laring
yang paling umum diidentifikasi. Ini bermanifestasi dalam bentuk akut dan kronis.
Laringitis akut mempunyai gejala yang tiba-tiba dan biasanya dapat sembuh dengan
sendirinya. Jika pasien mengalami gejala radang tenggorokan lebih dari 3 minggu,
maka kondisi tersebut tergolong radang tenggorokan kronis.[3]
Berdasarkan data sebuah penelitian, jumlah kasus faring laring di poliklinik
THT-KL RSUD Undata Palu periode Januari - Desember 2016 adalah sebanyak
264 kasus dengan variasi kasus yaitu tonsilofaringitis, tonsilitis akut, tonsilitis
kronik, rinofaringitis, laringofaringitis, laringitis kronik, faringitis akut, faringitis
kronik, carcinoma nasofaring, vocal nodul dan abses peritonsil. Dari 264 total
kasus, terdapat sebesar 59,1% kasus faring laring diderita oleh perempuan. Kisaran
usia dengan frekuensi tertinggi berada pada rentan 12 sampai 25 tahun. Pada
penelitian tersebut, kasus laryngitis kronik menempati peringkat kedua kasus
terbanyak yang ditemukan di poliklinik THT-KL RSUD Undata Palu periode
Januari – Desember 2016 dengan jumlah 46 kasus atau 17,4% kasus. Sementara
kasus lain yang melibatkan laring yaitu laringofaringitis dengan jumlah 8 kasus atau
3% kasus.[1]
Laring sebagai organ fonasi dan jalan napas bagi manusia. Masalah pada laring
dapat memberikan keluhan yang cukup bermakna sehingga pasien cenderung
datang ke rumah sakit dengan keluhan-keluhan pada laring seperti laringitis dan
vokal nodul. Merokok dan adanya refluks gastroesofagus merupakan penyebab
utama terjadinya laringitis. Ciri sederhana laringitis adalah suara serak yang kadang
diikuti dengan obstruksi jalan napas. Sesak mungkin dapat terjadi tetapi jarang

1
didapatkan. Istilah laringitis menunjukkan adanya inflamasi pada laring yang dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, alergi, metabolik, traumatik ataupun
idiopatik yang dapat berlanjut menjadi kronik apabila tidak ditangani dengan tepat.
Pada beberapa kasus laringitis kronik tidak dapat dibedakan dengan keganasan
laring sehingga memerlukan pemeriksaan lengkap untuk menegakan diagnosis.[1]
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan informasi
terkait laryngitis mulai dari definisi, penyebab, perjalanan penyakit, sampai
bagaimana menegakkan diagnosis laringitis serta bagaimana tatalaksananya pada
pasien yang menderita laringitis.

2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI LARING

2.1 Anatomi Laring[4]


Laring adalah segmen tulang rawan saluran pernapasan yang terletak di bagian
anterior leher. Fungsi utama laring pada manusia dan vertebrata lainnya adalah
untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah agar makanan tidak masuk ke
dalam trakea saat bernapas. Ini juga berisi pita suara dan berfungsi sebagai kotak
suara untuk menghasilkan suara, yaitu fonasi. Dari pandangan filogenetik, laring
pada manusia telah mencapai perkembangan evolusioner tertinggi dengan
kemampuan mengartikulasikan ucapan, yang tidak terdapat pada invertebrata dan
ikan. Laring memiliki panjang dan lebar sekitar 4 hingga 5 cm, dengan diameter
anterior-posterior sedikit lebih pendek. Ukurannya lebih kecil pada wanita
dibandingkan pria, dan lebih besar pada orang dewasa dibandingkan anak-anak
karena pertumbuhannya pada masa pubertas. Laring yang besar berkorelasi dengan
suara yang lebih dalam.
Letak laring berada pada tingkat vertebra C3 hingga C7 dan ditahan pada
posisinya oleh otot dan ligamen. Daerah paling superior dari laring adalah epiglotis
yang melekat pada tulang hyoid yang terhubung ke bagian inferior faring. Bagian
inferior laring berhubungan dengan bagian superior trakea.

3
Gambar 2.1 Anatomi Laring tampakan Anterior dan Lateral

1) Ligamen Laring
Ada dua jenis ligamen: ligamen ekstrinsik yang menempelkan laring ke struktur
lain seperti hyoid atau trakea, dan ligamen intrinsik yang menghubungkan tulang
rawan laring di antara keduanya.
• Ligamen intrinsik adalah ligamen krikotiroid, krikokornikulata,
tiroepiglotis, tiroaritenoid, dan arytenoidepiglotis. Ligamentum krikotiroid
atau membran krikotiroid berbentuk piramida dengan puncaknya berada di
tengah kartilago tiroid, dan dasarnya di tepi superior kartilago krikoid.
Ligamentum krikokornikulata adalah dua pita fibrosa yang menghubungkan
tulang rawan krikoid dengan tulang rawan Santorini. Ligamentum
tiroepiglotis menghubungkan ligamen tiroid dengan epiglotis. Ligamen
tiroaritenoid memanjang dari bagian luar kartilago arytenoid ke bagian
tengah kartilago tiroid dan terbagi lagi menjadi ligamen superior yang
terletak di sebelah pita suara superior, dan ligamen inferior yang terletak di
pita suara inferior. Ligamen arytenoidepiglotis menghubungkan tulang
rawan arytenoid ke epiglotis.
• Ligamen ekstrinsik adalah ligamen tirohyoid, hyoepiglotis, dan
krikotrakeal. Ligamentum atau membran tirohyoid melekat pada
permukaan posterior badan tulang hyoid dan batas atas tulang rawan tiroid.
Ligamentum hyoepiglotis menghubungkan permukaan epiglotis dengan
batas atas tulang hyoid. Ligamentum krikotrakeal menghubungkan ligamen
krikoid dengan cincin pertama trakea.
2) Kavitas Laring
Ruang dalam laring memanjang sepanjang pintu masuk laring hingga batas bawah
tulang rawan krikoid. Bentuknya limas dengan dasar superior mengarah ke lidah
dan puncaknya ke trakea. Ia memiliki dasar, puncak, dan tiga bagian, satu posterior
dan dua lateral.
• Bagian posterior ruang internal laring merupakan bagian dari dinding
anterior faring dan memiliki dua lekukan vertikal yang disebut sinus

