Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Tidur merupakan keadaan reversibel yang bermanifestasi berupa penurunan


kesadaran juga reaksi terhadap stimulus eksternal. Manusia dewasa memerlukan
tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Tidur dapat terbagi atas 2 fase yaitu NREM (non rapid
eye movement) sleep yang mengisi 75-80% fase tidur dan terbagi atas 4 stage, serta
REM (rapid eye movement) sleep mengisi 20-25% dari fase tidur dan terbagi atas 2
stage. Pada dewasa normal kedua fase ini muncul dalam siklus yang semireguler
yang berlangsung sekitar 90-120 menut dan muncul sebanyak 3-4 kali setiap malam.
1
gangguan tidur sering terjadi pada fase REM. 2 Salah satu dari bentuk gangguan
tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas saat tidur) dan
gejala yang paling sering timbul yaitu mendengkur. 3
Apnea dapat disebabkan kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau campuran.
Obstruktive sleep apnea (OSA) biasanya disebabkan ketika otot-otot saluran nafas atas
tenggorokan relaksasi terlalu banyak untuk memungkinkan bernapas normal. Otot saluran
nafas atas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu otot yang menyangga tulang hyoid (geniohyoid,
sternohyoid), otot lidah (genioglossus), dan otot pada palatum (tensor palatini, levator
palatini). Pada anak-anak obstruksi sleep apneu biasanya disebabkan oleh hipertrofi adenoid
atau hipertrofi tonsil dan pada pasien dewasa obesitas merupakan faktor risiko utama
Obstructive Sleep Apnoe. 4-8 .
Tanda dan gejala pada obstuktive sleep apneu yaitu mula-mula berupa mendengkur
(snoring). Gejala lain adalah rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari (excessive
daytime sleepiness)
Maka, diperlukan fisis diagnostik yang tepat supaya pemeriksa mendapatkan
diagnosis yang tepat. Pada beberapa kasus, diperlukan adanya pemeriksaan penunjang agar
mendapatkan sebuah diagnosis kerja. Diperlukan, dasar ilmu yang kuat untuk menentukan
langkah-langkah yang harus diambil pada kasus OSA ini.

1
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1 FARING

2.1.1 Anatomi

2.1.1.1 Deskripsi dan Lokasi


Faring merupakan bagian tubuh manusia yang terletak di belakang cavum
nasi, mulut dan laring dan berbentuk seperti corong dengan bagian atasnya yang
lebar terletak dibawah cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan
sebagai esofagus setinggi vertebra cervicalis enam. Faring mempunyai dinding
musculomembranosa yang tidak sempurna di bagian depan. Disini, jaringan
musculomembranosa diganti oleh aperture nasalis posterior, isthmus faucium (muara
9
ke dalam rongga mulut), dan aditus larynges.

2.1.1.2 Unsur pembentuk faring


a. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya
untuk saluran pernafasan, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang
mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring karena
fungsinya untuk saluran pencernaan, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.

2
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian aringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial. Oleh karena itu
faring disebut daerah pertahanan tubuh terdepan.
b. Palut lendir (Mucous Blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Dibagian
atasm nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai
dengan arah gerak silia ke belakang. Palit lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel
kotoran yang terbawa oleh udara yang dihisap. Palut lendir ini mengandung enzim
Lyzozyme yang penting untuk proteksi.
c. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar sirkular yang memanjang. Otot-otot
yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini
terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya
menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini
bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu jaringan ikat yang disebut “rafe faring”.
Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh
n.agus (n.X)
Otot-otot longitudinal adalah m.stilofaring dan m.parafaring. Letak otot-otot ini disebelah
dalam. M..stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan
m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikan bagian bawah faring dan
laring. Kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu
menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n.X (N. Vagus)

2.1.1.3 Otot-otot Faring


Otot-otot faring terdiri atas muskulus constrictor pharyngis superior, medius
dan inferior, yang serabut-serabutnya berjalan hampir melingkar, dan muskulus
stylopharyngeus serta muskulus salphingopharyngeus yang serabut-serabutnya
berjalan dengan arah hampir longitudinal.

Kontraksi otot-otot konstriktor secara berturut-turut mendorong bolus ke


bawah masuk dalam oesophagus. Serabut-serabut paling bawah muskulus constrictor
pharyngis inferior kadang-kadang disebut muskulus cricopharyngeus. Otot ini
diyakini melakukan efek sphincter pada ujung bawah faring, yang mencegah
masuknya udara ke dalam oesophagus selama gerakan menelan.

3
Gambar 2.2 Otot-otot Faring

4
2.1.1.4 Histologi Faring
Faring merupakan suatu ruang pipih depan belakang yang dilalui dengan baik
oleh udara maupun makanan. Dapat dibagi berdasarkan letaknya, yaitu nasofaring,
terletak di bawah dasar tengkorak, belakang nares posterior dan di atas palatum
molle; orofaring, di belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah, dan
laringofaring, belakang laring.
Dinding bagian samping dan belakang terdiri dari otot, karenanya ruangan
dapat melebar (dilatasi) atau menutup bila otot berkontraksi. Nasofaring tidak dapat
tertutup sama sekali walaupun ukurannya dapat berubah-ubah. Melalui aposisi
palatum mole dan dinding belakang faring, nasofaring dapat dipisahkan secara
sempurna dari orofaring, gerakan ini terjadi sewaktu menelan, sehingga dalam
keadaan normal tidak mungkin bahan makanan masuk ke dalam nasofaring.
Epitel yang membatasi nasofaring dapat merupakan epitel bertingkat silindris
bersilia atau epitel berlapis gepeng yang terdapat pada daerah yang mengalami
pergesekan yaitu tepi belakang palatum mole dan dinding belakang faring tempat
kedua permukaan tersebut mengalami kontak langsung sewaktu menelan. Daerah-
daerah lainnya mempunyai jenis epitel seperti saluran napas disertai dengan sel
goblet. Lamina propria di daerah ini mengandung banyak jaringan elastin, terutama
di bagian luar yang berhubungan dengan otot rangka di faring. Suatu submukosa
hanya terdapat di bagian lateral nasofaring. Di dalam lamina propria terdapat
kelenjar, terutama kelenjar mukosa.
Namun dapat pula dijumpai kelenjar serosa dan kelenjar campuran. Jaringan
limfatik banyak dijumpai di seluruh bagian faring dan folikel-folikel limfatik yang
sebenarnya terdapat di bagian belakang nasofaring (adenoid atau tonsila faringea), di
bagian lateral pada masing-masing sisi tempat peralihan rongga mulut dan orofaring
(tonsila palatina) dan pada akar lidah (tonsila lingua). Kumpulan jaringan limfoid di
sebelah lateral bagian nasofaring di sekitar muara saluran faringotimpani (Eustachii)
seringkali cukup besar hingga mendapat sebutan “tonsila tuba”.

