Anda di halaman 1dari 17

GAMBARAN OAE (OTOACOUSTIC EMISSION) SESUAI UMUR

GESTASIONAL DAN HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI DI NICU


(NEONATAL INTENSIVE CARE UNIT) RSUP Dr. SARDJITO
YOGYAKARTA

Yayan Mitayani, dr. Kartono Sudarman Sp.THT-KL(K)


Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UGM / RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

ABSTRAK

Latar belakang : : Pada populasi umum, pada setiap 500-1000 kelahiran terdapat
1 bayi baru lahir dengan kerusakan pendengaran yang permanen. Pada populasi
resiko tiggi, kejadian ini dapat meningkat 10 sampai dengan 50 kali lipat. Bayi
lahir kurang bulan dan hiperbilirubinemia merupakan salah satu faktor resiko
kerusakan pendengaran. Deteksi dini penurunan pendengaran pada bayi baru lahir
sangatlah penting karena akan mempengaruhi perkembangan sosial, emosi dan
prestasi. Pemeriksaan OAE efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru
lahir.
Tujuan : Mengetahui gambaran OAE sesuai umur gestasional dan
hiperbilitubinemia pada bayi yang dirawat di NICU RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode Januari 2011 sampai Juni 2011
Metode Penelitian : Cross sectional, deskriptif. Pengumpulan data secara
retrospektif, sample berasal dari data rekam medis.
Hasil : Dari 102 bayi didapatkan 49 bayi (48,04%) dengan hasil pass dan 53 bayi
(51,96%) dengan hasi refer. Pada kelompok pass, 36,73% bayi lahir dengan usia
gestasional ≤ 34 minggu dan 63,27% bayi lahir dengan usia gestasional > 34
minggu, sedangkan 44,90% mengalami hiperbilirubinemia dan 55,10% tanpa
hiperbilirubinemia. Pada kelompok refer, 35,85% bayi lahir dengan usia
gestasional ≤ 34 minggu, 64,15% lahir dengan usia gestasional >34 minggu.
30,19% mengalami hiperbilirubinemia sedangkan 67,92% tanpa
hiperbilirubinemia.
Kesimpulan : Pada hasil screening pendengaran dengan OAE di NICU RSUP dr.
Sardjito periode Januari 2011 s/d Juni 2011lebih banyak didapatkan hasil
refer.dari hasil OAE yang refer tersebbut, 36,73% lahir dengan umur gestasional
≤ 34 minggu, dan 30,19% mengalami hiperbilirubinemia.
Kata kunci :, hearing loss, screening, otoacoustic emission, preterm,
hipebilirubinemia

1
OTOACOUSTIC EMISSION TOWARD TO GESTATIONAL AGE, AND
HIPERBILIRUBINEMIA in NICU (NEONATAL INTENSIVE CARE UNIT)
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Yayan Mitayani,dr. Kartono Sudarman Sp,THT-KL(K)

Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery Departements, Medical Faculty of Gadjah Mada University/

RSUP DR. Sardjito Hospital Yogyakarta

Background : In general population, 1 newborn every 500-1000 births present


permanent hearing impairment. In the high risk population, this incidences could
increase 10 to 50 fold. Preterm birth and hiperbilirubinemia are the risk factor of
hearing impairment.Hearing screening is very important for newborn because it
will affect social, psychological and achievement development. OAE test is
efficient for hearing sceening for newborn.
Objective : To know OAE result toward to gestational age and
hyperbilirubinemia in NICU (Neonatal Intensive Care Unit) RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta from Januari 2011 through June 2011.
Design : Cross sectional, deskriptif. Data is taken from Medical Record, collected
as retrospective study.
Results : OAE result of the 102 infant, 49 (48,04%) are pass and 53 (51,96%) are
refer. In the pass group, 36,73% are born at gestational age ≤ 34 weeks and
63,27% are born at gestational age > 34 weeks, while 44,90% suffer
hyperbilirubinemia and 55,10% didn’t. In the refer group, 35,85% are born at
gestational age ≤ 34 weeks and 64,15% are born at gestational age > 34 weeks,
while 30,19% suffer from hyperbilirubinemia and 67,92% didn’t.
Conclision : Refer result of OAE hearing screening in NICU RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta from January 2011 through June are more than pass result. From
refer group, 36,73% are born at gestational age ≤ 34weeks, and 30,19% suffer
from hyperbilirubinemia.
Keyword :, hearing loss, screening, otoacoustic emission, preterm
birth,hyperbilirubinemia