4
piriformis. Bentuk aspek lateral ditentukan oleh tulang rawan laring dan
terdiri dari tiga bagian, bagian atas yang sesuai dengan tulang rawan tiroid,
bagian bawah yang sesuai dengan tulang rawan krikoid, dan bagian tengah
yang disebut ruang krikotiroid. Puncak laring membentuk lubang yang
menyatu dengan trakea. Pangkal laring berbentuk oval dan berhubungan
dengan faring.
• Ruang dalam laring lebar di bagian superior dan inferior tetapi menyempit
di bagian tengah, membentuk bagian yang disebut glottis, dan membagi
semua ruang menjadi tiga bagian: supraglotis, glottis, dan infraglottik. Pita
suara, glotis, dan ventrikel laring membentuk ruang glotis.
• Pita suara merupakan empat lipatan jaringan fibroelastik, dua superior dan
dua inferior, di anterior dimasukkan ke dalam kartilago tiroid, dan di
posterior di kartilago arytenoid. Pita suara superior tipis, berbentuk pita, dan
tidak memiliki elemen otot, sedangkan pita suara inferior lebih lebar dan
memiliki otot yang menutupi seluruh panjangnya. Jarak antara pita suara
superior lebih besar dari jarak antara pita suara inferior dan dilihat dari atas;
empat pita suara hadir di ruang laring. Pita suara inferior adalah satu-
satunya yang mampu saling mendekat; oleh karena itu, pita suara tersebut
dianggap sebagai pita suara sejati, sedangkan pita suara superior disebut
sebagai pita suara atau pita suara palsu.
• Glotis adalah bagian rongga laring yang dibentuk oleh empat pita suara dan
bukaan di antara lipatan tersebut.
• Ventrikel laring atau sinus Morgagni adalah fossa fusiformis yang terletak
di antara pita suara superior (pita suara sejati) dan pita suara inferior (lipatan
vestibular).
• Bagian subglotis adalah ruang di bawah glotis dan mempunyai bentuk leher
botol terbalik yang dibatasi oleh pita suara dan trakea.
• Bagian supraglotis membentuk rongga oval, memanjang di sepanjang tepi
bebas epiglotis dan lipatan aryepiglotis hingga ke tulang rawan arytenoid,
ligamen hyoepiglotis biasanya dianggap sebagai atap rongga ini.

5
3) Aliran Darah dan Sistem Limfatik

Gambar 2.2 Vaskularisasi dan Sistem Limfatik Laring

Suplai darah ke laring berasal dari arteri laring superior dan inferior.
• Arteri laring superior adalah cabang arteri tiroid superior yang
mempersarafi epiglotis, daerah supraglotis, dan pita suara superior. Arteri
laring inferior juga merupakan cabang dari arteri tiroid superior dan
memperdarahi daerah subglotis dan pita suara inferior. Kadang-kadang
arteri laring inferior mempunyai cabang kecil dari arteri tiroid superior yang
mempersarafi otot krikoarytenoid posterior dan arytenoid.
• Vena laring menyertai arteri dan memiliki nama yang sama, yaitu vena
laring superior dan inferior. Vena-vena ini bermuara ke vena tiroid superior
dan vena tiroid inferior, yang masing-masing bermuara ke vena jugularis
interna dan subklavia.
• Drainase limfatik laring terbagi lagi menjadi limfatik supraglotis dan
infraglottik. Kelenjar limfatik supraglotis sangat padat dan mengalir ke
kelenjar limfe servikal dalam. Limfatik subglotis kurang padat dan mengalir
ke kelenjar getah bening leher dalam bagian bawah melalui kelenjar pra dan
paratrakeal, serta kelenjar pralaring. Pita suara (daerah glotis) tidak
memiliki saluran limfatik.

6
4) Persarafan

Gambar 2.3 Inervasi Laring

Laring menerima persarafan dari nervus laring inferior, nervus laring rekuren, dan
nervus laring superior.
• Saraf laring superior merupakan cabang dari saraf vagus (saraf kranial X),
yang timbul dari ganglion inferior saraf vagus. Ia juga menerima cabang
dari ganglion serviks superior sistem saraf simpatis, dan turun di antara
pembuluh karotis dan faring, mencapai laring tepat di bawah tulang hyoid
di mana ia terbagi menjadi dua cabang, internal dan eksternal. Saraf laring
eksternal mempersarafi otot krikotiroid. Saraf laring interna turun ke
membran tirohyoid bersama dengan arteri laring superior, menyebar
melintasi epiglotis, dan mempersarafi selaput lendir yang mengelilingi pintu
masuk laring.
• Saraf laring inferior atau saraf rekuren merupakan saraf utama yang
bertanggung jawab atas persarafan semua otot intrinsik laring, kecuali otot
krikotiroid. Saraf berulang kanan dan kiri tidak simetris.
• Saraf berulang kiri muncul dari saraf vagus di bawah toraks, melingkari
lengkung aorta (sedangkan saraf berulang kanan melingkari arteri
subklavia) dan berjalan ke atas ke trakea dan esofagus sebelum memasuki

7
laring tepat di posterior sendi krikotiroid di bawahnya. otot konstriktor
inferior.
• Saraf rekuren kanan bercabang dari vagus di pangkal leher, melingkari arteri
subklavia, naik ke lateral trakea, dan masuk ke laring di antara kartilago
krikoid dan tiroid. Biasanya saraf laring internal dan saraf laring inferior
terhubung dalam anastomosis Galen.
5) Otot-otot

Gambar 2.4 Otot-otot Laring

Otot laring terbagi menjadi otot intrinsik yang fungsi utamanya menghasilkan
suara, dan otot ekstrinsik yang menggerakkan laring.
Otot Intrinsik
• Otot krikotiroid mempunyai dua permukaan cekung, superior dan inferior;
ia menempel pada lengkung krikoid dan lamina bawah tiroid ke perut
superior dan kornu inferior ke perut inferior. Otot-otot ini menghasilkan
pemanjangan pita suara, sehingga menghasilkan nada fonasi yang lebih
tinggi.

8
• Otot krikoarytenoid posterior menempel pada tulang rawan krikoid
posterior ke tulang rawan arytenoid. Otot-otot ini mengabduksi (membuka)
pita suara, tindakan yang berlawanan dengan otot krikoarytenoid lateral.
• Otot krikoaritenoid lateral atau anterior memanjang dari kartilago krikoid
lateral hingga proses muskular kartilago arytenoid. Otot-otot ini
menambahkan pita suara, tindakan yang berlawanan dengan otot-otot
krikoarytenoid posterior.
• Otot tiroarytenoid muncul dari tulang rawan tiroid dan ligamen krikotiroid
tengah dan masuk ke dalam tulang rawan arytenoid. Otot-otot ini
mengendur dan mendekati pita suara.
• Otot aryepiglotis menempel pada tulang rawan arytenoid dan meluas ke
epiglotis. Otot-otot ini menambahkan lipatan aryepiglottic.
• Otot arytenoid meluas ke bagian melintang dan miring antara tulang rawan
arytenoid. Otot arytenoid transversal adalah satu-satunya otot intrinsik
laring yang mengalami gangguan. Otot-otot ini menambahkan pita suara.
Otot Ekstrinsik
Otot-otot ekstrinsik laring berpasangan dan memungkinkan pergerakan laring.
• Otot tirohyoid menempel pada tulang rawan tiroid dan badan tulang hyoid.
Ia menerima persarafan dari saraf serviks pertama, bersama dengan saraf
hipoglosus. Fungsi utamanya adalah untuk menekan tulang hyoid sehingga
mengangkat laring.
• Otot-otot sternothyroid terletak di bawah otot sternohyoideus; mereka
muncul dari tulang dada dan tulang rusuk pertama dan menuju ke lamina
tulang rawan tiroid, dan dipersarafi oleh ansa serviksis. Otot-otot ini
menekan laring.
• Otot konstriktor faring inferior terbentang dari kartilago krikoid dan tiroid
hingga raphe faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh saraf vagus melalui
cabang pleksus faring dan saraf laring berulang dan mempersempit diameter
faring untuk membantu menelan.
• Otot stylopharyngeus membentang dari proses styloid di tulang temporal
hingga tulang rawan tiroid. Otot-otot ini menerima suplai utama dari saraf

