Anda di halaman 1dari 52

Laporan Kasus

TATALAKSANA STENOSIS LARING PASKA


INTUBASI DENGAN DM TIPE I

Oleh

dr. Fani Paulina

Pembimbing

dr. Lisa Apri Yanti, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Departemen Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
2020
TATALAKSANA STENOSIS LARING PASKA INTUBASI
DENGAN DM TIPE I

Fani Paulina, Lisa Apri Yanti

Bagian IKTHT- KL FK Unsri/


Departemen IKTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
2020

Abstrak
Stenosis laring merupakan penyempitan jalan napas bagian atas, sebagian atau
keseluruhan, yang dapat mempengaruhi semua bagian laring. Bagian yang paling
sering terkena adalah daerah subglotis. Gejala pada stenosis laring dapat
asimptomatik hingga ditemukan kesulitan saat dilakukan intubasi, atau dapat juga
dispneu, stridor, suara serak, retraksi saat bernapas, sianosis, dan apneu pada
kondisi yang berat. Tatalaksana stenosis tergantung pada penyebab dan derajat
keparahannya. Dilaporkan satu kasus stenosis laring (CM II) dengan DM tipe I
pada laki-laki usia 28 tahun dengan riwayat intubasi dan pemasangan ventilator
selama dua minggu. Pasien ditatalaksana dengan dilakukan dilatasi laring dan
pemasangan T tube laring.
Kata kunci: Stenosis laring, subglotis, intubasi

Abstract
Laryngeal stenosis is a narrowing of the upper airway, partially or completely,
which can affect all parts of the larynx. The most frequently affected part is the
subglottic area. Symptoms of laryngeal stenosis can be asymptomatic until
difficulties showed up during intubation, or can also dyspnea, stridot, hoarseness,
retraction during breathing, cyanosis, and apnea in severe conditions.
Management of stenosis depends on the cause and severity. One case was
reported, a laryngeal stenosis (CM II) with DM type I in a 28-year-old male with
a history of intubation and ventilator for two weeks. Patient was therapied for
laryngeal dilatation and T tube larynx.
Keywords: Laryngeal stenosis, subglottis, intubation
PENDAHULUAN
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada
pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Rongga laring
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu supraglotis, glotis, dan subglotis. Stenosis
merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang menyatakan adanya
penyempitan dalam sebuah rongga. Stenosis laring merupakan penyempitan jalan
napas bagian atas, sebagian atau lengkap, yang dapat mempengaruhi semua
bagian laring. Bagian yang paling sering terkena adalah daerah subglotis.
Beberapa stenosis laring bisa bersifat kongenital dan didapat. Kedua ini sangat
penting untuk dibedakan. 1,2,3
Etiologi dan faktor risiko stenosis sangat bervariasi. Saat ini, faktor risiko
tersering adalah trauma iatrogenik dari intubasi atau trakeostomi. Diperkirakan 4,9
kasus stenosis paska intubasi pada 1 juta kasus pertahunnya pada populasi umum.
Diantara pasien yang diintubasi, insidensi berkisar antara 1-11%, dan hanya 1-2%
dengan stenosis berat yang simptomatis. Pada anak-anak, stenosis kongenital
merupakan jenis stenosis yang sering terjadi. Pada orang dewasa, stenosis laring
biasanya terjadi akibat trauma iatrogenik, infeksi, benda asing, dan zat kaustik.
Sekitar 15% pasien yang diintubasi selama lebih dari 10 hari mengalami stenosis
glotis. Sembilan puluh persen stenosis subglotis yang didapat pada bayi dan anak-
anak disebabkan oleh intubasi endotrakeal. Insidensi stenosis subglotis setelah
intubasi dilaporkan 1-10%.2,3,5
Anamnesis secara mendalam yang mencakup perjalanan penyakit serta
berbagai faktor resiko yang mendasari terjadinya penyakit dibutuhkan dalam
menegakkan diagnosis. Riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik yang
terperinci serta memperhatikan gejala spesifik biasanya akan mengarahkan lokasi.
Terapi stenosis subglotis tergantung pada kelainan yang menyebabkannya dan
seberapa parah hal itu berdampak pada pernafasan, mulai dari dilatasi, laser CO2
hingga pembedahan dengan melakukan rekonstruksi.6,7

ANATOMI LARING
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi
vertebra servicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif
lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja
tertutup bila sedang menelan makanan. Lokasi laring dapat ditentukan dengan
inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa
lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga
Adam’s apple atau jakun.3,4

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang


berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan
dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum
laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan
kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus,
infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid. Laring berbentuk piramida triangular terbalik
dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di
sebelah bawahnya. Os hioid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea.
Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan
mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.3,4

Gambar 1. Anatomi laring 3,4


Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum
dan otot-otot. Kartilago laring dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok
kartilago mayor yang terdiri dari 1 buah kartilago Tiroidea, 1 buah kartilago
krikoidea, 2 buah kartilago aritenoidea. Sedangkan kartilago minor terdiri dari 2
buah kartilago kornikulata Santorini, 2 buah Kartilago kuneiforme Wrisberg, dan
1 buah kartilago epiglotis. 3,4

Gambar 2. Kartilago pembentuk laring 3,4


Kartilago tiroidea merupakan suatu kartilago hialin yang membentuk
dinding anterior dan lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri
dari dua buah sayap (ala tiroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka
dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga
menonjol ke depan disebut Adam’s apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90
derajat dan pada wanita 120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut
thyroid notch atau incisura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu
superior yang dihubungkan dengan os hioid oleh ligamentum tiroidea lateralis,
sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan
permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio
krikoidea. Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat
terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian
dalam laring, yaitu pita suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta, kartilago
aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata. 4

Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur
yang berjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini
merupakan tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus
tirohioideus dan muskulus konstriktor faringeus inferior. Permukaan dalamnya
halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan tepi bawah kartilago tiroidea
perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan tendon komisura anterior.
Sedangkan tangkai epiglotis melekat kira-kira 1 cm diatasnya oleh ligamentum
tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada usia 20 – 30 tahun. 4

Kartilago krikoidea merupakan bagian terbawah dari dinding laring,


merupakan kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan
bagian alsanya terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih
sempit daripada bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago
tiroidea tepatnya dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus
elastikus) dan melalui artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat
dengan cincin trakea pertama melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan
darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi emergensi atau krikotomi atau
koniotomi pada konus elastikus. Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi
vertebra servikalis VI – VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III –
IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.4,6

Kartilago aritenoidea ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari
sepasang kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan
kartilago krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke mediolateral dan
gerakan rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus
muskularis yang merupakan tempat melekatnya m. krikoaritenoid yang terletak di
posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya
ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke
prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan
berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagian
membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita
suara ini disebut glotis. Kartilago aritenoid dapat bergerak ke arah dalam dan luar
dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada
prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan
terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi biasa terjadi pada dekade ke 3
kehidupan.2,4

Kartilago aritenoidea merupakan bentuk kartilago epiglotis yang


menyerupai bet pingpong dan membentuk dinding anterior aditus laringis.
Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika ke
kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas menjulur di
belakang korpus hioid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan
laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong
makanan ke sebelah menyebelah laring.4,6

Kartilago kornikulata merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga


kartilago Santorini dan merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam
plika ariepiglotika. Kartilago Kuneiforme merupakan kartilago fibroelastis dari
Wrisberg dan merupakan kartilago kecil yang terletak di dalam plika
ariepiglotika.4

Gambar 3. Anatomi pita suara 3,4

Aditus laring menghadap ke belakang dan atas ke arah laringofaring. Pintu


ini dibatasi oleh pinggir atas epiglotis di anterior, plika ariepiglotis di lateral, dan
membran mukosa yang terbentang antara kedua kartilago aritenoid di posterior
dan inferior. Rongga laring terbentang dari aditus hingga ke tepi inferior kartilago
krikoid. Rongga laring dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu supraglotis, glotis,
dan subglotis (Gambar 1). Supraglotis terbentang dari aditus laring hingga ke
plika vestibularis. Glotis terbentang dari plika vestibularis hingga setinggi plika
vokalis. Subglotis terbentang dari plika vokalis sampai ke tepi inferior kartilago
krikoid. Dindingnya dibentuk oleh permukaan dalam ligamentum krikotiroid dan
kartilago krikoid. Membran mukosa yang melapisi rongga laring ditutupi oleh
epitel silindris bersilia, sedangkan plika vokalis dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng (Gambar 2).2,4,5

Gambar 4. Epitel berlapis gepeng melapisi plika vokalis2


Otot-Otot Laring
Otot-otot laring dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu otot ekstrinsik dan
intrinsik. Otot-otot ekstrinsik sendiri dapat dibagi menjadi dua kelompok yang
berlawanan, antara lain kelompok elevator laring dan depresor laring. Selama
proses menelan, laring akan tertarik ke atas dan setelahnya akan tertarik ke bawah.
Os hioid melekat pada kartilago tiroid melalui membran tirohioid. Oleh karena
itu, gerakan os hioid akan diikuti oleh gerakan laring.1,2
Otot-otot elevator laring meliputi m.digastrikus, m.stilohioid, m.milohioid,
dan m.geniohioid. Muskulus stilofaringeus, m.salfingofaringeus, dan
m.palatofaringeus yang berinsersio pada tepi posterior lamina kartilago tiroid juga
mengangkat laring. Otot-otot depresor laring meliputi m.sternotiroid,
m.sternohioid, dan m.omohioid. Kerja otot depresor ini dibantu oleh daya pegas
trakea yang elastis. Otot-otot intrinsik dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
yang mengendalikan aditus laring dan yang menggerakkan plika vokalis. Otot-
otot yang mengendalikan aditus laring antara lain m.aritenoid oblik dan
m.tiroepiglotis. Sedangkan m.krikotiroid, m.tiroaritenoid (m.vokalis),
m.krikoaritenoid lateral dan m.krikoaritenoid posterior, serta m. aritenoid
transversus mengendalikan gerakan plika vokalis.2,4,5

Persarafan, Vaskularisasi, dan Drainase Limfe Laring


Saraf sensorik yang mempersarafi membran mukosa laring di atas plika
vokalis berasal dari n.laringeus internus, cabang dari n. laringeus superior (cabang
n. vagus). Di bawah plika vokalis, membran mukosa dipersarafi oleh n. laringeus
rekuren. Saraf motorik ke otot-otot intrinsik laring berasal dari n. laringeus
rekuren, kecuali m. krikotiroid. M. krikotiroid mendapat persarafan dari ramus
laringeus eksternus, cabang dari n. laringeus superior. Suplai arteri ke pertengahan
bagian atas laring berasal dari ramus laring superior a. tiroid superior. Bagian
pertengahan ke bawah laring diperdarahi oleh ramus laring inferior a. tiroid
inferior. Pembuluh limfe bermuara ke dalam nodi limfoid sevikal profunda. 2,4,5

