Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

JULI 2022

LARYNGEAL TUBERCULOSIS

DISUSUN OLEH:
Farhadibah Zulmulatifah
N 111 19 043

PEMBIMBING:
Kompol. dr. Benyamin F.L. Sitio, M.Sc., Sp.THT-KL

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
RSUD UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Farhadibah Zulmulatifah


No. Stambuk : N 111 19 043
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Kedokteran
Judul Referat : Laryngeal Tuberculosis
Bagian : Ilmu Kesehatan THT-KL

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Juli 2022


Pembimbing Klinik Dokter Muda

Kompol. dr. Benyamin F.L. Sitio., M.Sc., Sp.THT-KL Farhadibah Zulmulatifah


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3
2.1 Anatomi Laring...............................................................................................3
2.2 Fisiologi Laring..............................................................................................9
2.3 Laringitis Tuberkulosis..................................................................................10
2.3.1 Definisi.........................................................................................................10
2.3.2 Epidemiologi.................................................................................................11
2.3.3 Etiologi..........................................................................................................11
2.3.4 Patofisiologi..................................................................................................12
2.3.5 Penegakan diagnosis.....................................................................................14
2.3.6 Diagnosis banding.........................................................................................17
2.3.7 Tatalaksana...................................................................................................18
2.3.8 Komplikasi....................................................................................................21
2.3.9 Prognosis.......................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN

Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada


daerah laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat
terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 3 minggu. Bila gejala
telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Salah satu bentuk laringitis
kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.1
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
kuman basil tahan asam atau kuman Mikobakterium Tuberkulosis. Pada tahun
1993, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan TB sebagai "keadaan
darurat kesehatan global". Sekitar sepertiga populasi dunia terinfeksi M.
tuberculosis. Sebagian besar kasus (75% ) terjadi pada kelompok usia produktif
(20-49 tahun).1 Indonesia memiliki prevalensi TB tertinggi ketiga di Asia, setelah
China dan India. Perkiraan kejadian kasus dahak positif sputum baru di Indonesia
adalah 585.000.2
Manifestasi tuberkulosis TB yang paling umum adalah tuberkulosis
laryngeal.3 TBC laryngeal telah dianggap sebagai hasil manifestasi paru ekstra
dan sering dikaitkan dengan infeksi paru-paru.4 Keluhan utama penderita TB
laring paling sering dijumpai yaitu suara serak yang disertai disfagia dengan atau
tanpa odinofagia dan batuk. Pada beberapa kasus dapat ditemukan limfadenopati
servikal yang sering dicurigai sebagai suatu metastase keganasan.5
Penderita dengan laringitis tuberkulosis biasanya datang dengan gejala,
seperti disfonia, odynophagia, dyspnea, odynophonia, dan batuk. Obstruksi
pernafasan bisa terjadi pada stadium lanjut penyakit. 6 Pada laringitis tuberkulosis
proses inflamasi akan berlangsung secara progresif dan dapat menyebabkan
kesulitan bernapas. Jika tidak segera diobati, stenosis dapat berkembang, sehingga
diperlukan trakeostomi. Akan tetapi, sering kali setelah diberi pengobatan,
tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini
terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta

1
vaskularisasi yang tidak sebaik di paru, sehingga bila sudah mengeni kartilago,
pengobatannya lebih lama.7
Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut
diperlukan agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat guna mencegah komplikasi yang akan terjadi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Laring


Laring (voice box) adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang
merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak
setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya
relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang
saja tertutup bila sedang menelan makanan.8
Laring terletak di bagian anterior leher dan di atas trakea. 9 Lokasi laring dapat
ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid
yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut prominensia laring
atau Adam’s apple atau jakun. Laring berbentuk piramida triangular terbalik
dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dankartilago krikoidea di sebelah
bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang
ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami
osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.8 Secara keseluruhan laring dibentuk oleh
sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.8,11
2.1.1 Kartilago pada laring8
Kartilago pada laring terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kartilago mayor
dan kartilago minor. Kelompok kartilago mayor terdiri dari 1 buah kartilago
tiroidea, 1 buah kartilago krikoidea, dan 2 buah kartilago aritenoidea. Kelompok
kartilago minor terdiri dari 2 buah kartilago kornikulata Santorini, 2 buah
kartilago kuneiformis Wrisberg, dan 1 buah kartilago epiglotis.

