Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

RHINOPHARINGITIS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah Semester Ganjil


Dupak Dinas Kesehatan Kota Bandung
Periode Juli – Desember 2022

Disusun oleh:

dr. Ike Ernawati 198902272019032004


2

BAB I
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN FARING

1.1 HIDUNG
1.1.1 Anatomi Hidung
Hidung adalah agian respiratory tract yang terletak di superior dari hard palatum dan
mengandung organ-organ penciuman perifer. Hidung disokong oleh tulang dan tulang rawan,
yaitu :
 Tulang
a. kedua os nasale
b. processus frontalis maxillae
c. pars nasalis os frontalis
 Tulang rawan
a. 2 cartilagines nasi laterales
b. 2 cartilagines alares
c. 1 cartilagines septi nasi

Hidung terdiri dari 2 bagian :


a. Eksternal nose

b. Internal nose (nasal cavity)


Memanjang dari eksternal nares di anterior dn membuka ke nasofaring di posterior
melalui koana. Concha dibagi 3, diantaranya terdapat meatus:
1. Concha superior
Meatus superior di antara Concha superior dan Concha media
2. Concha media
Meatus media di antara Concha media dan Concha inferior
3

3. Concha inferior
Meatus inferior di antara Concha inferior dan atap mukosa oral.
Pada bagian depan terdapat vestibulum nasi yang mempunyai vibrisae (rambut
hidung).

Vaskularisasi Hidung
1. A. ethmoidalis anterior
2. A. ethmoidalis posterior (cabang A.opthalmica)
3. A. sphenopalatina (cabang A.maxillaris interna)
4. Plexus kieselbach
5. A. labialis superior (cabang A.maxillaris externa)
4

Inervasi Hidung
1. 2/3 inferior membrane mukosa : n. nasopalatinus cabang maxillary.
2. Bagian anterior : n.ethmoidalis anterior cabang n.nasociliaris yang merupakan cabang
ophthalmica.
3. Dinding lateral cavitas nasi : melalui rami nasal n.maxillary, n.palatines major,
n.ethmoidalis anterior.

1.1.2 Fisiologi Hidung


Fungsi hidung, antara lain sebagai berikut :
1. Sebagai jalan nafas (fungsi respirasi)
2. Alat pengatur kondisi udara (air conditioning)
3. Penyaring udara
4. Indra penghidu
5. Resonansi suara
6. Membantu proses bicara
7. Refleks nasal

1.2 FARING
1.2.1 Anatomi Faring
Faring merupakan bagian tubuh yang merupakan suatu traktus aerodigestivus dengan
struktur tubular iregular mulai dari dasar tengkorak sampai setinggi vertebra servikal VI,
berlanjut menjadi esophagus dan sebelah anteriornya laring berlanjut menjadi trakea.
Memiliki panjang sekitar 12-14 cm.
Batas-batas faring :
 Superior :Oksipital dan sinus sphenoid
5

 Inferior :Berhubungan dengan esophagus setinggi m.Krikofaringeus


 Anterior :Kavum nasi, kavum oris, dan laring
 Posterior :Kolumna vertebra servikal melalui jaringan areolar yang longgar.

Faring dibagi menjadi tiga bagian :


1. Nasofaring (Epifaring)
2. Orofaring (Mesofaring)
3. Laringofaring (Hipofaring)

Nasofaring
Batas-batas nasofaring :
 Superior : Basis Cranii
 Inferior : Bidang datar yang melalui palatum molle
 Anterior : Berhubungan dengan cavun nasi melalui choana
 Posterior : Vertebra Servikalis
 Lateral : Otot-otot konstriktor faring
Mukosa nasofaring sama seperti mukosa hidung dan sinus paranasalis yaitu terdiri
dari epitel pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa kelenjar mukus di bawah
selaput (membrana) mukosa terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat melekatnya
mukosa.
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai beberapa sturktur penting, yaitu :
o Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang kadang disebut tonsila faringea atau
tonsil nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding anterior basis sphenoid.
6

o Torus tubarius atau tuba faringotimpanik, merupakan tonjolan berbentuk seperti koma
di dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan palatum molle dan satu
sentimeter di belakang tepi posterior konka inferior.
o Resesus faringeus terletak posterosuperior torus tubarius, dikenal sebagai fossa
Rosenmuler, merupakan tempat predileksi karsinoma faring
o Muara tuba eustachius atau orifisium tube, terletak di dinding lateral nasofaring, dan
inferior torus tubarius, setinggi palatum molle
o Koana atau nares posterior

