Anda di halaman 1dari 43

BAB 1

PENDAHULUAN

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.

Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,


kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.

Abses leher dalam dapat berupa: 1,2

1. abses peritonsil
2. abses retrofaring
3. abses parafaring
4. abses submandibula
5. angina Ludovici (Ludwig’s Angina)

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI FARING

Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. 3

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpamnjang. Dinding
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus
otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring).

Pendarahan

2
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.

Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang
ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glososfaring
dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring
yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).

Kelenjar getah bening

Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir
ke kelenjar getah bening dalam bawah.

Pembagian faring

Gambar 3. Pembagian nasofaring 7

Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:4,5

1. Nasofaring

3
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
verrtebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranial
dan v.jugularis interna, bagian petrosus os.temporalis dan foramen laserum, dan
muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterio faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual, dan foramen sekum.
Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat dalam
radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di
bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum
mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang
sebenarnya.
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.

4
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan
tonsil lingual yang ketiga0tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan
sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia
faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
farings sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah
dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring
asendens, dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi
menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus
dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual
thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior
ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
“kantong pil” (pill’s pocket), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan
pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk
infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis
ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.

5
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.

Lapisan fasia leher dalam


Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
- divisi muskular
- divisi viscera
3. Lapisan profunda :
- divisi alar
- divisi prevertebra

Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ,
otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia
servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis
profunda.
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah
toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan
pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 9,10,11
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai
daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada
klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar
parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan
pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media

6
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular
terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m.
sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os
hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan
esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke
esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan
ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan
perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan
dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar
tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan
dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk
selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.

Ruang faringeal

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5

1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)


Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan
ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh :

7
- anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis
profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di
ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi menjadi
2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiap – tiap bagian
mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah
berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan
tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang
ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah
ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang
lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
suatu lapisan fasia yang tipis.

8
Gambar 5. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan parafaring.12

Gambar 6. Penampang sagital leher memperlihatkan posisi spatium retropharyngeum dan


submandibularis.11

9
Gambar 7. Potongan oblik leher menunjukkan ruang faringomaksila (parafaring), ruang
submaksila, dan ruang potensial lainnya.13

Gambar 8. Potongan koronal ruang parafaring.13

Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :

10
- danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra pada
bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus
vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang ini berjalan
sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi leher dalam ke
daerah koksigeus.

Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space, dan
prevertebral space.14

Ruang submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.

Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari badan mandibula,
medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament stylohyoid dan perut
posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan
inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula
saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes.

11
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang
submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja.

Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh m.mylohyoideus.15

Gambar 11. Ruang sublingual di bagian superior dari m. mylohyoid. Ruang


submandibular di inferior dari m. mylohyoid.16

ABSES LEHER DALAM

3.1. ABSES PERITONSIL (QUINSY)

3.1.1. Definisi 1,2,17

12
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil merupakan
abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang disebut sebagai
kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus
konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus
piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena terbentuk dari
jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen.
Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung melibatkan palatum mole, dinding
lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah.

3.1.2. Epidemiologi

Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30 kasus per 100.000
orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per tahun. Tidak ada data akurat secara
internasional.17

Meskipun tonsilitis penyakit anak, hanya sepertiga kasus abses peritonsil ditemukan
di kelompok umur ini. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi, dengan jarak 1-76
tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35 tahun.17

Tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.17

3.1.3. Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan
penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1

Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui kultur.
Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering. Selanjutnya, yang
paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Terakhir, organisme
lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces
sp., Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi.
Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 18

3.1.4. Patofisiologi

13
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menampati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat melebar
melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah. Walaupun
sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.1

Patofisiologi abses peritonsil tidak diketahui. Teori yang paling banyak diterima
adalah kelanjutan dari episode tonsilitis eksudatif yang menjadi peritonsilitis terlebih dahulu
dan lalu membentuk abses. Progresifitas proses inflamasi dapat terjadi pada populasi yang
diobati dan yang tidak diobati. Abses peritonsil juga ditemukan tanpa riwayat tonsilitis
rekuren atau kronis. Abses peritonsil juga bisa merupakan manifestasi dari infeksi Epstein
Barr Virus (misalnya mononucleosis).17

Teori lain menunjukkan asal abses peritonsil ada di kelenjar Weber.1,17 Kelenjar air
liur kecil ini ditemukan di ruang peritonsil dan disebutkan membantu membersihkan debris
dari tonsil. Saat obstruksi terjadi sebagai hasil dari jaringan parut karena infeksi, nekrosis
jaringan dan pembentukan abses terjadi, sehingga terjadilah abses peritonsil.

