Anda di halaman 1dari 17

Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Peritonsil

Febriana Loto Patandianan

102016056 /D6

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No.7 Jakarta Barat 11510

Email: patandianan.febriana@gmail.com

Abstrak

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher.
Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Abses peritonsil
dapat terjadi  pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun.
Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus atau nanah yang terlokalisir
atau terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher
harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Gejala dan tanda klinik
biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Penyakit ini
merupakan gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Kebanyakan
kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides
atau kuman campuran.

Abstract

Peritonsillary abscess is the most common infectious disease in the head and neck.
Peritonsillary abscess includes one of the inner neck abscesses. Peritonsillary abscess can occur
at the age of 10-60 years, but most often occurs at the age of 20-40 years. Peritonsillary abscess
is a accumulation of pus or pus that is localized or limited to peritonsillar tissue formed as a
result of suppurative tonsillitis. Sore throat and fever accompanied by limited movements in
opening the mouth and neck should be suspected of being caused by a deep neck abscess.
Clinical symptoms and signs are usually in the form of pain and swelling in the deep neck space
involved. This disease is a combination of aerobic and anaerobic bacteria in the peritonsilar
area. Most of the causative germs are Streptococcus, Staphylococcus, Anaerobic Bacteroides or
mixed germs.
Pendahuluan

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi
dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang
terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil,
abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina Ludovici (Ludwig’s angina),
tetapi pada pembahasan ini, penulis akan membahas lebih dalam mengenai abses peritonsil. 1
Pada makalah ini akan dibahas mengenai abses leher bagian dalam beserrta penanganannya.

Pembahasan

Anatomi

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang


bentuknya seperti corong yang besar di bagian atas dan
sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi
vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana,ke depan
berhubungan dengan rongga mulut ismusorofaring,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
Gambar 1. Anatomi Faring-laring.2
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kuranglebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding
faringdibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot
dansebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring(hipofaring). Unsur-unsur faring mliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan
otot.2
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian
atas, nasofaring ditutupi oleh selaput lendir yang terletak di atas silia dan bergerak sesuai dengan
arah gerak silia ke belakang. Palur lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang
terbawa oleh udara yang diisap. Selapaut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting
untuk proteksi.

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan


memanjang(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari M. Konstriktor faring superior,
media, daninferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan
tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah
depan,otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang
disebut “Rafe Faring” (Raphe Pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen
faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh n vagus (n. X).

Otot-otot longitudinalnya adalah M. Stilofaring dan M palato faring. Letak otot-otot ini
disebelah dalam. Musculus Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan M. Palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawahfaring
dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu
menelan. M. Stilofaring dipersarafi oleh n. IX sedangkan M. Palatofaringdipersarafi oleh n. X.2

Faring mendapatkan darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Pendarahan utama berasal dari cabang A. Carotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial)serta dari cabang A. Maksila interna yakni cabang palatina superior.

Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:


 
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalahdasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depam adalah ronggahidung sedangkan ke belekanag adalahvertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta menghubungkanerat dengan beberapa
struktur penitng,seperti adenoid, jaringan limfoid padadinding lateral faring dengan
resesusfaring yang disebut fosa Rosenmuller,kantong Rathke, yang merupakaninvaginasi
struktur embrional hipofisisserebri, torus tubarius, suatu refleksimukosa faring di atas
penonjolankartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
Glosofaring, n. Vagus, dan n. Asesorius spinal saraf kranialdan v. Jugularis interna, bagian
petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muaratuba Eustachius.

2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalahtepi
atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah
vertebraservikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual
danforamen sekum.

Dinding Posterior Faring


Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan
dengan gangguan n. Vagus.2

Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah M.
Konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat
suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi
oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya
bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.
Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan


limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3
macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid),
tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-
tiganya membentuk lingkaran yang disebut
cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam
fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
Gambar melekat
2. Anatomi pada dasar lidah.
tonsil
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di
dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari A. Palatina minor, A. Palatina asendens, cabang
tonsil A. Maksila eksterna, A. Faring asendens, dan A. Lingualis dorsal. Tonsil lingual
terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis
tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual
(lingual Thyroid) atau kista duktus tiroglosus.

3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring,
batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra servikal. Bila
laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau
dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak
di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk
oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap
sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang
bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentyk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak
menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketikan menelan
makanan atau minuman pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriforimis pada tiap sisi laringofaring.
Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring dan laring pada
tindakan laringoskopi langsung.2

Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti penting,
yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.

1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)


Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring,
fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia
prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling
bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada
vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. Abses
retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. kejadiannya ialah karena di ruang
retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi
supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring.
Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak.

2. Ruang Parafaring (Fosa Faringomaksila/Phyarungo-Maxillary Fossa)


Ruang ini berbentuk kerucut denganndasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat
foramen jugularis dan puncaknya pada korny mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian
dalam oleh M. Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula
yang melekat dengan M. Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini
dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat
padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami
proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau
petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post steloid)
berisi A. Karotis interna, V. Jugularis interna, n. Vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung
yang disebut selubung karotis (carotid sheath) bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring
oleh suatu lapisan fasia yang tipis.2