2.1.1.5 Struktur Faring


Sepertiga bagian atas atau nasofaring adalah bagian pernapasan dari faring
dan tidak dapat bergerak, kecuali palatum mole bagian bawah. Bagian tengah faring,
disebut orofaring, meluas dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglottis. Pada bagian ini termasuk tonsila palatine dengan arkusnya dan tonsila
5
lingualis yang terletak pada dasar lidah. Bagian bawah faring dikenal dengan
laringofaring atau hipofaring, menunjukan daerah jalan napas bagian atas yang
terpisah dari saluran pencernaan bagian atas. 10

2.1.1.5.1 Nasofaring
Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatm molle. Bila
palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti waktu
menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai atap,
dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral.
Atap nasofaring dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris
ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis,
terdapat di dalam submmucosa daerah ini. Dasar nasofaring dibentuk oleh
permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang di
dasar nasopharynx di antara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior
faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan orofaring tertutup oleh naiknya
palatum molle dan tertariknya dinding posterior faring ke depan. Dinding anterior
nasopharynx dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.
Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke
pharynx. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba.
Muskulus salphingopharyngeus yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk
lipatan vertical pada membranca mucosa yang disebut plica salphingopharyngeus.
Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang
elevasi tuba. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submucosa di belakang muara tuba
auditiva disebut tonsila tubaria.

2.1.1.5.2 Orofaring

Orofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatum molle
sampai ke pinggir atas epiglotis. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior,
dinding posterior, dan dinding lateral.
Atap orofaring dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus
pharyngeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submucosa
permukaan bawah palatum molle.

6
Dasar orofaring dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir vertical)
dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglottis. Membrana mucosa yang
meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya
jaringan limfoid di bawahnya, disebut tonsila linguae. Membrana mucosa melipat
dari lidah menuju epiglottis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica
glossoepiglottica mediana, dan dua plica glossoepiglottica lateralis. Lekukan kanan
dan kiri plica glossoepiglottica mediana disebut vallecula.
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus orofaring
(isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding
posterior orofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis kedua dan bagian atas
corpus vertebra cervicalis ketiga.
Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arkus palatoglossus dan arcus
palatopharyngeus dengan tonsila palatina di antaranya. Arkus palatoglossus adalah
lipatan membrane mucosa yang menutupi muskulus palatoglossus yang terdapat di
bawahnya. Celah di antara kedua arkus palatoglossus merupakan batas antara rongga
mulut dan orofaring dan disebut isthmus faucium.
Arkus palatopharyngeus adalah lipatan membrane mucosa pada dinding lateral
orofaring, di belakang arcus palatoglossus. Lipatan ini muskulus palatopharyngeus
yang ada di bawahnya.
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding
lateral orofaring di antara arkus palatoglossus di depan dan arkus palatopharyngeus
di belakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina.
Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh
membrane mucosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring.
Pada permukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk kripta tonsilaris.
Permukaan lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa yang
disebut kapsula.
Tonsila mencapai ukuran terbesarnya pada masa anak-anak, tetapi sesudah
pubertas akan mengecil dengan jelas.
Batas anterior dari tonsila palatina adalah arcus palatoglossus. Di posterior
terdapat arkus palatopharyngeus. Pada superior terdapat palatum molle, disini tonsila
palatina dilanjutkan oleh jaringan limfoid di permukaan bawah palatum molle. Di
inferior dari tonsila palatina terdapat sepertiga posterior lidah. Di sebelah medial
7
dari tonsila palatina terdapat orofaring. Dan batas lateral tonsila palatine adalah
kapsula yang dipisahkan dari muskulus konstrictor pharyngis superior oleh jaringan
alveolar jarang.
Pendarahan arteri yang mendarahi tonsila adalah arteri tonsilaris, sebuah
cabang dari arteri facialis. Sedangkan aliran vena-vena menembus muskulus
constrictor pharyngis superior dan bergabung dengan vena palatine externa, vena
pharyngealis, atau vena facialis. Pada aliran limfe, pembuluh-pembuluh limfe
bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok
ini adalah nodus nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang
angulus mandibulae.

2.1.1.5.3 Laringofaring

Laringofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior

laring, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah

cartilago cricoidea. Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior, dan

lateral.

Dinding anterior laringofaring dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane

mucosa yang meliputi permukaan posterior laring. Dan dinding posterior

laringofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan

keenam. Sedangkan dinding lateral laringofaring disokong oleh cartilage thyroidea

dan membrane thyroidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrane, disebut

fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan miring

ke bawah dan belakang dari dorsum linguae menuju oesophagus. Fossa piriformis

dibatasi di medial oleh plica aryepiglottica dan di lateral oleh lamina cartilago

thyroidea dan membrane thyroidea.

8
2.1.1.6 Persarafan faring

Terdiri dari persarafan motorik dan sensorik. Persarafan motorik berasal dari
pars cranialis nervus accessories, yang berjalan melalui cabang nervus vagus menuju
ke plexus pharyngeus, dan mempersarafi semua otot faring, kecuali muskulus
stylopharyngeus yang dipersarafi oleh nervus glossopharyngeus.
Persarafan sensorik membrane mucosa nasofaring terutama berasal dari
nervus maxillaries. Membrana mucosa orofaring terutama dipersarafi oleh nervus
glossopharyngeus. Membrana mucosa di sekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh
nervus ramus laryngeus internus nervus vagus. 9

9
2.1.1.7 Pendarahan Faring
Suplai arteri faring berasal dari cabang-cabang arteri pharyngea ascendens,
arteri palatine ascendens, arteri facialis, arteri maxillaries, dan arteri lingualis.
Sedangkan aliran vena bermuara ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian
bermuara ke vena jugularis interna. 9

10
2.1.1.8 Aliran Limfatik Faring
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yakni superior,media dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah bening servikalis profunda superior. Saluran limfa media mengalirkan ke kelenjar getah
bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikalis profunda superior, sedangkan saluran limfa
inferior mengalirkan ke kelenjar getah bening servikalis profunda inferior.9

2.1.2 Fisiologi
2.1.2.1 Proses Pernafasan
Faring adalah bagian dari sistem pencernaan dan juga bagian dari sistem pernafasan.
Hal ini merupakan jalan dari udara dan makanan. Udara masuk ke dalam rongga mulut atau
hidung melalui faring dan masuk ke dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior
rongga hidung yang menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian
faring ini turun melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring. Kontrol
membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan membukanya tuba auditiva,
semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini
sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan, selama membukanya saluran nafas maka
jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan akan masuk ke
dalam laring dan rongga hidung posterior.

2.1.2.2 Proses Menelan


Proses menelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke
faring secara volunter. Tahap kedua, tranpor makanan melalui faring, dan tahap ketiga,
jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya
adalah : pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan
palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot suprahioid berkontraksi, elevasi tulang
hoid dan laring dan dengan demikian membuka hipofaring dan sinus piriformis. Secara
bersamaan otot laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah
aspirasi. Gerakan yang kuat lidah bagian belakang akan mendorong makan ke bawah melalui
orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot kontriktor faring media dan superior. Bolus
dibawa melalui introitus esofagus ketika otot kontriktor faringis inferior berkontraksi dan otot
krikofaring berelaksasi.

11
2.1.2.3 Proses Bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m levator veli palatini bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior faring. Jarak
yang tersisa ini diisi oleh tonjolan Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat
2 macam mekanisme,yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring dan
oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini tidak bekerja
pada waktu yang bersamaan.