3
Gambar 1. Kartilago dan Ligamentum Laring tampak anterolateral dan
posterior.11
2.1.2 Membran pada laring10
Membran pada laring dibagi menjadi 2, yaitu membran ekstrinsik dan
membran intrinsik. Membran ekstrinsik meliputi membrana tirohioid, membrana
krikotiroid, dan membrana krikotrakeal. Membran intrinsik meliputi membrana
krikovokal dan membrana quadrangularis.
2.1.3 Otot-otot laring10
Otot-otot pada laring dibagi menjadi 2, yaitu otot-otot ekstrinsik dan
otototot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.8,10
Otot-otot ekstrinsik
Otot yang berasal dari luar laring melekat pada kartilago tiroidea dan os hioideum
dan disebut strap-muscles10 Otototot ini menghubungkan laring dengan struktur
disekitarnya. Kelompok otot ini menggerakkan laring secara keselutuhan, terbagi
atas:
1. Otot-otot suprahioid atau otot-otot elevator laring, yaitu m. stilohioideus, m.
geniohioideus, m. genioglosus, m. milohioideus, m. digastrikus, dan m.
hioglosus.
2. Otot-otot infrahioid atau otot-otot depresor laring, yaitu m. omohioideus, m.
sternokleidomastoideus, dan m. tirohioideus. Kelompok otot ini dipersarafi
oleh ansa hipoglossi C2 dan C3 serta penting untuk proses deglutisi (menelan)
dan fonasi (pembentukan suara).

4
Otot-otot intrinsik,
Otot yang menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Kelompok otot ini
berfungsi untuk menggerakan struktur yang ada di dalam laring untuk membentuk
suara, bernapas dan proses menelan.8,10
1. Otot-otot yang bekerja pada pita suara sebagai abduktor (m. krikoaritenoid
posterior) berfungsi untuk membuka pita suara. Otot adduktor (m.
krikoaitenoideus lateral, mm. interaritenoideus transversal dan oblique) dan tensor
(m. tiroaritenoideus, m. vokalis dan m. krikoaritenoid).8,10
2. Otot-otot yang bekerja pada aditus laring berfungsi untuk membuka aditus
laring (m. tireoepiglotikus) dan menutup aditus laring
(m.krikoaritenoideus/postikus, dan m. ariepiglotik). 8,10

Gambar 2. Otot-otot Laring tampak lateral11


2.1.4 Cavitas pada laring, meliputi:10
1. Aditus laring
Cavum laring dimulai dari aditus laring yang dibatasi di depan oleh tepi atas
epiglottis, di lateral oleh plika ariepiglotika dengan tuberkulum kuneiformis dan
di belakang oleh tuberkulum kornikulatum dan insisura interaritenoidea.
2. Vestibulum laring
Mulai dari aditus laring sampai plika ventrikularis merupakan bagian atas dari
kavum laring.

5
3. Glotis
Mulai dari plika ventrikularis sampai tepi bebas plika vokalis.
4. Rima glottis
Rima glotis adalah celah yang dibatasi oleh komisura anterior, kedua plika vokalis
dan komisura posterior.
5. Valleculae
Terdapat diantara permukaan anterior epiglottis dengan basis lidah, dibentuk oleh
plika glossoepiglotika medial dan lateral.
2.1.5 Inervasi laring10
Laring diinervasi oleh n. laringeus superior dan n. laringeus inferior.
Nevus laringeus superior merupakan cabang dari n. X, ramus eksternus bersifat
motoris untuk m. krikotiroideus. Nevus laringeus inferior merupakan lanjutan dari
n. rekuren n. X yang bersifat motoris untuk inervasi semua otot-otot instrinsik
laring lainnya.

Gambar 3. Inervasi Laring11


2.1.6 Vaskularisasi laring10
Vaskularisasi laring terdiri dari:
1. Arteri laringeus superior berasal dari a. tiroidea superior cabang dari a.
carotis externa
2. Arteri laringeus inferior berasal dari a. tiroidea inferior yang dipercabangkan
oleh trunkus tireoservikalis yang dipercabangkan oleh a. subclavia
3. Vena laringea superior bermuara di v. jugularis interna

6
4. Vena laringea inferior bermuara di v. anonima sinistra

Gambar 5. Aliran arteri laring (kiri); aliran vena laring (kanan).13


2.1.7 Sistem limfatik11
Aliran limfe pada masing-masing bagian dari laring berbeda, dimana
aliran limfe pada supraglotis lebih banyak sedangkan pada glotis sangat sedikit.
Hal ini menyebabkan pola metastasis regional dari keganasan pada laring
dipengaruhi lokasi tumor dan perluasannya. Laring mempunyai 3 sistem
penyaluran limfe, yaitu:
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk
saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe servikal
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke nodus jugular superior dan media.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea,
nodus jugular media dan inferior.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem
limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma
laring dan menentukan terapinya.

