Anda di halaman 1dari 11

Laporan Tutorial Maret 2021

SKENARIO 5
Nyeri Kepala

“Kiapa kita pe kepala e?”

OLEH:

NAMA : ANDI MOCH ICTIAR

NO. STAMBUK : N 101 18 074

KELOMPOK : 02

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU
Learning objektif

1. Komplikasi dan prognosis dari kasus


Jawab :

Komplikasi
TTH berkaitan erat dengan beberapa kondisi medis dan psikiatris. Komorbiditas yang
tersering dijumpai adalah cemas atau generalized anxiety disorder (38,5%), depresi mayor
(32,7%), stres psikososial, gangguan TTH berkaitan erat dengan beberapa kondisi medis dan
psikiatris. Komorbiditas yang tersering dijumpai adalah cemas atau generalized anxiety
disorder (38,5%), depresi mayor (32,7%), stres psikososial, gangguan panik; tingginya
frekuensi bunuh diri adalah fokus perhatian utama. Gangguan depresi, cemas, dan panik
lebih umum dijumpai pada penderita TTH kronis dibandingkan dengan TTH episodik. Data
ini membuktikan korelasi penyakit psikiatris dan TTH.

Prognosis ;
Pada penderita TTH dewasa berobat jalan yang diikuti selama lebih dari 10 tahun, 44%
TTH kronis mengalami perbaikan signifikan, sedangkan 29% TTH episodik berubah
menjadi TTH kronis.Studi populasi potong- lintang Denmark yang ditindaklanjuti selama 2
tahun mengungkapkan rata-rata remisi 45% di antara penderita TTH episodik frekuen atau
TTH kronis, 39% berlanjut menjadi TTH episodik dan 16% TTH kronis.

Secara umum, dapat dikatakan prognosis TTH baik.

Sumber :

Anurogo,d,. 2014. TENSION TYPE HEADACHE. CDK-214/vol. 41 no.3,th.2014 diakses


pada tanggal 3 april 2020 from Article in Medical Journal of Indonesia ·

2. Epidemiologi nyeri kepala


Jawab :

Migrain Epidiemiologi
Berdasarkan penilitian di amerika, dilaporkan bahwa migrain timbul pada 18,2% wanita dan
6,5% pria di amerika setiap tahunnya. Prevenlensi migrain bervariasi menurut umur dan
jenis kelamin. Sebelum umur 12 tahun, migrain umumnnya terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak wanita, tetapi prevelensi meningkat cepat pada anak wanita
setelah pubertas. Setelah umur 12 tahun wanita lebih sering terkena migrain dibandingkan
dengan pria, kira-kira dua hingga tiga kalinya.

Tension-type headache epidemiologi


Tension tyoe headache merupakan jenis nyeri kepala yang paling sering, dengan pravelensi
63% pada pria dan 86% pada wanita selama 1 tahun. Onset awal nyeri kepala ini terjaid
pada masa dini kehidupan (40% pada usia <20 tahun )dan puncaknya pada usia 20 dan 50
tahun. Lebih sering terjadi pada wanita dewasa, dengan rasio wanita 4:3, sedangkan tipe
kronis (> 180 headache harian per tahun ) diperikirakan 2%- 3%.

Cluster Headache epidemiologi


Cluster Headache dapat terjadi secara episodic dan kronik .cluster headache termasuk jarang
terjadi diantara kelainan nyeri kepala primer lainnya, dengan pravalensi sekitar 0,4% pada
prian dan 0,08% pada wanita . tidak seperti migrain, penderita pria 4-7 x lebih sering
dibandingkan wanita.onset dapat terjadi pada semua umur tapi paling sering terjadi pada
kahir 20 tahunan.