9
glossopharyngeal, dan fungsinya untuk mengangkat laring dan faring.
• Otot palatopharyngeus berasal dari aponeurosis palatine dan prosesus
pterigoid dan masuk ke dalam tulang rawan tiroid. Mereka adalah bagian
dari langit-langit lunak, dipersarafi oleh cabang faring, dan tindakannya
adalah meninggikan laring dan faring.
• Otot lain yang tidak dianggap sebagai otot laring, karena tidak masuk ke
dalam laring atau bagian mana pun, juga dapat berkontribusi pada
pergerakan laring seperti otot geniohyoid, mylohyoid, digastric, atau
stylohyoid yang mengangkat laring, sedangkan otot omohyoid dan
sternohyoid menyebabkan depresi laring.

2.2 Fisiologi Laring[4]


Laring adalah kerangka tulang rawan, beberapa ligamen, dan otot yang
menggerakkan dan menstabilkannya serta selaput lendir. Kerangka laring terdiri
dari sembilan tulang rawan: tulang rawan tiroid, tulang rawan krikoid, epiglotis,
tulang rawan arytenoid, tulang rawan kornikulata, dan tulang rawan runcing. Tiga
yang pertama adalah tulang rawan yang tidak berpasangan, dan tiga yang terakhir
adalah tulang rawan yang berpasangan. Tulang rawan tiroid berfungsi sebagai
pelindung yang mengelilingi bagian anterior laring dan membentang secara vertikal
dari daerah superior ke inferior. Ini adalah tulang rawan terbesar dari keenam tulang
rawan dan berbentuk buku setengah terbuka dengan bagian belakang menghadap
ke depan, dengan kedua bagian bertemu di tengah membentuk tonjolan yang
disebut tonjolan laring, yang dikenal sebagai jakun. Tulang rawan krikoid juga
dikenal sebagai cincin krikoid atau cincin meterai karena merupakan satu-satunya
tulang rawan yang mengelilingi trakea sepenuhnya. Letaknya di bagian inferior
laring, setinggi vertebra C6, dan memiliki dua bagian: bagian anterior disebut juga
lengkung, dan bagian posterior, jauh lebih lebar daripada anterior, disebut lamina.
Epiglotis adalah penutup berbentuk daun tulang rawan elastis yang menutupi
bukaan laring. Ini melekat pada permukaan internal tulang rawan tiroid dan
menonjol di atas faring, memungkinkan aliran udara ke laring, trakea, dan paru-
paru. Saat tulang hyoid naik, ia menarik laring ke atas saat menelan untuk

10
memungkinkan makanan atau minuman masuk ke kerongkongan, dan untuk
mencegah makanan memasuki trakea. Sedangkan untuk tulang rawan kedua, ada
tiga tulang rawan yang berpasangan. Tulang rawan arytenoid adalah sepasang
tulang rawan kecil, keras namun fleksibel berbentuk piramida yang terletak di
bagian posterior tulang rawan krikoid. Dasar setiap tulang rawan mempunyai dua
proses: sudut anterior adalah proses vokal, dan sudut lateral dikenal sebagai proses
otot. Tulang rawan kornikulata atau tulang rawan Santorini adalah tulang rawan
elastis kecil berbentuk kerucut yang berartikulasi dengan puncak tulang rawan
arytenoid. Tulang rawan runcing, juga dikenal sebagai tulang rawan Wrisberg,
adalah dua potongan tulang rawan kuning berserat memanjang yang ditempatkan
satu di kedua sisi lipatan aryepiglottic. Tulang rawan ini tidak mempunyai ikatan
langsung dengan tulang rawan lain tetapi berfungsi untuk menopang pita suara dan
aspek lateral epiglotis. Tulang rawan laring bergerak berkat beberapa sendi di
antara keduanya. Sendi krikotiroid menghubungkan tulang rawan tiroid dengan
lengkung krikoid. Sendi krikoaritenoid menghubungkan setiap kartilago arytenoid
ke kartilago krikoid, dan sendi arycorniculate menghubungkan kartilago arytenoid
ke kartilago Santorini.
Laring merupakan struktur yang mungkin menunjukkan beberapa perbedaan
menurut jenis kelamin, yang merupakan penyebab utama perbedaan suara antara
pria dan wanita. Biasanya, laring laki-laki lebih menonjol dibandingkan
perempuan. Perbedaan serupa dalam gender terdapat pada tiroid, yang lebih tebal
pada pria dan memiliki sudut berbeda, yaitu 95 derajat pada pria dan sekitar 115
derajat pada wanita. Persarafan laring juga dapat bervariasi dari satu orang ke orang
lainnya. Dengan demikian, saraf laring rekuren telah dipelajari secara luas, dan
beberapa variasi telah diidentifikasi. Misalnya, saraf laring rekuren dapat terbagi
menjadi dua atau lebih cabang, dan cabang anterior tercatat memasuki laring di
anterior atau posterior sendi krikotiroid. Mengingat saraf rekuren kiri melingkari
lengkung aorta, jalurnya juga dapat bervariasi karena aneurisma aorta atau bahkan
variasi aorta antar individu. Kasus saraf laring inferior “non-rekuren” juga telah
diteliti, dengan laring rekuren melewati langsung laring dari vagus di leher tanpa
melingkari arteri subklavia. Hubungan yang terjalin antara saraf laring rekuren dan

11
arteri tiroid inferior juga telah banyak diteliti; biasanya, saraf naik ke posterior arteri
(sekitar 60%), tetapi kadang-kadang saraf naik ke anterior (sekitar 32,5%), atau
bahkan di antara cabang-cabang arteri (sekitar 6,5%). Posisi saraf rekuren sangat
penting karena risiko cedera bedah.