2
A. PENDAHULUAN

Pada populasi umum, satu dari setiap 500-1000 kelahiran, didapatkan bayi

lahir dengan kerusakan pendengaran. Pada populasi resiko tinggi, kejadiannya

dapat meningkat 10 sampai dengan 50 kali lipat (Ohl C et al, 2009). Angka

kejadian penurunan pendengaran dan tuli sensorineural di neonatus intensif care

unit (NICU) adalah sekitar 2%-4%, hampir 50 kali lipat lebih tinggi dibandingkan

kelahiran normal (Amatuzzi et al, 2001). Karena resiko yang tinggi terhadap

gangguan pendengaran, National Institute of Health merekomendasikan skrining

pendengaran pada bayi di neonatal intensive care unit (Hille,2007).

Faktor resiko kehilangan pendengaran pada bayi baru lahir, pertamakali

dikemukakan tahun 1994 dan direvisi tahun 2000 oleh Joint Comitee on Infant

hearing (JCIH) yaitu; kelahiran prematur (umur kandungan ≤ 34 mgg), berat

badan rendah (<1500g), riwayat keluarga mempunyai kelainan pendengaran,

asfiksia berat (APGAR<7), infeksi TORCH, kelainan neurologik,

hiperbilirubinemia, anomali kraniofasial, sindrom yang berhubungan dengan

penurunan pendengaran, dan asfiksia berat (Ohl C et al, 2009).

Kelahiran prematur merupakan masalah serius karena bayi-bayi ini

mempunyai resiko kecacatan, termasuk ketulian (Leone B, 2010). Saat ini, jumlah

kelahiran bayi prematur telah meningkat, tepatnya 7-9% bayi dilahirkan sebelum

usia kandungan 37 minggu. Pada tahun 1960-an, bayi-bayi ini sulit untuk

bertahan. Dengan kemajuan dunia kedokteran, bayi-bayi yang dilahirkan pada

usia kandungan 23 minggu dapat bertahan hidup. Kemungkinan adanya

3
keterlambatan perkembangan kognitif tergantung tingkat prematuritas (Isaacs O,

2011).

Deteksi dini penurunan pendengaran pada bayi baru lahir sangatlah

penting (Morrisette C, 2011). Tanpa adanya skrining atau tes, penurunan

pendengaran bisa saja tidak diketahui sampai bayi berumur lebih dari satu tahun.

Jika penurunan pendengaran diketahui pada beberapa tahun kemudian, tidak akan

terjadi stimulasi pusat pendengaran di otak. Hal ini dapat mempengaruhi

kematangan dan perkembangan bicara, dan dapat menyebabkan keterlambatan

bicara dan bahasa. Perkembangan sosial, emosi dan prestasi di sekolah juga dapat

terganggu (Smith DP, 2009). Apabila penurunan pendengaran dapat dideteksi

dalam 3 bulan pertama dan penanganan dapat dimulai sebelum umur 6 bulan,

anak-anak dengan penurunan pendengaran bisa berkembang lebih baik.

Otoacoustic emission (OAE) digunakan untuk menilai kualitas koklea dan

merupakan pengukuran fisiologis respon “outer hair cell” terhadap rangsang suara

(Delaney AM, 2010). OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk

menilai fungsi koklea yang obyektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/lulus

dan refer/tidak lulus), tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan

praktis sehingga efisien untuk progran skrining pendengaran bayi baru lahir

(Suwento et al, 2007).

