Anda di halaman 1dari 37

BEDAH HIPERTROFI KONKA INFERIOR

REFERAT II

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Spesialis


Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Diajukan oleh :

Didit Yudhanto
08/308747/PKU/11904

Pembimbing:

dr. Kartono Sudarman, SpTHT-KL (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN


TELINGA HIDUNG TENGGOROK – KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
LEMBAR PENGESAHAN

BEDAH HIPERTROFI KONKA INFERIOR

REFERAT II

Diajukan oleh :

Didit Yudhanto
08/308747/PKU/11904

Telah disetujui dipresentasikan tanggal:

12 November 2013

Pembimbing:

dr. Kartono Sudarman, SpTHT-KL (K) Tanggal: 22 Oktober 2013

Mengetahui,

Ketua Program Studi


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala-Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP Dr. Sardjito

dr. Kartono Sudarman, Sp.THT-KL (K)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
DAFAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
A. Latar Belakang .............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................................2
BAB II URAIAN .....................................................................................................3
A. Anatomi, Fisiologi dan Histologi Konka Inferior ........................................3
B. Hipertrofi Konka Inferior .............................................................................8
1. Definisi dan epidemiologi .....................................................................8
2. Etiologi dan patofisiologi ......................................................................8
3. Diagnosis.............................................................................................11
C. Bedah Hipertrofi Konka Inferior................................................................14
1. Reposisi konka dengan lateroposisi ....................................................15
2. Pembedahan pada hipertrofi mukosa konka........................................15
3. Pembedahan pada hipertrofi tulang konka ..........................................23
4. Pembedahan pada hipertrofi mukosa tulang konka.............................24
BAB III RINGKASAN ..........................................................................................29
ALGORITMA........................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................32

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidung tersumbat merupakan salah satu gejala yang paling sering di klinik

telinga, hidung dan tenggorokan (THT), dan hipertrofi konka inferior merupakan

penyebab yang paling sering, bahkan dapat merupakan penyebab tunggal

(Barbieri et al., 2003). Sekitar 20% penyebab sumbatan hidung adalah hipertrofi

konka inferior. Walaupun tidak mengancam jiwa namun sumbatan hidung kronik

menyebabkan gejala yang berat seperti nafas melalui mulut, orofarings kering,

suara sengau, gangguan tidur, malaise, penurunan volume paru dan penurunan

kualitas hidup (Willat, 2009).

Hipertrofi konka akibat rinitis merupakan penyebab utama sumbatan hidung

kronik. Rinitis dapat berupa alergi, infeksi, vasomotor, hormonal atau

medikamentosa. Penyebab lain adalah hipertrofi konka akibat kompensasi dari

deviasi septum kontralateral. Pembesaran konka biasanya membaik dengan

pengobatan medikamentosa pada penyakit yang mendasarinya. Akan tetapi,

pembengkakan konka dalam jangka panjang dapat irreversibel. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh dilatasi sinus venosus submukosa menjadi varikose

dan tidak respon terhadap pengobatan stimulan sistem saraf simpatis, atau dapat

juga karena fibrosis. Jadi beberapa pasien refrakter terhadap medikamentosa atau

berespon sedikit dan mengeluh gejala yang menetap, sehingga pembedahan konka

inferior dapat menjadi alternatif terapi (Willat, 2009).

1
2

Terdapat berbagai teknik untuk mereduksi ukuran konka dan meningkatkan

aliran udara hidung antara lain, lateroposisi, konkotomi total atau parsial,

konkotomi submukosa, konkoplasti, reduksi dengan mikrodebrider, diatermi

submukosa, reduksi dengan radiofrekuensi, krioterapi dan laser. Walaupun sudah

banyak dilakukan penelitian komparasi terapi pembedahan, namun teknik yang

optimal masih menjadi perdebatan (Gindros et al., 2010).

B. Perumusan Masalah

Hidung tersumbat merupakan salah satu gejala yang paling sering di klinik

THT, dan hipertrofi konka inferior merupakan penyebab yang paling sering,

bahkan dapat merupakan penyebab tunggal. Jika pengobatan dengan

medikamentosa gagal, maka pembedahan menjadi alternatif terapi.

Terdapat berbagai teknik untuk mereduksi ukuran konka dan meningkatkan

aliran udara hidung. Walaupun pembedahan sudah banyak dilakukan penelitian

komparasi, namun teknik yang optimal masih menjadi perdebatan.

C. Tujuan Penulisan

Mengetahui lebih mendalam tatalaksana hipertrofi konka sehingga dapat

menentukan tatalaksana yang tepat.


BAB II

URAIAN

A. Anatomi, Fisiologi dan Histologi Konka Inferior

Konka terletak pada dinding lateral kavum nasi, terdiri atas konka inferior,

konka media, konka superior dan suprema dimana konka suprema ini rudimenter.

Diantara ketiganya yang terbesar adalah konka inferior. Secara embriologi konka

inferior berasal dari prominensia maksilofasial (Quinn et al., 2003). Konka

inferior dewasa berukuran rata-rata panjang 48 mm dan tinggi 14 mm pada bagian

anterior (Roth dan Kennedy, 1994; Matthias et al., 1997). Segmen dari konka

dapat dibagi atas segmen anterior, media dan posterior. Segmen anterior disebut

kepala, median disebut badan dan posterior disebut ekor. (Millas et al., 2009; Lee

et al., 2009).

Vaskularisasi konka inferior terutama adalah dari percabangan arteri (a.)

sfenopalatina. Pada bagian anterior dapat beranastomosis dengan percabangan a.

etmoidalis anterior dan a. labialis superior (Gambar 1). Pleksus venosus

submukosa mengalir ke vena (v.) sfenopalatina, v. fasialis dan v. optalmika.

Pleksus venosus adalah bagian yang penting dalam sistem termoregulasi,

konduksi panas ke udara inspirasi sebelum masuk paru-paru (Millas et al., 2009;

Lee et al., 2009).