12
BAB III
LARYNGITIS

3.1 Definisi
Laringitis mengacu pada peradangan pada laring dan dapat muncul dalam
bentuk akut dan kronis. Laringitis Akut seringkali merupakan kondisi ringan dan
dapat disembuhkan dengan sendirinya yang biasanya berlangsung selama 3 hingga
7 hari. Jika kondisi ini berlangsung selama lebih dari 3 minggu, maka disebut
radang tenggorokan kronis.[5]
Penyebab paling umum dari radang tenggorokan akut adalah infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) akibat virus, dan diagnosis ini sering kali dapat diperoleh
dengan mengambil riwayat menyeluruh penyakit yang diderita pasien. Jika tidak
ada riwayat infeksi atau kontak dengan pasien, penyebab lain dari laringitis non-
infeksi harus dieksplorasi. Gejala yang muncul sering kali berupa perubahan suara
(pasien mungkin melaporkan suara serak atau suara "serak"), kelelahan vokal dini
(terutama pada penyanyi atau pengguna suara profesional), atau batuk kering.
Kesulitan bernapas jarang terjadi (meskipun mungkin terjadi) pada laringitis akut,
namun adanya dispnea yang signifikan, sesak napas (SOB), atau stridor yang
terdengar harus mengingatkan dokter bahwa mungkin terdapat proses penyakit
yang lebih berbahaya. Kecurigaan harus ditingkatkan pada perokok dan orang
dengan gangguan sistem imun, karena pasien ini berisiko lebih tinggi terkena
keganasan dan infeksi yang lebih berbahaya yang mungkin mirip dengan radang
tenggorokan akut. Demikian pula, adanya disfagia, odynophagia, air liur, atau
postur tubuh yang signifikan sangat jarang terjadi pada laringitis akut sederhana
dan memerlukan pemeriksaan tambahan.[5]

3.2 Etiologi
Etiologi laringitis dapat diklasifikasikan menjadi infeksius dan non-infeksius.
Bentuk infeksinya lebih umum dan biasanya terjadi setelah infeksi saluran
pernafasan bagian atas. Agen virus seperti rhinovirus, virus parainfluenza, virus
pernapasan syncytial, virus corona, adenovirus, dan influenza semuanya

13
merupakan agen etiologi yang potensial (terdaftar dalam urutan frekuensi yang
menurun). Ada kemungkinan superinfeksi bakteri terjadi pada laringitis virus, hal
ini biasanya terjadi sekitar tujuh hari setelah gejala mulai muncul. Organisme
bakteri yang paling sering ditemui adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, dan Moraxella catarrhalis, secara berurutan. Penyakit demam
eksantema seperti campak, cacar air, dan batuk rejan juga berhubungan dengan
gejala radang tenggorokan akut, jadi sebaiknya dapatkan riwayat imunisasi yang
akurat. Laringitis yang disebabkan oleh infeksi jamur sangat jarang terjadi pada
individu dengan imunokompeten, dan lebih sering muncul sebagai laringitis kronis
pada pasien dengan sistem imun lemah atau pada pasien yang menggunakan obat
steroid inhalasi.[6]
Laringitis infeksius, pada orang dewasa paling sering disebabkan oleh
organisme virus yang disebutkan di atas. Agen yang sama juga umum terjadi pada
laringitis akut pediatrik, meskipun penting untuk mengingat croup
(laringotrakeobronkitis) pada anak-anak, yang disebabkan oleh virus parainfluenza
(paling sering parainfluenza-1). Gejala ini mungkin muncul dengan gejala vokal
yang terisolasi, namun secara klasik mencakup karakteristik batuk
"menggonggong" dan dapat berkembang menjadi stridor inspirasi atau bifasik.[6]
Laringitis non-infeksius dapat disebabkan oleh trauma / penganiayaan /
penyalahgunaan vokal, alergi, penyakit refluks gastroesofageal, asma, pencemaran
lingkungan, merokok, cedera inhalasi, atau gangguan fungsional/konversi.
Penyalahgunaan atau pelecehan vokal dapat terjadi secara akut, seperti yang terlihat
setelah seharian atau berhari-hari berteriak/berteriak. Hal ini biasa terjadi pada
pelatih, penggemar, dan atlet setelah suatu acara. Hal ini juga dapat dilihat pada
pemain vokal, terutama mereka yang intensitas atau frekuensi penampilannya
meningkat akhir-akhir ini, dan yang belum pernah mengikuti pelatihan suara atau
menyanyi secara formal. Refluks gastroesofageal (GERD), lebih khusus lagi GERD
ekstra-esofagus, disebut laryngopharyngeal reflux (LPR), adalah penyebab umum
gejala suara dan radang tenggorokan. Gejala-gejala ini bisa akut atau kronis dan
mungkin bersifat episodik. Gejala ini mungkin tidak mengikuti atau menyertai
gejala GERD klasik, dan 1/3 pasien GERD hanya akan mengalami gejala

14
laring/suara. Ciri-cirinya antara lain riwayat GERD, sering membersihkan
tenggorokan atau batuk, sensasi globus pharyngeus, atau suara yang kasar.
Penyanyi mungkin menyadari hilangnya jangkauan suara mereka yang lebih
tinggi.[7] Asma mungkin merupakan predisposisi terjadinya laringitis karena iritasi
kimia akibat penggunaan inhaler, dan penggunaan inhaler steroid kronis dapat
menjadi predisposisi terjadinya laringitis jamur, terutama jika pasien tidak minum
air putih setelah penggunaan inhaler steroid seperti yang diinstruksikan. Ada juga
asma varian batuk yang dapat menyebabkan cedera berulang pada pita suara,
sehingga menyebabkan perubahan suara yang menyerupai radang tenggorokan
akut. Penyebab lingkungan seperti alergi musiman dan lingkungan, atau polusi
udara musiman atau terus-menerus, dapat menyebabkan iritasi pada pita suara yang
dapat memicu gejala laring akut. Menghirup zat berbahaya, baik yang disengaja
karena merokok atau penggunaan narkoba lainnya atau karena paparan yang tidak
disengaja, mengiritasi laring dan dapat menyebabkan edema pita suara dan gejala
suara. Pasien tertentu mungkin sensitif terhadap parfum, cologne, deterjen, atau
bahan aromatik lain yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Disfonia
fungsional adalah istilah untuk sekelompok gangguan konversi sejati dan mencakup
berbagai gejala suara dan temuan pemeriksaan fisik. Ini adalah diagnosis eksklusi,
namun penyebab stres besar dalam hidup baru-baru ini seperti kehilangan pekerjaan
atau orang yang dicintai merupakan pemicu yang umum diketahui.[8]

3.3. Epidemiologi
Laringitis dapat menyerang pasien segala usia, namun lebih sering terjadi pada
populasi orang dewasa, biasanya menyerang individu berusia 18 hingga 40 tahun,
meskipun dapat juga terjadi pada anak-anak berusia tiga tahun. Gejala suara yang
terisolasi pada anak-anak di bawah tiga tahun harus segera dilakukan pemeriksaan
lebih menyeluruh untuk mengetahui patologi tambahan termasuk kelumpuhan pita
suara, GERD, dan kondisi perkembangan saraf. Pengukuran kejadian laringitis akut
yang akurat masih sulit untuk dijelaskan karena kondisi ini masih kurang
dilaporkan, dengan banyak pasien yang tidak mencari perawatan medis untuk
kondisi yang sering kali bisa sembuh sendiri ini.[6]