FISIOLOGI LARING
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi
serta fonasi. Fungsi laring yang paling penting adalah untuk proteksi jalan nafas.
Proteksi jalan nafas ini bertujuan untuk mencegah makanan dan benda asing
masuk ke dalam trakea dengan cara menutup aditus laring dan rima glotis secara
bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring dikarenakan pengangkatan laring
ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago
aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m. tiroaritenoid dan m. aritenoid.
Selanjutnya m. ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis
terjadi karena aduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan kanan mendekat
karena aduksi otot-otot intrinsik. Batuk dan berdehem merupakan komponen
respirasi tambahan dalam proses proteksi jalan nafas dan bersifat volunter.
Penutupan glotis setelah inspirasi menyebabkan peningkatan tekanan udara
subglotis dan memanfaatkan ekshalasi bertekanan tinggi ini dalam mengatasi
iritan dan obstruksi. Dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke
dalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan sekret yang berasal
dari paru.2,4
Laring berperan aktif di dalam proses respirasi sebagai regulator jalan
nafas. Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Proses respirasi di laring terjadi terutama pada m. krikoaritenoid posterior.
Bila m. krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis
kartilago aritenoid bergerak ke lateral sehingga rima glotis terbuka (abduksi).
Pada umumnya proses ini terjadi sebagai respon antisipasi terhadap tekanan
negatif intralumen yang dihasilkan dari kontraksi diafragma (inspirasi). Dengan
terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeobronkial akan
mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus sehingga mempengaruhi sirkulasi
darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur
sirkulasi darah. Kontraksi m. krikoaritenoid posterior tidak hanya dipengaruhi
oleh otot nafas selama siklus respirasi, tetapi juga merupakan respon terhadap
tekanan udara, suhu, kelembaban, dan konsentrasi CO2.2,4
Dalam proses fonasi, fungsi laring terintegrasi dengan sistem respirasi
secara keseluruhan (Gambar 5). Sumber energi utama dalam berfonasi adalah
udara ekspirasi, serta dibantu oleh faring, mulut, dan kavum nasi dalam
berresonansi dan artikulasi. Pada saat udara diekshalasi menuju rima glotis,
tekanan udara akan terakumulasi di subglotis. Pada ambang tekanan tertentu,
udara mulai mendorong dasar rima glotis untuk terbuka. Peningkatan tekanan
udara ini memisahkan plika vokalis dari inferior ke superior secara progresif.
Udara ini menekan jaringan plika vokalis ke lateral dan dikarenakan elastisitas
jaringan plika vokalis akan segera kembali ke garis tengah. Di samping itu,
tekanan intralumen akan menurun sehingga tepi bawah glotis akan menutup
meskipun tepi atasnya masih terbuka. Selama udara melewati konstriksi yang
dibentuk oleh plika vokalis, udara akan terdorong hingga mencapai lumen
supraglotis yang lebih luas, kemudian udara akan melambat lagi. 2,4

Gambar 5. Siklus Fonasi4


Tinggi rendahnya nada diatur oleh ketegangan plika vokalis. Bila plika
vokalis dalam keadaan aduksi, m. krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke
bawah dan ke depan menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.
krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke
belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya kontraksi m. krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
depan sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya
plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada. Fungsi laring dalam
membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme, yaitu gerakan laring bagian
bawah ke atas, menutup aditus laring dan mendorong bolus makanan turun ke
hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring. Laring juga mempunyai
fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti berteriak, mengeluh, menangis dan
lain-lain.2,4

PROSES PENYEMBUHAN LUKA PADA LARING


Proses penyembuhan luka pada laring juga merupakan hal yang paling
penting untuk dibahas. Ulasan singkat tentang prinsip-prinsip umum
penyembuhan luka harus diketahui. Pengetahuan dasar sebagian besar proses
penyembuhan ditujukan untuk memperbaiki jaringan yang terluka. Kerusakan
mukosa yang terjadi bisa akibat tekanan mekanik.11,12
Proses penyembuhan luka terdiri dari tahapan kompleks yang melibatkan
proses peradangan, proliferasi, epitelisasi, dan remodeling. Selama tahap
peradangan, beberapa proses akan terjadi. Hemostasis harus mencappai lokasi
luka. Jaringan defisit akibat cedera harus diisi dan matriks untuk memfasilitasi
migrasi sel ke daerah luka akan terbentuk. Semua proses ini dicapai dengan
pembentukan formasi bekuan fibrin. Makrofag dan neutrofil kemudian akan
dikerahkan mengelilingi dan memenuhi daerah tersebut untuk membersihkan
kontamitan. Adanya sinyal dari sel menyebabkan fibroblas bermigrasi ke dasar
luka untuk membentuk kolagen, elastin, dan asam hialuronat untuk memperkokoh
extracellular matrix (ECM) baru. Sel-sel epitel akan membentuk ikatan pada
bantalan luka. Akhirnya, remodeling jaringan muncul dan bertahan hingga 12
bulan setelah trauma. Pembentukan bekas luka awal terjadi dalam 3 bulan pertama
setelah cedera. Bekas luka akan menebal dan kaku. Ketika matang, menjadi lebih
lentur karena reorganisasi kolagen dan serat elastin terjadi.11,12

Plika vokalis manusia adalah unik karena mengalami trauma mekanis


yang hampir terus-menerus akibat fonasi yang terjadi setiap hari. Diperkirakan
bahwa jaringan plika vokalis telah mengembangkan fungsi-fungsi khusus untuk
menahan tekanan fonasi yang konstan. Baru-baru ini, banyak penelitian telah
dilakukan untuk mengkarakterisasi fungsi-fungsi ini. Karena sulit untuk
mempelajari proses-proses in vivo pada manusia, model hewan telah
dikembangkan untuk mempelajari efek fonotrauma pada fisiologi seluler dari pita
suara.11,12

Perubahan pada ECM dari lamina propria memiliki dampak besar pada
suara. Lamina propria dipertahankan oleh degradasi konstan dan sintesis
komponen ECM. Ekspresi gen dari berbagai protein lamina propria, termasuk
matrix metalloproteinases (MMPs) dan sitokin, sedang dieksplorasi. MMP adalah
enzim yang berperan penting dalam penyembuhan luka dengan bertindak
melawan komponen ECM tertentu. Dua MMP penting adalah MMP-1 dan MMP-
9.MMP-1 adalah kolagenase interstitial yang mengkatalisasi langkah pertama
dalam degradasi kolagen fibrilar tipe I dan III. MMP-9 adalah kolagenase dan
gelatinase yang memecah kolagen dan gelatin membran basal. MMP sangat
penting untuk menjaga homeostasis ECM.11,12

Sitokin adalah protein pemberi sinyal sel yang menarik sel-sel inflamasi ke
area cedera untuk memulai fase inflamasi dari tahapan penyembuhan luka. Sitokin
peradangan interleukin-1 (IL-1) dan faktor nekrosis tumor α (TNF-α) dan pro
-cytokine cyclooxygenase-2 (COX-2) berperan dalam inisiasi respon inflamasi
pada plika vokalis. IL-1 diaktivasi oleh makrofag, neutrofil, dan fibroblas dan
menginduksi sintesis prokolagen tipe I dan III. TNF-α diproduksi terutama oleh
makrofag dan merangsang fagositosis kontaminan di dasar luka. COX-2 adalah
enzim yang tidak terdeteksi di sebagian besar jaringan normal, tetapi menjadi
berlimpah dalam makrofag teraktivasi selama proses inflamasi untuk merangsang
konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin.11,12

Gambar 6. Skema proses penyembuhan pita laring

STENOSIS LARING

DEFINISI
Stenosis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang
menyatakan adanya penyempitan dalam sebuah rongga. Stenosis laring adalah
penyempitan bawaan atau didapat pada laring yang menyebabkan gangguan jalan
nafas. Penyebab yang didapat mungkin karena intubasi endotrakeal, trauma, luka
bakar, peradangan, neoplasma, gangguan autoimun, dan penyakit pembuluh darah
kolagen. Bagian yang paling sering terkena adalah daerah subglotis. Pada anak-
anak, stenosis kongenital merupakan jenis stenosis yang sering terjadi. Pada orang
dewasa, stenosis laring biasanya terjadi akibat trauma iatrogenik, infeksi, benda
asing, dan zat kaustik.1,2,10

KEKERAPAN
Stenosis laring paling banyak ditemukan pada usia 26-34 tahun. Stenosis
laring paska intubasi sering muncul pada pertengahan abad ke-20 karena adanya
peningkatan kasus intubasi endotrakeal jangka panjang. Diketahui 63% dari
cedera laring akibat intubasi bersifat reversibel dalam 30 hari. Diperkirakan
terdapat 4.9 kasus stenosis laring paska intubasi per satu juta penduduk pertahun
pada populasi umum. Kejadian stenosis paska intubasi berkisar antara 10-19%
namun yang bergejala biasanya kurang dari 1%. Angka kejadian stenosis
subglotis paska intubasi lama pada dewasa diperkirakan berkisar antara 3-8%.
Dalam penelitian prospektif White menyatakan bahwa derajat cedera berkorelasi
dengan pola dan lama intubasi. Pasien yang diintubasi selama dua sampai lima
hari memiliki insiden stenosis kronik hingga 2%, pasien yang diintubasi selama
lima sampai sepuluh hari memiliki insiden 4-5% dan pasien yang diintubasi lebih
dari 10 hari memiliki insiden 12-14%. Di Indonesia belum terdapat data yang
mempublikasikan mengenai gambaran laring paska intubasi. Di RSMH sendiri,
selama tahun 2017 - 2019, ditemukan 5 kasus stenosis subglotis paska intubasi
lama.1,6,7

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Etiologi stenosis laring sangat bervariasi. Secara umum, kausa stenosis
laring tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu stenosis primer dan stenosis
sekunder. Stenosis primer terjadi jika dinding laring atau trakea terlibat suatu
penyakit. Penyebab stenosis primer adalah latrogenik, post trauma, post infeksi
seperti Tuberculosis (TB), skleroma sifilis dan dipteria, penyakit kelainan pada
jaringan ikat seperti Wegener granulomatosis dan polikondritis yang berulang,
pemfigus sikatrikans, epidermolisis bulosa, amiloidosis atau sarkoidosis. Stenosis
sekunder disebabkan oleh penyakit tiroid, hipertropi timus, adanya tumor atau
kista pada daerah leher dan mediastinum, abses retrotrakea dan cold abses. Pada
pasien dewasa, terjadinya stenosis laringotrakea dapat disebabkan oleh trauma,
penyakit infeksi, neoplasma tipe jinak maupun ganas, kelainan kolagen pembuluh
darah, dan idiopatik. 32
Trauma
Stenosis laringotrakeal pada pasien dewasa akibat trauma dibedakan
menjadi trauma eksternal seperti trauma tumpul leher, penetrasi luka pada laring,
radioterapi, luka bakar pada endotrakeal (baik oleh termal maupun kimia), trauma
internal, intubasi endotrakeal yang lama, trakeostomi dan tindakan operasi.
Penyebab yang paling sering adalah cedera paska intubasi. Penyebab ini
dipengaruhi oleh lamanya waktu intubasi, ukuran diameter tabung, tekanan dan
gesekan tabung, intubasi berulang, dan reaksi benda asing terhadap tabung.
Intubasi endotrakeal dapat menyebabkan kerusakan mukosa melalui nekrosis
akibat tekanan dan cedera langsung dari balon atau tabung endotrakeal. Ulserasi
pada mukosa juga dapat menyebabkan endapan kolagen, fibrosis dan jaringan
parut. 32
Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi seperti difteria, sifilis, TB, penyakit lepra, sarkoidosis,
skleroma, histoplasmosis akibat jamur dapat menyebabkan eritem dan edema,
yang kemudian berkembang menjadi kondritis, nekrosis dan jaringan parut
sehingga menyebabkan stenosis laring. Pada TB terjadi inflamasi granulomatosus
pada regio periaritenoid dan interaritenoid, bagian posterior plika vokalis dan
epiglottis. Ulserasi mukosa dapat menyebabkan perikondritis dan kondritis yang
luas, proses penyembuhan dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan
stenosis. 32
Neoplasma dan Radiasi
Neoplasma dibagi menjadi ganas dan jinak. Tipe jinak ada yang bersifat
instrinsik seperti papilloma, kondroma, tumor kelejar liur minor dan yang bersifat
ekstrinsik seperti lesi tumor pada tiroid atau timus. Pada tipe ganas juga ada yang
bersifat instrinsik seperti skuamos sel karsinoma, sarkoma, limfoma, tumor
kelenjar liur dan yang bersifat ekstrinsik seperti lesi tumor tiroid. 32
Idiopatik
Idiopatik dimana tidak ada riwayat cedera laringotrakeal yang signifikan.
Tidak ada riwayat intubasi atau trakeostomi endotrakeal yang signifikan dalam 2
tahun presentasi. Tidak ada operasi tiroid atau operasi leher anterior besar. Tidak
ada radiasi leher. Tidak ada cedera kaustik atau termal pada kompleks
laringotrakeal. Tidak ada riwayat vaskulitis. Titer negatif untuk angiotensin-
converting enzyme (ACE) dan antinuclear cytoplasmic antibody (ANCA). Lesi
biasanya melibatkan subglotis.12
Autoimun
Penyakit sistemik dengan kelainan autoimun atau kelainan pembuluh
darah dimana pasien dengan klinis yang terdokumentasi bersama dengan
diagnosis serologis dan atau histologis. Wegener's (GPA), Relapsing
Polychondritis (RPC), Systemic Lupus Erythematous (SLE), Rheumatoid Arthritis
(RA), Epidermolysis Bullosa (EB), Sarkoidosis, atau Amiloidosis. Pada penyakit
tersebut terdapat manifestasi khas pada laring berupa stenosis subglotik 12

