Oleh
Hidayatullah
H1A 010 049
PEMBIMBING :
dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL
BAB 1
PENDAHULUAN
Faringitis merupakan peradangan dinding faring. Faringitis kronis dapat dipicu oleh
beberapa faktor predisposisi seperti radang kronis di faring seperti rhinitis kronis, sinusitis,
iritasi kronik oleh rokok, minuman alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan
debu. Faktor lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang terbiasa bernapas
melalui mulut karena hidungnya tersumbat.1
Gastroesofageal reflux disease (GERD) didefinisikan sebagai peristiwa masuknya isi
lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermitten pada setiap orang, terutama
setelah makan, ditandai oleh aliran retrograd isi lambung ke dalam esofagus.2
Pasien GERD yang datang ke dokter THT sering disertai gejala akibat kelainan jalan
nafas, yaitu laring, faring, dan paru yang merupakan komplikasi refluks sehingga gejala
refluksnya sendiri tidak terdiagnosis.2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan
ruang utama traktus respiratorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini
mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga setinggi
vertebra servikalis ke-6.3,4
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih
14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi
atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring.3,4
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak
dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh
karena itu dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.3
PALUT LENDIR (MUCOUS BLANKET)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang disap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk
menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini
mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.3
OTOT
Otot faring tersusun dalam lapisan melingkar dan memanjang. Otot-otot yang
sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini
terletak ini terletak di sebelah luar dan berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutupi sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan
otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat.
Kerja otot konstriktor ini adalah untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini
dipersarafi oleh nervus vagus.3,4
kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan
saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.3,4
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat
dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding
lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka
foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus
asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus
os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius. 3,4
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.3,4
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior
adalah laring, batas inferior adalah esofagus, batas posterior adalah vertebra
servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan
laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung,
maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
kantong pil (pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila
menelan pil akan tersangkut disitu. 3,4
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini
dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi
tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada
saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada
tindakan laringoskopi langsung. 3,4
2.2.
Fungsi Faring
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral,
fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke
faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu
transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja
(involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltic di esofagus menuju lambung.3
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah
dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator
veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan
nasofaring m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hampir
mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m,palatofaring
(bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.3
2.3.
FARINGITIS KRONIS
2.3.1. Definisi
Faringitis kronis adalah kondisi inflamasi dalam waktu yang lama pada
mukosa faring dan jaringan sekitarnya. Faringitis kronis terbagi menjadi faringitis
kronis hiperplastik (granular) dan faringitis kronis atropi atau kataralis.1
2.3.2. Etiologi
Faringitis kronis dapat dipicu oleh beberapa factor predisposisi seperti radang
kronis difaring seperti rhinitis kronis, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minuman
alcohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain
penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang terbiasa bernapas melalui
mulut karena hidungnya tersumbat.1
2.3.3. Gejala dan Tanda
Faringitis Kronik Hiperplastik
sinusitis,
otitis
media,
epiglotitis,
mastoiditis, dan
pneumonia.
Kekambuhan biasanya terjadi pada pasien dengan pengobatan yang tidak tuntas
pada pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru.
2. Demam rheumatic akut (3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal
glomerulonephritis, dan toxic shock syndrome, dan abses peritonsil.
bahwa peningkatan
kasus GERD
dihubungkan dengan peningkatan gejala dan tanda pada laring dan faring .
Kejadian GERD berkisar antara 7%-25% per suatu populasi, dimana sekitar 4%10% pasien tersebut mencari pengobatan pada spesialis THT akibat keluhan yang
dihubungkan dengan GERD. Telah diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan
gangguan suara yang datang berobat ke dokter THT diakibatkan oleh RLF yang
merupakan manifestasi ekstra esophagus dari GERD.3,5
2.4.3 Etiologi
GERD disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang dewasa faktorfaktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi refluks
gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok,
kehamilan. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung
yang terlambat dapat menyebabkan hipotensi sfingter esofagus bawah sehingga
menimbulkan refluks gastroesofagus.3,5
2.4.4 Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada
individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran
antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograde yang terjadi pada
saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).tekanan
LES pada individu normal 25-35 mmHg. GERD terjadi melalui 3 mekanisme
yaitu:3,5
1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
2. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus
LES menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intraabdomen. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES
diantaranya adalah :3,5
a. Adanya hiatus hernia (dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam hari esophagus serta menurunkan tonus LES)
b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)
c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan
lain-lain
d. Faktor hormonal (Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone dapat
menurunkan tonus LES)
Diagnosis
Diagnosis GERD umumnya didasarkan pada kombinasi riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, tes diagnostik yang tepat. Disamping pemeriksaan fisik yang
seksama, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis GERD, yaitu :
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup,
terapi
medikamentosa,
terapi
bedah
serta
terapi
endoskopik.