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak


permukaannya hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut
lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral.

Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan


iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan,
mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.

Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang parafaring dan kelenjar
limfa servikal superior, yang menjelaskan pola limfadenopati secara klinis. Limfadenopati
servikal superior ipsilateral adalah hasil penyebaran infeksi ke kelenjar limfa regional.
Kadang-kadang, keparahan proses supuratif dapat menuju abses servikal, khususnya pada
kasus yang sangat fulminan atau progresif cepat.

3.1.5. Gejala dan tanda1,2,17

1. Anamnesis

14
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien biasanya memiliki riwayat
faringitis akut ditemani dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin
memburuk. Pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering
mengalami demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena limfadenopati
dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri leher dan bahkan keterbatasan
gerak leher. Dokter harus memikirkan diagnosis abses peritonsil pada pasien dengan gejala
faring persisten meskipun sudah diberikan rejimen antibiotik yang adekuat.

Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut, ruang
parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan karena
obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin terjadi.

2. Pemeriksaan

Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan faring
asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat.
Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris,
eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral.

Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole


tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan
terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.

Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang terkena,
pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak pucat dan
mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering menunjukkan
fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk pasien dengan
airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan epiglotitis dan supraglotitis,
juga kelainan pita suara.

15
Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral. Penemuan
limfadenopati servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih kelenjar tidak tak biasa. Kelenjar
limfa yang terkena mungkin agak padat. Pada pasien dengan inflamasi kelenjar limfa yang
signifikan, tortikolis dan keterbatasan mobilitas mungkin dialami.

Gambar 12. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.19

3.1.6. Pemeriksaan Penunjang2,17

1. Pemeriksaan laboratorium

 Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil sering
tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi karena intake oral
yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu pemeriksaan darah perifer
lengkap, elektrolit, dan kultur darah.
 Tes Monospot
o Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal bilateral, tes
Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan
o Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali. Tes fungsi
hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan hepatomegali.
 Kultur swab tenggorok: untuk membantu identifikasi organisme infeksius, swab
tenggorok dan kultur harus dipertimbangkan. Hasil dapat membantu seleksi antibiotik
yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, mebatasi resiko resitensi antibiotik.

2. Pemeriksaan radiologi

 Foto x-ray jaringan lunak polos

16
o Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan nasofaring dan orofaring dapat
membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.
o Pada foto anteroposterior, foto menunjukkan distorsi jaringan lunak tetapi tidak
berguna untuk menentukan lokasi abses.
 CT scan
o Pada kasus tertentu dan pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat dilakukan
dengan CT scan rongga mulut dan leher menggunakan kontras intravena.
o Temuan yang biasa adalah adanya kumpulan cairan hipodens pada apex tomnsil
yang terkena, dengan penebalan pinggiran.
o Temuan lain dapat termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fosa di sekitarnya.
o Penggambaran lebih jauh limfadenopati servikal dibutuhkan, karena identifikasi
kumpulan cairan intranodal mungkin, yang mengindikasikan abses servikal dan
membantu perencanaan penanganan bedah.
 Ultrasonografi20
o Ultrasonografi intraoral sederhana, dapat ditolerir, non invasif yang dapat membantu
membedakan selulitis dan abses.
o USG juga dapat membantu pilihan aspirasi lebih langsung pada fosa tonsil sebelum
penanganan bedah definitif.

3. Aspirasi jarum

 Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi lokasi abses
di ruang peritonsil.

3.1.7. Diagnosis

Indikasi untuk mempertimbangkan kemungkinan abses peritonsil meliputi sebagai


berikut: 17

- Pembengkakan unilateral area peritonsil.


- Pembengkakan unilateral palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil ipsilateral.
- Tonsilitis yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten.

Pada dewasa, tanda klinis yang berhubungan dengan abses peritonsil antara lain
trismus, deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil yang terkena.21 Pada kasus

17
abses peritonsil, saat insisi dan drainase dilakukan, gejala pasien akan membaik. Aspirasi
jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik, karena dapat menentukan lokasi
akurat ruang abses. Cairan aspirasi dapat dikultur, dan pada beberapa kasus, insisi dan
drainase mungkin tidak perlu. Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri tenggorok
berulang dan/atau kronik setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi indikasi tonsilektomi.