Anamnesis
Keluhan kelainan di daerah faring umumnya adalah Nyeri tenggorok, nyeri
menelan/Odinofagia, rasa banyak dahak di tenggorok, sulit menelan/disfagia, rasa ada yang
menyumbat atau mengganjal.3
 Nyeri tenggorok: keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok ini
disertai demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok dan
berapa jumlahnya perhari.
 Nyeri menelan/Odinofagia: merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan menelan.
Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.
 Dahak di tenggorok: merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di
hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus atau bercampur darah. Dahak ini
dapat turun, keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.
 Sulit menelan/disfagia: sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat. Apakah
juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat.
 Rasa sumbatan di leher: sudah berapa lama, tempatnya dimana?
Pemeriksaan Fisik
Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga
mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa rongga mulut, lidah,
dan gerakan lidah. Dengan menekan bagian tengah lidah
memakai spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut
lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan dinding belakang faring serta
kelenjar limfanya, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi, dan gigi geligi.
Gambar
Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista, dan 3. Pemeriksaan
lain-lain. faringada rasa
Apakah
nyeri di sendi temporo mandibula ketika membuka mulut.
Pada kasus Abses Peritonsil, kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus.
Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkk, hiperemis, mungkin banyak detritus
dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.3

Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita PTA (peritonsil abses) perlu dilakukan
pemeriksaan:
1. Hitung darah lengkap (complete blood count),
pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level
measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan
pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical
lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian
hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
Gambar 4. CT scan penderita
peritonsil abses. dengan
hepatomegaly.
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi organisme
yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif,
untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses
retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex
tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”.
6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

Working Diagnosis
Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai
akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa
supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul
tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius
superior, dan sinus piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari
jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi
purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding faring
lateral, dan, dasar lidah.5

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada
umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Angka kejadian abses
peritonsil juga tidak dipengaruhi oleh ras.

Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat
inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat
pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan
peradangan ke dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga
berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas.5
Gambar 5. Abses Peritonsil

Diferensial Diagnosis
Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-
5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah:
1. Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis,
seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi.
3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin)
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa
nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas,
terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul
stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat menganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan
suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat
bengkak dan hiperemis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat Infeksi saluran napas bagian atas atau
trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher
lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak
dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada
orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal. Diagnosis
banding: adenoiditis, tumor, aneurisma aorta.

Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai terapi
medikamentosa dib
erikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan parenteral.
Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi
berbaring Trendelnburg. Pus yang keluar segera dihisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan
dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau analgesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala
dan tanda infeksi reda.4 Komplikasinya:
1. Penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera
2. Mediastinitis
3. Obstruksi jalan napas sampai asfiksia
4. Bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru

Abses Parafaring
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarunm pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia.
Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus
lapisan otot tipis (M. Konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari
fosa tonsilaris
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya
abses ruang parafaring
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, submandibula
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol
ke arah medial. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau
CT scan.
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis,
dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endiflebitis,
dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.

Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot miohiloid. Ruang submaksila selanjutnya
dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang
submandibula dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa
submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Kuman
penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob. Gejala dan tandanya, terdapat demam
dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin
berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.4

Etiologi Abses Peritonsil


Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama
dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang
lebih tua dan dewasa muda.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat
anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium.
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan
abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.5

Epidemiologi
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada
umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan
bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut
merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir
45.000 kasus setiap tahun.5

Patofisiologi
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses
peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang umumnya
merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada
kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas
tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa
tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil.
Hal ini kemudian akan menyebabkan
penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot
konstriktor faring superior menuju ruang
parafaring dan retrofaring terdekat. Pada fosa
tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di
Gambar 6. Uvula terdorong ke sisi kontralateral. 4
ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber.
Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah
mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-
sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi
infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap
sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati
secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada
kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan
terjadinya abses.5
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di
bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila
proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M.
Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi
aspirasi ke paru.4

Manifestasi Klinis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut
berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck
mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle
inflammation).
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum
(needle aspiration). Tempat aspirasi dibius / dianestesi
menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar
(berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe
berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent)
merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk
Gambar 7. Insisi abses.4
dibiakkan.

Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan anibiotika golongan penisilin atau klindamisisn, dan
obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat
insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau
pada pertengahan garis yang menghubungk an dasar uvula
Gambar 8. Aspirasi abses.4
dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Kemudian
pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan
bersama-sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ tiede” dan bila tonsilektomi
4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ froid”. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.4

Prognosis
Prognosis baik. Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi., maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat peradangan telah mereda,
biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

Pencegahan
Menjaga kebersihan gigi dan mulut serta tidak merokok adalah cara terbaik untuk mencegah
timbulnya abses peritonsil. Jika mengalami gejala-gejala abses peritonsil, segeralah ke dokter
untuk memeriksakan diri agar mendapat penanganan yang intensif dan tepat, sebelum
menyebabkan komplikasi yang berbahaya.

Komplikasi
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.4

Kesimpulan
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler. Abses
peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara tonsil
palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya meliputi
musculus masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi penetrasi
melalui pembuluh darah karotis.
Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Selain itu,
pasien juga dianjurkan untuk operasi tonsilektomi.  Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk
terapi abses peritonsiler untuk mencegah kekambuhan. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi
segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses
leher bagian dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat faringitis eksudatifa yang
berulang. Pada individu dengan abses peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan,
tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan
tonsilektomi.
Daftar Pustaka
1. Adrianto, Petrus. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Dalam: Adrianto, Petrus.
Buku ajar penyakit telinga, hidung, dan tenggorok. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2003.h.296-302.
2. Rusmajono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti
RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke06.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.212-5.
3. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke06. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.4-5.
4. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti
RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.226-30.
5. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boeis LR,
Hilger PA, ed. Buku ajar penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2003.h.333-40.

Anda mungkin juga menyukai