Anda di halaman 1dari 41

LBM 4 PAINFUL SWALLOWING

STEP 1
Detritus : hasil eksudat yang berisi leukosit, bakteri, dan epitel yang
terlepas di kanal berwarna bercak kuning.
Kripte : muara saluran limfoid yang dapat terlihat pada tonsil

STEP 2
1. Anatomi, fisiologi, dan histologi faring dan tonsil?
2. Mengapa pasien merasakan seperti sensasi terbakar dan nyeri telan pada
tenggorokan?
3. Mengapa pasien demam dan mengalami penurunan nafsu makan?
4. Apa interpretasi dari pemeriksaan orofaringeal : tonsil : T4/T4, mukosa
hiperemis, kripte melebar +/+, detritus +/+ dan pada faring ditemukan
mukosa hiperemis dan terdapat granul di posterior?
5. Causa detritus dan kripte (definisi, patofis)?
6. Obat warung apa yang kira-kira sudah dikonsumsi untuk mengurangi
gejala?
7. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis?
8. Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut?
9. DD?
10. Komplikasi yang dapat timbul dari diagnosis?

STEP 3
1. Anatomi, fisiologi, dan histologi faring dan tonsil?
ANATOMI
Faring : berbentuk seperti corong, kurang lebih 15 cm, dibentuk oleh jar
fibromuskular
Nasofaring :
Batas depan : choanae
Atas : basis crania
Belakang : vertebra cervical yg dipisahkan facia prevertebralis
Bawah : palatum mole
Lateral : dinding medial leher
Ada bangunan ostium tuba eusthacii, adenoid, recessus faring

OROFARING
Atas : nasofaring
Depan : cavum oris dan uvula
Belakang : vertebra cervical II-III
Lateral : dinding medial leher
Bawah : tepi atas epiglottis
Bangunan tonsila palatine, fossa supra tonsilaris, tonsila lingualis
Laringofaring
Atas : orofaring
Depan : tepi blkg epiglottis
Belakang : dinding belakang orofaring
Bawah : porta esophagus

Ruang di sekitar faring:
Retrofaring : ada mukosa faring, fossa faringobulbolaris, sering
tjd supurasi, jk pecah abses retrofaring
Parafaring : dibagi 2 ruangan oleh os. Stiloid pre dan post
stiloid
Pre stiloid : gampang tjd supurasi
Post : banyak pemb darah


TONSIL
Ada cincin waldeyer : tonsil palatine, tonsil faringeal, tonsil lingual, tonsil
tuba
Tonsil palatine : ada di fossa tonsil, dibatasi pilar anterior : m.
palatoglossus, posterior : m. palatofaringeus. Panjang 2-4 cm.
masing2 tonsil 10-30 kriptus. Lateral ; m. konstriktor faring superior,
anterior : m. palatoglossus, posterior : m. pakatofaringeus, superior :
palatum mole, inf : tonsil lingua.
Vaskularisasi : a. maksila eksterna, a. maksila interna, a. lingualis cab
a. lingua dorsal, a. faringeal ascenden
Tonsil faringeal ; di dinding belakang nasofaring, tidak mempunyai
kripte
Tonsil lingual : di dasar lidah, dibagi 2 oleh lig. glossoepliglotika
HISTOLOGI
Pada nasofaring mukosanya bersilia dan epitel mengandung sel goblet, sedangkan
orofaring dan laringofaring mukosa tidak bersilia.
Pada faring banyak jar limfoid untuk proteksi.

Ada palut lender/mucous blanket di bagian nasofaring, di atas cilia, berfungsi
untuk menangkap partikel dari udara, mengandung lisozim. Bergerak ke posterior.
Terdapat otot2 sirkuler dan longitudinal.
Sirkuler : m. konstriktor faring sup, media, inf untuk konstriksi
Longitudinal : m. stiloideus dan m. palatofaring untuk melebarkan faring
dan mengangkat faring. Dipersarafi n IX.
Di palatum mole ada 5 pasang otot :
M. levator veli palatine menyempitkan isthmus faring, melebarkan tuba
eusthacii. Dipersarafi n X
M. tensor veli palatine mengencangkan anterior palatum mole dan
menyempitkan tuba eusthacii
M. palatoglossus menyempitkan isthmus faring
M. palatofaring
M. azigos uvula memperpendek dan menaikkan uvula
FISIOLOGI
Fungsi menelan
3 fase :
ORAL bolus di mulut berjalan ke faring, volunteer
FARINGEAL transfer bolus melewati faring, involunteer
ESOFAGEAL bolus bergerak peristaltic dari esophagus keg aster,
involunteer


FARING
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
bentuknya besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai
dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal
ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke
depan berhubungan berhubungan dengan rongga mulut melalui istmus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring
dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring
pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas Nasofaring, Orofaring, dan Laringofaring (Hipofaring).
Unsur faring meliputi : Mukosa, Palut Lendir (Mucous Blanket), dan Otot.
Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada Nasofaring
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosannya bersilia, sedang epitel
torak yang berlapis mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya yaitu Orofaring,
dan Laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng
berlapis dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring banyak ditemukan sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial. Oleh
karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
Palut Lendir
Dinding Nasofaring dilalui oleh udara pernafasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, Nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi
untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut
lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.
Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan yang melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media, dan
inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan
tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di
sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu
pada jaringan ikat yang disebut rafe faring (raphe pharyngis). Kerja otot
konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini depersarafi oleh n.vagus
(n.X)
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. letak otot-
otot ini disebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik faring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu menelan. M.stilofaring
dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini,
m.palatoglossus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya
untuk menyempitkan istmus faring dan memperlebar ostium tuba eustachius. Otot
ini dipersarafi oleh n.X.
M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan
isthmus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
FARING
Faring terdiri dari 3 bagian, yaitu ;
Nasofaring
Batas atas : basis tenggorok
Batas bawah : Palatum mole
Batas depan : Coana
Batas belakang : Vertebra cervikal
Orofaring
Batas atas : Nasofaring
Batas bawah : Tepi atas epiglotis
Batas depan : Cavum Oris
Batas belakang : Vertebra Cervikal II, III
Hipofaring
Batas atas : Orofaring
Batas bawah : Tepi atas Epiglotis
Batas depan : Tepi belakang Epiglotis
Batas belakang : Vertebra cervikal