7
Gambar 6. Sistem Limfatik Laring8

Laring secara klinis dibagi menjadi tiga bagian yaitu supraglotis, glotis dan
subglotis. Pembagian ini merupakan pembagian berdasarkan perkembangan
embriologi yang mempengaruhi dampak klinis yang penting. Bagian yang
termasuk dalam supraglotis adalah epiglotis, aritenoid, plika ariepiglotika dan
plika ventrikularis, sedangkan glotis adalah pita suara (plika vokalis) termasuk
komisura anterior dan posterior sedangkan subglotis mulai dari pinggir bawah
plika vokalis sampai pinggir bawah kartilago krikoid.12

Gambar 7. Bagian-bagian Laring12


2.2 Fisiologi Laring

8
Laring memiliki 3 fungsi dasar, yaitu proteksi, respirasi dan fonasi, disamping
beberapa fungsi lainnya, antara lain:
2.2.1 Fungsi protektif
Fungsi utama laring adalah melindungi jalan napas dari partikel makanan dan
sekresi orofaring.11 Pada waktu menelan dan muntah, aditus akan menutup. Bila
ada korpus alienum akan terjadi refleks batuk.10
2.2.2 Fungsi respirasi
Laring secara pasif berfungsi sebagai jalan napas. Peran kartilago krikoidea sangat
penting sebagai kerangka untuk mempertahankan lumen terutama pada trauma.
Secara aktif, laring mengatur rima glottis dalam pernapasan. Saat inspirasi tenang,
rima akan terbuka sedikit, sedangkan saat ekspirasi tenang, rima menyempit
sedikit. Saat inspirasi dalam, rima akan membuka lebar.7 Proses ini dipengaruhi
oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan
menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2
arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial
CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.8
2.2.3 Fungsi fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.8
2.2.4 Fungsi sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti

9
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui
N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila
serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.8
2.2.5 Fungsi fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.5 Dengan menutupnya glotis pada akhir
inspirasi terjadi fiksasi thoraks.10
2.2.6 Fungsi deglutatori
Lokasi laring yang anterior dari bagian inferior faring memungkinkannya untuk
memainkan peran penting dalam deglutisi (menelan). 6 Pada waktu menelan laring
terangkat dan aditus laring menutup.10
2.2.7 Fungsi batuk (tussif) dan ekspektorasi
Kedua fungsi ini bersifat protektif dan merupakan pertahanan tubuh lini kedua 5
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring. Selain itu, dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi
kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.8
2.2.8 Fungsi emosi
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada
waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.8

2.3 Laringitis Tuberkulosis


2.3.1 Definisi
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi,
baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan
berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih
dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis.

10
Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan spesifik.
Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen (rangsangan
fisik oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi kronik saluran napas
atas atau bawah, asap rokok) atau faktor endogen (bentuk tubuh, kelainan
metabolik). Sedangkan laringitis kronik spesifik disebabkan tuberkulosis dan
sifilis.14
Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.
Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring
yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosa.5

2.3.2 Epidemiologi
Secara geografis, kasus TB terbanyak pada tahun 2018 berada di Asia
Tenggara (44%), Afrika (24%), dan negara-negara Pasifik Barat (18%); jumlah
kasus yang lebih kecil terjadi di negara-negara Mediterania Timur (8%), Amerika
(3%), dan Eropa (3%).
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok usia
muda yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens penyakit ini pada
penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini tuberkulosis
dalam semua bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki dibanding dengan
perempuan. Tuberkulosis laring juga lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut,
terutama pasien-pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk,
banyak diantaranya adalah peminum alkohol.6

2.3.3 Etiologi
Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya tuberkulosis
paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur mukosa
laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi
laring oleh Mycobacterium tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi
tuberkulosis paru aktif, dan ini merupakan penyakit granulomatosis laring yang
paling sering.6,14,15