Faktor Risiko
Obesitas dan diabetes melitus adalah faktor risiko yang signifikan pada
kasus stenosis subglotis yang didapat. Obesitas dan diabetes adalah kondisi yang
dapat mengubah profil inflamasi dan dengan demikian berdampak pada
kemampuan pasien untuk sembuh setelah cedera. Tingginya kadar gula darah
pada penderita diabetes melitus menghambat proses penyembuhan luka. Hal ini
disebabkan karena sirkulasi darah terhambat akibat penyempitan dinding
pembuluh darah sehingga oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk
penyembuhan luka tidak sampai ke lokasi luka. Selain itu diabetes melitus
menyebabkan menurunnya sistem imunitas tubuh sehingga risiko infeksi pun
meningkat. Beberapa peneliti telah menetapkan bahwa diabetes melitus
merupakan faktor risiko independen untuk kegagalan dalam pengobatan stenosis
jalan napas. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan apakah
obesitas juga merupakan prediktor untuk dekanulasi trakeostomi yang gagal pada
stenosis subglotis. 8,9

KLASIFIKASI
Stenosis Supraglotik
Stenosis Supraglotik jarang terjadi dan sering kali merupakan penyakit
sekunder dari penyakit autoimun, trauma, radiasi, intubasi lama atau pajanan
kaustik sebelumya. Jaringan parut paska operasi, infeksi dan penyakit autoimun
dapat menyebabkan jaringan parut kontraktil pada lipatan ariepiglotika, aritenoid,
epiglotis, regio intraaritenoid, dan laring. Cedera servikal anterior yang
menyebabkan cedera kartilago tiroid dan atau hioid dapat menggeser epiglotis ke
posterior dan mempersempit regio supraglotik. Stenosis supraglotik dapat pula
idiopatik, namun sangat jarang terjadi. Gejala stenosis supraglotik dapat berupa
obsstruksi jalan napas, sesak, disfagia dan disfonia. 1,5,7
Stenosis supraglotis dapat terjadi akibat trakeostomi atau rekonstruksi
laringotrakeal. Hal ini diduga disebabkan oleh gangguan pada limfatik supraglotis
dan / atau relaksasi atau cedera otot-otot suspensori tulang hioid dan ligamentum
hioepiglotis. Gangguan tersebut dapat terjadi selama operasi laringotrakeal.
Stenosis supraglotis juga dapat dikaitkan dengan radiasi sinar eksternal atau
gangguan autoimun. Stenosis supraglotis baru-baru ini telah diidentifikasi sebagai
faktor risiko pada obstruksi jalan napas atas kronis setelah trakeotomi atau
rekonstruksi laringotrakeal. 6,14
Atresia supraglotis merupakan kegagalan paling parah dari pembentukan
embriologis laring supraglotis. Hal ini terkait dengan frekuensi tinggi anomali
kongenital lainnya, termasuk atresia esofagus, fistula trakeo-esofagal, anomali
saluran kemih, dan cacat anggota gerak, terutama yang melibatkan jari-jari. Jika
terdapat fistula trakeo-esofagal, ventilasi dapat terjadi melalui penghubung ini.
Trakeostomi sangat penting jika pasien ingin bertahan hidup. Mayoritas anak-
anak tidak didiagnosis dengan tepat waktu untuk intervensi yang tepat, dan
diagnosis baru ditegakkan post mortem. Atresia laring merupakan kegagalan total
untuk rekanalisasi lumen laring dan karenanya merupakan bentuk stenosis laring
yang paling parah. Fistula trakeo-esofagus dapat mempertahankan respirasi cukup
lama hingga dilakukan trakeostomi.6,14

Stenosis Glotik

Stenosis glotis adalah penyempitan laring pada tingkat glotis (yaitu pita
suara). Ini disebabkan oleh anyaman, fibrosis, atau jaringan parut dan paling
sering melibatkan glotis posterior. Penyebab stenosis yang paling umum adalah
intubasi endotrakeal yang berkepanjangan. Pada pasien yang diintubasi selama
lebih dari 10 hari, risiko menyebabkan stenosis glotis posterior setinggi 15%.
Peradangan, infeksi, trauma, dan penyebab bawaan dan iatrogenik juga
berkontribusi terhadap stenosis glotis. Dalam semua kasus, evaluasi pra operasi
harus mencakup laringoskopi langsung serta mikrolaringoskopi dengan penilaian
mobilitas pita suara. Pengobatan didasarkan pada etiologi stenosis dan ketebalan
segmen stenosis. 16

Stenosis glotis yang didapat diduga disebabkan oleh ulserasi mukosa


yang mengarah pada infeksi, perikondritis, dan nekrosis tulang rawan yang
menyebabkan pembentukan jaringan granulasi pada proses vokal tulang rawan
aritenoid. Selanjutnya, pembentukan parut dan fibrosis menyebabkan kontraksi
dan fiksasi aritenoid. Stenosis glotis yang didapat diduga disebabkan oleh ulserasi
mukosa yang mengarah pada infeksi, perikondritis, dan nekrosis tulang rawan
yang menyebabkan pembentukan jaringan granulasi pada proses vokal tulang
rawan aritenoid. Selanjutnya, pembentukan parut dan fibrosis menyebabkan
kontraksi dan fiksasi aritenoid. Dalam beberapa kasus, dengan presentasi yang
kompleks, di mana diagnosis tidak pasti, biopsi jaringan dan analisis histologis
diperlukan. Adanya abses nekrosis kaseosa atau vaskulitis membedakan berbagai
patologi seperti tuberkulosis, sarkoidosis atau granulomatosis Wegener.
Selanjutnya, tes mikrobiologis dapat menentukan keberadaan patogen.16
Stenosis glotik dapat dibagi menjadi tiga subtipe stenosis glotik anterior,
posterior, dan komplit. Stenosis glotik anterior meliputi laryngeal webs dapat
bersifat kongenital pada anak-anak dan neonatus, tetapi juga dapat terbentuk dari
cerdera pita suara akibat prosedur pembedahan, cedera kaustik, infeksi atau
keganasan. Stenosis glotik anterior dapat terbatas pada jaringan tipis antara plika
vokalis anterior atau dapat lebih luas dengan melibatkan plika ventrikularis
membentuk jaringan tebal. Gejala dapat berkisar dari suara serak hingga berbagai
derajat sesak karena keterbatasan abduksi. Pengobatan stenosis glotik anterior
dapat menjadi tantangan. Aspek teknis perawatan harus fokus pada dua komponen
yaitu pembagian stenosis dan pencegahan kekambuhan stenosis (restenosis). Web
lysis sederhana dengan teknik dingin atau laser dapat efektif tetapi merniliki level
kekambuhan yang tinggi.1,15

Stenosis glotik posterior biasanya diakibatkan cedera intubasi, manipulasi


bedah pada komisura posterior yang terlalu berlebihan atau berkaitan dengan
jaringan paska infeksi. Diagnosis dapat menjadi sulit karena jaringan parut tidak
selalu mudah untuk dilihat serta tanda dan gejala dapat menyerupai obstruksi jalan
napas pada kelumpuhan pita suara bilateral. Fiksasi dan ankilosis pada sendi
krikoaritenoid biasanya hanya dapat ditentukan dengan palpasi langsung dalam
anestesi umum. Sementara temuan khas pada stenosis glotik posterior adalah
abduksi yang jelek, steniosis glotik posterior juga dapat ditandai dengan adduksi
yang buruk akibat jaringan parut.1,15

Stenosis glotik komplit terbentuk dari trauma laring yang parah atau infeksi.
Saat jalan napas aman, laring dapat di rekanulasi dari kedua sisi, dari atas dan
bawah glotis jika memungkinkan. Sebagai alternatif pendekatan laryngofissure
dapat dilalaukan dan regio stenosis dapat dilakukan graft, dengan mukosa atau
kulit dikuti dengan pemasangan stent. 1,15

Stenosis Subglotik dan Stenosis Trakea


Stenosis subglotis ada 2 yaitu kongenital dan didapat. Stenosis sublotis
kongenital merupakan cacat lahir yang disebabkan oleh rekanalisasi tidak lengkap
tabung laringotracheal yang merupakan embrologi dari laring selama bulan ketiga
kehamilan sehingga menyebabkan berbagai tingkat stenosis subglotis bawaan .
Stenosis subglotis kongenital didapatkan dari lahir atau pada periode neonatal,
atau dalam beberapa minggu pertama atau bulan setelah lahir dimana stenosis
terjadi tanpa adanya riwayat intubasi, trauma laring, atau kompresi ekstrinsik
seperti malformasi vaskular yang bisa disebabkan karena lengkungan aorta ganda.
3,17

Stenosis subglotis kongenital dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu


karena kelainan membran (hiperplasia jaringan fibrosa, hiperplasia kelenjar
submukosa, dan granulasi jaringan) dan kelainan bentuk tulang rawan krikoid
(ukuran yang kecil, bentuk elips, lamina anterior dan posterior berukuran besar,
dan pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam lumen
krikoid).3,17

Gambar 7. Stenosis subglotis dibandingkan dengan subglotis normal

Stenosis subglotis yang didapat ini disebabkan karena intubasi, trauma


laring, infeksi, GERD, dan penyakit inflamasi. Stenosis subglotis didapat terjadi
karena pemakaian intubasi endotrakeal yang berkepanjangan sehingga
meyebabkan trauma pada struktur subglotis sekunder karena tekanan antara
kartilago aritenoid. Intubasi menyebabkan cedera di subglotis karena cincin
kartilaginosa atau dapat menyebabkan cedera distal dalam trakea. Tekanan dan
atau gerakan dari tabung terhadap kerangka tulang rawan dapat menyebabkan
iskemik dan nekrosis.15
Subglotik berada di inferior pita suara dan meliputi kartilago krikoid, cincin
kartilago. Pada dewasa, trakea berukuran 11 sampai 14 cm dengan diatneter 1,6
sampai 2,4 cm. Pada potongan axial tampak berbentuk huruf D. Terdiri dari
serangkaian cincin kartilago trakea yang berbentuk huruf C, jaringan fibrosa dan
otot polos. Stenosis subglotik paling sering dikaitkan dengan cedera intubasi,
stenosis subglotik dan stenosis trakea juga dikaitkan dengan Wegener'S, cedera
iatrogenik pada trakeotomi, dan stenosis subglotik idiopatik. Gejala dapat
beragam dari suara serak yang halus sampai sesak berat terutama saat aktivitas.
Penampakan stenosis dapat sangat bervariasi: bisa terdiri dari jaringan fibrosa
tipis yang membentuk stenosis, segmen yang panjang dan tebal, atau berbentuk
sepeti pembuka botol. 1,15,16,17

DERAJAT KEPARAHAN
Terdapat berbagai sistem pembagian derajat stenosis laring. Derajat stenosis
subglotik Cotton-Meyer pada awalnya dikembangkan untuk stenosis subglotik,
saat ini telah menjadi sistem pembagian derajat yang paling banyak digunakan.
Pembagian derajat stenosis Cotton-Meyer berdasarkan patensi lumen. Sistem
pembagian derajat McCaffrey berdasarkan lokasi dan luas area yang terlibat
berguna untuk diagnosa dan rencana terapi. Sistem pembagian derajat McCafivey
juga bermanfaat untuk menentukan prognosa. 1,6

Menurut Myer-Cotton
Stenosis subglotis menurut Myer-Cotton dinilai berdasarkan ukuran ETT
tingkat obstruksinya dibagi menjadi 4 yaitu kelas 1 dimana tingkat obstruksi <
50%; kelas 2 dimana obstruksi 51%-70%; kelas 3 dimana obstruksi 71%-99%;
kelas 4 dimana tidak ada lumen atau stenosis komplet (obstruksi 100%).21,32
Gambar 8. Stadium stenosis subglotis menurut Myer Cotton21