3
4

Gambar 1. Vaskularisasi dan inervasi konka inferior (The McGraw-Hill, 2006)

Inervasi sensoris dibawa oleh cabang kedua nervus (n.) trigeminal melalui

ganglion sfenopalatina dan n. nasalis lateralis (Gambar 1). Saraf parasimpatis

berasal dari nukleus salivatorius superior dan berjalan melalui n. intermedius ke n.

fasialis. Pada ganglion genikulatum saraf ini berjalan melalui n. petrosus

superfisialis mayor yang bergabung dengan n. petrosus profundus (serabut saraf

simpatis postganglion) membentuk nervus kanalis pterigoideus (n. vidianus) yang

kemudian menuju ganglion pterigopalatina. Selanjutnya sinapsis dan serabut saraf

parasimpatis mencapai dinding lateral kavum nasi. Saraf simpatis berasal dari

subtansia grisea intermediolateralis medula spinalis torakal pertama dan kedua

dan bersinapsis di ganglion servikalis superior. Serabut post-ganglion berjalan ke

pleksus simpatikus di sekitar a. karotis interna kemudian melalui n. petrosus


5

profundus ke n. vidianus. Serabut saraf simpatis berjalan melalui ganglion

sfenopalatina menuju konka inferior (Roth dan Kennedy, 1994; Mathai, 2004).

Konka inferior mempunyai tulang tersendiri yang melekat di dinding medial

sinus maksila. Struktur tulang konka dapat terbentuk dalam berbagai jenis, yang

paling sering pada konka inferior adalah jenis lamelar. Tidak seperti konka media,

konka bulosa jarang terjadi pada konka inferior, hanya terdapat sekitar 11 kasus

yang dilaporkan (Millas et al., 2009; Lee et al., 2009: ).

Bagian terpenting dalam resistensi hidung adalah valve (katup) hidung, yang

merupakan area tersempit kavum nasi. Kompleks katup hidung dibatasi oleh tepi

kaudal kartilago lateral dan septum di superior, kepala konka inferior di posterior

dan dasar hidung di inferior serta apertura piriformis beserta jaringan lemak

fibrosanya sebagai batas lateral (Quin et al., 2008).

Konka inferior adalah struktur dinamis yang berperan besar pada regulasi

udara inspirasi seperti filtrasi, termoregulasi dan humidifikasi, mengarahkan udara

ke area olfaktorius dan proteksi dengan Ig A dan transpor mukosiliarnya (Gambar

2). Organ ini dibawah kontrol otonom dimana pada keadaan istirahat dikontrol

oleh saraf parasimpatis. Stimulasi parasimpatis menyebabkan vasodilatasi, hal ini

menyebabkan peningkatan volume konka dan resistensi hidung. Sedangkan

stimulasi parasimpatis menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan resistensi

hidung. Pada orang dewasa resistensi hidung berubah dari sisi ke sisi sedangkan

resistensi total tetap konstan (Roth dan Kennedy, 1994: Voigt dan Edelstein,

2005).
6

Vena kapasitan (sinusoid) terletak di subepitelial yaitu pada lamina propria

konka inferior yang bertanggung jawab pada regulasi pembesaran mukosa

(Gambar 2). Pada keadaan membengkak, konka inferior dapat menjadi 3 kali

ukuran saat mengecil, dan dapat menyumbat hampir seluruh aliran udara bagian

bawah. Kontrol suplai darah ke mukosa melalui pembuluh arteri resistan yang

diinervasi secara simpatis. Baik pembuluh resistan maupun sunusoid diinervasi

oleh serabut saraf adrenergik, jadi peningkatan stimulasi simpatis menyebabkan

dekongesti mukosa. Pada posisi supinasi dengan peningkatan CO2 atau inhalasi

udara dingin, volume pembuluh kapasitan meningkat. Jumlah pembuluh kapasitan

pada konka inferior lebih banyak dibanding dengan konka media. Hal tersebut

bersama struktur anatomi katup hidung menjadikan konka inferior sebagai

penentu pengaturan resistensi udara pernafasan hidung (Matthias et al., 1997;

Keck dan Lindemann, 2010; Scheithauer, 2010).

Gambar 2. Termoregulasi dan humidifikasi udara inspirasi oleh mukosa hidung


(www.emptynosesyndrome.org)
7

Secara histologis konka inferior terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan

mukosa medial dan lateral serta lapisan tulang diantaranya (Gambar 3). Mukosa

bagian medial lebih tebal dari bagian lateral. Sedangkan tulang konka lebih tebal

dibagian anterior dibandingkan dengan posterior. Rata-rata tulang ini tebalnya 1,2

mm secara histologi. Permukaan konka adalah mukosa respirasi bersilia dan

diselimuti oleh dua lapis selimut mukus dan bertanggung jawab terhadap transpor

mukosiliar. Selimut mukus diproduksi oleh glandula seromukus dan sel goblet

yang berada pada bagian submukosa. Jumlah sel goblet pada konka inferior lebih

banyak jika dibanding dengan konka media. Epitel dipisahkan dengan lamina

propria oleh lamina basalis. Lamina propria bagian medial lebih tebal dari bagian

lateral. Mukosa ini berisi jaringan penunjang yang mengandung sedikit limfosit,

kelenjar seromukus, banyak sinus venosus pada dinding lateral yang tipis dan

sedikit arteri (Farmer dan Ecles, 2006).

Gambar 3. Histologi konka. Konka diapisi epitel kolumner pseudostratified


bersilia yang langsung kontak dengan kavum nasi (*); muara dari glandula
(panah); sinus venosus (V); tulang konka (B).(www.netterimages.com)
8

B. Hipertrofi Konka Inferior

1. Definisi dan Epidemiologi

Istilah hipertrofi konka inferior diperkenalkan pertama kali pada tahun

1800 dan masih dipakai sampai sekarang. Hipertrofi didefinisikan sebagai

pembesaran organ atau jaringan akibat pembesaran sel-selnya. Hidung

tersumbat merupakan gejala yang sering terjadi di masyarakat, dengan kejadian

mencapai 25%. Sekitar 20% penderita hidung tersumbat kronik disebabkan

oleh kelainan ini (Farmer dan Eccles, 2006; Rodrigues et al., 2011)

2. Etiologi dan Patofisiologi

Hipertrofi konka inferior dapat terjadi bilateral atau unilateral. Bilateral

dapat disebabkan oleh rinitis alergi ataupun nonalergi, sedangkan hipertrofi

unilateral dapat terjadi akibat deviasi septum kontralateral kongenital ataupun

yang didapat setelah lahir. Kelainan ini dapat berupa hipertrofi mukosa,

hipertrofi tulang konka atau keduannya. Pembentukan abnormalitas tulang

berlangsung lama sebagai akibat hipertrofi jaringan mukosa yang

berkepanjangan atau akibat trauma pada septum yang berhubungan dengan

pembesaran konka (Berger et al., 2006; Friedman dan Vidyasagar, 2006; Mrig

et al., 2009).