Orofaring (Mesofaring)
Merupakan kelanjutan dari nasofaring pada tepi bebas dari palatum molle. Batasnya :
 Superior : Palatum molle
 Inferior : Bidang datar yang melalui tepi atas epiglotis
 Anterior : Berhubungan dengan kavum oris melalui istmus
 Posterior : Vertebra servikalis 2 dan 3 bersama dengan otot-otot prevertebra
Istmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus kanan dan kiri. Arkus faringeus sendiri
dibentuk oleh pilar tonsilaris yang pada bagian anterior terdapat m. Palatoglosus dan bagian
posterior terdapat m. Palatofaringeus. Diantara kedua pilar tersebut terdapat fossa/ruang
tonsilaris, berisi jaringan limfoid yang disebut tonsila palatina.

Gambar. Penampang Faring


7

Laringofaring (Hipofaring)
Terletak di belakang dan sisi kiri dan kanan laring yang disebut sinus atau fossa
piriformis. Dimulai dari segitiga valekula yang merupakan batas orofaring dengan
laringofaring, sampai setinggi tepi bawah kartilago krikoid, tempat masuknya spingter
krikofaringeus. Batas-batas lainnya :
 Superior : Bidang datar melewati tepi atas epiglotis atau setinggi valekula
 Inferior : Tepi bawah kartilago krikoid
 Anterior : Aditus Laring
 Posterior : Vertebra servikalis 3 sampai 6.
Valekula sendiri merupakan suatu cekungan yang dangkal dengan batas-batas :
 Anterior : basis lidah
 Posterior : fasies epiglotis anterior
 Lateral : plika faringoepiglotika
 Medial : plika glossoepiglotika
Fossa piriformis mempunyai batas-batas :
 Medial : Plika ariepiglotika
 Lateral : kartilago tiroid dan membran tirohioid

Jaringan Limfoid pada Faring


Jaringan limfoid yang berkembang pada
faring dengan baik dikenal dengan nama cincin
Waldeyer yang terdiri dari :
 Tonsila Palatina (faucial)
 Tonsila Faringeal (adenoid)
 Tonsila Lingualis
 Lateral Faringeal Band
 Nodul-nodul soliter di belakang faring

Jaringan Limfoid Nasofaring


Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa limfoid yang berlobus
dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau
segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen dengan selah atau kantung diantaranya.
Penyakit Thornwaldt’s merupakan infeksi dari bursa faringeal ini.
8

Adenoid bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus
eferennya menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis semu bersilia
yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar
nasofaring. Adenoid mendapat suplai darah dari A. Karotis Interna dan sebagian kecil
cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam
Vena Jugularis Interna.
Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke dalam kelenjar
Jugularis. Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang N IX serta N. Vagus.

Gambar. Adenoid
Tubal tonsil dibentuk terutama oleh perluasan nodulus limfatikus faringeal
tonsil ke arah anterior mukosa dinding lateral nasofaring. Nodulus-nodulus tersebut terutama
ditemukan pada mukosa tuba eustachius dan fossa Rossenmuler. Jaringan limfoid ini disebut
juga Gerlach’s Tonsil.
9

Jaringan Limfoid Orofaring


Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis
lidah diantara kedua tonsil palatina, dan meluas ke arah anteroposterior dari papila
sirkumvalata ke epiglotis. Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah
yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel
epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus.
Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari
A. Karotis Eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke Vena Jugularis Interna.
Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N.
IX.