Sumber:
Yuktiana ,k,. 2017.TINJAUAN UMUM PENYAKIT NYERI KEPALA.
http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/8314/kharisma_mak_tinjauan_pe
nyakit_nyeri_kepala_2017_sv.pdf?sequence=1&isAllowed=y

3. Jenis nyeri kepala yang berbahaya


Jawab :

Nyeri kepala secara umum dapat dibedakan menjadi nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala primer mencakup nyeri kepala tipe tegang, migren, dan klaster.
Sedangkan, nyeri kepala sekunder merupakan kondisi yang diakibatkan oleh penyebab lain,
seperti trauma kepala dan leher, gangguan vaskularisasi kranial dan servikal, gangguan
intrakranial non-vaskular, penggunaan obat maupun putus obat, infeksi, gangguan
homeostasis, ataupun gangguan psikiatrik. Nyeri kepala ini dapat disebabkan oleh gangguan
di tengkorak, leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, ataupun struktur wajah dan
kranial lainnya. Kedua kelompok ini penting untuk dibedakan agar kondisi penyebab yang
lebih serius dapat dikenali dan dengan segera diberikan penanganan yang Nyeri kepala
tanpa adanya tanda bahaya merupakan nyeri kepala dengan risiko rendah. Nyeri kepala jenis
ini tidak membutuhkan pencitraan neurologis dan umumnya mengarah kepada nyeri kepala
primer. Tanda bahaya yang dimaksud meliputi nyeri kepala yang berkepanjangan atau
progresif; nyeri kepala baru atau yang dirasakan berbeda dari biasanya; nyeri kepala terberat
yang pernah dialami seumur hidup; nyeri kepala yang langsung terasa berat ketika pertama
muncul; adanya gejala sistemik yang menyertai; kejang; ataupun adanya gejala neurologis.
Jika salah satu saja dari tanda bahaya tersebut muncul, maka perlu dilakukan pemeriksaan
lanjutan baik berupa pencitraan maupun laboratorium untuk mengetahui penyebab nyeri
kepala tersebut

Sumber:

Haryani,s,.Tandy,v,.Vania,A,.Barus,j,.2018. PENATALAKSANAAN NYERI KEPALA


PADA LAYANAN PRIMER. Vol 1 nomor 3: 83-90, 2018. Diakses pada tanggal
3 april 2021 from : https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwj7objUlLvAhVugUs
FHdLJBXMQFjAAegQIBRAD&url=http%3A%2F%2Fcallosumneurology.org
%2Findex.php%2Fcallosumneurology%2Farticle%2Fdownload
%2F16%2F19&usg=AOvVaw3Of8z4lbRc9jPq0BvbASa8

4. Kriteria nyeri selain VAS


Jawab:
Intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan numerical rating scale (NRS), verbal
rating scale (VRS), visual analog scale (VAS) dan faces rating scale sebagai berikut:

• Visual Analog Scale (VAS)


Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai
nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin
dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan
atau tanpa tanda pada tiap sentimeter . Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa
angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan
ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat
vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa
nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah
penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode pasca bedah, VAS
tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi visual dan motorik serta
kemampuan konsentrasi.
 Verbal Rating Scale (VRS)
Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan tingkat nyeri.
Dua ujung ekstrem juga digunakan pada skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda
nyeri . Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada periode pascabedah, karena secara
alami verbal / kata-kata tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala
verbal menggunakan kata - kata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan
tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, parah.
Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit
berkurang, cukup berkurang, baik/ nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi
pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri.

• Numeric Rating Scale (NRS)


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis kelamin, dan
perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun,
kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak
memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap
terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesik

• FLACC

KRITERIA SKOR - 0 SKOR - 1 SKOR – 2


Face Tidak ada ekspresi Terkadang Dagu sering
atau senyum meringis, menarik bergetar, rahang
diri, dan tidak mengeras
tertarik
Legs Posisi normal atau Gelisah, tegang Menendang, atau
rileks kaki diangkat
Activity Berbaring, posisi Menggeliat, Melengkung,
normal bergerak maju kaku, menyentak
mundur, tegang
Cry Tidak menangis Erangan dan Menangis terus;
(bangun atau merintih; berteriak atau
tidur) menangis sesekali menangis terisak-
isak, sering
mengeluh
Consolability Tenang, rileks Tenang dengan Sulit untuk
sentuhan, pelukan, ditenangkan atau
diajak bicara; didiamkan
mudah teralihkan

• Klasifikasi Nyeri Berdasarkan WHO


Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
1) Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.
2) Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila
penderita tidur.
3) Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur
dan sering terbangun akibat nyeri.