Persepsi aliran udara belum diketahui dengan baik, adanya reseptor aliran

udara juga masih kontroversi. Meskipun obstruksi hidung umumnya berkaitan

dengan peningkatan resistensi udara, namun pemeriksaan objektif resistensi

hidung tidak selalu berkorelasi dengan derajat obstruksi secara subjektif.

Kerusakan atau reseksi akhiran saraf trigeminus meningkatkan sensasi hidung


9

tersumbat tanpa adanya obstruksi hidung secara objektif. Sebaliknya, stimulasi

reseptor mentol meningkatkan sensasi subjektif aliran udara tanpa penurunan

resistensi aliran udara. Secara histologis, reseptor taktil, tekanan, dan

termoreseptor teridentifikasi pada mukosa hidung. Semakin sejuk aliran udara

semakin lega sensasi bernafas, hal ini mendukung teori bahwa sensasi udara

pernafasan kemungkinan dideteksi oleh termoreseptor dingin. Daerah yang

paling sensitif pada sensasi aliran udara ada yang menyebutkan pada

vestibulum dan yang lain menyebutkan di daerah meatus inferior. Preservasi

daerah yang sensitif terhadap aliran udara tersebut harus diperhatikan untuk

mempertahankan presepsi hidung terhadap aliran udara (Willat, 2009).

Pemahaman histologi hipertrofi konka inferior sangat penting dalam

pembedahan konka inferior. Perbedaan antara konka inferior normal dan

hipertrofi seperti disebutkan oleh Berger yaitu pada konka normal terdiri atas

lapisan paling luar adalah mukosa respirasi, lapisan submukosa, lapisan

periosteum dan tulang konka. Sedangkan konka yang hipertrofi secara patologi

terdapat penebalan yang bermakna pada bagian medial mukosa konka dengan

penebalan dua kali lipat. Hal ini merupakan kontribusi yang paling besar

terhadap hipertrofi konka. Pada hipertrofi konka juga menunjukkan adanya

dilatasi vena sinusoid, infiltrasi sel inflamasi subepitelia di bawah membran

basalis dan fibrosis pada lamina propria yang mengarah pada rangkaian

progresif dan ireversibel akhir dari inflamasi (Gambar 4). Pada keadaan ini

terapi suportif biasanya gagal dan pembedahan merupakan terapi pilihan

(Berger et al., 2006).


10

Gambar 4. Hasil pemeriksaan histopatologi konka inferior, hipertrofi (A) dan normal
(B); B indicates bone; IML, inferior mucosal layer; LML, lateral mucosal layer; dan
MML, medial mucosal layer (Berger et al., 2006).

Pada hipertrofi konka unilateral yang disebabkan oleh deviasi septum

kontralateral didapatkan hipertrofi mukosa dan tulang. Kompenen yang

membesar terutama adalah tulangnya, dengan peningkatan penebalan lapisan

tulang didapatkan dua kali lipat. Pembesaran konka pada septum deviasi untuk

melindungi kavum nasi dari kekeringan dan terbentuknya krusta karena udara

yang eksesif. Perubahan tersebut irreversibel, dan beberapa ahli menyarankan

agar dilakukan operasi pada hipertrofi konka saat dilakukan koreksi deviasi

septum (Berger et al., 2006; Willat, 2009; Gindros et al., 2009).

Pada pembesaran konka inferior bilateral oleh karena rinitis alergi

didapatkan peningkatan jumlah sel goblet dan penebalan membran basalis.

Jumlah pembuluh darah juga meningkat dengan kongesti dan dilatasi serta

didapatkan edema jaringan stroma. Jumlah sel eosinofil pada rinitis alergi

meningkat sedangkan pada rinitis non alergi didapatkan dominasi kelenjar sel

asini. Pada rinitis vasomotor terdapat peningkatan pembuluh darah dan

fenomena ini terjadi berhubungan dengan pembentukan pembuluh darah baru.

Sementara pada rinitis alergi tidak ditemukan densitas vaskular yang lebih
11

banyak. Hasil biopsi konka diperoleh lebih banyak epitel kolumnar pseudo-

stratified, hal ini menguatkan pemikiran bahwa hiperplasia seluler terbukti

ditemukan pada hipertrofi konka. (Farmer dan Eccles, 2006; Berger et al.,

2006).

Peningkatan ketebalan mukosa medial disebabkan penebalan lamina

propria yang mengandung sel inflamasi subepitel, sinus venosus, dan kelenjar

submukosa. Oleh karena itu target pembedahan pada hipertrofi konka adalah

pada sisi medial dan juga sisi inferior. Pada sisi inferior pembesaran ini tidak

begitu signifikan, namun reduksi pada regio inferior ini dapat dilakukan

karena: 1) kaya akan sinus venosus sehingga dapat mengurangi kongesti yang

berlebihan dan obstruksi; 2) mempunyai kelenjar yang sedikit sehingga

kemungkinan keringnya mukosa tidak terjadi; 3) mengandung sedikit arteri

sehingga tidak meningkatkan pendarahan perioperatif. Sisi lateral konka harus

dipertahankan karena daerah ini kaya kelenjar, tidak menganggu pada jalan

nafas, dan penting dalam menjaga kelembaban udara yang diinspirasi dan

mempertahankan fungsi normal dari sistem transport mukosiliar. Pada

pembesaran konka bilateral ini tidak didapatkan pembesaran tulang konka

(Farmer dan Eccles., 2006; Berger et al., 2006).