TONSIL
Tonsil terdiri dari 3, yaitu :
Tonsil faringeal
Tonsil Palatina
Tonsil Lingua
Ketiganya membentuk cincing namanya Cincin WALDEYER

1. fisiologi faring dan tonsil
a. Menelan
b. Berbicara
c. Pertahanan
d. Respirasi
e. Resonansi
f. Suara
g. Artikulasi


Anatomi Fisiologi
Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang banyak
mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil terletak
pad a kerongkongan di belakang kedua ujung lipatan belakang mulut. Ia juga
bagian dari struktur yang disebut Ring of Waldeyer ( cincin waldeyer ). Kedua
tonsil terdiri juga atas jaringan limfe, letaknya di antara lengkung langit-langit dan
mendapat persediaan limfosit yang melimpah di dalam cairan yang ada pada
permukaan dalam sel-sel tonsil.





Tonsil terdiri atas:
1. Tonsil fariengalis, agak menonjol keluar dari atas faring dan terletak di belakang
koana
2. Tonsil palatina, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
3. Tonsil linguais, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Tonsil berfungsi
mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh dengan cara menahan
kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan kerongkongan, oleh karena itu
tidak jarang tonsil mengalami peradangan.

Peradangan pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah
satu gangguan Telinga Hidung & Tenggorokan ( THT ).

Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang tidak
mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi amandel yang kronis
dan berulang (Tonsilitis kronis).

Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus
dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan
adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal.
(Pearce,2006 ; Syaifuddin, 2006)


2. Mengapa pasien merasakan seperti sensasi terbakar dan nyeri telan pada
tenggorokan?
Invasi bakteri pertahanan utama : tonsil , karena terdapat jaringan limfe
virulensi tinggi inflamasi tonsil edem tonsil membentuk cincin ,
susah menelan nutrisi berkurang , kelemahan . mengobstruksi tuba
eustacii juga kurang oendengaran .
Bias juga menyebar menjadi otitis.
Sensasi terbakarinflamasi tonsil dan mukosa di orofaring
Nafsu makan
Karena ada nyeri di tenggorokan , nyeri telan nafsu makan menurun

Derajat tonsil:
T0 T4
Pada scenario T4 sehingga mengobstruksi makanan, nyeri telan
Jika kronis tidak ada nyeri telan











3. Mengapa pasien demam dan mengalami penurunan nafsu makan?
Di no 2














Virus; Bacteria; Group A beta hemolytic streptococcusActivation of
macrophages by IFN- production of endogenous pyrogen IL-1, IL-4, IL-6,
TNF-endogenous pyrogens enter the systemic circulation and penetrate
hematoencephalic barrier reacts to the hypothalamusEffects of
endogenous pyrogen on hypothalamic cytokines causethe production of
arachidonic acidand prostaglandins Prostaglandins stimulate the cerebral
cortex (behavioral response) leptin causes stimulation of the
hypothalamussuppressed appetite.
ACUTE TONSILLO PHARYNGITIS EXUDATIVE, CAPITOL MEDICAL CENTER
COLLEGES INC., CORRAL, Priscilla Chantal M.


1. Virus; 2. Bacteria;
3. Group A beta hemolytic
streptococcus
Tissue damage
Release of chemical mediators
(histamine, prostaglandin,
leukotriene, complements, kinin)
Occlusion of almost half of the
mouth
Vasodilation
Edema


Vasodilation

Vasodilation
Swelling
Phagocytic
action
1. Pain; 2. Fever; 3.Redness; 4.Exudates; 5.Sore throat; 6.Odynophagia; 7.Dysphagia; 8.Otalgia; 9. Dysphagia
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang
didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan
berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran
jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu
perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari
leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh
darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan
sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi
dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran, 2003).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh
vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah
dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman
kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca kapiler
melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular
pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang
sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan
disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan
perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding
pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit
banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa
menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit
(Robbins & Kumar, 1995).

Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel
darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran
utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-
saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-cabang
dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang
berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).

Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan
keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini
berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan
tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada
pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit
cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui
saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan
sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar, 1995).

Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas
1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih
yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan
permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul
besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai
akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit
leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).

Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi
jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu
memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel
nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan
tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan
penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan
jaringan yang berarti (Robbins & Kumar, 1995).

Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel
darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar
daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah
akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih
pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan
menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang
tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi
permukaan endotel (Robbins & Kumar, 1995).

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari
pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel
endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi
leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel
endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins & Kumar,
1995).

Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah
utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh
pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir
semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam
derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap
rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor
kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya
bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor
kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya
produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun
sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh
suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang
apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum
(misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada
permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel,
berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada
vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom.
Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap,
granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan
melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi.
Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah
dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme.
Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit
(Robbins & Kumar, 1995).
2. Radang kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang
(berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan
dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan
radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan
infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh
infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi
jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis
dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).

Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul
radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut
menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda,
disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan
pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal
merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah
dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3
kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh
mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan
jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur
(misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama
dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan
respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak
banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya
berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai
penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa
cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan
kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera
mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam
tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang
sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan
terhadap berbagai macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip,
tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya
menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh.
Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme
biologi yang memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme
kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau
antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).

Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal
sebagai mediator dari respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan.
Walaupun daftar mediator yang diusulkan panjang dan kompleks, tetapi
mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi golongan amina
vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen,
dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan
prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai
macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang berasal dari oksigen dan
faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
Amina vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin
disimpan dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast.
Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel basofil
dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan histamin yang tidak aktif
dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang dapat
menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma atau
panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor Fc
pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin),
protein derivat leukosit yang melepaskan histamin, neuropeptida (misal,
substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran, 2003;
Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).

Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan
permeabilitas venula, dan pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin
bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor histamin jenis H-1 yang
ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam fenomena vaskular,
histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk eosinofil.
Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh
histaminase. Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk menghambat
efek mediator dari histamin. Perlu diketahui bahwa obat antihistamin hanya
dapat menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas vaskular dan
histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan pada
peningkatan permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995;
Abrams, 1995).
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif.
Serotonin ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat granula (bersama
dengan histamin, adenosin difosfat, dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama
agregasi trombosit. Serotonin pada binatang pengerat memiliki efek yang sama seperti
halnya histamin, tetapi perannya sebagai mediator pada manusia tidak terbukti
(Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).

4. Apa interpretasi dari pemeriksaan orofaringeal : tonsil : T4/T4, mukosa
hiperemis, kripte melebar +/+, detritus +/+ dan pada faring ditemukan
mukosa hiperemis dan terdapat granul di posterior?
Hiperemis mukosa ada peradangan, dilatasi pemb darah
Detritus adanya peradangan tonsil penumpukan leukosit,
bakteri mati, epitel mati. Terlihat bercak kuning
Kriptus muara sal limfoid terisi detritus lama kelamaan tjd
pengerutan
Granula pembengkakan organ limfoid faring
Ada bakteri/virus menginvasi mukosa faring, tjd inflamasi local,
kuman /bakteri mengikis epitel, jar. Limfoid bereaksi
pembendungan infiltrate leukosit PMN
Stadium awal : hiperemi, edema, sekresi banyak. Awal eksudat
serosa, menebal, kering menempel di dinding faring
Derajat tonsil
T0 : Tonsil sudah diambil
T1 : Normal
T2 : Pembesaran tonsil tidak sampai linea media
T3 : hipertrofi mencapai garis tengah sesak napas
T4 : pembesaran tonsil lebih dari linea media, mengganggu deglutio
Es tidak bersih banyak bakteri inflamasi pada tonsil
Chiki MSG jd Iritan di tonsil ..









Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang
tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi
amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang
ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan
memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan
adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal.
Ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan :
- T0 : bila sudah dioperasi
- T1 : ukuran yang normal ada
- T2 : pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
- T3 : pembesaran mencapai garis tengah
- T4 : pembesaran melewati garis tengah


proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.
Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan
parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok
melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfe submandibula.

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak
pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak
detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris.

5. Causa detritus dan kripte (definisi, patofis)?
Tonsil dibungkus oleh kapsul di fossa tonsil , di tonsil banyak jar limfe yg
disebut folikel, tiap folikel pny kanal yang bermuara pada perm tonsil.
Muara tersebut terlihat muara yaitu kripte.
Folikel peradangan tonsil membengkak membentuk eksudat yang
mengalir dalam kanal keluar ke kripte terlihat kotoran putih/ bercak
kuning (Detritus)

Widen crypt:

The human palatine tonsils (PT) are covered by stratified squamous
epithelium that extends into deep and partly branched tonsillar crypts, of
which there are about 10 to 30. The crypts greatly increase the contact
surface between environmental influences and lymphoid tissue.
The tonsillar crypts often provide such an inviting environment to bacteria
that bacterial colonies may form solidified "plugs" or "stones" within the
crypts. In particular, sufferers of chronic sinusitis or post-nasal drip frequently
suffer from these overgrowths of bacteria in the tonsillar crypts.[medical
citation needed] these small whitish plugs, termed "tonsilloliths" and
sometimes known as "tonsil stones".
Barnes, Leon (2000). Surgical Pathology of the Head and Neck (2nd ed. ed.).
CRC Press. p. 404.
Detritus:
Infiltration of bacteria on the epithelial tissue lining the tonsils will cause an
inflammatory reaction in the form of the release of polymorphonuclear
leukocytes to form detritus. This detritus is a collection of leukocytes, dead
bacteria and epithelial apart. Clinically this detritus filling kripte tonsils and
appear as yellowish spots.
Staf Pengajar Ilmu Penyakit THT FKUI. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tengorok Kepala Leher Edisi ke 6 Cetakan ke 1, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 1990.
Granule in the posterior wall:
Acute pharyngitis Looks at mucosal thickening and hypertrophy of the
lymph nodes underneath and behind the posterior pharyngeal arch (lateral
band). The existence of the uneven mucosa of the posterior wall of the so-
called granular.
Staf Pengajar Ilmu Penyakit THT FKUI. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tengorok Kepala Leher Edisi ke 6 Cetakan ke 1, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 1990.

6. Obat warung apa yang kira-kira sudah dikonsumsi untuk mengurangi
gejala?
Hanya mengatasi simptomnya saja
Paracetamol, ibuprofen
Antibiotic


7. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis?
CT Scan
MRI
Biopsi
Darah rutin : leukositosis, Hb turun
Uji swab untuk mengetahui bakteri

8. Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut?
Farmakologi : antibiotic cefadroxil 1 minggu, analgesic, antipiretik,
kortikosteroid
Non farma : edukasi, minum air putih, pengontrolan makanan

GOLONGAN ANTIBIOTIK ? GENERASI?SEDIAAN..