2.2 LARING
2.2.1 Anatomi
2.2.1.1 Deskripsi dan Lokasi
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu
rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV –
VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya
selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. 11
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya
kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia
Laring
atau disebut juga Adam’s apple atau jakun. 11
Batas-batas laring adalah sebagi berikut:
1. Kranial  terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring,
2. Kaudal  oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea
3. Posterior  dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral,
dinding
dan cavum laringofaring
4. Anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit.
5. Lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
kelenjar tiroid.
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di
sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan
12
laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan
ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun. Secara keseluruhan
laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.11

2.2.1.2 Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : 11
1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
1.Kartilago Tiroidea, 1 buah
2.Kartilago Krikoidea, 1 buah
3.Kartilago Aritenoidea, 2 buah

2. Kartilago minor, terdiri dari :


1.Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
2.Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
3.Kartilago Epiglotis, 1 buah

2.2.1.3 Ligamentum dan Membrana


Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu
1. Ligamentum ekstrinsik, terdiri dari :
1. Membran tirohioid
2. Ligamentum tirohioid
3. Ligamentum tiroepiglotis
4. Ligamentum hioepiglotis

13
5. Ligamentum krikotrakeal

2.Ligamentum intrinsik, terdiri dari :


1. Membran quadrangularis
2. Ligamentum vestibular
3. Konus elastikus
4. Ligamentum krikotiroid media
5. Ligamentum vokalis

2.2.1.4 Otot-otot

Otot–otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot ekstrinsik dan
otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. 11

Otot-otot ekstrinsik.
Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini
menggerakkan laring secara keseluruhan.
Terbagi atas :
1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu :
- M. Stilohioideus
- M. Milohioideus
- M. Geniohioideus
- M. Digastrikus
- M. Genioglosus
- M. Hioglosus
2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :
- M. Omohioideus
- M. Sternokleidomastoideus
- M. Tirohioideus

14
Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3 dan penting
untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus konstriktor
faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea oblikus kartilago
tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi.

Otot-otot intrinsik
Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi menggerakkan struktur yang
ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada kelompok
ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik.
Fungsi otot ini dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m.
interaritenoideus
berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan adduksi pita
suara.
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :

1. Otot-otot adduktor : 12
Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik
M. Krikotiroideus
M. Krikotiroideus lateral
Berfungsi untuk menutup pita suara.

15
2. Otot-otot abduktor :
M. Krikoaritenoideus posterior
Berfungsi untuk membuka pita suara.

3. Otot-otot tensor :
Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis
Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus
Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor internus
kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral mengakibatkan
suara menjadi lemah dan serak.

2.2.1.5 Persendian

Artikulasio Krikotiroidea
Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian posterior kartilago
krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamentum, yaitu : ligamentum krikotiroidea
anterior, posterior,dan inferior. Sendi ini berfungsi untuk pergerakan rotasi pada bidang
tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau fiksasi sendi ini akan mengurangi efek m.
krikotiroidea yaitu untuk menegangkan pita suara

Artikulasio Krikoaritenoidea.
Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi posterior cincin
krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea dan mempunyai fasies
artikulasio yang mirip dengan kulit silinder, yang sumbunya mengarah dari
mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan gerakan menggeser yang sama
arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebut penting dalam perubahan suara
dari nada rendah menjadi nada tinggi.13

2.2.1.6 Laring Bagian Dalam

Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut :


1. Supraglotis (vestibulum superior),
yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.

2. Glotis (pars media),

16
yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati serta membentuk
rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.

3. Infraglotis (pars inferior),


yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea.

Beberapa bagian penting dari dalam laring :


Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika
ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus.

Rima Vestibuli.
Merupakan celah antara pita suara palsu.

Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus vokalis dan
basis kartilago aritenoidea.

Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk oleh plika
glossoepiglotika medial dan lateral.

Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke
kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.

Sinus Pyriformis (Hipofaring)


Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea.

Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.

Vestibulum Laring

17
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago aritenoid,
permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.

Plika Ventrikularis (pita suara palsu)


Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk
menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir
dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.

Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)


Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat
suatu divertikulum yang meluas ke atasdiantara pita suara palsu dan permukaan dalam
kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa
yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel
laring

Plika Vokalis (pita suara sejati)


Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan
celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus
vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion

2.2.1.7 PERSARAFAN
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.14
1. Nn. Laringeus Superior.
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan dan
medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu :
Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus
pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor
inferior.

2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).

18
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di belakang
artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan yang panjang dan
dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.
Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan
membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai
laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan
persarafan :
Sensoris, mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

2.2.1.8 Vaskularisasi
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A.
Laringeus Superior dan Inferior.
Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid
menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.
Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area Killian
Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior

2.2.1.9 Histologi Laring


Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia kecuali pada
daerah pita suara yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk. Diantara sel-sel
bersilia terdapat sel goblet.
Membrana basalis bersifat elastis, makin menebal di daerah pita suara. Pada daerah
pita suara sejati, serabut elastisnya semakin menebal membentuk ligamentum tiroaritenoidea.
Mukosa laring dihubungkan dengan jaringan dibawahnya oleh jaringan ikat longgar sebagai
lapisan submukosa. Kartilago kornikulata, kuneiforme dan epiglotis merupakan kartilago
hialin. Plika vokalis sendiri tidak mengandung kelenjar. Mukosa laring berwarna merah muda
sedangkan pita suara berwarna keputihan
2.2.2 Fisiologi
2.2.2.1 Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk
karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita

19
suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan
vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru,
trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai
cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nadadengan mengubah
bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.

2.2.2.2 Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang
bersifat adduksi, sehingga rima glottis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti
sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N.
Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke
atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini
mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke
introitus esofagus.

2.2.2.3 Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada
dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima
glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah.
Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan
pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi
akan menghambat pembukaan
laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita
suara.15

2.3 Tidur
2.3.1 Definisi
Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya
(Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang terjadi
berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Menurut Chopra (2003), tidur
merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan

20
aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang bekerja lebih keras
selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas di siang hari

2.3.2 Fisiologi Tidur


Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur bukan
berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja (Harsono, 1996).
Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating system
(RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter &
Perry, 2005)

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat
termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas pons.
Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga
dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.
Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.
sedangkan pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus
yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005)

2.3.3 Tahapan Tidur


Ada dua tahapan tidur, yaitu non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye
movement( (REM).
a.Tidur NREM
Tidur NREM disebut juga sebagai tidur gelombang pendek karena gelombang otak yang
ditunjukkan oleh orang yang tidur lebih pendek dari pada gelombang alfa dan beta yang
ditunjukkan orang yang sadar. Tidur NREM terjadi penurunan sejumlah fungsi fisiologi
tubuh. Semua proses metabolisme termasuk tanda-tanda vital,metabolisme, dan kerja otot
melambat.
Tidur NREM sendiri terbagi atas 4 tahap (I-IV). Tahap I-II disebut sebagai tidur
ringan (light sleep) dan tahap III-IV disebut sebagai tidur dalam (deep sleep) atau (delta
sleep).

