Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS TADULAKO

1. SAMPUL
“ LARINGITIS KRONIK”

DISUSUN OLEH :
ELVIRA SURA
N 111 20 061

PEMBIMBING :

dr. Densy Tette, M.kes Sp.THT-KL

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT- KL
RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Niswatul Magfirah


Stambuk : N 111 21 087
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Tadulako
Judul Refarat : Laringitis Kronik
Bagian : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher


RSUD Undata Palu
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Mei 2023


Pembimbing Klinik Co - Asisten

dr. Densy Tette, M.kes Sp.THT-KL Niswatul Magfirah


BAB I
PENDAHULUAN

Laringitis adalah inflamasi pada mukosa laring yang kebanyakan disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan. Laringitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Pada laringitis akut, onset penyakit mendadak dan
umumnya self limited. Pada laringitis kronik, perlu dipikirkan penyakit yang mendasari, misalnya alergi atau
gastroesophageal reflux disease. Epiglotitis akut merupakan bagian dari laringitis akibat infeksi bakteri,
biasanya disebabkan oleh Streptococcus beta hemoliticus atau Haemophilus influenzae tipe B. Sementara croup
merupakan laringotrakeobronkitis akibat infeksi virus pada anak. Etiologi lain yang dapat menyebabkan
laringitis adalah trauma dan kondisi inflamasi kronik. Risiko meningkat pada overuse plika vokalis
1,2
(contoh: berteriak atau bernyanyi), merokok, sleep apnea, dan imunokompromais.

Laringitis dapat diketahui dengan adanya tanda dan gejala berupa disfonia, disfagia, odinofagia,
tenggorokan kering dan gatal, globus faringeus, batuk kering kronik, edema laring, dan pada kondisi yang berat
dapat timbul stridor. Pemeriksaan fisik pada laringitis difokuskan untuk menilai patensi saluran napas,
adanya perubahan mukosa, adanya sekresi, dan massa pada
1
laring.

Pemeriksaan penunjang seperti laringoskopi dapat dilakukan jika gejala tidak membaik setelah 3
minggu dan ditemukan adanya indikasi lain, seperti stridor, riwayat pembedahan pada daerah leher, dan riwayat

1,3
intubasi endotrakea. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pencitraan dan biopsi.

Tata laksana laringitis dibagi berdasarkan laringitis akut dan kronik. Pada laringitis akut perlu
diperhatikan apakah inflamasi yang terjadi menyebabkan obstruksi saluran napas. Jika terjadi obstruksi, maka
tindakan intubasi atau trakeostomi diperlukan. Tata laksana lain pada laringitis akut bersifat konservatif
seperti menjaga higienitas vokal. Penggunaan antibiotik atau kortikosteroid secara rutin tidak
1,3
direkomendasikan. Tata laksana laringitis kronik disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya, baik itu
4
laringitis alergi maupun laringitis akibat refluks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Laring


Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang terbentuk sekitar 18 hari
setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-
petunjuk pertama sistem pernafasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakeal mulai nyata
sekitar hari ke 21 kehidupan embrio. Perluasan alur ke kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi
lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke 27 atau 28. Bagian
yang paling proksimal dari tuba akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat
dikenali pada hari ke 33. Sedangkan kartilago, otot, dan sebagian besar pita suara terbentuk dalam 3-4
minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Banyak
struktur merupakan derivat aparatus brankialis.
2.2 Anatomi Laring5
Laring berada di depan dan sejajar dengan vetebra servikalis 4 sampai 6, bagian atasnya yang akan
melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas segitiga dan bagian bawahnya yangg akan
melanjutkan ke trakea berbentuk seperti sirkular. Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang hyoid di
bagian atas dan beberapa tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf ‘U’, yang permukaan atasnya
dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Saat menelan,
konstraksi otot-otot (m.sternohyoid dan m.tirohyoid) ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas,
sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membantu menggerakan lidah.
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid, aritenoid, kornikulata, kuneiform, dan
epiglotis. Kartilago tiroid merupakan tulang rawan laring yang terbesar, terdiri dari dua lamina yang
bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah belakang. Tulang rawan ini berbentuk seperti kapal yang
bagian depannya mengalami penonjolan membentuk “adam’s apple” dan di dalamnya terdapat pita suara,
serta dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamentum krikotiroid.
Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat dibawah kartilago tiroid berbentuk
seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago krikoid terletak setinggi dengan vetebra C6 sampai
C7 dan pada anak-anak setinggi vetebra C3 sampai C4.
Kartilago aritenoid mempunyai ukuran yang lebih kecil, bertanggung jawab untuk
membuka dan menutup laring, berbentuk seperti piramid, terdapat 2 buah (sepasang) yang terletak dekat
permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, sendi ini disebut artikulasi
krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut kartilago santorini melekat pada
kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam lipatan ariepiglotik. Sepasang kartilago
kuneiformis atau bisa disebut kartilago wrisberg juga terdapat di dalam lipatan ariepiglotik. Kartilago
kornikulata dan kuneiformis berperan dalam rigiditas dari lipatan
ariepiglotik. Sedangkan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.
Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang dasar
lidah. Epiglotis ini melekat pada bagian belakang kartilago thyroidea. Plika ariepiglotika berjalan
kebelakang dari bagian samping epiglotis menuju cartilago arytenoidea, membentuk batas jalan masuk
laring.Membran mukosa di laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius, terdiri dari sel-sel
silinder yang bersilia. Plika vokalis dilapisi oleh epitel skuamosa.
Plika vokalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas ligamenturn vokalis, dua pita
fibrosa yang teregang di antara bagian dalam kartilago tiroidea di bagian depan dan kartilago aritenoidea
di bagian belakang. Plika vokalis palsu adalah dua lipatan membrana mukosa tepat di atas plika
vokalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalarn produksi suara.
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum
yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum
krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentumkornikulofaringeal, ligamentum hiotoroid
lateral, ligamentum hiotiroid media, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum
vokalis yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotika.
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot instrinsik. Otot-otot
ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot instrinsik menyebabkan
gerakan bagian-bagian laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas tulang hyoid
(suprahyoid), dan ada yang terletak dibawah tulang hyoid (infrahyoid). Otot ekstrinsik suprahyoid ialah m.
digastricus, m. geniohyoid, m.stilohyoid, dan m.milohyoid. Otot yang infrahyoid ialah m.sternohyoid dan
m.tirohyoid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahyoid berfungsi menarik laring kebawah, sedangkan yang
infrahyoid menarik laring keatas. Otot-otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral,
m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, dan m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian
lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior ialah m. aritenoid transversum,
m.ariteniod oblik dan m. krioaritenoid posterior.
Rongga laring
Batas atas rongga laring ialah aditus laring, batas bawahnya ialah bidang yang melalui
pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglotis, tuberculum
epiglotis, ligamentum tiroepiglotis, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus
kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadran agularis, kartilago aritenoid, konus
elastikus, dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah m.aritenoid transversus dan
lamina kartilago krikoid. Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokalis dan
ligamentum ventrikularis, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita
suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, sedangkan antara kedua
plika ventrikularis
disebut rima vestibuli.
Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu
vestibulum laring, glotis, dan subglotis. Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat diatas plika
ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotis. Antara plika vokalis dan pita ventrikularis, pada
tiap sisinya disebut ventrikulus laring Morgagni. Rima glotis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian
intermembran dan bagian interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika
vokalis, dan terletak dibagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak
kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterioir. Daerah subglotis adalah rongga laring yang
terletak di bawah pita suara (plika vokalis).

Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus superior dan
n.laringeus inferior (rekuren). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus
laringeus superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring
dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak diatas m.konstriktor faring medial, disebelah
medial a.karotis interna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang hyoid dan setelah menerima
hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan
ramus internus. Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan
menuju ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohyoid terletak disebelah
medial a.tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama dengan a.laringeus superior
menuju ke mukosa laring. Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu
memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan lanjutan dari
n.vagus.

Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n.rekuren
kiri akan menyilang aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang-cabang arteri tiroid
inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan
medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang dua
menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot intrinsik
laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersyarafi otot-otot intrinsik laring superior
dan mengadakan anstomosis dengan n.laringitis superior ramus internus.
permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid,
saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersyarafi
otot-otot intrinsik laring superior dan mengadakan anstomosis dengan n.laringitis superior ramus
internus.
permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid,
saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersyarafi
otot-otot intrinsik laring superior dan mengadakan anstomosis dengan n.laringitis superior ramus
internus.
Vaskularisasi
Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringitis superior dan a.laringitis inferior. Arteri
laringeus superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laringitis superior berjalan agak mendatar
melewati bagian belakang membran tirohyoid bersama-sama dengan cabang internus dari n.laringis superior
kemudian menembus membran ini untuk berjalan kebawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus
piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring.
Arteri laringeus interior merupakan cabang dari a.tiroid inferior dan bersama-sama dengan n.laringeus
inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari m.konstriktor
faring inferior. Di dalam arteri itu bercabang-cabang memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis
dengan a.laringeus superior.
Pada daerah setinggi membran krikotiroid, a.tiroid superior juga memberikan cabang yang berjalan mendatar
sepanjang membran itu sampai mendekati tiroid. Kadang-kadang arteri ini mengirimkan cabang yang kecil
melalui membran krikotiroid untuk mengadakan anastomosis dengan a.laringeus superior. Vena laringeus
superior dan vena laringeus inferior letaknya sejajar dengan a.laringis superior dan inferior dan kemudian
bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.

Pembuluh Limfe
Pembuluh limfa untuk laring berjumlah banyak, kecuali di daerah lipatan vokal. Disini
mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokalis. Di daerah lipatan vokalis pembuluh limfa dibagi
dalam golongan superior dan inferior. Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus
piriformis dan a.laringeus superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior rantai
servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan kebawah dengan a.laringeus inferior dan
bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa dintaranya menjalar sampai
sejauh kelenjar supraklavikular.
2.3 Fisiologi Laring 5,6
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa
fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:

1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya
aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring
diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotis dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan
dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian
tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.

2. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi,
sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya
rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah
interaritenoid melalui serabut afferen n.laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis
menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar
lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke
introitus esofagus.

3. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan
m.krikoaritenoideus posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka.
Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan
menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan
peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2
darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara

4. Fungsi Sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang
berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring.
Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui n.laringeus
rekurens dan ramus komunikans n.laringeus superior.

5. Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk,
bersin dan mengedan.

6. Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah (m.konstriktor
faringeus superior, m.palatofaringeus dan m.stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan
terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan
atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan
laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus,
sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus
piriformis lalu ke hiatus esofagus.

7. Fungsi Batuk
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan
intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna
untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang
reseptor atau iritasi pada mukosa laring.

8. Fungsi Ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan
benda asing tersebut.

9. Fungsi Emosi
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu
menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

2.4 Laringitis Kronis

2.4.1 Definisi
Laringitis
adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) yang dapat menyebabkan
suara serak atau hilangnya suara. Laringitis yang berlangsung lebih dari tiga minggu dikenal sebagai
laringitis kronik. Pada peradangan ini, seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, dan kadang-
5,10
kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasia skuamosa.
2.4.2 Etiologi
Laringitis kronik dapat menyebabkan pita suara menjadi tegang dan cedera. Cedera pada pita suara ini