Tonsila Palatina
Anatomi Tonsila Palatina
Dalam bidang THT dikenal tiga buah tonsil, yaitu tonsila palatina, tonsila faringeal
dan tonsila lingualis. Dalam pengertian sehari-hari, yang dikenal sebagai tonsil adalah tonsila
palatina, sedangkan tonsila faringeal dikenal sebagai adenoid.
Tonsil terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang
20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram. Fossa tonsilaris, di
bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus palatina anterior), sedangkan di bagian
belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian bersatu di
pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. Palatina membentuk palatum molle.

Gambar. Tonsila Palatina


10

Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan
dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m.Konstriktor Faringeus. Kapsul tonsil tersebut
masuk ke dalam jaringan tonsil , membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan
saraf tonsil.
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang
merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah, berbentuk celah
kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di pole atas,
sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk
pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di daerah tersebut.
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika triangularis
dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang membesar. Plika ini penting
karena sikatriks yang terbentuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke
dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.
Pole atas tonsil terletak pad cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai
plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat denganruang
supratonsil dan disebut ‘glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya
dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak,
antara tonsil dangan fossa tonsilaris mudah dipisahkan.
Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik sering menjadi
tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu :
 Ruang peritonsil (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :
o Anterior : M. Palatoglossus
o Lateral dan Posterior : M. Palatofaringeus
o Dasar segitiga : Pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat
menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonial.
 Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan sudut yang
dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator,
sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m. Pterigoideus Internus dan bagian
atas terdapat fasikulus longus m.temporalis. bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan
11

menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit
dibedakan dengan abses peritonsilar.
 Ruang parafaring (ruang faringomaksilar ; ruang pterigomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar,
sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah :
o Superior : basis cranii dekat foramen jugulare
o Inferior : os hyoid
o Medial : m. Konstriktor faringeus superior
o Lateral : ramus asendens mandibula, tempat m.Pterigoideus Interna dan
bagian posterior kelenjar parotis
o Posterior : otot-otot prevertebra.
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosessus styloideus dan otot-otot
yang melekat pada prosessus styloideus tersebut.
o Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radang tonsil,
mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
o Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. Karotis Interna, V.
Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.

Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
o A.Palatina Asendens, cabang A. Fasialis memperdarahi bagian postero inferior
o A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior
o A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi daerah antero media
o A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi daerah postero superior
o A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor memperdarahi daerah
antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis dan pleksus
venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis Interna. Pembuluh vena tonsil
berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding
faring.
12

Gambar. Vaskularisasi Tonsil

Aliran Limfe Tonsil


Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil
ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula, yang kemudian
membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. Konstriktor
Faringeus Superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya menuju
kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang
dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe dilanjutkan ke nodulus limfatikus
daerah dada untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus.

Gambar. Aliran Limfe Tonsil

Inervasi Tonsil
13

Terutama melalui N. Palatina Mayor dan Minor (cabang N V) dan N. Lingualis


(cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N IX
juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui “Jacobson’s Nerve”.

Gambar. Inervasi Tonsil

Histologi Tonsil
Kapsul tonsil terutama terdiri dari jaringan ikat dan serabut elastin yang meliputi dua
pertiga bagian permukaan lateral tonsil. Kapsul ini pada beberapa tempat masuk menjorok ke
dalam tonsil, membentuk kerangka penyokong struktur di dalam tonsil yang disebut
‘trabekula’. Trabekula merupakan tempat lewatnya pembuluh darah, pembuluh limfatik
eferen, dan saraf. Di dalam kapsul dapat dijumpai serabut-serabut otot serta pulau-pulau
kartilago hialin, yang merupakan sisa jaringan embrional arkus brakialis. Membrana mukusa
tonsil terdiri dari epitel berlapis gepeng dan pada beberapa tempat, lapisan mukosa ini akan
mengadakan invaginasi ke dalam massa tonsil, membentuk saluran buntu yang disebut kripta.
Kripta ini berbentuk tidak teratur dan bercabang-cabang. Lapisan epitel mukosa kripta lebih
tipis bila dibandingkan dengan epitel mukosa tonsil, bahkan pada bebrapa tempat, kripta ini
tidak dilapisi mukosa sam sekali. Komposisi terbesar dari jaringan tonsil adalah jaringan
limfoid yang pada beberapa tempat berkelompok, berbentuk bulat atau oval yang disebut
folikel, dengan diameter sekitar 1-2 cm. Di dalam folikel, terdapat sel-sel limfosit dalam
berbagai stadium pertumbuhan, dengan pusat pertumbuhannya disebut ‘sentrum
14