Sumber :

Yudiyanta,.Kohorunnisa,.Novitasari,w,r,.2015.Assessment Nyeri.Vol.42 no3 th 2015.diakses


pada tanggal 3 April 2021from :
https://perdatinaceh.files.wordpress.com/2018/01/assessment-nyeri.pdf

Marandina, B. A. 2014. Pengkajian Skala Nyeri di Ruang Perawatan Intensive Literatur Review.
Jurnal Bambang. Vol. 1 (1). Viewed on April 1th 2021. From :
http://cdn.stikesmucis.ac.id/JURNAL_BAMBANG.pdf
5. Tatalaksana nyeri kepala (farmakologi dan non-farmakologi)
Jawab:

Penanganan Nyeri Kepala Primer

Nyeri kepala merupakan keluhan yang bersifat subjektif sehingga tiap orang mungkin
memiliki interpretasi berbeda yang dapat menghambat proses diagnosis yang baik. Terdapat lima
komponen esensial dalam menangani pasien dengan nyeri kepala, yaitu dengan membuat
diagnosis yang benar, menilai besarnya dampak kecacatan, memperhitungkan etiologi,
merencanakan pengobatan, dan memonitor hasil. Proses ini penting untuk diketahui pemberi
layanan kesehatan, khususnya dokter umum yang merupakan lini pertama dalam pemberi
layanan kesehatan primer dalam rangka meningkatkan efektivitas terapi pasien dengan nyeri
kepala dan menurunkan angka transformasi nyeri kepala akut menjadi kronis.

Untuk menegakkan diagnosa, riwayat dari nyeri tersebut perlu digali dengan seksama,
seperti awitan keluhan, frekuensi dan kondisi yang memicu serangan, kualitas nyeri, lokasi
ataupun durasi dari nyeri tersebut, progresivitas nyeri, faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri triptan, opioid, atau kombinasi dari obat analgesik lebih dari 10 hari atau
penggunaan yang tidak berlebihan dari obat tesebut selama lebih dari 15 hari per bulan minimal
selama 3 bulan, atau nyeri tersebut, serta keluhan atau penyakit lain yang menyertai. Riwayat
keluarga juga perlu ditanyakan karena beberapa nyeri kepala dapat diturunkan secara genetik.
Selain itu, klinisi perlu menanyakan riwayat pengobatan yang sedang dan pernah diambil,
riwayat sosial, serta melakukan tinjauan per sistem struktural untuk menyingkirkan adanya
penyakit sistemik, serta mewaspadai adanya tanda bahaya yang menunjukkan lesi yang
mendasari nyeri tersebut. Sebagai contoh, nyeri kepala yang muncul secara tiba – tiba dengan
puncak intensitas yang dicapai daam waktu singkat perlu evaluasi segera karena kecurigaan
adanya perdarahan subaraknoid, hipertensi emergensi, diseksi arteri vertebra, ataupun glaukoma
sudut tertutup. Penggunaan obat-obatan, seperti aspirin, antikoagulan, steroid, ataupun napza,
seperti kokain dan amfetamin, juga dapat meningkatkan risiko perdarahan intrakranial atau
stroke. Pasien dengan kondisi imunosupresi juga berisiko menderita abses otak, meningitis,
ataupun keganasan sistem saraf pusat.