3.1.8. Terapi 1,17

1. Medikamentosa

 Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang dan
pasien bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.
 Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak nyaman.
 Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses. Penggunaan
penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi empiris untuk
abses peritonsil.
 Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati
kopatogen dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan pertama.
 Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazol) tampaknya
merupakan pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1) cefuroxime or cefpodoxime
(dengan atau tanpa metronidazol), (2) klindamisin, (3) trovafloxacin, atau (4)
amoksisilin/klavulanat (jika mononucleosis sudah disingkirkan). Pasien dapat diberi
resep antibiotik oral jika intake oral sudah terpenuhi; lama pengobatan sebaiknya sekitar
7-10 hari.
 Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis tunggal
dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan secara signifikan
mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan antibiotik parenteral.22 Dan juga,
penggunaan steroid pada pasien dengan gejala dan tanda mononukleosis selama studi
belum menuju pembentukan abses peritonsil.
 Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.

2. Bedah

18
Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke
spesialis THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini. Rujukan
segera sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan diindikasikan pada pasien
dengan obstruksi jalan napas.

Preoperatif

 Mendiskusikan patofisiologi dan indikasi operasi kepada pasien adalah penting.


 Consent sebaiknya diterima dari pasien atau wali hanya setelah menjelaskan komplikasi
yang mungkin secara hati-hati.
 Pada kasus dimana akses jalan napas terganggu, konsultasi segera dengan dokter anestesi
harus dilakukan, dan mendiskusikan obstruksi jalan napas yang potensial.
 Potensi obstruksi jalan napas yang signifikan muncul jika akses jalan napas pasien
dibatasi oleh trismus atau edema struktur orofaringeal.

Intraoperatif

Pada pasien kooperatif, tindakan dapat dilakukan di kursi pemeriksaan. Lipatan


supratonsil dianestesi dengan injeksi anestesi lokal dengan epinefrin untuk mengurangi
perdarahan. Tempat aspirasi atau insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau
pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada
sisi yang sakit.

c. Tonsilektomi

 Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama


tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4
hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6
minggu setelah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’froid”.
 Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu setelah
drainase abses.
 Tonsilektomi segera sebagai bagian penanganan abses peritonsil juga masih merupakan
kontroversi. Banyak studi menunjukkan amannya tonsilektomi pada abses akut. Yang
lainnya menunjukkan tonsilektomi seger atau tertunda mungkin tidak perlu karena
tingginya tingkat keberhasilan dan rendahnya rekurensi dan morbiditas setelah drainase.

19
 Pada situasi dimana abses terletak di lokasi yang susah untuk dijangkau, tonsilektomi
mungkin satu-satunya jalan untuk drainase abses.

Pascaoperatif

 Karena perbaikan segera terhadap gejala nyeri, kebanyakan pasien dapat di pulangkan
segera setelah pembedahan jika intake oral bagus dan tidak ada perdarahan.
 Beberapa pasien mungkin membutuhkan rawat inap untuk 24-48 jam atau sampai intake
oral sudah terpenuhi dan nyeri sudah menurun.
 Hidrasi intravena penting karena kebanyakan pasien memiliki defisit cairan.
 Penggunaan antibiotik lanjutan juga penting. Saat pasien dapat intake cairan lewat mulut,
antibiotik bisa diberikan secara oral selama 7-10 hari.
 Analgetik oral juga penting tergantung tingkat ketidaknyamanan dari inflamasi.

3.1.9. Komplikasi

Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil terlewat atau
terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit dan juga karakteristik
ruang-ruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan segera penting.1,17

1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut
(Angina Ludovici).
5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau cabangnya
terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal pascaoperasi.23

3.1.10. Prognosis

Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh
dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali, membutuhkan
tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis
setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan. 17

20
3.2. ABSES RETROFARING

3.2.1. Definisi1,2,24

Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep
neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses
infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe
retrofaring.
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing
2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.

Abses retrofaringeal menghasilkan gejala nyeri tenggorok, demam, kaku leher, dan
stridor. Abses retrofaringeal terjadi lebih sedikit daripada jaman dahulu karena penggunaan
antibiotik meluas pada infeksi saluran napas atas supuratif. Abses retrofaringeal, dulu secara
eksklusif merupakan penyakit anak, sekarang meningkat frekuensinya pada orang dewasa.
Abses retrofaringeal menunjukan tantangan diagnostik pada dokter gawat darurat karena
kejadiannya yang tidak frekuen dan presentasi yang bervariasi.

Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap abses retrofaringeal penting


karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan morbiditas yang signifikan.

3.2.2. Epidemiologi

Frekuensi

Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu karena


penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika Serikat yang merupakan
negara maju juga didapatkan peningkatan frekuensi dalam 12 tahun sebanyak 4,5 kali.25

Ras

Abses retrofaringeal melalui beberapa studi menunjukan hasil yang berbeda-beda


dalam hubungannya dengan ras.

21
 Dalam 10 tahun kasus abses retrofaringeal yang ditangani di Kings County Hospital di
Brooklyn, New York, 70% pasien adalah dari ras Afrika-Amerika, 25% Kaukasia, dan
5% Hispanik.
 Pada studi pasien pedtiatrik dengan abses retrofaringeal di Wayne State University di
Detroit menunjukkan 43% kasus terjadi di orang kulit hitam, 54% kulit putih, 1%
Hispanik, dan 1% campuran.30
 Di Amerika Serikat, 2003, pada data pasien rawat inap anak (Kids’ Inpatient Database)
menunjukan 1321 pasien abses retrofaring, 37,4% kulit putih, 11,7% Afrika-Amerika,
11,1% Hispanik, 2% Asia, 3,8% ras lain, dan sisanya ras tidak dicatat.28

Jenis Kelamin

Abses retrofaringeal lebih biasa terjadi pada laki-laki daripada perempuan, dengan
frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada perempuan, dari hasil beberapa
studi.27,28,30

Umur

Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak, namun
sekarang frekuensi pada dewasa meningkat.24

3.2.3. Etiologi

Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang
faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses
dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes,
kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses
retrofaringeal.1,2,24

3.2.4. Patofisiologi 24

Ruang retrofaringeal adalah posterior dari faring, dengan fasia bukofaringeal di


anterior, fasia prevertebral di posterior, dan selubung karotid di lateral. Ruang ini memanjang
superior sampai basis kranii dan inferior ke mediastinum.

22
Abses di ruang ini dapat disebabkan oleh organisme berikut:

- Organisme aerob, seperti streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus.


- Organisme anaerob, seperti Bacteroides dan Veillonella.
- Organisme Gram negatif, seperti Haemophilus parainfluenzae dan Bartonella henselae.

Tingkat mortalitas tinggi dari abses retrofaringeal berhubungan dengan obstruksi jalan
napas, mediastinitis, pneumonia aspirasi, abses epidural, trombosis vena juular, fasiitis
nekrotikans, sepsis, dan erosi arteri karotid.

3.2.5. Gejala dan tanda 1,2,24

Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil,
rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama
di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan
suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan
gizi yang kurang disertai letargi.

Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat
bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat membengkak. Pada anak
dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis media.

3.2.6. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium 24

 Darah perifer lengkap


o Rata-rata sel darah putih pada suatu studi 17000, dengan jarak antara 3100-45900.
o Sel darah putih pada 18% pasien kurang dari 8000; jadi, sel darah putih normal tidak
menyingkirkan diagnosis abses retrofaringeal.
o Pada studi di Jerman, rata-rata sel darah putih 14700 dengan jarak 200-114000.
 Kultur darah diindikasikan sebelum pemberian antibiotik, tapi hasil kultur mungkin
negatif pada sekitar 82% kasus abses retrofaringeal.
 Kultur pus, yang diaspirasi pada saat drainase abses retrofaringeal, dapat menumbuhkan
satu atau lebih organisme 91% dari setiap pemeriksaan.

23
 Protein C-reaktif (CRP)
o Pada studi orang dewasa dan anak dengan infeksi leher dalam, pasien dengan protein
C-reaktif lebih dari 100 memiliki masa rawat inap lebih lama.
o Pada studi Jerman, CRP rata-rata 15,7 dengan jarak 0,0-74.

2. Pemeriksaan radiologi 24

 Foto x-ray jaringan lunak leher lateral


o Pelebaran jaringan lunak retrofaringeal diamati pada 88% pasien dengan abses
retrofaringeal menunjukan pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm pada C2
dan lebih dari 14 mm pada C6. Studi lain menemukan pembengkakan jaringan
lunak lebih dari 7 mm pad C2 dan lebih dari 22 mm pada C6; jadi, radiografi leher
lateral bisa kurang sensitif untuk mendeteksi abses retrofaringeal daripada studi ini.
o Selain pembengkakan jaringan lunak, radiografi leher lateral kadang-kadang tetapi
jarang dapat menunjukan air fluid level, gas di jaringan, atau benda asing.