Menurut McCaffrey
McCaffrey pada tahun 1992 mengemukakan 4 derajat keparahan stenosis
yang dapat diterapkan pada orang dewasa, yaitu lesi derajat 1 adalah lesi yang
terbatas pada subglotis atau terbatas pada trakea, yang kurang dari 1,0 cm. Lesi
derajat 2 adalah stenosis subglotis yang lebih panjang dari 1,0 cm yang terbatas
dalam cincin krikoid dan meluas ke glotis atau trakea. Lesi derajat 3 adalah
stenosis subglotis yang meluas ke trakea atas, tetapi tidak melibatkan glotis. Lesi
derajat 4 melibatkan glotis secara luas, dengan fiksasi atau kelumpuhan dari satu
atau kedua pita suara. 21,32
21
Gambar 9. Derajat keparahan stenosis menurut Mc Affrey.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding stenosis glotis adalah kelumpuhan pita suara bilateral.
Hal ini didasari memiliki presentasi yang sama pada kedua kondisi tersebut dan
sifatnya yang tampak serupa dalam kondisi anestesi total. Pemeriksaan
elektromiografi, nasoendoskopi fleksibel dan pemeriksaan di bawah anestesi
umum dapat membantu membedakan keduanya. 4,15
Diagnosis banding lain meliputi kelompok keganasan (karsinoma laring,
esofagus, tiroid dan limfoma Hodgkin); amiloidosis trakeobronkial; polikondritis
atrofi dan relaps; stenosis laringotrakea idiopatik; patologi granulomatosa seperti
tuberkulosis, granulomatosis Wegener, atau sarkoidosis; mukopolisakaridosis;
Sindrom Sjogren; dan saber sheath trachea.23 Beberapa ahli juga
mempertimbangkan papillomatosis pernapasan. Diagnosis banding stenosis
subglotis meliputi laringomalasia, laryngeal web, kista kongenital, dan
hemangioma.4,15
Laringomalasia merupakan kelainan laring kongenital yang paling sering
ditemukan. Pada stadium awal ditemukan epiglotis lemah, sehingga pada waktu
inspirasi epiglotis tertarik ke bawah dan menutup rima glotis. Dengan demikian
bila pasien bernafas, nafasnya berbunyi (stridor). Stridor merupakan gejala awal,
dapat menetap dan mungkin pula hilang timbul. Ini disebabkan arena lemahnya
rangka laring. Tanda sumbatan jalan nafas dapat terlihat dengan adanya cekungan
(retraksi) di daerah suprasternal, epigastrium, interkostal dan supraklavikular.4,15
Kista sering tumbuh dipangkal lidah atau di plika ventrikularis. Untuk
penanggulangannya adalah dengan mengangkat kista itu dengan bedah mikro
laring. 4,15
Hemangioma biasanya timbul di daerah subglotis. Sering pula disertai
dengan hemangioma di tempat lain, seperti di leher. Gejalanya adalah terdapat
hemoptisis dan bila tumor itu besar terdapat juga gejala sumbatan laring. 4,15

DIAGNOSIS
Semua pasien yang datang harus dilakukan anamnesis secara lengkap,
pemeriksaan fisik, nasopharingolaringoskopi dan pemeriksaan penunjang lainnya
untuk menegakkan diagnosis. Dari anamnesis biasanya ditemukan keluhan-
keluhan pasien suara serak, dispneu (mungkin saat beraktifitas atau dengan
istirahat, tergantung pada tingkat keparahan stenosis), stridor, retraksi di
suprasternal, epigastrium, interkostal, serta subklavikula. Sianosis dan apneu
ditemukan pada stadium yang lebih berat sebagai akibat sumbatan jalan nafas,
sehingga mungkin juga terjadi gagal pernafasanan (respiratory distress).2,17
Anamnesa

Komponen paling penting dalam menilai stenosis adalah riwayat yang


mencakup semua faktor risiko yang berhubungan dengan stenosi. Anamnesa yang
akurat mengenai riwayat intubasi dan sumber trauma dapat mengarah pada
etiologi. Pada kasus dimana tidak terdapat trauma sebelumnya, pertimbangkan
adanya riwayat infeksi, refluks laringofaringeal, penyakit autoimun, dan penyakit
sistemik. Pasien dengan stenosis laring dapat memiliki keluhan nafas yang
memendek, sesak saat beraktifitas, stridor, suara serak, kesulian menelan, aspirasi,
kesulitan untuk membersihkan sekret jalan napas, atau kombinasi dari gejala dan
tanda tersebut. Meskipun gejala pada jalan napas merupakan fokus utama,
terdapat juga penurunan subjektif dan objektif pada kualitas vokal pasien dengan
stenosis laring.17,18

Anamnesa juga harus mencakup perincian tentang kecepatan perkembangan


gejala dan efek dari inflamasi jalan napas seperti infeksi saluran pernapasan atas.
Pada pasien yang merupakan kandidat operasi, pertimbangan khusus harus
diberikan pada proses yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka seperti
diabetes melitus, kelainan kolagen, kelainan vaskular, riwayat merokok, dan
konsumsi alkohol. Pasien dapat di follow up dari waktu ke waktu berdasarkan
gejala subjektif dar pemapasan. Penilaian subjektif terhadap sesak saat istirahat
atau saat aktivitas dapat bermanfaat sebagai indikator klinis untuk perlunya
intervensi. Kecepatan kambuhnya gejala juga dapat membantu menentukan
urgensi intervensi.1,6,7,9

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang terperinci dan menyeluruh sangat penting untuk
mendiagnosa stenosis laring. Stridor, tanda-tanda distress pemapasan, dan
disfonia harus diperhatikan. Leher harus diperiksa adakah tanda trauma, bekas
luka pembedahan, atau massa. Pemeriksaan fisik dimulai dengan observasi yang
cermat pada pemapasan dangkal dan dalam. Adanya stridor menandakan obstruksi
dan dapat menentukan level obstruksi. Stridor inspiratori dengan nada rendah
menunjukkan obstruksi supraglotik. Stridor nada tinggi atau bifasik menunjukkan
obstruksi laringeal, subglotis atau trakea. Pemakaian otot tambahan pernapasan,
retraksi suprasternal atau pernapasan yang cepat dapat menandakan impending
obstruksi dan membutuhkan intervensi baik dengan intubasi atau
trakeotomi.1,2,7,19,20

Pemeriksaan Penunjang

Laringoskopi Fiberoptik Fleksibel

Di poliklinik, laringoskopi fiberoptik fleksibel sangat diperlukan untuk


mengevaluasi lokasi dan derajat stenosis, serta pergerakan pita suara. Pemeriksaan
menyeluruh difasilitasi oleh aplikasi anestesi topikal pada laringotrakea, yang
memungkinkan pemeriksaan terperinci pada supraglotis, glotis, subglotis.
Anestesi dapat diberikan melalui injeksi lidokain topikal melalui membran
krikotiroid atau melalui trans trakeal. Tindakan ini akan menyebabkan batuk yang
kuat sehingga obat anetesi yang diberikan akan masuk ke introitus laringeal.
Alternatif lain anestesi dapat diberikan melalui laringoskopi fleksibel, anestesi
dapat diteteskan langsung melalui plika vokalis. Pemeriksaan dinamik laring
sangat penting untuk memastikan tidak terdapat kelumpuhan pita suara yang dapat
menjadi sumber potensial obstruksi tambahan. Evaluasi pada inflamasi mukosa,
edema, eritema dan tanda-tanda refluks laringofaringeal harus diperhatikan.1,7,8

Pencitraan

Jika akses laringoskopi fleksibel terbatas, foto polos dapat membantu dalam
menggambarkan siluet jalan napas. Level dan panjang stenosis biasanya dapat
terlihat dengan foto polos, tetapi untuk informasi yang lebih rinci dapat
diidentifikasi dengan tomografi komputer. Tomografi komputer merupakan teknik
standar pencitraan untuk memastikan integritas kerangka kartilago dan
mengevaluasi sendi krikoaritenoid. Potongan tipis non kontras CT sangat
membantu dalam menggambarkan segmen stenosis jalan napas atau kompresi
ekstraluminal dari tumor atau pernbuluh darah aberrant. CT scan resolusi tinggi
pada leher dengan ketebalan 1 mm (atau lebih tipis) sangat membantu dalam
menentukan lokasi dan luas stenosis, Derajat dan panjang stenosis dapat pula
dinilai dari CT scan. CT scan juga membantu pada kasus trauma laring eksternal
untuk menentukan lokasi dan sifat stuktur kartilaginosa seperti juga dalam
mendiagnosa neoplasma.1,8

Meskipun banyak manfaatnya, CT scan memiliki keterbatasan dalam


evaluasi jalan napas. Jika segmen stenosis tipis dan irisan CT scan tebal, segmen
steosis yang tipis dapat terlewatkan pada pencitraan. Selain itu, jika dibandingkan
dengan endoskopi, CT scan secara signifikan kurang akurat dalam memprediksi
panjang segmen stenosis. Endoskopi kaku tetap alat yang paling dapat diandalkan
untuk secara akurat menilai panjang, luas, dan lokasi stenosis sebelum
operasi.1,6,7,15

Modalitas pencitraan lainnya yaitu magnetic resonance imaging (MRI) dan


ultrasonografi. MRI sangat berguna dalam mengevaluasi luas stenosis
laringotrakeal dan tidak melibatkan paparan radiasi. MRI memungkinkan evaluasi
potongan sagital dan koronal, yang mungkin berguna dalam merencanakan
pengobatan. Namun, MRI memiliki batasan di mana pasien harus berbaring diam
dalam waktu yang lama, yang mana sulit ditoleransi oleh anak-anak.
Ultrasonografi dapat memberikan metode yang nyaman, dapat ditoleransi dengan
baik, non-invasif dalam menilai diameter saluran napas subglotis.7,15

Pemeriksaan Fungsi Menelan

Banyak tindakan bedah untuk pengobatan stenosis dapat memperburuk


fungsi menelan dan aspirasi. Setiap pasien dengan kesulitan menelan atau dengan
gejala aspirasi harus menjalani pemeriksaan fungsi menelan sebelum menjalani
intervensi bedah yang dapat memperburuk fungsi menelan. Modified barium
swallow (MBS) atau flexible endoscopic evahuation of swallowing (FEES) adalah
alat yang tepat untuk melakukan evaluasi tersebut.6,8

Pemeriksaan Fisiologis Paru

Penggunaan tes objektif fisiologis pada jalan napas dapat bermanfaat. Flow
volume loops (FVLs) merupakan metode standar untuk menilai karakteristik
aliran dan volume jalan napas bagian atas dengan menentukan kapasitas vital
terhadap laju aliran. Berdasarkan FVLs, obstruksi jalan napas dapat dibedakan
menjadi intratorak versus ekstratorak dan obstruksi terfiksir versus mobile
obstruksi. Dengan obstruksi terfiksir, terdapat laju aliran yang tinggi pada inhalasi
dan ekshalasi sebagaimana pada obstruksi mobile ekstratorakik yang memiliki
aliran yang tinggi pada inspirasi, dan obstruksi mobile intratorakik dengan aliran
tinggi pada ekshalasi. Pemeriksaan FVLs memiliki beberapa keterbatasan,
pemeriksaan ini merupakan instrumen kualitatif dalam menentukan obstruksi tapi
tidak menunjukkan korelasi antara derajat obstruksi jalan napas dan beratnya
gejala pernapasan.1,8

Endoskopi Operatif

Pemeriksaan laringoskopi direk kaku ditambah dengan penggunaan lensa


endoskopi pada pasien dalam anestesi umum melengkapi pemeriksaan di
poliklinik. Laringoskopi direk operatif merupakan bagian terintegrasi dalam
mengevaluasi seluruh derajat stenosis jalan napas. Laringoskopi direk kaku
memungkinkan evaluasi gerakan pasif dari aritenoid dan pemeriksaan
sirkumferensial subglotis dan memberikan gambaran mengenai kekakuan jaringan
parut. Metode endoskopi menilai derajat dan keparahan stenosis, serta monitoring
keberhasilan pengobatan. Tim bedah harus menyiapkan kemungkinan trakeotomi
jika diperlukan, dianjurkan pada atau tepat dibawah level stenosis untuk
membatasi perluasan cedera jalan napas tambahan. Informasi diagnostik yang
didapat melalui endoskopi harus mencakup semua level, panjang dan tingkat
keparahan stenosis, serta mobilitas dari sendi krikoaritenoid. Panjang stenosis,
jaringan granulasi, dan ketebalan stenosis sangat penting dalam menentukan
keputusan terapi. Biopsi untuk pemeriksaan histopatologi atau mikrobiologi dapat
dilakukan jika dicurigai adanya neoplasma, infeksi, atau inflamasi.1,7,8