1).Tahap 1 NREM
a)Tahap meliputi tingkat paling dangkal dari tidur
b)Tahap berakhir beberapa menit

21
c)Pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penurunan secara bertahap tanda-
tanda vital dan metabolisme
d)Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara
e)Seseorang ketika terbangun merasa seperti telah melamun

2).Tahap 2 NREM
a)Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara
b)Kemajuan relaksasi
c)Terbangun masih relatif mudah
d)Tahap berakhir 10 hingga 20 menit
e)Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban

3).Tahap 3 NREM
a)Tahap 3 meliputi tahap awal dari tidur yang dalam
b)Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak
c)Otot-otot dalam keadaan santai penuh
d)Tanda-tanda vital menurun tapi tetap teratur
e)Tahap berakhir 15 hingga 30 menit

4).Tahap 4 NREM
a)Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam
b)Sangat sulit untuk membangunkan orang yang tidur
c)Orang yang kurang tidur akan menghabiskan porsi malam yang seimbang pada
tahap ini
d)Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama jam terjaga
e)Tahap berakhir kurang lebih 15 hingga 30 menit
f)Tidur sambil berjalan dan anuresis dapat terjadi

b.Tidur REM
Tidur REM biasanya terjadi setiap 90 menit dan berlangsung selama 5-30 menit.
Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM, dan sebagian besar mimpi terjadi pada tahap ini.
Otak cenderung aktif selama tidur REM dan metabolismnya meningkat hingga 20%. Tahap
ini individu menjadi sulit untuk dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba, tonus

22
otot terdepresi, sekresi lambung meningkat,dan frekuensi jantung dan pernapasan sering kali
tidak teratur.20(16)

Karakteristik tidur REM:


1. Mimpi yang penuh warna dan tampakhidup dapat terjadi padaREM. Mimpi yang kurang
hidup dapat terjadi pada tahap yanglain.
2. Tahap ini biasanya dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur
3. Dicirikan dengan respon otonom dari pergerakan mata yang cepat,fluktuasi jantung dan
kecepatan respirasi dan peningkatan ataufluktuasi tekanan darah
4. Terjadi tonus otot skelet penurunan
5. Peningkatan sekresi lambung
6. Sangat sulit sekali membangunkan orang yang tidur
7. Durasi dari tidur REM meningkat pada tiap siklus dan rata-rata 20 menit.

2.3.4 Siklus Tidur


Individu melewati tahap tidur NREM dan REM selama tidur. Siklus tidur yang
komplit normalnya berlangsung selama 1,5 jam, dan setiap orang biasanya melalui empat
hingga lima siklus selama 7-8 jam tidur.
Siklus tersebut dimulai dari tahap NREM yang berlanjut ke tahap REM.Tahap NREM
I-III berlangsung selama 30 menit, kemudian diteruskan ke tahap IV selama ± 20 menit.
Individu kemudian kembali melalui tahap III dan II selama 20 menit. Tahap I REM muncul
sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit.

2.3.5 Fisiologi Pernafasan Saat Tidur


Pada orang dewasa normal, selama tidur volume tidal menurun 15–25% dan lebih
dangkal pada stage REM dibandingkan stage NREM. Frekuensi napas meningkat perlahan
selama stage NREM dan tidak teratur selama stage REM. Pernapasan tidak teratur selama
tidur REM disebabkan perubahan aktivitas kortikal saraf pusat yang berhubungan dengan
gerakan bola mata yang cepat atau terdapat mimpi dan berlanjutnya stage NREM 1–2 ke
stage tidur dalam 3–4 atau gelombang tidur lambat, ventilasi menjadi teratur dan dipengaruhi
kontrol sistem regulasi metabolik.
Sejumlah kecil apnea pada orang normal timbul kurang dari 20 detik dan frekuensinya
kurang dari 5 kali dalam 1 jam tidur yang dapat menyebabkan sedikit penurunan saturasi O2
dan sering timbul pada stage REM dan NREM stadium 1–2 dan jarang pada stage NREM 3–
23
4. Keadaan apnea ini meningkat sesuai dengan umur, jenis kelamin laki–laki, obesiti dan
riwayat mendengkur.
Gangguan napas saat tidur menggambarkan abnormalitas respirasi selama tidur
dengan keluhan dengkuran ringan sampai OSA yang mengancam jiwa. Karakteristiknya
adalah obstruksi saluran napas yang menyebabkan episode hipoksia arteri berulang dan
arausal (terjaga) sebagai hasil peningkatan upaya respirasi. Tiga sindrom yang saling
berhubungan adalah upper airway resistance syndrome (UARS), obstructive sleep hypopnea
dan obstructive sleep apnea.
Diperkirakan 80% penderita UARS mempunyai keluhan mendengkur yang menetap.
Kelainan ini diakibatkan oleh kolaps saluran napas sebagian akibat tekanan rongga toraks dan
ditandai dengan timbulnya arousal. Upaya respirasi menyebabkan lebih dari 15 arausal/jam
sedangkan volume tidal dan saturasi O2 arteri tetap normal. Peningkatan volume lidah,
jaringan lunak dan dinding faring lateral pada sleep apnea yang diperiksa dengan magnetic
resonance imaging (MRI) dan computer reconstruction algorithms merupakan faktor risiko
timbulnya apnea. Kelainan ini dapat menyebabkan keluhan mengantuk berat dan berkembang
menjadi OSA.

24
BAB III
PEMBAHASAN

A. OBSTRUKTIF SLEEP APNOE


Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran
udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi
oksigen) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik
dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50%
untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau
sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama non-
REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat.
Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi
peralihan ke tahap tidur yang lebih awal. 16-17

Istilah OSAS dipakai pada sindrom obstruksi total atau parsial jalan nafas
yang menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang
bervariasi. Istilah primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk
menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan dengan
obstruktif apnea, hipoksia atau hipoventilasi. 18,-20 Guilleminault dkk mendefinisikan
sleep apnea sebagai episode apnea sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya
paling sedikit 10 detik dan terjadi baik selama fase tidur rapid eye movement (REM)
dan non rapid eye movement (NREM). 19,21 Terdapat istilah apnea index (AI) dan
hypopnea index (HI) yaitu frekuensi apnea atau hipopnea per jam. Apnea atau
hypopnea index dapat digunakan sebagai indikator berat ringannya OAS. 19

Epidemiologi

OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50
tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA di
negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita. Pria lebih
sering mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita obesitas. Prevalensi
OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang

25
ditemukan pada wanita. Prevalensi OSA lebih rendah lagi pada wanita sebelum masa
menopause dan wanita menopause yang mendapat terapi hormonal.
Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi
dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan
Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di
atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan
penambahan usia.
Pada penelitian kesehatan kardiovaskular di Amerika Serikat yang meliputi 5000
penduduk berusia 65 tahun atau lebih, 33% pria dan 19% wanita mendengkur. Prevalensi
mendengkur menurun pada kelompok usia di atas 75 tahun. Linberg et al. mendapatkan hasil
yang hampir sama, di mana prevalensi mendengkur pada pria memuncak pada kelompok usia
50-60 tahun dan selanjutnya menurun. Sementara peneliti lain menemukan pada usia di atas
60 tahun, prevalensi OSA mencapai 45-62%. Di Nantes, Perancis, hampir 60% penduduk
yang berusia 60-70 tahun mendengkur.