germinativum’. Kadang-kadang di sepanjang epitel dapat ditemukan sel-sel limfosit yang


bermigrasi atau mengadakan infiltrasi melalui mukosa yang tipis.

Lateral Faringeal Band (Adenoid)


Merupakan jaringan limfoid yang mempunyai beberapa kripta yang rudimenter dan
terletak mulai dari sudut yang diben tuk oleh permukaan belakang pilar posterior dengan
dinding faring.

Nodul-nodul Limfatik Soliter


Tersebar pada dinding posterior faring, di bawah adenoid, melengkapi terbentuknya
‘cincin Waldeyer’. Nodul-nodul ini bila meradang akan membengkak denga hebat, sementara
tonsil akan tenang saja, padahal jarak keduanya hanya 3-4 mm.

Jaringan Limfoid Hipofaring


Dari beberapa literatur menyebutkan tidak ada jaringan limfoid yang spesifik di
daerah hipofaring/ laringfaring ini, seperti halnya di nasofaring dan orofaring. Hanya
disebutkan bahwa jaringan limfoid tersebut banyak tersebar pada seluruh permukaan mukosa
hipofaring sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid).
Mengenai jaringan limfoid daerah laring, disebutkan memegang peranan penting di
dalam klinik terutama hubungannya dengan proses keganasan.
Daerah glotis terdiri dari serabut-serabut elastis sehingga tidak memiliki jaringan
limfoid. Daerah Supraglotis sebaliknya memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama
pada plika fentrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plika ariepiglotika
dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sebagai bundle neurovaskular laring.
Jaringan limfoid ini bertanggung jawab terhadap metastase karsinoma bilateral dan
kontralateral.
Jaringan Infraglotis, tidak sebanyak di supraglotis, tetapi dapat terjadi invasi
karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan pre dan paratrakeal.
Seluruh jaringan limfoid daerah laring bermuara ke jaringan limfoid servikal superior dan
inferior dalam.

1.2.2 Fisiologi Rongga Mulut dan Faring


Secara umum, rongga mulut dan faring mempunyai fungsi dalam :
 Proses menelan dan pernafasan
15

 Pertahanan tubuh
 Proses fonasi
Fungsi utama nasofaring adalah sebgai tbung kaku dan terbuka untuk udara
pernafasan. Pada waktu menelan, muntah, sendawa, dan tercekik, nasofaring akan terpisah
dengan sempurna dari orofaring karena palatum molle terangkat sampai ke dinding posterior
orofaring.
Nasofaring juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba
eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba eustachius. Sebagai ruang
resonansi sangat penting dalam pembentukan suara.
Orofaring dan hipofaring selain berfungsi sebagai saluran pernafasan,juga berfungsi
sebagai saluran drainase dari nasofaring, sebagai saluran makanandan minuman dari rongga
mulut, terakhir sebagai rung resonansi dalam pembentukan suara.

1. Proses Menelan dan Pernafasan


Proses menelan merupakan fungsi neuromuscular kompleks yang melibatkan struktur
dari cavum oris, faring, laring, dan esophagus. Dibagi dalam 4 fase, yaitu : fase persiapan
oral, fase oral, fase faringeal, dan fase esophagus. Fase pertama dan kedua di bawah control
volunter, fase ketiga dan keempat adalah involunter.

