Anda di halaman 1dari 3

BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL PADA ANAK

(Candidate’s referat)
Anton Christanto
Bagian IP THT-KL RSUP DR Sardjito/Fak Kedoteran UGM
Yogyakarta

Data yang berasal dari bagian THT dan bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo pada tahun 1999 menunjukkan prevalensi rinosinusitis maksila
akut pada anak yang telah didiagnosis sebagai ISNA adalah 25%.40 Angka ini 2-3 kali
lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan di Amerika dan Eropa. Anak lebih rentan
terhadap infeksi virus karena maturitas sistem imun yang dimiliki belum sempurna.
American Academy of Pediatrics memperkirakan anak menderita 6-8 kali infeksi virus
pada saluran napas atas dalam 1 tahun, dan 5-13% dapat berlanjut menjadi rinosinusitis
bakteriil.1
Pada anak batasan waktu untuk rinosinusitis kronik adalah ≥12 minggu dan lebih
sering frekuensi episode serangan akutnya (≥6 kali serangan / tahun). Kriteria untuk
menegakkan rinosinusitis kronik juga sesuai dengan didapatkannnya 2 kriteria mayor
atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Terdapat 2 kriteria mayor tambahan pada
anak yaitu batuk dan iritabilitas.2
Peningkatan insidensi infeksi pernapasan atas akibat virus ( 6-8 episode per
tahun) dan rinitis alergi musiman (10-15% pada anak) merupakan predisposisi
meningkatnya insidensi sinusitis pada anak.
Petunjuk baku yang dikeluarkan oleh AAP merekomendasikan pemberian
antibiotika untuk terapi rinosinusitis akut, karena angka keberhasilan respons kliniknya
baik dan dapat mempercepat proses penyembuhan (recovery). Persentase anak dengan
rinosinusitis akut yang memperoleh antibiotika menunjukkan kesembuhan dan perbaikan
klinik pada hari ke 3 adalah 83%, sedangkan yang mendapat plasebo hanya menunjukkan
perbaikan sebesar 51%. 1
Sinusitis kronik pada anak adalah penyakit multifaktorial, dan banyak memiliki
gejala klinik yang mirip dengan rinitis alergi dan infeksi virus pada saluran napas atas.
Sebaliknya anak yang menderita rinitis alergi dan sering mengalami infeksi virus
merupakan anak dengan risiko tinggi untuk menderita sinusitis kronik. Penyakit refluks
gastroesofagus juga merupakan faktor risiko lain pada sinusitis kronik pada anak yang
tidak sembuh dengan terapi medikamentosa agresif bahkan terapi bedah. Penyakit yang
mengakibatkan gangguan pada sistem transpor mukosilier juga merupakan faktor risiko
terjadinya sinusitis kronis, seperti pada penyakit fibrosis kistik dan sindrom Kartagener.
Pada anak dengan sinusitis kronik yang gagal diterapi secara medikamentosa,
bedah sinus endoskopik fungsional, yang diperkenalkan oleh Stammberger pada pasien
dewasa pada tahun 1986, dapat merupakan terapi primer. Bedah sinus endoskopik
fungsional secara esensial telah menggantikan lavage dan nasal antral windows, namun
masih merupakan hal yang kontroversial jika menyangkut luasnya pembedahan yang
harus dilakukan..3 Pendekatan minimal dengan BSEF mini, yaitu hanya melakukan
unsinektomi dan mengidentifikasi ostium sinus maksila dan melakukan irigasi melalui
ostium alamiah sinus maksila merupakan tindakan yang banyak dilakukan. Kennedy
melaporkan berdasarkan investigasinya bahwa tindakan ini akan memperbaiki kelainan
penyakit yang lebih luas. Dengan tindakan BSEF minimal, maka tidak diperlukan lagi
second look endoscopic examination, yaitu pemeriksaan endoskopik pasca operasi yang
dilakukan untuk pembersihan hidung pasca BSEF.
Studi meta-analisis bedah sinus endoskopik fungsional untuk menilai efektivitas
dan keamanan pembedahan pada anak dilaporkan oleh Herbert42 pada 832 anak berusia