Klasifikasi
Derajat beratnya OSA dinilai berdasarkan nilai Apnea-Hypopnea Index (AHI)
menggunakan polisomnografi. OSA diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep
Medicine yaitu:

1. Ringan (AHI 5-15)


2. Sedang (AHI 15-30)
3. Berat (AHI > 30)
Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI) dan
beratnya hipoksemi seperti berikut:

RDI SaO2 (%)


1. Mild 5-20 >85
2. Moderate 21-40 65-84
3. Severe >40 <65

26
Etiologi
Pada Anak
Etiologi terjadinya OSAS pada anak antara lain sebagai akibat hipertrofi
adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial, obesitas. Hipertrofi adenoid dan tonsil
merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Ukuran
adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat ringannya OSAS. Terdapat
anak dengan hipertrofi adenoid yang cukup besar, namun OSAS yang terjadi masih
ringan, anak lain dengan pembesaran adenoid ringan menunjukkan gejala OSAS
yang cukup berat. Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan penyulit
pada anak dengan kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak OSAS
membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil akan menetap
setelah dioperasi. Pada suatu penelitian sebagian kecil anak dengan OSAS yang telah
berhasil diatasi dengan operasi adenotonsilektomi kemudian mengalami rekurensi
gejalanya selama masa remaja. 22

Anak dengan anomali kraniofasial yang mengalami penyempitan struktur


saluran nafas yang nyata (mikrognasi dan midface hypoplasia) akan mengalami
OSAS. Pada anak dengan disproporsi kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan
saluran nafas meskipun tanpa disertai hipertrofi adenoid. 23

Penyakit berikut ini penyakit lain yang berhubungan dengan OSA pada anak: 24

 Pierre Robin anomaly

 Crouzon syndrome

 Treacher Collins syndrome

 Kippel-feil syndrome

 Beckwith-wiedemann syndrome

 Apert syndrome

 Prader willi syndrome

 Morbid obesity

 Marfan syndrome

27
 Achondroplasia

 Laryngomalacia

 Mucopolysaccharidoses

 Keadaan kelemahan neuromuscular, diantaranya Duchenne muscular

dystrophy, Werdnig-Hoffman disease, late-onset spinal muscular

atrophy, Guillain Barre syndrome, myotonic dystrophy, dan

myotubular myopathy

 Chiari malformation

 Cerebral palsy

 Anemia cikle cell

Pada Dewasa

Pada dewasa obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak
obesitas bukan sebagai penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas
karena terdapat penyempitan saluran nafas bagian atas akibat penimbunan jaringan
lemak di dalam otot dan jaringan lunak di sekitar saluran nafas, maupun kompresi
eksternal leher dan rahang. 6,9,16,17,18 Penentuan obesitas dapat dilakukan dengan cara
menghitung body mass index (BMI) dan pengukuran lingkar leher. Untuk penentuan
OSA, yang lebih berperan adalah lingkar leher dibandingkan dengan BMI. 18 Telah
diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan
dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan
dengan mendengkur dan OSA. Diduga bahwa penumpukan lemak pada daerah leher
dapat membuat saluran nafas atas menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah
pada pasien obesitas dengan leher yang besar mempunyai velofarings yang lebih
mudah mengalami kolaps sehingga dapat mempermudah terjadinya sumbatan saluran
nafas atas pada waktu tidur. 24

28
Patofisiologi
Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot dilator faring
berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen faring tidak
kolaps akibat tekanan intrafaring yang negative oleh karena kontraksi otot dinding dada dan
diafragma. Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga
ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Hal ini terjadi hanya pada
sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang
mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu
tidur.

29
Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA: Faktor pertama adalah
obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang
yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang menyebabkan terhentinya
aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan
apnea, asfiksia sampai periode arousal.
Faktor kedua adalah ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m.
pterigoid medial, m. tensor veli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod, dan 4 m. sternohioid)
yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif
intratorakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi kontrol neuromuskular pada otot
dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di otak
menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami
periode apneahipopnea.
Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yang
dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan daerah ini dapat
menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan predisposisi kolapsnya
saluran napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% di
antaranya memiliki lebih dari satu penyempitan saluran napas atas.
Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih. Periode
hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-kurang 30% selama
10 detik yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea
terjadi karena kolapsnya saluran napas atas secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya
sebagian, namun jika terjadi secara terusmenerus dapat menyebabkan apnea.
Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas akibat
sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan
terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan nafas pada
waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke belakang
sehingga terjadi obstruksi.
Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur mengakibatkan
kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer. Akibatnya kemampuan otot
untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan meningkatkan kecenderungan saluran nafas
untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi
pada waktu mendengkur dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea
pada individu tertentu.

30
Obstructive Sleep Apnoea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas
atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan berkurang
(hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen (hipoksemia) dan
penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita benar-benar terbangun
pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih sering penderita tidak sampai
terbangun tetapi terjadi partial arousal yang berulang, berakibat pada berkurangnya tidur
dalam atau tidur gelombang lambat. Keadaan ini menyebabkan penderita mengantuk pada
siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan terganggu. Kombinasi hipoksemia dan
partial arousal yang disertai dengan peningkatan aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi
dan hipertensi sistemik. Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan
tidurnya dan datang ke dokter hanya karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur
yang keras (fase preobstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase
apnea obstruktif).

Patogenesis
Patogenesis OSAS pada anak belum banyak diketahui; terjadi jika didapatkan
gangguan antara faktor yang mempertahankan patensi saluran nafas dan komponen
jalan nafas bagian atas (misalnya ukuran anatomis) yang menyebabkan kolapsnya
jalan nafas. Faktor-faktor yang memelihara patensi saluran nafas adalah a) respons
pusat ventilasi terhadap hipoksia, hiperkapnia, dan sumbatan jalan nafas; b) efek
pusat rangsangan dalam meningkatkan tonus neuromuskular jalan nafas bagian atas;
c) efek dari keadaan tidur dan terbangun.
25
Terdapat dua teori patofisiologi sumbatan (kolaps) jalan nafas yaitu:
1. Teori balance of forces : ukuran lumen farings tergantung pada
keseimbangan antara tekanan negatif intrafaringeal yang timbul selama
inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan nafas atas. Tekanan transmural pada
saluran nafas atas yang mengalami kolaps disebut closing pressure. Dalam
keadaan bangun, aktivasi otot jalan nafas atas akan mempertahankan tekanan
tranmural di atas closing pressure sehingga jalan nafas atas tetap paten. Pada saat
tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen farings mengecil sehingga
menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi obstruksi.

31
2. Teori starling resistor : jalan nafas atas berperan sebagai starling resistor
yaitu perubahan tekanan yang memungkinkan farings untuk mengalami kolaps
yang menentukan aliran udara melalui saluran nafas atas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan intraluminal maupun fungsi otot


saluran nafas atas yang mempermudah terjadinya kolaps jalan nafas selama tidur
telah diketahui. Manifestasi OSAS timbul jika faktor yang menyebabkan peningkatan
resistensi jalan nafas bergabung dengan kelainan kontrol susunan saraf pusat
terhadap fungsi otot-otot saluran nafas atas. Kemungkinan kombinasi faktor-faktor
ini dapat menerangkan mengapa beberapa anak dengan kelainan struktur mengalami
OSAS sementara yang lainnya dengan derajat penyempitan saluran nafas yang sama
menunjukkan pernafasan yang normal selama tidur.