Tujuan
Komplikasi
GERD dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti
faringitis, sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan
keganasan laring. Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan mengancam
nyawa adalah stenosis laring. Riwayat GERD ditemukan pada 75% pasien
stenosis laring dan trakea. 3,5
2.4.9
Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan
terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari salah
satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan laryngitis
posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol.
Sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat,
sedangkan
BAB III
LAPORAN KASUS
: Ny. HS
Umur
: 25 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Kekait
Pekerjaan
Tanggal Pemeriksaan
: 11 Juli 2014
.2. ANAMNESIS
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan nyeri pada
tenggorokan sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan nyeri menelan dan batuk
(+). Nyeri tenggorokan yang dirasakan ini kambuh-kambuhan. Pasien juga
merasakan ditenggorakannya terasa seperti ada yang mengganjal. Pasien
mengatakan keluhan ini sudah sering dirasakan sejak 5 bulan yang lalu. Pasien
mengaku memiliki riwayat menderita penyakit maag, sering mengeluhkan rasa
panas serta terbakar pada dada yang terutama dikeluhkan setelah makan. Demam,
pilek, dan sakit telinga disangkal.
Riwayat Alergi :
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan,
Riwayat Pengobatan :
Untuk keluhan saat ini, pasien belum mengonsumsi obat apapun
: baik
: compos mentis
:
120/70 mmHg
84 x/menit
20 x/menit
36,50C
Status Lokalis :
Pemeriksaan Telinga
No
Pemeriksaan Telinga
Auricula Dextra
Auricula Sinistra
.
1.
Tragus
2.
Daun telinga : aurikula, Bentuk dan ukuran telinga Bentuk dan ukuran telinga
preaurikuer, retroaurikuler.
massa (-), fistula (-), nyeri massa (-), fistula (-), nyeri
tarik aurikula (-).
3.
(-),
otorhea (-).
4.
Membran timpani
(-),
furunkel
(-),
otorhea (-).
(+).
Pemeriksaan Hidung
Inspeksi
Hidung luar
Nasal Dextra
Nasal Sinistra
(N),
inflamasi
(-),
Vestibulum nasi
N, ulkus (-)
N, ulkus (-)
Cavum nasi
Rinoskopi Anterior :
Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-), ulkus (-).
Gambar :
kongesti (-).
Pemeriksaan Tenggorokan
No.
Pemeriksaan
Keterangan
1.
Bibir
2.
Mulut
3.
Bucal
4.
Gigi
Berlubang (-)
5.
Lidah
6.
Uvula
7.
Palatum mole
8.
Faring
9.
Tonsila Palatina
Kesan
Gambar
:
Hiperemia
Granula
.4. Diagnosis
Faringitis kronis eksaserbasi akut et causa susp.GERD
.5. Planning
Planning Diagnosis :
-
Endoskopi
Pengukuran PH esofagus
Konsul dengan penyakit dalam untuk mengetahui penyebab dari GERD yang
dikeluhkan pasien
Endoskopi tidak dilakukan secara rutin sebagai pemeriksaan awal pada pasien
dengan suspek GERD dengan manifestasi penyakit otolaringologi. Apabila
pasien tidak berespon dengan terapi medis yang diberikan di awal maka dapat
dilakukan
endoskopi.
Pengukuran
pH
lumen
esophagus
merupakan
Planning Terapi :
Medikamentosa :
Mukolitik
Obat kumur
KIE :
1. Mengurangi makanan atau minuman yang berminyak, pedas, dingin, dan panas.
2. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur untuk mencegah refluks asam dari
lambung ke ekstraesofagus
3. Mengurangi konsumsi lemak serta jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
4. Menjaga kondisi psikologi supaya tidak terjadi stress, karena perasaan nyeri dada
yang dirasakan bisa terjadi akibat psikologi pasien yang kurang baik.