2. Fungsi Faring (Tonsil) dalam Proses Pertahanan Tubuh


Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase
awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke
dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil
mampu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang
menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen.
Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum,
biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran
tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan
dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sbelum masa
pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi.
Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.
16

Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik


Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid
untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini sangat
tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam
jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat
ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga
menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit.
Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri
dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu kantong yang disebut fagosom.
Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui
pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk
pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal. H2O2
yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian
membunuh bakteri dengan proses oksidasi.
Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri
maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam
fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan
proses digestif.

Mekanisme Pertahanan Spesifik


Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap
udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi
Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen.
Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan Ig-E yang berfungsi untuk
mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang
berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin.
Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga permukaan sel
membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini menyebabkan
keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis,
urtikaria, dan angioedema.
Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan dari
plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil.
Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses
immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-A mencegah terjadinya
17

penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barier untuk mencegah reaksi imunologi
serta untuk menghambat proses bakteriolisis.
Jaringan Limfoid Hipofaring tersebar di seluruh permukaan mukosa hipofaring sebagai
kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid), dan tidak ada jaringan limfoid spesifik
pada daerah ini.
Jaringan Limfoid Laring memegang peranan yang sangat penting dalam klinik terutama
hubungannya dengan proses keganasan.
 Daerah Glotik, terdiri dari serabut-serabut elastik, sehingga tidak memiliki jaringan
limfoid
 Daerah Supraglotik, memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada plika
ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plika arieloglotika dan
berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sepanjang bundle neurovascular laryng.
Jaringan limfoid supraglotik ini bertanggung jawab terhadap metastase karsinoma
bilateral dan kontralateral.
 Jaringan limfoid Infraglotik, tidak sebanyak di supraglotik tetapi dapat terjadi invasi
karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan limfoid pre dan paratrakeal
18

BAB II
RHINOPHARINGISTIS

2.1 Rhinitis
Rhinitis adalah inflamasi pada mukosa hidung Rhinitis berdasarkan etiologinya dibagi
menjadi :
 Rhinitis alergi
 Rhinitis non alergi

1. Rhinitis Alergi
Adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut. (Von Pirquet, 1986).
Kelainan pd hidung dgn gejala:bersin-bersin (sneezing), rhinore, rasa gatal
(itching), tersumbat (obstructive) setelah mukosa hidung terpapar allergen yg
diperantarai oleh IgE. (WHO ARIA , 2001).
Jalur allergen antara lain alergen Inhalan, Alergen Ingestan, Alergen
Kontaktan, dan Alergen Injektan
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu:
1. Intermitten (kadang-kadang): gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu
2. Persisten/menetap: gejala > 4 hari/minggu atau > 4 minggu.
Berdasarkan tingkat berat-ringan penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yg mengganggu.
2. Sedang-berat: bila terdapat 1 atau lebih dari gangguan tsb di atas.
Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Gejala klinik: hidung (rinore) dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
Biasanya terdapat di negara yang memiliki 4 musim. Alergen: tepungsari (pollen)
dan spora jamur.
19

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).