Manifestasi Klinik
Pada Anak
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur
yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas
terjadi, mendengkur merupakan gejala awal yang timbul. Dengkuran pada anak dapat
terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja.
Riwayat dengkuran lebih dari 3 malam dalam seminggu meningkatkan kecurigaan
OSA. Pada OSAS, pada umumnya anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran
yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin
diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun Sebagian kecil anak tidak
memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan nafas,
noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya
retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau
hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan nafas bahkan didapatkan
anak berkeringat, gelisah,sering terbangun, sampai sianosis. biasanya disertai
keluhan sakit kepala pagi hari, kelelahan sepanjang hari, iritabilitas, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan. Akibat OSA yang sering muncul saat fase REM
menyebabkan seringnya timbul mimpi buruk seperti mimpi tenggelam atau tercekik.
Biasanya orang tua juga mengeluhkan kesulitan membangunkan anak saat pagi hari
serta anak sering mengeluhkan mulut kering,sakit kepala, disorientasi, kelelahan dan
rasa tidak nyenyak setelah tidur cukup. Anak sering sulit konsentrasi di sekolah dan

32
sering mengantuk saat membaca, menonton televisi atau saat di mobil. Biasanya
terjadi penurunan prestasi, mood berubah, dan kecerobohan.
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat pernafasan melalui mulut, adenoidal
facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan kraniofasial lainnya,
obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya allergic shiners atau lipatan
horizontal hidung. 21 Patensi pasase hidung harus dinilai, perhatikan adanya septum
deviasi atau polip hidung, ukuran lidah, integritas palatum, daerah orofarings,
redudant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan ukuran uvula, mungkin ditemukan
pectus excavatum. Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan auskultasi.
Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal
misalnya peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan.
Pemeriksaan neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot dan status
perkembangan. 26

Pada Dewasa

Table 2. Manifestasi Klnis OSA

33
OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur. Gejala OSA
dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Gejala utama OSA adalah
daytime hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif karena pasien
sering sulit membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Hampir 30% pria dan 40%
wanita dewasa dengan nilai AHI >5x/jam mengeluh tidak segar saat bangun. Dilaporkan 25%
pria dan 30% wanita dewasa mengeluh mengalami rasa mengantuk yang berlebihan di siang
hari.
Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS) adalah kuisioner
yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala ini tidak berhubungan
secara langsung dengan indeks apnea-hipopnea. Penyebab daytime hypersomnolence adalah
karena adanya tidur yang terputus-putus, berhubungan dengan respons saraf pusat yang
berulang karena adanya gangguan pernapasan saat tidur.
Dilaporkan 50% penderita OSA mempunyai tekanan darah di atas normal, meskipun
tidak diketahui apakah hal tersebut merupakan penyebab atau sebagai akibat apnea tidur.
Risiko serangan jantung dan stroke juga dilaporkan meningkat pada penderita OSA.
Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya
hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran akan
kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese). Hanya sekitar 50%
penderita yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas.
Apnea pada orang dewasa didefinisikan sebagai tidak adanya aliran udara di hidung
atau mulut selama 10 detik atau lebih. Hipopnea didefinisikan sebagai berkurangnya aliran
udara sebesar 30% selama 10 detik atau lebih, dengan atau tanpa desaturasi. Ada 3 jenis
apnea:
 Obstruktif, di mana aliran udara pernafasan terhenti tetapi gerakan dinding dada tetap
ada.
 Central, di mana aliran udara pernafasan dan gerakan dinding dada terhenti.
 Campuran, merupakan kombinasi yang dimulai dengan tipe sentral diikuti dengan
obstruksi.
Kemudian diketahui apnea tipe campuran pada dasarnya adalah obstruktif di mana
gerak pernafasan tidak terdeteksi pada awal terjadinya apnea.

34
Diagnosis
Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang
ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase pre-
obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).
Bahkan di negara-negara di mana OSA sudah dikenal luas, sejumlah besar individu dengan
gejala OSA tetap tidak terdiagnosis.
Diagnosis OSA dibuat berdasarkan gangguan nafas yang ditemukan pada waktu tidur
pada individu yang menunjukkan gejala terutama mengantuk pada siang hari dan
mendengkur.
Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus. Gabungan data
yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan kepada
indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA.
Kuisioner EES dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang
berhubungan dengan gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai bagaimana kebiasan tidur
dan rasa mengantuk pasien dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan SSS untuk mengetahui
seberapa mengantuknya pasien pada kegiatan tersebut.

35
Multiple sleep latency testing (MSLT) adalah pemeriksaan yang bersifat objektif
untuk mengevaluasi derajat beratnya rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari.
Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang pengalaman terbangun dari tidur
karena tersedak, mendengkur (dapat ditanyakan pada teman tidur) dan bangun dari tidur
dengan badan terasa tidak segar.
Hal-hal yang harus dinilai pada pemeriksaan fisik adalah IMT, ukuran lingkar leher,
keadaan rongga hidung (deviasi septum, hipertrofi konka, polip, adenoid), perasat Mueller
(untuk menilai penyempitan veloorofaring), penilaian Friedman tounge position (modifikasi
Mallampati), bentuk palatum mole, bentuk uvula, palatal flutter, palatal floppy,ukuran tonsil
dan penyempitan peritonsil lateral. Populasi dewasa dengan IMT >30 kg/m2 memiliki
prevalensi OSA >50%. Perlu diketahui bahwa penilaian IMT dan lingkar leher tidak memiliki
predictive abilities pada wanita. Mendengkur memiliki positive predictive value (PPV) 63%
dan negative predictive value (NPV) 56% pada OSA.
Pemeriksaan Oksimetri pada saat tidur malam hari sebagai skrining OSA, memiliki
sensitivitas sebesar 31%. Kombinasi dari semua faktor di atas dapat meningkatkan predictive
abilities antara 60-70%.
Untuk memudahkan penilaian saluran napas atas, Friedman membuat standar
pemeriksaan daerah naso-velo-orofaring. Ada empat derajat Friedman tounge position.
Pasien membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, dilakukan observasi: derajat I, seluruh
uvula tervisualisasi; derajat II, uvula tervisualisasi tetapi tonsil tidak terlihat; derajat III,

36
palatum mole tervisualisasi, tetapi uvula tidak terlihat; derajat IV, hanya palatum durum yang
tervisualisasi. Pemeriksaan ini dapat memprediksi ada tidaknya OSA.
Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga, dapat mencerminkan
keadaan mendengkur pasien OSA saat tidur dan dapat digunakan untuk memprediksi
keberhasilan dari operasi uvulopalatopharyngealplasty (UPPP). Caranya adalah dalam posisi
duduk, dilakukan nasoendoskopi dan pasien diinstruksikan untuk melakukan inspirasi kuat
sambil menutup hidung dan mulut. Pada pemeriksaan ini dilakukan penilaian luas saluran
napas atas pada ruang retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi
anteroposterior, laterolateral atau konsentrik.
Pemeriksaan sleep endoscopy digunakan untuk memvisualisasikan obstruksi jalan
napas saat pasien tidur. Ada lima daerah yang perlu diperhatikan, yaitu: palatum mole,
dinding faring lateral, tonsil palatina, tonsil lingua/dasar lidah dan epiglotis. Derajat obstruksi
dibagi menjadi empat kategori. Simple palatal snoring, suara mendengkur berasal dari
getaran palatum mole, dinding sfingter velofaring dan orofaring bagian atas. Lateral wall
collapse, penyebab obstruksi berasal dari area orofaring dan tonsil palatina. Tounge
base/epiglotis, fungsi sfingter velofaring baik, obstruksi terdapat pada dasar lidah atau karena
hipertrofi tonsil lingua. Epiglotis mungkin memiliki kontribusi terhadap dengkuran. Multi
segmental collapse, tampak obstruksi pada beberapa tingkatan anatomi.

Pemeriksaan Sefalometri dan foto polos saluran napas atas dapat digunakan untuk
mengevaluasi kelainan anatomi kraniofasial.

Komputer tomografi dan magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat memfasilitasi
untuk memahami hubungan antara kelainan anatomi kraniofasial dengan gangguan
pernapasan.