Prognosis : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Pasien ini di diagnosis dengan faringitis kronis eksaserbasi akut et causa suspek
GERD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan. Dari anamnesis didapatkan
bahwa keluhan nyeri tenggorokan yang di alami pasien ini berulang, ada sensasi benda yang
mengganjal dalam 5 bulan terakhir. Pada anamnesis didapatkan pasien memiliki riwayat sakit
maag, mual dan sering merasakan nyeri epigastrium. Hal ini yang menunjang diagnosis
refluks gatroesofageal pada pasien ini. Menurut literatur, refluks gastroesofageal merupakan
salah satu penyebab terjadinya faringits kronis. Sehingga berdasarkan anamnesis dapat dibuat
diagnosis pada pasien ini adalah faringitis kronis eksaserbasi akut yang disebabkan oleh
refluks gastro esofageal.
Untuk memastikan diagnosis faringitis akut pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
fisik pada daerah tenggorokan, dimana ditemukan pada bagian posterior dari dinding faring
terdapat banyak granul dan terdapat neovaskularisasi yang menandakan adanya proses
inflamasi yang kronis pada bagian tersebut sehingga jenis faringitis kronis yang diderita
pasien adalah faringitis kronis hiperplastik. Pada pemeriksaan ditemukan mukosa faring
hiperemis.
Untuk memastikan diagnosis GERD yang di alami pasien diperlukan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut. Ada 3 kategori tes untuk menegakkan GERD (atipikal/ tipikal), yaitu :
1. Menentukan ada/tidaknya refluks endoskopi
2. Menentukan kerusakan esophagus akibat refluks endoskopi
3. Mengukur refluks 24 hours pH monitoring
Pada pasien ini kemungkinan penyebab dari faringitis kronisnya lebih mengarah
kepada GERD. Terapi yang di berikan pada pada pasien ini adalah :
1. Mukolitik (ambroxol), bertujuan untuk mengurangi batuk yang dirasakan pasien.
2. Diberikan anti sekretorik untuk mengurangi keluhan dari GERD. Pemberian terapi anti
sekretorik juga dapat dilakukan sebagai penunjang diagnosis dimana bila keluhan pasien
membaik dengan pemberian anti sekretorik maka dapat dipastikan faringitis kronis yang
dikeluhakan pasien berasal dari GERD. Terapi farmakologik pada GERD terdiri dari
Proton-Pump Inhibitor (Omeprazole, Lanzoprazole) yang efektif menurunkan sekresi
asam, obat-obat sitoprotektif (Antasida, Sukralfat) yang berfungsi menetralkan asam
lambung, obat prokinetik (Metoclopramide, Cisapride) yang mempercepat pengosongan
lambung dan memperkuat LES, serta antagonis reseptor H2 (Cimetidine, Ranitidine,
Famotidine) yang berfungsi mengurangi asam lambung. PPI merupakan drug of choice
dalam pengobatan GERD dengan gejala ringan sampai berat, oleh karena obat ini
langsung bekerja pada pompa proton sel yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan
sekresi asam. PPI diberikan selama 4-8 minggu, ketika gejala berkurang, terapi
pengobatan dimodifikasi secara perlahan-lahan ke terapi pemeliharaan dengan cara
diantaranya menurunkan dosis PPI atau mengganti dengan antagonis H2 reseptor.
3. Pemberian obat kumur pada pasien ini dimaksudkan untuk menjaga hygiene mulut
supaya infeksi yang lebih berat tidak terjadi.
Pasien juga diberikan penjelasan untuk mengatur pola makan agar tidak terjadi faringitis
kronis dengan eksaserbasi akut yang berulang. Prognosis pada pasien ini adalah baik,
biasanya dengan obat pasien sudah merasakan keluhannya menghilang, akan tetapi pasien
harus tetap menjaga pola makannya agar tidak muncul lagi gejala yang serupa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmardjono, dan Efiaty Arsyad Soepardi. Penyakit Serta Kelainan Faring dan
Tonsil. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Kelima.
Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 178-179
2. Yunizaf, Mariana. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam : Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Kelima. Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI. 2010 : hlm 252-255
3. Rusmarjono, Soerjadi Kartosoediro. Nyeri Tenggorok (Odinofagia). Dalam :
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Kelima. Cetakan
Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 173-177
4. Adams GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Adams GL,
Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan Ketiga.
Jakarta : EGC. 1997 : hlm 320-322, 328-337
5. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
6. Kazzi
AA,
Wills
J.
Pharyngitis.
Available
from
20
21