4
B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan fisiologi telinga

Petunjuk awal terbentuknya telinga dapat ditemukan pada mudigah berusia

sekitar 22 hari sebagai suatu penebalan ektoderm permukaan di kedua sisi

rhombencefalon. Penebalan ini (plakoda otica) cepat mengalami invaginasi

membentuk vesicula otica. Selama perkembangan selanjutnya, masing-masing

vesikel terbagi menjadi komponen ventral yang menghasilkan sakulus dan duktus

koklearis dan komponen dorsal yang membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis,

dan duktus endolimfatikus. Pada minggu keenam perkembangan, sakulus

membentuk suatu kantong keluar berbentuk tubulus di kutub bawahnya.

Pertumbuhan keluar ini, duktus koklearis, menembus mesenkim di sekitarnya

secara spiral sampai akhir minggu ke delapan, saat duktus ini telah menyelesaikan

2,5 putaran. Mesenkim di sekitar duktus koklearis segera berdeferensiasi menjadi

tulang rawan. Pada minggu ke sepuluh, selubung tulang rawan ini mengalami

vakuolisasi dan terbentuk dua ruang perilimfe, skala vestibuli dan skala timpani.

Duktus koklearis kemudian dipisahkan dari skala vestibuli oleh membrana

vestibularis dan skala timpani oleh membrana basilaris. Pada awalnya, sel-sel

epitel duktus koklearis tampak sama. Pada perkembangan selanjutnya, sel-sel ini

membentuk dua bumbungan: inner ridge yaitu bakal limbus spiralis dan uoter

ridge. Outer ridge membentuk satu baris sel rambut dalam dan tiga atau empat

baris sel rambut luar yang merupakan sel sensorik pendengaran. Sel-sel ini

dilapisi oleh membrana tektoria. Sel sensorok dan membrana tektoria bersama-

sama membentuk organ corti (Sadler TW, 2006)

5
Telinga dalam terdiri dari koklea dan tiga buah kanalis semisirkularis.

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk

lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli

di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala mmedia diantaranya.

Skala timpani dan skala vestibuli berisib perilimfa sedangkan skala media berisis

endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan yang

terdapat di endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli

disebut sebagai membrana vestibuli (Reissner,s membrane) sedangkan dasar skala

media adalah membran basilaris. Pada membran ini terletak organ corti. Pada

skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria,

dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam,

sel rambut luar dan kanalis korti yang membentuk organ Korti (Soetirto et al,

2007).

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Getaran tersebut menggetarkan membrana timpani diteruskan ke telinga

tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran

melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas

membran timpani dan tingkap lonjing. Energi getar yang telah diamplifikasi ini

akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa

pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang

mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran

basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang

6
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion

terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini

menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan

neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada

saraf auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus

temporalis(Soetirto et al, 2007).

Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa

setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah

dapat memberikan respon terhadap suara yang ada di sekitarnya, namun reaksi

janin masih bersifat refleks (Suwento et al, 2007).

2. Penyebab gangguan pendengaran pada bayi/anak

Peyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan

berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal,

perinatal dan postnatal. Kelainan pada pranatal bisa disebabkan karena faktor

genetik dan nongenetik. Selama kehamilan, periode yang terpenting adalah

trimester pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa

tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus

pada ibu hamil seperti Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan

Sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk pada bayi yang akan dilahirkan.

Beberapa obat ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu proses

organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin,

7
dihidrostreptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomid dan lain-lain (Suwento,

2007).