Setelah mendapatkan informasi yang adekuat dari anamnesis pasien, kemudian dilakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis yang terarah. Pemeriksaan fisik yang dilakukan
mencakup pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan arteri karotis, sinus, arteri, dan otot paraspinal
servikal, serta pemeriksaan leher dalam posisi fleksi dan rotasi lateral untuk menilai tanda
rangsang meningeal. Sedangkan, pemeriksaan neurologis meliputi penilaian tingkat kesadaran,
gangguan daya ingat, pemeriksaan oftalmologi (reaktivitas dan ukuran pupil, funduskopi, lapang
pandang, serta gerakan bola mata), pemeriksaan saraf kranial (termasuk refleks kornea, sensori
wajah, asimetri wajah), perbedaan tonus otot, kekuatan motorik, dan refleks tendon dalam,
fungsi sensori, adanya gait, serta fungsi koordinasi tangan dan kaki.
Pencitraan biasanya tidak dilakukan pada nyeri kepala yang bersifat episodik. Pencitraan
neurologis diindikasikan untuk semua pasien yang datang dengan gejala dan tanda dari nyeri
kepala yang berbahaya karena pasien ini mempunyai risiko terjadinya patologi intrakranial.
Selain itu, pencitraan juga dapat dilakukan pada pasien dengan nyeri kepala yang tidak akut bila
terdapat riwayat gangguan koordinasi, gejala neurologi fokal, riwayat parestesi subjektif, atau
adanya riwayat nyeri kepala yang menyebabkan pasien terbangun dari tidur.

Setelah menegakkan diagnosis, perlu dievaluasi dampak dari nyeri kepala tersebut untuk
merencanakan terapi selanjutnya. Penting bagi pasien dan dokter untuk memahami masalah nyeri
yang dihadapi sehingga dapat ditangani dengan tepat. Seringkali perilaku menunda proses
mencari pengobatan meningkatkan risiko terjadinya nyeri kronik akibat penanganan yang tidak
adekuat. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan adalah kuesioner Migraine Disability
Assessment yang menilai hari yang hilang atau tidak produktif dalam jangka waktu 90 hari. Akan
lebih baik bila rencana pengobatan diawali dengan pengisian kuesioner untuk mendeteksi adanya
depresi, kecemasan, ataupun ketakutan yang terkait dengan masalah nyeri, keterbatasan yang
ditimbulkan, dan kualitas verapamil untuk nyeri kepala klaster. Komponen selanjutnya adalah
memperhitungkan ekologi, yaitu mempertimbangkan kondisi pasien dan situasi kehidupannya
sehari-hari yang dapat mempengaruhi pelaksanaan terapi. Penting untuk menanyakan pasien
harapan mereka terhadap pengobatan dan pengobatan mana yang dirasa nyaman untuk dijalani.
Pada beberapa kasus, dokter harus mampu memberitahukan kepada pasien bahwa nyeri yang
dialaminya tidak dapat disembuhkan dan tujuan pengobatan yang dilakukan hanya untuk
mengembalikan fungsi dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Informasi ini sangat sensitif dan
harus disampaikan dengan hati- hati agar tidak terjadi kesalahpahaman antara dokter dan pasien
yang dapat menimbulkan kebuntuan dalam proses pengobatan. Beberapa informasi lain juga
perlu ditanyakan karena dapat membantu mengurangi frekuensi serangan beberapa tipe nyeri
kepala, antara lain pola nutrisi, hidrasi, pola tidur, dan pengelolaan stres, seperti biofeedback dan
cognitive behavioral therapy (CBT).

Setelah memperhitungkan ekologi, klinisi dapat membuat rencana terapi sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan pasien dengan mempertimbangkan beberapa faktor, antara
farmakologis yang dapat membantu mengurangi nyeri kepala ialah olahraga kardio, latihan
beban, ataupun peregangan sebanyak dua hingga tiga kali per minggu selama 30 menit;
konseling, relaksasi, penanganan stres dan pengaturan aktivitas. Pasien perlu diajak untuk
mengerti bahwa terapi non farmakologis juga berperan penting selain terapi farmakologis
semata.