3. Diagnosis

Diagnosis hipertrofi konka dapat ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala utama pada hipertrofi

konka adalah hidung tersumbat. Penilaian derajat keluhan ini dapat dilakukan

secara Visual Analog Scale (VAS) dengan skala 0-10. Pada pemeriksaan fisik
12

dengan rinoskopi anterior didapatkan hipertrofi konka. Pembagian pembesaran

konka inferior menurut Yanes adalah: A). konka inferior mencapai garis yang

terbentuk antara midlle nasal fosa dengan lateral hidung B). Pembesaran

konka inferior melewati sebagian dari kavum nasi C). Pembesaran konka

inferior telah mencapai nasal septum (gambar 5) (Yanes, 2008; Businco et al.,

2010).

Gambar 5. Rinoskopi anterior hipertrofi konka (Yanes, 2008)

Secara nasoendoskopi didapatkan pembesaran konka posterior: 1) konka

inferior belum melewati garis koana; 2) konka inferior telah mencapai garis

koana; 3) konka inferior telah melewati garis koana. Pembagian derajat

hipertrofi yang lain oleh Businco adalah: derajat 1 normal, apabila konka

inferior tidak ada kontak dengan septum atau dengan dasar hidung; derajat 2

hipertrofi ringan, apabila terjadi kontak dengan septum; derajat 3 hipertrofi

sedang, apabila terjadi kontak dengan septum dan dasar hidung; derajat 4

hipertrofi berat, jika terjadi kontak dengan septum, dasar hidung dan
13

kompartemen superior sehingga terjadi sumbatan hidung total (Yanes, 2008;

Businco et al., 2010).

Pemeriksaan rinomanometri pada hipertrofi konka inferior didapatkan

resistensi nasal lebih dari 0,3 Pa/cm3/detik, dimana pada keadaan normal pada

orang dewasa tekanan ini berkisar 0,15-0,3 Pa/cm3/detik. Pada akustik

rinomanometri keluhan hidung tersumbat bila area penampang lintang kavum

nasi lebih kecil dari 0,3 cm2. Masih terdapat kontroversi hubungan

penyempitan ini dengan keluhan derajat obstruksi (Quinn et al., 2013).

Gambar 6. Pengukuran ketebalan mukosa medial konka (A) dan pengukuran


ketebalan tulang (B) (Mrig et al., 2009).

Computed tomography scan (CT-scan) diindikasikan pada

pemeriksaan obstruksi hidung jika penyebabnya tidak dapat dievaluasi dengan

pemeriksaan fisik dengan endoskopi atau pada kecurigaan tumor dan polips.

Pemeriksaan tersebut tidak diindikasikan apabila hanya untuk penunjang

diagnosis hipertrofi konka saja. Akan tetapi, jika pemeriksaan CT-scan sudah

ada karena alasan pemeriksaan lain, hal ini dapat memberikan informasi yang

bermanfaat seperti penilaian apakah hipertrofi konka terjadi pada mukosa,

tulang atau keduanya (Gambar 6) (Konstantinidis dan Constantinidis, 2009).


14

C. Bedah Hipertrofi Konka Inferior

Terapi pembedahan dapat ditujukan untuk mereposisi konka akibat kelainan

struktural konka, hipertrofi mukosa yang telah irreversibel, hipertrofi tulang dan

pada hipertrofi yang terjadi pada mukosa bersama tulang konka. Terapi

konservatif harus menjadi pilihan pertama, pada pasien dengan alergi atau hiper-

reaktifitas harus diterapi dengan antihistamin atau kortikosteroid selama paling

tidak 3 bulan. Pada pasien dengan infeksi terlebih dahulu diterapi antibiotik yang

dikombinasi dengan antihistamin atau kortikosteroid. Pasien yang tidak respon

terhadap pengobatan selama 3-6 bulan dipertimbangkan untuk dilakukan

pembedahan (Huizing dan de Groot, 2003; Friedman dan Vidyasagar, 2006).

Strategi utama pada prosedur pembedahan konka adalah mereduksi volume

konka inferior terutama bagian anterior, yang merupakan komponen dari katup

hidung, bagian yang paling resistif pada saluran nafas atas. Dengan demikian

aliran udara meningkat tanpa mengganggu fisiologi hidung. Sehinggga dapat

mempertahankan peran konka inferior sebagai filtrasi, termoregulasi, humidifikasi

udara pernafasan, mengarahkan udara ke area olfaktorius dan proteksi dengan Ig

A dan transpor mukosiliarnya (Willat, 2009)

Pembedahan reduksi konka idealnya ditujukan untuk: 1) preservasi mukosa

reduksi yang terkontrol; 2) jaringan parut submukosa untuk mengurangi erektilitas

mukosa; 3) reduksi tulang jika perlu dan 4) komplikasi yang minimal. Namun,

tidak ada terapi tunggal yang ideal untuk semua pasien. Oleh karena itu, harus

memilih jenis prosedur terbaik yang sesuai dengan keadaan patologis pasien.
15

(FriedmandanVidyasagar, 2006). Adapun beberapa prosedur pembedahan

hipertrofi konka inferior adalah sebagai berikut:

1. Reposisi Konka dengan Lateroposisi

Lateralisasi dengan outfracturing konka inferior diperkenalkan oleh

Killian pada tahun 1904. Teknik konservatif yang mempertahankan fungsi ini

masih banyak digunakan hingga sekarang. Lateroposisi dilakukan pada tulang

konka yang berada pada posisi median atau pada kasus pembesaran konka

karena kompensasi dari septum deviasi. Teknik ini dilakukan pada penebalan

mukosa yang sedikit. Tekniknya adalah dengan mendorong konka ke lateral

menggunakan instrumen yang datar dan untuk memperkuat posisi dilakukan

pemasangan tampon hidung sementara (gambar 6). Namun ada kecenderungan

konka inferior kembali ke medial, sehingga keberhasilan terapi ini hanya dalam

jangka pendek (Scheithauer, 2010).

Gambar 7. Lateralisasi konka inferior (Scheithauer, 2010)

2. Pembedahan pada hipertrofi mukosa konka

a. Reseksi submukosa dengan mikrodebrider

Sebagian besar prosedur pembedahan submukosa yang ada

mengorbankan mukosa untuk menjangkau area target. Teknik pembedahan


16

parsial atau total konkotomi, cryosurgery, elektrokauteri, dan laser

merusak lapisan mukosa, sehingga mengganggu fisiologi hidung. Tujuan

utama pembedahan ini adalah harus mempertahankan permukaan mukosa,

dengan mereduksi jaringan submukosa dan tulang. Instrumen dengan

mesin yang digunakan untuk pembedahan konka inferior memberikan

keuntungan dibanding teknik klasik karena preservasi mukosa yang lebih

baik dan komplikasi yang lebih rendah (FriedmandanVidyasagar, 2006).