9. DD?
TONSILITIS
Tonsillitis akut
o Viral : haemophillus influenzae
o Bacterial : streptococcus beta hemoliticus
Tonsillitis membranacea
o T. diphteri Corynebacterium diphteri
Demam, nyeri kepala, nyeri telan, badan lemas
o T. septic strep hemoliicus
o T. angina plaut Vincent bakteri spirochaeta
o T. karena kelainan darah leukimia
o Proses spesifik luas dan TB
Kronis

Tonsilitis diphteri
Dari sal pernapasan atas, usia 10 th
Ada 3 gejala :
Local : membrane semu, pembesaran limfe / bull neck
Sistemik : Demam, nyeri kepala, nyeri telan, badan lemas
Eksotoksin : jantung miokarditis
Diagnose : gejala local, px mikrobiologi
TONSILITIS AKUT
Penderita mengeluh sakit tenggorokan dan beberapa derajat disfagia dan, pada kasus yang berat,
penderita dapat menolak untuk minum atau makan melalui mulut. Penderita tampak sakit akut dan
mengalami malaise. Suhu biasanya tinggi, kadang mencapai 104 F. Napasnya bau. Mungkin terdapat
otalgia dalam bentuk nyeri alih. Kadang kadang otitis media merupakan komplikasi peradangan pada
tenggorokan. Seringkali terdapat adenopati cervikalis deisertai nyeri tekan.
Tonsila membesar dan meradang. Tonsila biasanya berbecak bercak dan kadang kadang diliputi oleh
eksudat. Eksudat ini mungkin keabu abuan atau kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul dan
membentuk membran, dan pada beberapa kasus dapat terjadi nekrosis jaringan lokal.
TONSILITIS LINGUALIS
Nyeri waktu menelan, rasa adanya pembengkakan pada tenggorokan, malaise, demam ringan, dan
beberapa kasus terdapat adenopati servikalis dengan nyeri tekan. Inspeksi dengan tonsila lingualis
dengan bantuan cermin laring dan pantulan cahaya memperlihatkan massa lingualis yang
kemerahan, membengkak dan bercak bercak berwarna keputihan pada permukaan tonsila, mirip
dengan yang tampak pada tonsilitis akut yang mengenai tonsila fausialis.
TONSILITIS KRONIS
Gambaran klinis yang sering adalah dari tonsil yang kecil, bedanya membuat lekukan dan sering kali
dianggap sebagai kuburan dimana tepinya hiperemis, dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis,
seirng kali diperlihatkan dari kripta. Biakan tonsila dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan
beberapa organisme yang virulensinya relatif rendah dan pada kenyataanya, jarang menunjukkan
streptokokus beta hemolitikus.
(BOIES)
Tonsilitis kronis
Gejala dan tanda :
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.
Rasa ada yang mengganjal di tenggorok
Tenggorok dirasakn kering dan napas berbau.
(THT-FKUI)
Indikasi Tonsilektomi :
Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika:
- tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih/tahun
- tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih/tahun dalam kurun waktu 2 tahun
- tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih/tahun dalam kurun waktu 3 tahun
- tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotika
Faringitis
Faringitis (dalam bahasa latin; pharyngitis), adalah suatu penyakit peradangan yang
menyerang tenggorok atau faring. Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.
Infeksi saluran napas atas akut seperti faringitis merupakan infeksi rongga mulut yang
paling sering dijumpai. Radang ini bisa disebabkan oleh virus atau kuman, disebabkan
daya tahan yang lemah.
Secara khusus, jenis faringitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Faringitis Akut
1) Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan
faringitis.
Gejala dan tanda faringitis viral adalah demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok,
sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
coxschievirus, dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Adenovirus selain
menimbulkan gejala faringitis juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada
anak. Epsteiin Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat
pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh tubuh
terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan,
mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat,
limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.
Penatalaksanaan pada penderita adalah istirahat dan minum yang cukup disertai
kumur dengan air hangat. Analgetika jika perlu dan tablet isap. Anti virus metisoprinol
diberikan infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB
dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
2) Faringitis bakterial
Infeksi grup A Streptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada
orang dewasa 15% dan pada anak 30%.
Gejala dan tanda yang tampak adalah nyeri kepala yang hebat, muntah,
kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada
pemeriksaan tonsil tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada
palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membengkak, kenyal, nyeri pada
penekanan.
Terapi yang diberikan adalah antibiotik, berupa penicillin G banzatin 50.000 U/kgBB, IM
dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/ hariselama 10 haridan
pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisisn 4x500mg/hari. Dapat juga
diberikan kortikosteroid sebagai antinflamasi yaitu deksamethason 8-16 mg, IM 1 kali,
pada anak 0,08-0,3 mg/kgBB, IM 1 kali.
3) Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh pada mukosa rongga mulut dan faring. Gejala dan
tanda adalah keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini
dilakukan dalam agar saboraud dekstrosa. Terapi yang diberikan adlan nystatin
100.000-400.000 2 kali/hari dan pemberian analgetika.
4) Faringitis gonorea
Hanya dapat ditemukan pada pasien yang melakukan kontak orogenital. Terapi yang
dapat diberikan adalah sefalosporin generasi ke-3. Ceftriakson 250 mg, IM.
b. Faringitis kronik
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor
predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh
rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor
lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernapas melalui
mulut karena hidungnya tersumbat.
1) Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular. Gejala yang
muncul biasanya adalah tenggorokan menjadi kering dan gatal dan akhirnya batuk
beriak. Terapi yang dapat diberikan adalah dengan terapi lokal menggunakan kaustil
faring dengan menggunakan zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik
(electrocauter). Pengobatan simtomatis diberikan obat kumur atau tablet isap.
2) Faringitis kronik atropi
Sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi udara pernafasan
tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta
infeksi pada faring. Gejala dan tanda yang sering muncul adalah tenggorok terasa
kering, tebal, serta bau mulut. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh
lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering. Pengobatan ditujukan
pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atropi ditambahkan dengan obat kumur
dan menjaga kebersihan mulut.
c. Faringitis spesifik
1) Faringitis Luetika
Treponema palidum dapat menyebabkan infeksi di daerah faring. Dibagi dalam 3
stadium, yaitu pada stadium promer, pada lidah, palatum mole, tonsil dan posterior
faring berbentuk keputihan. Bila infeksi terus menerus maka akan timbul ulkus didaerah
faring seperti ulkus genitalia yang tidak nyeri. Pada stadium sekunder terdapat eritema
pada dinding faring yang menjlar ke arah laring. Pada stadium tertier terdapat
guma,pada tonsil dan palatum. Guma pada dinding posterior dapat menyebar ke
vertebra servikal dan dapat menyebabkan kematian. Diagnosa ditegakkan dengan
pemeriksaan serologis.
2) Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari TB paru. Cara infeksi eksogen, yaitu kontak dengan
septum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Infeksi endogen
yaitu dengan penyebaran melalui darah pada TB miliaris. Bila infeksi timbul secara
hematogen, maka lesi timbul pada kedua sisi dan sering ditemukan pada posterior
faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole, dan palatum
durum.
Gejala keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagia. Pasien
mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri telinga, dan pembesaran KGB servikal.
Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan BTA, foto thoraks dan biopsi jaringan
terinfeksi. Terapi sesuai dengan terapi untuk TB paru.
3. Etiologi Faringitis
Etiologi infeksi saluran pernapasan akut terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan
ricketsia. Bakteri penyebab antara lain genus streptokokus, staphylococcus,
pneumococus, hemofilus, bordetella dan korinebakterium. Virus penyebab antara lain
golongan miksovirus, adnevirus, koronovirus, pikornavirus. Disamping itu faktor-faktor
berikut adalah faktor beresiko untuk berjangkitnya atau mempengaruhi timbulnya
infeksi saluran pernapasan akut, yaitu ; gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak
mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak
memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan ibu
rendah, dan tingkat pelayanan kesehatan rendah. Gejala umum yang sering terjadi
pada penyakit Faringitis yaitu : batuk, sesak nafas, nyeri dada, suara serak, influenza
dan kadang disertai demam.
Ada tiga penyebab radang tenggorokan yang gejalanya dapat berupa rasa sakit di
bagian tersebut, susah menelan, susah bernapas, batuk, dan demam. Ada kalanya
terjadi pembengkakan di leher. Penyebabnya adalah infeksi, iritasi atau alergi.
Sekitar 90% dari kasus radang tenggorokan yang disertai hidung berair, demam, dan
nyeri telinga disebabkan oleh virus. Bakteri menjadi penyebab dari 10% kasus sisanya.
Pada 10% kasus sisanya bakteri penyebab radang tenggorokan tersering adalah
Streptokokus. Gejala infeksi bakteri ini adalah tenggorokan yang berwarna merah
daging dan tonsil yang mengeluarkan cairan. Untuk mendiagnosis bakteri ini sebagai
penyebab secara pasti adalah dengan melakukan usap tenggorok untuk kemudian di
kultur serta dilakukan pemeriksaan darah.
a. Infeksi
Infeksi yang menyebabkan radang tenggorokan bisa bersumber dari 3 hal, yakni
kesehatan mulut dan gigi, amandel sebagai sumber infeksi, dan sinusitis.
Kurang menjaga kebersihan bagian mulut, khususnya gigi, dapat menyebabkan
radang tenggorokan. Gigi yang busuk atau berlubang menjadi tempat berkumpulnya
kuman. Kuman inilah yang kemudian masuk ke dalam tenggorokan dan
menyebabkan infeksi. Untuk mencegahnya, harus rajin menjaga kebersihan mulut dan
gigi. Kalau ada gigi yang busuk atau berlubang, harus langsung ditangani. Misalnya,
ditambal atau dicabut.
Infeksi pada amandel juga dapat menyebabkan terjadinya radang tenggorokan.
Amandel sebenarnya sangat berfungsi pada anak usia 4 10 tahun karena ia
merupakan bagian dari pertahanan tubuh. Terutama pernapasan bagian atas.
Amandel yang sudah tidak berfungsi lagi akan menjadi tempat berkumpulnya kuman
sehingga menyebabkan infeksi pada tenggorokan.
Sumber ketiga penyebab infeksi tenggorokan adalah sinusitis. Setiap orang punya
beberapa pasang organ yang disebut sinus paranasal, ada di pipi, di dekat mata, di
dahi, dan di dekat otak. Jika organ ini meradang, itu yang disebut sinusitis. Pada orang
dengan sinusitis kronis, lendir akan terus-menerus mengalir di belakang tenggorokan
dan hidung. Hal ini menimbulkan iritasi ke tenggorokan dan menyebabkan radang.
b. Iritasi
Iritasi juga bisa menjadi biang keladi radang tenggorokan. Hal ini disebabkan
makanan yang masuk, yaitu makanan yang terlalu pedas, terlalu asam, terlalu panas
atau dingin, dan makanan-makanan yang terlalu bergetah. Makanan bergetah,
contohnya buah-buahan. Jadi, tidak semua buah-buahan aman, khususnya pada
mereka yang punya alergi, karena justru dapat membuat iritasi pada tenggorokan.
Untuk mencegahnya, sebaiknya tidak makan buah-buahan dalam jumlah terlalu
banyak. Iritasi juga sering terjadi pada mereka yang bekerja di lingkungan pabrik.