11 bulan – 18 tahun. Rinosinusitis kronis yang dibuktikan dengan tomografi komputer
sebelum dilakukan tindakan BSEF, menunjukkan perbaikan gejala pasca BSEF berkisar
antara 77-100%, dengan rerata 88,4%. Jika terdapat penyakit penyerta berupa fibrosis
kistik akan didapatkan hasil yang lebih buruk yaitu 0-57% dan cenderung memerlukan
prosedur BSEF ulangan. Komplikasi yang terjadi sebesar 0,6%, yaitu 2 kasus
memerlukan transfusi darah dan 2 kasus menderita meningitis pasca BSEF. Dari studi
meta-analisis ini dilaporkan bahwa BSEF adalah prosedur yang aman dan efektif untuk
terapi rinosinusitis kronik pada anak yang refrakter terhadap terapi medikamentosa.
Kelemahan studi analisis ini adalah tidak digunakannya kriteria keberhasilan BSEF yang
obyektif dan terstandardisasi. Populasi sample pada penelitian meta-analisis ini juga
sangat heterogen, karena masing-masing penelitian serial bervariasi dalam kriteria
seleksi, derajat beratnya sinusitis dengan sistem penderajatan sinusitis yang tidak
seragam, dan penyakit sistemik yang mendasari. Jenis tindakan pada BSEF yang
dilakukan juga bervariasi. Sebagian besar anak hanya memerluakan antrostomi meatus
medius dan etmoidektomi anterior sedangakan beberapa anak memerlukan tindakan
bedah yang lebih luas.
Walner4 dkk menilai efektivitas BSEF pada 23 anak berusia 2-13 tahun
menggunakan survei keberhasilan klinik modifikasi SF-36 global health assessment.
Gejala utama pra BSEF adalah sekret hidung purulen, dan hidung tersumbat kronis.
Penyakit penyerta yang ditemukan pada populasi ini adalah alergi 70%, asma 35%,
imunodefisiensi 4%, nasal polip 13%. Tindakan BSEF revisi dilakukan pada 2 anak
(9%). Penelitian survei yang dilakukan ini menunjukkan pernurunan skoring gejala pada
9 kategori dari 15 kategori, yaitu frekuensi batuk, hidung tersumbat, kunjungan ke dokter,
gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan performa di sekolah, performa orang tua di
tempat kerja dan gangguan performa orang tua di rumah sehubungan dengan kondisi
anak. Hasil penelitian survei ini menunjukkan perbaikan gejala klinik dan nilai kualitas
hidup berdasarkan laporan orang tua yang memiliki anak yang menjalani BSEF karena
sinusitis kronik. Walaupun terdapat kasus sinusitis kronis bakterial yang sembuh dengan
terapi medikamentosa yang adekuat atau adenoidektomi, penelitian ini menyimpulkan
bahwa BSEF pada anak memainkan peranan penting sebagai terapi efektif untuk
penderita sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan terapi medik adekuat. Kelemahan
dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang relatif kecil yaitu 23 anak, tidak terdapat
kelompok control walaupun hasil survei pra-operatif dilakukan untuk pembanding. Yang
lebih ideal lagi survei serupa juga dilakukan pada kelompok anak atau orangtua dengan
sinusitis yang diobati tanpa pembedahan, untuk menilai efek dari waktu berjalannya
penyakit alamiah atau hasil terapi non-bedah. Studi perbandingan dengan kelompok-
kelompok ini akan lebih meningkatkan keyakinan tentang keuntungan pembedahan bagi
anak dengan sinusitis kronik.

Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatric. Clinical Practise Guidelines for The Management of
Rhinosinusitis . London; Microwatch Meditech Media Limited, 2002:
2. Kennedy DW, International Conference On Sinus Disease, Terminology, Staging, Therapy. Ann
Otol Rhinol Laryngol 1995; 104 (Suppl. 167):7-30
3. Herbert Rl, Bent JP. Meta-Analysis of Outcomes of Pediatric Functional Endoscopic Sinus
Surgery, Laryngoscopie, 1998;108(6): 796-9.
4. Welner…

Anda mungkin juga menyukai