Sebelum dilakukan tindakan reseksi terlebih dahulu diinfiltrasi

dengan lidokain 1% dengan epinefrin. Meskipun teknik ini dapat

dilakukan tanpa endoskopi, tetapi penggunaan endoskopi memberikan

visualisasi yang jelas. Insisi vertikal 3-4 mm dibuat di kepala konka

inferior, jaringan submukosa dari permukaan medial dan tepi inferior

didiseksi atau bila menggunakan mikrodebrider ukuran blade yang

dipakai 2 dan 2,9 mm. Bila blade mikrodebrider tidak tersedia dapat

digunakan blade scalpel no 15. Blade didorong kearah tulang sampai

menembus mukosa. Selanjutnya kantong submukosa didiseksi dengan

memasukan tip elevator untuk membuat terowongan dengan gerakan

menyapu dari anterior ke posterior dan superior ke inferior. Setelah

terbentuk kantong yang cukup jaringan stroma direseksi dengan

menggunakan mikrodebrider (Quinn, et al., 2003; O’Halloran, 2009).


17

Gambar 8. Reduksi konka submukosa dengan mikrodebrider (O’Halloran, 2009)

Tepi bagian tajam dari blade mikrodebrider menghadap ke lateral

dan bergerak maju mundur dalam gerakan menyapu (Gambar 8). Lapisan

mukosa akan kolaps dan proses dilanjutkan sampai volume reduksi yang

adekuat dicapai. Reseksi yangi lebih agresif dapat dicapai dengan memutar

tepi tajam blade menuju permukaan mukosa tetapi harus hati-hati untuk

meminimalkan perforasi dari mukosa. Hal yang berperan dalam perbaikan

gejala pada reseksi submukosa yaitu jaringan fibrosis submukosa,

mengurangi infiltrasi sel-sel radang dan terganggunya terminal saraf

kolinergik. Mikrodebrider tidak dianjurkan dilakukan pada hipertrofi

konka dengan lapisan mukosa yang tipis. Penggunaan mikrodebrider

adalah untuk mereseksi jaringan submukosa sehingga tidak menimbulkan

krusta (Quinn, et al., 2003; O’Halloran, 2009).


18

b. Reduksi konka dengan radiofrekuensi

Energi radio frekuensi memberi keuntungan pada ahli THT untuk

reduksi hipertrofi konka. Radiofrekuensi temperatur terkontrol

mengahantarkan frekuensi 460 kHz, dengan arus searah frekuensi tinggi ke

jaringan yang menyebabkan agitasi ion. Agitasi ion ini memanaskan

jaringan, dan saat temperatur mencapai lebih dari 470 C, terjadi koagulasi

protein dan nekrosis jaringan. Deposisi kolagen mulai sekitar 12 hari

setelah jejas dan pada minggu ke tiga terjadi inflamasi kronis, reduksi

volume jaringan dan jaringan parut kontraktur. Hal tersebut dapat terjadi

baik menggunakan probe radiofrekuensi unipolar ataupun bipolar, yang

dapat digunakan pada bagian anterior dan jika diperlukan bagian tengah

dari konka inferior. Energi antara 300-500 Joule dihantarkan ke jaringan

konka, dan setelah probe dilepas ditampon dengan kapas yang diberi

oxymetazoline pada bagian anterior konka untuk hemostasis (gambar 8)

(Friedman dan Vidyasagar, 2006; Sarte, 2008).

Gambar 9. Radiofrekuensi bipolar. A. Lokasi insersi probe pada konka


inferior B. Insersi probe dengan bantuan endoskopi (Sarte, 2008)
19

Beberapa ahli menyebutkan bahwa radiofrekuensi bipolar lebih baik

daripada unipolar pada reduksi jaringan, namun belum ada penelitian yang

mendukung hal tersebut. Keadaan yang terjadi setelah dilakukan terapi

konka inferior dengan radiofrekuensi adalah pembengkakan hidung selama

24-72 jam. Reduksi konka terjadi dalam 3-4 minggu, dan terapi dapat

dilakukan jika masih terdapat obstruksi hidung. Komplikasi perdarahan,

pembentukan krusta, mukosa kering, adesi dan infeksi jarang terjadi.

Keuntungan lain adalah prosedur ini membutuhkan waktu yang singkat

dan lebih efisien dibanding dengan prosedur lain seperti cryoteraphy,

electrokauter, dan ablasi dengan laser. Prosedur ini juga tidak

membutuhkan tampon hidung sehingga lebih unggul dibanding dengan

konkotomi submukosa dengan mikrodebrider (Friedman dan Vidyasagar,

2006; Sarte, 2008).

c. Kauterisasi mukosa konka

Teknik ini dapat menggunakan elektrokauter ataupun kauter kimia.

Tujuan dari teknik ini adalah merusak mukosa konka dengan kauterisasi.

Prosedurnya adalah dinding medial konka dikauter dengan elektrokauter

dari arah posterior ke anterior. Panas akan menyebabkan nekrosis jarngan

dan fibrosis yang kemudian akan mengecilkan konka. Dapat terjadi

perubahan metaplasi dan atrofikan pada level mukosa dan submukosa

yang menyebabkan kehilangan silia dan berefek negatif pada transpor

mukosiliar. Komplikasi yang dapat terjadi adalah pembentukan krusta dan


20

terjadinya sinekia. Terapi ini juga tidak efektif untuk jangka panjang

(gambar 10) (Scheithauer, 2010).

Gambar 10. Elektrokoaterisa konka inferior (Scheithauer, 2010)

Kauter dengan menggunakan nitras argenti dapat juga dilakukan.

Aplikasi nitras argenti secara topikal berfungsi sebagai astringen dengan

mengkoagulasikan albumin. Nitras argenti diaplikasikan pada konka

selama satu menit dan diulang setiap satu minggu selama satu bulan.