11
2.3.4 Patofisiologi
Infeksi M tuberculosis ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan,
sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfa.
Kuman ini dapat menembus sistem mukoiliar saluran pernafasan atas dan
diteruskan ke paru-paru. Gejala yang muncul pada infeksi tuberkulosis berdasarkan
beberapa faktor diantaranya virulensi, jumlah kuman dalam tubuh, serta daya tahan
tubuh. Ada beberapa teori yang menyebabkan terjadinya kontaminasi laring oleh
kuman tuberkulosis.16
1. Teori Bronkogenik
Dimana laring mengalami infeksi melalui kontak langsung dari sekret atau sputum
yang kaya kuman tuberkulosis baik pada cabang bronkus atau pada mukosa
laring.gangguan pada laring ini berjalan seiring kelainan yang terjadi pada paru-
paru. Lokasi lesi pada laring yang paling sering terjadi adalah pada bagian posterior
laring berupa edema granuloma, hiperplasia reaktif, ulserasi, dan tuberkel epiteloid.
2. Teori hematogenic
Pada teori ini, kelainan hanya terjadi di laring dan tidak memperlihatkan kelainan
pada paru. Kuman tuberkulosis menyebar melalui darah dan sistem limfatik, dan
beberapa penelitian membuktikan lesi pada laring paling sering ditemukan pada
epiglotis dan bagian anterior laring berupa edema polipoid, hipreplasia, dan ulserasi
minimal. Infeksi tuberkulosis pada laring dapat menimbulkan gangguan sirkulasi
yang mengakibatkan edem pada fosa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika
vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta terakhir ialah dengan subglotik.

Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu6 :


1) Stadium infiltrasi
Mukosa laring bagian posterior menggalami pembengkakan dan hipermis. Kadang-
kadang papit suara juga terkena, oada stadim ini mukosa laring berwarna pucat.
Kemudian di adaerah submukosa terbentuk tuberkel sehingga mukosa tidak rata
tamoak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel yang terbentu akan semakin
membesar, dan beberapa tuberkel yang berdekatan akan menyatu sehingga mukosa

12
di atasnya meregang. Proses ini berlanjut sehingga mukosa semakin meregang
hingga pecah dan menimbulkan ulkus.

Gambar 8. (A) Mukosa korda vokalis sejati yang udem; (B) Granuloma pada
glottis posterior; (C) Lesi granulomatosa pada arytenoids dengan laryngitis tb
primer.26,27

2) Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada kahir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi oleh perkijuan. Stadium ini terasa sangat nyeri.

13
Gambar 9. Ulserasi Laring pada pita suara.26,27
3) Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring. Kartilago yang paling
sering terkena ulkus adalah kartilago aritenoid dan epiglotis. Kerusakan tulang
rawan kemudian menyebabkan terbentuknya nanah yang berbau, proses ini akan
berlanjut dan membentuk sekuester. Pada stadium ini keadaan umum pasien dangat
buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan, proses penyakit akan
berlanjut menjadu stadium fibrotuberkulosis.
4) Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulois pada dinding posterior, pita suara, dan
subglotik.

2.3.5 Penegakan diagnosis


Diagnosis laringitis TB ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala dan
pemeriksaan klinis, dan pemeriksan penunjang (laboratorium, foto rontgen toraks,
laringoskopi langsung/tak langsung, dan pemeriksaan patologi anatomik).
Tuberkulosis dapat mengenai berbagai organ tubuh. Gejala yang ditimbulkan
antara lain gejala demam, keringat malam, nafsu makan berkurang, badan lemah,
dan berat badan menurun. Pada laringitis TB gejala utama berupa suara serak,
terjadi biasanya ringan dan dapat progresif menjadi disfonia atau afonia. Keluhan
lainnya dapat berupa disfagia, odinofagia, nyeri alih otalgia, batuk, dan kadang
dapat menyebabkan sesak napas. Odinofagia dapat menjadi gejala yang menonjol
pada laringitis TB, sedangkan obstruksi jalan nafas atas akibat edema, tuberkuloma,
serta fiksasi pita suara bilateral jarang terjadi.16,17