15
3.4 Patofisiologi
Laringitis akut sembuh dalam waktu 2 minggu, dan disebabkan oleh
peradangan lokal pada pita suara dan jaringan di sekitarnya sebagai respons
terhadap suatu pemicu, baik pemicu tersebut bersifat menular atau tidak menular.
Jika gejalanya menetap melebihi jangka waktu tersebut, hal ini disebabkan oleh
superinfeksi atau peralihan ke radang tenggorokan kronis.[8]
Laringitis akut ditandai dengan peradangan dan kemacetan pada laring pada
tahap awal. Hal ini dapat mencakup laring supraglotis, glotis, atau subglotis (atau
kombinasi keduanya), tergantung pada organisme pemicunya. Saat tahap
penyembuhan dimulai, sel darah putih tiba di lokasi infeksi untuk menghilangkan
patogen. Proses ini meningkatkan edema pita suara dan mempengaruhi getaran
secara negatif, mengubah amplitudo, besaran, dan frekuensi dinamika pita suara
normal. Seiring berkembangnya edema, tekanan ambang fonasi dapat meningkat.
Pembentukan tekanan fonasi yang adekuat menjadi lebih sulit, dan pasien
mengalami perubahan fonasi baik sebagai akibat dari perubahan dinamika
gelombang cairan pada jaringan yang meradang dan edema, namun juga sebagai
akibat dari adaptasi baik secara sadar maupun tidak sadar dalam upaya memitigasi
perubahan tersebut. perubahan dinamika jaringan. Kadang-kadang edema begitu
nyata sehingga tidak mungkin menghasilkan tekanan fonasi yang memadai. Dalam
situasi seperti ini, pasien mungkin mengalami aphonia terang-terangan.
Malaadaptasi seperti ini dapat mengakibatkan gejala vokal yang berkepanjangan
setelah episode laringitis akut yang dapat bertahan lama setelah peristiwa yang
memicunya teratasi. Dalam situasi seperti ini, rujukan ke ahli THT dan/atau ahli
patologi bahasa wicara diperlukan.[8]

3.5 Tanda dan Gejala


Evaluasi pasien radang tenggorokan akut harus selalu diawali dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Perhatian khusus harus
diarahkan pada infeksi saluran kemih atau penyakit lain yang baru terjadi, kontak
yang sakit, atau tanda-tanda penyakit sistemik lainnya. Dokter juga harus

16
menelusuri riwayat kesehatan masa lalu termasuk status kekebalan, status
imunisasi, riwayat alergi dan perjalanan, serta riwayat patologi perancu lainnya
seperti GERD. Perhatian khusus harus diberikan pada timbulnya dan durasi gejala,
serta apakah gejala tersebut pernah terjadi sebelumnya. Jika pasien telah diobati
sebelum datang ke rumah sakit, kemanjuran dan sifat pengobatan tersebut juga
harus dikaji.[9]
Gejala awal laringitis akut biasanya timbul secara tiba-tiba dan memburuk
dalam dua atau tiga hari, namun dapat bertahan hingga seminggu tanpa pengobatan.
Ini dapat mencakup:
• Perubahan kualitas suara, pada tahap selanjutnya mungkin terjadi
kehilangan suara total (afonia)
• Ketidaknyamanan dan nyeri di tenggorokan, terutama setelah berbicara
• Disfagia, odynophagia (jika ada, berhati-hatilah - mungkin menandakan
adanya patologi tambahan)
• Batuk kering
• Gejala umum tenggorokan kering, malaise, dan demam
• Sering membersihkan tenggorokan
• Kelelahan suara dini atau hilangnya jangkauan vokal [10]
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan berdasarkan riwayat. Pemeriksaan laring
dapat memastikan diagnosis. Pemeriksaan tidak langsung pada jalan napas dengan
cermin atau laringoskop fleksibel diperlukan. Penampilan laring dapat bervariasi
sesuai dengan tingkat keparahan penyakit. Pada tahap awal, terdapat eritema dan
edema pada epiglotis, lipatan aryepiglotis, arytenoid, dan pita suara. Seiring
berkembangnya penyakit, pita suara bisa menjadi eritematosa dan juga edema.
Wilayah subglotis mungkin terlibat, tergantung pada agen penghasutnya, meskipun
hal ini jarang terjadi. Sekresi yang lengket dan kental juga dapat terlihat di antara
pita suara atau di daerah antar-arytenoid. Dalam kasus penyalahgunaan atau
penyalahgunaan vokal, beberapa perubahan dapat dilihat pada pita suara. Edema
Reinke merupakan temuan umum pada laringitis akut dan kronik. Perdarahan
submukosa dapat terlihat pada trauma vokal akut, atau mungkin terdapat nodul atau
pseudo-nodul yang sebelumnya tidak terdiagnosis. Jika tidak ditangani, semua

17
penyakit ini dapat berkembang menjadi patologi suara kronis.[11]

3.6 Evaluasi
Diagnosis biasanya ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
sangat menyeluruh. Analisis suara formal dan laringoskopi fiberoptik dapat
digunakan untuk memastikan diagnosis pada kasus yang sulit diobati atau berbelit-
belit. Stroboskopi mungkin relatif normal atau mungkin menunjukkan asimetri,
aperiodisitas, dan berkurangnya pola gelombang mukosa. Pencitraan lebih lanjut
atau pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan kecuali diduga terdapat patogen
atau neoplasma atipikal. Jarang terjadi, jika pasien mempunyai eksudat di orofaring
atau pita suara, kultur dapat diindikasikan.[12]

3.7 Tatalaksana
Pengobatan seringkali bersifat suportif dan bergantung pada tingkat keparahan
radang tenggorokan.
• Istirahat suara: Ini adalah satu-satunya faktor terpenting. Penggunaan suara
selama radang tenggorokan menyebabkan pemulihan tidak lengkap atau
tertunda. Istirahat suara secara total dianjurkan meskipun hal ini hampir
mustahil untuk dicapai. Jika pasien perlu berbicara, pasien harus
diinstruksikan untuk menggunakan "suara rahasia;" yaitu suara fonasi
normal dengan volume rendah tanpa berbisik.
• Menghirup Uap: Menghirup udara lembab meningkatkan kelembapan
saluran napas bagian atas dan membantu menghilangkan sekret dan eksudat.
• Penghindaran bahan iritan: Merokok dan alkohol harus dihindari. Merokok
menunda resolusi cepat dari proses penyakit.
• Modifikasi pola makan: pembatasan pola makan dianjurkan untuk pasien
dengan penyakit gastroesophageal reflux. Ini termasuk menghindari
minuman berkafein, makanan pedas, makanan berlemak, coklat,
peppermint. Modifikasi gaya hidup penting lainnya adalah menghindari
makan larut malam. Pasien harus makan minimal 3 jam sebelum tidur.
Pasien harus minum banyak air. Tindakan diet ini telah terbukti efektif pada