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Nonoperatif

Penatalaksanaan nonoperatif merupakan komponen penting dari


penatalaksanaan jangka panjang pada pasien stenosis, meliputi tindakan
pencegahan kekambuhan stenosis atau keterlambatan intervensi dengan
penatalaksanaan medis. Tindakan pencegahan meliputi kontrol pada refluks cairan
asam lambung, pengobatan penyakit reumatologi dan menghindari iritan kronik
yang dapat menimbulkan respon inflamasi. Pada pasien yang menjalani operasi
dengan pemakaian intubasi endotrakeal, penggunaan pipa endotrakeal yang kecil
mengurangi insiden terjadinya stenosis akibat intubasi pada pasien yang
membutuhkan intubasi endotrakeal atau trakeostomi, penggunaan tekanan darah
pada balon dan menjaga tekanan kurang dari 30 mmHg dapat mengurangi
terjadinya stenosis. Selain itu penggunaan konektor dan perangkat pendukung
pipa endotrakeal yang ringan telah terbukti efektif mengurangi kejadian stenosis
akibat intubasi dan trakeostomi pada kasus pasien yang membutuhkan ventilasi
mekanik. 23,24

Bila pasien menunjukkan gejala stenosis, suplementasi oksigen,


humidifikasi udara, pemberian steroid sistemik dan antibiotik dapat mengatasi
gejala akut stenosis. Pada pasien dengan sumbatan berat yang tidak dapat
ditatalaksana dengan dilatasi atau reseksi atau merupakan gejala dan eksaserbasi
inflamasi seperti infeksi saluran napas atas, penggunaan heliox dapat bermanfaat
dalam menghindari intubasi yang secara teoritis berpotensi memperberat
peradangan dan memperberat stenosis.23,24

Penatalaksanaan dengan Endoskopi


Penatalaksamaan endoskopi merupakan pengobatan stenosis laring yang
utama. Prosedur ini meliputi injeksi steroid, insisi laser pada stenosis, dilatasi, dan
pemberian mitomycin-C. Banyak ahli bedah melakukan kombinasi tindakan
walapun tidak melakukan semua prosedur di atas dalam mengobati pasien dengan
stenosis jalan napas. Penatalaksanaan endoskopi, pada sebagian besar pasien dapat
menjadi penatalaksanaan bedah awal yang ditawarkan selama penatalaksanaan
tidak menimbulkan kerusakan mukosa lebih lanjut.25

Dilatasi
Prinsip dilatasi endoskopik adalah mempersiapkan secara maksimal mukosa
laring dan trauma minimal selama prosedur. Evaluasi lokasi dan derajat stenosis,
area interaritenoid untuk stenosis dan posisi pita suara adalah wajib. Pelaksanaan
dilatasi dapat menggunakan bronkoskopi rigid, dilator trakea Jackson, dan dilator
balon. Namun demikian, belum terdapat data yang jelas mengenai tipe yang
menghasilkan efek paling tahan tama.26,29
Dilatasi paling berhasil bila digunakan pada kasus stenosis kongenital
dengan web yang tipis. Stenosis didapat biasanya lebih berat yang tidak cukup
ditatalaksana dengan dilatasi yang ditandai oleh hialinisasi pada jaringan ikat dan
kolagen yang mengakibatkan kakunya jaringan parut. Tingkat keberhasilan
dilatasi meningkat ketika dilakukan pada jaringan parut yang lembut atau
immature atau ketebalan yang minimal dan ketika teknik ini digunakan sebagai
tambahan terhadap teknik lain. Kekurangan terbesar teknik ini adalah keperluan
pengulangan prosedur pada beberapa pasien. Secara keseluruhan, sekitar tiga
perempat pasien yang ditatalaksana dengan dilatasi sebagai terapi primer akan
mengalami kekambuhan stenosis dan membutuhkan intervensi lanjutan.23,30,31
Paparan transoral dari bekas luka laring menggunakan endoskoskopi kaku
diperlukan untuk dilatasi balon. Balon udara dilewatkan melalui endoskopi kaku,
balon kemudian dikembangkan saat ditempatkan di tengah-tengah striktur. Ketika
balon mengembang, energi ditransmisikan dari daerah yang paling lemah. Balon
dikembangkan berkala dan kita mengamati kemajuan dilatasinya. Periode evaluasi
dilakukan selama sekitar 4 menit terjadi antara interval dilatasi balon. Pasien
dengan stenosis fibroinflamasi memerlukan prosedur yang lebih sedikit daripada
stenosis dewasa. 24–27
Gambar 10. Dilatasi balon

Kekurangan dari tindakan ini adalah kemungkinan tingkat


kekambuhannya atau restenosis, dan operasi berulang yang lebih tinggi. Pada
stenosis paska trakeostomi, penyempitan sering terjadi pada sisi anterior,
menyisakan bagian membran posterior jalan napas sehingga pelebaran balon
seringkali tidak efektif. Komplikasi yang dapat terjadi selama dilatasi balon
adalah perforasi, dinding pecah, edema yang menyebabkan obstruksi jalan napas
paska operasi, overtreatment dan restenosis, perdarahan paska operasi, pneumonia
aspirasi, pneumotoraks. 24–27

Injeksi Steroid
Kortikosteroid mencegah penyerapan intraseluler dan menstabilkan
membran sel, sehingga mencegah pelepasan lisosom yang menghasilkan
pembengkakan dan destruksi jaringan. Kortikosteroid juga menghambat sintesis
kolagen, meningkatkan kerusakan kolagen, dan mengurangi mitosis dan
transportasi aktif fibroblas. Steroid sebagian besar diindikasikan untuk mengobati
penyakit radang akut yang melibatkan laring, terutama pada edema laring yang
mengancam saluran nafas. Secara klinis, penggunaan steroid tidak terbukti
bermanfaat, namun injeksi intralesi pada stenosis laring dan pada pasien yang
menjalani terapi dilatasi, dapat bermanfaat untuk melunakkan jaringan parut dan
sinekia. Hal ini didukung data dari pasien stenosis dengan ketebalan sekitar 1
cm.30,32
Endoskopi Laser Microsurgery
Strong dan Jako pertama kali melakukan bedah laser laring dengan
pendekatan endoskopi pada awal tahun 1970. Setelah itu sejumlah kelompok
kemudian menggunakan laser CO2 untuk mengobati stenosis jalan napas. Simpson
dan kawan-kawan, secara serial dari 60 pasien dengan stenosis jalan napas atas,
49 diantaranya yang memiliki stenosis laringeal, tercatat tingkat kegagalan dari
penatalaksanaan endoskopi lebih tinggi pada pasien dengan stenosis
sirkumferensial, stenosis lebih besar dari 1 cm pada dimensi vertikal,
trakeomalasia atau hilangrnya kartilago, stenosis glotik posterior, dan riwayat
infeksi bakterial sebelumnya yang terkait dengan trakeostomi. Valdez dan
Shapshay juga mencatat bahwa panjang stenosis lebih dari 1 cm merupakan faktor
yang paling penting dalam memprediksi kegagalan penatalaksanaan
endoskopi.23,24,33
Laser CO2 digunakan untuk terapi pada stenosis jalan napas atas.
Keuntungannya meliputi memperlambat pembentukan dan pematangan kolagen
pada luka yang memungkinkan reepitelisasi sebelum pembentukan jaringan parut
dan memperkecil cedera jaringan yang lebih dalam. Laser memungkinkan kontrol
pada pelepasan jaringan dan memungkinkan hemostasis dengan tujuan
mempertahankan mukosa yang dapat digunakan untuk perbaikan. Kelemahan
utama dari laser CO2 adalah biaya yang cukup tinggi, risiko luka bakar saluran
napas dan bahaya laser bagi pembedah, yaitu sulit untuk mengontrol cedera termal
yang dapat mengakibatkan edema perioperatif dan jaringan parut paska operasi
pada pita suara.24,30
Mitomycin-C
Mitomycin-C merupakan agen antiproliferasi dan anti neoplastik yang
dihasilkan oleh Streptomyces caespitosus yang menyebabkan DNA cross-linking,
menekan respon peradangan, dan mencegah pembentukan jaringan parut dengan
menghambat proliferasi fibroblas. Eliashar dan kawan-kawan menyelidiki
penggunaan topikal Mitomycin-C untuk mencegah stenosis setelah cedera akut
pada laring hewan anjing. Mitomycin-C merupakan terapi alternative dalam
mengurangi insiden kejadian stenosis laring dari 85% menjadi 27%.23,25,30,34
Rahbar dan kawan-kawan melaporkan penggunaan Mitomycin-C sebagai
terapi tambahan bedah laser laring dengan endoskopi pada stenosis laring.
Sembilan dari 12 pasien dengan stenosis subglotik aau stenosis trakea (atau
keduanya) telah berhasil didekanulasi dengan teknik ini. Simpson dan James, pada
penelitian retrospektif, mempelajari 36 pasien dengan stenosis jalan napas atas
yang menjalani 67 prosedur selama periode enam tahun. Pasien menjalani insisi
laser dengan dilatasi, dan disamping itu menjalani aplikasi topikal dengan
mitomycin-C. Pasien dipantau selama interval dua sampai dengan empat bulan
dan dilakukan evaluasi pada keluhan sesak dan stridor. Tujuh pasien yang
menjalani insisi laser CO2 yang juga dilakukan dilatasi memiliki rata-rata 4,9
bulan bebas gejala, 35 pasien yang menjalani aplikasi mitomycin-C memiliki 23,2
bulan bebas gejala. Demikian pula pada penelitian retrospektif lainnya dari
Mitomycin-C topikal, pasien yang menjalani terapi dengan Mitomycin-C sebagai
terapi tambahan setelah tindakan bedah mikro laring dengan endoskopi secara
signifikan menunjukkan interval waktu bebas gejala yang lebih lama daripada
pasien yang hanya menjalani bedah mikro laring dengan endoskopi.23,32

Penatalaksanaan Bedah Terbuka


Sebagian besar operator akan melakukan dilatasi endoskopi sebagai
intervensi awal untuk stenosis subglotik dan stenosis trakea. Pada pasien yang
gagal dengan penatalaksanaan endoskopi, reseksi terbuka diindikasikan pada
banyak pasien. Terdapat sejumlah teknik bedah terbuka untuk penatalaksanaan
stenosis subgiotik.31

Reseksi Krikotrakeal
Reseksi krikotrakeal diindikasikan ketika terdapat jaringan parut
sirkumferensial di suglotik. Keseluruhan krikoid anterior, kartilago tiroid inferior
dan krikoid posteroinferior sampai ke sendi krikoaritenoid dapat dilakukan reseksi
jika diperlukan, namun dalam banyak kasus krikoid anterior merupakan satu-
satunya bagian dari kompleks laringeal yang diangkat. Pada stenosis subglotik
letak tinggi, seringkali reseksi dibutuhkan pada mukosa yang menutupi bagian
posteroinferior krikoid. Gejala jalan napas dapat mengalami perbaikan, namun
suara dapat menjadi buruk dikarenakan reseksi otot krikotiroid, yang
mengakibatkan perpanjangan pita suara dan peningkatan nada suara.30-32

Gambar 11. Langkah rekonstruksi laringotrakea dengan menggunakan kartilago kosta 32

