Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi

II.1.1 Faring

Faring terletak di belakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip

corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian

bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra

cervicalis enam. Dinding faring terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan

muscular.3,4

Gambar 2.1 Anatomi Faring3

2
3

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring,

orofaring, dan laringofaring.3,4

Gambar 2.2 Pembagian Struktur Faring3

1. Nasofaring

Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle.

Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan

dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars

basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila

pharyngeal, terdapat di dalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan

atas palatum molle. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior,

dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk

permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh

arcus anterior atlantis. Dinding ateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba
4

auditiva ke faring. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang

muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.3,4

2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum

mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut,

sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Orofaring mempunyai atap,

dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap

dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharygeus.

Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa permukaan bawah

palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah

antara lidah dan permukaan anterior epiglotis.3,4

Membran mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular,

yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid di bawahnya, yang disebut tonsil

linguae. Membran mukosa melipat dari lidah menuju ke epiglotis. Pada garis

tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glossoepiglotica mediana, dan dua

plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica

mediana disebut vallecula. Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut

melalui isthmus oropharynx (isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat

pars pharyngeus linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra

cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi

dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan tonsila palatina diantaranya.3,4
5

Gambar 2.3 Struktur pada Orofaring3

Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,

tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula,

tonsil lingual dan foramen sekum.3

a) Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila

faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya

membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.3,4


6

Gambar 2.4 Cincin Waldeyer3

Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja, berbentuk dua massa jaringan

limfoid, masing-masing terletak di dalam cekungan di dinding lateral orofaring di

antara arcus palatoglossus (pilar anterior) dan palatofaringeus (pilar posterior),

yang disebut Fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa, dan

permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring. Permukaannya

berbintik-bintik yang disebabkan oleh banyak muara keleniar, yang terbuka ke

kripta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh kapsula

fibrosa.2,3,4

Kapsula ini dipisahkan dari musculus konstriktor faringis superior oleh

jaringan areolar jarang, vena palatina eksterna berjalan turun dari palatum mo1le

di dalam jaringan ikat jarang untuk bergabung dengan pleksus venosus faringeus.

Lateral terhadap musculus konstriktor faringes superior terdapat musculus

styloglossus, lengkung arteria facialis dan arteria carotis interna.2,3,4

Pilar anterior dan posterior membentuk bagian depan dan belakang ruangan

peritonsil. Bagian atas ruangan ini berhubungan dengan torus tubarius, di bagian
7

bawah dibatasi oleh sinus piriforis. Ruangan peritonsil diisi oleh jairngan ikat

longgar, infeksi yang berat dapat dengan cepat membentuk pus. Inflamasi dan

proses supuratif dapat meluas dan mengenai palatum mole, dinding lateral faring,

dan jarang sekali ke basis lidah.2,3,4

Gambar 2.5 Ruangan Peritonsil2

Tonsila palatina mencapai ukuran maksimum pada masa kanak-kanak dan

ukurannya menjadi sangat berkurang pada saat dewasa.

Tonsil dibatasi oleh :1

- Lateral : muskulus konstriktor faring superior

- Anterior : muskulus palatoglosus

- Posterior : muskulus palatofaringeus

- Superior : palatum mole


8

- Inferior : tonsil lingua

Vaskularisasi Tonsil

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu

:1,3-6

- Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris

dan arteri palatine asenden.

- Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden

- Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal

- Arteri faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan

bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut

diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal

asenden dan arteri palatina desenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian

luar m.konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum

mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabang melalui m.konstriktor

superior melalui tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke

tonsil melalui bagian luar m.konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke

pangkal lidah dan mengirimkan cabangnya ke tonsil, pilar anterior, dan pilar

posterior. Arteri palatina desenden atau arteri palatina minor atau arteri palatina

posterior memperdarahi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk

anastomosis dengan arteri palatine asenden.1,6


9

Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari

faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan

pleksus faring.1,3,4

Gambar 2.6 Vaskularisasi Tonsil1,6


10

Gambar 2.7 Vaskularisasi Tonsil5

Inervasi Tonsil

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V (nervus

trigeminus) melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah mendapat sensasi