5,10
dapat disebabkan oleh:

a. Refluks gastroesofagus
b. Iritan yang terhirup, seperti asap, allergen
c. Konsumsi alkohol yang berlebihan
d. Penyalahgunaan suara, misalnya pada penyanyi atau pemandu sorak
e. Sinusitis kronik
f. Deviasi septum yang
berat
g.Polip hidung atau bronkitis kronik
Biasanya infeksi virus menyebabkan laringitis kronis. Infeksi bakteri seperti difteri juga dapat
menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi. Laringitis dapat juga terjadi saat menderita suatu
penyakit atau setelah sembuh dari suatu penyakit, seperti selesma, flu atau radang paru-paru
5
(pneumonia). Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk juga iritasi yang terus
menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang berlebihan, banyak merokok atau asam dari perut yang
mengalir kembali ke dalam kerongkongan dan tenggorokan, suatu kondisi yang disebut

5
Gastroeosophageal Reflex Disease (GERD).

2.4.4 Klasifikasi
Laringitis 5
kronik terdiri dari laringitis kronik spesifik dan laringitis kronik nonspesifik.

 Laringitis Kronik Spesifik


Yang 5,7
termasuk dalam laringitis kronik spesifik ialah:

- Laringitis Tuberkulosa
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat dari tuberkulosis paru. Sering kali setelah
diberikan pengobatan, tuberkulosisnya sembuh tetapi laringitis tuberkulosanya menetap. Hal ini
terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang
tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.
Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum yang
mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfe. Tuberkulosis dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid, kemudian ke
aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta subglotik. Secara klinis, laringitis
tuberkulosis terbagi menjadi 4 stadium yaitu:
 Stadium infiltrasi
Mukosa laring posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis, kadang pita
suara terkena juga, pada stadium ini mukosa laring tampak pucat. Kemudian di daerah
submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang
berwarna kebiruan. Tuberkel itu makin besar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan
bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang,
maka akan pecah dan timbul ulkus. Pada stadium ini pasien dapat merasakan adanya rasa
kering ditenggorokan, panas dan tertekan di daerah laring, selain itu juga terdapat suara
parau.

 Stadium ulcesari
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi oleh perkijauan, serta dirasakan nyeri hebat waktu menelan bila
dibandingkan dengan nyeri karena radang (khas), dapat juga terjadi hemoptisis.

 Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan yang paling sering
terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan
tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk
sekuester. Pada stadium ini pasien dapat terjadi afoni dengan keadaan umum sangat
buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit
berlanjut dan masuk dalam stadium fibrotuberkulosis.

 Stadium fibrotuberkulosa
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara
dan subglotik. Gejala klinis bergantung pada stadiumnya, di samping ini terdapat gejala
sebagai berikut.

- Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring


- Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan pada stadium lanjut dapat timbul
afoni.
- Hemoptisis
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengn nyeri karena
radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
- Keadaan umum buruk
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologi) terdapat proses aktif (biasanya pada
stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne)
Selain dari 4 stadium ini kita juga bisa menanyakan riwayat pasien sebelumnya tentang batuk yang
produktif, berat badan menurun, nafsu makan menurun, dan keringat malam. Pemeriksaan fisik
meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan THT termasuk pemeriksaan laring tak
langsung untuk melihat laring melalui kaca laring, maupun pemeriksaan laring langsung
dengan laringoskopi. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dapat di temukannya tes
BTA positif, dan patologi anatomi.
Penatalaksanaannya berupa pembeian obat antituberkulosis primer dan sekunder. Selain itu
pasien juga harus mengistirahatkan suaranya. Beberapa macam dan cara pemberian obat anti
tuberkulosa: Obat primer: INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar
penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Obat sekunder: Exionamid,
Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

