(THT –KL)
Disusun oleh :
30101307046
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
SEMARANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFLEKSI KASUS
Oleh :
30101307046
Pembimbing,
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
a. FARING
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat
pada bagian tengah faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada
dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran
napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas(4).
Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,
sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan
di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas
belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius(5). Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting:
Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
Koana posterior rongga hidung.
Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.
Ostium dari sinus-sinus sfenoid(4).
Batas-batas nasofaring:
Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas
ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os
vomer
Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa
bagian atas
Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara
tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller(4).
Orofaring
Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah
sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini(6).
Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah setinggi
hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan
berakhir pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring(6).
Gambar 1. Faring
2. TONSIL
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk
cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini
dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap
infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi
fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun,
dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.Tonsil palatina dan adenoid (tonsil
faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer(4).
Tonsila Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20
kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam.
Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis(4).
Gambar 3. Tonsil Palatina
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah
bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening
servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya
menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus(4).
3. TONSILITIS KRONIS
a. Definisi
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila
palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis
akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat
menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-
gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan(3).
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna. Pada pendería tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes,
Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian
Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup
A, E.coli dan Klebsiela(3,4).
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus
alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Stafilokokus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella dan E. coli (3).
c. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu rangsangan
kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab,
suhu yang berubah- ubah), alergi (iritasi kronis dari allergen), keadaan umum (kurang gizi,
kelelahan fisik), pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat(1).
d. Patogenesis
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah
fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu
saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum
tubuh menurun(3).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak
proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi
akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor
yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi
atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis
kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil(1,3).
e. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),
nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa
kering dan pernafasan berbau(1).
f. Pemeriksaan Fisik
1. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,
2. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju,
3. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil,
Gambar 5. Tonsilitis
Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar,
pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda
klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar
limfe submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak
nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi
mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika
anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe
jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan(3).
g. Pemeriksaan penunjang
- Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan
penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi,
didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk
menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat
dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta
hemolitikus diukuti Staflokokus aureus (3).
h. Penatalaksanaan
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat,
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial,
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale,
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan,
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,
6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus β
hemolitikus,
7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif(1).
LAPORAN KASUS
Nama : Nn. T
Umur : 10 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pelajar
2.2. ANAMNESIS
Autoanamnesa tanggal 6 Juni 2018 di Poli THT RST. Dr. Soedjono, Magelang
2.2.1. Keluhan utama
Nyeri menelan.
2.2.2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RST. Dr. Soedjono Magelang dengan keluhan
nyeri pada tenggorokan sejak ±6 hari lalu. Pasien mengatakan nyeri menelan
sudah dirasakan sejak lama tapi hilang timbul. Pasien juga mengeluh badan
terasa demam, batuk, pilek dengan lendir berwarna bening, perasaan tidak enak
di tenggorokan, tenggorokan kering dan bau mulut. Pasien juga merasa mudah
lelah saat beraktivitas sehari-hari. Ayah pasien mengatakan pasien sering
mengalami gejala yang sama sejak usia 8 tahun dan menuturkan pasien suka
mengorok ketika tidur. Pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, maupun
pendengarannya berkurang. Pasien telah berobat ke puskesmas dan diberi obat,
sesaat mereda namun kemudian timbul kembali
2.2.3. Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pengobatan
Pasien mengatakan pernah merasakan keluhan seperti nyeri menelan disertai
dengan sering demam. Pasien telah berobat ke puskesmas dan diberi obat, sesaat
mereda namun kemudian timbul kembali. Setelah diperiksa, pasien
diberitahukan bahwa amandelnya membesar dan disarankan untuk dilakukan
operasi pengangkatan amandel. Namun pasien belum mau dioperasi dan lebih
memilih untuk diberi pengobatan mengurangi gejala. Seminggu yang lalu
obatnya habis dan keluhan muncul lagi.
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-obatan
2.8. Penatalaksanaan
2.7.1. Medikamentosa
Cefixime100 mg XXVIII, S2dd caps I, Dexamethason 5 mg XXX, S3dd tab 1,
Asam tranexamat 500mg XVIII s3dd tab 1
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan :
Nyeri tenggorokan hilang timbul sejak ±6hari
Badan terasa demam, batuk pilek dengan lendir mukoserous
Rasa mengganjal di tenggorokan , kering di tenggorokan dan bau mulut
Mudah lelah saat beraktivitas
Nn. T, 10 tahun datang dengan nyeri tenggorokan hilang timbul sejak ± 6 hari.
Anamnesis dilakukan untuk mencari etiologi, factor risiko, komplikasi, dan epidemiologi.
Dari anamnesis didapatkan pasien pelajar, mengeluh odinofagia, disfagia, , malaise, halitosis,
serta demam. Lalu ditegakkan diagnosis banding tonsilitis kronis eksaserbasi akut,
tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut dan faringitis kronik eksaserbasi akut, tumor tonsil,
abses peritonsil, adenotonsilitis.
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
Tonsila palatina dextra dan sinistra T3 – T3, warna hiperemis, kripte melebar, detritus
(+), permukaan tidak rata.
Dari pemeriksaan rongga mulut dan faring didapatkan adanya hasil diatas.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik akhirnya ditegakkan diagnosis
tonsilitis kronik eksaserbasi akut.
Patofisiologi
Mediator inflamasi
Sel - sel PMN keluar
Edema dan
hiperemis
Tonsilofaringitis virus
o Terapi simtomatik : Analgesik/antipiretik
Tonsilofaringitis bakterial
o Tunggu hasil kultur
o Tujuan utama adalah pencegahan dari demam reumatik dan komplikasi supuratif
o Treatment of choice : Penicillin, atas dasar efikasi dan keamanannya
o Suspensi penicillin V memiliki rasa tidak enak, maka Amoxicillin dapat
digunakan pada anak-anak
o Penilaian ulang setelah 48-72 jam (perbaikan dan adanya komplikasi)
o Tonsilofaringitis berulang/kronik :
Cephalosporin
Tingkat eradikasi lebih
Clindamycin
baik daripada penisilin V
Amoxicillin-clavulanat potassium
Anak
First-line therapy
In case of allergy†
Cephalexin
Clarithromycin 50 mg/kg/day ÷ BID 500 mg BID 10 days
(Biaxin®) 15 mg/kg/day ÷ BID 250 mg BID 10 days
Azithromycin‡
(Zithromax®) 12 mg/kg/day DIE 500 mg on 1st day 5 days
then 250 mg DIE x 4
days
Dewasa
Penicillin V (PenVee®)
In case of allergy
Non Medikamentosa
Tonsilektomi
Indikasi (The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical
Indicators Compendium, 1995) :
Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapat terapi
adekuat
Tonsil hipertrofi menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial
Sumbatan jalan nafas akibat hipertrofi tonsil, gangguan menelan, gangguan bicara
Rhinitis dan sinusitis kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang dengan
pengobatan
Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
Tonsilitis berulang yang disebabkan bakteri grup A streptocoocus beta hemolyticus
Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
Otitis media efusi / supuratif
Disfagia
Gangguan tidur
Halitosis