14
Gambar 10. Algoritma diagnosis TB

1. Anamnesis.
Pada anamnesis, pasien sering mengeluhkan suara serak dengan batuk berdahak dan
demam. Suara serak berlanjut 1-3 bulan setelah atau bersaaan dengan batuk
berdahak. Selain itu dapat ditemukan pula disfagia, dispneu, dan gejala sistemik
berupa malaise, demam, dan penurunan nafsu makan disertai penurunan berat
badan.18,19

2. Pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik dengan laringoskopi sering ditemukan perubahan plika

15
vokalis berupa eritem dan granulomatosa atau polipoid. 18 Laringoskopi juga
dilakukan untuk melihat morfologi dan lokalisasi benjolan/tumor dalam laring.
Pada 80% kasus ditemukan benjolan/tumor ulseratif, papilomatosa, atau hipertrofi
laringitis kronik. Pada 60% temuan patologi terlokalisasi pada plika vokalis,
komisura posterior laring, dan plika vestibularis. Pada 75% kasus hanya ditemukan
tumor, sedangkan 25% didapatkan lesi multipel, kemudian 15% ditemukan
laringoplegia.19

3. Laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain bakteriologis, kultur
bakteri, histopatologi, dan uji tuberkulin.
1) Pemeriksaan bakteriologis
Merupakan pemeriksaan untuk diagnosis pasti TB, meskipun tidak semua pasien
positif TB memiliki pemeriksaan bakteriologi yang positif.
2) Biakan kuman
Biakan kuman dari sputum memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan
hasil pemeriksaan, hasil positif pada kuman penderita TB memiliki tingkat
keakuratan yang cukup tinggi. Basil tahan asam akan terlihat dengan pewarnaan
Ziehl Nielsen.

Gambar 10. Kuman Mycobaterium tuberculosis28


3) Pemeriksaan histopatologis
Yaitu dengan biopsi laring. Pemeriksaan ini menjadi standar baku emas pada TB
laring ataupun kegaasan laring. Gambaran mikroskopis pada TB memperlihatkan

16
suatu kelompok sel epitel dan sel Giant Langhans multipel dengan menggunakan
pewarnaan HE.

Gambar 11. Pewarnaan hematoxylin dan eosin dari sampel mukosa di bawah perbesaran rendah (A)
dan daya tinggi (B) menggambarkan infiltrat inflamasi yang kaya limfosit bersama dengan beberapa
granuloma kecil nonnekrosis (panah pada A dan B). Pewarnaan imunohistokimia untuk CD68R (C)
menyoroti agregat granulomatosa kecil dari histiosit.29

4) Uji tuberkulin
Uji ini kurang berarti sebagai alat bantu diagnostik. Dasar pemeriksaan ini adalah
timbulnya reaksi hipersensitivitas terhadap protein tuberkulin.

4. Radiologi
Foto rontgen toraks, pada kasus TB laring dapat ditemukan kelainan paru yang
dilihat dari rontgen toraks. Gambaran radiologi toraks berupa infiltrasi pada daerah
apikal, lesi fibrokalsifikasi, terdapat kavitas, adanya gambaran granuloma nodular,
atau gambaran opak.

Tiga kriteria untuk menegakkan TB ekstrapulmonal antara lain:16


1. Hasil kultur yang diambil dari organ ekstrapulmonal yang terinfeksi
menunjukkan hasil yang positif untuk M.tuberculosis.
2. Hasil biopsi terlihat nekrosis menghasilkan granulma kavernosa dengan atau
tanpa basil tahan asam dan tes tuberkulin positif,
3. Penderita menunjukkan gejala klinis TB, uji tuberkulin positif, da memberikan
hasil yang baik dengan pemberian OAT.

2.3.6 Diagnosis banding

17
a) Laryngitis Luetika
b) Karsinoma Laring
c) Aktinomikosis laring
d) Lupus Vulgaris Laring

2.3.7 Tatalaksana
a) Non-Medikamentosa5
 Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara
 Menghindari iritasi pada laring (rokok, makanan pedas, minuman dingin).
b) Medikamentosa
 Obat Anti Tuberkulosis
American Thoracic Society (ATS) menyatakan prinsip pengobatan TB
ekstrapulmonal tidaklah berbeda denngan TB pulmonal, termasuk TB laring.
Tujuan tatalaksana dari laryngitis TB adalah memutuskan mata rantai penularan,
mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan mencegah kekambuhan
tau resistensi terhadap OAT. Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan standar
yang dipakai untuk pengobatan TB pulmonal dan TB ekstrapulmonal secara
umum.20,21,22,23