18
GERD klasik, meskipun kemanjurannya pada LPR masih diperdebatkan,
namun sering kali masih diterapkan.[13]
• Pengobatan: Resep antibiotik untuk pasien sehat dengan radang
tenggorokan akut saat ini tidak didukung; namun untuk pasien berisiko
tinggi dan pasien dengan gejala parah, antibiotik dapat diberikan. Beberapa
penulis merekomendasikan antibiotik spektrum sempit hanya jika terdapat
noda gram dan kultur yang dapat diidentifikasi.
Laringitis jamur dapat diobati dengan penggunaan obat antijamur oral seperti
flukonazol. Perawatan biasanya diperlukan selama tiga minggu dan dapat diulang
jika diperlukan. Hal ini harus dilakukan pada pasien dengan infeksi jamur yang
dikonfirmasi melalui pemeriksaan laring dan/atau kultur. Mukolitik seperti
guaifenesin dapat digunakan untuk membersihkan sekresi. Selain perubahan gaya
hidup dan pola makan, radang tenggorokan terkait LPR diobati dengan obat
antirefluks. Obat-obatan yang menekan produksi asam seperti reseptor H2 dan agen
penghambat pompa proton efektif melawan refluks gastroesofagus, meskipun
penghambat pompa proton terbukti paling efektif untuk LPR. Ini mungkin
memerlukan dosis yang lebih tinggi atau jadwal pemberian dosis dua kali sehari
agar efektif dalam situasi ini. Data yang ada tidak mendukung peresepan
antihistamin atau kortikosteroid oral untuk mengobati radang tenggorokan akut.[14]

3.8 Diagnosis Banding


• Disfonia spasmodik
• Laringitis refluks
• Laringitis alergi kronis
• Epiglotitis
• Neoplasma[14]

3.9 Prognosis
Karena penyakit ini sering kali merupakan kondisi yang dapat sembuh dengan
sendirinya, prognosisnya baik. Jika pasien menyelesaikan terapi yang
direkomendasikan, prognosis untuk pemulihan ke tingkat fonasi pramorbid sangat

19
baik. Jika maladaptasi vokal telah terjadi, terapi wicara dapat mengatasi masalah
ini. Laringitis akut seringkali merupakan kondisi yang dapat sembuh dengan
sendirinya, namun dokter harus cerdik dan peka terhadap potensi kondisi yang
mendasarinya atau masalah lain yang dapat menyerupai laringitis akut. Laringitis
akut apa pun yang tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang tepat
memerlukan pertimbangan ulang lebih lanjut, dan kemungkinan rujukan ke ahli
THT untuk pemeriksaan laring formal, istirahat suara dianjurkan, antihistamin dan
steroid oral tidak berperan dalam pengobatan.[15]

20
BAB IV
PROSEDUR DIAGNOSIS LAINNYA : KASUS PADA HIDUNG

4.1 Inspeksi Umum[16]


A. Alasan

Dalam evaluasi pasien dengan gejala sinonasal, sangat penting untuk memulai
dengan pemeriksaan yang baik pada hidung dan wajah, baik pada saat inspirasi
maupun pada saat ekspirasi. Kelainan besar dapat divisualisasikan secara langsung,
seperti stenosis vestibulum hidung pada pasien bibir sumbing, kolapsnya lubang
hidung saat inspirasi atau deviasi septum yang parah. Oleh karena itu, tujuan
pemeriksaan hidung adalah untuk melihat adanya permasalahan anatomi yang dapat
mengganggu fungsi hidung baik pada saat istirahat maupun pada saat inspirasi.

B. Definisi

Inspeksi adalah penyelidikan visual terhadap struktur luar hidung dan sekitarnya,
untuk mendapatkan gambaran pertama dan dangkal mengenai hidung
dan fungsi hidung.

C. Teknik

Selama anamnesis dan pemeriksaan klinis, penting untuk melihat anatomi hidung,
baik saat istirahat maupun saat inspirasi. Dengan bantuan sumber cahaya, seseorang
dapat mengevaluasi dengan lebih baik bagian tulang, tulang rawan, dan kulit yang
membentuk dorsum hidung.

Aspek hidung berikut dievaluasi:

- Bentuk: kelainan kongenital atau didapat pada ossanasal, kubah tengah, dan
daerah katup luar. Punggung hidung yang melebar dapat menunjukkan adanya
polip hidung yang disebabkan oleh tersebarnya ossanasalia oleh polip hidung
(Sindrom Woakes, khas CF). Lipatan hidung horizontal di dorsum hidung
mendukung diagnosis AR. Adanya stenosis vestibular, keruntuhan alar pada saat

21
inspirasi dan/atau kubah tengah yang sempit berhubungan dengan penyumbatan
hidung dan dapat diamati selama inspeksi eksternal hidung selama inspirasi.

- Posisi: pemeriksaan tulang batang hidung yang sebagian besar menyimpang


karena trauma, dapat terhambat karena pembengkakan pasca trauma. Pemeriksaan
ujung tulang rawan hidung, sebagian besar mengalami deviasi pada masa
pertumbuhan.

- Kulit penutup hidung : mencari perubahan warna, edema, lesi kulit, fistula atau
skarifikasi.

- Struktur sekitarnya: dahi, mata, pipi dan bibir atas.

4.2 Palpasi[16]
A. Alasan

Tindakan sederhana dan murah ini merupakan cara yang tepat untuk menelusuri
patologi kulit, jaringan, tulang dan bagian tulang rawan hidung.

B. Tujuan

Untuk mengevaluasi hidung dengan ujung jari, untuk mencari kelainan bentuk atau
jaringan, area yang nyeri atau sensitif, dan/atau kurangnya mekanisme
penyangga ujung hidung.

C. Definisi

Pemeriksaan kulit, jaringan di bawahnya, bagian tulang dan tulang rawan untuk
mengetahui adanya kelainan, mobilitas abnormal, nyeri tekan dan
penyangga ujung.

D. Teknik

Sumber cahaya yang tepat diperlukan untuk pemeriksaan yang akurat. Dengan
palpasi seseorang dapat mendeteksi disfungsi katup hidung, khususnya dengan tes
Cottle. Pipi sisi yang dievaluasi ditarik perlahan ke samping dengan satu atau dua
jari, yang membuka katup. Pemeriksa kemudian meminta pasien untuk bernapas

22
dan kemudian menilai apakah pernapasan secara subyektif lebih baik setelah
menarik pipi. Hasil tes yang positif adalah ketika pasien merasakan berkurangnya
resistensi dengan katup terbuka. Tes ini mudah dan cepat dilakukan, namun
memiliki tingkat hasil positif palsu yang tinggi.

Jika tidak ada dukungan ujung, uji elevasi ujung dapat memberikan pemeriksa
informasi berharga mengenai penyebab sumbatan hidung. Pasien diminta
perbaikan pernapasan hidung dengan memegang ujung hidung pada posisi sudut
nasolabial lurus.