dari cabang saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden

lesser palatine nerves.1,5,6

Aliran Limfe Tonsil

Limfe mengalir dari tonsil ke nodi lymphoidei cervicales profundi bagian atas,

tepat di bawah dan di belakang angulus mandibulae.1,5


11

Gambar 2.8 Aliran Limfe Tonsil4

3. Laryngofaring

Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior

larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah

cartilage cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan

lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membran mukosa yang

meliputi permukaan posterior laring. Dinding posterior disokong oleh corpus

vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong

oleh cartilage thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi

penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus

laryngis.3,4

II.2. Histologi dan Fisiologi Tonsil

Secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat,

jaringan interfolikuler, dan jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa trabekula

yang berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan perluasan kapsul


12

tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung pembuluh darah, saraf, dan

saluran limfatik efferent. Permukaan tonsil ditutupi oleh epitel statified

squamous. Jaringan germinativum terletak di bagian tengah jaringan tonsil,

merupakan sel induk pembentukan sel-sel limfoid. Jaringan interfolikel terdiri

dari jaringan limfoid dalam berbagai tingkat pertumbuhan.4,6

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang

mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang

dewasa. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel

membran), makrofag,sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan

dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis

immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma

dan sel pembawa IgG.1,2,3,6

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai

2 fungsi utama yaitu:6

- Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif.

- Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal dari

diferensiasi limfosit B.

Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-

sama dengan adenoid, limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit

pada kedua organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit

tonsil dan adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian

menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori di


13

seluruh tubuh. Antigen dari luar ketika kontak dengan permukaan tonsil akan

diikat dan dibawa sel mukosa (sel M), antigen presenting cells (APCs), sel

makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum

germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan

merangsang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin IgM pentamer diikuti oleh

pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.1,2,3,6

Imunoglobulin IgG dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila

rangsangan rendah, antigen akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi

antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum

germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya

hyperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T

yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin. Aktivitas

tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami

involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T

terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi

epitel kripta retikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang

mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport

antigen. Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan

produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga

berkurang.1,2,3,6
14

II.3. Abses Peritonsiler

II.3.1 Definisi dan Epidemiologi

Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah

orofaring berupa sekresi purulen yang terakumulasi di dalam ruangan antara

kapsul fibrosa tonsil palatine dan M. konstriktor superior faringeal.1,2

Abses peritonsiler merupakan salah satu infeksi leher dalam yang paling

umum, kira-kira 30% dari abses leher dalam. Tonsilitis, selulitis peritonsiler, dan

abses peritonsiler merupakan spektrum progresifitas penyakit dari bentuk yang

paling ringan ke paling berat. Sekalipun sudah di era antibiotika, abses peritonsiler

masih sering ditemukan dengan jumlah yang menurun menjadi 18% di United

Kingdom dalam sepuluh tahun terahir.1,2

Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling

sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada

mereka yang menurun sistem imunnya dengan prevalensi sekitar 25-30%. Kasus

pediatrik lebih sering terjadi pada anak-anak yang berusia lebih dari 10 tahun

Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan.1,2

Pada penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidensi abses peritonsil

ditemukan pada 10-37 per 100.000 orang. Di Amerika, dilaporkan 30 kasus per

100 orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun. Sedangkan di Eropa, 41 kasus

per 100.000 populasi adalah insiden rata-rata tahunan yang diperkirakan. Data

yang akurat secara internasional belum dilaporkan. Letak abses peritonsiler

biasanya unilateral, bilateral jarang ditemukan. Frekuensi aktual abses peritonsilar


15

bilateral tidak diketahui; Namun, angka ini dilaporkan bervariasi dari 1,9% hingga

24% pada kasus tonsilektomi quinsy.1,2,7

II.3.2 Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut, sehingga biasanya

kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, yaitu kuman aerob dan

anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil

adalah Streptococcus pyogene (Grup A,B,C,G beta-hemolitik streptococci),

Hemophilus influenza (tipe b dan non-tipikal), Staphylococcus aureus,

Haemophilus parainfluenzae, Neisseria sp., dan Mycobacteria sp. Sedangkan

kuman anaerob yaitu Fusobacterium Peptostreptococcuse, Streptococcus sp., dan

Bacteroides. Virus penyebab antara lain Eipsten-Barr Adenovirus, Influenza A

dan B, Herpes simplex, Parainfluenza.1,2,8

Variabel klinis lain yang terkait dengan pembentukan abses peritonsil

termasuk penyakit periodontal yang signifikan dan merokok.8

II.3.3 Patofisiologi

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut,

walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul

tonsil sehingga terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah.

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh

karena itu infiltrasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,

sehingga tampak palatum mole membengkak.1,2

Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada

stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga


16

permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi

sehingga daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan.

Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan

uvula yang bengkak akan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus

berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M.

pterigoid interna, sehingga timbul trismus.1,2

Kelenjar Weber adalah kelenjar mukus yang terletak di atas kapsul tonsil,

kelenjar ini mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa

tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah

tonsilektomi. Dilaporkan bahwa penyakit gigi dapat memegang peranan dalam

etiologi abses peritonisl karena mengalami peningkatan pada penyakit periodontal

dibandingkan tonsilitis rekuren.1,2

II.3.4 Manifestasi Klinis

Nyeri tenggorok yang hebat (Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol,

dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah.

Karena tidak dapat mengatasi sekresi ludah, terjadi hipersalivasi dan ludah

seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore),

muntah (regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga (otalgi) sisi ipsilateral. Trismus

akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.1,2,8

Pemeriksaan fisik kadang-kadang sukar dilakukan, karena adanya trismus.

Gejala yang klasik adalah trismus, suara bergumam yang disebut hot potato voice,

uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Demam juga ditemukan.

Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba


17

fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke

arah tengah, depan, dan bawah. Palpasi kelenjar limfe servikal dapat dijumpai

adanya limfadenitis.1,2,8

Gambar 2.9 Pasien dengan abses peritonsillar sisi kanan. Tampak pembengkakan
palatum mole dan gambaran abses.8

II.3.5 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan

pemeriksaan fisik. Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan

diagnosis. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi

merupakan tindakan diagnosis yang akurat (gold standard) untuk memastikan

abses peritonsil. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat

dilakukan dengan cara usap tenggorok.1,2,8

Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis, juga

untuk perencanaan penatalaksanaan.1,2,8 Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan sebagai berikut :


18

1. Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap menunjukkan leukositosis.

2. Pemeriksaan radiologi

a) Foto polos

Foto polos posisi antero-posterior menunjukkan “distorsi” dari jaringan tetapi

tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi abses.2

b) Computed Tomography (CT)

CT-Scan dengan peningkatan media kontras dapat digunakan untuk

menunjukkan keberadaan dan luasnya abses. Pada tonsil dapat terlihat daerah

yang hipodens, yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena, di

samping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil.

Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi. Selain secara akurat

mendiagnosis abses peritonsiler, CT dapat mendeteksi potensi gangguan jalan

napas dan menunjukkan penyebaran infeksi ke ruang leher dalam yang

berdekatan.1,2,8
19

Gambar 2.10 Hasil Computed tomography menunjukkan abses peritonsillar sisi kanan7

Gambar 2.11 Klasifikasi berdasarkan bentuk abses. (A) Jenis oval menunjukkan abses bulat
(panah). (B) Jenis Cap menunjukkan abses bulan sabit (panah)8
20

c) Ultrasonografi intraoral

Pemeriksaan ini merupakan teknik sederhana dan non-invasif yang dapat

secara akurat mengidentifikasi dan membedakan selulitis dari abses.1,2

A B

Gambar 2.12. (A) USG transcervical menunjukkan contoh phlegmon peritonsillar


kiri dengan abses intratonsillar kecil (*). Panah menunjukkan batas yang tidak jelas
dan peningkatan echogenisitas jaringan lunak di sekitarnya yang menunjukkan
perubahan inflamasi yang signifikan. (B) Ultrasonografi transcervical yang
menunjukkan contoh abses peritonsilar kiri, yang relatif lateral terhadap jaringan
tonsil dan dalam ke kelenjar submandibular (*).10
d) MRI
Jika ada kecurigaan bahwa infeksi telah menyebar di luar ruang peritonsillar

atau jika ada komplikasi yang melibatkan ruang leher lateral, diperlukan Magnetic

Resonance Imaging (MRI ). Infeksi leher lateral harus dicurigai jika ada

pembengkakan atau indurasi di bawah sudut mandibula atau tonjolan medial

dinding faring. MRI lebih unggul dari CT untuk identifikasi jaringan lunak dan

karena itu MRI lebih baik dalam mendeteksi komplikasi dari infeksi leher dalam,

seperti trombosis vena jugularis internal atau erosi abses ke dalam selubung
21

karotis. Kerugian MRI yaitu waktu pemindaian lebih lama, biaya lebih tinggi, dan

potensi claustrophobia.8

Gambar 2.13 Pencitraan MRI kranial, potongan sagital dengan kontras, menunjukkan
lesi berbentuk bulat di lobus frontal kiri (panah). Ventrikel lateral kiri juga melebar dan
menonjol.11

II.3.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat untuk mencegah

obstruksi pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parafaring,

mediastinum dan basis kranii. Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk

mempertahankan hidrasi dan kontrol nyeri adalah landasan pengobatan untuk

abses peritonsillar. Berdasarkan pada pilar-pilar ini, pertanyaan klinis utama

meliputi:1,2,8

- Apa metode drainase terbaik untuk abses?