 CT scan leher
o CT scan leher dengan kontras intravena sangat berguna untuk diagnosis dan
manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai lesi hipodens
pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer. Temuan lain pada CT
scan meliputi pembengkakan jaringan lunak, lapisan lemak yang terobliterasi, dan
efek masa.
o Lakukan CT scan leher dengan kontras intravena saat temuan x-ray leher lateral
kurang jelas atau gejala klinis abses retrofaringeal memenuhi tetapi x-ray leher
lateral memberi hasil negatif. X-ray leher lateral dapat menyesatkan, terutama pada
anak-anak.
o CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray positif karena
CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan selulitis. CT scan juga
menunjukkan pelebaran abses retrofaringeal dan hubungannya dengan pembuluh
darah besar, yang sangat membantu untuk dokter bedah.
o CT scan leher juga dapat membandingkan abses retrofaringeal dan limfadenopati
pada anak, yang dapat membantu dokter bedah THT untuk menentukan pengobatan
dengan antibiotik intravena saja atau dengan drainase abses.
 Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia aspirasi dan mediastinitis.

24
 MRI dengan gadolinium dapat melihat abses retrofaring, tetapi modalitas ini belum
digunakan secara luas.
 Ultrasonografi dapat menunjukkan abses retrofaringeal, tetapi penggunaannya belum
diklarifikasi.

3.2.7. Diagnosis 1

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan
lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7
mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih
dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra
servikal.

3.2.8. Diagnosis banding 1,24

1. Adenoiditis
2. Tumor
3. Aneurisma aorta
4. Epiglotitis
5. Abses peritonsil

3.2.9. Terapi 1

Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak
terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

25
Gambar 15.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B) Insisi
pada abses peritonsil.31

3.2.10. Komplikasi 1,24

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut:

1. penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera


2. mediastinitis
3. obstruksi jalan napas sampai asfiksia
4. bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru
5. abses epidural
6. sepsis
7. erosi vertebra servikal 2 dan 3
8. trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri karotid 32
9. kompresi arteri karotid dan vena jugularis interna 32
10. palsi nervus fasialis

3.2.11. Prognosis 24

Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani


secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika
pasien mengalami komplikasi serius.

3.3. ABSES PARAFARING

3.3.1. Definisi 1,2,33

26
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat
tonsilektomi, limfogen dan hematogen.

3.3.2. Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:1,2,33

1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan
ruang parafaring dan fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.

3.3.3. Patofisiologi 33

Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk
abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior
sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental.
Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini
disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada
mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.

27
Gambar 16. Jalur infeksi dari gigi.33

3.3.4. Gejala dan tanda 1,2,33

Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial.

3.3.5. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium33

Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian antibiotika yang sesuai.

2. Pemeriksaan Radiologi33

Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik
yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak
dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.

Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara
selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk
mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran
kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan
lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan
gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses.

3.3.6. Diagnosis 1,2,33

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP
atau CT scan.

3.3.7. Terapi 1,2,33

Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan

28
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi
dari luar dan intra oral.

Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

Gambar 18. Insisi Mosher.33

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap
insisi eksternal.

Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

3.3.8. Komplikasi 1,2,33

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.

Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau septikemia.

3.4. ABSES SUBMANDIBULA

29
3.4.1. Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula.1,2,34 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari
proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.1,2
Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses submandibula sudah
semakin jarang dijumpai.35 Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan
kesehatan mulut yang meningkat. Walaupun demikian, angka morbiditas dari komplikasi
yang timbul akibat abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan
penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan.
3.4.2. Etiologi

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.1

Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika
apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid.36 Infeksi dari gigi dapat
menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung melalui
pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor.35

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik
kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan
adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia,
Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan
pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella,
maupun Fusobacterium.37
3.4.3. Patofisiologi
Patofisiologi abses submandibula melalui gigi antara lain:38
1. Iritasi Pulpa
2. Hiperemic Pulpa
3. Pulpitis
4. Ganggren pulpa
5. Abses

30
Gambar 19. Patofisiologi abses submandibula.39

Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya (gambar di


bawah) oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur didekatnya.