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor

resiko terjadinya gangguan pendengaran/ketulian seperti prematur, berat badan

lahir rendah, hiperbilirubinemia, asfiksia. Pada masa postnatal, adanya infeksi

atau virus seperti rubella, campak, parototis, infeksi otak, perdarahan pada telinga

tengah, trauma temporal juga dapat menyebabkan ketulian (Suwento, 2007)

Penentuan umur kehamilan bisa dilakukan mulai dari antenatal sampai

setelah persalinan. Pada masa matenatal ditentukan dengan cara sederhana yaitu

dengan menghitung Hari Pertama Mens Terakhir (HPHT). Masa gestasi atau

umur kehamilan yaitu masa sejak terjadinya konsepsi sampai dengan saat

kelahiran dihitung dari hari pertama haid terakhir. Bayi kurang bulan (BKB)

adalah bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi <37 minggu (<259 hari). Bayi

cukup bulan (BCB) adalah bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi antara 37

minggu sampai dengan 42 minggu (259 hari sampai dengan 293 hari). Bayi lebih

bulan (BLB) adalah bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi > 42 bulan (>294

hari) (Damanik SM, 2008).

Sedikit sekali diketahui tentang penyebab kerusakan pendengaran pada

bayi, walaupun banyak faktor lainnya seperti kernikterus, hipoksia yang lama,

penggunaan antibiotik juga dicurigai sebagai faktor penyebab. Newton (1985)

tidak berhasil menentukan salah satu faktor saja, dan mengemukakan bahwa

semua faktor secara bersama-sama bertanggungjawab terhadap terjadinya

kerusakan pendengaran. Rutlege (1969) pada suatu penelitian dari 12 telinga bayi,

8
menggambarkan suatu “presipitat homogen yang difus” dengan celah perilimfatik

pada bayi yang dilahirkan pada usia 7 bulan dengan berat 720 gram, tetapi tidak

dijelaskan kerusakan mikrosruktural dari telinga dalam. Slacck R.W.T et al (1986)

pada suatu penelitian tentang mikropatologi koklea pada bayi preterm menemukan

bahwa terdapat bekuan darah pada telinga dalam yang berhubungan dengan

kerusakan hair cell dan hal ini diyakini akan menyebabkan kerusakan

pendengaran apabila bayi ini dapat bertahan hidup. Fakta bahwa hanya pada

telinga yang terdapat bekuan darah yang mengalami kerusakan hair cell

mendukung teori tentang perdarahan telinga dalam yang menyebabkan bekuan

darah berakibat kerusakan hair cell dan merupakan faktor resiko yang besar

terhadap terjadinya kerusakan pendengaran pada bayi preterm (Slack R.W.T et al,

1986).

Faktor resiko kehilangan pendengaran pada bayi baru lahir, pertamakali

didokumentasikan tahun 1994 dan direvisi tahun 2000 oleh Joint Comitee on

Infant hearing (JCIH) yaitu; kelahiran prematur (umur kandunga ≤ 34 mgg), berat

badan rendah (<1500g), riwayat keluarga mempunyai kelainan pendengaran,

asfiksia berat (APGAR<7), infeksi TORCH, kelainan neurologik,

hiperbilirubinemia, anomali kraniofasial, sindrom yang berhubungan dengan

penurunan pendengaran, dan asfiksia berat. Faktor lain juga telah diteliti seperti

penggunaan obat pada ibu hamil, perdarahan intraventrikuler, nilai C reaktif

protein yang tinggi, tetapi belum dibuktikan secara signifikan. (Ohl C et al, 2009).

3. Otoacoustic Emissio (OAE)

9
Kegunaan pemeriksaan OAE adalah untuk menilai fungsi koklea, terutama

fungsi hair cell. Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi

stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke otak melalui syaraf pendengaran. Sebagian

bunyi tidak dikirim ke syaraf pendengaran melainkan kembali menuju ke liang

telinga. Proses ini mirip dengan peristiwa echo produk sampingan koklea ini

selanjutnya disebut sebagai emisi akustik (otoacoustic emission). Koklea tidak

hanya menerima dan memproses bunyi tetapi juga dapat memproduksi energi

bunyi dengan intensitas rendah yang berasal dari sel rambut luar koklea (outer

hair cell) (Suwento R, 2007).