- Antibiotik mana yang harus diresepkan setelah drainase?

- Apakah pasien dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan?


22

- Mengingat pembengkakan dan peradangan yang terkait dengan abses

peritonsilar, apakah kortikosteroid ajuvan membantu?

1. Drainase

Beberapa jenis prosedur drainase sesuai untuk sebagian besar pasien yang

datang dengan abses peritonsillar. Prosedur utama termasuk aspirasi jarum, insisi,

atau tonsilektomi.8

a) Aspirasi jarum

Manajemen bedah akut abses peritonsillar telah berkembang dari tonsilektomi

langsung menjadi insisi dan drainase atau aspirasi jarum. Aspirasi peritonsiler

adalah teknik yang cocok untuk dokter keluarga dengan pelatihan yang tepat.

Drainase atau aspirasi harus dilakukan dengan memperhatikan pengelolaan

komplikasi jalan nafas dan memastikan pasien mendapat asupan cairan oral yang

adekuat beberapa jam setelah tindakan ini.1,2,8

Dokter harus menyadari hubungan anatomi yang penting ketika melakukan

aspirasi jarum. Jika seorang dokter merasa tidak nyaman dengan aspirasi abses,

antibiotik yang tepat dan cairan intravena harus diberikan sambil menunggu

konsultasi dari otolaringologi. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis

tinggi (golongan peniciline dan metronidazole), dan obat simtomatik. Juga perlu

kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Teknik

aspirasi dengan jarum pada abses peritonsiler antara lain :1,2,8

- Pastikan keamanan jalan napas

- Periksa apakah tersedia pencahayaan dan suction yang memadai.

- Meminta pasien untuk duduk sedikit ke depan dan setinggi mata dokter.
23

- Lakukan palpasi palatum mole dengan lembut untuk melokalisasi area

yang berfluktuasi.

- Aplikasikan anestesi topikal menggunakan Cetacaine spray.

- Tunggu beberapa menit hingga anestesi topikal mulai bekerja, kemudian

buatkan 6 mL hingga 10 mL lidokain 1% hingga 2% dengan epinefrin.

Atau 2 cc Xilocain dengan adrenalin (1/100.000).

- Gunakan jarum 25 ½ inci untuk menyuntikkan anestesi lokal ke dalam

mukosa di atas area yang berfluktuasi.

- Menekan lidah menggunakan spatel lidah.

- Masukkan jarum spinal ukuran 18 yang ditempelkan pada jarum suntik 10

mL ke dalam daerah dengan fluktuasi maksimum dan aspirasi.

- Jangan memasukkan jarum lebih dari 8 mm.

- Jika positif untuk nanah, aspirasi sampai tidak ada nanah yang kembali.

- Jika negatif untuk nanah, tarik jarum dan ulangi sedikit lebih rendah;

- Hati-hati terhadap arteri karotid yang terletak 2 cm posterior dan lateral

dari pilar tonsil, dan risiko tusukan meningkat semakin rendah jarum

diarahkan.

- Jika aspirasi tidak berhasil, lakukan pemeriksaan radiologi untuk

mengonfirmasi keberadaan abses dan melakukan konsultasi ke spesialis

THT untuk kemungkinan insisi dan drainase yang sesuai.


24

Gambar 2.14 Teknik aspirasi dengan jarum (Ketika melakukan aspirasi jarum untuk
abses peritonsillar, dokter harus menyadari hubungan anatomi yang penting, terutama
arteri karotis, yang terletak posterior dan lateral tonsil. Untuk menghindari struktur ini,
insersi harus berada di kutub superior tonsil, tidak terlalu lateral, dan pada kedalaman ≤ 8
mm.)8

b) Insisi

Setelah dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan adanya pus,

kemudian pisau tonsil no 12 atau no 11 dengan plester untuk mencegah penetrasi

yang dalam, digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa

dekat kutub atas fosa tonsilaris.1,2,8 Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi

pada :

- Dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif dan paling menonjol,

- Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara

dasar uvula dengan molar terakhir pada sisi yang sakit,


25

- Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan molar

3 atas.

Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut

direntangkan. Suction tonsil sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan

pus yang dikeluarkan.1,8

Jika terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan analgesik

(lokal), dengan menyuntikkan xylocain atau novocain 1% di ganglion

sfenopalatinum. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dari konka

media. Ganglion sfenopalatinum mempunyai cabang n. palatina anterior, media

dan posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di

atas tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari cabang

palatine m. trigeminus yang melewati ganglion sfenopalatinum.1,8

c) Tonsilektomi

Meskipun tidak lagi dilakukan secara rutin, tonsilektomi langsung harus

dipertimbangkan pada pasien dengan indikasi absolut, yaitu orang yang menderita

abses peritonsiler berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan

sekitarnya. Tingkat kekambuhan pada mereka yang memiliki riwayat tonsilitis

berulang (terutama anak-anak) mencapai 40% dibandingkan dengan 10% hingga

15% pada rata-rata pasien tanpa riwayat tonsilitis berulang.1,8

Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada

abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6-8 minggu

kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan

sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera. Bila tonsilektomi dilakukan


26

bersama-sama dengan tindakan drainase abses maka disebut tonsilektomi “a

chaud”, bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses disebut

tonsilektomi “ a tiede” dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesudah

drainase abses disebut tonsilektomi “ a froid”. Pada umumnya tonsilektomi

dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.1,8

2. Terapi Antibiotik

Abses peritonsiler adalah infeksi polimikroba dari bakteri aerob dan anaerob.

Grup A streptococcus dan Streptococcus (sub-grup viridans Streptococci) adalah

aerob yang paling umum diisolasi dan ditemukan dari kultur, sedangkan

Fusobacterium necrophorum adalah anaerob yang dominan. Terapi antibiotik

empiris awal harus mencakup antimikroba yang efektif melawan streptokokus dan

anaerob oral. Hampir ada sensitifitas universal spesies streptococcus terhadap

penisilin, dan beberapa penelitian menunjukkan efektivitas klinis penisilin

intravena setelah drainase abses yang adekuat. Namun, ada kekhawatiran yang

berkembang tentang sifat polimikroba abses peritonsiler. Laporan kultur

menunjukkan tingkat resistensi penisilin lebih dari 50% di antara patogen selain

streptococcus yang ditemukan pada abses peritonsiler, yang menyebabkan

penggunaan rutin antibiotik spektrum luas sebagai terapi lini pertama. Makrolida

harus dihindari karena resistensi Fusobacterium.1,8 Berikut pilihan terapi

antibiotik untuk abses peritonsiler :8

a) Terapi Intravena

- Penisilin G, 10 juta unit setiap 6 jam, ditambah metronidazole (Flagyl), 500 mg

setiap 6 jam.
27

- Ampisilin / sulbaktam (Unasyn), 3 g setiap 6 jam.

- Sefalosporin generasi ketiga (mis., Ceftriaxone, 1 g setiap 12 jam) ditambah

metronidazol, 500 mg setiap 6 jam.

- Piperacillin / tazobactam (Zosyn), 3,375 g setiap 6 jam (dosis harian

maksimum 18 g).

- Jika alergi penisilin, maka klindamisin, 900 mg setiap 8 jam.

- Jika terdapat MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus), maka

vankomisin, 1 g setiap 12 jam, ditambah metronidazole, 500 mg setiap 6 jam.

b) Terapi Oral

- Penisilin VK, 500 mg setiap 6 jam, ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6

jam.

- Amoksisilin / klavulanat (Augmentin), 875 mg setiap 12 jam.

- Sefalosporin generasi ketiga (mis., Cefdinir [Omnicef], 300 mg setiap 12 jam)

ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam.

- Clindamycin, 300 hingga 450 mg setiap 8 jam.

- Jika terdapat MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus), maka

linezolid (Zyvox), 600 mg setiap 12 jam, ditambah metronidazol, 500 mg

setiap 6 jam.

Terapi harus dilanjutkan selama 10 hingga 14 hari.