Gambar 20. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space; CS:
carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland; GGM: genioglossus
muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial pterygoid muscle;
LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle.35

3.4.5. Gejala dan tanda 1,2

Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau
di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat
keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

31
adanya pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi
didapatkan material yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus
mandibula dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.

3.4.6. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.
2. Radiologis
a. Foto x-ray jaringan lunak kepala AP
b. Foto x-ray panoramik: dilakukan apabila penyebab abses submandibuka berasal
dari gigi.
c. Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema
subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
d. CT-scan: CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard pada
abses leher dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa hanya dengan pemeriksaan
klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu
rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan
hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid
level.37
3.4.7. Diagnosis 1,2

Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

3.4.8. Terapi

1. Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya
diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi
(mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah
pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman.
Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik.
Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat
disesuaikan.36,37

32
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap
terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu lebih
dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi terutama
untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih
kurang 10 hari.36,37
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat
yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien
dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.40
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi
perlu dipertimbangkan.40
3.4.9. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung


(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas ke
ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.35 Perluasan ini dapat secara
langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial kemudian ke
parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.37
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri
selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami
nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.35

3.4.10. Prognosis

Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses
masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
menghasilkan penyembuhan yang sempurna.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka
mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis
mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka
mortalitas 60%.40

3.5. ANGINA LUDOVICI (LUDWIG’S ANGINA)

33
3.5.1. Definisi 1,2,42

Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis (peradangan


jaringan ikat) dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Penyakit ini termasuk dalam
grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti
gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina
Ludovici dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua
ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).

3.5.2. Etiologi 1,2,43

Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob. Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang. Selain itu,
95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan gangguan jalan
nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute
infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari
perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi
sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah
ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau
adanya bengkak di sudut rahang.

Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab odontogenik
dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat m. myohyloid,
dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke ruang submandibular. Di samping
itu, perawatan gigi terakhir juga dapat menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran
organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta
inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan
submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses
peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui
leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di
lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.

34
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui
isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob yang
diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter
aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri
Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies
Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.
3.5.3. Gejala dan tanda 1,2,42

Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang
dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka
mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta
kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala
klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang
parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi
eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian
suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot
potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan,
nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan
dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang
dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan
adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan
air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan adanya
hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera. Pada pasien juga
mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya asupan makanan dan
minuman.

3.5.4. Pemeriksaan Penunjang44

1. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi akut.
Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi drainase.

35
 Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang menginfeksi
(aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi.
2. Pemeriksaang radiologi
 Foto x-ray: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan
luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat menunjukkan
perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik rahang dapat
membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang
yang terinfeksi.
 USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari abses.
USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif dan non-
radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk menentukan letak
abses.
 CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat memberikan
evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat mendeteksi
akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan napas sehingga
dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.
 MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan
dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih panjangnya waktu
yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang
mengalami kesulitan bernapas.
3.5.5. Diagnosis 1,2,42,44

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang ditambah adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi.

3.5.6. Terapi

Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:44


 pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
 kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan
membatasi penyebaran infeksi.
 ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.

36
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan adanya
teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih baik, maka
kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung dengan
menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam posisi tegak. Jika
tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi
lokal.44
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan operasi
dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang lebih terkontrol,
menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu
pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4
mg tiap 6 jam selama 48 jam.44
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus
dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.44
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus
atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika
terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara
horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan
paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar
submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu.
Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus
diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.1,45

37
Gambar 22. Insisi pada angina Ludovici.31
3.5.7. Komplikasi 1,2,42

Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang terdiri
dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis, kedua ruang ini
berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta kesamaan dalam tanda
dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh m. styloglossus melalui m.
constrictor media dan superior, merupakan penghubung antara ruang submandibular dengan
ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui
celah buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat
menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.
Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara mudah ke
jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga mediastinum dan ruang
subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi dari
angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi,
dan pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan meliputi
sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari carotid sheath yang
mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari v. jugularis interna.