Reseksi Trakea
Ketika leher di ekstensi sekitar satu pertiga trakea menjadi extrathoracic,
sehingga dapat dilakukan reseksi bedah pada trakea tanpa torakotomi. Untuk lesi
medial trakea, stermotomi parsial dapat meningkatkan pajanan pada pertengahan
trakea dan meningkatkan mobilisasi, walaupun hal ini tidak selalu dibuituhkan.
Untuk lesi distal trakea yang mendekati karina, sternotomi sangat penting
dilakukan. Reseksi dan anastomosis utama trakea pada dewasa dapat meliputi
lebih dari 50% panjang trakea atau 6 cm ketika prosedur pelepasan dilakukan.
Segmen yang lebih panjang harus ditatalaksana dengan stent atau metode
rekonstruksi lainnya. Prinsip-prinsip bedah untuk reseksi trakea adalah tension-
free clossure dan minimalisasi gangguan terhadap suplai darah, yang
menjelaskan batasan yang berhubungan dengan panjang reseksi dan luas diseksi

paratrakea.33,34

Gambar 12. Langkah reseksi trakea dan End-to-end anastomosis32


Reseksi trakea dilakukan untuk pasien dengan stenosis segmen panjang
atau kolaps total pada trakea kartilaginosa. Reseksi krikotrakeal adalah prosedur
yang membutuhkan pembuangan jaringan parut subglotis, kemudian membuat
anastomosis trakea sehat dengan laring sehat. Prosedur ini terdiri atas elevasi
perikondrium dari tulang rawan krikoid di bagian anterior untuk menghindari
cedera saraf berulang, pengangkatan jaringan stenosis subglotis, pengangkatan
jaringan lunak pada krikoid posterior. Fisura laring dapat dibuat untuk melebarkan
lumen dalam kotak laring, flap submukosa trakea pada perawatan stenosis
subglotik posterior, rekonstruksi penuh dengan end-to-end anastomosis. 24–27

Tracheal Stent
Pemasangan stent dapat menjadi cara yang efektif untuk mempertahankan
patensi jalan napas pada pasien dengan obstruksi subglotik atau trakea. Stent
sangat berguna pada pasien dengan prognosis jangka panjang yang buruk, pasien
yang telah gagal dilatasi dan perbaikan dengan bedah terbuka, pasien yang
memiliki segmen stenosis yang panjang, atau kurangnya dukungan kerangka jalan
napas. Tracheal stent juga sangat efektif dalam mengobati penyempitan jalan
napas akibat penekanan ekstra luminal oleh tumor. Stent memiliki dua bentuk
dasar yaitu silikon dan metal.32
Stent metalik, meskipun mudah dalam pemasangan, dapat menyatu ke
dalam mukosa dan dinding trakea. Stent yang menyatu dengan dinding trakea
mencegah migrasi dan proses mukosalisasi memungkinkan pembersihan
mukosiliar pada stent. Stent metal terkenal sulit untuk dilepas dan cenderung
membentuk jaringan granulasi. Mereka biasanya dipasang melalui bronkoskopi
fleksibel atau dengan bimbingan fluoroskopi sehingga mudah untuk disesuaikan
dengan dimensi jalan napas yang bervariasi, dan memiliki rasio diameter internal-
eksternal yang lebih tepat. Dalam ulasan literatur yang berkaitan dengan
penelitian stent metalik yang meliputi 497 pasien, 34 % pasien memiliki
komplikasi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah pembentukan jaringan
granulasi yang mewakili 27% dari komplikasi. Komplikasi lainnya termasuk
restenosis, migrasi, fraktur stent, erosi, pendarahan dan infeksi.32
Stent silikon telah digunakan secara efektif untuk trakea bagian distal dan
stenosis bronkial. Silikon relativ lembam, menghasilkan jaringan granulasi
minimal, dan mampu menyediakan struktur untuk mempertahankan patensi
terhadap jaringan parut atau kompresi eksternal. Stent silikon lebih mudah untuk
dipasang, digerakkan, dan dilepaskan jika dibandingkan dengan stent metalik, dan
dapat disesuaikan dengan panjang jalan napas. Kerugian dari stent silikon
meliputi kebutuhan anestesi umum untuk pemasangan dan terdapat kemungkinan
untuk bergeser. Pergeseran stent silikon telah berkurang dengan adanya bagian
eksternal pada bagian luar stent. Pada stenosis trakea dan subglotik letak tinggi,
khususnya pada kasus dengan berbagai derajat stenosis, T-tube silikon dapat
memberikan pilihan tambahan. T-tube dirancang dan dipopulerkan oleh
Montgomery pada tahun 1960, T-tube memiliki pipa superior dan inferior, yang
berfugsi sebagai stent trakea dan subglotik, serta pipa horisontal yang berfungsi
sebagai pipa trakeotomi. T-tube membutuhkan perawatan yang cermat oleh pasien
untuk menjaga pipa tetap bersih dan bebas dari pengerasan. Dapat terjadi
obstruksi karena udara yang dihirup masuk melalui pipa horizontal tidak
terhumidifikasi ketika tutup dibuka dan tidak terdapatnya kanul dalam. Jika terjadi
obstruksi pada pipa, dapat dilepaskan secara darurat oleh pasien. Sama halnya
seperti kanul trakeostomi, pipa ini membutuhkan anestesi umum dan tindakan di
kamar operasi untuk penggantian pipa.32

Gambar 13. Pemasangan sten trakea pada stenosis laring32

PENCEGAHAN
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya stenosis
subglotis diantaranya menghindari pemakaian endotrakeal tube yang terlalu lama
(>7 hari), mengatasi penyakit-penyakit yang yang dapat menimbulkan stenosis
subglotis sebagai komplikasi, seperti penyakit infeksi, penyakit inflamasi dan
GERD, dan penggunaan steroid bila terjadi proses inflamasi pada mukosa laring
untuk proses granulasi pada mukosa yang dapat menimbulkan stenosis
subglotis.18,19,21,28
Intubasi harus dilakukan dengan tabung endotrakeal yang berukuran tepat
(memungkinkan kebocoran udara antara 10 dan 30 cm H 2O) serta diutamakan
berbahan silikon polimer atau polivinil klorida sangat penting untuk
meminimalkan cedera subglotis. Pada anak-anak dengan sindrom Down harus
diintubasi dengan tabung endotrakeal dengan satu ukuran lebih kecil dari ukuran
sesuai usia sebagai akibat diameter saluran napas yang lebih kecil dan insiden
stenosis subglotis bawaan yang lebih tinggi. Menjaga stabilitas tabung
endotrakeal, mengurangi ekstubasi yang tidak terduga dan reintubasi darurat, dan
membatasi pertukaran tabung endotrakeal merupakan faktor-faktor penting dalam
pencegahan stenosis subglotis.29

PROGNOSIS
Stenosis laring memiliki berbagai faktor yang menentukan prognosis.
Trauma eksternal merupakan etiologi stenosis laring yang memiliki hasil paling
baik dibandingkan penyebab lainnya. Panjang area yang mengalami stenosis juga
dikaitkan dengan prognosis penyakit ini. Letak anatomis juga terkait dengan
prognosis stenosis laring, dimana stenosis supraglotis memiliki rasio rekurensi
yang tinggi dan mungkin memerlukan prosedur bedah berulang. Namun, stenosis
supraglotis memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan stenosis glotis dan
subglotis dengan keberhasilan terapi hingga 83%. 29-31
Tatalaksana pasien stenosis laring membutuhkan tim yang komprehensif.
Pemeriksaan penunjang preoperatif yang adekuat berperan dalam menentukan
prosedur yang tepat bagi pasien. Pasien dengan komorbiditas signifikan seperti
diabetes melitus memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi, sehingga diabetes
harus diatasi untuk mengurangi risiko komplikasi. Pada prinsipnya, pencegahan
adalah hal terpenting untuk dilaksanakan, terutama terkait dengan pencegahan
intubasi lama yang harus dilakukan penggantian dengan trakeostomi pada waktu
yang tepat. Pada pasien yang terlanjur mengalami kondisi ini, terapi harus segera
diberikan dengan pemberian glukokortikoid, pengobatan anti refluks, prosedur
seperti dilatasi stenosis, medialisasi vocal cord dan berbagai terapi terkait
rehabilitasi medik lain untuk meningkatkan hasil terapi.29-31

LAPORAN KASUS
Dilaporkan satu kasus seorang laki-laki E usia 28 tahun berasal dari luar
kota datang ke IGD RSMH Palembang pada tanggal 6 Maret 2019 dengan
keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak sejak 2 minggu yang lalu,
batuk berdahak ada, suara serak tidak ada, nyeri menelan tidak ada, sulit menelan
tidak ada. Keluhan hidung dan telinga disangkal. Pasien paska perawatan di ICU
bulan Desember 2018 selama 15 hari dikarenakan penurunan kesadaran akibat
penyakit gula darah, pasien dilakukan intubasi dan terpasang ETT selama 2
minggu. Riwayat sakit kencing manis diketahui sejak bulan Oktober 2018,
riwayat kencing manis dalam keluarga tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis dengan
tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik jantung dan paru
dalam batas normal. Dari pemeriksaan telinga dan hidung dalam batas normal.
Pada pemeriksan tenggorok didapatkan arkus faring simetris, uvula ditengah,
tampak edema dan hiperemis dinding faring posterior. Pada pemeriksaan regio
koli terdengar adanya wheezing tetapi tidak ada stridor. Pada pemeriksaan
laringoskopi indirek didapatkan tonsil lingual grade II, valekula tenang, epiglotis
terfiksir, aritenoid edema, sinus piriformis tenang, Gerakan plika vokalis dan plika
ventrikularis simetris kanan kiri.

A B

Gambar 14. A. Tampak epiglottis terfiksir, aritenoid edema, pita suara tenang,
B. Rontgen STL AP/ lat
Dari pemeriksaan laboratorium pada tanggal 6 Maret 2019 didapatkan nilai
HbA1c 9.2%, gula darah sewaktu 223 mg/dL. Dari pemeriksaan Rontgen toraks

didapatkan kesan kor dan pulmo dalam batas normal. Dari Rontgen STL AP/lat
didapatkan tampak penyempitan trakea setinggi C2-C3. Pasien didiagnosa dengan
SJNA grade I ec. suspek stenosis laring dengan DM tipe I dan pada tanggal 8
Maret 2019 dilakukan trakeostomi awake letak rendah dengan kanul trakeostomi
nomor 6. Paska trakeostomi terdapat komplikasi emfisema subkutis pada regio
koli dekstra dan sinistra, dan regio suprasternal. Pasien dirawat di ruang ICU
untuk regulasi gula darah. Paska operasi pasien mendapat terapi seftriakson 1gr
dua kali sehari intravena, n-asetil sistein per oral, perawatan kanul trakeostomi
dan masas daerah emfisema. Pada tanggal 12 Maret 2019 dilakukan pemeriksaan
CT scan laring didapatkan hasil kesan suspek edema soft tisue vestibulum laring
yang sedikit menyempitkan kolom udara.
Gambar 15. CT scan laring dengan kontras
Gambar 16. Kanul trakeostomi Tracoe

Pada tanggal 15 Maret 2019 pasien dilakukan laringoskopi direk


diagnostik dengan pendekatan endoskopi didapatkan stenosis subglotik (CM II)
dan dilakukan rekonstruksi laring dengan menggunakan metode dilatasi dan
rekanulasi menggunakan kanul Tracoe no 7. Paska operasi pasien mendapat terapi
sefepim 1gr tiga kali sehari intravena, n-asetil sistein per oral, mecobalamin
500mcg tiga kali sehari, dan perawatan kanul trakeostomi. Pasien di rawat di ICU
selama 6 hari post operasi. Pada tanggal 4 April pasien kontrol ke poliklinik
THTKL dan dilakukan pemeriksaan FOL. Hasil pemeriksaan FOL di dapatkan
tonsil lingual grade I, valekula tenang, epiglotis terfiksir, aritenoid tenang,
pergerakan plika vokalis dan plika ventrikularis si metris kanan dan kiri.
Pada tanggal 19 April 2019 pasien kontrol ke poliklinik THTKL dan
direncanakan tindakan laringoskopi direk diagnostik dengan pendekatan
endoskopi dan dekanulasi. Pasien dikonsulkan ke anestesi didapatkan kesan ASA
II dengan diabetes melitus dan setuju dilakukan tindakan dalam anestesi umum.
Intraoperasi dilakukan evaluasi di daerah laring didapatkan stenosis subglotis
(CM II), kemudian dilakukan rekonstruksi laring dengan cara dilatasi laring
menggunakan balon kateter dan kanul trakeostomi diganti sten laring. Paska
operasi pasien diterapi dengan seftriakson intravena, injeksi metal prednisolon
125 mg dua kali sehari intravena, omeprazole kapsul 20 mg dua kali sehari, asam
mefenamat tablet 500 mg tiga kali sehari, per oral, serta perawatan sten laring.