4.3 Rinoskopi Anterior[16]


A. Alasan

Rhinoskopi anterior memungkinkan pemeriksaan internal yang cepat namun


terbatas pada bagian anterior cavum nasi.

B. Tujuan

Inspeksi status klinis bagian anterior hidung. Lacak sekret hidung atau kelainan
mukosa seperti pembengkakan, pengerasan kulit, perforasi mukosa, polip besar.

C. Definisi

Pemeriksaan internal pada vestibulum dan cavum nasi dengan bantuan lampu
pemeriksaan yang dipasang pada ikat kepala dan spekulum hidung.

Gambar 4.1 Rinoskopi Anterior

23
D. Teknik

Dengan lampu dahi dan spekulum hidung atau telinga. Tanpa spekulum, ujung
hidung cukup didorong ke atas sehingga kita dapat memperoleh gambaran pertama
mengenai posisi septum dan kepala concha pertama (praktis dalam kasus
pemeriksaan bayi). Pengamat yang tidak kidal mengambil spekulum dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kiri digunakan untuk memposisikan kepala
pasien. Spekulum, dimasukkan pada sudut 45°, melebarkan tulang rawan alar dan
menyingkirkan bulu-bulu di hidung. Septum hidung tidak boleh disentuh karena
sangat sensitif. Ketika kepala pasien ditekuk ke depan, bagian anterior meatus
media dan concha dapat divisualisasikan, dengan menekuk kepala pasien ke
belakang, bagian anterior meatus tengah dan concha. Akhirnya spekulum harus
dilepas secara tertutup untuk menghindari avulsi bulu-bulu di hidung, yang sangat
menyakitkan. Tidak boleh dilupakan untuk memeriksa rongga mulut dan faring
untuk mencari tanda-tanda faringitis, post hidung tetes dapat menyebabkan
hiperplasia limfoid, menyerupai batu bulat.

Inspeksi hidung dapat dilengkapi dengan apa yang disebut tes cermin. Dengan
memegang cermin dingin atau pelat logam kecil di bawah lubang hidung, aliran
udara selama ekspirasi hidung dapat dinilai. Kurangnya fogging menunjukkan
aliran hidung yang tidak memadai, atau fogging yang asimetris menunjukkan
obstruksi unilateral.

Gambar 4.2 Tes Cermin untuk mengevaluasi kondensat udara ekspirasi pada instrument logam
dingin atau cermin

24
E. Kepekaan

Rhinoskopi anterior terbatas dalam evaluasi seluruh rongga hidung. Oleh karena
itu, pemeriksaan lengkap dan menyeluruh menggunakan endoskopi hidung
dianjurkan untuk pasien dengan gejala hidung. Misalnya, polip kecil mungkin tidak
terlihat pada rinoskopi anterior.

F. Hasil

Temuan klinis yang mungkin terjadi selama rinoskopi anterior adalah rhinorrhoe
dengan sekret yang bening atau berubah warna, asimetri (kebanyakan pada septum
hidung), aberasi atau edema mukosa, polip hidung, neoplasma, corpora aliena, dll.
Seseorang dapat menilai aksesibilitas hidung dan bentuk hidung. conchae tersebut.

4.4 Rinoskopi Posterior[16]


A. Alasan

Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa bagian posterior cavum nasi, choanae,
bagian posterior conchanasalis bawah dan tengah, septum posterior, nasofaring
dengan adenoid dan ostia tuba auditorius.

B. Definisi

Inspeksi bagian posterior cavum nasi dan nasofaring dengan bantuan cermin
tenggorokan kecil.

C. Teknik

Rhinoskopi posterior dilakukan dengan lampu dahi, spatula lidah di tangan kiri, dan
cermin tenggorokan kecil di tangan kanan. Diperlukan kerja sama pasien dan
keterampilan pengamat. Pertama, cermin harus dipanaskan sampai mencapai suhu
tubuh, jika tidak maka akan meredup. Kemudian spatula lidah diletakkan di tengah
pangkal lidah sehingga lidah akan didorong ke bawah dengan lembut. Cermin dapat
dimajukan menuju ruang di luar uvula. Tindakan tersebut harus dilakukan dengan
hati-hati karena menyentuh mukosa faring akan memicu refleks muntah. Jika

25
palatum molle terlalu ketat, minta pasien untuk bernapas dengan tenang melalui
hidung sehingga palatum molle menjadi rileks dan pandangan meluas.

Gambar 4.3 Rinoskopi Posterior

D. Hasil

Kondisi yang mungkin terjadi adalah atresia koanal kongenital, adenoiditis akut,
iritasi pada rinofaring, sekret hidung, polip antro-koanal, dan kista Thornwald.

E. Rekomendasi

Saat ini pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan dan sering digantikan dengan
endoskopi hidung.

4.5 Endoskopi Hidung[16]


A. Alasan

Dibandingkan dengan rinoskopi anterior dan posterior, endoskopi hidung


menawarkan keuntungan dalam evaluasi global rongga endonasal.

26
Gambar 4.4 Endoskopi Nasal

B. Tujuan

Berkat endoskopi, evaluasi yang baik terhadap septum, seluruh rongga hidung dan
nasofaring dapat dilakukan, namun juga area meatus tengah yang memiliki
kepentingan klinis pada rinosinusitis.

C. Definisi

Endoskopi hidung memungkinkan pemeriksaan cavum nasi internal, dengan


jangkauan pandang dan detail yang lebih luas dibandingkan dengan rhinoskopi
anterior dan posterior.

D. Teknik

Endoskopi hidung dilakukan dengan teropong fleksibel atau kaku yang dilekatkan
pada sumber cahaya kuat dengan serat kaca. Untuk pemeriksaan diagnostik,
digunakan teropong dengan sudut optik 25-30° dengan kaliber 2,5-4 mm. Optik lain
sebagian besar digunakan dalam pembedahan. Endoskopi hidung pada akhirnya
dapat didahului dengan pemberian obat anestesi lokal, sebaiknya dikombinasikan
dengan dekongestivum. Mula-mula diperiksa bagian bawah hidung sampai
nasofaring dengan evaluasi septum nasi, turbinat bawah, choanae dan nasofaring.
Setelah itu, ruang lingkup mengikuti tepi concha tengah menuju rostrum
sphenoidale, dengan informasi tentang concha tengah dan atas, drainase dari sinus,
kemungkinan ostia aksesori dari sinus maksilaris dan bukaan sinus sphenoid. Yang

27
terakhir, harus diupayakan untuk mendapatkan gambaran kompleks osteomeatal,
bula ethmoidal, dan akses ke sinus frontal.