Teknik ini dapat dilakukan pada rawat jalan. Hal ini akan mengecilkan

ukuran konka sehingga keluhan sumbatan hidung juga berkurang (Javed et

al., 2013).

d. Kauterisasi/diatermi submukosa

Diatermi submukosa dikerjakan dengan bius umum dengan konka

diberikan obat dekongstan. Elektrokauter yang digunakan pada diatemi ini

adalah elektrokauter dengan jarum elektrode insulated. Jarum elektrode

dimasukkan melalui ujung anterior konka inferior sampai ke bagian

posterior konka, dan saat insersi dijaga agar tetap dekat dengan tulang

konka. Diatermi kemudian dinyalakan sambil elektrode ditarik perlahan


21

dalam waktu 5 detik. Diatermi dilakukan dibeberapa bagian konka inferior

(Gambar 11). Biasanya tidak diperlukan tampon pasca operasi. (Willat,

2009; Ashoor, 2012).

Gambar 11. elektrokauter dan lokasi diatermi submukosa (Ashoor, 2012)

Diatermi submukosa memeberikan hasil yang baik untuk terapi

jangka pendek. Hal ini ditunjukkan dari beberapa penelitian yang

menyebutkan adanya rehipertrofi setelah 15 bulan (Willat, 2009)

e. Pembedahan dengan laser

Laser menghasilkan pancaran sinar koheren yang diabsorbsi oleh

jarungan. Absorbsinya tergantung dari panjang gelombang cahaya laser.

Energi yang dilepaskan pada proses ini menyebabkan kerusakan jaringan

akibat panas. Kedalaman penetrasi tergantung pada panjang gelombang,

tingkat absorpsi jaringan dan energi cahaya yang digunakan. Laser dapat

diaplikasikan secara kontinyu maupun terputus (Schiethauer, 2010).

Terapi laser diindikasikan pada hipertrofi mukosa konka, dan tidak

dapat digunakan untuk terapi kelainan struktur anatomi pada tulang konka.

Laser yang ideal untuk reduksi konka inferior yang diharapkan adalah: 1)

sebagai hemostasis; 2) mengeksisi jaringan dengan tepat; 3) fleksibel; 4)


22

dapat digunakan untuk terapi hipertrofi tulang tanpa merusak jaringan

sekitarnya. Saat ini terdapat 6 jenis laser yaitu laser carbon dioxide (CO2),

laser argon, laser diode, laser potassium-titanyl-pospat (KTP), laser

neodymium: yttrium aluminium garnet (Nd;YAG), dan laser holmium:

yttrium aluminium garnet (Ho:YAG) (Schiethauer, 2010).

Penggunaan laser sampai saat ini masih mengalami masalah dalam

dosis energi yang tepat. Pemberian energi yang besar dapat mereduksi

volume yang besar pula, namun juga menimbulkan kerusakan yang luas

terhadap jaringan mukosa dan submukosa. Sedangkan jika energi yang

diberikan dapat mempreservasi epitel dengan baik, volume yang direduksi

tidak adekuat (Schiethauer, 2010).

f. Krioterapi

Probe nitrogen protocside ditempatkan pada permukaan tepi konka

yang bebas dan kemudian ke permukaan medial selama dua menit pada

suhu -800 C. Kemudian dipasang tampon selama 3 hari. Krioterapi ini

dapat dilakukan dalam anastesi lokal. Tujuan dari teknik ini untuk

mempertahankan ventilasi sinonasal, mucociliary clearance efektif, respon

imun lokal yang lebih baik, dan absorpsi obat yang lebih baik melalui jalur

endonasal. Keuntungan pada resistensi dan volume nasal hanya dapat

diperoleh dalam waktu yang relatif lebih singkat dibanding konkotomi

dan reseksi submukosa. Sedangkan untuk jangka panjang efikasinya tidak

baik (Quinn et al., 2003).


23

3. Pembedahan pada hipertrofi tulang konka

Reseksi submukosa dilakukan jika konka inferior mengarah ke

medial dan mengobstruksi kavum nasi atau jika hipertrofi terjadi pada

tulang konka. Reseksi submukosa konka inferior dikerjakan setelah

pemberian anestesi dan vasokonstriksi yang kuat pada konka dan dinding

lateral kavum nasi. Dilakukan insisi pada sisi bawah konka inferior

sepanjang 1/3 anterior, selanjutnya mukoperiosteum dielevasi disisi medial

dan lateral tulang konka menggunakan elevator Cottle (Huizing dan de

Groot, 2003; Friedman dan Vidyasagar, 2006)..

Gambar 10. Reseksi submukosa (Pallanch, 2013)

Tulang konka dipatahkan dan direduksi dengan Jansen-Middleson

rongeur, Takahashi forceps, atau gunting konka. Perdarahan dari

percabangan a. sfenopalatina dapat dikauter. Flap mukoperiosteal superior


24

dan inferior dipertahankan. Selanjutnya flap mukoperiostel dapat dijahit di

bagian anterior dan ditampon dengan kasa dengan vaselin dan antibiotik

selama 24 sampai 48 jam, untuk memastikan mukoperiosteum melekat dan

sembuh (gambar 10) (Huizing dan de Groot, 2003; Friedman dan

Vidyasagar, 2006).

4. Pembedahan pada hipertrofi mukosa dan tulang konka

a. Konkotomi total

Teknik ini dilakukan dengan mereseksi tulang konka pada

insersinya. Setelah frakturisasi tulang ke medial dan keatas, mukosa

konka direseksi dengan menggunakan gunting sepanjang insersi yang

dekat ke lateral hidung. Secara klasik prosedur pembedahan hipertrofi

konka dengan total turbinektomi yaitu konka inferior dijepit,

kemudian dengan menggunakan gunting seluruh konka direseksi

sepanjang dasarnya (Gambar 11) (Quinn et al., 2003).

Gambar 11. Konkotomi total (Whitaker, 2013)

Konkotomi memberikan efek yang besar dalam mengatasi hidung

tersumbat tapi mempunyai efek samping seperti pendarahan, krusta dan

keringnya mukosa hidung. Juga nyeri yang lebih kuat setelah operasi
25

serta penurunan efisiensi transpor mukosilia. Pernah juga dilaporkan

terjadinya pendarahan yang mengancam jiwa sehingga membutuhkan

transfusi (Quinn et al., 2003).