3.5.8. Prognosis

Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar
45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai
dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu,
35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.44

38
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era
preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas
yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam
ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka
mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.45

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,


Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008. Hal. 226-30.
2. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333.
3. The Mouth. Dalam: Gray’s Anatomy of The Human Body. Yahoo Education. Diakses:
8 Desember 2011. Terdapat di: http://education.yahoo.com/reference/gray/subjects/
subject/ 242.
4. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008. Hal. 212-6.
5. Snell RS. Pharynx. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran.
Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 795-801.
6. Mouth cavity. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: http://atlas.likar.info/Nebo/.
7. Zoltan V. Pharynx. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.earspecialist. eu/index.php?page=content&method=static&id=116.
8. Tonsil. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: http://www.graphicshunt.com/
health/images/lingual_tonsil-1853.htm.
9. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Dalam: USU Digital Library. Diakses: 8 Desember
2011. Diperbaharui: 2003. Terdapat pada: http://repository.usu.ac.id/handle/
123456789/ 3464.
10. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head
and neck surgery – otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB Lippincott Company ,
1993 . h.738-49.
11. Snell RS. Fascia Cervicalis Profunda. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 849-51.
12. Axial Section of Oropharynx. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://atlas.likar.info/Okologlotochnaya_kletchatka/.
13. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc/57908713/Abses-Parafaring.

40
14. Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir diperbaharui:
22 Juli 2011. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.
15. Hartmann RW. Ludwig’s Angina in Children. Am Fam
Physician. 1999 Jul 1;60(1):109-112. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.aafp.org/afp/1999/0701/ p109.html.
16. Angina Ludovici. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
www.scribd.com/doc/6208 0690/Angina-Ludwig.
17. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari 2010.
Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com/
article/194863-overview#showall.
18. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in management
of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
19. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill.
Diakses: 13 Desember 2011. Terdapat pada: http://www.accessemergencymedicine
.com/overflow.aspx?searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrug
Match=False&searchSource=Images&ftbool=False.
20. Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound soft tissue
applications in the pediatric emergency department: to drain or not to drain?. Pediatr
Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8.
21. Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J Otolaryngol
Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8.
22. Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the treatment of
peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-42.
23. Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation technique.
Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
24. Kahn JH, O’Connor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
25. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in children: the
emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South Med J. Sep
2006;99(9):927-31.

41
26. Wang LF, Kuo WR, Tsai SM, Huang KJ. Characterizations of life-threatening deep
cervical space infections: a review of one hundred ninety-six cases. Am J Otolaryngol.
Mar-Apr 2003;24(2):111-7.
27. Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and management of
deep neck space infections: an 8-year experience of 234 cases. Otolaryngol Head Neck
Surg. Nov 2005;133(5):709-14.
28. Lander L, Lu S, Shah RK. Pediatric retropharyngeal abscesses: a national perspective.
Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Dec 2008;72(12):1837-43.
29. Shah RK, Chun R, Choi SS. Mediastinitis in infants from deep neck space infections.
Otolaryngol Head Neck Surg. Jun 2009;140(6):936-8.
30. Coticchia JM, Getnick GS, Yun RD, Arnold JE. Age-, site-, and time-specific
differences in pediatric deep neck abscesses. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. Feb
2004;130(2):201-7.
31. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 14 Desember
2011. Terdapat pada: http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
32. Elliott M, Yong S, Beckenham T. Carotid artery occlusion in association with a
retropharyngeal abscess. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Feb 2006;70(2):359-63.
33. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/
doc/66624613/abses-parafaring.
34. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
35. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all. Odontogenic
infection pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int. J. Oral
Maxillofac. Surg. 2002; 31: 165–9.
36. Huang T, Chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection: analysis
of 18 cases. Head and neck. Ockt 2004.860-4 .
37. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 14 Desember 2011. Terdapat
pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHERDALA
M-Revisi.
38. Abses Submandibula. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.scribd.com/doc/68513145/ABSES-SUBMANDIBULA.
39. Tooth Decahy progression. Diakses: 8 desember 2011. Terdapat pada:
http://www.moondragon.org/health/graphics/toothdecayprogression.jpg.

42
40. Gómez CM, Iglesia V, Palleiro O, López CB. Phlegmon in the submandibular region
secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
41. Fundamental Principles of Treatment of Infection-Oral Surgery Lecture Note. Terakhir
diperbaharui: 17 Juli 2011. Diakses: 14 Desember 2011. Terdapat pada:
http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/fundamental-principles-of-
treatment-of.html
42. MD Guidelines. Ludwig’s Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
43. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002.
44. Ludwig’s Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/doc
/62080690/Angina-Ludwig.
45. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.

43

Anda mungkin juga menyukai