Gambar 17. T tube laring, tampak stenosis laring


Gambar 18. Intraoperative setelah dilakukan dilatasi laring dan pemasangan T tube laring

Pada tanggal 26 Juli 2019 pasien kembali direncanakan untuk di lakukan


evaluasi ulang dengan pendekatan laringoskopi direkta dengan endoskopi. Dari
hasil pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan tonsil lingual grade I, valekula
tenang, epiglotis tenang, aritenoid tenang, sinus piriformis tenang, pergerakan
plika vokalis dan plika ventrikularis simetris kanan kiri, posisi sten terpasang
baik. Pasien dikonsulkan ke anestesi didapatkan kesan ASA II dengan diabetes
melitus dan setuju dilakukan tindakan dalam anestesi umum. Intraoperasi
dilakukan evaluasi di daerah laring didapatkan stenosis laring grade II dan sten
laring tetap dipertahankan. Paska operasi pasien diterapi dengan seftriakson
intravena, ranitidin intravena, ketorolak intravena, n-asetil sistein per oral, serta
perawatan sten laring.

Gambar 19. Intraoperatif dilakukan dilatasi stenosis dengan balon kateter


Pada tanggal 11 Oktober 2019 pasien kembali di lakukan evaluasi ulang
dengan pendekatan laringoskopi direkta dengan endoskopi. Pasien dilakukan
rontgen STL Ap/lat dan didapatkan hasil terpasang trakeostomi setinggi C7-T1
dengan penyempitan volume udara setinggi C7, kalsifikasi ligamentum nuchae
posterior. Pasien dikonsulkan ke anestesi didapatkan kesan ASA II dengan
diabetes melitus dan setuju dilakukan tindakan dalam anestesi umum. Dari hasil
pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan tonsil lingual grade I, valekula
tenang, epiglotis tenang, aritenoid tenang, sinus piriformis tenang, pergerakan
plika vokalis dan plika ventrikularis simetris kanan kiri, posisi sten terpasang
baik. Intraoperasi dilakukan evaluasi di daerah laring tidak didapatkan stenosis
laring dan direncanakan pelepasan sten laring. Paska operasi pasien diterapi
dengan seftriakson intravena, metal prednisolone 125 mg injeksi iv dua kali
sehari, asam mefenamat 500 mg tiga kali sehari, lana keloid 1x1 tablet,
omeprazole 40 mg dua kali sehari, n-asetil sistein per oral.
Setelah 2 hari perawatan paska operasi, pasien dilakukan dekanulasi dan
repair stoma trakeostomi. Pada tanggal 6 November 2019 pasien datang ke
poliklinik THTKL kontrol, pasien tidak ada keluhan sesak nafas, tidak ada
keluhan suara serak, pasien dapat makan dan minum seperti biasa, jahitan pada
stoma baik dan kering.
Gambar 20. Intraoperatif tak tampak stenosis laring, tak tampak penyempitan trakea,
dilakukan dekanulasi dengan penjahitan stoma

Pada tanggal 12 November 2019 pasien kembali datang ke RSMH dengan


keluhan nafas terasa berat, batuk berdahak dan badan terasa lemas. Dari hasil
pemeriksaan fisik dan laringoskopi indirek, didapatkan dalam batas normal.
Pasien kemudian dilakukan evaluasi dengan endoskopi. Intraoperatif pasien
ditrakeostomi kembali dan dari pemeriksaan laringoskopi direk dengan
pendekatan endoskopi kembali didapatkan stenosis subglotis, kemudian dilakukan

dilatasi dengan pengembangan balon ETT. Paska operasi pasien diterapi dengan
seftriakson intravena, metil prednisolone 125 mg injeksi iv dua kali sehari,
omeprazole 20 mg injeksi dua kali sehari, injeksi novorapid 3x10 unit, injeksi
Levemir 1x10 unit.

Gambar 21. Intraoperatif tampak stenosis subglotik, glottis melebar setelah tindakan dilatasi

DISKUSI
Stenosis laring merupakan penyempitan jalan napas bagian atas, sebagian
atau lengkap, yang dapat mempengaruhi semua bagian laring. Bagian yang paling
sering terkena adalah daerah subglotis. Beberapa stenosis laring bisa bersifat
kongenital dan didapat. Stenosis laring biasanya terjadi akibat trauma iatrogenik,
infeksi, benda asing, dan zat kaustik. Diperkirakan 4,9 % kasus stenosis pasca
intubasi pada 1 juta kasus pertahunnya pada populasi umum. Diantara pasien yang
diintubasi, insidensi berkisar antara 1-11%, dan hanya 1-2% dengan stenosis berat
yang simptomatis.1,2
Dilaporkan satu kasus stenosis laring pada seorang laki-laki usia 28 tahun,
dengan diagnosis stenosis laring (CM II) dengan DM tipe I. Pasien datang dengan
keluhan utama sesak nafas yang semakin memberat sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit, disertai keluhan tambahan berupa batuk berdahak. Pasien ini
memiliki riwayat dirawat di ruang ICU pada bulan desember 2018 karena
penurunan kesadaran akibat diabetes melitus dan dilakukan pemasangan ventilator
selama 2 minggu. Berdasarkan kepustakaan, stenosis laring paling banyak
ditemukan pada usia 26-34 tahun. Penelitain prospektif White menyatakan bahwa
derajat cedera berkolerasi dengan pola dan lama intubasi. Pasien yang diintubasi
selama dua sampai lima hari memiliki insiden stenosis kronik hingga 2%, pasien
yang diintubasi selama lima sampai sepuluh hari memiliki insiden 4-5% dan
pasien yang diintubasi lebih dari 10 hari memiliki insiden 12-14%. Hal ini sesuai
dengan kasus dimana pasien berusia 28 tahun dengan riwayat intubasi selama 14
hari sehingga memiliki risiko stenosis laring yang lebih besar.
Pada kasus stenosis laring yang didapat, etiologi dapat berupa tindakan
intubasi, trauma akibat benda tajam atau tumpul, kondisi gastroesophageal reflux
disease (GERD) atau penyakit inflamasi. Menurut Roh et al, stenosis subglotis
didapat bisa terjadi karena pemakaian intubasi endotrakeal yang berkepanjangan
sehingga meyebabkan trauma pada struktur subglotis sekunder karena adanya
tekanan diantara kartilago aritenoid. Intubasi menyebabkan cedera di subglotis
cincin kartilaginosa atau dapat menyebabkan cedera distal dalam trakea. Tekanan
dan atau gerakan dari tabung terhadap kerangka tulang rawan dapat menyebabkan
iskemik dan nekrosis. Tekanan balon ETT lebih dari 30mmHg menyebabkan
peningkatan tekanan pada perfusi kapiler mukosa sehingga menyebabkan iskemik
pada mukosa dan inflamasi pada kartilago trakea. Perubahan patologis ini
menyebabkan fibrosis berupa lesi sirkumferensial sehingga menyebabkan
stenosis. Cedera iskemik dapat terjadi bahkan dalam hitungan menit setelah
pemasangan dan perubahan fibrotik terjadi beberapa minggu setelahnya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa etiologi stenosis laring pada pasien ini adalah akibat
tindakan intubasi karena pemakaian ETT selama 14 hari saat perawatan di ruang
ICU pada bulan Desember 2018 lalu.11,23
Pasien memiliki riwayat diabetes melitus yang diketahui sejak oktober
2018. Hal ini didukung dengan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 6 Maret
2019, didapatkan nilai HbA1c 9,2% dan gula darah sewaktu 223 mg/dL.
Berdasarkan kepustakaan, obesitas dan diabetes melitus adalah faktor risiko yang
signifikan pada kasus stenosis subglotis yang didapat. Menurut Ettema et al dan
Nicolle et al, obesitas dan diabetes adalah kondisi yang dapat mengubah profil
inflamasi dan dengan demikian berdampak pada kemampuan pasien untuk
sembuh setelah cedera. Patofisiologi stenosis laring berupa proses penyembuhan
luka dan proliferasi jaringan granulasi yang abnormal. Penelitian pada hewan
menunjukkan adanya peningkatan regulasi penanda inflamasi termasuk TGF-β
(Transforming growth factor beta) dan IL-1 (interleukin-1). Berdasarkan literatur,
diabetes melitus memicu adanya inflamasi kronis yang memicu produksi penanda
inflamasi tersebut.8 Diabetes melitus juga menyebabkan penurunan sistem
imunitas tubuh sehingga risiko infeksi pun meningkat. Beberapa peneliti telah
menetapkan bahwa diabetes merupakan faktor risiko independen untuk kegagalan
dalam pengobatan stenosis jalan napas.8,9
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis dengan
tanda-tanda vital, jantung dan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan regio
koli terdengar adanya wheezing tetapi tidak ada stridor. Pada pemeriksaan
laringoskopi indirek didapatkan tonsil lingual grade II, valekula tenang, epiglotis
terfiksir, aritenoid edema, sinus piriformis tenang, Gerakan plika vokalis dan plika
ventrikularis simetris kanan kiri. Bedasarkan literatur, adanya stridor, tanda-tanda
distress pemapasan, dan disfonia harus diperhatikan. Stridor menandakan terdapat
obstruksi, serta menentukan level obstruksi. Stridor inspiratori dengan nada
rendah menunjukkan obstruksi supraglotik. Stridor nada tinggi atau bifasik
menunjukkan obstruksi laringeal, subglotis atau trakea. Sedangkan wheezing
merupakan tanda adanya penyempitan pada saluran nafas. Pada kasus, didapatkan
adanya wheezing pada pemeriksaan regio koli sehingga dapat disimpulkan
terdapat penyempitan pada saluran setinggi regio tersebut. 1,2,7,19,20
Pemeriksaan penunjang CT scan laring dilakukan pada pasien.
Berdasarkan literatur, potongan tipis non kontras pada CT sangat membantu
dalam menggambarkan segmen stenosis jalan napas atau kompresi ekstraluminal
dari tumor atau pernbuluh darah aberrant. CT scan resolusi tinggi pada leher
dengan ketebalan 1 mm (atau lebih tipis) sangat membantu dalam menentukan
lokasi dan luas stenosis, Derajat dan panjang stenosis dapat pula dinilai dari CT
scan. Pemeriksaan CT scan laring dengan kontras pada tanggal 12 Maret 2019
didapatkan hasil kesan suspek edema soft tissue vestibulum laring yang sedikit
menyempitkan kolom udara.
CT scan memiliki keterbatasan dalam evaluasi jalan napas. Jika segmen
stenosis tipis dan irisan CT scan tebal, segmen steosis yang tipis dapat terlewatkan
pada pencitraan. Selain itu, jika dibandingkan dengan endoskopi, CT scan secara
signifikan kurang akurat dalam memprediksi panjang segmen stenosis. Endoskopi
kaku tetap alat yang paling dapat diandalkan untuk secara akurat menilai panjang,
luas, dan lokasi stenosis sebelum operasi. Maka dari itu, pasien dilakukan
laringoskopi direk diagnostik dengan pendekatan endoskopi didapatkan stenosis
subglotik (CM II) dan dilakukan rekonstruksi laring dengan menggunakan metode
dilatasi.
Trakeostomi dilakukan sebagai tindakan awal pembebasan jalur nafas
pada pasien. Rekonstruksi bedah merupakan tatalaksana baku emas pada stenosis
laring. Ulusan et al. menyatakan tatalaksana dengan reseksi bedah dan end-to-end
anastomosis merupakan tatalaksana yang paling efektif. Ansari et al.
mengklasifikasikan stenosis subglotis menjadi simpleks dan kompleks, dimana
lesi simpleks merupakan panjang lesi <1 cm dengan tidak adanya trakeomalasia
atau kehilangan cartilaginous support, sedangkan lesi kompleks merupakan
panjang lesi >1cm dan memiliki keuntungan terbesar jika dilakukan intervensi
bedah. Pembentukan jaringan granulasi terjadi secara proporsional dengan traksi
pada daerah anastomosis sehingga penting untuk memilih jenis jahitan yang tepat.
Ketegangan jahitan harus tepat dan simpul harus dibentuk diluar trakea untuk
mencegah pembentukan jaringan granulasi. Benang yang digunakan harus
memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan tidak diserap dalam waktu kurang dari
enam bulan. Ansari et al. merekomendasikan penggunaan benang polypropylene.
Detail teknis terutama ketegangan juga penting dibandingkan bahan jahitan untuk
hasil pasca operasi. Komplikasi dari intervensi bedah end-to-end anastomosis
berupa restenosis, dehiscence, granulasi, disfagia, dan kerusakan RLN (Recurrent
laryngeal nerve). Pengobatan utama dari stenosis biasanya lebih ke intervensi
bedah, namun pada beberapa kondisi dimana pasien tidak dapat menjalani operasi
rekonstruksi, dapat dilakukan pemasangan stent untuk mencegah apnea berat atau
kematian.22-24
Setelah rekonstruksi bedah, pasien kontrol kembali ke poliklinik THTKL
pada 19 April 2019, lalu direncanakan tindakan laringoskopi direk diagnostik
dengan pendekatan endoskopi dan dekanulsasi. Pasien dikonsulkan ke anestesi
didapatkan kesan ASA II dengan diabetes melitus dan setuju dilakukan tindakan
dalam anestesi umum. Intraoperasi dilakukan evaluasi di daerah laring didapatkan
stenosis subglotis (CM II), kemudian dilakukan rekonstruksi laring dengan cara
dilatasi laring menggunakan balon kateter dan kanul trakeostomi diganti sten
laring. Sten laring merupakan tabung padat atau berongga yang bersifat dapat
diserap ataupun tidak dapat diserap tergantung dari berbagai bentuk, ukuran, dan
bahan. Pemasangan stent bertujuan untuk menstabilkan upaya rekonstruksi laring
untuk mencegah terjadinya kolaps.
Pemasangan sten laring diletakkan melalui dan di atas true vocal cords dan
false vocal cords. Apabila pemasangan diletakkan tepat dibawah true vocal cords,
jaringan granulasi dapat terbentuk dan dapat menyebabkan terbentuknya jaringan
parut pada glotis sehingga dapat menyebabkan stenosis glotis. Kontraindikasi
absolut pemasangan sten laring ini antara lain pasien dengan kondisi medis tidak
stabil dan tidak dapat menjalani anestesi umum, serta mungkin memiliki reaksi
alergi tehadap bahan tertentu pada stent.24
Pemasangan stent untuk stabilisasi struktur laring biasanya berlangsung
selama 2-6 minggu. Pemasangan stent dapat dilakukan jangka pendek ataupun
jangka panjang dengan cut off 6 minggu. Sten jangka pendek yaitu dibawah 6
minggu dilakukan karena jaringan granulasi yang terbentuk dibawah sten dan
diatas trakeotomi dapat berpotensi menyebabkan stenosis trakea atau kolaps pada
daerah diatas trakeotomi. Sten jangka pendek digunakan untuk stabilisasi cangkok
tulang rawan setelah rekonstruksi atau untuk pemisahan mukosa selama
penyembuhan setelah trauma laring, perbaikan pembentukan jaringan atau atresia,
dan eksisi lesi laring. Sedangkan, sten jangka panjang digunakan ketika trakea
diatas tabung trakeotomi membutuhkan sten untuk kolaps atau stenosis setelah
rekonstruksi.
Komplikasi dari stent laring berupa pembentukan jaringan granulasi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Jaringan granulasi terbentuk di ujung
sten daerah suprastomal inferior dan di dasar epiglotis superior. Jaringan granulasi
yang terbetnuk di ujung distal stent pada daerah suprastomal dapat menyebabkan
kolaps atau stenosis. Erosi pada dasar epiglotis juga dapat terjadi pada pasien
dengan sten yang ditelakkan tinggi pada laring sehingga menyebabkan iritasi
kronis pada dasar epiglotis. Namun, pembentukan jaringan granulasi pada daerah
ini memiliki kemungkinan yang jauh lebih kecil dibandingkan pembentukan
jaringan parut pada daerah suprastomal. Pemasangan stent jangka waktu lama
memiliki risiko komplikasi stenosis yang lebih tinggi sehingga disarankan untuk
memasang sten yang panjang dan menyokong daerah suprastomal. Komplikasi
lain seperti disfagia dan aspirasi jarang terjadi. Aspirasi dapat terjadi ketika sten
diletakkan lebih tinggi dari arytenoid, sedangkan jika sten ditempatkan lebih
rendah dari aritenoid dapat menyebabkan jaringan granulasi dan jaringan parut
pada glotis dan subglotis.24
Akibat jangka waktu dan adanya kemungkinan komplikasi dari
pemasangan stent jangka waktu lama, maka pada tanggal 11 Oktober 2019
dilakukan evaluasi ulang pada pasien dengan pendekatan laringoskopi direkta
dengan endoskopi. Dari hasil pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan tonsil
lingual grade I, valekula tenang, epiglotis tenang, aritenoid tenang, sinus
piriformis tenang, pergerakan plika vokalis dan plika ventrikularis simetris kanan
kiri, posisi sten terpasang baik. Intraoperasi dilakukan evaluasi di daerah laring
tidak didapatkan stenosis laring dan direncanakan pelepasan sten laring.
Setelah 2 hari perawatan paska operasi, pasien dilakukan dekanulasi dan
repair stoma trakeostomi. Pada tanggal 6 November 2019 pasien datang ke
poliklinik THTKL kontrol, pasien tidak ada keluhan sesak nafas, tidak ada
keluhan suara serak, pasien dapat makan dan minum seperti biasa, jahitan pada
stoma baik dan kering.
Pada tanggal 12 November 2019 pasien kembali datang ke RSMH dengan
keluhan nafas terasa berat, batuk berdahak dan badan terasa lemas. Dari hasil
pemeriksaan fisik dan laringoskopi indirek, didapatkan dalam batas normal.
Pasien kemudian dilakukan evaluasi dengan endoskopi. Intraoperatif pasien
ditrakeostomi kembali dan dari pemeriksaan laringoskopi direk dengan
pendekatan endoskopi kembali didapatkan stenosis subglotis, kemudian dilakukan
dilatasi dengan pengembangan balon ETT. Pada kasus, terjadi rekurensi pada
stenosis laring. Berdasarkan literatur, terdapat beberapa faktor yang menentukan
prognosis, antara lain etiologi, panjang area stenosis, dan letak anatomis. Stenosis
supraglotis memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan stenosis glotis dan
subglotis dengan keberhasilan terapi hingga 83%. 29-31
DAFTAR PUSTAKA