 Laringitis Luetika
Disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, sudah sangat jarang dijumpai pada bayi ataupun
orang dewasa. Laring tidak pernah terinfeksi pada stadium pertama sifilis. Pada stadium kedua,
laring terinfeksi dengan tanda-tanda adanya edema yang hebat dan lesi mukosa berwarna keabu-
abuan. Sumbatan jalan nafas dapat terjadi karena adanya pembengkakan mukosa. Pada stadium
ketiga, terbentuknya gumma yang nanti akan pecah dan menimbulkan ulserasi, perikondritis dan
fibrosis.
Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis. Disfagia timbul bila
gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit ini, pasien tidak merasakan nyeri, mengingat
kuman ini juga menyerang saraf-saraf di perifer. Pada pemeriksaan, bila guma pecah, maka
ditemukan ulkus yang sangat dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta
mengeluarkan eksudat yang berwarna

kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak
terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes serologi
(RPR,VDRL, dan FTA-ABS) dan biopsi.
Penatalaksanaan dengen pemberian antibiotika golongan penisilin dosis tinggi, pengangkatan
sekuester, bila terdapat sumbatan laring karena stenosis dapat dilakukan trakeostomi dan operasi
rekonstruksi. Prognosis pada penyakit ini kurang bagus pada gumma yang sudah pecah, karena
menyebabkan destruksi pada kartilago dan bersifat permanen.
 Laringitis Kronik Nonspesifik7
Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada saluran pernapasan,
seperti selesma, influenza, bronkitis atau sinusitis. Dapat juga akibat paparan zat-zat yang
membuat iritasi, seperti asap rokok, alkohol yang berlebihan, asam lambung atau zat-zat kimia yang
terdapat pada tempat kerja. Terlalu banyak menggunakan suara dengan terlalu banyak bicara, berbicara
terlalu keras atau menyanyi (vocal abuse). Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis
dengan permukaan yang tidak rata dan menebal.. Gejala klinis yang sering timbul adalah suara
parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok sehingga pasien sering berdehem untuk
membersihkan tenggorokan dan suara yang nyaring pada pagi hari kemudian diikuti oleh suara
hilang yang lama-lama menetap. Perubahan pada suara dapat bervariasi tergantung pada tingkat infeksi
atau iritasi, bisa hanya sedikit serak hingga suara yang hilang total, rasa gatal dan kasar di
tenggorokan, sakit tenggorokan, tenggorokan kering, batuk kering, sakit waktu menelan. Gejala
berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Pada pemeriksaan tampak korda vokalis yang merah,
tebal karena edema dan gerakan baik, mukosa menebal, hiperemi, permukaan tidak rata, kadang
didapatkan metaplasia skuamosa. Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor maka perlu
dibiopsi.
Pengobatan yang dilakukan tergantung pada penyebab laringitis dan biasanya pengobatannya
adalahsimptomatis. Pengobatan terbaik untuk laringitis yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang umum
seperti virus adalah dengan mengistirahatkan suara sebanyak mungkin dan tidak
membersihkan tenggorokan dengan mendehem. Bila penyebabnya adalah zat yang dihirup, maka
hindari zat iritatif tersebut. Dengan menghirup uap hangat dari baskom yang diisi air panas
mungkin biasa membantu. Bila penyebab dari laringitis kronis ini adalah GERD, obat golongan PPI
yang dianjurkan.
Untuk mencegah kekeringan atau iritasi pada pita suara:
1. Jangan merokok dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok tidak langsung. Rokok
akanmembuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara.
2. Minum banyak air. Cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat tenggorokan tidak
terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.
3. Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering. Bila mengalami
langiritis, hindari kedua zat tersebut diatas.
4. Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Berdehem tidak akan berakibat baik,
karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara dan
meningkatkan pembengkakan. Berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih
banyak lendir dan merasa lebih iritasi, membuat ingin berdehem lagi.
Pada laringitis kronis akibat alergi, pasien biasanya memiliki onset bertahap dengan gejala yang ringan.
Pasien dapat mengeluhkan adanya akumulasi mukus berlebih dalam laring. Pada pemeriksaan
laringoskopi biasa dijumpai sekresi mukus endolaringeal tebal dalam kadar ringan hingga sedang, eritema
dan edema lipatan pita suara serta inkompetensi glotis episodik selama fase fonasi. Pada kasus
laringitis kronis alergi, tatalaksana meliputi edukasi kepada pasien untuk menghindari faktor
pemicu. Medikasi antihistamin loratadine atau fexofenadine dipilih karena tidak memiliki efek
samping dehidrasi. Sekresi mukus yang tebal dan lengket dapat di atasi dengan pemberian guaifenesin.