Tabel 1. Dosis dan efek Samping dari Obat Anti Tuberkulosis lini pertama23,24
Nama Obat Dosis Harian Efek Samping
Isoniazid 4-6mg/kgBB Hepatitis, neuropati perifer, psikosis
(max 300mg) toksik, kejang, agranulositosis,
ginekomastia.
Rifampisin 8-12mg/kgBB Hepatitis, gangguan pencernaan, demam,
(max 600mg) eritem kulit, trombositopenia, nefritis
interstisial, sindrom flu, anemia
hemolitik, skin rash.
Pirazinamid 20-30mg/kgBB Hepatitis, hiperurisemia, muntah, nyeri
sendi, eritem kulit.
Streptomisin 15-18mg/kgBB Ototoksik, nefrotoksik

18
Etambutol 15-20mg/kgBB Neuritis retrobulbar, nyeri sendi,
hiperurisemia, neuropati perifer.

Pengobatan tuberculosis dianjurkan untuk menggunakan dosis kombinasi


karena dinilai lebih menguntungkan disbanding dengan OAT tunggal (monoterapi).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :
Tabel 2. Paduan OAT WHO dan IUATLD
Kategori Peruntukan Dosis
Kategori 1 - Penderita baru TB Paru BTA - 2HRZE/4H3R3
Positif - 2HRZE/4HR
- Penderita baru TB Paru BTA - 2HRZE/6HE
negatif, rontgen posisitf yang
“sakit berat”
- Penderita TB ekstra paru berat
Kategori 2 - Penderita kambuh (relaps) - 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
- Penderita gagal (failure) - 2HRZES/HRZE/5HRE
- Penderita dengan pengobatan
setelah lalai (after default)
Kategori 3 - Pennderita baru BTA negative - 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
dan rontgen positif sakit ringan - 2HRZES/HRZE/5HRE
- Penderita TB ekstra paru ringan

Sedangkan panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional


Penanggulangan TB di Indonesia adalah Kategori-1: 2HRZE/4(HR)3 dan
Kategori-2: 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2
disediakan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT),
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu

19
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang
terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam
bentuk blister. Dosis dan paduan OAT KDT maupun Kombipak tercantum dalam
tabel dibawah ini.30
Tabel 3. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 130

Tabel 4. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 130

Tabel 5. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 230

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 130

20
Respon pengobatan pada TB laring dapat terjadi dalam 2 minggu. Suara serak
yang disebabkan karena hipertrofi dapat mengalami perbaikan, namun pergerakan
pita suara yang terbatas akibat fibrosis dapat menetap. Respon OAT terhadap laring
cukup baik rata-rata 2 bulan dimana Sebagian kasus lesi yang terjadi sebelumnya
tidak terlihat lagi.25

 Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak memberikan peranan penting pada TB laring. Kortikosteroid
dapat diberikan untuk mencegah fibrosis yang dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas atas pada kasus-kasus dengan fiksasi pita suara.23

 Terapi Simptomatik
Diberikan untuk mengobati gejala penyerta, yaotu analgetic dan antipiretik.

2.3.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari laryngitis tuberculosis adalah:24
a) Stenosis laring
b) Fiksasi dari krikoaritenoid akibat fibrosis
c) Subglotis stenosis
d) Gangguan otot laring
e) Paralisis pita suara Ketika krikoarterinoid atau nervus laryngeal rekuren
mengalami trauma.

21
2.3.9 Prognosis
Tergantung pada keadaan social ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat, serta
ketekunan minum obat. Bila diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini, maka
prognosisnya baik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama TY. Situasi Epidemiologik. Tuberkulosis, diagnosis,