Polisomnografi (PSG) adalah pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis


OSA. PSG merupakan uji diagnostik untukmengevaluasi gangguan tidur yang dilakukan pada
malam hari di laboratorium tidur, digunakan untuk membantu pemilihan terapi dan evaluasi
hasil terapi. Ada tiga sinyal utama yang dimonitor yaitu pertama, sinyal untuk
mengkonfirmasi keadaan stadium tidur seperti elektroensefalogram (EEG), elektrookulogram
(EOG) dan submental elektromiogram (EMG). Sinyal kedua adalah sinyal yang berhubungan
dengan irama jantung, yaitu elektrokardiogram (ECG) dan sinyal ketiga yang berhubungan
dengan respirasi seperti airflow (nasal thermistor technique), oksimetri, mendengkur,

37
kapnografi, EMG interkostal, balon manometri esofageal, thoraco-abdominal effort, nasal
pressure transducer, pneumotachography face mask dan kadar PCO2.

38
Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan AHI terdiri dari apnea tidur ringan dengan
AHI 5–15, saturasi oksigen 86% dan keluhan ringan, apnea tidursedang dengan AHI 15–30,
saturasi oksigen 80–85% dan keluhan mengantuk dan sulit konsentrasi, apnea tidur berat
dengan AHI 30, saturasi oksigen kurang dari 80% dan gangguan tidur.
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat :
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena sebab
lain.
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa kali ketika
tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang hari dan
gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan AHI ≥ 5 (jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea
perjam selama tidur).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal, dan
belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouillette dkk menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal dapat
diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.
Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
• D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai:
Skor < -1 : bukan OSAS
Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS
meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor
>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti
dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak
menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan spesifisitas
83% dibandingkan dengan polisomnografi.
Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak di suruh tidur
di tempat praktek dokter demikian pula OSAS dapat didiagnosis dengan melakukan
39
review audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah. 9 Beberapa variabel
yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi, pergerakan selama tidur, frekuensi
terbangun, banyaknya apnea, retraksi, dan nafas dengan mulut. Cara tersebut
mempunyai nilai sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai prediksi positif 83%, dan
nilai prediksi negatif 88%.
Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry.
Pada saat tidur anak dipantau penurunan nilai saturasi dengan menggunakan
oksimetri. Pencatatan pulse oximetry secara kontinyu selama tidur dianjurkan
sebagai tes skrining dan dapat memperlihatkan desaturasi secara siklik yang menjadi
karakteristik suatu OSAS, tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS yang tidak
berkaitan dengan hipoksia. Dengan menggunakan metode di atas nilai prediksi
positif sebesar 97% dan nilai prediksi negative 53%. Hal ini berarti bahwa apabila
terjadi penurunan saturasi selama tidur maka kemungkinan menderita OSAS cukup
besar tetapi apabila tidak terdeteksi pada pemantauan dengan oksimetri maka di
perlukan pemeriksaan polisomnografi.
Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit
ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien dengan
hiperkapnia kronis selama tidur dapat mengalami peningkatan bikarbonat serum
yang persisten akibat kompensasi alkalosis metabolik.
Beberapa jenis sitokin diketahui mempunyai efek somnogenik dan berperan
penting dalam proses tidur. Interleukin-1 dan TNF-a dapat meningkatkan slow wave
sleep dan pemberian anti TNF-a anti body dapat menghambat fase NREM. Irama
sirkadian dari pelepasan TNF-a mengalami gangguan pada pasien OSAS, kadar
puncak fisiologis pada malam harinya menghilang sedangkan pada siang hari kadar
puncaknya meningkat.

Komplikasi
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di
antaranya:
1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya
ingat, sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.
2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit
jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.

40
4. Metabolik: diabetes, obesitas.
5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
6. Hematologis: polisitemia.
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan
hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada
penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi
pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor
protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.
Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua
komponen:
1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang
berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.
OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit
aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa
kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:
1. Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres
oksidatif.
2. Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam
plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti
dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6.
Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan ekspresi
molekul-molekul adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada selsel endotel diduga berperan
pada terjadinya disfungsi sel endotel, pembentukan aterosklerosis dan bekuan darah.
Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan
infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari hipertensi,
aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan
koagulopati dan respons inflamasi.
Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus
arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan
beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui
peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.
Selain mengakibatkan gangguan kesehatan, OSA juga mengakibatkan terganggunya
kehidupan sosial, produktivitas dan juga meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu
41
lintas. Penelitian epidemiologis memperlihatkan angka kejadian OSA relatif tinggi pada
pengemudi truk dan terapi OSA memperbaiki kemampuan berkendara.
Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak
dengan OSAS kira-kira 27 - 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS
adalah anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil,
peningkatan upaya untuk bernafas, dan hipoksia. Pertumbuhan yang cepat terjadi
setelah dilakukan adenotonsilektomi. 22
PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial Pressure of Oxygen. PCO2
= Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity. HR =
Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular.

PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial Pressure of Oxygen. PCO2
= Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity. HR =
Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular.

Penatalaksanaan
1. Terapi Non Bedah
Perubahan Gaya Hidup

Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala,

seperti :

• Penurunan berat badan

42
• Mengurangi konsumsi alkohol, khususnya sebelum tidur

• Tidur dengan posisi miring (dibandingkan supine)

• Good sleep hygiene

• Pemakaian PAP yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur

Konsumsi Alhohol

Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg) dapat meningkatkan resistensi inspirasi
selama stage 2 non-rapid eye movement (nREM) tidur pada laki-laki muda normal. Efek
terhadap pusat respirasi bervariasi tergantung dari metoda pengukuran yang digunakan.
Tekanan oklusi inspirasi yang diukur dengan menilai otot-otot inspirasi, cenderung
meningkat selama tidur setelah mengkonsumsi alkohol. Namun demikian, respons ventilasi
terhadap hiperkapnia menurun pada banyak subjek dan respons terhadap hipoksia isokapnik
bervariasi, meningkat pada sebagian subjek. Mendengkur kemungkinan terjadi karena
resistensi inspirasi yang tinggi selama tidur.

Obesitas

Penelitian epidemiologik menunjukkan ada hubungan kuat antara obesitas dan OSA.
Namun demikian, secara kausal hubungan antara berat badan berlebih dan sleepdisordered
breathing masih sulit ditemukan. Insidens OSA diantara pasien obese adalah 12 sampai 30
kali lebih tinggi dibandingkan populasi lain dan pasien ini dapat bariatric surgery, meskipun
rekurensi jangka panjang kemungkinan dapat terjadi. Pendekatan baik bedah maupun bukan
bedah untuk menurunkan berat badan telah dilakukan, meskipun kebanyakan penelitian
mempunyai banyak keterbatasan. Lingkar leher, merupakan prodiktor kuat untuk sleep-
disordered breathing diantara beberapa penelitian antropomorfik, sehingga obesitas tubuh
bagian atas, dibandingkan dengan distribusi lemak tubuh secara keseluruhan, lebih
berpengaruh terhadap terjadinya OSA. Penurunan berat badan harus dianjuran pada pasien
OSA, termasuk juga mereka yang dengan peningkatan berat badan sedang. Kombinasi diet
sangat rendah kalori dengan pengaturan kebiasaan adalah aman dan hemat sebagai
penanganan utama OSA.