2.4.5 Patofisiologi
Pada kronik laringitis yang terjadi adalah proses peradangan yang menyebabkan perubahan yang
ireversibel pada mukosa laring. Proses reaktif dan reparatif laring menggambarkan faktor- faktor patogen
yang bersifat menetap walaupun faktor penyebabnya telah dapat disingkirkan. Tergantung dari
penyebabnya, perubahan yang terjadi pada mukosa dapat bervariasi. Peradangan, edema, hiperemis, dan
infiltrasi serta proliferasi mukosa dapat menggambarkan respon inflamasi yang berbeda-beda dari setiap
tingkatan. Proses peradangan dapat merusak jaringan epitel dari laring sampai ke bagian posterior dari
dinding mukosanya. Hal tersebut mempengaruhi fungsi utama laring dimana proses pengeluaran mukus
trakeobronkial dapat terganggu. Saat gerakan silia epitel terganggu, maka akan terjadi stasis mukus pada
dinding posterior laring dan sekitar plika vokal dapat merangsang batuk yang reaktif. Mukus pada pita
suara dapat menyebabkan laringospasme. Perubahan signifikan pada epitel pita suara dapat terjadi
hiperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis, akantosis, dan seluler atipik.

2.4.6 Gejala Klinis


Gejala laringitis kronik, antara lain: suara yang serak, parau dan lemah; batuk kering;
tenggorok terasa kering; nyeri tenggorok; suara yang semakin lama semakin melemah. Jika gejala yang
terjadi lebih dari 3 minggu, maka pasien mengalami laringitis kronik.

2.4.7 Diagnosis
Pemeriksaan tidak langsung jalan napas dengan menggunakan cermin, ataupun secara langsung
dengan nasolaringoskopi fleksibel maka dapat terlihat pita suara eritema dan edema, terdapatnya
sekret dan permukaan pita suara yang terlihat ireguler. Perhatikan pula mobilitas dari pita suara dan adanya
obstruksi jalan napas.
Pada laringitis kronik dapat dilakukan pemeriksaan fisik seperti di bawah ini, antara lain: otot- otot
bantu pernapasan yang digunakan pada saat respirasi harus diperiksa, jika ditemukan maka auskultasi jalan
napas dan pemeriksaan pulse oksimetri harus dilakukan; pada kasus infeksi, demam atau parameter
lain yang mengindikasikan toksisitas dapat timbul; pemeriksaan menyeluruh pada kepala dan leher
merupakan hal mutlak yang harus dilakukan; kelenjar tiroid, laring dan trakea harus dievaluasi;
laringoskopi indirek dapat dilakukan pada pemeriksaan rutin; lidah, tonsil dan nasofaring, serta sinus untuk
menentukan sumber infeksi; trakeobronkial dan paru harus dipikirkan sebagai penyebab pontesial dari
infeksi; mukus (terutama pada bagian posterior laring), eritema, dan edema, merupakan temuan yang non-
spesifik dari laringitis; beberapa kondisi tertentu dapat menyerupai, seperti histoplasmosis, blastomikosis,
yang merupakan infeksi jamur yang menyerupai gambaran tuberkulosis dan kanker sel skuamosa pada
laring; epiglotis dan pita suara harus diperiksa; pemeriksaan stroboskopi dapat membantu melihat
kekakuan mukosa, hyperplasia epitel maupun peradangan kronik.

