Anda di halaman 1dari 12

Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut pada Anak 10 Tahun

Cicilia Sinaga - 102016170


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida

Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

E-mail: ciciliaputriks@gmail.com

Abstrak

Tonsilitis Kronik merupakan penyakit yang paling sering terjadi diantara semua penyakit tenggorok
terutama pada anak. Penyakit ini terjadi karena adanya serangan lanjutan pada tonsil yang telah mengalami
peradangan sebelumnya yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis
kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Terapi tonsilisitis kronis
bisa dengan hygiene mulut dengan obat kumur atau jika infeksi yang terjadi berulang denga gejala sumbatan
dan neoplasma dapat dilakukan tonsilektomi.

Kata kunci : tonsilisitis kronik, faktor presdiposisi, tonsilektomi

Abstract

Chronic tonsillitis is the most common disease among throats disease specially in children. Chronic
tonsillitis happened because of recurrent inflammation in tonsil that caused by bacteria or virus.
Predisposing factors for the onset of chronic tonsillitis are chronic stimulation of cigarettes, certain types
of food, poor oral hygiene, influence of weather, physical fatigue and treatment of inadequate acute
tonsillitis. Chronic tonsillitis therapy can with oral hygiene with mouthwash or if the infection occurs
repeatedly with symptoms of obstruction and neoplasm can be done tonsillectomy.

Keywords : Chronic tonsillitis, predisposing factors, tonsillectomy

1
Pendahuluan

Salah satu penyakit yang paling sering berulang pada bagian tenggorok adalah tonsillitis kronis
terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan
atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik
pada penderita Tonsilitis Akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil,
dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya Tonsilitis Kronis.1

Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang termasuk bagian dari cincin waldeyer.
Tonsilitis adalah infeksi dan inflamasi pada tonsil. Penyebaran infeksi dapat melalui udara (air bone
droplets), tangan dan ciuman. Tonsilitis bisa disebabkan oleh beberapa jenis bakteri dan virus. Berdasarkan
durasi waktu, tonsilitis dibagi menjadi tonsillitis akut dan tonsilitis kronik. Tonsilitis kronis merupakan
penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit THT. Tonsilitis baik akut maupun kronik dapat
terjadi pada semua umur, namun lebih sering terjadi pada anak. Faktor yang menjadi penyebab utama hal
tersebut adalah ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat. Tonsilitis lebih umum
pada anak-anak usia 5-15 tahun dengan prevalensi tonsillitis bakterial 15-30% pada anak dengan gangguan
tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan gangguan tenggorokan.2

Dalam hal ini penulis menyusun makalah yang berkaitan dengan kasus anak laki-laki berusia 10
tahun yang mengalami nyeri tenggorokan. Makalah ini diharapkan dapat memahami penyebab terjadinya
tonsillitis kronis eksaserbasi akut, pemeriksaan yang dilakukan, dan pengobatannya.

Anatomi

Anatomi faring

Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip corong dengan bagian
atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai
eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding faring terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa,
dan muskular.3

2
Gambar 1. Anatomi faring.3

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring, dan laringofaring.

1. Nasofaring

Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle. Nasofaring mempunyai atap,
dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus oasis
sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila
pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle
yang miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior
septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini
ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke
faring. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila
tubaria.

3
Gambar 2. Pembagian orofaring.3

2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap
dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid
terdapat di dalam submukosa permukaan bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga
posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi
sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid dibawahnya,
yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah
terdapat elevasi, yang disebut plica glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis.
Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula. Dinding anterior terbuka ke
dalam rongga mulut melalui isthmus orofaring (isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars
pharyngeus linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas
corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan
tonsila palatina diantaranya.3

Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsila
serta arcus faring anterior dan posterior, uvula, tonsila lingual dan foramen sekum.1

 Fossa Tonsilaris

Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring diantara
arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila

4
palatina. Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut kutub
atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan
ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila
diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya
bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.

Gambar 4. Cincin waldeyer bagian posterior.1


 Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.1

a. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas
tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua.
Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
b. Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut. Di depan
tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring
posterior disusun oleh otot palatofaringeus.

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus.
Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya
ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil

5
melekat pada fasia pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
pharynx, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1

3. Laryngofaring

Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior larynx, dan terbentang
dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngofaring mempunyai
dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane
mukosa yang meliputi permukaan posterior laringDinding posterior disokong oleh corpus vertebra
cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan
membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak
di kanan dan kiri aditus laryngis.3

Anamnesis

Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.Pada
anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi
alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang
berat menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur yang dapat diketahui
dalam anamnesis.3

Dalam kasus pasien datang dengan keluhan rasa nyeri tenggorokan sejak 3 hari yang lalu. Dimana
nyeri yang dirasakan hilang timbul terutama saat menelan. Terdapat demam dan batuk. Pasien mengaku
tidak ada pembesaran dilehernya namun, merasa mendengkur saat tidur.