Terdapat 2 jenis OAE yaitu (1) Spontaneus OAE dan (2) Evoked OAE.

SPOAE adalah mekanisme aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa harus

diberikan stimulus, namun tidak semua orang dengan pendengaran normal

mempunyai SPOAE. EOAE hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik

yang dibedakan menjadi (1) Transient Evoked OAE (TOAE) dan (2) Distortion

Product OAE (DPOAE). Pada TOAE stimulus akustik berupa click sedangkan

DPOAE menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni yang berbeda

frekuensi dan intensitasnya (Suwento R, 2007).

Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai

fungsi koklea yang obyektf, otomatis (menggunakan kriteria pass/lulus atau

refer/tidak lulus), tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan

praktis sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru

lahir (Suwento R, 2007)

10
C. TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui gambaran OAE pada bayi yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta periode Januari 2011 sampai Juni 2011 terhadap umur gestasional,

berat badan, asfiksia dan hiperbilirubinemia sesuai JCIH tahun 2000.

D. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif, sampel

penelitian ini berasal dari data rekam medis pasien yang dirawat di NICU RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2011 – Juni 2011 yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi merupakan syarat-syarat untuk masuk dalam penelitian.

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :1). Bayi baru lahir yang dirawat di

NICU RSUP dr. Sardjito periode Januari – Juni 2011. 2). Dilakukan tes OAE pada

pasien ini 3). Data pada Rekam Medis tentang keadaan setelah lahir lengkap

terutama informasi tentang umur dalam kandungan saat dilahirkan, dan

hiperbilirubinemia.

Kriteria ekslusi meliputi penderita yang memenuhi kriteria inklusi tetapi pada

keadaan tertentu tidak dapat diikutsertakan pada penelitian, keadaan tersebut

antara lain adalah : 1). Tidak berhasil dilakukan pemeriksaan OAE atau

pemeriksaan OAE tidak lengkap pada dua telinga 2). Data pada RM tentang

keadaan setelah lahir tidak lengkap

Variabel penelitian yang diambil adalah 1). Umur gestasional saat dilahirkan

2). Kadar bilirubin 3). Hasil OAE pada pasien-pasien tersebut

11
D. HASIL PENELITIAN

Dari data hasi OAE yang dilakukan selama periode Januari – Juni 2011,

dari 102 sampel penelitian didapatkan 49 sampel (48,04%) dengan hasil pass dan

53 sampel (51,96%) dengan hasil refer.

Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan hasi OAE

Hasil OAE Jumlah Prosentase


Pass 49 48,04 %
Refer 53 51,96%
Total 102 100%

Pada kelompok dengan hasi pass, 18 sampel (36,73%) lahir pada usia

gestasional ≤ 34 minggu, sedangkan 31 sampel (63,27%) lahir pada usia

gestasional > 34 minggu. Sedangkan distribusi kelompok ini berdasarkan ada

tidaknya hiperbilirubinemia, pada 22 pasien (44,90%) didapatkan

hiperbilirubinemia dan 27 pasien (55,10%) tidak didapatkan hiperbilirubinemia.

Tabel 2. Distribusi kelompok pass berdasarkan usia gestasional saat

dilahirkan

Usia gestasional Jumlah Prosentase


≤ 34 minggu 18 36,73%
> 34 minggu 31 62,27%
Total 49 100%

Tabel 5. Distribusi kelompok pass berdasarkan ada tidaknya

hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemi Jumlah Prosentase

a
Ya 22 44,90%

12
Tidak 27 55,10%
Total 49 100%

Pada kelompok dengan hasil refer, 19 sampel (35,85%) lahir pada usia

gestasional ≤ 34 minggu, sedangkan 34 sampel (64,15%) lahir pada usia

gestasional > 34 minggu. Sedangkan distribusi kelompok ini berdasarkan ada

tidaknya hiperbilirubinemia, 16 sampel (30,19%) mengalami hiperbilirubinemia

dan 37 sampel (67,81%) tidak mengalami hiperbilirubinemia.