2.4.8 Diagnosis
Pemeriksaan tidak langsung jalan napas dengan menggunakan cermin, ataupun secara
langsung dengan nasolaringoskopi fleksibel maka dapat terlihat pita suara eritema dan edema,
terdapatnya sekret dan permukaan pita suara yang terlihat ireguler. Perhatikan pula mobilitas dari pita suara
dan adanya obstruksi jalan napas.
Pada laringitis kronik dapat dilakukan pemeriksaan fisik seperti di bawah ini, antara lain: otot- otot
bantu pernapasan yang digunakan pada saat respirasi harus diperiksa, jika ditemukan maka auskultasi jalan
napas dan pemeriksaan pulse oksimetri harus dilakukan; pada kasus infeksi, demam atau parameter
lain yang mengindikasikan toksisitas dapat timbul; pemeriksaan menyeluruh pada kepala dan leher
merupakan hal mutlak yang harus dilakukan; kelenjar tiroid, laring dan trakea harus dievaluasi; laringoskopi
indirek dapat dilakukan pada pemeriksaan rutin; lidah, tonsil dan nasofaring, serta sinus untuk menentukan
sumber infeksi; trakeobronkial dan paru harus dipikirkan sebagai penyebab pontesial dari infeksi; mukus
(terutama pada bagian posterior laring), eritema, dan edema, merupakan temuan yang non-spesifik dari
laringitis; beberapa kondisi tertentu dapat menyerupai, seperti histoplasmosis, blastomikosis, yang
merupakan infeksi jamur yang menyerupai gambaran tuberkulosis dan kanker sel skuamosa pada laring;
epiglotis dan pita suara harus diperiksa; pemeriksaan stroboskopi dapat membantu melihat kekakuan
mukosa, hyperplasia epitel maupun peradangan kronik.

2.4.9 Penatalaksanaan
Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring serta bronkus yang mungkin
5,10
menjadi penyebab laringitis kronik. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara (vokal rest).
1. Terapi medis
Staphylococcus aureus adalah organisme penyebab yang paling sering pada kasus-kasus
laringitis bakteri kronik. Terapi antibiotika yang dipilih sebaiknya yang dapat mengatasi patogen gram
positif dan gram negatif. Antibiotika yang digunakan adalah amoksisilin dan asam klavulanat.
Selain pengobatan antibiotika, perubahan pola hidup adalah faktor yang jauh lebih penting dalam
mencegah terjadinya laringitis kronik, meliputi:berhenti merokok dan menghindari lingkungan berasap;
hindari makanan dan minuman 2-3 jam sebelum tidur untuk mencegah sekresi aktif asam lambung
selama tidur; tinggikan kepala ketika tidur, yang akan melindungi laring dari refluks asam lambung
selama tidur; obat-obatan yang dapat mengurangi produksi asam lambung pada pasien yang mempunyai
gejala peningkatan asam lambung; hindari tindakan membersihkan tenggorokan yang dapat
memperburuk gejala.
2. Terapi operatif
Pengobatan secara operatif biasanya dilakukan pada laringitis kronik. Pada dasarnya laringitis sendiri
bukanlah suatu alasan untuk melakukan operasi. Beberapa prosedur yang biasa diindikasikan:
reduksi stenosis diindikasikan jika kondisi atau proses infiltrasi, seperti amyloidosis, Wegener
granulomatosis, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematous, secara signifikan
mempersempit lumen laring. Dibutuhkan intervensi operatif yang agresif; operasi pengangkatan
massa eksofitik; vaporisasi dengan laser; operasi anti-refluks dengan laparoskopi, menggunakan teknik
fundoplikasi Nissen, telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam pengobatan GERD.

2.5 Komplikasi
Laringitis kronik biasanya menimbulkan komplikasi, antara lain: penyebaran infeksi ke
sistemik atau struktur di sekitarnya; stenosis laring yang diakibatkan suprainfeksi akut pada
laringitis kronik dan edema atau stenosis sekunder akibat proses lama yang telah terjadi; kerusakan
10
struktur pita suara yang permanen; transformasi menjadi keganasan.