Instalasi zat kimia yang di hirup bisa menyebabkan iritasi dan radang pada
tenggorokan. Oleh sebab itu, penting sekali memakai masker.
c. Alergi
Sementara alergi merupakan reaksi hipersensitif bagi orang yang memilikinya. Alergi
dapat disebabkan bermacam hal, seperti makanan dan minuman, obat-obatan
tertentu, cuaca, dan debu. Zat yang menyebabkan alergi disebut allergen. Jika
allergen masuk ke dalam tubuh penderita alergi, tubuh pun akan mengeluarkan zat-
zat yang menyebabkan alergi. Akibatnya, timbul reaksi-reaksi tertentu, seperti gatal-
gatal atau batuk-batuk.
Alergi terhadap suatu makanan dapat menyebabkan reaksi sakit pada tenggorokan.
Selain itu, radang tenggorokan sering dialami mereka yang alergi terhadap jenis buah-
buahan tertentu dan olahannya, misalnya jus. Hati-hati, tidak semua jus aman bagi
orang-orang yang mengalami radang tenggorokan berulang karena alergi. Sering
batuk dan sakit tenggorokan. Paling sering justru pada jus tomat.
Minyak goreng bekas juga sering menjadi penyebab alergi dan mengakibatkan
radang tenggorokan. Orang yang alergi terhadap minyak goreng bekas harus selalu
mengganti minyak setiap kali akan menggoreng.
4. Patofisiologi Faringitis
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila
epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula lapisan tapi menjadi
menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding
faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk
sumbatan yang berwarna kuning, putih dan abu-abu terdapat dalam folikel atau
jaringan lomfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak.
Seperti orang dewasa, infeksi pada anak menyebabkan inflamasi dan pembengkakan
saluran napas yang bermakna. Pada kenyataannya, anak-anak yang mengalami ISPA
mungkin memperlihatkan gejala klinis yang lebih dramatis karena saluran napas atas
jauh lebih sempit sehingga resistensi terhadap arus udara tinggi walaupun
pembengkakan dan sumbatan jalan napas tidak mencolok. Batuk yang terdengar
pada anak yang mengidap faringitis mungkin seperti menyalak, serak dan stridor.
Terapi untuk anak-anak yang menderita faringitis derajat ringan-sampai-sedang
antara lain vaporizer, terapi oksigen. Mereka yang menderita faringitis derajat sedang-
sampai berat dapat diobati dengan pemberian glukokortikoid intramuskular atau
nebulizer. Inflamasi epiglottis dapat menyebabkan sumbatan total jalan napas,
kecemasan yang bermakna dan kematian. Anak-anak cenderung duduk telungkup
dan dapat berguling. Untuk anak-anak yang menderita epiglotitis, perlu dirawat di
rumah sakit dan mungkin memerlukan tindakan intubasi atau trakeostomi.
Sekitar 90% kasus faringitis disebabkan virus. Sisanya disebabkan bakteri dan kandidiasis
fungal (jarang terjadi, biasanya pada bayi). Juga dapat disebabkan iritasi akibat polusi
senyawa kimia. Pada faringitis akibat virus, virus berusaha menembus sel-sel
mukosa yang melapisi nasofaring dan bereplikasi dalam sel-sel ini. Gangguan
pada penderitaseringnya disebabkan oleh 0leh sel-sel dimana virus berimplikasi.
Umumnya sembuh dengan sendirinya, tidak perlu pengobatan spesifik, dan jarang
menimbulkan komplikasi. Virus Epstein-barr, herpes simplex, measle dan common
coald.
Bakteri penyebab faringitis yang paling umum adalah kelompok A streptokokus. Ada
banyak strain; paling berbahaya strain B-hemolitik (GABHS). Bakteri lain yang juga
umum adalah Corynebacterium diphtheria, Chlamydia pneumonia dan stafilokokus.
Jika tidak ditangani dalam 9 hari, infeksi oleh GABHS beresiko menimbulkan demam
rematik.
Corynebacterium diphtheria tidak terlalu invasive dan tetap terlokalisir pada
permukaan saluran permukaan saluran pernapasan. Hanya lisogenik corynebacterium
diphtheria tidak terlalu terlokalisasir pada permukaan sluran peranafasan. Hanya
lisogenik Corynebacterium diphtheria bakteriofag pembawa gen toksik yang
menyebabkan difteria. Kerusakan pada faring disebabkan oleh toksin tersebut, yang
membunuh sel-sel mukosa dan Adenosine Diphosphate (ADP) Ribosylating Alongation
Factor II. Toksin juga dapat merusak jantung dan saraf. Bakteri ini telah dieradikasi di
Negara-negara maju sejak dilakukannya program vaksinasi anak, tetapi masih
dilaporkan dinegara-negara dunia ketiga dan makin meningkat dibeberapa daerah di
eropa timur. Antibiotic efektif dalam tahap awal, tapi penyembuhan biasanya lamban.
Sedangkan Chlamydia pnemoniae menyebabkan sekitar 5% infeksi, dengan onset sub
akut dan faringitis. Penderita sering mengalami pola bifasik, tetapi membaik sebelum
berkembang menjadi bronchitis atau pneumonia.
Organisme yang menghasilkan eksudat saja atau perubahan kataral sampai yang
menyebabkan edema dan bahkan ulserasi dapat mengakibatkan faringitis. Pada
stadium awal, terdapat hiperemia, kemudian edema dan sekresi yang meningkat.
Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal atau berbentuk mukus dan kemudian
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan hiperemia, pembuluh darah dinding faring menjadi melebar. Bentuk
sumbatan yang berwarna putih, kuning atau abu-abu terdapat dalam folikel atau
jaringan limfoid. Tidak adanya tonsilia, perhatian biasanya difokuskan pada faring dan
tampak bahwa folikel limfoid atau bercak-bercak pada dinding faring posterior atau
terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak. Tekanan dinding lateral
jika tersendiri disebut faringitis lateral. Hal ini tentu saja mungkin terjadi, bahkan adanya
tonsilia, hanya faring saja yang terkena.
5. Tanda-tanda Bahaya pada Faringitis
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan
dan gejala-gejala yang ringan.
1. Mengeluh rasa kering / gatal pada tenggorok.
2. Malaise dan sakit kepala
3. Suhu tubuh meningkat
4. Nyeri
5. Disfagia
6. Suara parau Proses peradangan menyertai laring
7. Batuk
8. Edema Faring
Berdasarkan besar kecilnya anak makamanifestasi klinis penderita faringitis dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Anak yang lebih kecil