Gejala timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim.
Diagnosis
1. Anamnesis
 Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
 Penting ditanyakan:
 Alergi selain pd hidung: asma, ekzema, urtikaria, sensitivitas obat
 Riwayat penyakit alergi dalam keluarga.
 Gejala rinitis alergi yang khas: terdapatnya bersin berulang.
2. Pemeriksaan fisik
 Rinoskopi anterior: mukosa edema, basah, berwarna pucat disertai rinore encer
Bila gejala persisten: mukosa inferior à hipertrofi.
 Jika terdapat infeksi penyerta: sekret encer dan mukoid - kental dan purulen, mukosa
menjadi merah dan meradang, terbendung/bahkan kering.
 Gejala spesifik :
 Allergic shiner
 Allergic salute à Allergic/nasal crease
 Facies adenoid
 Cobblestone appaearance & dinding lateral faring menebal
 Geographic tongue
3. Pemeriksaan penunjang
 Hitung eosinofil dalam darah.
 Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) à prediksi
kemungkinan alergi pd bayi/anak dari suatu keluarga dgn derajat alergi yg tinggi.
 Pemeriksaan IgE spesifik dgn RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
 Pemeriksaan sitologi hidung
 Tes kulit à mencari alergen penyebab:
1. Test cukit kulit (Prick Test)
2.Uji intrakutan/intradermal tunggal / berseri (Skin End-point Titration / SET)
3. Uji gores (Scratch Test).
4. Uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IIPDFT):
 Std baku emas: (“Chalenge Test”).
20

Penatalaksanaan
 Penghindaran Alergen
 Pengobatan Medikamentosa (AH1 dan kortkosteroid)
 Operatif
 Imunoterapi (desensitasi)

2. Rhinitis Non-Alergi
Jenis rhinitis non alergi adalah
a. Rhinitis vasomotor
b. Rhinitis medikamentosa
c. Rhinitis akut
d. Rhinitis kronis

A. Rhinitis vasomotor
 terdapat gangguan fisiologis pada mukosa hidung akibat berlebihnya akifitas
parasimpatis
 Gejala : hidung tersumbat, bergantian kiri-kanan sesuai posisi pasien, rinorea.
Tidak disertai dengan bersin dan gatal hidung.

B. Rhinitis medikamentosa
 diakibatkan oleh penggunaan dekongestan topikal, nose drop atau nasal spray
dalam jangka panjang.
 Gejala : hidung tersumbat terus-menerus dan berair. Teerdapat konka dengan
sekret berlebih
C. Rhinitis akut
 inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh virus atau bakteri.
 Terdapat >200 jenis virus yang menyebabkan rhinitis.
 Bacterial rhinitis biasanya mengikuti viral infection sebagai secondary
infection.
D. Rhinitis kronis :
1. Rhinitis atrofi
 Adanya atrofi mukosa pada septum nasi, dinding konka atau dinding
lateral nasal.
21

 Ditandai dengan adanya area metaplasia mukosa yang tipis dan kering
pada respiratory epithelium kehilangan cilia-nya, adaya sedikit krusta
dan akumulasi sekresi viscid. Ozena : merupakan perkembangan
terakhir athropic rhinitis.
 Ditandai dengan mukosa yang menebal, krusta yang meluas dan
munculnya bau busuk.
2. Rhinitis Sicca
 Tanda klinisnya sama dengan rhinitis atrofi, ditambah adanya sedikit
ulcerasi dan perdarahan.
 Ditemukan pada orang yang bekerja di tempat yang panas, kering dan
berdebu.
3. Rhinitis hipertrofi
 Akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus, atau sbg lanjutan dari
Rhinitis alergi dan vasomotor.
 Gejala : sumbatan hidung (utama), sekret biasanya banyak,
mukopurulen, dan sering (+) nyeri kepala.
 Pemeriksaan fisik : konka hipertrofi (konka inferior), permukaan
berbenjol-benjol ditutupi mukosa yg hipertrofi jg, (+) sekret
mukopurulen

Penilaian Klinis
1. Anamnesis : untuk menemukan penyebab rhinitis (misal: obat-obatan, penyakit
sistemik), riwayat keluarga dengan imunodefisiensi, riwayat penggunaan obat topikal
hidung atau kokain, riwayat rhinitis alergi
2. Pemeriksaan fisik
 mukosa pucat à rhinitis alergi
 Hiperemis à infeksi
 bergelombang à granulomatosa
3. Pemeriksaan penunjang :
 CT scan
 Rinomanometri dan akustik rinometri
 Serum IgE dan Eosinofil
 Sitologis
22

Penatalaksanaan
1. Dekongestan à Rhinitis vasomotor
2. Steroid à Rhinitis Medikamentosa
3. Rhinitis Hipertrofi : kauterisasi konka, luksasi konka, konkotomi
4. Rhinitis Sika : obat cuci hidung
5. Rhinitis Atrofi : konservatif (vit A, irigasi rongga hidung, NaCl 0,9%), operatif

2.2 Faringitis
Definisi dan Etiologi
Merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%),
bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.