Kortikosteroid oral dapat digunakan, baik dengan prednison dosis awal 60 mg/ hari atau
deksametason 4 mg/ hari sampai 12 mg/ hari, dengan penurunan dosis bertahap selama 3-7 hari.
Triptan atau dihidroergotamin juga dapat transisi. farmakologis abortif dan preventif. Pemilihan
obat preventif dilakukan berdasarkan efikasinya, preferensi dan tipe nyeri kepala pasien, efek
samping obat, dan penyakit komorbid yang menyertai. Obat preventif yang umum digunakan
adalah golongan alfa-agonis, antikonvulsan, antidepresan, SSRI, beta-bloker, antagonis kanal
kalsium.

Sumber :

Haryani,s,.Tandy,v,.Vania,A,.Barus,j,.2018. PENATALAKSANAAN NYERI KEPALA PADA


LAYANAN PRIMER. Vol 1 nomor 3: 83-90, 2018. Diakses pada tanggal 3 april 2021
from : https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwj7objUlLvAhVugUsFHdLJB
XMQFjAAegQIBRAD&url=http%3A%2F%2Fcallosumneurology.org%2Findex.php
%2Fcallosumneurology%2Farticle%2Fdownload
%2F16%2F19&usg=AOvVaw3Of8z4lbRc9jPq0BvbASa8

6. Kriteria rujukan
Jawab:

Nyeri Kepala Tipe Tegang (Tension Headache)


Tatalaksana oleh dokter di layanan primer Rujuk PPK 2 bila:
 Nyeri tak membaik lebih dari 15 hari (kronik) ( spesialis saraf)
 Penyulit depresi berat dengan ide bunuh diri ( ke spesialis jiwa)
 Keluarga dan penderita tidak kooperatif

 Tatalaksana rujukan kasus nyeri kepala tipe tegang yang tidak membaik.
 Rujuk internal bila membutuhkan pelayanan spesialis lain (seperti spesialis jiwa)
 Di PPK 2 diharapkan kasus TTH dapat terselesaikan
Sumber :
IDI Banjarnegara. PEDOMAN PENGELOLAAN RUJUKAN PENYAKIT
BERDASARKAN KLASIFIKASI KASUS DAN KOMPETENSI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN. Banjarnegara : IDI

7. PQRST
Jawab :

Mnemonik PQRST untuk Evaluasi Nyeri

P :Paliatif atau penyebab nyeri


Q :Quality/kualitas nyeri
R :Regio (daerah) lokasi atau penyebaran nyeri
S :Subjektif deskripsi oleh pasien mengenai tingkat nyerinya
T :Temporal atau periode/waktu yang berkaitan dengan nyeri

Tujuan kebijakan penatalaksanaan nyeri di rumah sakit adalah:


• Semua pasien yang mengalami nyeri mendapat pelayanan sesuai pedoman dan prosedur
manajemen nyeri RSUP Dr Sardjito
• Menghindari dampak/risiko nyeri ter- hadap proses penyembuhan
• Memberikan kenyamanan pada pasien

Anamnesis PQRST
- P (Provokes, Palliative) : Riwayat ansietas dan depresi
- Q (Quality) : Tightening band
- R (Radiates) : Muncul dari tengkuk dan menjalar ke dahi bilateral lalu keseluruh tubuh
- S (Severity) : VAS 6 (nyeri sedang)
- T (Time) : Muncul 3 hari yang lalu terus menerus. Keluhan timbul beberapa kali sebulan
dalam beberapa tahun terakhir dengan rasa yang hampir sama.

Sumber :
Yudiyanta,.Kohorunnisa,.Novitasari,w,r,.2015.Assessment Nyeri.Vol.42 no3 th 2015.diakses
pada tanggal 3 April 2021from :
https://perdatinaceh.files.wordpress.com/2018/01/assessment-nyeri.pdf

Anda mungkin juga menyukai