Tabel 6. Distribusi kelompok refer berdasarkan usia gestasional saat

dilahirkan

Usia gestasional Jumlah Prosentase


≤ 34 minggu 19 35,85%
> 34 minggu 34 64,15%
Total 53 100%

Tabel 9. Distribusi kelompok refer berdasarkan ada tidaknya

hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemi Jumlah Prosentase

a
Ya 16 30,19%
Tidak 37 69,81%
Total 53 100%

E. PEMBAHASAN

13
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa pada bayi yang

dirawat dan dilakukan pemeriksaan OAE di NICU RSUP dr. Sardjito dadapatkan

hasil 48,04% pass dan 51,96% refer. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar

bayi di NICU mempunyai faktor resiko dari Joint Comitee on Infant Hearing

(Hille et al, 2007). Di dalam penelitian ini faktor resiko yang diteliti adalah umur

gestasional bayi saat dilahirkan dan hiperbilirubinemia pada kelompok pass dan

kelompok refer tidak jauh berbeda.

Terdapat beberapa penelitian tentang pendengaran pada bayi-bayi resiko

tinggi. Pereira (2006) dalam penelitiannya tentang hubungan ketulian dan faktor

resiko, dengan menggunakan OAE, mengemukakan bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan secara statistik hilangnya pendengaran antara bayi baru lahir

cukup bulan dan kurang bulan. Bayi baru lahir preterm memiliki resiko SNHL

1,82 kali lebih besar daripada bayi aterm. Dikemukakan juga bahwa semakin kecil

umur gestasional (<30 minggu) dan berat badan lahir (<1500 gram), semakin

besar kemungkinan untuk gagal dalam skrining pendengaran (Pereira et al, 2006).

Jauh sebelumnya, Stenert E et al (1978) mengemukakan bahwa terdapat korelasi

yang kuat antara faktor resiko perinatal dengan SNHL. Hal ini disebabkan oleh

komplikasi perinatal yang berakibat hipoksia, asidosis, dan syok yang dapat

merusak sistem pendengaran. Berdasarkan studi patomorfologi awal ditemukan

pada anak-anak dengan ketulian, perdarahan telinga dalam dianggap sebagai

faktor penyebab utama ketulian pada bayi preterm. Selanjutnya dijelaskan bahwa

perdarahan telinga dalam lebih disebebkan karena perdarahan dan asidosis

dibandingkan trauma (Stenert E, et al, 1978).

14
Pada penelitian lain oleh Yoshikawa S (2004) dalam penelitian tentang

efek kelahiran prematur, obat ototoksik, infeksi, penyakit kongenital terhadap

ketulian pada neonatus mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan antara kelompok refer dan kelompok pass terhadap berat badan (<2200

gram), umur dalam kandungan, total serum bilirubin tidak berhubungan secara

signifikan terhadap ketulian (p>0,1). (Yoshikawa S, 2004).

Ohl et al (2009) dalam penelitiannya tentang skrining pendengaran bayi

baru lahir menggunakan menyatakan bahwa faktor resiko yang signifikan

terhadap SNHL adalah; asfiksia berat, kelainan neurologis, sindrom yang

berhubungan dengan ketulian, TORCH, riwayat tuli pada keluarga, umur bayi saat

dilakukan skrining, dan gabungan dari dua atau lebih faktor tersebut. Sedangkan

berat badan kurang dari 1500 gram dan kelahiran prematur kurang dari 34 minggu

tidak menunjukkan pengaruh secara statistik terhadap SNHL, yang kemungkinan

desebabkan karena proporsi bayi premature yang terlalu tinggi. Hal ini juga

ditemukan pada penelitian sebelumnya oleh Yoshikawa, dan menerangkan

mengapa data yang diambil hanya bayi dengan kelahiran prematur dengan tujuan

untuk mengurangi bias. ( Ohl et al, 2009).

F. KESIMPULAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel penelitian dan

variabel yang lebih banyak, untuk tambahan pengetahuan umumnya dan untuk

mengetahui faktor resiko penurunan pendengaran pada bayi baru lahir khususnya

sehingga dapat diambil langkah pencegahan, deteksi dini, maupun penanganan

15
secepatnya terhadap kondisi ini. Perlu dilakukan dilakukan follow-up untuk

mengetahui status pend

DAFTAR PUSTAKA

Amatuzzi MG, et al, 2001. Selective Inner hair Cell Loss in Premature Infants and
Covhlea Pathological Patterns from neonatal Intensive Care Unit Autopsis.
Arch otolaryngol Head Neck Surgery, vol 127: 629-636
Campbell K.C.M, 2010. Otoacoustic Emission. Avaiable from
http://emedicine.medscape.com/article/835943-overview
Damanik SM, 2008. Klasifikasi bayi menurut berat lahir dan masa gestasi. Buku
Ajar Neonatologi edisi pertama; 11-30
Delaney AM, 2010. Newborn Hearing Screening. Avaiable from
http://emedicine.medscape.com/article/836646-overview">
Hille E, Straaten HML, Verkerk PH. Prevalence and Independennt risk factor for
hearing loss in NICU infants. Acta Paediatrica 2007; 96:1155-1158
Isaac O, 2011. Consequences of Premature Birth. Available from
http://www2.warwick.ac.uk/knowledge/health/pretermbabies/
Leone B, 2011. Premature Birth Injury Topic of New York Cerebral Palsy
Conferences in Syracuse, Binghamton and Watertown. Available from
http://www.newyorkbirthinjurylawyerblog.com/cerebral-palsy/"
Morrisette C, 2011. What is the Newborn Hearing Test and how is it Different in
the NICU?. Available from
http://preemies.about.com/lr/nicu_discharge/1010509/1/
Ohl C, Dornier L, Czajka C, Chobaut J, Tavernier L, 2009. Newborn hearing
screening on infants at risk. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology, 73, 1691-1695.
Pereira P.K.S, Martins A.S, Vieira M.R, Azevedo M.F, 2006. Newborn Hearing
Screening Program: assosoation between Hearing loss and risk Factor. Pro
Fono revista de Atualizacao Cientifica Vol 19 No 2, maio-ago.
Sadler TW, 2006. Telinga. Langman Embriologi Kedokteran edisi 10, 18: 375-
384
Slack R.W.T, wright A, Michaels L, Frohlich S.A. Inner hair cell loss and
intracochlear clot in the preterm infant. Clin Otolaryngol 11; 443-446
Smith DP, 2009. Hearing loss in baby. Available from
"http://www.bettermedicine.com/article/hearing-loss-in-babies"
Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J, 2007. Gangguan Pendengaran. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung tenggorok Kepala & Leher, edisi keenam,
FK UI;10-22
Stennert E, Schulte F.J, Vollrath M, Brunner E, Frauenrath C, 1978. The Etiology
of Neurosensory Hearing Defects in Preterm infant, arch otolaryngol 221;
171-182.

16
Suwento R, Zizlavsky S, Hendramin H, 2007. Gangguan pendengaran pada Bayi
dan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung tenggorok Kepala &
Leher, edisi keenam, FK UI; 31-42
Yoshikawa S, Ikeda K, Kudo T, Kobayashi T, 2004. The effect of hypoxia,
premature birth, infection, ototoxic drug, circulatory system, and congenital
disease on neonatal hearing loss.

17

Anda mungkin juga menyukai