Patogenesis
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal.
Infeksi bakteri grup A Streptokokus grup β hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular yang dapat
menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini
banyak menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3
tahun. Penularan infeksi melalui sekret hidung dan ludah (droplet infection).

Klasifikasi
1. Faringitis akut
a. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis.
Gejala dan tanda
Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan
tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus dan
cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxachievirus dapat menimbulkan
lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Adenovirus
selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala konjungtivitis
terutama pada anak. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang
disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar
23

limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis


yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan,
mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat,
limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.
Terapi
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika jika perlu
dan tablet isap. Antivirus metisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada infeksi
herpes simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagidalam 4-6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak< 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB
dibagidalam 4-6 kali pemberian/hari.

b. Faringitis bakterial
Infeksi grup A Streptokokus β hemolitikus merupakan penyebab faringitis aku
tpada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Gejala dan Tanda
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai dengan demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
danterdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal
dan nyeri pada penekanan.
Terapi
a.Antibiotik
Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A Streptokokus β
hemolitikus. Penicilin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal atau amoksisilin
50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg
selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500 mg/hari
b. Kortikosteroid
c.Analgetika
d. Kumur dengan air hangat atau antiseptic

c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
Gejala dan tanda
24

Keluhan nyeri tenggorok dan nyeri nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.
Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar Sabouroud dextrosa. Terapi Nystatin
100.000-400.000 2 kali/hari. Analgetika.

d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak genital.
Terapi Sepalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg, IM.

2. Faringitis kronik
Terdapat 2 bentuk faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.
Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rinitis kronik, sinusitis,
iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa
faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang
biasa bernapas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasia. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular.
Gejala
Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang
berdahak.
Terapi
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan
nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis
diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspektoran. Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi faring.
Gejala dan tanda
25

Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada
pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa kering.
Terapi
Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofi
ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.

3. Faringitis spesifik
a. Faringitis luetika
Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti juga
penyakit lues di organ lain. Gambaran kliniknya tergantung pada stadium
penyakit primer, sekunder atau tertier.
Stadium primer
Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan
dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi terus
berlangsung maka timbul ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan
pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan.
Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring yang
menjalar ke arah laring.
Stadium tertier
Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan paltum. Jarang
pada dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring dapat meluas
ke vertebra servikal dan bila pecah dapat menyebabkan kematian. Guma yang
terdapat di palatum mole, bila sembuh akan terbentuk jaringan parut yang dapat
menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Terapi penisilin dalam dosis
tinggi merupakan obat pilihan utama.
b. Faringitis tuberkulosis
Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru.
Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring
primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung
kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran
malalui darah pada tuberkulosis miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen
26

maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan pada dinding
posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole
dan palatum durum. Kelenjar rehional leher membengkak. Saat ini juga
penyebaran secara limfogen.
Gejala
Keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagia. Pasien
mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga atau otalgia serta
pembesaran kelenjar limfa servikal.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan sputum basil tahan asam,
foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru dan biosi jaringan yang
terinfeksi untuk menyingkirkan proses keganasan serta mencari kuman basil
tahan asam di jaringan.
Terapi
Sesuai dengan terapi tuberkulosis parunya.
27

DAFTAR PUSTAKA

Boise, L.R. Buku Ajar Penyakit THT. Boies’s Fundamentals of Otolaryngology. Edisi
6.EGC.Jakarta. 1997.
Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL. Edisi ke-6 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Kamyar M. Hedayat, Jean – Claude Lapraz. 2019

Anda mungkin juga menyukai