43
Posisi Tubuh

Posisi supine merupakan posisi yang efektif untuk menurunkan AHI pada banyak
pasien. Ada beberapa alat bantu guna mempertahankan posisi tubuh lateral. Nilai Apnea -
Hyponea Index (AHI) pada pasien dengan posisi tidur apneik dianalisis dengan tahapan tidur
(sleep stage) untuk menentukan apakah perbedaan posisi mempengaruhi nREM. Perbedaan
beratnya apnea dikaitkan dengan posisi tidur didapatkan menetap pada REM sehingga
penanganan posisi tidur perlu dipertimbangkan.10 Hasil penelitian menunjukkan meskipun
pasien dengan OSA berat memiliki jumlah apneik yang banyak pada posisi supine dan lateral,
kejadian apneik lebih berat pada posisi tidur supine daripada tidur lateral.

CPAP

Pada pertengahan abad yang lalu, terapi OSA hanya trakeostomi. Trakeostomi secara
komplet dapat mem-bypass bagian saluran nafas yang mengalami penyempitan atau
sumbatan pada waktu tidur. Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika
Sullivan et al. memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP).
Prinsip nCPAP sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung
maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi dan
dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga menekan suara dengkur, menormalkan kualitas
tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari. Efektifitas pengobatan dengan cara ini
mencapai 90-95%.

Pemberian tekanan positif merupakan tatalaksana yang efektif dalam menangani OSA
diikuti dengan trakeostomi. CPAP sampai saat ini merupakan teknik yang paling banyak
digunakan untuk memberikan tekanan positif. Teknik ini noninvasive / nonfarmakologik,
dengan memberikan tekanan positif ke jalan napas atas untuk mengatasi obstruksi atau kolaps
yang terjadi. Tekanan CPAP umumnya diatur secara manual dan dititrasi selama
polisomnogram, hingga didapatkan tekanan yang tepat untuk mengatasi episode apneik dan
hipopneik pada semua tahap tidur dan posisi tubuh, mengurangi fragmentasi tidur, snoring
dan desaturasi oksigen, yang pada akhirnya memperbaiki kehidupan sehari-hari. AutoPAP
(AutoPAP, Self-Titrating CPAP, Auto - Adjust CPAP) dapat dapat pula digunakan untuk
mendapatkan tekanan CPAP yang efektif.

Keberhasilan setiap pemberian tekanan positif terutama tergantung dari penerimaan


pasien, yang dapat ditingkatkan dengan edukasi, pemilihan masker yang tepat, pemeriksaan

44
teratur oleh dokter dan penyedia alat dan terakhir pertemuan A.W.A.K.E. Pemberian
pelembab hangat (heated humidifier) sangat dianjurkan pada pasien yang mengalami :

• Pasien dengan riwayat pemberian drying medications

• Riwayat pembedahan THT

• Kongesti hidung kronik

CPAP fleksibel merupakan pilihan lain yang dapat digunakan untuk menemperbaiki
kepatuhan pasien yang memiliki kesulitan dengan CPAP.

Obat-obatan
Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah
terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau steroid
inhaler. 30 Progresteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada pasien
anak dengan obesity hipoventilation syndrom. Keberhasilan pemberian obatobat
tersebut kurang bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat penenang dan obat
yang mengandung alkohol harus dihindarkan karena dapat memperberat OSAS.
2. Terapi Bedah
Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena beberapa
sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping
seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang
tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika,
sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.

Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan
obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur
operasi dapat dilakukan:

1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,
tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi
CPAP. pembedahan berupa reseksi transoral tonsil faringeal. Tindakan ini memperbaiki
obstruksi hipertrofi tonsil orofarings.
2. Septoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan memperbaiki septum hidung
deviasi yang menyebabkan obstruksi hidung. Tindakan ini memberikan keberhasilan
yang tinggi.
3. Nasal polypectomy – pembedahan intranasal untuk mengangkat polip hidung.

45
4. Tracheostomy – membuat jalan napas melalui bagian anterior leher ke dalam bagian
atas trakea. Jalan napas mem-bypass sebagian besar jalan napas atas sehingga hampir
100% sleep apnea dapat diatasi. Bagaimanapun juga metoda ini memberikan stigma
social karena ada pipa trakeostomi dan perawatan daerah trakeostomi. Tindakan ini
merupakan pilihan terakhir bagi pasien sleep apnea.

Diagnosis Banding 27
 Chronic Fatigue Syndrome
 Congenital Stridor
 Gastroesophageal Reflux
 Hypothyroidism

46
 Obesity-Hypoventilation Syndrome and Pulmonary Consequences of
Obesity
 Gangguan tidur : mimpi buruk

Prognosis
Prognosis dari OSA jika dideteksi sedini mungkin bisa menjadi dubia ad bonam jika
ditangani dengan baik, namun, bisa menjadi ad malam jika sudah terjadi komplikasi.

47
BAB IV

KESIMPULAN

Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya episode


apnea atau hipopnea pada saat tidur.
Prevalensi OSAS adalah 0,7-10,3%. Pada anak usia remaja dengan obesitas,
prevalens OSA berkisar antara 36-60%. 6 Supriyatno et al. di Jakarta mendapatkan
prevalens OSA pada anak usia 10-12 tahun dengan obesitas adalah sebesar 38.2%.
Diperlukan fisis diagnostik yang tepat supaya pemeriksa mendapatkan diagnosis yang
tepat. Pada beberapa kasus, diperlukan adanya pemeriksaan penunjang agar mendapatkan
sebuah diagnosis kerja.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Lalwani K. Anil. Current diagnosis and treatment of otolaryngology head and


neck surgery. Edisi ke dua. McGrawl-Hill. 2007

2. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan


Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.
3. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of
Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.
4. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood
obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109:1-20.
5. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Syarif DR, Sastroasmoro. Risk factors
obstructive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: scoring
system as diagnostic prediction (Disertasi). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2009.
6. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan
Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.
7. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of
Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.
8. Kaswandani Nastiti. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada
anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60. Jakarta; 2010; 295-296.
9. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit buku
kedokteran EGC.Jakarta. 1997.
10. Snell, Richard. Anatomi Klinik. EGC. Jakarta : 2000
11. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head
and neck.13th ed. Philadelphia,Lea & Febiger. 1993
12. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co
Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
13. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology -Head
and Neck Surgery.Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
14. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons.Volume
1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966 : 425-456

49
15. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 747, 755-760.
16. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan
Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.
17. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of
Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.
18. Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam:
Loughlin GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children;
diagnosis and management. Baltimore, William & Wilkins, 1994. h. 475-
91.
19. Kaswandani Nastiti. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada
anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60. Jakarta; 2010; 295-296
20. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea
syndrome in children. Pediatri Pulmonol 1992; 14:71-4.
21. Guilleminault C, Eldredge FL, Simmons B. Sleep apnea in eight children.
Pediatrics 1976; 58:23-31.
22. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood
obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics 2002; 109:1-20.
23. Brouillette RT, Fernbach SK, Hunt CE. Obstructive sleep apnea in infants
and children. J Pediatr 1982; 100:31-9.
24. Deegan PC, McNicholas WT. Pathophysiology of obstructive sleep
apnoea. Dalam: McNicholas WT, penyunting. Respiratory disorders during
sleep. United Kingdom, ERS J Ltd; 1998. h. 28-62.
25. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea
syndrome in children. Pediatri Pulmonol 1992; 14:71-4.
26. Laks L, Lehrhaft B, Grunstein RR. Pulmonary artery pressure response to hypoxia
in sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 1997; 155:193-8.
27. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins.
Philadelphia. 273-9. 2000.

50

Anda mungkin juga menyukai