Karena komplikasi yang berat pada konkotomi total seperti

perdarahan, rinitis atrofikan dan ozaena, teknik ini sudah ditinggalkan

dan dipilih teknik yang mempreservasi mukosa (Huizing dan de Groot,

2003).

b. Konkotomi parsial

Turbinektomi parsial dilakukan dengan mereseksi sepertiga konka

pada bagian depan (turbinektomi anterior), atau pada bagian belakang

(turbinektomi posterior). Pada teknik turbinektomi anterior kepala

konka yaitu tulang dan mukosa direseksi secara lengkap sepanjang 1,5-

2 cm (gambar 12 ). Untuk tujuan ini Fanous seperti yang dikutip oleh

Scheithaur menyarankan penggunaan punch modifikasi yang mirip

dengan forsep Blaksley. Tingkat keberhasilan konkotomi parsial

dilaporkan sebesar 90% selama 4 tahun follow up (Schiethauer, 2010).

Gambar 12. Konkotomi parsial (Whitaker, 2013)


26

Spector dikutip Quinn et al. melakukan insisi diagonal untuk

membuang jaringan anterior konka dengan tetap mempertahankan

kepala konka. Teknik ini memberikan hasil yang baik dalam janka

panjang selama observasi 15 tahun. Sementara itu Davis dan Nishioka

dikutip Quinn et al. pertama kali menggunakan endoskopi dalam

turbinektomi parsial menggunakan shaver. Prosedur ini ditujukan

untuk menghilangkan obstruksi pada valve area, Komplikasi hampir

sama dengan konkotomi total tetapi krusta lebih sedikit dan rinitis atrofi

jarang dilaporkan (Quinn et al., 2003).

Pada hipertrofi konka inferior yang melibatkan konka sampai ke

bagian posterior dan atau ekornya maka dapat digunakan teknik

chrusing and trimming. Konka pertama kali dipres dengan forsep kusus

dari bagian kepala sampai ke ekor sambil dimedialisasi. Konka

kemudian direseksi dengan potongan paralel atau sedikit oblik dengan

dasar kavum nasi. Konka yang sudah tereduksi kemudian diposisikan

kelateral kembali dan ditampon dengan kasa vaseline selama 1-3 hari

(Huizing dan de Groot, 2003).

Gambar 13. Crushing and trimming (Huizing dan de Groot, 2003).


27

c. Konkoplasti inferior

Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Freer tahun 1911.

Insisi dilakukan 2-3 cm anterokaudal proyeksi tulang konka inferior

dipapar dan flap mukoperiosteal dilepaskan dari tulang konka. Insisi

ini dilanjutkan dengan reseksi bagian mukosa lateral termasuk tulang

sepanjang 2 cm. Karena bagian submukosa dan tulang yang direseksi

berada pada area kepala konka maka teknik ini disebut juga konkoplasti

anterior. Sisa flap mukoperiosteum medial digulung ke lateral untuk

membentuk neoturbinate (gambar 14). Keberhasilan teknik ini 93%,

dengan sedikit insiden pendarahan. Teknik ini representatif dalam

mempertahankan mukosa dan dapat mengurangi volume konka inferior

(Willat, 2009).

Gambar 14. Konkoplasti inferior (Whitaker, 2013)

d. Konkoplasti submukosa

Teknik yang mempertahankan paling banyak mukosa pada

reduksi hipertrofi konka adalah konkoplasti submukosa. Prinsipnya

seperti pada reseksi submukosa tulang konka, yang dikembangkan oleh

menjadi prosedur bedah plastik. Teknik ini merupakan pilihan untuk


28

pasien dengan hipertrofi konka yang melibatkan bagian kepala konka

atau setengah anterior konka inferior (Huizing dan de Groot, 2003).

Prosedurnya adalah bagian anterior konka dimedialisasi kemudian

dilakukan insisi dilakukan pada batas bawah kepala konka dengan

menggunakan pisau no. 15. Selanjutnya dilakukan elevasi jaringan

submukosa pada kedua sisi tulang konka sampai setengah anterior

konka. Tulang konka kemudian direseksi dengan biting forsep beserta

sebagian jaringan parenkimnya dengan gunting kecil. Flap mukosa

yang berlebihan dipotong dan diletakkan ke lateral dan difiksasi dengan

tampon vaselin ke arah lateral (Gambar 15) (Huizing dan de Groot,

2003).

Gambar 15. Konkoplasti submukosa (Huizing dan de Groot, 2003).


BAB III

RINGKASAN

Hipertrofi konka inferior merupakan penyebab yang paling sering, bahkan

merupakan penyebab tunggal hidung tersumbat. Walaupun tidak mengancam jiwa

namun sumbatan hidung kronik menyebabkan gejala yang berat seperti nafas

melalui mulut, orofarings kering, sengau, gangguan tidur, malaise, penurunan

volume paru dan penurunan kualitas hidup.

Terapi pembedahan ditujukan untuk mereposisi konka akibat kelainan

struktural konka, hipertrofi mukosa yang telah irreversibel, hipertrofi tulang dan

pada keduanya (hipertrofi mukosa dan tulang). Terapi konservatif harus menjadi

pilihan pertama, pada pasien dengan alergi atau hiper-reaktifitas harus diterapi

dengan antihistamin atau kortikosteroid selama paling tidak 3 bulan. Pada pasien

dengan infeksi terlebih dahulu diterapi antibiotik yang dikombinasi dengan

antihistamin atau kortikosteroid. Pasien yang tidak respon terhadap pengobatan

selama 3-6 bulan dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.

Pembedahan reduksi konka idealnya ditujukan untuk: 1) preservasi mukosa

reduksi yang terkontrol; 2) jaringan parut submukosa untuk mengurangi erektilitas

mukosa; 3) reduksi tulang jika perlu dan komplikasi yang minimal. Namun, tidak

ada terapi tunggal yang ideal untuk semua pasien. Oleh karena itu harus memilih

jenis prosedur terbaik yang sesuai dengan keadaan patologis pasien.