terapi dan masalahnya. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia;
2010. h. 2-6.
2. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Department Kesehatan
Republik Indonesia. Cetakan ke 5. Jakarta 2011.
3. Kulkarni NS, Gopal GS, Ghaisas SG, Guptel AN. Epidemiological
considerations and clinical features of ENT tuberculosis. The J Laryngology
& Otology. 2008;115:555-8.
4. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical
manifestations of laryngeal tuberculosis. The Laryngoscope. 1984;94:1094-7.
5. Lim JY,Kim KM, Choi EC, Kim YH, Kim HS, Choi HS. Current Clinical
Propensity of Laryngeal Tuberculosis: Review of 60 Cases. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2008; 263: 838-42.
6. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal 231-234
7. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 2008.
8. Sofyan, Ferryan. 2011. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Laring. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
9. Thiagarajan, Balasubramanian. 2015. Anatomy of Larynx A Review.
Otolaryngology Online Journal 5(1.5): 1-12.
10. Punagi, Abdul Q. 2010. Penatalaksanaan Bilateral Midline Paralysis Pasca
Tiroidektomi Total. Medicinus 22(4): 151-156.
11. Anniko M., Berbal-Sprekelsen M., Bonkowsky V., Bradley P., dan Iurato S.
2010. Anatomy and Physiology of the Larynx and Hypopharynx dalam
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. New York: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg. Halaman 461-469.
12. Rahman, Sukri. 2018. Diagnosis Dini Tumor Ganas Laring. Dipresentasikan

23
pada Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) Perhimpunan Ahli THT-KL
(PERHATI-KL) X. Banten. Halaman 1-7
13. Tucker HM. Anatomy of the larynx. In: Tucker HM, ed. The larynx. 2nd ed.
New York: Thieme Medical Publishers Inc, 2008;1–34
14. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic
carcinoma: a case report and review of the literature. Smulders et al; licensee
BioMed Central Ltd. 2009.
15. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Laryngitis.
Dalam: Bailey, Byron, Johnson, Jonas T. editor. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology, edisi ke-4. Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006.
Hal 831-832.
16. Novialdi ST (2012). Tuberkulosis Laring. Bagian Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher FK Universitas Andalas/RSUP Dr M Djamil. Padang
ovialdi ST (2012). Tuberkulosis Laring. Bagian Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher FK Universitas Andalas/RSUP Dr M Djamil. Padang.
17. Hermani B, Abdurrachman H, Cahyono A (2012). Kelainan laring. Dalam
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD :Buku Ajar Ilmu
Kesehaan THT-KL. Badan Penerbit FKUI; Jakarta. Hal 216-219
18. Michael RC, Michael Js (2011). Tuberculosis in otolaryngology: clinical
presentation and diagnostic challenges. International Journal of
Otolaryngology. Hindawi Publishing Corporation. Pp 1-4
19. Bruzgielewicz A, Rzepakowska A, Wojkcikewicz EO, Niemczyk K,
Chmielewski R (2014).Tuberculosis of the head and neck-epidemiological and
clinical presentation. Arch Medical Science Otolaryngology Department
Warsaw Medical University, Polandia. Pp 1160-1166.
20. Treatment of Tuberculosis Disease. In: Management of Tuberculosis. Federal
Bureau of Prisons Clinical Practice Guidelines. 2010; 15-8
21. World Earth Organization. Improving the diagnosis and treatment of
smearnegative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adults
andadolescents. 2012; 26-33.
22. Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary Tuberculosis. Indian J Med Res.

24
2006; 120: 316-353.
23. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono,
Sugiri YJ, Iswanto, et al. Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus. In:
Perhimpunan dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. 2011; 39.
24. Dinihari TN, Siagian V. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2014
25. Yelken K,. Guven M, Guven M, Gultekin E. Efek of Antituberculosis
Tratment On Safe Assesment, Perceptual Analysis And Acoustik Analysis Of
Voice Quality In Laryngeal Tuberculosis. 2008; 122: 378- 82.
26. Agarwal, R., Gupta, L., Singh, M., Yashaswini, N., Saxena, A., Khurana, N.,
& Chaudhary, D. (2018). Primary Laryngeal Tuberculosis: A Series of 15
Cases. Head and Neck Pathology.
27. Cialente F, Grasso M, Ralli M, De Vincentiis M, Minni A, Agolli G, Dello
Spedale Venti M, Riminucci M, Corsi A, Greco A. Laryngeal tuberculosis in
renal transplant recipients: A case report and review of the literature. Bosn J
Basic Med Sci. 2020 Aug 3;20(3):411-414.
28. Sawin SK, Behera IC, Sahu MC. Primary Laryngeal Tuberculosis: Our
Experiences at a Tertiary Care Teaching Hospital in Eastern India. Journal of
Voice. May 2018.
29. Safitri W, Surarso B. Patogenensis dan Diagnosis Tuberkulosis Laring.
Journal Unair. 2011.
30. Keputusan Meneteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 346 tahun 2009
tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB).

25

Anda mungkin juga menyukai