a. Demam
b. Malaise umum
c. Anoreksia
d. Sakit tenggorok sedang
e. Sakit kepala
f. Hiperemia ringan sampai sedang
2. Anak yang lebih besar
a. Demam(dapat mencapai 400C)
b. Sakit kepala
c. Anoreksia
d. Disfagia
e. Nyeri abdomen
f. Muntah
g. Faring edema, merah ringan
1) Hiperemia tonsil dan faring dapat meluas ke palatum lunak dan uvula
2) Sering menimbulkan eksudat folikuler yang menyebar dan menyatu membentuk
pseudomembran pada tonsil
3) Kelenjar servikal membesar dan nyeri tekan
Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila
semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin
meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan
penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka
perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat
cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.
Tanda- tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratoris :
a. Tanda-tanda klinis pada sistem respiratorik adalah tachypnea, napas tak teratur
(apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah
atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing
b. Pada sistem cardial adalah tachycardia, bradycardiam, hipertensi, hipotensi dan
cardiac arrest
c. Pada sistem cerebral adalah gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung,
pepil bendung, kejang dan coma
d. Pada hal umum adalah letih dan berkeringat banyak.
Berdasarkan penyebabnya, manifestasi klinis faringitis dapat dibagi dua, tetapi ada
banyak tanda dan gejala yang tumpang tindih dan sulit dibedakan antara satu
bentuk faringitis dengan yang lain.
1. Faringtis Virus
a. Tanda awal: Demam, malaise, anoreksia dengan nyeri tenggorokan sedang
b. Suara parau, batuk dan rinitis
c. Pada kasus berat dapat terbentuk ulkus kecil pada palatum lunak dan dinding
faring posterior.
d. Eksudat.
2. Faringitis Steptokokus
a. Pada anak umur lebih dari 2 tahun: Nyeri kepala, nyeri perut, muntah.
b. Demam 40oC kadang tidak tampak
c. Pembesaran tonsil dan tampak eksudat dan eritema faring
d. Disfagia
e. Kemerahan difus pada tonsil dan dinding penyangga tonsil dengan bintik-bintik
petekie palatum lunak, limfadenitis atau eksudasi folikuler.
Tanda-tanda laboratoris :
a. Hypoxemia
b. Hypercapnia
c. Acydosis (metabolik dan atau respiratorik)
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah :
tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda
bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah : kurang bisa minum
(kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang
biasanya diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing.
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyakit Faringitis
a. Pendidikan ibu
Orang dengan tingkat pendidikan formalnya lebih tinggi cenderung akan mempunyai
pengetahuan yang lebih dibandingkan orang dengan tingkat pendidikan formal yang
lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti serta pentingnya
kesehatan. Tingkat pendidikan mempengaruhi kesadaran akan pentingnya arti
kebutuhan bagi diri dan lingkungan yang dapat mendorong kebutuhan akan
pelayanan kesehatan.
Para ibu yang tidak pernah bersekolah mengalami kematian balita 35% dibandingkan
dengan ibu yang pernah bersekolah, tetapi tidak menyelesaikan sekolah dasarnya.
Perbedaan itu menjadi sangat mencolok, mencapai 97% dibandingkan para ibu yang
berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya. Pendidikan adalah salah satu
jalan menjadikan perempuan sebagai agen perubahan, bukan sekedar penerima
pasif program pemberdayaan. Pendidikan menjadi salah satu faktor yang
memungkinkan perempuan memiliki independensi ekonomi. Hal ini membuat
perempuan memiliki suara dalam rumah tangga maupun di masyarakat, antara lain
dalam mengatur pembagian harta keluarga seperti makanan, biaya kesehatan,
pendidikan dan sebagainya. Perempuan juga memiliki sumber penghasilan di
tangannya, cenderung membelanjakan penghasilan itu untuk kesejahteraan anak-
anaknya sebagai generasi penerus bangsa.
Seringkali ibu yang mempunyai balita terjangkit ISPA harus belajar melakukan praktik
kontrol infeksi di rumah. Teknik pencegahan penyakit ISPA hampir menjadi sifat kedua
bagi perawat yang melakukannya tiap hari. Namun, ibu yang mempunyai balita
terjangkit ISPA kurang menyadari faktor-faktor yang meningkatkan penyebaran infeksi
atau cara-cara untuk mencegah penularannya. Perawat harus mengajarkan ibu yang
mempunyai bayi terjangkit ISPA tentang infeksi dan teknik untuk mencegah atau
mengontrol penyebarannya.
b. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia yaitu : penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Pengetahuan yang di cakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkat
:
1) Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh materi yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima.
2) Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar.
3) Aplikasi (Application), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi
yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sekarang
4) Analisis (Analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi yang ada
kaitannya satu sama lain
5) Sintesis (Syntesis), menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk melakukan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
6) Evaluasi (Evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
/ penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Ditengah-tengah kesibukannya menyelesaikan tugas rutinnya itu, ibu masih dibebani
untuk merawat dan mengasuh anak. Sulit bagi ibu memisahkan pekerjaan itu dalam
waktu terpisah. Keterbatasan tenaga dan waktu membuat ibu harus melaksanakan
tugas ganda bersamaan. Biasanya sambil memasak di dapur, seorang ibu juga harus
mengasuh anaknya. Ketika tangannya sibuk mengolah masakan untuk keluarganya,