Prosedur pembedahan dapat ditujukan sesuai dengan kelinan patologis dari

pasien. Jika kelainan anatomis tulang konka berada diarah median dapat

dilakukan lateralisasi dengan outfracturing. Pada hipertrofi mukosa konka pilihan

29
30

pembedahannya dapat berupa reduksi submukosa dengan mikrodebrider, reduksi

dengan radiofrekuensi dan diatermi submukosa. Pembedahan pada kelainan

hipertrofi tulang konka inferior dapat dilakukan dengan teknik reseksi submukosa

tulang konka. Sedangkan pilihan pembedahan untuk hipertrofi pada mukosa dan

tulang konka adalah konkotomi parsial, crushing dan trimming, konkoplasti

inferior dan konkoplasti submukosa.

.
31

Algoritma Bedah Hipertrofi Konka Inferior

Anamnesis, Pemeriksaan Fisik,


Pemeriksaan Penunjang

Hipertrofi Konka Inferior

Terapi Medikamentosa 3 - 6 bulan


responsif

Gagal terapi medikamentosa

Hipertrofi tipe mukosa Hipertrofi


Hipertrofi tipe tulang
tipe mukosa & tulang

1) Reduksi submukosa 1) Reseksi submukosa 1) Konkotomi parsial


dengan mikrodebrider tulang konka 2) Crushing dan trimming
2) Reduksi dengan
3) Konkoplasti inferior
radiofrekuensi dan
4) Konkoplasti submukosa
3) Diatermi submukosa
32

DAFTAR PUSTAKA

Ashoor AA, 2012. Efficacy of submucosal diathermy in inferior turbinate


hypertrophy Bahrain Medical Bulletin. 34;1

Barbieri M, SalamiA, Mora F, Barbieri A, Cordone MP, Baricalla F, et al., 2003.


High frequency surgery in the treatment of turbinate hypertrophy: 11 years’
experience. Acta Otorhinolaryngol Ital. 23:436-39

Berger G, Gass S, Ophir D, 2006. The hypertrophic inferior turbinate. Arch


Otolaryngol Head and Neck Surg, 132:588-94

Businco LD, Businco DR, Lauriello M, 2010. Comparative study on the


effectiveness of coblation-assisted turbinoplasty in allergic rhinitis.
Rhinology. 48:174-8

Farmer SEJ, Eccles R, 2006. Chronic inferior turbinate enlargement and


implications for surgical intervention. Rhinology, 44:234-8

Friedmann M, Vidyasagar R, 2006. Surgical Management of septal deformity,


turbinates hypertrophy, nasal valve collapse and choanal atresia. In: Bailey
Bj, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 4th edition. Philadelpia: Lipincott Williams danWilkins, p.
319-34

Gindros G, Kartas I, Balatsauras D, Kandilaros, Mathos AK, 2009. Mucosal


change in chronic hypertrophic rhinitis after surgical turbinate reduction.
Eur Arch Otorhinolaryngol, 266: 1409-16.

Huizing dan de Groot, 2003. Functional reconstructive nasal surgery. Thieme


New York, 333 Seventh Avebue, USA.

Javed M, Azeem M, Saeed A, Hussain A, Sharif A, 2009. Treatment of nasal


obstruction due to hypertrophic inferior turbinate with application of silver
nitrate solution. Ann Pank. Inst.Med, 5(4):202-5

Konstantinidis I, Constantinidis J, 2009. Endoscopic management of inferior


turbinate hypertrophy. Dalam: Stucker FJ, de Sauza C, Kenyon GS, Lian
33

TS, Draf W, Schick B, 2009. Rhinology and facial plastic surgery. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg.

Lee KC, Lee SS, Lee JK, 2009. Medial fracturing of the inferior turbinate:effect
on the ostiomeatal unit and the uncinate process. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 266: 857-1

Mathai J, 2004. Inferior turbinectomy for nasal obstruction review of 75 cases.


Indian J Head Neck Surg. 56:23-26

Matthias C, de Souza P, Merker HJ, 1997. Electronmicroscopic and immuno


morphological investigations of themucosa of the human paranasal sinuses.
J Rhinol. 4;2:128-39

Mrig S, Agaward AK, Passey JC, 2009. Preoperative computed tomographic


evaluation of inferior nasal concha hypertrophy and its role in deciding
surgical treatment modality in patients with deviated nasal septum. Int J
Morphol, 27(2): 503-6

O’Halloran LR, 2009. Inferior turbinoplasty: surgical technique. Medtronic ENT,


Medtronic USA, Inc. 6743 Southpoint Drive North Jacksonville, FL 32216
USA.

Pallanch J, 2013. Turbinate Surgery: tips for success. 37th Midwinter Symposium
on Practical Surgical Challenges in Otorhinolaryngology. Diunduh dari:
www.uicentskimeeting.org/data/papers/2.5.pdf

Quinn FB, Ryan MW, Reddy SS, 2003. Turbinate dysfunction: focus on the role
of the inrferior turbinates in nasal airway obstruction. Grand Rounds
Presentations UTMB, Dept of Otolaryngol:1-11

Rodrigues MM, Dibbern RS, Oliveira LF, Marques MDO, Bella M, Paula Junior
FA, Araújo FCA, 2011. Comparison between turbinoplasty and endoscopic
turbinectomy: Efficacy and clinical parameters. Intl. Arch.
Otorhinolaryngol.15;4:426-430
34

Roth M, dan Kennedy DW, 1994. The case for inferior turbinate preservation. In
Tos M, Thomsen J, Balle V. Rhinology a state of the art. 15th European
Rhinologic Congress. Kluger Publication, Amsterdam/New York.

Sarte MAA, 2008. Bipolar Radiofrequency Volume Reduction (RaVoR™) of the


Inferior Nasal Turbinates – How I do it. As seen in ENT News.

Scheithauer MO, 2010. Surgery of the turbinates and “empty nose” syndrome.
GMS Current Topics in Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery, 9:1-
28

Voigt, E.P., Edelstein, D.R., 2005. Nasal and paranasal sinus physiology. In:
Water, VDe.,Staecker, eds. Otolaryngology basic sicience and clinical
review. Thieme Medical Publisher Inc, New York USA.

Whitaker E, 2013. Turbinate reduction rhinoplasty. Artikel online diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article

Willat D, 2009. The evidence for reducing inferior turbinate. Rhinology, 47: 227-
36

Yanez C, 2008. Inferior turbinate debriding technique: Ten-year results.


Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 138:170-5

Anda mungkin juga menyukai