E. Hasil

Mukosa yang alergi dan meradang, sekret atau pembengkakan di meatus tengah,
dan kemungkinan adanya polip hidung harus dievaluasi. Meskipun kegunaan
endoskopi hidung dalam evaluasi hidung tersumbat sudah jelas, tidak ada uji klinis
yang mendukung pernyataan ini. Hal ini terbukti cukup sensitif dan sangat spesifik
dalam memprediksi hasil CT scan pada pasien dengan CRS. Polip hidung dapat
dilihat dengan endoskopi, keberadaan dan tingkat keparahannya dapat dinilai
dengan sistem yang tervalidasi dengan kemampuan reproduksi yang baik. Namun,
korelasi antara ukuran polip dan gejala subjektif dari kemacetan tidak dapat
ditemukan. Perbedaan antara temuan obyektif dan keluhan subyektif membuat
endoskopi kurang cocok untuk menilai tingkat keparahan. Namun, ketika terdapat
polip hidung, penilaian endoskopi hidung sangat berguna dalam evaluasi
pengobatan. Kemungkinan skor semi-kuantitatif untuk polip hidung dapat
diperoleh pada awal dan secara berkala setelah intervensi terapeutik.

Ciri Skor

Polip kiri (0, 1, 2, 3)

Polip kanan (0, 1, 2, 3)

Edema kiri (0, 1, 2)

Edema kanan (0, 1, 2)

Debit kiri (0, 1, 2)

Debit kanan (0, 1, 2)

Skor pasca operasi hanya digunakan untuk penilaian hasil

Jaringan parut kiri (0, 1, 2)

28
Jaringan parut kanan (0, 1, 2)

Pengerasan kulit kiri (0, 1, 2)

Pengerasan kulit kanan (0, 1, 2)

Jumlah Poin

Polip:

0 Tidak adanya polip ; 1 Polip pada meatus tengah saja ; 2 Polip di luar meatus
tengah tetapi tidak menutup hidung sepenuhnya ; 3 Polip menutupi hidung
sepenuhnya

Edema:

0 Tidak ada ; 1 Ringan ; 2 Parah

Debit:

0 Tidak ada debit ; 1 Keluarnya cairan bening dan encer ; 2 Keluarnya cairan kental
dan bernanah

Jaringan parut:

0 Tidak ada ; 1 Ringan ; 2 parah

Pengerasan kulit:

0 Tidak ada ; 1 Ringan ; 2 parah

29
BAB V
ALGORITMA LARYNGITIS

5.1 Pathway Laryngitis

Gambar 5.1 Pathway Laryngitis[2]

30
5.2 Algoritma Tipe Laringitis, Penyebab, dan Terapi

Gambar 5.2 Algoritma Laringitis[2]

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Safira P, Christin RN, Nasir M. Variasi Kasus Faring-Laring Di Poliklinik


THT-KL RSUD Undata Palu Periode Januari – Desember 2016. MedPro. 2019
Dec;3(3):214-219.
2. Gupta G, Mahajan K. Acute Laryngitis. [Updated 2022 Sep 12]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-.
3. Rahul KS, Arlen DM. Acute Laryngitis. Otolaryngology and Facial Plastic
Surgery. 2023 Jan. [Medscape]
4. Suárez-Quintanilla J, Fernández Cabrera A, Sharma S. Anatomy, Head and
Neck: Larynx. [Updated 2023 Sep 4]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-.
5. Jaworek AJ, Earasi K, Lyons KM, Daggumati S, Hu A, Sataloff RT. Acute
infectious laryngitis: A case series. Ear Nose Throat J. 2018 Sep;97(9):306-
313. [PubMed]
6. Mazurek H, Bręborowicz A, Doniec Z, Emeryk A, Krenke K, Kulus M,
Zielnik-Jurkiewicz B. Acute subglottic laryngitis. Etiology, epidemiology,
pathogenesis and clinical picture. Adv Respir Med. 2019;87(5):308-316.
[PubMed]
7. Ghisa M, Della Coletta M, Barbuscio I, Marabotto E, Barberio B, Frazzoni M,
De Bortoli N, Zentilin P, Tolone S, Ottonello A, Lorenzon G, Savarino V,
Savarino E. Updates in the field of non-esophageal gastroesophageal reflux
disorder. Expert Rev Gastroenterol Hepatol. 2019 Sep;13(9):827-838.
[PubMed]
8. Naunheim MR, Dai JB, Rubinstein BJ, Goldberg L, Weinberg A, Courey MS.
A visual analog scale for patient-reported voice outcomes: The VAS voice.
Laryngoscope Investig Otolaryngol. 2020 Feb;5(1):90-95. [PMC free article]
[PubMed]
9. Kavookjian H, Irwin T, Garnett JD, Kraft S. The Reflux Symptom Index and
Symptom Overlap in Dysphonic Patients. Laryngoscope. 2020
Nov;130(11):2631-2636. [PubMed]

32
10. Stachler RJ, Francis DO, Schwartz SR, Damask CC, Digoy GP, Krouse HJ,
McCoy SJ, Ouellette DR, Patel RR, Reavis CCW, Smith LJ, Smith M, Strode
SW, Woo P, Nnacheta LC. Clinical Practice Guideline: Hoarseness
(Dysphonia) (Update). Otolaryngol Head Neck Surg. 2018
Mar;158(1_suppl):S1-S42. [PubMed]
11. Khodeir MS, Hassan SM, El Shoubary AM, Saad MNA. Surgical and
Nonsurgical Lines of Treatment of Reinke's Edema: A Systematic Literature
Review. J Voice. 2021 May;35(3):502.e1-502.e11. [PubMed]
12. Cohen SM, Thomas S, Roy N, Kim J, Courey M. Frequency and factors
associated with use of videolaryngostroboscopy in voice disorder assessment.
Laryngoscope. 2014 Sep;124(9):2118-24. [PMC free article] [PubMed]
13. Mosli M, Alkhathlan B, Abumohssin A, Merdad M, Alherabi A, Marglani O,
Jawa H, Alkhatib T, Marzouki HZ. Prevalence and clinical predictors of LPR
among patients diagnosed with GERD according to the reflux symptom index
questionnaire. Saudi J Gastroenterol. 2018 Jul-Aug;24(4):236-241. [PMC free
article] [PubMed]
14. Chae M, Jang DH, Kim HC, Kwon M. A Prospective Randomized Clinical
Trial of Combination Therapy with Proton Pump Inhibitors and Mucolytics in
Patients with Laryngopharyngeal Reflux. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2020
Aug;129(8):781-787. [PubMed]
15. Ringel B, Horowitz G, Shilo S, Carmel Neiderman NN, Abergel A, Fliss DM,
Oestreicher-Kedem Y. Acute supraglottic laryngitis complicated by vocal fold
immobility: prognosis and management. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2019
Sep;276(9):2507-2512. [PubMed]
16. Scadding G, Hellings P, Alobid I, Bachert C, Fokkens W, van Wijk RG,
Gevaert P, Guilemany J, Kalogjera L, Lund V, Mullol J, Passalacqua G,
Toskala E, van Drunen C. Diagnostic tools in Rhinology EAACI position
paper. Clin Transl Allergy. 2019 Jun 10;1(1):2. [PubMed]

33

Anda mungkin juga menyukai