anak yang masih balita biasa tetap berada di pangkuannya. Kalau tidak digendong,
anaknya yang belum bisa di apih, ditidurkan di dipan yang terletak di dapur.
Sementara asap dari kompor terus mengeluarkan asap. Ruangan dapur dipenuhi gas
dari alat masak yang sebenarnya berbahaya bagi anak. Anak yang berada di dapur
bersama ibunya tidak bisa menghindari dari kepungan asap. Dengan berjalannya
waktu, akumulasi asap yang dihisap anak semakin besar. Tanpa disadari sang ibu,
anak itu telah terkena penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
c. Gaya Hidup
Banyak kegiatan, kebiasaan dan cara pelaksanaan kesehatan yang mengandung
faktor risiko; berbagai stress akibat krisis kehidupan dan perubahan gaya hidup juga
merupakan faktor risiko. Cara pelaksanaan dan perilaku sehat dapat berakibat positif
ataupun negatif terhadap kesehatan. Cara pelaksanaan kesehatan berpotensi
memberikan efek negatif dapat termasuk sebagai faktor risiko; antara lain yaitu makan
yang berlebihan atau nutrisi yang buruk, kurang tidur dan istirahat, dan kebersihan
pribadi yang buruk. Kebiasaan lain yang menyebabkan seseorang beresiko menderita
sakit antara lain kebiasaan merokok atau minum minuman alkohol atau
penyalahgunaan obat.
Untuk Faringitis Akut
Jika di duga atau ditunjukkan adanya penyebab bakterial, pengobatan dapat
mencakup pemberian Agens antimicrobial untuk streptokukus group A, penisilin
merupakan obat pilihan. Untuk pasien alergi terhadap penisilin atau yang mempunyai
organisme resisten terhadap eritromisin digunakan sefalosporin. Antibiotik di berikan
selama sedikitnya 10 hari untuk menghilangkan streptokokus group A dari orofaring.
Diet cair atau lunak diberikan selama tahap akut penyakit, tergantung pada nafsu
makan pasien dan tingkat rasa tidak nyaman yang terjadi bersama proses menelan.
Kadang tenggorok sakit sehingga cairan tidak dapat di minum dalam jumlah yang
cukup dengan mulut. Pada kondisi yang parah, cairan diberikan secara intravena.
Sebaliknya, pasien didorong untuk memperbanyak minum sedapat yang ia lakukan
dengan minimal 2 sampai 3 liter sehari.
b. Untuk Faringitis Kronik
Didasarkan pada penghitungan gejala, menghindari pemajanan terhadap iritan, dan
memperbaiki setiap gangguan saluran napas atas, paru atau jantung yang mungkin
mengakibatkan terhadap batuk kronik.
Kongesti nasal dapat dihilangkan dengan sprei nasal / obat-obatan yang
mengandung epinefrin sulfat (Afrin) atau fenilefrin hidroklorida (Neo-Synphrine). Jika
terdapat riwayat alergi, salah satu medikasi dekongestan antihistamin seperti Drixarol/
Dimentapp, diminum setiap 4-6 jam. Malaise secara efektif dapat dikontrol dengan
aspirin / asetaminofen.
c. Pada Anak-anak
Bila anak menjadi gelisah, rewel, sulit tidur, lemah atau lesu karena gejala radang
tenggorokan ini, kita dapat membantu meredakan gejalanya. Tidak harus selalu
dengan obat, mungkin dengan tindakan yang mudah dan sederhana bisa membantu
menenangkan anak.
1) Nyeri menelan :
Banyak minum air hangat, obat kumur, lozenges, paracetamol untuk meredakan nyeri
2) Demam
Banyak minum, paracetamol, kompres hangat atau seka tubuh dengan air hangat.
3) Hidung tersumbat dan berair (meler)
Banyak minum hangat, anak diuap dengan baskom air hangat, tetes hidung NaCl.
Dalam beberapa kasus, radang tenggorokan karena virus baru sembuh setelah 2
minggu. Yang diperlukan adalah kesabaran dan pengawasan orang tua terhadap
gejala anak. Bawalah anak ke dokter bila gejala terlihat makin berat; anak tampak
sulit bernapas, kebiruan pada bibir atau kuku, anak tampak gelisah atau justru sangat
mengantuk, atau anak batuk/demam berkepanjangan.
Karena hampir seluruh kasus disebabkan oleh virus, maka antibiotik biasanya tidak
dipergunakan. Infeksi oleh virus (misalnya batuk-pilek, radang tenggorokan) sama
sekali tidak bisa disembuhkan dengan antibiotik. Infeksi virus akan sembuh dengan
sendirinya, tubuh akan melawan dengan sistem kekebalan tubuh. Penggunaan
antibiotik yang berlebihan justru akan merugikan karena akan membuat menjadi
resisten dan antibiotik menjadi tidak mempan untuk melawan infeksi saat dibutuhkan,
terutama pada anak-anak
Faringitis Virus Faringitis Bakteri
Biasanya tidak ditemukan nanah
di tenggorokan
Sering ditemukan nanah di tenggorokan
Demam ringan atau tanpa
demam
Demam ringan sampai sedang
Jumlah sel darah putih normal
atau agak meningkat
Jumlah sel darah putih meningkat ringan
sampai sedang
Kelenjar getah bening normal
atau sedikit membesar
Pembengkakan ringan sampai sedang
pada kelenjar getah bening
Tes apus tenggorokan
memberikan hasil negatif
Tes apus tenggorokan memberikan hasil
positif untuk strep throat
Pada biakan di laboratorium
tidak tumbuh bakteri
Bakteri tumbuh pada biakan di
laboratorium


10. Komplikasi yang dapat timbul dari diagnosis?

11. Batasan operasi pada anak2?
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini,
indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi
tonsil(Wanri A, 2007).

Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery
(AAO-HNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur surgikal adalah seperti berikut :
Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten
d. Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan

Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan
apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai
kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi
absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit
tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan
karena infeksi kronik (Hermani B, 2004).
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh
mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi
absolute untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea ini
boleh menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipertensi pulmonal dan
kardiopulmoner (Paradise, JL, 2009).

Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat

Anda mungkin juga menyukai