Pemeriksaan fisik

Setelah anamnesis dilakukan selanjutnya lakukan pemeriksaan fisik pada pasien. Dimulai dari
kesadran umum pasien dimana tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis dan tanda-tanda vital
pasien dalam batas yang normal, kecuali suhunya 380C menandakan pasien demam. Dilanjutkan dengan
pemeriksaan head to toe THT. Telinga dan hidung tampak normal. Namun, pada tenggorokan tampak tonsil
yang mengalami pembengkakan T3-T3 hiperemis serta ditemukannya kriptus.

6
Gambar 4. Ukuran tonsil.2

a. TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat


b. T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
c. T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
d. T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
e. T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis Tonsilitis Kronis


Eksaserbasi akut
Hiperemis dan edema Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil tapi
tidak hiperemis
Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar
Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)
Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)
Antibiotika, analgetika, Sembuhkan radangnya, Jika perlu Bila mengganggu lakukan
obat kumur lakukan tonsilektomi 2 – 6 minggu Tonsilektomi
setelah peradangan tenang
Tabel 1. Perbedaan tonsilitis.3

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang keadaan pasien tersebut adalah dengan
melakukan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan darah bertujuan untuk melihat serangan akut dari

7
infeksi oleh bakteri beserta bercak putih yang terdapat pada tonsil (dendritus), dimana hasil yang
diharapkan adalah peningkatan leukosit.

Diagnosis kerja

Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang
menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulang dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan
kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun
untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita
mengalami penurunan.1
Bermula dari tonsilisitis akut yang merupakan peradangan dari tonsila palatina yang termasuk bagian
dari cincin waldeyer. Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilisitis kronis ditandai dengan pelebaran tonsil T3-T3 dan kripti
yang terisi oleh dendritus beserta keluhan tidur yang terdapat mendengkur sedangkan, eksasrbasi akut
karena berlangsung sejak 3 hari yang lalu.
Diagnosis banding

Tonsilisitis akut berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang
tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai
dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.1
Epidemiologi

Data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia, prevalensi tonsilitis kronis sebesar
3,8% tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6%. Hasil pemeriksaan pada anak-anak dan dewasa
menunjukkan total penyakit pada telinga hidung dan tenggorokan berjumlah 190-230 per 1.000 penduduk
dan didapati 38,4% diantaranya merupakan penderita penyakit tonsilitis kronis. Berdasarkan data medical
record tahun 2010 di RSUP dr M. Djamil Padang bagian THTKL subbagian laring faring, ditemukan
tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan di Poliklinik subbagian laring faring dan yang menjalani
tonsilektomi sebanyak 163 kasus.Sedangkan insiden tonsilitis kronis di RSUP dr Kariadi Semarang 23,36%
sebagian besar diantaranya pada usia 6-15 tahun.3

8
Etiologi

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak
sempurna. Pada pendería Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta hemolitikus
grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein
Barr, bahkan virus Herpes Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008
mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta
hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela. Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa
kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan
kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.1
Selain itu, yang harus menjadi perhatian adalah factor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis
adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygine mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1

Manifestasi dan gejala klinis

Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri tenggorokan yang
berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.3 Selain itu, tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh dedritus. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok dan napas berbau.4

Patogenesis

Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan
epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh
semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh
dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar
ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik

9
kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submadibularis.2

Tata laksana

1. Medikamentosa
Pemberian antibiotika sesuai kultur bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin
ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses),
amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis) (Lipton, 2002).5
2. Nonmedikamentosa
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan (Nurjanna, 2011):4
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat.
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan
orofacial.
c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep apneu,
gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang dengan
pengobatan.
e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta hemolitikus.
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.

Indikasi relatif (Amarudin, 2005):


a. Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun meskipun dengan
terapi yang adekuat
b. Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak responsif
terhadap terapi media
c. Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten terhadap
antibiotik betalaktamase
d. Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma

10
Kontra indikasi (Amarudin, 2005):
a. Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
b. Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak mempunyai
pengalaman khusus terhadap bayi
c. Infeksi saluran nafas atas yang berulang
d. Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
e. Celah pada palatum
Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulka komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik,
sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat timbul endokarditis, artritis, myositis, nefritis uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria,
dan furunkolosis.

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta
kecurigaan neoplasma.4

Pencegahan

Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita ke orang
lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang
memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai
bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali.
Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang yang
merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi
pada orang lain.3
Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan suportif.
Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik
diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang
singkat.3,5

11
Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik anak tersebut didiagnosis menderita tonsilitis
kronis eksaserbasi akut. Ditandai dengan nyeri tenggorokan yang dirasakan saat menelan, mendengkur saat
tidur, dan demam sejak 3 hari yang lalu. Ditemukan pembesaran tonsil T3-T3 hiperemis dan terdapat
dendritus di dalam kripta. Terapi pada pasien ini adalah dilakukannya tonsilektomi untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut. Sementara prognosisnya adalah baik bila dilakukan tindakan dengan cepat.

Daftar pustaka

1. Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Anak. Bagian/Smf
Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009.
2. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
3. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun
2007-2010. USU Institutonal Repository.
4. Soepardi EA, et. Al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi Ke-7.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.2017.hlm. 199-200.
5. Fakh IM, Novialdi, Elmatris. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di Bagian THT-KL
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016 ;(5)2.

12

Anda mungkin juga menyukai