BAB III
KESIMPULAN

Infeksi pada laring dapat dibagi menjadi laringitis akut dan laringitis kronis, infeksi maupun non
infeksi, inflamasi lokal maupun sistemik yang melibatkan laring.
Diagnosis laringitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Manifestasi klinis pada laringitis akut dapat berupa batuk yang menggonggong, suara serak, stridor
inspirasi dan sesak nafas, dapat juga disertai dengan demam. Gejala biasanya lebih berat pada malam hari. Bisa
didahului oleh pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Obstruksi jalan nafas dapat ditemukan
apabila terjadi edema laring, diikuti edema subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering
terjadi pada anak dengan gejala berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat,
dan pada pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan
keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak. Gejala dari laringitis kronik ialah suara parau yang
menetap, rasa tersangkut di tenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret, karena
mukosa yang menebal.
Pada laringoskopi pasien dengan laringitis akut dapat ditemukan kemerahan pada laring yang difus
bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara, kadang bercak-bercak dari sekresi, pergerakan pita
suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Dari pemeriksaan penunjang berupa rontgen leher
dapat ditemukan gambaran “staplle sign” pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral. Dari
pemeriksaan darah bisa didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis. Pada pemeriksaan tidak langsung dari
jalan napas pasien laringitis kronik dengan menggunakan cermin ataupun secara langsung dengan
nasolaringoskopi fleksibel, dapat terlihat pita suara eritema dan edema, terdapatnya sekret dan permukaan pita
suara yang terlihat ireguler. Penatalaksanaan diberikan sesuai dengan etiologi yang mendasari. Penatalaksaan
dari laringitis akut berupa pemberian antibiotik yang adekuat dan kortikosteroid. Umumnya penderita laringitis
akut tidak perlu dirawat dirumah sakit. Laringitis kronis terbanyak disebabkan oleh iritasi misalnya asap rokok,
sehingga pasien disarankan beristirahat total dengan menghentikan kebiasaan merokok dan demikian pula
pada laringitis kronis akibat penyalahgunaan suara, pasien disarankan beristirahat. Pada pasien non perokok,
kemungkinan besar laringitis kronis dipicu oleh iritasi “silent” dari asam lambung, sehingga perlu diberikan anti-
refluks dari penyekat H2 hingga penyekat pompa proton, disertai modifikasi gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wood JM, Athanasiadis T, Allen J. laringitis. 2014;349:5827. Available from URL:


https://doi.org/10.1136/bmj.g5827
2. House SA, Fisher EL. Hoarseness in adults. Am Fam Physician. 2017;96(11):720-8
Available from URL: https://www.aafp.org/afp/2017/1201/p720.html
3. Stachler RJ, Francis DO, Schwartz SR, Damask CC, Digoy GP, Krouse HJ. Clinical practice guideline:
hoarseness (dysphonia). Otolaringol Head Neck Surg. 2018; pg.158.
4. Krouse JH, Altman KW. Rhinogenic laringitis, cough, and the unified airway. Otolaringol Clin North Am.
2010;43(1):111-121.
5. Cohen J. Anatomi dan Fisiologi laring. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT; Alih Bahasa: Caroline
Wijaya. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2010.
6. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In: Byron J. Bailey. Head and Neck
SurgeryOtolaringology. 3rd Edition. Volume 1. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins.
2001;p.479-86.
7. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam: Soepardi EA. Buku Ajar llmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke-7. Jakarta. Balai Penerbit FKUI . 2012. hal. 209-15.
8. Harms, Roger W. laringitis. 2018. Available at URL: http://www.mayoclinic.com/.
9. Abdurrahman MH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Jakarta: FK UI. 2003.
10. Hermani B, Abdurrachman H, Cahyono A. Kelainan Laring. Dalam: Soepardi EA. Buku Ajar llmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke-7. Jakarta. Balai Penerbit FKUI . 2012.
hal. 215-20.
36

Anda mungkin juga menyukai