1. Jhonson T Jonas, Rosen A Clark. Bailey's Head and Neck Surgery


Otolaryngology. Fifth edition. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins: 2014; Ch.61 pg 868-878; Ch.62 pg 896-907.
2. Flint P, Haughey B, Lund V, Niparko J, Richardson M, Robbins K.
Cumming’s Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 5 ed. Philadelphia:
Mosby; 2010.
3. Barnes L, Tse L, Hunt J, Brandwein-Gensler M, Urken M. WHO
Classification of Head and Neck Tumours. Lyon: WHO Press; 2007. 107–
31 hal.
4. Sulica L. Voice: anatomy, physiology, and clinical evaluation. In: Bailey
BJ, editor. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5 ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2014. hal. 945–56.
5. Snell RS. Kepala dan Leher: Larynx. In: Hartanto H, editor. Anatomi
Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6 ed. Jakarta: EGC; 2000. hal. 805–
13.
6. Gelbard A, Donovan D, Ongkasuwan J, Nouraei S, Sandhu G, Benninger
M, dkk. Disease homogeneity and treatment heterogeneity in idiopathic
subglottic stenosis. Laryngoscope. 2015;126(6):1390–6.
7. Stevens M, Chang A, Simpson C. Supraglottic stenosis: etiology and
treatment of a rare condition. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2013;122(3):205–
9.
8. Ettema S, Loerhl T, Toohill R, Merati A. The prevalence of diabetes in a
series of patients with subglottic stenosis. Ear Nose Throat J. 2007;86:687–
90.
9. Nicolli EA, Carey RM, Farquhar D, Haft S, Alfonso KP, Mirza N. Risk
factors for adult acquired subglottic stenosis. J Laryngol Otol.
2016;131(3):264–7.
10. Nair S, Nilakantan A, Sood A, Gupta A, Gupta A. Challenges in the
Management of Laryngeal Stenosis. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2015;68(3):294–9.
11. Arriola ACP, Chua AH. Clinical Profile of Patients with Laryngotracheal
Stenosis in a Tertiary Government Hospital. Philipp J Otolaryngol Neck
Surg. 2016;31(1):26–30.
12. Gelbard A, Francis DO, Sandulache VC, Simmons JC, Donovan DT,
Ongkasuwan J. Causes and Consequences of Adult Laryngotracheal
Stenosis. Laryngoscope. 2015;125(5):1137–43.
13. Koshkareva Y, Gaughan JP, Soliman AMS. Risk Factors for Adult
Laryngotracheal Stenosis: A Review of 74 Cases. Ann Otol Rhinol
Laryngol. 2007;116(3):206–10.
14. Whigham A, Howell R, Choi S, Peña M, Zalzal G, Preciado D. Outcomes
of balloon dilation in pediatric subglottic stenosis. Ann Otol Rhinol
Laryngol. 2012;121(7):442–8.
15. Roh J, Lee Y, Park H. Subglottic Wound Healing in a New Rabbit Model
of Acquired Subglottic Stenosis. Ann Otol Rhinol Laryngol.
2006;115(8):611–6.
16. Mankekar G, Eaton DA, Murray AD. Glottic Stenosis Treatment &
Management [Internet]. Medscape. 2019 [dikutip 8 Februari 2020].
Tersedia pada: https://emedicine.medscape.com/article/864439-treatment
17. Hseu A, Benninger M, Haffey T, Lorenz R. Subglottic stenosis: a ten-year
review of treatment outcomes. Laryngoscope. 2014;124:736–41.
18. Lorenz R. Adult Laryngotracheal Stenosis: Etiology and Surgical
Management. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2003;11:467–72.
19. Muller CD, Pou AM, Quinn Jr. FB, Ryan MW. Subglottic Stenosis. Texas;
2002.
20. Freitag L, Ernst A, Unger M, Kovitz K, Marquette CH. A proposed
classification system of central airway stenosis. Eur Respir J. 2007;30:7–
12.
21. Tawfik K, Houlton J, Compton W, Ying J, Khosla S. Laryngotracheal
reconstruction: a ten-year review of risk factors for decannulation failure.
Laryngoscope. 2015;125:674–9.
22. Bitar MA, Barazi R Al, Barakeh R. Airway reconstruction: review of an
approach to the advanced-stage laryngotracheal stenosis. Braz J
Otorhinolaryngo. 2017;83(3):299–312.
23. Rafizadeh S, Yoneda K, Zeki AA. Vocal Hoarseness and a Subglottic
Mass: An Uncommon Diagnosis for a Common Complaint. J Investig Med
High Impact Case Reports. 2015;3(2):1–4.
24. Taylor S, Clayburgh D, Rosenbaum J, Schindler J. Clinical manifestations
and treatment of idiopathic and Wegener granulomatosis-associated
subglottic stenosis. Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;139(1):76–81.
25. Hautefort C, Teissier N, Viala P, Van Den Abbeele T. Balloon dilation
laryngoplasty for subglottic stenosis in children: eight years’ experience.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;138(3):235–40.
26. Lee K, Rutter M. Role of balloon dilation in the management of adult
idiopathic subglottic stenosis. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2012;117(2):81–
4.
27. Jovic R, Dragicevic D, Komazec Z, Mitrovic S, Janjevic D, Gašic J.
Laryngotracheal stenosis and restenosis. What has the influence on the final
outcome? Eur Arch Otorhinolaryngol. 2012;269(7):1805–11.
28. McCAffrey T V. Management of Laryngotracheal Stenosis on the Basis of
Site and Severity. Otolaryngol Neck Surg. 1993;109(3):468–73.
29. Marston AP, White DR. Subglottic Stenosis. Clin Perinatol. 2018;45:787–
804.
30. Ramadan O. Adult Supraglottic Stenosis: Etiology and Management.
Otolaryngol Open J. 2016;2(5):132–40.

31. Brodsky MB, Levy MJ, Jedlanek E, Pandian V, Blackford B, Price C, dkk.
Laryngeal Injury and Upper Airway Symptoms After Oral Endotracheal
Intubation With Mechanical Ventilation During Critical Care: A Systematic
Review. Crit Care Med. 2018;46(12):2010–7.
32. Handa KK. Textbook of Voice & Laryngology : Adult Laryngotracheal
Stenosis. 1st ed. New Delhi. Jaypee Brothers Medical Publishers. 2017;
121-131.

Anda mungkin juga menyukai