3. Tatalaksana pasien rawat inap dan rawat jalan

Pasien dengan abses peritonsillar dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan,

tetapi sebagian kecil mungkin memerlukan rawat inap. Indikasi paling umum

untuk rawat inap adalah adanya dehidrasi, ketidakmampuan untuk mengelola


28

asupan cairan oral, masalah jalan napas (kissing tonsils), dan kegagalan

manajemen rawat jalan. Kondisi komorbid lain yang memerlukan penatalaksanaan

rawat inap termasuk diabetes mellitus, penyakit imunosupresif, penggunaan obat

imunosupresif kronis (termasuk penggunaan kortikosteroid yang lama), atau

tanda-tanda sepsis.8

Tingkat komplikasi lebih tinggi pada pasien 40 tahun atau lebih tua

dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Lama rawat di rumah sakit rata-

rata dua hingga empat hari untuk semua pasien. Jika diputuskan untuk tatalaksana

rawat jalan, maka pasien harus diamati selama beberapa jam setelah drainase

abses untuk memastikan kemampuan mentolerir cairan oral, antibiotik, dan obat

pereda nyeri. Pasien harus terus dipantau secara ketat dalam waktu 24 hingga 36

jam.8

4. Terapi Kortikosteroid

Gejala akut abses peritonsillar terjadi akibat peradangan dan edema palatum

mole. Meskipun kortikosteroid telah digunakan untuk mengobati edema dan

peradangan pada penyakit otolaringologis lainnya, penggunaannya sebagai bagian

dari rejimen pengobatan untuk abses peritonsiler belum diteliti secara luas.8

Dua penelitian kecil menyelidiki apakah penambahan dosis kortikosteroid

tunggal diberikan secara intramuskuler atau intravena (metilprednisolon, 2 hingga

3 mg per kg hingga 250 mg, atau deksametason, 10 mg) akan mempercepat

pemulihan. Hasilnya, pasien yang menerima kortikosteroid melaporkan penurunan

rasa sakit dan peningkatan asupan cairan oral dalam waktu 12 hingga 24 jam
29

dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima kortikosteroid. Kelainan ini

tampaknya menghilang setelah 48 jam.8

Penggunaan kortikosteroid secara empiris untuk pengobatan abses peritonsillar

tampaknya mempercepat pemulihan seperti waktu rawat inap yang lebih singkat

dan resolusi nyeri yang lebih cepat. Namun, penelitian tambahan diperlukan

sebelum penggunaan rutin kortikosteroid terutama mengenai protokol

pengobatan.8,12

Berikut adalah rekomendasi tatalaksana abses peritonsiler berdasarkan bukti

klinis:

Tabel 2.1 Rekomendasi tatalaksana abses peritonsiler berdasarkan bukti klinis8


Rekomendasi klinis Bukti

Beberapa jenis prosedur drainase adalah perawatan yang tepat C

untuk sebagian besar pasien yang datang dengan abses

peritonsiler.

Antibiotik spektrum luas yang efektif terhadap streptokokus grup C

A dan anaerob oral harus dipertimbangkan sebagai lini pertama

setelah drainase abses, walaupun beberapa bukti menunjukkan

bahwa penisilin saja mungkin sudah cukup.

Kortikosteroid mungkin berguna dalam mengurangi gejala dan B

mempercepat pemulihan pada pasien dengan abses peritonsiler.

Keterangan : A = konsisten, bukti berorientasi pasien berkualitas baik; B = bukti berorientasi


pasien yang tidak konsisten atau terbatas kualitasnya; C = konsensus, bukti berorientasi penyakit,
praktik biasa, pendapat ahli, atau seri kasus.
30

II.3.7 Komplikasi

Mengenali infeksi dengan segera dan memulai terapi penting untuk

menghindari kemungkinan komplikasi serius. Jika dokter tidak berpengalaman

dalam mengobati abses peritonsiler, atau komplikasi muncul selama perawatan,

maka perlu dikonsultasikan kepada ahli THT.1,2,4,8

Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan

makanan yang kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan

(akibat erosi atau nekrosis septik pada selubung karotis), aspirasi paru atau

pyemia, penjalaran infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses

parafaring, penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus

kavernosus, meningitis dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani

dengan baik maka akan menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal.1,2,4,8

Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah

endokarditis, glomerulonefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan.

Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat menyebabkan obstruksi

jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi. Keterlibatan ruang-ruang

faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan

drainase dari luar melalui segitiga submandibular.1,2,4,8

II.3.8 Prognosis

Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan

penanganan yang kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi

penyembuhan. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok setelah insisi abses,

maka tonsilektomi menjadi indikasi. Kekambuhan abses peritonsil pada usia di


31

bawah 30 tahun lebih seringg terjadi, demikian juga bila sebelumnya menderita

tonsilitis sampai 5 episode.2

Anda mungkin juga menyukai